Anda di halaman 1dari 19

RESUME

MASA KEEMASAN, MASA KEMUNDURAN DAN MASA


KEBANGKITAN KEMBALI HUKUM ISLAM

Disusun Oleh:

ABDUL AZIS
SP.110156

A. MASA KEEMASAN
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya
dipegang oleh Dinasti Abbasiyah yang berlangsung sekitar 250 tahun sejak akhir abad
ke-7 sampai awal abad 10 M. Periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang seluruhnya masih dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini merupakan periode keemasan umat Islam, yang ditandai dengan
berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, hukum,
tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur, dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan
dengan berkembangnya pemerintahan Islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam ke belahan dunia Barat dan Timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat)
sampai perbatasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban Islam dari
Granada di Spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa Khulafa al-
Rasyidin, Khalifah Umayyah, dan Khalifah Abbasiyah.
Perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah-masalah baru yang
belum terjadi sebelumnya, sehingga permasalahan yang dihadapi umat Islam pun makin
banyak dan kompleks. Keadaan demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid
untuk memecahkan hukum masalah-masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka
kemudian dibukukan dalam kitab-kitab fiqh (hukum). Karena itu masa ini merupakan
masa perkembangan dan pembukuan kitab fiqh, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin.
Periode ini merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai penulisan dan
pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fiqh (hukum
Islam) dari berbagai madzhab.
A. Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya
Belum pernah tercatat dalam sejarah perkembangan fiqih sebagaimana terjadi
pada periode ini. Kekayaan tsarwah fiqhiyah benar-benar memperlihatkan kedalaman
dan orisinalitas yang mengagumkan. Saat itu fiqih menjadi disiplin ilmu tersendiri,
mulai dirintis penulisan ushul fiqih (kaidah-kaidah fiqhiyah) dan perumusan metodologi
serta kaidah-kaidah ijtihad yang dipakai oleh para mujtahidin dan fuqaha dalam
menyimpulkan hukum-hukum dari sumber fiqih.
Sejarah juga mencatat periode ini sebagai suatu fase dimana fiqih tidak sekedar
berputar di sekitar masalah-masalah pengambilan hukum atau fatwa-fatwa fuqaha
sahabat, seperti yang menjadi concern fuqaha sebelumnya, tetapi merambah ke dalam
persoalan-persoalan metodologis dan kemungkinan pencarian rumusan alternatif bagi
pengembangan kajian fiqh.
Ada beberapa faktor yang mempunyai andil dalam menghantarkan fiqih menuju
era keemasan. Faktor-faktor itu di antaranya :
1. Adanya perhatian para khalifah Bani Abbas terhadap fiqh dan para fuqahanya.
Berbeda dengan Khulafa Bani Umayyah yang memasung para fuqaha
membatasi gerak mereka yang berani menantang kebijaksanaan pemerintah. Khulafa
Bani Abbas malah mendekati para fuqaha dan meletakkan mereka pada posisi yang
terhormat. Perhatian yang begitu besar, misalnya dapat dilihat ketika khalifah Harun al-
Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab Muwattha kepada kedua
putranya, al-Amin dan al-Makmun.
2. Kebebasan berpendapat
Perhatian khulafa Bani Abbas yang besar terhadap fiqih dan fuqaha juga
tergambar dalam kebebasan berpendapat dan berbagai stimulasi yang diberikan untuk
membangkitkan keberanian berijtihad para fuqaha. Pemerintahan Daulah Abbasiyah
tidak ikut campur dalam urusan fiqh, misalnya dengan meletakkan peraturan yang
mengikat kebebasan berpikir dan tidak pula membatasi madzhab tertentu yang mengikat
para hakim, mufti atau ahli fiqh memiliki kebebasan untuk menentukan hukum sesuai
dengan metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad yang mereka gunakan.
3. Banyaknya fatwa pada periode ini
4. Kodifikasi ilmu
5. Tersebarnya perdebatan dan tukar pikiran diantara para Faqihi
Pada permulaan masa ini, mulailah timbul munadzarah (pertukaran fikiran) dan
perselisihan paham yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru
dalam mentasyrikan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri itu. Terjadinya perselisihan
paham di masa sahabat itu adalah karena perbedaan paham diantara mereka dan
perbedaan nash yang sampai kepada mereka, karena pengetahuan mereka dalam soal
hadis tidak bersamaan dan pula karena perbedaan pandangan tentang mashlahah yang
menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum, disamping itu juga adalah karena berlainan
tempat.
6. Pembukuan fiqh / hukum Islam
Gagasan penulisan hukum-hukum fiqhiyah sebenarnya sudah muncul pada akhir
pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika beberapa ulama mulai menulis fatwa-fatwa
diantara syeikh mereka karena khawatir lupa atau hilang. Sejak saat itu inisiatif untuk
menulis hukum-hukum syariyah terus berkembang. Beberapa fuqaha Madinah mulai
mengumpulkan fatwa-fatwa sahabat dan tabiin seperti Siti Aisyah, Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas sebagaimana terlihat dalam kitab Muwattha, karya monumental Imam Malik.
B. Kodifikasi Ilmu Pengetahuan
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah
berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Banyaknya mawali yang masuk Islam
Sebagian orang yang daerahnya dikuasai umat Islam menjadi penganut agama
Islam. Kemudian mereka belajar agama Islam di bawah bimbingan para imam. Di
bawah pemerintahan Harun al-Rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku Yunani ke
dalam bahasa Arab. Pada awalnya, upaya penerjemahan di utamakan pada buku-buku
kedokteran, tetapi kemudian dipelajari pula buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat.
2. Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu kalam terjadi perdebatan, setiap kelompok memiliki cara
berfikir tersendiri dalam memahami akidah Islam. Selain itu, saat itu terjadi pula
pertarungan pemikiran antara mutakallimin, muhadditsin, dan fuqaha.
3. Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan al-Quran dengan dua cara, yaitu dicatat
(dikumpulkan dalam mushaf) dan dihafal.
Pada periode ini muncul usaha untuk menghimpun hadits Nabi, sebagai acuan
dalam penetapan hukum setelah al-Quran. Hadits dari usaha tersebut lahirlah kitab-
kitab himpunan hadits, terutama enam kitab hadits terkemuka (al-kutub al-sittah), karya
ulama penghimpun hadits yaitu :
a. Imam Bukhari (wafat 256 H/870 M)
b. Imam Muslim (wafat 261 H/875 M)
c. Ibn Majah (wafat 273 H/877 M)
d. Abu Dawud (wafat 275 H/889 M)
e. Al-Tirmidzi (wafat 279 H/892 M)
f. Al-Nasai (wafat 303 H/915 M).
C. Pembentukan Madzhab-madzhab Fiqh
Dalam masa perkembangan ijtihad banyak para mujtahid ahli sunnah yang
menjelaskan/mengkhususkan perhatiannya kepada masalah fiqh. Para mujtahid
mencurahkan hampir segala hidup dan kehidupannya untuk mendalami ilmu fiqh. Baik
itu untuk mengambil istimbath ilmu fiqh, maupun dalam mengerjakannya.
Tiap-tiap mujtahid senantiasa dikelilingi oleh para siswa yang ingin mempelajari
ilmu fiqhnya, ataupun ingin mengajukan persoalan yang mereka hadapi. Para ahli fiqh
ini telah banyak mewariskan kumpulan-kumpulan hasil ijtihad mereka. Baik yang
tertulis dalam buku-buku fiqh ataupun yang berupa amanat yang senantiasa dipegang
teguh oleh para siswa mereka. Kumpulan hasil ijtihad tadi kemudian dikenal dengan
aliran-aliran fiqh/al-madzhahibul fiqhiyyah.
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani (1987: 87-88) menjelaskan bahwa madzhab fiqih
Islam yang muncul setelah sahabat dan khabar al-tabiin berjumlah 13 aliran. Ketiga
belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlussunnah. Namun tidak semua aliran itu
dapat diketahui dasar-dasar dan metode istimbath hukum. Adapun di antara pendiri 13
itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Said al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2. Abu Hanifah al-Numan ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H)
3. Al-Auzai Abu Amr Abd al-Rahman ibn Amr ibn Muhammad (w. 157 H)
4. Sufyan ibn Said ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Al-Laits ibn Sad (w. 175 H)
6. Malik ibn Anas al-Bahi
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafii (w. 204 H)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H)
10. Daud ibn Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H)
11. Ishaq ibn Rahawaih (w. 238 H)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H).
Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya
beberapa di antaranya :
1. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi. Nama lengkapnya Abu Hanifah an-
Numan bin Tsabit bin Zufiat al-Tamimi yang masih mempunyai pertalian hubungan
kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib. Lahir di Kufah 80H/699 M pada masa
pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik. Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai
seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu, dan sangat teguh
memegang ajaran agama. Beliau wafat pada tahun 150 H/767 M pada usia 70 tahun.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Hanafi adalah :
a. Al-Quran
b. Sunnah
c. Fatwa-fatwa sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Urf
2. Imam Malik ibn Anas
Dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Imam Malik adalah seorang ulama
yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqh. Dasar-dasar yang menjadi
sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah :
a. Al-Quran
b. Sunnah
c. Ijma ulama Madinah
d. Fatwa sahabat
e. Qiyas
f. Masalihul mursalah
3. Imam Syafii
Nama lengkapnya Muhammad bin Idris asy-Syafii al-Quraisyi, dilahirkan di
Ghazah, pada tahun 150 H. Beliau wafat di Mesir. Kitab-kitabnya hingga kini masih
dibaca orang. Murid-muridnya yang terkenal di antaranya adalah : Muhammad bin
Abdullah bin al-Ahkam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzani. Dasar-dasar
yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Syafii adalah :
a. Al-Quran
b. Sunnah
c. Ijma
d. Qiyas
e. Istidlal
4. Imam Ahmad Hanbali
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin
Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal 164 H/780 M.
Imam Ahmad bin Hanbal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits. Dia berhasil
menyusun kitab himpunan hadits, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hanbali.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam/dalil hukum Islam (mashadir al-
ahkam, adillat al-ahkam) madzhab Hanbali adalah :
a. Al-Quran
b. Sunnah (hadits shahih)
c. Fatwa para sahabat
d. Hadits yang lemah (dhaif/hasan)
e. Qiyas
5. Imam Jafar
Nama lengkapnya Imam Jafar ash-Shaddiq (80-146 H/699-765 M), adalah
Jafar bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abiding bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H (699 M).
Jafar al-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti
ilmu filsafat, tasawuf, fiqh, kimia dan ilmu kedokteran. Beliau adalah Imam yang
keenam dari dua belas Imam dalam madzhab Syiah Imamiyah. Di kalangan kaum sufi
beliau adalah guru syaikh yang besar, sedang di kalangan ahli Kimia beliau dianggap
sebagai pelopor ilmu Kimia, beliau adalah guru dari Jabir bin Hayyan, ahli Kimia dan
Kedokteran Islam.
Fiqh Jafari adalah fiqh dalam madzhab Syiah pada zamannya, karena sebelum
dan pada masa Jafar ash-Shiddiq tidak ada perselisihan. Perselisihan dan perbedaan
pendapat baru muncul sesudah masanya.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum/dalil hukum (mashadir al-ahkam,
adillat al-ahkam), madzhab Jafari adalah :
a. Al-Quran
b. Sunnah, yang diriwayatkan oleh Imam-imam (perawi-perawi) yang diakui oleh mereka
c. Ijma, yang diakui oleh mereka adalah ijma di kalangan Syiah.
d. Aqal (Rayu).
B. MASA KEMUNDURAN
1. Sketsa Kemunduran Islam
Seperti banyak diketahui, bahwa Islam merupakan jembatan emas bagi kemajuan
Barat saat ini. Islam memberi sumbangan ilmu pengetahuan yang tak ternilai bagi Barat.
Namun pada gilirannya kaum Nasrani dapat merebut pengetahuan yang berharga
tersebut. Pada masa akhir kejayaan Islam di Andalusia (Spanyol) tepatnya pada tahun
609 H/1212 M, Kaum Nasrani melakukan agresi besar-besaran ke Andalusia. Dengan
dalih perang suci di Eropa mereka menyerang Islam dipimpin oleh Alfonso VII , Raja
Castile beserta sekutu-sekutunya. Serangan tersebut dihadapi oleh khalifah al-Mansur
Billah bersama 600000 tentara di Las Navas de Toloso (Al Uqub) sekitar 70 mil di
sebelah timur Cordova.
Dalam peperangan tersebut tentara Muwahidun mengalami kekalahan besar
bahkan menyebabkan berakhirya kekuasaan Islam di Andalusia(1235 M). Berakhirnya
Islam puncaknya ketika peperangan antara pasukan Musa, Pasukan Abdullah melawan
pasukan Ferdinand, Ferdinand mengirim pasukannya untuk menghancurkan pasukan
Islam, tetapi Abdullah beserta pasukannya terjun ke medan peperangan dengan gagah
berani,pada saat itu islam yang mengalami kemenangan dibantu oleh penduduk
Granada, sehingga beberapa beneteng dapat direbut kembali
Pada tahun 896 H/1491 M Ferdinand bersama Isabella melibatkan diri bersama
50.000 personil dengan mendengungkan perang suci. Namun pasukan Musa
mendengungkan bahwa akan terus mempertahankan tanah ini walau hanya tinggal jasad
saja , hal itu membuat semangat tempur pasukan islam, dan mengalahkan pasukan
Ferdinand. Namun dengan kelicikannya, Ferdinand mengepung dan memblokade
pasukan islam agar kelaparan. Apalagi di musim dingin (salju), sehingga keadaan kaum
muslimin menjadi kritis. Abdullah menyerang atas desakan penduduk Granada yang
kelaparan dan kedinginan. Sedangkan panglima Musa terus menyerang dan melawan
pasukan ferdinand, sehingga mati terbunuh dalam medan peperangan. Abdullah
bersama keluarganya pindah ke Maroko dan tinggal di kota Faz. Granada pada tanggal 2
Januari 1492 M dapat dikuasai kaum Nasrani dengan masuknya pasukan Castile .
Dengan masuknya pasukan Castile . Dengan demikian, Salib telah menyingkirkan bulan
Sabit.
2. Agresi Kolonial Barat
Masa ini dimulai pada abad ke-19 ketika Eropa mendominasi dunia. Dalam abad
ke 19 dan awal abad 20 , didorong oleh kebutuhan ekonomi industri terhadap bahan-
bahan baku dan pemasarannya , dan juga oleh kompetisi politik ekonomi satu sama lain,
negara-negara Eropa menegakkan kerajaan teroterial dunia. Belanda menjajah
Indonesia; Rusia mengambil Asia Dalam; Inggris mengkonsolidasi kerajaan mereka di
India dan Afrika, dan mengontrol sebagian Timur tengah, Afrika Timur, Nigeria, dan
sebagian Afrika Barat.
Pada permulaan abad ke-20 kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia Islam
. Dengan didukung oleh pertumbuhan produksi pabrik dalam skala dan perubahan yang
besar serta dengan metode komunikasi ditandai dengan ditemukannya kapal uap, kereta
api, dan telegrap. Eropa telah siap untuk melakukan ekspansi perdagangan.
Kesemuanya ini diiringi dengan peningkatan kekuatan angkatan bersenjata dari negara-
negara besar Eropa; akibatnya Aljazair menjadi negara Arab pertama yang ditaklukkan
oleh perancis (1830-1847 M). Negeri-negeri Islam dan masyarakatnya pada waktu itu
tidak lengkap lagi hidup dalam keadaan stabil serta tidak mapan sistem kebudayaannya
sehingga keperluan mereka yang mendesak adalah bagaimana menggerakkan kekuatan
agar selamat dari dominasi bangsa lain.Kerajaan Utsmaniyah misalnya, harus
mengadopsi metode-metode baru dalam pengorganisasian militer, administrasi dan
kode-kode hukum pola Eropa, dan begitu juga yang dilakukan oleh dua penguasa
otonomi dari propinsi kerajaan tersebut, Mesir dan Tunisia .
Begitu seterusnya agresi kolonial barat yang meyebabkan perubahan demi
perubahan dalam kejayaan Islam , banyak yang ternetralisir dengan sistem kebudayaan
barat.
3. Penetrasi Barat Terhadap Dunia Islam
Pengaruh Eropa terhadap dunia Islam menyadarkan para pemimpin kerajaan
Utsmaniyah untuk mengadakan perubahan . Begitu pun pada masa Sultan Mahmud II
padatahun 1820-an, sejumlah kecil para pejabat yang menyadari perlu adanya
perubahan mengambil keputusan keputusan yang cukup penting.
Di Kairo, sepeninggal tentara Perancis, kekuasaan diambillah oleh Muhammad Ali
(1805-48), orang Turki dari Macedonia yang dikirim oleh kerajaan Utsmaniyah
melawan Perancis . Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik gambaran bahwa pada abad
ke-19 dan awal abad ke-20 dunia Islam hampir seluruhnya berada dalam koloni barat ,
kecuali Hijaz , Persia, dan Afghanistan . Dunia Islam lainnya yang membentang dari
Maroko hingga Indonesia merupakan negeri-negeri kolonial yang dijadikan sapi
perahan untuk kemakmurann bangsa barat.
FAKTOR PENYEBAB KEMUNDURAN ISLAM
Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji
sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil
pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan
(SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua
faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh
bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu
organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara
satu faktor dengan faktor lainnya yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal
dan internal berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal
terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita
rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey
Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut
adalah sbb:
1. Faktor ekologis dan alami
Kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi
gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu.
Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar,
seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini
menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari
serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam
seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun
1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian
mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di
Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh.
Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak
kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget
invasi pihak luar.
2. Faktor eksternal.
Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang
Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-
1300an. Perang Salib, menurut Bernard Lewis, pada dasarnya merupakan
pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan
materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya. Sedangkan tentara
Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan
Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil
merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan
Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
3. Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat Pada
tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya.
Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara
Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati
negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat
dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai
mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi
kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah
penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim
diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu
berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan
jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi
oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah
peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban
Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap
sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat
menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada
tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882.
Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama,
kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis,
demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang
Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa
kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam
yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat
dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik
intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi
menjadi negeri-negeri kecil.
Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan
di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan
kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah
antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban
besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India,
China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah
peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh
karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan
gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif
tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun
menyatakan:
Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah
meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji
cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan
tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri,
melanggar sumpah dan memakan riba.Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan
hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan
sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan
berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan
berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu
bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem
pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian
kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas
masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang
mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang. jika ini terjadi terus menerus,
maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak, dan akhirnya mereka
benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran
peradaban.
Pada Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan
oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral.
Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia.
Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan
keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan
keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Mamun, pendukung Mutazilah dan al-
Mutawakkil pendukung Ashariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan
pengembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu:
1. Rusaknya moralitas penguasa
2. Penindasan penguasa & ketidak adilan
3. Despotisme atau kezaliman
4. Orientasi kemewahan masyarakat
5. Egoisme
6. Opportunisme
7. Penarikan pajak secara berlebihan
8. Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat
9. Rendahnya peran masyarakat terhadap agama
10. Penggunaan pena & pedang secara tidak tepat.
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas
masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi
bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem
kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya
pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya ketika Maghrib
dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak
berjalan. Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan
bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian
Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania.

C. MASA KEBANGKITAN KEMBALI


Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa
abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk
di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan.
Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu
wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah
kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena
dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang
menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari
barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam
dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti
dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran
yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini
berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam,
terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan
pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam. Tanda-tanda kemajuan :
1. Di bidang perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan berlakunya Majalah al Ahkam al Adliyah yaitu Kitab
Undang-undang Hukum perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada Tahun 1876
M.
2. Di bidang pendidikan
Diperguruan-perguruan agama islam di Mesir, Pakistan, maupun di Indonesia dalam
cara menpelajari fiqh tidak hanya dipelajari tertentu, tetapi juga dipelajari secara
perbandingan, bahkan juga dipelajari hukum adat dan juga sistem hukum eropa.Dengan
demikian diharapkan wawasan pemikiran dalam hukum dan mendekatkan pada hukum
islam dan hukum yang selama ini berlaku.
a) Fiqh Kaum Pembaharu
Ketika Islam memasuki periode perkembangan peradaban yang ditengarai makin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam, di sana-sini terjadi akulturasi budaya antar bangsa,
dan adanya persentuhan agama Islam dengan pengetahuan agama lain, maka ajaran
Islam mulai dipahami dan diamalkan dengan semangat rasionalisme seiring dengan
tumbuh dan berkembangnya pemikiran Islam. Muhammad al-Bahy menetapkan tiga
pola upaya intelektualisasi ajaran Islam yang melahirkan pemikiran Islam. Pertama,
usaha menggali dan memahami hukum-hukum agama dari sumbernya baik yang terkait
dengan pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan, maupun pengaturan hubungan
sesama manusia, termasuk dalam usaha ini adalah mencari solusi hukum Islam bagi
permasalahan baru yang belum terjadi pada masa Nabi Muhammad. Kedua, usaha
menyelaraskan prinsip-prinsip ajaran Islam (aspek normativitas) agar tetap aktual dalam
setiap zaman. Ketiga, usaha menggali argumen (rasional religius) untuk
mempertahankan akidah Islam sekaligus menolak paham-paham lain yang
bertentangan, menjelaskan posisi Islam secara umum, dan juga menggali faktor-faktor
yang dapat menjadi motivasi dalam memberdayakan pemikiran untuk menjaga spirit
Islam agar ajarannya tetap eksis dan utuh.
Atas dasar kenyataan di atas, Ahmad Amin mendiskripkan adanya tiga pola dan
metode yang dilakukan umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Pertama, kaum tektualis-literalis yang berusaha memahami agama atas dasar teks al-
Quran dan Hadis secara ketat. Kedua, kaum rasionalis yang berusaha memahami
ajaran Islam dengan pendekatan dan kekuatan akal untuk menyingkap ajaran Islam
secara kontekstual. Ketiga, kaum intuitif yang berusaha memahami ajaran Islam lewat
pendekatan kashf dan ilham dalam rangka mengungkap rahasia agama secara batin.
Sejalan dengan pemikiran di atas, A. Mukti Ali (w. 2004) menyimpulkan bahwa
dilihat dari segi pendekatan, terdapat tiga macam pola pendekatan yang dilakukan kaum
muslimin dalam memehami ajaran agama Islam yaitu pendekatan naqly (tradisional),
pendekatan aqly (rasional) dan pendekatan kashf (mistis).
Dalam perjalanan sejarah, ajaran Islam mengalami penyimpangan-
penyimpangan yang disebabkan oleh kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya
ataupun adanya penolakan masyarakat untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip al-
Quran dan Hadis yang benar, sehingga mendorong munculnya usaha-usaha pemurnian
dan pembaharuan pemikiran Islam oleh pembaharu (mujaddid). Demikian itu karena
sejak permulaan sejarahnya, Islam telah mempunyai tradisi pembaharuan (tajdid),
sehingga orang Islam segera memberi jawaban dan merespon terhadap apa saja yang
dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Pembaharuan dalam Islam mengandung tiga prinsip yang bersifat sistemik,
yaitu; Pertama, sesuatu yang diperbaharui telah ada eksistensinya secara faktual.
Kedua, sesuatu yang diperbaharui telah lama berlangsung atau telah mensejarah.
Ketiga, sesuatu yang diperbaharui dikembalikan pada keadaan semula dalam
kemurniannya. Dengan demikian, dalam konteks pembaharuan Islam yang di dalamnya
antara lain tercakup konsep tentang purifikasi ajaran, karena misi pembaharuan (tajdid)
yang esensial adalah untuk memurnikan ajaran Islam dan memformulasikan secara
permanen validitas dan ketidakberubahan normativitas Islam kendati pada aspek
historisitas bersifat dinamis dan responsif, tetapi prinsip di atas terkait pula dengan
fungsi pembaharuan dalam Islam yang mengandung tiga fungsi pokok; Pertama, al-
iadah yaitu mengembalikn ajaran Islam kepada kondisi kemurnian dan keasliannya.
Kedua, al-ibanah yaitu menyeleksi atau mensahkan ajaran Islam dari segala macam
unsur-unsur lain yang telah mengotorinya. Ketiga, al-ihya yaitu mendinamisasikan
spiritual ajaran Islam sehingga mampu merespons dengan benar dan tepat, baik terhadap
perubahan maupun dinamika kehidupan.
Berdasarkan pengertian pembaharuan di atas, upaya-upaya pembaharuan dalam
Islam cenderung didasarkan pada keyakinan bahwa telah terjadi berbagai macam
anomaly atau penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam yang
disebabkan oleh kesalahan memahami dan mengamalkan doktrin Islam, karena ajaran
untuk kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah serta praktik-praktik dan konvensi-
konvensi keberagaman generasi salaf merupakan doktrin pokok kaum pembaharu.
Mereka memandang, bahwa era kehidupan Islam dan metode keberagaman masa Nabi
dan generasi salaf (minhaj tadayyun al-salaf) adalah cara Islam yang istimewa serta
merupakan model keberagaman yang ideal, itulah sebabnya usaha-usaha yang dilakukan
kaum pembaharu, meski dalam formulasi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks
yang dihadapi, namun memiliki benang merah kesatuan inspirasi dan arah dan keaslian
dengan membersihkan hal-hal yang dipandang bidah.
b) Pembaharuan dan Pengaruhnya
Fungsi pembaharuan Islam adalah untuk menjaga kemurnian ajaran (al-
muhafadhah ala al-qadim al-shalih) dan memotivasi semangat kebebasan individual
untuk menempatkan akal pikiran dengan segala konsekuensinya menjadi semakin
tinggi. Hal itu mutlak diperlakukan bagi usaha dinamisasi ajaran Islam agar menjadi
fungsional (al-Abu Azam Al Hadi akhdhu bi al-jadid al-aslah), karena hakekat
kebebasan untuk memahami ajaran Islam adalah inti dari ijtihad sebagai lawan taqlid
yang menjadi agenda kedua para pembaharu.
Muhammad Abduh (1849-1905 M.) dan Muhammad Rashid Ridha (1865-1935
M.), melancarkan usaha pembaharuan dengan jalan memodernisasikan ajaran Islam di
Mesir. Beberapa pengikutnya kelak dikenal dengan golongan Salafiyyah. Muhammad
Abduh berupaya memodernisasikan ajaran Islam yang asli dengan penyesuaian
perkembangan modern, usaha penyesuaian tersebut membutuhkan usaha baru untuk
meniscayakan dibukanya pintu ijtihad.
a. Madzhab Skriptualisme
Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks
atau wahyu (kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan
penilaian terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan
bahwa sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan
sebuah penilaian.
Ada beberapa problem dalam mazhab skriptualisme antara lain:
i. Sifat klaim akan selalu muncul terhadap pemahaman ayat, padahal pemahaman
kita terhadap ayat tidak terlepas dari subyektifitas penafsir, sehingga tidak perlu adanya
sifat otoritas tafsir dan klaim kebenaran dari penafsiran terhadap kitab tertentu dan
klaim kebenaran.
ii. Agama yang memiliki kitab suci bukan cuma satu agama tapi banyak agama dan
masing orang-orang yang memeluk agama yang berbeda sama-sama mengklaim bahwa
merekalah pemilik kebenaran, pertanyaan kemudian, mungkinkah agama-agama itu bila
sekiranya mengandung nilai kebenaran akan terjadi hal yang sifatnya kontradiksi, dan
kalau memang mereka sama-sama meyakini kebenaran agama mereka dan kitab suci
mereka, lalu kenapa mesti terjadi pengkafiran bahkan pembantaian, bahkan dalam
sejarah keagamaan di dunia ini telah meninggalkan duka hitam yang sangat besar
kepada ummat manusia, karena ratusan juta manusia telah menjadi korban pertikaian
dan peperangan antar agama, yang sama-sama mengklaim pewaris kebenaran.
Dari dua problem diatas dan beberapa pertanyaan untuk mazhab skriptualisme,
akan mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa ayat-ayat dan kitab suci
bukanlah landasan penilaian dalam mengambil kesimpulan, akan tetapi Al-Quran
ditempatkan sebagai data-data yang sifatnya metafisika dimana penelitian yang sifatnya
emperikal tidak mampu menelitinya.
c) Madzhab Liberalisme
Kata liberal berasal dari bahasa asing (Inggris) yang berarti bebas, tidak picik
(pikiran). Kemudian kata liberal ini telah menjadi kata baku bahasa Indonesia yang
mengandung arti Pandangan bebas, luas dan terbuka. Menurut Arkoun, secara
terminology mazhab liberalisme adalah aliran hukum yang sangat menekankan
penggunaan rasio (akal). Aliran ini tak terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha
menangkap makna hakikinya, makna ini dianggap sebagai ruh agama Islam, tema
umum Islam (maqashid al-syariah). Dengan arti kata bahwa mazhab ini berusaha
mendobrak kebekuan pemikiran Islam, seklaigus merupakan fiqh baru yang dapat
menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Mereka meninggalkan
makna lahir dari teks untuk menemukan makna dari dalam konteks.
Sejarah munculnya mazhab liberal ini dapat dilacak pada mazhab ahl al-ray di
kalangan sahabat nabi, dua cara yang dilakukan para sahabat yang melahirkan dua
mazhab besar di kalangan sahabat-sahabat Alawi dan mazhab Umari yang akhirnya
mewariskan kepada kita sebagai Syiah dan ahl Sunnah. Mazhab fiqh liberalisme sering
diidentikkan dengan rasionalisme yaitu aliran Mutazilah dan Syiah. Dimana mazhab
ini lebih menekankan rasio (akal) dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Aliran ini tidak terikat dengan bunyi teks, melainkan berusaha menangkap makna
hakikinya, maka peranan akal dalam ijtihad sangat dominan. Perbedaannya bahwa
rasional dalam fiqh adalah suatu pemikiran yang ada hubungannya dengan nash-nash,
namun apabila tidak ada hubungannya maka tidak disebut rasional tetapi liberal.
Akar-Akar Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga
awal abad ke-19, ketika apa yang disebut gerakan kebangkitan (harakah al-nahdhah)
di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Pada awalnya, kecenderungan
liberalisme tokoh-tokoh pembaharu Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat
pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap
keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim
pada meminjam istilah Albert Hourani masa-masa liberal (liberal age) itu adalah
pembebasan dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi
ini terus berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika
sebagian besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi
kedua, proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan
menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh
awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab,
Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifaat Rafi al-
Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak
lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta
membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna.
Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respons dari masyarakat Muslim, tapi
sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal
ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaharu Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini
bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shlih li kulli
zamn wa makn). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk
dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan dalam beberapa hal nilai-nilai Barat. Jika
terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus
dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali
ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.

Anda mungkin juga menyukai