Anda di halaman 1dari 5

PMII II

Oleh: Imam Fawaid

Sosio-historis lahirnya PMII merupakan kegelisahan mahasiswa Nahdliyyin bahwa


kondisi obyektif mengarah pada perbedaan gerakan mahasiswa dengan gerakan pelajar,
kemudian di sisi lain bahwa bangsa ini mendorong agar NU memiliki sebuah organisiasi
mahasiswa sebagai wadah pengkaderan intelektual. Alasan kedua tersebut dibuktikan ketika NU
menjadi pemenang ketiga dalam pemilu tahun 1955. Sedangkan organisasi mahasiswa Islam
satu-satunya ialah HMI yang memiliki kedekatan dengan masyumi sementara secara politik
berseberangan dengan NU1.
Semangat perjuangan mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa patut
diapresiaisi sehingga menghantarkan pada solusi pembentukan Departemen Perguruan Tinggi
IPNU ketika muktamar ke III pada tahun 1958 di Cirebon. Terbentuknya Departemen Perguruan
Tinggi IPNU berlanjut sampai pada tahun 1960 ketika IPNU mengadakan Konferensi Besar
(Konbes) di Kailurang Yogyakarta. Ketua Departemen Perguruan Tinggi IPNU ( Isma’il makky)
dan mantan wakil pemimpin usaha Pelita Jakarta (Moh. Hartono) menjadi perwakilan untuk
berbicara di forum Konbes tersebut dengan mempertegas alasan ingin mendirikan organisasi
mahasiswa dibawah naungan NU.
Dari proses semangat itulah kemudian lahir sebuah organisasi mahasiswa yang dikenal
dengan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dibawah naungan NU. Rumusan
pemikiran terbentuknya PMII ini ialah mewujudkan adanya kedinamisan sebagai sebuah
organisasi mahasiswa dalam semangat revolusi kemudian menampakkan identitas ke-islaman
sekaligus sebagai kelanjutan dari konsepsi NU yang berhaluan Aswaja, dengan harapan
mahasiswa yang berada dibawah naungan NU bisa mengkaji budaya setempat dengan mencari
kualifikasi budaya yang bertentangan atau tidak dengan ajaran Islam
PMII yang usianya masih muda pada saat itu sudah mulai menunjukkan gerakan politik
maupun sosialnya yang tergolong cepat. PMII telah aktif dalam forum kemahasiswaan dan
kepemudaan baik dalam ranah nasional maupun internasional. Dibuktikannya Said Budairi
selaku Sekjen (PMII) pada bulan September 1960 mewakili PMII dalam konferensi
pembentukan panitia Internasional forum pemuda sedunia di Moskow.

1
Ahmad hifni, 2016. Menjadi Kader PMII, (Harperindo: Tangerang). Hal. 13
Chalid Mawardi selaku ketua 1 PB PMII yang pada bulan juni 1961 mewakili PMII
berangkat ke Moskow juga menghadiri forum pemuda sedunia. Pembuktian inilah yang
kemudian menunjukkan bahwa PMII cukup diperhitungkan dalam ranah gerakan
Organisasi PMII bertujuan untuk membentuk pribadi muslim Indonesia yang berbudi
luhur, berilmu dan bertaqwa kepada Allah, cakap, bertanggung jawab dalam mengamalkan
ilmunya serta komitmen dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa2.
Mereka tumbuh sebagai kader yang menginternalisasikan antara ke-Indonesiaan dan ke-
Islaman dalam dinamika pergerakan. Keunikan-keunikan lain yang menjadi pembeda dari
organisasi-organisasi yang bukan PMII yakni terletak pada corak pemikiran yang toleran dan
moderat. Tentunya dalam praktik tidak seiringan dengan gelombang angin yang membentuk
kalimat dari rongga mulut, maka kami mencoba menggunakan elemen-elemen strukturasi
Antony Giddens agar supaya PMII turun membumi dan melebur dalam sosial dan budaya.
Elemen strukturasi Antony Giddens dalam PMII
Antony Giddens lahir di Edmonton, ia merupakan salah satu tokoh sosiolog yang
mencetuskan teori strukturasi. Munculnya teori tersebut ketika Antony Giddens memiliki sebuah
pertanyaan tentang hubungan agen dan sosial bermasyarakat. Apakah agen dapat merubah
lingkungan masyarakat?. Untuk menemukan jawaban tersebut maka Antony Giddens melakukan
pengamatan realitas sosial. Dan ketika Antony Giddens berhasil melakukan pengamatan
kemudian ia menemukan sebuah perubahan yang terjadi pada sosial bermasyarakat, bahwa
perubahan sosial bermasyarakat disebabkan dengan adanya aktor atau agen3.
Teori strukturasi yang dicetuskan oleh Antony Giddens sebagai pisau analisis untuk
mengkaji terjadinya sebuah perubahan-perubahan dalam tubuh PMII, teori tersebut memberi
penjelasan mengenai konsep agen dan struktur, ruang dan waktu, serta konsep hubungan struktur
dan praktik sosial.
Perubahan merupakan sebuah hal yang tidak bisa dihindari dalam dinamika kehidupan
manusia dan kejadian tersebut menjadi sebuah kewajaran. Kehidupan manusia akan selalu
mengalami perubahan sebagai konsekuensi dari hubungan manusia antar manusia dalam
bersosial.

2
Mohammad fajrul falakh, Citra Diri PMII (Yogyakarta: Yayasan Putra Nusantara), hal. 36
3
Antony Giddens, 2010, Teori Strukturasi: Dasar-Dasar pembentukan struktur sosial di masyarakat, (Yogyakarta:
Pusata Pelajar), hal. 36
Kehidupan sosial mengalami perkembangan berdasarkan hukum atau aturan sendiri yang
diciptakannya sendiri dan akan selalu berkembang dengan pola tertentu. Perkembangan inilah
yang menandakan bahwa kehidupan manusia selalu mengalami yang namanya perubahan dari
suatu kondisi ke kondisi lain.
Terjadinya perubahan sosial dalam tubuh PMII yakni harus melibatkan pihak-pihak yang
memiliki keinginan dalam menciptakan perubahan. Oleh karenanya perubahan sosial di PMII
termasuk perubahan yang prosesnya direncanakan. Yang menginginkan perubahan itulah disebut
dengan agen of change.
Era 80-an kader PMII sebagai suatu organisasi mahasiswa yang berbasis kultur pesantren
telah mampu mewujudkan perangkat intelektual. Dengan landasan intelektual tersebut, tak heran
ketika tahun 1990-an PMII mampu membentuk Lembaga Kajian Islam dan Intelektual. Pada
mulanya gerakan forum ini konsisten menjadikan dirinya sebagai tempat untuk mengasah
kepekaan intelektual maupun sosial. Beberapa gerakan telah menjadi arus utama yang dilahirkan
oleh Lembaga Kajian Islam dan Intelektual ini berupa kajian, penelitian, serta pendidikan.
PMII membuktikan bahwa dirinya merupakan sentral intelektual di kalangan para
intelektual muda Islam Indonesia. Kesadaran paling realistis yang dimiliki PMII ada pada
wilayah intelektual. Namun dalam beberapa dekade terakhir ini, kegiatan PMII cenderung
normatif. Kegiatan PMII hanya pada wilayah tradisi keagamaan Islam Nusantara, sementara
pendalaman intelektualisme kader dinomorduakan.
Sebenarnya kegiatan yang bersifat normatif tersebut tidak perlu dikhawatirkan punah dan
menjauh dari individu warga pergerakan. Melihat bahwa pada umumnya PMII memiliki latar
belakang pesantren dan berbasis NU yang merupakan sebuah kelompok otoratif menjaga tradisi
Islam nusantara. Di era mutaakhir ini kader PMII sampai pada sebuah kesadaran, di mana
kesadaran tersebut yakni pada basis intelektual. Sementara pada jenjang pengkaderan selalu
mentitiktekankan pada pemahaman kritis serta arah gerakan aksi namun melupakan kesadaran
intelektual.
Pada konteks kekinian, kesadaran intelektualitas PMII harus dikonstruk kembali. Kajian
atau diskusi harus mampu dihidupkan kembali, pemahaman liar yang menjadi ciri khas PMII
harus selalu ditingkatkan. Sikap yang harus diambil oleh kader PMII hari ini ialah
mengembangkan kembali semangat serta corak pemikiran yang bermuara pada tataran
intelektualitas
Menurut Giddenz mengenai agen dalam sebuah perubahan menyatakan bahwa agen
perubahan terwujud dalam diri inividu yang kemudian membentuk kelompok (Sztompka, 2010,
hlm. 231). Pemahaman tersebut sebagaimana yang terjadi dalam tubuh PMII yang beberapa
dekade ini telah mengalami kemerosotan intelektual disebabkan dengan kurangnya budaya
diskusi dan kajian yang massif.
Upaya menjaga tradisi warisan PMII ada beberapa langkah yang harus menjadi konsen
utama:
1. Melakukan rasionalisasi terhadap pemahaman nilai-nilai aswaja sebagai pedoman
kehidupan sehari-hari
Praktik sosial dari PMII yakni mengamalkan nilai-nilai aswaja (tasamuh, tawasuth,
tawasun dan ta’adl). Bagaimana PMII memiliki pola pikir yang tidak terjebak pada satu
pemikiran saja, artinya harus bisa mengelaborasikan antara islam dan barat serta mencoba
mendiaolgkan antara agama, filsafat, sains agar terjadi sebuah kessimbangan dalam berpikir
namun tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama (tawasuth).
Sedangkan pada wilayah relasi bahwa kader PMII harus mampu menjaga keseimbangan
serta keselarasan. Keseimbangan yang dimaksud ialah pada tataran hubungan yang tidak
menguntungkan pihak lain dan merugikan pihak tertentu. Artinya ialah mereka sebagai kader
harus mampu menempatkan dirinya sesuai fungsinya tanpa masuk kepada wilayah fungsionalitas
orang lain. Hasil yang menjadi harapan ialah terwujudnya kedinamisan dalam bergerak.
Keseimbangan itulah yang kemudian mampu menjadikan kader PMII memiliki sikap luwes,
tidak terburu-buru menarik sebuah kesimpulan. Maka keseimbangan sangat dibutuhkan dalam
melakukan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan (Helmawati, 2018: 59).
Dalam diskursus budaya-sosial PMII harus mampu bersikap toleransi terhadap sebuah
tradisi yang berkembang tanpa melibatkan dirinya dalam substansi tersebut. Upaya menjaga
perbedaan sehingga tidak terjadi perselisihan serta perasaan saling terganggu dan memusuhi.
Maka tasamuh mengajarkan upaya menjadi masyarakat yang membuka ruang diskurus
perbedaan pendapat, budaya bahkan keyakinan sehingga mampu memunculkan kehangatan
dalam bermasyarakat
Menjadikan PMII sebagai organisasi yang menempatkan dirinya sesuai fungsinya dan
mampu mengimplimentasikan nilai-nilai aswaja dalam praktik sosial. Rasionalisasi dari keadilan
ini ialah ketika kader mampu menjalankan salah satu nilai-nilai aswaja sesuai dengan kondisi
yang dilalui
2. Memiliki motivasi bertindak
Motivasi merupakan sebuah kekuatan supranatural yang mendorong individu, untuk
membuka ruang baru ketika individu tersebut dalam keadaan frustasi atau mengalami gangguan,
dalam hal ini identitas mulai terancam krisis. Menurut Mc. Donald, bahwa motivasi merupakan
sebuah perubahan energi pada diri manusia yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi
untuk mencapai sebuah tujuan.
PMII yang merupakan agen of change, sepatutnya bertindak upaya mewujudkan
perubahan sosial yang signifikan. Perubahan tersebut yang dapat menjadi sebuah peluang atau
bisa mungkin menjelma sebuah tantangan dalam menghadapi persaingan yang ketat. Menurut
Havelock bahwa agen of change merupakan seorang yang dapat membantu terlaksananya
perubahan sosial atau sesuatu inovasi berencana (Nasution, 1990: 37).
Perubahan sosial inilah yang harus didasari dengan kesadaran dari kader PMII sebagai
organisasi yang memiliki latar belakang dari pesantren, golongan menengah ke bawa atau
perdesaan, yang artinya PMII lahir dari golongan tersebut dan akan kembali pada golongan
tersebut pula.
Rumusan nilai-nilai aswaja tersebut dalam praktik sosial yang dilakukan agen PMII
dipengaruhi oleh faktor intenal yang berupa kesadaran diskursif yang kemudian akan
menentukan pada intensitas tindakan yang dilakukannya dalam membentuk struktur sosial.
Maka di iperlukannya sebuah kekuatan supranatural sebagai dorongan agar kader
menjadikan PMII sebagai sebuah pilihan untuk mengekspresikan dirinya dan mampu
mempertanggungjawabkan pilihan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai