Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN HUKUM CALO TIKET

BERDASARKAN HUKUM ISLAM

Tugas ini disusun untuk memenuhi ujian akhir semester 3


mata kuliah Fiqh Muamalah II
yang diampu oleh :
Dr. Suwandi, M.H.

Oleh :

Izza Maulidha Sapta Ning Wahyu (18220092)

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah “Calo Tiket” bukan lagi suatu hal yang asing ditengah-tengah

masyarakat, khususnya dikalangan para pemuda, terutama bagi mereka yang

menyukai travelling, pertunjukan dan sejenisnya. Ada yang senang dengan

keberadaan calo karena calo menyediakan tiket yang sudah sold out ataupun

yang benar-benar dibutuhkan pada waktu tertentu. Namun, tak sedikit orang

yang kesal dan marah dengan perbuatan calo ‘nakal’ yang kemudian menipu

para pembeli tiket dengan memberikan tiket palsu.

Dari statement diatas, dapat diketahui bahwasannya terdapat dua pihak

yang saling bertentangan mengenai kehadiran calo tiket ini. Pihak pertama

adalah mereka yang merasa diuntungkan dengan kehadiran calo tiket. Pihak

kedua adalah mereka yang merasa dirugikan. Entah karena harga yang pastinya

lebih mahal dari harga pada umumnya, atau karena adanya unsur penipuan

karena ada calo yang justru menjual tiket palsu sehingga ada pihak yang

dirugikan.

Oleh karenanya, penulis tertarik untuk melakukan studi kasus atas

permasalahan diatas dengan mengangkat judul “Tinjauan Hukum Calo Tiket

Berdasarkan Hukum Islam” sebagai bahan permasalahan yang akan dikaji

lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum calo tiket berdasarkan hukum islam?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui hukum calo tiket berdasarkan hukum islam.

1.4 Kajian Teori

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Calo adalah

orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan

sesuatu berdasarkan upah. Dalam bahasa Arab, calo sering disebut dengan

simsarah.1

Calo adalah pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat, karena ada

sebagian masyarakat yang sibuk sehingga mereka tidak bisa mencari sendiri

barang yang dibutuhkan, maka dia memerlukan calo untuk mencarikannya.

Sebaliknya, sebagian masyarakat yang lain, ada yang mempunyai barang

dagangan tetapi tidak tau cara menjualnya, maka dia membutuhkan calo untuk

memasarkan dan menjualkan barangnya.2

Mahmud shaltut mengatakan: “percaloan merupakan upaya

memperantarai pihak penjual dan pembeli agar penjual dimudahkan mendapat

pembeli”.

1
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA, tersedia di Copyright © 2011 www.ahmadzain.com,
(Bekasi, 9 Shofar 1434/ 23 Desember 2012), diambil tanggal 3 Desember 2019.
2
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA, Op.Cit.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hukum Calo Tiket Berdasarkan Hukum Islam

Berdasarkan kajian teori sebelumnya yang menjelaskan bahwasannya

yang dimaksud dengan calo adalah “upaya memperantarai pihak penjual dan

pembeli agar penjual dimudahkan mendapat pembeli” maka, sebelum

melangkah lebih jauh dalam pembahasan mengenai hukum calo tiket

berdasarkan hukum islam, terlebuh dahulu kita harus mengetahui mengenai

hukum menjadi perantara dalam sebuah jual beli dalam islam itu sendiri.

A. Hukum Menjadi Perantara dalam Jual Beli

Pada dasarnya syariat Islam tidak mengharamkan orang menjadi

perantara dalam jual-beli. Praktek menjadi perantara ini disebut dengan istilah

simsarah, dan orang yang jadi perantara disebut simsar.

Secara langsung Nabi SAW pernah meminta kepada salah seorang

shahabatnya untuk membelikan seekor kambing. Dan shahabat itu

mendapatkan semacam keuntungan dari selisih harga, sebagaimana yang

tertuang di dalam hadits berikut ini.

. ‫َار َوأَتَاهُ بِاألُ ْخ َرى‬


ٍ ‫َار يَ ْشت َِري لَهُ أُضْ ِحيَّةً فَا ْشتَ َرى لَهُ ْاثنَتَ ْي ِن فَبَا َع َوا ِح َدةً بِ ِد ْين‬ َّ ِ‫ارقِ ّي أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي َب َع‬
ٍ ‫ث َم َعهُ بِ ِد ْين‬ ِ َ‫ع َْن عُرْ َوةَ الب‬

َ َ‫فَ َدعَالَهُ بِالبَ َر َك ِة فِي بَ ْي ِع ِه فَكاَنَ لَ ِو ا ْشتَ َرى التُّرا‬


‫ب لَ ِربَ َح فِ ْي ِه‬

Dari 'Urwah al-Bariqi bahwa Nabi SAW memberinya satu dinar untuk

dibelikan seekor kambing. Maka dibelikannya dua ekor kambing dengan uang satu

dinar tersebut, kemudian dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu
ia datang kepada Nabi SAW dengan seekor kambing. Kemudian beliau SAW

mendoakan semoga jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu

dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula. (HR. Ahmad dan At-tirmizy)

Urwah Al-Bariqi adalah salah seorang shahabat yang pandai dalam

berdagang. Dia mampu membeli sesuatu dengan harga yang murah, dan bisa

menjualnya dengan harga yang mahal, sehingga dia mendapat selisihnya

sebagai keuntungan. Walau pun pada hakikatnya uang yang digunakan itu

bukan uangnya sendiri, melainkan uang dari Rasulullah SAW.

Fatwa terkait hukum perantara ini oleh kebanyakan ulama diambil dari

penjelasan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, yaitu Bab Upah Untuk

Samsarah. Dan menurut beliau, para ulama umumnya membolehkan praktek

sebagai perantara antara penjual dengan pembeli.

Ibnu Abbas radhiyallahuanhu diriwayatkan membolehkan bagi pemilik

barang berkata kepada pihak yang menjadi perantara,"Jualkan barangku ini,

bila kamu berhasil menjualnya di atas harta tertentu, silahkan kamu ambil

lebihnya".

Al-Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang hukum perantara

jual-beli yang mendapatkan keuntungan, beliau menjawab:

َ ْ‫الَ بَأ‬
َ‫س ِب َذلِك‬

“Tidak mengapa dengan keuntungan perantara”


Ibnu Sirin mengatakan bila seorang pemilik barang berkata kepada

perantara, “jualkan barang ini dengan harta sekian. Kalau ada untungnya maka

ambillah untukmu".

Yang juga berpendapat bahwa praktek perantara seperti ini boleh antara

lain Atha', Ibrahim dan Al-Hasan.

B. Perantara yang Diharamkan dalam Calo Tiket

Letak titik haramnya percaloan tiket baik untuk tiket pesawat, kereta

api atau lainnya adalah pada hilangnya tiket karena diborong dan dikuasai para

calo. Jadi titik masalahnya bukan karena sekedar menjadi perantara.

Seandainya yang dilakukan para calo tiket itu tidak sampai membuat

konsumen kehilangan haknya dari mendapat tiket dengan harga asli di loket,

maka sebenarnya menarik untung dari menjual tiket itu bisa dibenarkan,

sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya agen-agen perjalanan (travel

agent) yang resmi.

Para calo memborong habis semua tiket yang dijual di loket, lalu

menjual kepada calon penumpang dengan harga yang sudah dilipat-duakan.

Kalau pun disisakan, biasanya hanya sedikit sekali. Sehingga hampir sebagian

besar calon penumpang dibuat terpaksa beli tiket dari calo.

Kadang perbuatan tidak terpuji ini dilakukan dengan bekerja sama

dengan 'orang dalam', yang tentunya atas sepengetahuan pimpinannnya.

Namun pemimpin stasiun atau terminal biasanya membiarkan saja, barangkali

karena juga ikut menikmati hasilnya, atau pun karena tidak mampu
berhadapan dengan para backing para calo yang biasanya orang yang sangat

berpengaruh.

Berdasarkan penjelasan diatas mengenai hukum menjadi perantara dalam

jual beli dan perantara yang diharamkan dalam calo tiket, Atas dasar kebutuhan

akan jasa calo dan karena hukum asal muamalat adalah mubah selama tidak

terdapat larangan, maka profesi calo dibenarkan dalam Islam serta upah yang

mereka dapatkan hukumnya halal.

Kebolehan hukum calo telah dijelaskan oleh para ulama : Imam Bukhari

(wafat 256H) berkata : “Bab : Upah calo. Ibnu Sirrin, Atha, Ibrahim An-Nakha’i,

Hasan Al-Bashri membolehkan upah calo … dan Ibnu Abas."

An-Nawawi (ulama mazhab Syafi’i wafat : 676H) berkata : “Upah calo

dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya. An-

Najdy (ulama mazhab Hanbali wafat : 1392H) berkata : “Upah calo dibayar oleh

pemilk barang, ini adalah kebiasaan yang berlaku di pasar”.

Namun realita di zaman modern di mana para calo tersebut jauh dari

mengenal tuntutan syariat dalam menjalankan profesinya, sering kali mereka

melakukan pelanggaran. Hal ini berdampak terhadap rusaknya citra para calo dan

terciptalah citra bahwa calo identik dengan sikap pemaksaan serta penipuan,

termasuk calo tiket di terminal, pelabuhan dan bandara.

Berikut ini beberapa pelanggaran yang kerap dipraktekkan oleh para calo

tiket.3

1. Pemaksaan terhadap calon penumpang agar membeli tiket


3
Dr. Fahd Al Hamud, Rtaj al Muamalat, (Surabaya: Rajawali Press), 1999, hal: 171
Sudah menjadi pemandangan umum di beberapa terminal bis antar

kota pada musim liburan para calo perusahaan bis berkerumun mendekati

orang yang membawa tas koper yang diperkirakan akan menggunakan

salah satu jasa angkutan.

Mulai dari menanyakan tujuan perjalanan hingga terkadang

menarik-narik barang bawaan calon penumpang dan memaksanya untuk

menggunakan jasa angkutan mereka.

Bila ini yang terjadi, calon penumpang membeli tiket perusahaan

angkutan tersebut dalam keadaan setengah terpaksa maka sesungguhnya

akad jual-beli tiket tidak sah, karena ada unsur pemaksaan, serta upah yang

didapatkan calo dari usahanya tersebut tidak halal.

Berdasarkan firman Allah.

ْ
ٍ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْالبَا ِط ِل إِاَّل أَن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً عَن تَ َر‬
‫اض ِّمن ُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku suka sama suka di antara kamu” [An-Nisaa : 29]

Maksud suka sama suka dalam ayat diatas tidak ada unsur

pemaksaan dari salah satu pihak. Dan bila terdapat unsur pemaksaan, uang

hasil imbalan barang dan jasa termasuk memakan harta orang lain dengan

jalan yag batil.

2. Tidak jujur dalam memberikan informasi fasilitas jasa angkutan.


Selain setengah memaksa calon penumpang secara fisik, seringkali

calo tidak jujur memberikan informasi kepada calon penumpang, seperti ;

calo saat ditanya tentang jam keberangkatan ia menginformasikan bis akan

berangkat sekarang, padahal ia tahu bahwa bis baru berangkat setelah dua

jam kemudian.

Tindakan calo ini merupakan ghissy (penipuan) dalam akad dan

hukumnya haram, bahkan sebagian ahli fiqh menempatkan ghissy dalam

deretan dosa besar, dengan alasan termasuk memakan harta orang lain

dengan cara yang batil.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. : “Siapa yang

melakukan ghissy (penipuan) dalam akad, tidaklah ia termasuk umatku”

[HR Muslim]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. :

‫ك لَهُ َمافِي بَ ْي ِع ِه َما َوإِ ْن َك َذبَا َو َكتَ َما فَ َع َسى أَ ْن يَرْ بَ َحا ِر ْبحًا َويُ ْم َحقَا بَ َر َكةَ بَي ِْع ِه َما‬ َ َ‫ص َدق‬
ِ ‫اوبَيَّنَا ب‬
َ ‫ُور‬ َ ‫فَإ ِ ْن‬

“Jika penjual dan pembeli jujur serta menjelaskan cacat barang/jasa niscaya

akad jual-beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta serta

menyembunyikan cacat barang/jasa dihapus keberkahan dari akad jual-beli

mereka” [HR Bukhari dan Muslim]

Ada juga calo tiket jenis lain, yaitu calo tiket kereta api dan

pesawat terbang. Mereka membeli ticket sebanyak mungkin sebelum

musim liburan. Pada saat jatuh temponya mereka berkeliaran di setasiun

dan bandara untuk menjual ticket.


 Pelanggaran kaidah muamalat yang sering dilanggar oleh calo

jenis ini, diantaranya:4

a. Tindakan calo dengan memborong tiket angkutan umum

termasuk bagian dari ihtikar.

Ihtikar adalah membeli sesuatu dengan tujuan

menimbunnya, tindakan ini tentu menyebabkan harga menjadi

naik dan pada saat itu penimbun menjualnya dengan harga

sesukanya, karena pembeli dalam keadaan sangat membutuhkan

barang tersebut ia terdesak untuk membelinya.

Ini yang dilakukan oleh calo tiket, ia membeli tiket

sebanyak mungkin dengan berbagai cara, kemudian menjualnya

lebih tinggi dari harga resmi yang dijual oleh perusahaan pemberi

jasa. Karena pada puncak musim liburan tiket biasanya langka

dan orang-orang sangat butuh untuk bepergian, kesempatan ini

dimanfaatkan oleh calo.

Ihtikar diharamkan Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda :

‫َم ْن احتَ َك َر فَهُ َو َخا ِطى ٌء‬

“Orang yang membeli barang dengan tujuan menimbunnya adalah

orang yang berdosa” [HR Muslim]

b. Harga tiket yang ditawarkan sangat tinggi


4
Ibid., hal: 212
Biasanya calo ini menawarkan harga tiket jauh di atas harga

resmi yang dijual oleh perusahaan. Karena pada saat itu tiket sudah

habis, maka calon penummpang bersedia membelinya, sekalipun

mereka tahu bahwa mereka tertipu.

Sebetulnya, Islam membolehkan seorang penjual

mengambil laba sekalipun mencapai 100% atau bahkan lebih.

Seperti dalam kasus yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa

Rasulullah Shallallahu wa sallam memberikan uang 1dinar kepada

Urwah agar ia membelikan seekor kambing untuk Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia mendatangi para pedagang

yang membawa kambing untuk dijual di pasar. Ia menawarnya dan

mendapatkan 2 ekor kambing. Dalam perjalanan menuju

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seseorang yang

menawar seekor kambing seharga 1dinar maka iapun menjualnnya,

lalu memberikan kepada Nabi 1 dinar ditambah 1 ekor kambing.

Akan tetapi bila laba yang tinggi disebabkan karena ihtikar yag

diakukan oleh pedagang maka laba yang didapatkannya tidak halal.

Oleh karena itu berbeda kasusnya jika seseorang membeli

tiket kereta api, kemudian ia berhalangan untuk berangkat dan

menjual tiketnya dengan harga melebihi harga resmi, halalnya

baginya mendapatkan laba tersebut, karena kenaikan harga bukan

hasil ihtikar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

calo hukumnya halal bila ia tidak melakukan larangan-larangan, seperti;

memaksa pembeli, tidak jujur memberikan informasi, ihtikar dan menarik

laba yang tinggi.

Karena jasa calo berkaitan dengan hajat orang banyak sudah

selayaknya pihak berwenang dalam hal ini dinas perhubungan untuk

menertibkan mereka, sebagaimana dahulu dilakukan Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam memeriksa secara langsung onggokan gandum seorang

pedagang di pasar Madinah yang ternyata bagian bawahnya tidak layak

jual.

Dan bila menemukan kasus ihtkar calo tiket, hendaklah pihak

berwenang memaksa mereka menjualnya dengan harga normal agar tidak

mendatangkan mudharat bagi khalayak ramai.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “ Terkadang

kenaikan harga barang disebabkan oleh tindakan penimbunan barang oleh

para pedagang …. Pada saat itu pihak berwenang wajib mematok harga

dan memaksa para penimbun menjual barangnya dengan harga normal

ditambah laba yang masuk akal …. Agar mereka tidak dianiaya dan orang

banyakpun tidak teraniaya” 5

5
Hasyiyah Ar Raudhul Murbi, hal: 318
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada dasarnya calo hukumnya halal bila ia tidak melakukan larangan-

larangan, seperti; memaksa pembeli, tidak jujur memberikan informasi, ihtikar

dan menarik laba yang tinggi.

Karena jasa calo berkaitan dengan hajat orang banyak sudah selayaknya

pihak berwenang dalam hal ini dinas perhubungan untuk menertibkan mereka,

sebagaimana dahulu dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa

secara langsung onggokan gandum seorang pedagang di pasar Madinah yang

ternyata bagian bawahnya tidak layak jual.

Dan bila menemukan kasus ihtkar calo tiket, hendaklah pihak

berwenang memaksa mereka menjualnya dengan harga normal agar tidak

mendatangkan mudharat bagi khalayak ramai.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “ Terkadang kenaikan

harga barang disebabkan oleh tindakan penimbunan barang oleh para pedagang

…. Pada saat itu pihak berwenang wajib mematok harga dan memaksa para

penimbun menjual barangnya dengan harga normal ditambah laba yang masuk

akal …. Agar mereka tidak dianiaya dan orang banyakpun tidak teraniaya”

Anda mungkin juga menyukai