Anda di halaman 1dari 16

KONSEP DAN MAKNA ETIKA

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Etika Profesi Hukum”

Dosen Pengampu:

Mohammad Roqib, SH,I. M.H.

Disusun oleh:

Elok Rif‟iyatul Faiqoh (C02217012)

Aprillia Shela Audry (C92217123)

Indir Firdana (C92217143)

Miftakul Rukjida (C92217149)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberi kemudahan
dan kelancaran, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Konsep dan
Makna Etika”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad
SAW yang telah membimbing kita dari zaman Jahiliah menuju zaman yang penuh ilmu
pengetahuan.
Dalam hal ini kami juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Mohammad Roqib,
SH,I. M.H. sebagai dosen pengampu mata kuliah Etika Profesi Hukum serta teman-teman
yang telah mendukung untuk menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulisan makalah ini telah kami lakukan dengan maksimal. Kami memohon maaf
jikalau masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam makalah ini. Semoga makalah ini
memberi manfaat bagi para pembaca.

Surabaya, 18 Februari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 4

C. Tujuan.......................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 5

A. Pengertian Dan Perbedaan Etika, Moral, Dan Akhlak ......................................... 5

a. Pengertian etika, moral dan akhlak ............................................................................. 5

b. Perbedaan etika, moral dan akhlak .............................................................................. 7

B. Etika Menurut Ahli Filsafat ..................................................................................... 8

C. Perkembangan Makna Etika ................................................................................... 9

a. Pemikiran Klasik ......................................................................................................... 9

b. Pemikiran Modern ..................................................................................................... 11

c. Pemikiran Post-Modern............................................................................................. 12

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Identitas seseorang yang berprofesi sebagai penegak hukum tentunya memiliki
keistimewaan tersendiri. Ia merupakan contoh dan cerminan untuk masyarakat yang
dapat dikatakan sebagai pengguna jasa penegak hukum. Tentunya sebagai penegak
hukum harus memiliki etika yang baik. Selain cerminan untuk masyarakat etika para
penegak hukum adalah salah satu tolak ukur keadaan hukum dalam suatu negara.
Tidak menutup kemungkinan banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran mengenai etika
dari penegak hukum. Hal tersebut sangat disayangkan karena dapat mengurangi
tingkat kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa penegak hukum.
Selain etika, penegak hukum juga harus memiliki moral dan akhlak yang baik.
Tiga kata tersebut jika dibaca dalam sekilas seperti memiliki kesamaan arti. Akan
tetapi apabila dianalisis kembali melalui pendapat-pendapat para tokoh yang
mencetuskan akan diperoleh perbedaan-perbedaan. Dan hal tersebut harus dipahami
setiap orang yang memiliki profesi sebagai penegak hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan perbedaan etika, moral, serta akhlak?
2. Bagaimana pengertian etika menurut ahli filsafat?
3. Bagaimana perkembangan makna etika?

C. Tujuan
1. Mengetatahui pengertian dan perbedaan etika, moral serta akhlak.
2. Mengetahui pengertian etika menurut ahli filsafat.
3. Mengetahui perkembangan makna etika.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Perbedaan Etika, Moral, Dan Akhlak

a. Pengertian etika, moral dan akhlak


1) Etika
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral. Dalam kaitannya dengan kata etika tersebut, Bartens menjelaskan etika
berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal yang berarti
adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah
ta etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah etika
yang oleh filusuf Yunani, Arsitoteles (384-322 BC) sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral.1
Etika secara terminologi dapat difahami dengan merujuk pada beberapa
definisi yaitu:
a. Websters Dictionary, etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia,
prinsip-prinsip yang diprioritaskannya tentang tindakan moral atau prilaku
yang benar.
b. New American Enry menyatakan, bahwa etika adalah ilmu tentang filsafat
moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat
tindakan-tindakan manusia, tetapi tentang idenya, karena ia bukan ilmu
yang positif tetapi ilmu yang normatif.
c. A.S Hornnby Dictionary menyatakan, bahwa etika adalah ilmu tentang
moral atau prinsip-prinsip kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan
perbuatan.
d. Ensiklopedi Winkler Prins menyatakan bahwa etika adalah bagian filsafat
yang memperkembangkan teori tentang tindakan, dalil-dalilnya, dan
tujuannya yang diarahkan kepada makna tindakan.2

1
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.7
2
Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm.210-211

5
2) Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moral memiliki arti (1) ajaran
tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
akhlak, budi pekerti, susila; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap
berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan.3
Istilah “moral” berasal dari bahasa Latin mores, jamak dari mos yang
berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan
“susila”. Jadi, yang dimaksud dengan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan dan perbuatan manusia, mana yang baik dan
wajar. Dengan kata lain, nilai moral sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan
yang mana masyarakat umum bisa menerima dan bisa mencakup kesatuan
sosial atau lingkungan tertentu yang bersifat lokal.4
Dari pengertian moral tadi, pada prinsipnya moral merupakan alat
penuntun, pedoman sekaligus alat kontrol yang paling ampuh dalam
mengarahkan kehindupan manusia.
3) Akhlak
Secara bahasa, perkataan akhlak diambil dari bahasa Arab, bentuk jamak
dari kata “‫( ”خلق‬khuluqun) yang berarti budi pekerti, watak, tingkah laku atau
tabiat. Dan secara terminologi, akhlak adalah sebuah sistem yang lengkap yang
terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat
seseorang menjadi istimewa.
Prespektif Ibnu Miskawih mendefinisikan bahwa Akhlak merupakan suatu
hal atau situasi kajiwaan yang mendorong seseorang melakukan suatu perbuatan
dengan senang, tanpa berpikir dan perencanaan dan definisi ini hampir sama
dengan pendapat yang dilontarkan Ibrahim Anis yaitu Akhlak ialah sifat yang
terpatri dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan atau
usaha, baik atau buruknya perbuatan, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan. Sedangkan definisi menurut Imam Al Ghazali yaitu Akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang menimbulkan berbagai
macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan.

3
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.12
4
Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm.211

6
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi Akhlak merupakan suatu sistem
yang melekat pada diri seseorang yang menjadikan seseorang itu menjadi
manusia istimewa dari manusia lainnya, lalu menjadi sifat pada diri seseorang
tersebut. Berdasarkan pada berbagai definisi tadi, Akhlak menjadi suatu disiplin
ilmu yang harus dipelajari dan dilakukan serta diaplikasikan dalam semua
tindakan dan aktivitas.5
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi dari ketiga hal itu hampir sama.
Etika adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk dan yang menjadi
tolak ukurnya adalah akal. Sedangkan, moral itu hampir sama tetapi tolak
ukurnya itu bersifat lokal atau dinilai dari adat kebiasaan di daerah tersebut.
SedangkanAkhlak adalah tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Dan dapat
dikatakan juga bahwa akhlak, etika dan moral adalah sama yaitu ajaran tentang
baik dan buruk berkaitan dengan sikap hidup manusia.
Etika, moral dan akhlak juga bukan merupakan faktor keturunan yang
bersifat tetap, statis dan konstan tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki
setiap orang. Untuk mengembangkannya diperlukan pendidikan, kebiasaan,
keteladanan, serta dukungan lingkungan mulai dari keluarga, sekolah dan
masyarakat secara terus menerus.

b. Perbedaan etika, moral dan akhlak


Secara sederhana, perbedaannya adalah terletak pada sumbernya yang
dijadikan acuan atau patokan dalam menentukan baik atau buruknya sesuatu yaitu:
 Pada etika penilaian baik buruk didasari oleh pendapat akal pikiran karena etika
merupakan bagian dari filsafat, yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan
hati nurani serta etika ini lebih bersifat toritis dan umum.
 Pada moral berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku secara umum di masyarakat
atau adat istiadat yang berlaku di masyarakat serta moral ini bersifat praktis dan
lokal atau khusus,
 Pada akhlak, penilaian baik dan buruk menurut atau bersumber dari Al-quran dan
al-hadis, sertabersifat universal dan komprehensif dan mencakup aspek lahir dan
batin.

5
Ibid, hlm.206-209

7
Jadi dapat disimpulkan bahwa Akhlak itu menjadi sumber tingkah laku,
ukuran baik buruknya perbuatan yang didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Sedangkan moral dan etika memandang bahwa sesuatu itu baik, belum tentu baik
dipandang menurut wahyu. Demikian pula sebaliknya, etika dan moral memandang
sesuatu itu buruk, belum tentu akhlak memandang buruk.6

B. Etika Menurut Ahli Filsafat


1) William K. Frankena
Frankena memaknai etika sebagai berfikir falsafi tentang moralitas.
Menurutnya ada tiga jenis berfikir falsafi tentang moralitas manusia yaitu: (1)
Berfikir falsafi sebagai penyelidikan empirik-deskriptif atas fakta moral (perilaku
manusia), untuk menjelaskan fenomena atau gejala-gejala moral. (2) Berpikir
normative, pemikiran model ini mengarah pada norma atau nilai moral, hasil dari
pemikiran ini selalu berbentuk penegasan teks atas keputusan moral. (3) Berpikir
analitis, kritis, dan metaetis, model pemikiran ini berupaya untuk
membertanyakan atau menjawab setiap pertanyaan logis, epistimologis, dan
semantik7.
2) K. Berten
Menurut K. Berten etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu Ethos
yang artinya tempat tinggal, kebiasaan atau adat, cara berfikir, sikap. Secara
umum etika sebagai ilmu tentang adat kebiasaan manusia dan sebagai ilmu
tentang apa yang biasa kita lakukan.
3) Prof. DR. Franz Magnis Suseno
Etika adalah ilmu yang mencari orientasi yang memberikan arah,
pandangan, serta pijakan pada tindakan manusia. Apabila manusia memiliki
orientasi yang jelas, maka mereka tidak akan hidup dengan cara asal-asalan atau
ikut-ikutan pihak lain, sehingga mereka sanggup menentukan nasibnya sendiri.
Dengan demikian etika dapat membantu manusia untuk bertanggungjawab atas
kehidupannya8.

6
bid, hlm.212
7
L. Sinour Yosephus, Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm 28-29.
8
Alfonsus Sutarno, Etiket: Kiat Serasi Berelasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm 10-11.

8
Dari pengertian-pengertian tersebut pengertian etika dapat dirumuskan
menjadi tiga yaitu: (1) etika merupakan sistem nilai atau norma moral yang
menjadi pegangan hidup manusia dalam mengatur tingkah lakunya. (2) Etika
adalah kumpulan asas-asas moral atau semacam kode etik. (3) Etika merupakan
ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan yang buruk.

C. Perkembangan Makna Etika


Etika secara terminologis berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang
berarti “custom” atau kebiasaan yang berkaitan dengan tindakan atau tingkah laku
manusia, atau juga bisa diartikan “karakter” manusia. Ethos memiliki makna suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi miliknya. sama dengan Moral,
moral berasal dari bahasa Latin yaitu “Mores” yang memiliki kesamaan arti dengan
etika9. Perkembangan makna etika dibagi menjadi tiga periode yaitu:

a. Pemikiran Klasik
Pemikiran klasik berkembang pada awal masa Sokrates di Yunani sebelum
Masehi dan beberapa abad awal Masehi. Corak yang sering dinyatakan adalah
pada masa pra-filsafat adalah fase mitos, sementara fase pencerahan filsafat adalah
fase logos atau ilmu pengetahuan. Pada masa itu, orang-orang juga memiliki
pandangan hidup, cara hidup, pola pikir, dan konsepsi sendiri mengenai kebaikan,
yang menjadi diskusi bagi para kaum cendekia di masyarakat.
Dalam pemikiran klasik dapat dikatakan bercorak eudaemonistik, dalam
istilah asing yang artinya memfokuskan tujuan hidup pada pencapaian kualitas
kebahagiaan tertentu. Kebahagiaan merupakan nilai utama yang berharga dan
ingin dicapai oleh semua orang. Sehingga setiap orang semestinya mengarahkan
segala tindakannya menuju pada kondisi kebahagiaan tersebut.
Pemikiran klasik juga bercorak teleologis. Istilah ini berasal darika kata
“telos” yang berarti suatu yang ingin dicari pada masa depan. Hal ini wajar, sebab
setiap orang tentu ingin mencari sesuatu dalam hidupnya.10 Pemikiran etika yang
muncul pada masa klasik adalah:
1) Etika Hedonisme

9
Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, (Yogyakarta: PT
Kanisius, 2017), hlm 3.
10
M. Nur Praboro S. dan Albar Adetary Hasibuan, Pengantar Studi Etika Kontemporer Teoritis dan terapan,
Malang: Tim UB Press, 2017. Hal. 21-26

9
Pemikiran etika hedonisme berasal dari bahasa yunani “hedone” yang berarti
kesenangan. Cikal bakal aliran ini adalah para kaum cendekia dan cyrene.
Pemikiran ini merupakan salah satu pemikiran filsafat Yunani abad ke-4.
Etika hedonism berpandangan bahwa sesuatu barang dianggap bernilai
apabila barang tersebut mengandung nilai yang menyenangkan, memberikan
kepuasan dan kesenangan bagi orang yang memilikinya. Kualitas tersebut
sekaligus menjadi kriteria dianggap baik. Sebaliknya suatu barang akan dianggap
tidak bernnilai, jika barang tersebut memberikan ketidaksenangan dan
memberikan kesedihan bagi orang yang memilikinya.
Kriteria tersebut tidak hanya berlaku pada barang-barang yang bersifat
material yang bersifat non-material dan bersifat mental adalah keburukan, dan
menjadi sumber bagi perasaan kesedihan. Contohnya adalah kematian, kegilaan,
dan lain-lain. Sebaliknya pengalaman yang menjadi sumber bagi perasaan
senang, seperti rekreasi, fantasi, ekstase. Pengalaman mental yang menyenangkan
tentunya akan dianggap baik dan dengan sendirinya menjadi berharga. 11
2) Etika Kebajikan
Jika dalam pemikiran etika hedonisme nilai yang paling berharga adalah
kesenagan semata. Beda halnya dengan pandangan para cendekia sokratik,
pertama-tama yang dicari bukan kesenangan melainkan adalah suatu kebajikan.
Nilai-nilai yang dipegang dalam kebajikan diantaranya seperti kebenaran,
keadilan, kebijaksanaan dan lain-lain.
Menurut pandangan sokratik kebaikan yang utama tidak dapat direduksi
hanya sekedar dengan kesenangan. Pandangan tersebut merupakan suatu
kesalahan etis. Kebaikan reduktif semacam itu harus dikoreksi dengan memahami
kembali hakikat kebaikan. Pada dasarnya pengendalian nafsu kejiwaan. Hasrat-
hasrat dan nafsu kita semestinya tidak kita arahkan pada benda-benda material
rendahan yang kita anggap berharga sebagaimana asumsi hedonistik, melainkan
kepada kebaikan-kebaikan yang hakikatnya yang ideal. Jadi kebaikan yang lebih
tinggi itulah sumber bagi kebaikan yang lain. Pandangan yang baik itulah yang
akan membentuk watak dan karakter kita sebagai manusia yang utama. 12

11
M. Nur Prabowo S. dan Albar Adetary Hasibuan, Pengantar Studi Etika Kontemporer Teoritis dan terapan,
Malang: Tim UB Press, 2017. Hal 23-25
12
Ibid, 28-29

10
b. Pemikiran Modern
Dalam pemikiran modern ini biasanya didefinisikan sebagai masa-masa
setelah berlalunya Abad pertengahan di Eropa sejak abad ke-17. Pada masa ini
ditandai dengan perubahan besar dalam berbagai bidang kehidupan; sosial, politik,
ekonomi, keagamaan, terutama dibidang pengetahuan. Periode yang disebut juga
sebagai abad pencerahan dan rasionalisasi disegala bidang ini juga membawa
perubahan juga terhadap asumsi, persepsi, dan problem terkait moralitas
kehidupan. Pemikiran modern mengacu pada dua pendekatan utama:
1) Etika Utilitarianisme
Bagi aliran utilitarianisme, tindakan moral pertama-tama harus didasarkan
adalah pada rasionalitas dan universalitasnya. Utilitarianisme memberikan alasan-
alasan yang rasional, bukan putusan moral pada dialog dan argumentasi.
Sehingga orang dapat memilih dari segi yang relevan, baru ia akan mengambil
keputusan. Dan karena prespektifnya universal, wawasannya bersifat sosial.
Utilitarianisme menciptakan suasana pertanggungjawaban, karena yang menjadi
nilai moral utama bukanlah akibat-akibat baik bagi si pelaku saja, melainkan
adalah akibat baik bagi seluruh dunia. Utilitarianisme menuntut terhadap
kepentingan untuk semua orang yang terpengaruh oleh akibat tindakan tersebut,
termasuk kepentingan si pelaku tersebut.13
2) Etika Deontologi
Pemikiran moral yang berbasis „intuisi moral‟ tentang kewajiban. Pemikiran
ini berasumsi bahwa moralitas bukanlah mempersoalkan bagaimana seseorang
menjalankan kehidupannya, melainkan tentang tindakan mana yang benar dan
mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, prinsip ini
didasarkan pada prinsip universal tertentu. Dalam prinsip universal intuitif ini
berlaku ketik seseorang memilih melakukan tindakan tertentu, maka ia
seyogyanya mempertimbangkan berdasarkan suara hati nurani sendiri tentang;
bagaimana apabila seluruh manusia melakukan tindakan yang serupa dengan
tindakannya, dan lain-lain. Dengan demikian, dengan menggunakan suara hati
yang universal, maka tindakan tersebut menjadi wajib dilakukan. Sesuatu

13
Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: KANISIUS,
1995), hlm, 124-125

11
tindakan wajib itu akan bernilai baik, apabila jika dilakukan orang lain juga
bernilai baik.14

c. Pemikiran Post-Modern
Pemikiran klasik sering disebut sebagai pemikiran pra modern, dan
pemikiran pasca modern disebut sebagai postmodernisme. Periode post-modern
terjadi sejak tahun 1960-an, sengan corak pemikiran baru dalam bidang seni,
arsitektur, bahasa, moral, dan filsafat yang tersebar dari Perancis ke Inggris,
Jerman dan Amerika.
Postmodernisme merupakan respon terhadap segala bentuk pemikiran
modern yang dianggap telah „gagal‟ beserta implikasi dalam sejarah. Dalam
pemikiran etis postmodernisme terdapat dua macam respon yang diasosiasikan.
Pertama respon yang dikemukakan oleh Emanuel Levinas (1906-1995).
Selanjutnya respon yang lebih kontruktif terhadap etika modern adalah dari Jurgen
Harbemas, dengan moralitas berbasis tindakan komunikatif. Sedangkan didalam
tradisi keagamaan, gerakan kontekstualisme etika hukum agama yang dibawa oleh
Abdullah Saeed.
1) Etika Postmodernisme: Etika Berbasis Alteritas
Etika postmodernisme bisa disebut dengan respon terhadap pertimbangan
tradisional dan pengalaman etis primordial, yang menjadi corak sistem moral
masyarakat modern, yang bisa sebagai landasan prosedur untuk
memformulasikan dan menguji hal atau keadaan yang dapat diterima kebenaran
moral modern berdasarkan prinsip atau pertimbangan tertentu terkait dengan
tindakan dan kewajiban sosial.
Menurut Emanuel Levinas, filsuf Perancis dan tokoh etika kontemporer
prinsip alteritas yang mendasar adalah tanggung jawab subjek terhadap yang lain
dan tanggung jawab untuk menghargai yang lain dengan segala sifat alteritasnya
secara a-simetris artinya bertanggungjawab terhadap orang lain terlepas dari
apakah orang tersebut membalas tanggung jawab kita atau tidak. Etika berbasis
alteritas sering disebut juga dengan “etika tanggung jawab”15.
2) Etika Whiteheadian: Moralitas Berbasis Pengalaman Moral
14
M. Nur Prabowo S. dan Albar Adetary Hasibuan, Pengantar Studi Etika Kontemporer Teoritis dan terapan,
(Malang: Tim UB Press, 2017), hlm 43-44
15
M. Nur Prabowo S. dan Albar Adetary Hasibuan, Pengantar Studi Etika Kontemporer Teoritis dan terapan,
(Malang: Tim UB Press, 2017), hlm 52-55.

12
Salah satu filsuf besar pada periode ini adalah Alfred North Whitehead
(1861-1947), yang dikenal sebagai tokoh “filsafat proses” atau “filsafat
organism” yang memahami realitas sebagai sebuah proses.
Menurut Whitehead ada tiga tahap penting dalam pengalaman manusia,
berdasarkan focus kesadaran manusia, yakni insting, intelektualitas, dan
kebijaksanaan. Ketiga pengalamn tersebut berada dalam proses yang dinamis di
dalam interaksinya secara komplek dunia eksternal.
Pertama pengalaman instingtif adalah pengalaman yang paling dasar terjadi
di tahap pra-kesadaran. Karena prosesnya terjadi dalam ruang pra-kesadaran
maka pengalaman instingtif selalu dalam keadaan samar. Pada fase ini manusia
dapat memunculkan perasaan emosional berupa empati dan simpati dalam
menilai sesuatu.
Kedua pengalaman intelektual yaitu bagian dari aktifitas kesadaran
intelektual, yang menyusun fakta-fakta pengalaman instingtif menjadi sistem
yang logis dan koheren. Tahap ini adalah tahap dimana manusia mulai memiliki
kesadaran moral dan melakukan analisis etis atas tingkah lakunya.
Ketiga, fase kebijaksanaan moral, fase ini memadukan seluruh pengalaman
ingtingtif yang emosional dengan pengalaman analitis yang intelektualistik. Pada
fase ini manusia menemukan kesadaran estetis dalam kehidupan dan dapat
memaknai sesuatu yang terbatas dalam dirinya dengan relevan yang lebih luas.16
3) Etika Habermas: Moralitas Berbasis Diskursus Komunikatif
Jurgen Habermas merupakan salah satu tokoh besar kontemporer. Habermas
memiliki pemikiran yang luas dan meliputi berbagai aspek ilmu sosial, agama,
politik, budaya, hukum hingga ekonomi. Salah satu bagian dari rumusan
pemikiran Habermas yang paling penting bagi bangunan etika kontemporer
adalah pandangannya tentang diskursus wacana yang komunikatif.
Etika diskursus menekankan pentingnya suatu kompetensi dalam komunikasi
untuk memungkinkan terjalinya suatu diskursus yang rasional, khususnya di
ruang publik, ketika merumuskan suatu aturan yang hendak dijadikan norma
universal. Dalam hal ini, Habernas mengartikan bahwa setiap individu dapat

16
M. Nur Prabowo S. dan Albar Adetary Hasibuan, Pengantar Studi Etika Kontemporer Teoritis dan terapan,
(Malang: Tim UB Press, 2017), hlm 61-66.

13
berdialog secara terbuka, sehingga menggeser etika monologistis kepada dialogis,
dari rasionalisasi subjektivisme kepada rasionalisasi intersubjektivisme 17.
4) Etika Islam Kontemporer: Kontekstualisme Etika Hukum
Abdullah Saeed adalah ilmuwan muslim dari Australia yang memberikan
perhatian etis dan berupaya untuk mengambil pesan moral dalam kitab suci al-
Quran. Menurutnya Islam memiliki pesan-pesan etis yang terkandung dalam al-
Quran, yang terangkum pada pesan utama untuk beramal shaleh atau melakukan
tindakan-tindakan yang baik. Sistematika dalam al-Quran mengandung nilai yang
bercorak hierarkis berupa:
a. Nilai kewajiban mencakup aturan-aturan al-Quran tentang kepercayaan,
praktik-praktik ibadah wajib, serta suatu perkara yang sudah jelas halal-
haramnya.
b. Nilai fundamental, mencakup nilai universal dan memuar pesan-pesan
universal seperti kemanusiaan, prinsip dasar hak asasi manusia, dan prinsip
kemaslahatan umat.
c. Nilai Proteksional, untuk memproteksi terhadap nilai fundamental, seperti
larangan riba, pencurian, dan lain-lain.
d. Nilai implementasi, bertujuan sebagai langkah-langkah spesifik untuk
melaksanakan nilai protektif, seperti memberi hukuman bagi pencuri,
pembunuh, dan lain-lain.
e. Nilai instruksional, mencakup perintah dan larangan yang terdapat dalam al-
Quran yang terkait dengan konteks pewahyuan waktu itu, yang bisa jadi
situasinya sangat berbeda dengan masa sekarang18.

17
Ibid, 67-69.
18
M. Nur Prabowo S. dan Albar Adetary Hasibuan, Pengantar Studi Etika Kontemporer Teoritis dan terapan,
(Malang: Tim UB Press, 2017), hlm 70-73.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika adalah suatu ajaran tentang kebaikan dan keburukan yang menyangkut
kehidupan manusia dalam hubungannya denga Tuhan, sesama manusia dan alam.
Moral adalah sebuah adat istiadat penentuan baik buruknya perbuatan dan perilaku
manusia. Dan, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yangmenimbulkan
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Etika,
moral, dan akhlak juga memiliki persamaan tentang ajaran baik buruknya sikap hidup
manusia, sedangkan yang membedakan adalah sumber kebenarannya.
Dari beberapa pendapat pengertian etika dapat dirumuskan menjadi tiga, yaitu
etika merupakan sistem nilai, etika adalah kumpulan asas-asal moral, etika merupakan
ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk.
Perkembangan makna etika dibagi menjadi tiga periode utama: (1) Periode
Klasik pada periode ini muncul pemikiran etika Hedonisme danetika kebagikan. (2)
Periode Modern, pada periode ini mengacu pada dua pendekatan yaitu etika
utilitarianisme dan etika deontologi. (3) Periode Kontempores atau Post-Modern, ada
beberapa pemikiran yaitu etika postmodernisme, etika whiteheadian, etika habermas,
etika Islam kontemporer.

B. Saran
a. Akademik
Untuk menyiapkan generasi penegak hukum, sebaiknya perlu diperketat
lagi penerapan etika profesi hukum tidak hanya di dalam kelas namun ketika di
luar kelas.
b. Praktis
Sebagai penegak hukum sebaiknya tahu dan paham apa saja kode etik
dalam menjalankan profesinya. Selain tahu dan paham, sebaiknya dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang ada sehingga dapat menjadi cerminan yang baik
untuk masyarakat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, Agustinus W. 2017. Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia.
Yogyakarka: PT Kanisius.
Nasharuddin. 2015. Akhlak (Ciri Manusia Paripurna). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
S, M. Nur Prabowo dan Albar Adetary Hasibuan. 2017. Pengantar Studi Etika Kontemporer
Teoritis dan Terapan. Malang: Tim UB Press.
Supriadi. 2008. Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Suseno, Frans Magnis. 1995. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius.
Sutarno, Alfonsus. 2012. Etiket: Kiat Serasi Berelai. Yogyakarta: Kanisius.
Yoshephus, L. Sinour. 2010. Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral Terhadap Perilaku Pebisnis
Kontemporer. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai