Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HADIS HUKUM

( RISYWAH )

KELOMPOK 5

Oleh:

1. Dwi Agung Prastowo S 10200120173

2. Muh. Awal Aswat 10200120161

3. A.M.Fauzi Rahmad 10200120149

4. Nur Awal 10200120134

JURUSAN HUKUM TATANEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021
PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Wajah muram maraknya praktek korupsi di Indonesia kian hari makin terkuak.
Satu persatu koruptor diadili dengan menuntun sederetan nama panjang layaknya
gerbong kereta api. Korupsi ini biasanya memang suatu praktek pengambilan
keuntungan secara berjama’ah oleh para birokrat yang tidak amanah. Miris memang
mengingat perjalanan Indonesia kesejahteraan Indonesia ternyata dihambat oleh para
pengatur Negara. Indonesia setidaknya masih menempati urutan ke 107 dai 177 negara
terkorup di Dunia.[1] Laporan transparency International (TI) ini mengasumsikan
setidaknya Indonesia memiliki skor 34 dengan skala 0-100.

Korupsi merupakan salah satu indikasi rapuhnya system pemerintahan Indonesia.


Tidak hanya Indonesia, Negara-negara dengan peringkat korupsi tertinggi semisal
Somalia, Korea Utara dan lainnya umumnya memiliki tingkat kesejahteraan dan
pendidikan yang rendah. Penyakit korupsi ini pada decade belakangan menjadi sorotan
politik yang menarik. Banyak Negara memberikan sanksi yang tegas terkait korupsi,
sebagaimana yang terjadi di China. Sejak tahun 2000, pemerintah China menerapkan
hukuman seumur hidup bahakan hukuman mati terhapa koruptor.[2] Ribuan koruptor
telah dieksekusi mati. Ketegasan dalam penerapan hukum ini mampu memulihkan
stabilitas keuangan Negara tahap demi tahap.

Bagaimana Islam menyoroti kasus-kasus korupsi ini? Secara implisit Al-Qur’an


telah menyinggung persoalan terkait tema-tema korupsi. Diantaranya ialah QS. Al-
Nisā: 29-30 tentang larangan memakan harta sesama dengan cara yang batil,  atau
dalam QS.Ali Imrān: 161 dan  QS. Al-Baqarah: 188. Dalam tulisan ini, penulis akan
coba menelaah beberapa hadis terkait korupsi.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Risywah  dalam konteks korupsi

Sebelum masuk pada pembahasan risywah, penulis akan mengulas wacana korupsi.


Dalam konteks kekinian korupsi adalah kejahatan serius yang dapat merusak suatu system atau
tatanan pemerintahan. Perlawanan terhadap korupsi diaplikasikan dalam pembentukan Undang-
undang khusus Tindak Pidana Korupsi (tipikor), system kelembagaan khusus untuk menyelidiki
perkara korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan korupsi. Dalam
berbagai Negara di dunia hukuman bagi pelaku korupsipun beragam, dimulai dari penjara hingga
hukuman mati. Secara bahasa ‘korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang berarti sesuatu
yang rusak atau hancur.[3]
            Adapun dari segi terminologis ada banyak pengertiannya. Dalam wacana klasik korupsi
didefinisikan secara global yaitu the abuse of public office for private gain ‘penyalahgunaan
jabatan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi.’[4] Syed Hussein Alatas berpendapat
bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati
kepercayaan.”[5] Adapun menurut Robert Klitgaard korupsi meliputi tindakan berupa:
1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan,
2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan
3) tidak melaksanakan tugas karena lalai tau lupa.

Dengan demikian korupsi secara kontekstual mengandung berbagai unsur kejahatan,


diantaranya ialah adanya pengkhianatan kepercayaan, keserbasrahasiaan/konspirasi,
mengandung unsur penipuan terhadap badan publik atau masyarakat, dengan sengaja melalaikan
kepentingan umum untuk kepentingan khusus, diselubungi berbagai bentuk-bentuk pengesahan
hukum, terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pasti dan yang dapat
mempengaruhinya.[6]
Korupsi jika ditelaah dari segi jenisnya, terdapat setidaknya ada 8 jenis korupsi:
1) korupsi transaktif, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbal balik
antara pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama.
2) korupsi ekstortif (pemerasan), yaitu bentuk korupsi di mana pihak pemberi dipaksa
melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam dirinya,
kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya.
3) korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan.
4) korupsi investif, yaitu korupsi berwujud pemberian sesuatu tanpa ada kaitan langsung
dengan keuntungan tertentu, selain dari keuntungan yang dibayangkan di masa depan.
5), korupsi nepotistik perkerabatan), yaitu kolusi berupa penunjukan tidak sah terhapap
teman atau kerabat untuk menempati posisi dalam pemerintahan, atau memberi
perlakukan istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku.
6) korupsi otogenik, yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain,
misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar. Terakhir korupsi
suportif (dukungan), yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau
memperkuat korupsi yang sudah ada.[7] Dengan berbagai jenis korupsi sebagaimana
disebut maka suap/risywah memiliki keterkaitan yang erat dengan korupsi. Istilah lain
yang digunakan dalam al-Qur’an ialah ghulul (QS. Ali Imran/3: 161).

Pada kajian ini penulis akan coba mengulas unsur risywah yang terdapat dalam
korupsi. Risywah/rusywah merupakan bentuk masdar dari kata rasya yarsyi risywatan
/rusywatan. Risywah  bentuk jamaknya Risya, sedangkan Rusywah  bentuk jamaknya Rusya.
Risywah/rusywah artinya suap/menyuap. Suap dalam bahasa Arab disebut, “Risywah”, yaitu apa
yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan yang hak.
[8] Risywah/rusywah dalah pemberian dalam bentuk apapun yang diberikan oleh seseorang
kepada hakim dengan tujuan agar hakim tersebut memihak kepadanya atau memberikan
keputusan yang menguntungkan kepada dirinya. Risywah/rusywah juga berarti sesuatu
pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pihak-pihak tertentu dengan maksud agar
pihak-pihak tertentu tadi meluluskan atau mengabulkan apa yang menjadi keinginan dan
kepentingannya. Rumusan pertama terjadi dalam lapangan peradilan dan rumusan kedua terjadi
di bidang-bidang kehidupan lain.[9]

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan bahwa Suap (Risywah) adalah pemberian yang

diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang
batil (tidak benar menurut Syari’ah) atau membatalkan perbuatan yang hak (‫ل‬ ِ َ‫ا ْلب‬
َ :‫اط‬ ُ ِّ‫ايُ َحق‬::‫ َم‬  ُ‫ َوة‬:‫ش‬
‫ق‬ ْ ‫ال ِر‬
‫ق‬ َ ‫ ُل ْا‬:‫)أَ ْويُ ْب ِط‬.[10] Dalam
َّ :‫لح‬ sejarah peradilan Islam disebutkan bahwa risywah ini muncul pada zaman

Abbasiyah. Pada saat itu Lembaga Yudikatif telah banyak dicampuri Lembaga Eksekutif untuk

merealisasikan kepentingan-kepentingan politiknya. Desakan dan kepentingan duniawi menggerogoti

mentalitas para hakim waktu itu.[11]

B.  Hadis-hadis Risywah
1.        Teks Sunan Abu Daud

ِ ‫ ا ِر‬:‫ َع ِن ا ْل َح‬،‫ب‬
ْ‫ عَن‬،‫ َّر ْح َم ِن‬: ‫ ِد ال‬:‫ث ْب ِن َع ْب‬ ٍ ‫ َح َّدثَنَا ا ْبنُ أَبِي ِذ ْئ‬،‫س‬
َ ُ‫َح َّدثَنَا أَ ْح َم ُد ْبنُ يُون‬
‫لَّ َم‬:‫س‬
َ ‫ ِه َو‬:‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬:‫ص‬ ُ ‫ «لَ َع َن َر‬:‫ قَا َل‬،‫ عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو‬،َ‫سلَ َمة‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫أَبِي‬
]12[»‫َشي‬ ِ ‫اشي َوا ْل ُم ْرت‬
ِ ‫ال َّر‬
Diceritakan dari Ahmad Ibn Yunus, diceritakan Ibn Abi Dzi’b, dari Harits Ibn Abdurrahman
dari Abu Salamah dari Abdullah Ibn Umar, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima
suap”.

2.        Teks Sunan At-Tirmidzi

‫ عَنْ أَبِي‬،‫ ِه‬:‫ عَنْ أَبِي‬،َ‫لَ َمة‬:‫س‬ َ ‫ر ْب ِن أَبِي‬: َ :‫ عَنْ ُع َم‬،َ‫ َح َّدثَنَا أَبُو َع َوانَة‬:‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ قَا َل‬
ِ ‫لَّ َم ال َّر‬: ‫س‬
‫ َي فِي‬: ‫ َي َوال ُم ْرت َِش‬: ‫اش‬ َ ‫ ِه َو‬: ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬: ‫ص‬ ُ ‫ «لَ َع َن َر‬:‫ا َل‬::َ‫رةَ ق‬:
َ ِ ‫و ُل هَّللا‬: ‫س‬ َ :‫ُه َر ْي‬
]13[»‫الح ْك ِم‬ ُ
Diceritakan kepada kami dari Qutaibah, ia berkata: ‘diceritakan kepada kami dari Abu Awanah
dari Umar Ibn Abi Salamah dari ayahnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah
melaknat  penyuap dan yang menerima suap dalam hukum”’.
،‫ب‬ٍ ‫ َح َّدثَنَا ابْنُ أَبِي ِذ ْئ‬:‫ قَا َل‬،‫ي‬ُّ ‫ َح َّدثَنَا أَبُو عَا ِم ٍر ال َعقَ ِد‬:‫ قَا َل‬،‫سى ُم َح َّم ُد بْنُ ا ْل ُمثَنَّى‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ُمو‬
‫و ُل‬:‫س‬ ُ ‫ لَ َعنَ َر‬:‫ عَنْ َع ْب ِد هللاِ ْب ِن َع ْم ٍرو قَا َل‬،َ‫سلَ َمة‬ َ ‫ عَنْ أَبِي‬،‫ث ْب ِن َع ْب ِد ال َّر ْح َم ِن‬ َ ‫عَنْ َخالِ ِه‬
ِ ‫الحا ِر‬
]14[.‫ي‬ ِ ‫سلَّ َم ال َّر‬
َ ‫اش َي َوال ُم ْرت َِش‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫هللا‬
Abu Musa Muhammad al-Mutsanna telah bercerita kepada kami, ia berkata: ‘Abu Amir al-
Qa’ady telah bercerita kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Dzi’b telah bercerita kepada kami
dari pamannya al-Harits Ibn Abdurrahman, dari Abi Salamah, dari Abdullah Ibn Amr, ia
berkata: “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap”’.

C. Biografi Perawi

Nama Perawi Tanggal Jarh wa at-Ta’dil


Lahir/ Wafat
No
1.          Abu Hurairah (w. 59) Ma’ruf
2.          Abdullah Ibn ‘Amr (w. 65/68)  Abu Hurairah : integritasnya bahwa tak
seorangpun yang lebih baik hadisnya
dari padanya (Abu Hurairah) selain
Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash. Dialah
sahabat yang dikenal memiliki shahifah
shadiqah.[16]
3.          Abu Salamah (w. 94/104)  Ibn sa’d : siqah, faqih.
 Abu Zur’ah : siqah imam.
 Ibn Hibban : siqat[17]
4.          Al-Haris Ibn A. (w.129)  Ibn Hibban : siqah.
Rahman  Al-Nasa’I : laisa bihi Ba’s.
 Ibn Ma’in :  masyhur.
 Ahmad ibn Hanbal : la ara bihi ba’san.
[18]
5.          ‘Amr Ibn Abi Salamah (w. 214)  Ishaq ibn Manshur dari Ibn Ma’in, :
dla’if.
 Abu Hatim mencatat hadisnya, tetapi
tidak dapat dijadikan hujjah.
Al-‘Uqaili :  hadisnya ada yang salah.
 Ibn Hibban : siqat. Malik : siqat.
 Al-Saji mengatakan bahwa ia dla’if[19]
6.          Abu ‘Awanah (w. 176)  Abu Thalib: Asbat (dalam penulisan)
 Ibn Abi Khaisamah dari Ibn
Ma’in : Jaizal Hadis.
 Abu Zur’ah : siqah.
 Abu Hatim : shaduq siqah (hafalan)[20]
7.          Ibn Abi Zi’bin (w. 158/159)  Ibn Ma’in menilai Ibn Abi Zi’bin siqah.
 Ya’qub ibn Syaibah : siqah shaduq.
 Al-Nasai : siqah.
 Al-Waqidi : ulama wara’ dan utama.[21]
8.          Qutaibah (150-240)  Ibn Ma’in, Abu
Hatim, : siqah. Nasai : siqah dan  saduq
.
 Ibn Hanbal memujinya.
Farhayani : saduq.
 al-Khatib: munkar jiddan.[22]
9.          Ahmad Ibn Yunus (w.227)  Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abu
Hatim, Ibn Sa’d, dan Ibn
Hibban : siqah.
 Ibn Qani’ :  siqah, man’mun, sabat.[23]
10.      Abu ‘Amr al-‘Aqadi (w.204)  Ibn Ma’in : siqah. Abu Hatim : shaduq.
 Abu ‘Amir :  siqah amin.
 Ibn Hibban & Ibn Syahin :  siqah.
 Al-Darimi : siqah.[24]
11.      Abu Musa Muhammad (167-252)  Ibn Ma’in : siqah. Shalil ibn Muhammad
Ibn al-Musanna        : shaduq.
 Nasa’i : la ba’sa bih.
 Ibn Kharrasy : asbat.
 Al-Khatib: siqah, sabat, dan semua
imam hadis menjadikan hadisnya
sebagai hujjah.[25]
12.      Abu Daud (202-275) Ma’ruf
13.      At-Tirmidzi (209-279) Ma’ruf

D. Kedudukan Hadis
Dengan uraian singkat biografi dan juga jarh wa at-ta’dil dari para perawi dapat
disimpulkan:
1.        Hadis risywah lewat sanad At-Tirmidzi melalui jalur Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash adalah
shahih, sebab semua rangkaian sanadnya siqah dan muttashil. Demikian juga yang melalui sanad
Abu Daud.
2.        Hadis risywah lewat sanad At-Tirmidzi melalui jalur Abu Hurairah adalah dha’if,  karena dalam
jalur ini ada seorang rawi yang dinilai dha’if oleh ibn Ma’in, yaitu ‘Amr ibn Abi Salamah.
Demikian kalau kita dalam hal ini memihak Ibn Ma’in. tapi, kalau dalam hal ini kita mengikuti
penilaian Malik dan Ibn Hibban yang memandang ‘Amr ibn Abi Salamah sebagai siqah, maka
hadis tersebut tentu menjadi shahih.
3.        Meski demikian, kedla’ifan pada jalur Abu Hurairah (kalau kita mengikuti ibn Ma’in dalam
menilai ‘Amr ibn Abi Salamah) akan terangkat, sehingga bisa menjadi hasan, sebab hadis yang
sama ternyata shahih menurut sanad dan jalur yang lain (poin-poin).
4.        Penulis melihat bahwa yang dimaksud At-Tirmidzi dengan ungkapan Hadza Hadisun Hasanun
Shahih kaitannya dengan hadis ini senada dengan apa yang diungkap oleh Ibn Abi Shalah
dalam muqaddimah-nya annahu Hasanun Binnisbah ila Isnad wa Shahihun Binisbah ila Isnad
Akhar.[26]

Selain ketiga hadis di atas, hadis yang berkaitan dengan risywah ialah hadis tentang
hadiah sebagaimana hadis berikut:

‫ َع ْن‬،‫ ِه‬Q‫ َع ْن أَبِي‬،‫ا ٌم‬Q‫ َح َّدثَنَا ِه َش‬،َ‫ َح َّدثَنَا أَبُو أُ َسا َمة‬،‫ب ُم َح َّم ُد ب ُْن ْال َعاَل ِء‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
‫لَّ َم َر ُجاًل ِم َن‬Q‫ ِه َو َس‬Q‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬Q‫ص‬ َ ِ‫و ُل هللا‬Q‫تَ ْع َم َل َر ُس‬Q‫اس‬ ْ :‫ال‬Q ِ ‫أَبِي ُح َم ْي ٍد الس‬
َ Qَ‫ ق‬،ِّ‫َّاع ِدي‬
‫ َذا‬:‫ َه‬ :‫ال‬Q
َ Qَ‫ ق‬،ُ‫بَه‬Q‫اس‬ َ ‫ا َء َح‬QQ‫ فَلَ َّما َج‬،‫ اب َْن اأْل ُ ْتبِيَّ ِة‬:‫ ْد َعى‬Qُ‫ ي‬،‫ت بَنِي ُسلَي ٍْم‬ ِ ‫ص َدقَا‬ َ ‫اأْل َ ْز ِد َعلَى‬
‫تَ فِي‬:‫س‬ ْ َ‫ «فَ َهاَّل َجل‬:‫لَّ َم‬:‫س‬ َ ‫ ِه َو‬:‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬:‫ص‬ َ ِ‫و ُل هللا‬:‫س‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬،ٌ‫ َو َه َذا َه ِديَّة‬،‫َمالُ ُك ْم‬
،َ‫ َد هللا‬::‫ فَ َح ِم‬،‫ا‬::َ‫ ثُ َّم َخطَبَن‬،»‫ا ِدقًا‬::‫ص‬ َ َ‫ ِديَّتُكَ إِنْ ُك ْنت‬::‫كَ َه‬::َ‫كَ َوأُ ِّمكَ َحتَّى تَأْتِي‬::‫ت أَبِي‬ ِ ‫بَ ْي‬
‫ ِل ِم َّما‬:‫ َل ِم ْن ُك ْم َعلَى ا ْل َع َم‬:‫تَ ْع ِم ُل ال َّر ُج‬:‫س‬ْ َ‫إِنِّي أ‬:َ‫ ف‬،ُ‫ د‬:‫ " أَ َّما بَ ْع‬:‫ا َل‬::َ‫ ثُ َّم ق‬،‫ ِه‬:‫َوأَ ْثنَى َعلَ ْي‬
‫ت‬ِ ‫س فِي بَ ْي‬ َ َ‫ أَفَاَل َجل‬،‫ ِديَتْ لِي‬:‫ َو َه َذا َه ِديَّةٌ أُ ْه‬،‫ َه َذا َمالُ ُك ْم‬:‫ فَيَأْتِي فَيَقُو ُل‬،ُ‫َواَّل نِي هللا‬
‫ ْيئًا‬: ‫ش‬َ ‫ا‬::‫ ٌد ِم ْن ُك ْم ِم ْن َه‬:‫ َوهللاِ اَل يَأْ ُخ ُذ أَ َح‬،‫صا ِدقًا‬ َ ‫ان‬ َ ‫أَبِي ِه َوأُ ِّم ِه َحتَّى تَأْتِيَهُ َه ِديَّتُهُ إِنْ َك‬
َ‫ دًا ِم ْن ُك ْم لَقِ َي هللا‬Q‫رفَ َّن أَ َح‬Q
ِ Q‫فَأَل َ ْع‬ ،‫ ِة‬:‫و َم ا ْلقِيَا َم‬: ْ :َ‫ إِاَّل لَقِ َي هللاَ تَ َعالَى يَ ْح ِملُهُ ي‬،‫بِ َغ ْي ِر َحقِّ ِه‬
ً‫اة‬QQQQQQ‫ أَ ْو َش‬،ٌ‫ َوار‬QQQQQQ‫ا ُخ‬QQQQQQَ‫رةً لَه‬QQQQQQ َ َ‫ أَ ْو بَق‬،‫ا ٌء‬QQQQQQ‫هُ ُر َغ‬QQQQQQَ‫ يرًا ل‬QQQQQQ‫ ُل بَ ِع‬QQQQQQ‫يَحْ ِم‬
]27[(‫له‬ ‫واللفظ‬، ‫ومسلم‬ ‫البخاري‬ ‫رواه‬....)‫ر‬ ُ ‫تَ ْي َع‬
Dari Abi Humaid as-Sa‘idi r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw mengangkat
seorang lelaki dari suku al-Azd bernama Ibn al-Atbiyyah untuk menjadi pejabat pemungut zakat
di Bani Sulaim. Ketika ia dating menghadap Nabi saw untuk melaporkan hasil pemungutan
zakat), beliau memeriksanya. Ia berkata: Ini harta zakatmu (Nabi/negara) dan yang ini adalah
hadiah (yang diberikan kepadaku). Lalu Rasulullah saw berkata: Jika engkaubenar, maka
apakah kalau engkau duduk di rumah ayahmu atau di rumah ibumu, hadiah itu datang
kepadamu? Kemudian Nabi saw berpidato, mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu
berkata: Selanjutnya, saya mengangkat seseorang di antaramu untuk melakukan suatu tugas
yang merupakan bagian dari apa yang telah dibebankan Allah kepadaku. Lalu orang itu datang
dan berkata: Ini hartamu (Rasulullah/negara) dan ini adalah hadiah yang diberikan
kepadaku. Jika ia memang benar, maka apakah kalau ia duduk saja di rumah ayah dan
ibunya, hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, begitu seseorang mengambil sesuatu dari
hadiah itu tanpa hak, maka nanti di hari kiamat ia akan menemui Allah dengan membawa
hadiah (yang diambilnya itu),  lalu saya akan mengenali seseorang darikamu ketika menemui
Allah itu, ia memikul di atas pundaknya unta (yang dulu diambilnya) melengkik atau sapi
melenguh, atau kambing mengembek … (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis diatas mengungkapkan sejauh mana konteks larangan suap. Hadiah yang diberikan
kepada seorang pegawai pengumpul pajak, yakni Ibnu Lutbiyah dianggap sebagai bagian
dari risywah dan penyalahgunaan wewenang. Hadiah pada dasarnya diperbolehkan, namun
hadiah yang diberikan untuk tujuan-tujuan tertentu kepada orang-orang yang memiliki pejabat
public dapat menimbulkan hal-hal yang tidak semestinya. Karena jabatan tersebut dimiliki atas
dasar amanah pemberinya / rakyat, bukan dimiliki secara personal.

F. Kandungan / Hukum Hadis


Suap menyuap sangat berbahaya bagi masyarakat karena akan merusak system dan
menyebabkan terjadinya kecerobohan dalam berbagai keputusan dan tata kelola pemerintahan.
Ketika suatu ketetapan hukum ditentukan oleh uang, maka supremasi hukum menjadi goyah dan
bahkan tidak tercapai. Bagaimanapun juga seseorang yang telah menerima suap tidak akan lagi
mampu berlaku adil. Islam melarang perbuatan tersbut serta menggolongkannya dalam kategori
dosa besar, yang dilaknat Allah dan Rasulnya. Tidak saja dalam wilayah hukum, suap ini juga
dilarang dalam berbagai kegiatan. Asy-Syaukani berpendapat bahwa sesungguhnya keharaman
suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsish.[28] 
Ulama telah sepakat bahwa risywah hukumnya haram baik dalam kaitannya dengan
masalah peradilan maupun yang lain. Hukum haram diistinbath-kan dari adanya laknat/kutukan
Rasulullah Adanya laknat ini menunjukkan bahwa hal itu dilarang (Manhiy). Kaidah
menyatakan al-Nahyu Yadullu ‘ala al-Tahrim. Oleh karena itu maka Risywah hukumnya haram.
[29]
Sebagian ulama berpendirian bahwa risywah yang diberikan oleh seseorang kepada
hakim dengan tujuan agar hakim itu memihak kepadanya dalam kondisi di mana posisi orang
tersebut memang sebagai pihak yang benar, tidaklah termasuk ke dalam kategori risywah yang
diharamkan itu. Pendapat itu muncul dari sebagian tabi’in.
Dalil yang digunakan ialah
‫الضرورة تبيح المحضورات‬
 Menurut Syaukani, pendapat tersebut tidak bisa dibenarkan, sebab hadis di
atas ‘Am (umum) dan berlaku sesuai dengan kemauannya. Menurutnya dalam hal ini tidak ada
dalil yang men-takhsish-nya.[30]    
Pada saat ini, pemberian hadiah yang secara implisit mengandung unsur penyuapan
disebut juga gratifikasi. Sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) No. 10 Tahun 1974
Tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Kesederhanaan Hidup, menyatakan bahwa Pejabat dilarang menerima hadiah atau
pemberian lain serupa itu dalam bentuk apapun kecuali dari suami, isteri, anak, cucu, orang tua,
nenek atau kakek dalam kesempatan-kesempatan tertentu, seperti ulang tahun, tahun baru,
lebaran, natal, dan peristiwa-peristiwa lain yang serupa, kecuali apabila adat. Dilanjutkan PP 53
Thaun 2010 Tentang Disiplin PNS demikian juga diatur sanksinya.
Dalil-dalil yang menunjukkan larangan untuk memakan uang yang batil terdapat dalam
ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya:
QS. al-Baqarah / 2:188

Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu Mengetahui.”
Kata ‘Tudlu’ (‫)تدلوا‬, diambil dari kata ‘dalwun’, (‫)دلو‬  yang berarti ember, artinya adalah
mengulurkan ember ke dalam sumur untuk memperoleh air.[31]Unsur penyuapan sebagaimana
ayat diatas ialah adanya upaya dari si pemberi suap kepada penerima suap (dalam hal ini
Hakim/Qadhi/Pejabat Pemerintah) agar melancarkan/menyelesaikan persoalan pemberi suap/Al-
rasyi. Unsur inilah yang menyebabkan haramnya risywah/hadiah. Penggunaan kata tudlu ini
mengisyaratkan rendahnya martabat hakim yang mau menerima sogokan, seolah-olah ia berada
di dasar sumur menanti uluran dari atas.[32]
Dalam konteks kekinian penyuapan ini bisa berupa uang sebagaimana uang sejumlah 3
milyar yang diterima oleh mantan Ketua Mahkamah Agung Akil Mokhtar (2/10/2013).  Dalam
kasus ini Akil Mokhtar diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala
daerah, yakni di kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Lebak, Banten. [33]
            Selain menggunakan terminology tudlu sebagaimana diatas, risywah juga megandung
unsur lainnya yaitu al-Ghall atau kecurangan:
QS. Ali-‘Imrân ayat 161:

Artinya:
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”

Kata “Yaghlul” (‫)يغلل‬ kata dasarnya adalah “al-Ghall”, yang berarti curang, atau


mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi. Asalnya terambil dari kata agalla al-jazir,
ketika  tukang daging menguliti binatang sembelihan, dia mencuri daging dari binatang tersebut
dan menyembunyi-kannya disela-sela kulit yang dilipatnya. Dari kata ini muncul ungkapan “al-
gillu fi al-Shudur” artinya menyembunyikan kebenaran di hati. Pengkhianatan dengan cara
mengambil harta rampasan perang disebut al-ghulul.[34] Jika dilihat dari modus operandinya,
kegiatan ghulul sangat mirip dengan pidana korupsi saat ini. Mirip sebab  korupsi adalah
penggelapan uang negara.
Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat
dan pegawai penarik retribusi. al-Qurtubi menguraikan beberapa pendapat para ulama
terkait risywah. Al-Qurtubi berpandangan bahwa as-Suhtu juga satu bentuk terminologi lain
daripada  Risywah. QS. Al-Maidah: 42:

ْ‫ك َف احْ ُك ْم َب ْي َن ُه ْم أَ ْو أَعْ ِرضْ َع ْن ُه ْم َوإِن‬ َ ‫ َف إِنْ َج اءُو‬ ‫ت‬ِ ‫ِلس ْح‬ َ ُ‫ب أَ َّكال‬
ُّ ‫ل‬ ‫ون‬ ِ ‫ُون ل ِْل َك ِذ‬
َ ‫َس مَّاع‬
ُّ‫مْت َف احْ ُك ْم َب ْي َن ُه ْم ِب ْالق ِْس طِ إِنَّ هَّللا َ ُيحِب‬
َ ‫وك َش ْي ًئا َوإِنْ َح َك‬
َ ُّ‫ض ر‬ ُ ‫ُتعْ ِرضْ َع ْن ُه ْم َف َلنْ َي‬
َ ِ‫ْال ُم ْقسِ ط‬
‫ين‬

                 Artinya:
“Mereka (orang-orang Yahudi) itu adalah orang-orang yang suka mendengar
berita bohong, banyak memakan suht (yang haram). [Al-Maidah/5:42]

Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama salaf bahwa mengambil risywah untuk
membatalkan suatu hak  (keputusan yang tidak seharusnya dalam rangka memenangkan pemberi
suap) hukumnya haram. Abu Hanifah dan al-Qurtubi juga berpandangan bahwa seorang hakim
yang menerima suap dalam menentukan keputusannya, maka keputusannya dianggap batal. Hal
ini karena adanya ketidak objektifan hakim dalam memutuskan perkara.[35]
Dari uraian diatas bisa dilihat bahwasanya risywah meliputi beberapa unsur:
a. Adanya Al-Risywah (pemberi suap, penerima suap serta suap itu sendiri)
b. Ada niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Adanya tujuan dalam pemberian suap tersebut, diantaranya:
1.    Ibţālul ĥaq (membatalkan yang haq)
2.    Iĥqāqul bāţil (merealisasikan kebathilan)
3.    Al-maĥsūbiyah bighairi ĥaq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
4.    Al-ĥuşūl ‘alal manāfi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
5.    Al-ĥukmu lahu (memenangkan perkaranya)
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwasanya risywah adalah suatu bentuk perbuatan
yang diharamkan, karena terdapat berbagai unsur kecurangan, pengkhianatan, kejahatan social
dan degradasi moralitas dan rusaknya manajemen pemerintahan maupun pengadilan. Jika diulas
secara keseluruhan beberapa unsur gabungan dalam konteks risywah  diantaranya ialah hadiah
yang mengandung unsur tudlu, ghasab, ghulul  dan as-Suĥti. Berbagai unsur ini berkembang
menjadi berbagai tumpang tindih kepentingan dalam membuat kebijakan dan putusan. Bahkan
jika kepentingan yang dimaksukan tidak terjadi pasca praktek risywah tersebut. Adapun
jenis Risywah sendiri tidak selalu dilakukan secara ber-sama-sama dan dengan membawa
kepentingan orang banyak. Adakalanya dilakukan seorang diri. Meski demikian risywah tetap
tidak dibenarkan / diharamkan. Dalam konteks saat ini, pelaku penyuapan dan juga pemberian
hadiah (gratifikasi) sudah masuk dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain
itu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku pihak yang berhak melakukan
penyelidikan dan penyidikan telah dibentuk. Kasus risywah bukan lagi kejahatan biasa namun
sudah masuk kategori extra ordinary crime. Dunia yang juga menyoroti kasus-kasus serupa di
Negaranya telah menerapkan hukuman mulai dari penyitaan harta benda, pencopotan jabatan,
penjara bahkan hukuman mati. Langkah-langkah perang melawan korupsi ini tentu patut
diapresiasi dan dikawal bersama.
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hadis Risywah  sebagaimana termaktub dalam sunan Abi Daud dan at-Tirmidzi
merupakan hadis shahih dan dapat dijadikan hujjah li istinbath al-Hukum. Para ulama sepakat
bahwasanya hukum risywah (suap-menyuap) adalah haram hukumnya karena mengandung
berbagai unsur kejahatan. Diantaranya kecurangan, kesewenang-wenangan, penyalahgunaan
wewenang/kekuasaaan (pengkhianatan terhadap rakyat), dan merupakan salah satu indikasi
degradasi moralitas penguasa/hakim. Di Indonesia saat ini praktek risywah telah diawasi oleh
kelembagaan khusus pemerintah yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun tujuan
daripada risywah  setidaknya mencakup salah satu unsur dibawah ini; Ibţālul ĥaq (membatalkan
yang haq), Iĥqāqul bāţil (merealisasikan kebathilan), Al-maĥsubiyah bighairi ĥaq (mencari
keberpihakan yang tidak dibenarkan), Al-ĥuşūl ‘alal manāfi’ (mendapatkan kepentingan yang
bukan menjadi haknya) dan Al-ĥukmu lahu (memenangkan perkaranya)

B.       Kritik dan Saran


Demikianlah ulasan singkat tentang hadis Risywah  dan kandungan hadis didalamnya.
Jika kita teliti tema risywah ini bisa diperluas dalam konteks kekinian. Semoga ulasan singkat ini
bisa menjadi suatu bahan diskusi yang dapat menyuguhkan wacana baru terkait upaya peniadaan
paktik risywah. Kritik dan saran penulis harapkan dalam upaya perbaikan ke depan. Semoga
bermanfaat. Amin ..
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim
Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, India, Dairah al-Ma’arif al-Nidhamiyah, 1327 H, cet. 1,
Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, alih bahasa Nitwono Jakarta: LP3ES, 1987
Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al-Ghozie
Usman (Jakarta: LP3ES, 1975), h. ix-x.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari., Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987
Al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, Dar al-Fikr, t.t, juz I, h. 228, Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Dar al-Fikr, t.t, Juz
9,
Al-Qurthuby, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr bin Farh al-Anshary al-Khazraji
Syamsu ad-Din, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964
as-Sijistani, Abu Daud Sulaiman ibn al-asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syaddad ibn ‘Amr al-Azdy as-
Sijistani, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, Juz 3, H. 300, Hadis ke-3580
at-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa bin Saurah ibn ad-Dahak At-Tirmidzi, Abu Musa (w. 279), Sunan at-
Tirmidzi,  Beirut: Dar-al-Gharb al-Islami
Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan), Jakarta, Balitbang Agama, 1425
H/2004 M, Cet I
Depag RI, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, 2003, h. 274.
Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2
Horby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-4 (Oxford: Oxford University
Ibn Abdurrahim, Abdurrahman,  Tuhfatul Ahwazi, Dar al-Fikr, t.t, Juz, h. 565-566.
Ibrahim, Hasan, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2, h. 295.
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Mishr, Dar al-Ma’arif, 1392 H-1972 M
Press, 1989), h. 266, entri ‘corrupt.’
Said, Sudirman dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia,”dalam Hamid Basyaib dkk.
(ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1, Jakarta: Yayasan Aksara,
2001, h. 99.
Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis Universitas Pelita
Harapan, t.t.
Syafe’i, Rachmat, al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Laisila, Laban Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Resmi Jadi Tersangka
Korupsi, http://m.radioaustralia.net.au/indonesia/2013-10-03/ketua-mahkamah-konstitusi-
indonesia-resmi-jadi-tersangka-korupsi/1199912
Pengenalan Gratifikasi http://kpk.go.id/gratifikasi/index.php/information-gratifikasi/111-pengenalan-
gratifikasi 
Sandy, Daftar Terbaru Negara Terkorup Dunia, Indonesia? http://m.dream.co.id/news/indonesia-masuk-
daftar-negara-terkorup-di-dunia-1412081.html
Tim Global Future Institute, Marilah Kita Belajar dari Cina Untuk Berantas
Korupsi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?
lang=id&id=1059&type=5#.VU0y9VbZFAg

[1] Sandy, Daftar Terbaru Negara Terkorup Dunia,

Indonesia? http://m.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-

terkorup-di-dunia-1412081.html  diakses pada tanggal 1/5/2015, pukul 18:07

[2] Tim Global Future Institute, Marilah Kita Belajar dari Cina Untuk

Berantas Korupsi, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?

lang=id&id=1059&type=5#.VU0y9VbZFAg diakses pada tanggal 1/5/2015,

pukul 15:45
[3] Lihat Horby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-4 (Oxford: Oxford University
Press, 1989), h. 266, entri ‘corrupt.’
[4] Sudirman Said dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia,”dalam Hamid Basyaib dkk.
(ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1 (Jakarta: Yayasan Aksara, 2001), h.
99.
[5] Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, alih bahasa Nitwono

(Jakarta: LP3ES, 1987), h. viii


[6] Dikutip dalam Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi (Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis
Universitas Pelita Harapan, t.t.), h. 120.
[7] Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al-Ghozie
Usman (Jakarta: LP3ES, 1975), h. ix-x.
[8] Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Mishr, Dar al-

Ma’arif, 1392 H-1972 M, cet II, Jilid I, h. 348.

[9] Al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, Dar al-Fikr, t.t, juz I, h. 228,

Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Dar al-Fikr, t.t, Juz 9, h. 496 saw (lihat teks-teks

hadis di atas) terhadap pemberi risywah (al-rasyi) dan penerimanya (al-

murtasyi).

[10] Depag RI, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta, Proyek Sarana dan

Prasarana Produk Halal, 2003, h. 274.

[11] Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam, Maktabah Nahdlah, t.t, Juz 2, h.

295.
[12] Abu Daud Sulaiman ibn al-asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syaddad ibn ‘Amr al-Azdy as-Sijistani (w.
225), Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, Juz 3, H. 300, Hadis ke-3580. Setidaknya ada beberapa hadis risywah yang
terekam dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fadh al-Qur’an sebagaimana berikut: 1) Sunan Abu Daud, Juz 4,
Bab Karahiyah Risywah, hadis nomor 3580 h. (Dar al-Hadis, t.t.), 2) Sunan At-Tirmidzi, Juz 2, Bab Ma Jā’a Fi al-
Rasyi wa al-Murtasyi fi l-Hukmi, Hadis noor 1351 dan 1352 h. 397 (Dar al-Fikr, t.t.), 3) Sunan Ibn Majah, Juz 2,
Bab Taghlidh fi al-Haif wa al-Risywah, hadis nomor 2313 h. 775 (Tanpa Penerbit), 4) Musnad Imam Ahmad Ibn
Hanbal, Juz 3 h. 212, 194, 190, 164, 379, 387, 388 (Tanpa penerbit).
[13] Muhammad ibn Isa bin Saurah ibn ad-Dahak At-Tirmidzi, Abu

Musa (w. 279), Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar-al-Gharb al-Islami, Juz

3, H. 15, Hadis ke-1336

[14] Muhammad ibn Isa bin Saurah … Juz 3, h. 614

[15] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, India, Dairah al-Ma’arif al-

Nidhamiyah, 1327 H, cet. 1, Juz 9, h. 303

[16] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …, Juz 8, h. 358-361

[17] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …, juz 13, h. 115-118

[18] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …, juz 2, h. 148-149

[19] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …, Juz 8, h. 43-44

[20] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 11, h. 116-120

[21] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 9, h. 303-307

[22] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 8, h. 358-361

[23] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 1, h. 50-51

[24] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 6, h. 409-410

[25] Al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, …,  Juz 5, h. 337-338

[26] Ibn Abi Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah, Maktabah al-Mutanabbi,

h . 19
[27]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari., (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987) Jilid II: 917 Selain al-Bukhari, hadis ini
diriwayatkan oleh Muslim (w. 261/875), Abu Dawud (w. 275/888), an-Nasa’i (w. 303/915), Malik (w. 179/795), ar-
Rabi‘, asy-Syafi‘i (w. 204//820), Ibn Sa‘d (w. 230/844), Abu ‘Awanah (w. 316//971), Ibn Hibban (w. 354/965), Ibn
Mandah (w. 395/1005), al-Hakim (w. 404/1014), dan al-Baihaqi (w. 458/1066).

[28] Rachmat Syafe’I, al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 152-155

[29] Abdurrahman Ibn Abdurrahim, Tuhfatul Ahwazi, Dar al-Fikr, t.t, Juz, h.

565-566.

[30] Abdurrahman Ibn Abdurrahim …, h. 566

[31] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, h.

295.

[32] Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan),

Jakarta, Balitbang Agama, 1425 H/2004 M, Cet I, h. 238

[33] Laban Laisila, Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia Resmi Jadi

Tersangka Korupsi, http://m.radioaustralia.net.au/indonesia/2013-10-

03/ketua-mahkamah-konstitusi-indonesia-resmi-jadi-tersangka-

korupsi/1199912 diakses pada tanggal 01 Mei 2015, Pukul 15:44

[34] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Jilid II, h.

659- Depag RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, h. 66

[35] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr bin Farh al-

Anshary al-Khazraji Syamsu ad-Din al-Qurthuby (w. 671), al-Jami’ li

ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964

Anda mungkin juga menyukai