Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS FUNGSI RENTAN TERHADAP FRAUD

PADA KOPERASI SIMPAN PINJAM NASARI


(Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Forensik)

Dosen Pengampu :
Septarina Prita Dania Sofianti

Disusun oleh :

Mukarromah Maulidah Raudhatul Jannah NIM. 180810301003


Fradila Ayu Nabila NIM. 180810301069
Hestie Fagie NIM. 180810301078
Kelas : Akuntansi Forensik / A

PRODI S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
MARET 2021
PENDAHULUAN
1. Koperasi Simpan Pinjam
Koperasi dijabarkan sebagai kerjasama sukarela antar pihak-pihak berkepentingan
untuk membentuk suatu organisasi yang demokratis dengan pembagian secara adil atas
kontribusi modal, risiko, dan manfaat. Kata koperasi sebenarnya berasal dari bahasa latin
“Coopere” atau dalam bahasa inggris “Cooperation” yang diartikan sebagai bekerja bersama
(Lumbantobing et al., 2002). Menurut UURI Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian,
pasal 1 ayat 1 menyebutkan definisi koperasi sebagai berikut:
“Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan
hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk
menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang
ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi”(Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012, 2012).
Koperasi simpan pinjam menurut (Itang, 2016) merupakan bentuk usaha koperasi
yang bergerak dalam bidang perkreditan, dengan modal utama berupa simpanan anggota
yang akan dipinjamkan ke anggota lain yang memerlukan. Sedangkan, koperasi simpan
pinjam menurut UURI Nomor 17 Tahun 2012 didefinisikan sebagai salah satu jenis koperasi
yang bergerak dalam simpan pinjam sebagai satu-satunya kegiatannya untuk melayani
anggota koperasi. Dalam bab X pasal 89, disebutkan kegiatan koperasi simpan pinjam
berupa: a) menghimpun dana dari anggota; b) memberikan pinjaman kepada anggota; dan c)
menempatkan dana pada Koperasi Simpan Pinjam sekundernya (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2012, 2012).
2. Koperasi Simpan Pinjam Nasari (KSP Nasari)
KSP Nasari didirikan pada 31 Agustus 1998 dengan nama Koperasi Serba Usaha
(KSU) Nasari berbadan hukum nomor 0021/BH/KWK.11-30/VIII/1998 dengan jumlah
anggota 25 orang. KSU Nasari berubah nama menjadi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Nasari
pada 1 Juni 2004 dengan nomor 55/PAD/MENEG.I/VI/2004. KSP Nasari berusaha menjadi
koperasi terbaik milik bangsa dengan mengembangkan potensi ekonomi rakyat melalui
pengelolaan usaha yang profesional dan berbasis teknologi terkini, melakukan inovasi untuk
memperkuat eksistensi dan kompetensi, serta memberikan pelayanan prima untuk kepuasan
masyarakat sebagai anggota atau calon anggota. Hingga saat ini, KSP Nasari telah bermitra
dengan beberapa pihak, diantaranya BTPN, Alfamart, Indomaret, Asuransi Jasindo, Bank
Jatim, Pos Indonesia, BNI, Maybank, Bank BJB, CIMB Niaga, Telkom Indonesia, dan
sebagainya (KSP Nasari, 2018b).
KSP Nasari bergerak dalam bidang usaha simpan pinjam dengan 3 produk layanan,
yaitu simpanan, pinjaman, dan pospay. Layanan simpanan terdiri dari dua jenis, yaitu
simaster umum untuk layanan simpanan harian bagi masyarakat luas sebagai anggota belum
penuh dan simaster profit bagi masyarakat atau kalangan umum sebagai anggota atau anggota
belum penuh. Layanan pinjaman terdiri dari dua jenis, yaitu pinjaman pensiun untuk
pensiunan PNS, TNI, dan Polri sebagai anggota yang gajinya diambil melalui kantor pos,
Bank BRI, Bank BTPN, dan Bank Daerah dan pinjaman mikro sinari untuk para anggota
yang bergerak dalam usaha UMKM. Terakhir, layanan pospay untuk membayar tagihan dan
angsuran apapun dengan menggunakan Sistem Realtime Online Payment (SOPP) (KSP
Nasari, 2018a).
3. Jenis Fraud
Fraud dapat didefinisikan sebagai tindakan ilegal dalam bentuk penipuan,
menyembunyikan sesuatu atau pelanggaran kepercayaan IIA (2017). Menurut (Ikatan
Akuntan Indonesia (2011), fraud juga dapat didefinisikan sebagai kejahatan baik berupa
kecurangan dalam pelaporan keuangan maupun penyalahgunaan atau penggelapan aset.
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) mengelompokkan jenis fraud dalam
sebuah fraud tree, seperti dijabarkan dalam (Sofianti, 2018):
a. Fraudulent statement, berupa salah saji atau hilangnya informasi material dalam
laporan keuangan secara disengaja oleh pelaku. Fraud ini paling jarang terjadi, namun
memiliki dampak yang besar pada keuangan suatu organisasi per kasusnya;
b. Asset Misappropriation, berupa pencurian atau penyalahgunaan sumber daya
perusahaan. Fraud ini paling sering terjadi, namun dampaknya pada setiap kasus
kecil. Fraud jenis ini dapat dibedakan menjadi fraud pada kas (theft cash on hand,
theft of cash receipts, dan fraudulent disbursement) dan fraud pada persediaan dan
aset lain (penyalahgunaan atau misuse dan pencurian atau larceny);
c. Corruption, berupa penyalahgunaan kepercayaan dan kewenangan untuk
menyalahgunakan aset yang menjadi tanggung jawab pelaku. Fraud jenis ini dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu benturan kepentingan, suap, gratifikasi ilegal, dan pemerasan
ekonomi.
PEMBAHASAN
1. Fraud yang Rentan Terjadi di KSP
Seperti yang dibahas secara teori, fraud paling sering terjadi dalam bentuk asset
misappropriation. Dalam hal ini, kami menemukan salah satu penelitian yang dilakukan oleh
Dewangga (2017) mengenai fraud yang terjadi di KSP Nasari Malang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewangga (2017) dalam skripsinya yang
berjudul “Fraud dan Pencegahannya Berdasarkan Persepsi Manajemen Koperasi Simpan
Pinjam (Studi Kasus Koperasi Simpan Pinjam Nasari Malang), menjelaskan dalam hasil
wawancara yang dilakukan bahwa terduga fraud pada KSP Nasari sering terjadi pada pihak
yang bertugas memegang keuangan. Penelitiannya menyebutkan sedikit secara spesifik
pelaku fraud mengacu pada bagian teller koperasi yang kemungkinan dapat melakukan make
up data. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya sistem pengendalian internal koperasi, salah
satu contohnya tidak adanya kuitansi sebagai bukti transaksi karena kedekatan para anggota
yang menyebabkan tingkat kepercayaan terlalu tinggi. Dalam penelitiannya pula telah
dijabarkan mengenai deskripsi pekerjaan teller di KSP Nasari yang berhubungan langsung
dengan pemegangan dana koperasi, beberapa diantaranya yaitu:
a. Menerima uang tunai dari atasan pada pagi hari;
b. Menerima dan membayar uang atas transaksi;
c. Mencatat transaksi di buku bantu kas manual teller;
d. Menginput transaksi tunai dan non tunai;
e. Melakukan opname dan menyerahkan uang tunai di akhir hari ke atasan.
Kami mengidentifikasi teller sebagai fungsi paling rentan fraud pada koperasi
mengacu pada tugas teller secara umum pada institusi perbankan, seperti yang disebutkan
oleh (Rahmadian, 2018), diantaranya termasuk menerima simpanan, mencairkan cek,
penyetoran dan penarikan uang tunai, pemindahbukuan, dan lain sebagainya yang terkait
dengan pemberian layanan pada nasabah. Tugas teller ini dapat dikatakan secara langsung
terkait dengan kas yang dalam teori memang menjadi sasaran paling empuk para pelaku
fraud.

2. Identifikasi Risikoyang Rentan di Koperasi Simpan Pinjam pada Fungsi Teller


Menurut (Leviza, 2014) risiko tidak cukup untuk dihindari tetapi harus dihadapi juga
dengan cara-cara yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya suatu kerugian, maka dari
itu risiko harus dikelola dengan baik dan benar. Sedangkan menurut Hanafi (2014)dalam
(Sari & Afriyeni, 2020)risiko adalah di mana kemungkinan kerugian ada, tetapi kemungkinan
keuntungan tidak ada.
Identifikasi Risiko adalah proses menemukan, mengenali dan mencatat risiko. Dalam
proses manajemen risiko, identifikasi risiko merupakan bagian yang dilakukan paling
terdahulu dalam proses assessmen risiko (Jasa Marga Indonesia Highway corp, 2019).
Dengan kata lain risiko adalah probabilitas bahwa “Baik” atau “Buruk” yang mungkin terjadi
yang akan berdampak terhadap tujuan yang ingin kita capai. Untuk itu risiko perlu kita kelola
dengan baik melalui proses yang logis dan sitematik dalam identifikasi, kuantifikasi,
menentukan sikap, menetapkan solusi serta memonitor dan pelaporan risiko yang
berlangsung pada setiap aktivitas atau proses atau yang biasa kita kenal dengan manajemen
risiko (Mundir, 2016)
Faktor risiko yang melekat pada bisnis koperasi khususnya KSP, jika dikaji lebih jauh
ternyata jumlahnya sangat beragam, diantaranya :
a. Risiko Kredit atau Risiko Pembiayaan
b. Risiko Likuiditas
c. Risiko Operasional
d. Risiko Bisnis
e. Risiko Strategik
f. Risiko Reputasional
g. Risiko Legal
h. Risiko Politik
Tetapi jika kita merujuk pada fungsi teller, identifikasi risiko yang berkaitan erat
dengan fungsi teller menurut identifikasi yang ada, yakni risiko operasional dan risiko yuridis
(legal risk).
a. Identifikasi Risiko Operasional pada fungsi teller di KSP Nasari
Risiko Operasional merupakan risiko yang timbul akibat adanya ketidakcukupan atau
tidak berfungsinya proses internal (process factor) hal ini biasanya diakibatkan
adanya kesalahan atau kecurangan manusia (human factor), kegagalan sistem (system
factor) dalam mencatat, membukukan dan melaporkan transaksi secara lengkap, benar
dan tepat waktu(Roshila, 2017). Atau bisa juga didefinisikan sebagai risiko yang
umumnya bersumber dari masalah internal, dimana risiko ini terjadi disebabkan oleh
lemahnya sistem kontrol manajemen (management control system) yang disebabkan
oleh pihak internal (Vatharani & Fernos, 2020)
Menurut Vatharani dan Fernos, hal 5 Tahap awal dalam proses manajemen risiko
operasional pada fungsi teller adalah mengidentifikasi risiko operasional dan
mengidentifikasi semua jenis karakter operasional dalam setiap produk dan aktifitas
secara berkala kedalam lima kelompok penyebab terjadinya kerugian atau kecurangan
(fraud), yaitu :
1) Kesalahan proses internal KSP
2) Kesalahan pada sumber daya manusia
3) Kegagalan pada sistem
4) Kerugian dari pihak luar KSP
5) Melakukan pelanggaran hukum dan peraturan yang berlaku
Identifikasi risiko operasional yang dilaksanakan bertujuan untuk mengidentifikasi
seluruh risiko yang mempengaruhi kerugian terhadap operasional KSP Nasari dan
juga mempengaruhi laba rugi KSP Nasari. Identifikasi risiko operasional yang cepat
mempengaruhi faktor-faktor yang baik bagi internal seperti : ruang lingkup aktivitas
KSP, mengurangi kerumitan yang ada dalam struktur organisasi, mempengaruhi
kinerja sumber daya manusia, perubahan tekanan pergantian karyawan, maupun
faktor eksternal yang meliputi : terjadinya turun naik nya keadaan ekonomi,
perubahan dalam industri, kemajuan teknologi, sosial, bencana alam dan politik atau
sosial (Vatharani & Fernos, 2020).
Asesmen risiko yang paling efektif memungkinkan KSP Nasari untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik terhadap profil risiko serta target manajemen risiko
sumber daya yang paling efektif, alat-alat yang digunakan KSP untuk
mengidentifikasi dan melakukan asesmen terhadap risiko operasional adalah :
1) Menilai atau menghitung risiko sendiri (self-risk assessment)
KSP harus melakukan checlists untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
pada lingkungan risiko operasional KSP, seperti metode scorecords,
menyediakan suatu sarana untuk menterjemahkan asesmen yang kualitatif
menjadi perhitungan-perhitungan yang kuantitatifyang menghasilkan secara
relatif ranking dari berbagai tipe eksposur risiko operasional.
2) Pemetaan risiko (risk mapping)
Risk mapping merupakan pemetaan menurut jenis risiko terhadap aktivitas
fungsional yang dapat menghasilkan area-area yang memiliki kelemahan dan
membantu menetapkan prioritas kegiatan manajemen selanjutnya.
3) Indikator risiko (risk indicators)
Indikator risiko adalah statistik atau metrics, dalam financial yang dapat
memberikan penglihatan terhadap suatu posisi risiko suatu KSP. Indikator ini bisa
di review secara periode untuk menjaga kewaspadaan KSP terhadap perubahan
yang mungkin merupakan indikasi yang berkaitan dengan risiko.
4) Pengukuran (measurements)
Beberapa koperasi simpan pinjam mulai memperhitungkan eksposur mereka
terhadap riskiko operasional dengan menggunakan berbagai macam pendekatan.
Misalnya, data kerugian KSP berdasarkan pengalaman dapat menyediakan
informasi yang berharga dalam melakukan asesmen terhadap eksposur KSP pada
risiko operasional dan menggembangkan suatu kebijakan untuk mitigasi atau
pengendalian risiko(Vatharani & Fernos, 2020).
Kasus yang sering terjadi, seperti kegagalan rekon, kesalahan pencatatan, kegagalan
menyeimbangkan debet dan kredit, kegagalan sistem transaksi setelah upgrade, dan kejadian
eksternal, oleh karena itu koperasi simpan pinjam melakukan penerapan sistem dalam
mengendalikan internal dan menyediakan laporan berkala mengenai tentang kerugian yang
terjadi karna risiko operasional pada fungsi Teller, agar manajemen kopersi simpan pinjam
mendapatkan informasi yang jelas tentang potensi kerugian risiko operasional di masa
mendatang, oleh karena itu perlunya pemantauan yang lebih internal. Karena unit kerja
terutama pada bagian fungsi Teller yang merupakan salah satu unit kerja yang berfungsi
untuk melaksanakan kegiatan transaksi keuangan tunai dengan nasabah di Teller yang
berkaitan secara langsung dengan nasabah(Vatharani & Fernos, 2020)
Risiko operasional pada fungsi Teller pada KSP dilakukan secara sengaja atau tidak
sengaja oleh faktor manusia, misalnya kasus pengelapan dana KSP yang dilakukan oleh
pegawai Teller, dengan cara melakukan penggelapan dana nasbah dan memalsukan tanda
nasabah, setelah itu pelaku menarik dana nasabah tersebut dengan memasukan tanda tangan
palsu pada slip penarikan, kemudian pelaku menginput jumlah nominal daya yang akan
ditarik, kemudian slip penarikannya disimpan dikantor unit sebagai bukti kas penarikan tunai.
Sehingga nasabah dan pihak KSP tidak mengetahui bahwa jika tersangka telah telah
mengambil uang nasabah yang ada pada KSP(Vatharani & Fernos, 2020)
b. Identifikasi Risiko Yuridis (legal risk)
Berikut adalah identifikasi risiko yuridis terhadap telller :
1) Risiko karena teller salah membukukan penarikan atau penyetoran. Hal ini
mungkin terjadi karena salah melihat pada nomor rekening atau salah melihat
nomor cek nasabah. Misalnya, modusnya head teller menarik uang kas nasabah
berulang-ulang dan kemudian membukukan penarikan atas nama nasabah.
2) Risiko kesalahan dalam verifikasi warkat atau kelalaian petugas sehingga
terbayarkan warkatwarkat yang seharusnya tidak atau belum boleh dibayarkan.
Misalnya cek di cross, ternyata dibayar oleh teller secara tunai.
3) Risiko adanya uang palsu yang tidak teridentifikasi oleh teller dan kemudian
ternyata dibayarkan kembali pada nasabah. Dalam hal ini, KSP bisa dianggap ikut
mengedarkan uang palsu (Rahmadian, 2018).

3. SOLUSI MENCEGAH FRAUD DI KOPERASI SIMPAN PINJAM PADA


FUNSGI TELLER
Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang awal yang dilakukan untuk
menghindarkan koperasi dari tindakan fraud (Dewangga, 2017). Pencegahan fraud
sebenarnya telah ada pada organisasi itu sendiri untuk kategori ring 1, namun apabila tidak
berhasil akan dilanjutkan dengan ring 2 yang diawasi dan dijaga langsung oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) (Sembiring, 2020). COSO (1992) dalam (Amrizal, 2004) menyatakan
bahwa terdapat tindakan-tindakan secara umum yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya fraud. Tindakan pencegahan tersebut antara lain :
a. Membangun struktur pengendalian internal yang baik
Pengendalian internal yang baik memerhatikan beberapa aspek terkait diantaranya
lingkungan pengendalian, penilaian risiko, standar pengendalian, informasi dan
komunikasi, dan pemantauan (Dewangga, 2017)
b. Mengefektifkan aktivitas perusahaan
Efektivitas aktivitas perusahaan memerhatikan aspek-aspek terkait diantaranya review
kinerja, pengolahan informasi, pengendalian fisik, dan pemisahan tugas (Dewangga,
2017).
c. Meningkatkan kultur organisasi
Kultur organisasi juga berperan penting dalam mencegah terjadinya fraud. Kultur
organisasi yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan adalah keadilan, transparansi,
akuntabilitas, tanggung jawab, moralitas, keandalan, dan komitmen (Dewangga,
2017).
d. Mengefektifkan fungsi internal audit
Fungsi internal audit juga dapat mencegah terjadinya fraud dalam koperasi simpan
pinjam, sehingga perlu mengefektifkan fungsi internal audit. Efektivitas fungsi
internal audit dapat dilakukan dengan hal-hal berikut (Dewangga, 2017):
1) Fungsi audit internal dibuat independen dimana tidak terlibat dalam kegiatan
operasional koperasi simpan pinjamdan tidak pula bertanggung jawab kepada
manajemen puncak
2) Deskripsi tugas audit internal harus jelas
3) Memiliki audit internal manual untuk mencegah terjadinya fraud, menetapkan
standar, dan mampu meyakinkan hasil akhirnya
4) Manajemen puncak turut memberikan dukungan kepada audit internal
5) Audit internal harus diisi dengan sumber daya yang profesional, objektif,
berintegritas, dan memiliki loyalitas tinggi
6) Akuntan publik dan audit internal harus dapat bekerja sama
7) Memiliki saluran pelaporan kecurangan
Fraud yang terjadi pada bagian atau fungsi teller dapat dilakukan berdasarkan
pedoman yang telah dinyatakan oleh COSO. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dewangga
(2017)yang menjelaskan tindakan Koperasi Simpan Pinjam Nasari dalam mencegah
terjadinya fraud pada bagian yang rentan terhadap fraudmasih terkait dengan pernyataan
yang dikemukakan COSO. Tindakan pencegahan tersebut dilakukan dengan berkaca pada
kasus fraud sebelumnya yang pernah terjadi di salah satu kantor cabang.Hasil penelitian
tersebut didapatkan melalui wawancara dengan informan yang tidak lain merupakan pegawai
dari Koperasi Nasari Malang. Tindakan tersebut antara lain :
a. Melakukan konfirmasi
Konfirmasi dinilai menjadi cara yang dapat dilakukan untuk mencegah potensi
terjadinya tindakan fraud. Konfirmasi adalah cara mengolah informasi untuk
mengefektifkan pengendalian dan mencegah terjadinya fraud (Dewangga, 2017).
Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Bapak Eko yang menyatakan bahwa setiap
paginya selalu dilakukan konfirmasi kepada karyawan Koperasi Simpan Pinjam
Nasari (Dewangga, 2017). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Ibu Titik
yang menyatakan bahwa konfirmasi dapat dijadikan cara mencegah terjadinya fraud
dengan memberikan nomor pada kuitansi yang kemudian akan dibuatkan laporan agar
dapat dilakukan pengecekan (Dewangga, 2017). Pendapat yang mendukung juga
datang dari Ibu Fifi yang menyatakan bahwa konfirmasi perlu dilakukan oleh
beberapa pihak yang disertakan dengan dibuatnya laporan (Dewangga, 2017).
Konfirmasi yang diatur dalam peraturan Koperasi Simpan Pinjam Nasari disebut On
The Spot karena konfirmasi pada awalnya dilakukan dengan memeriksa data pada
koperasi dan apabila ditemukan kejanggalan maka auditor akan langsung memeriksa
dan bertanya ke rumah anggota yang dirasa mecurigakan (Dewangga, 2017).
b. Menggunakan sistem dan kebijakan dalam bekerja
Kebijakan yang ditetapkan oleh Koperasi Simpan Pinjam Nasari melarang karyawan
membawa uang dalam bentuk tunai kecuali kondisi tertentu yang mengharuskan
terjadi (Dewangga, 2017). Kebijakan mengharuskan transaksi dilakukan dengan
transfer melalui bank (Dewangga, 2017). Kebijakan Koperasi Simpan Pinjam Nasari
selalu berganti karena berkaca pada kasus fraud yang terjadi pada salah satu koperasi
cabang sehingga membuat kebijakan selalu dilakukan evaluasi dan diganti untuk
meminimalisir terjadinya fraud (Dewangga, 2017).
c. Adanya informasi atau edukasi
Penyaluran informasi dan edukasi dinilai dapat meminimalisir tindakan fraud dimana
dengan adanya informasi dan edukasi karyawan akan diberitahukan pengetahuan
terkait fraud seperti hal yang termasuk fraud, dampak fraud, dan alasan agar tidak
berani melakukan fraud (Dewangga, 2017). Edukasi dan informasi dapat dilakukan
dengan pelatihan seperti yang telah dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam Nasari
pusat terhadap kantor cabang (Dewangga, 2017).
d. Melakukan review atas kinerja
Tindakan ini masih berkaitan dengan tindakan sebelumnya yaitu kebijakan dan sistem
yang ditetapkan. Kebijakan dan sistem yang ditetapkan merupakan hasil dari adanya
review atas kinerja. Kinerja akan terus dievaluasi agar meminimalkan potensi
terjadinya fraud pada Koperasi Simpan Pinjam Nasari (Dewangga, 2017).
e. Audit secara berkala
Koperasi Simpan Pinjam Nasari memiliki pelatihan yang pasti dilakukan terkait
Sistem Pengendalian Internal (SPI) dengan tujuan agar audit mendapat bekal dan
mampu menjalankan tugasnya mendeteksi terjadinya fraud dengan mudah
(Dewangga, 2017).
Tindakan pencegahan fraud yang dilakukan Koperasi Simpan Pinjam Nasari sejatinya
tidak berbeda dari yang dinyatakan oleh COSO seperti adanya pengendalian internal, kultur
organisasi, dan meningkatkan fungsi internal audit. Namun, pencegahan terhadap fraud yang
dilakukan oleh Koperasi Simpan Pinjam Nasari masih berpotensi untuk terjadi fraud. Hal ini
dapat diketahui dari kurangnya pengetahuan manajemen akan pencegahan dan pendeteksian
fraud. Manajemen Koperasi Simpan Pinjam Nasari masih dianggap kurang pengetahuannya
karena sejatinya pelatihan yang dilakukan hanya diperuntukkan oleh auditor saja, sehingga
manajemen ketika ditanya masih memberikan jawaban yang kurang pas dan terkesan
menyimpang dari apa yang ditanyakan (Dewangga, 2017).
Kelompok kami melihat fenomena tersebut menjadi suatu hal yang harus segera
diselesaikan, karena potensi fraud akan terus membayangi apabila tidak diusut dari akar
permasalahannya. Berdasarkan kasus Koperasi Simpan Pinjam Nasari, fraud terjadi karena
adanya kesempatan untuk melakukan. Kesempatan tersebut berupa kepercayaan yang
diberikan kepada pemangku jabatan secara berlebihan berupa pemberian ruang prioritas yang
banyak dan lemahnya pengendalian internal Koperasi Simpan Pinjam Nasari (Dewangga,
2017). Kesempatan memang menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya fraud sehingga
untuk mencegah terjadinya fraud harus dengan memperkecil adanya kesempatan fraud. Cara
yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesempatan terjadinya fraud antara lain :
a. Memberikan pelatihan secara menyeluruh kepada karyawan Koperasi Simpan Pinjam
Nasari mengenai apa itu fraud, perbuatan yang termasuk fraud, dampak terjadinya
fraud bagi karyawan, perusahaan, dan nasabah, dan pencegahan dan pendeteksian
fraud. Pelatihan tidak hanya dikhususkan untuk fungsi audit internal saja, namun
sebaiknya dilakukan untuk semua karyawan agar dapat memahami fraud dengan baik
b. Pengendalian internal selalu dilakukan evaluasi, apabila hasilnya baik dapat
dipertahankan, namun apabila hasilnya buruk dalam artian masih memungkinkan
terjadi fraud maka sudah selayaknya untuk diganti dengan pengendalian internal yang
baru. Pengendalian internal selayaknya dilakukan secara tegas dan tanpa pandang
bulu sehingga pencegahan dan pendekteksian terhadap fraud dapat dilakukan dengan
cepat dan tepat.
c. Adanya sosialisasi kepada karyawan mengenai kode etik dalam bekerja dan sanksi
yang didapat apabila melakukan kesalahan atau kecurangan
d. Profesioanalisme dalam bekerja tidak boleh diabaikan agar kinerja karyawan
memuaskan dan tidak melanggar aturan organisasi
e. Kepercayaan tidak boleh diberikan secara berlebihan namun harus tetap ada rasa
waspada dimana pemangku jabatan harus selalu dievaluasi dan diawasi kinerjanya
Tambahan Notulensi Kolega:
Pencegahan fraud dalam KSP Nasari dikarenakan banyak berhubungan dengan kas
pada fungsi teller, maka kemungkinan jika terjadi penyalahgunaan seperti lapping dan
sebagainya dapat dicegah dengan beberapa hal:
a. Pemberian sanksi yang tegas kepada pelaku;
b. Pembatasan akses untuk setiap teller yang bekerja sehari-harinya. Jadi,
diusahakan setiap teller yang bertugas memiliki kode atau hak akses
tersendiri;
c. Me-review observasi terkait penggunaan CCTV dan scheduling teller untuk
memastikan memang dalam satu shift, teller tersebut yang memang bertugas.
Selain itu, penggunaan CCTV dan scheduling teller ini dapat digunakan jika
ditemukan adanya indikasi kecurangan pada tanggal tertentu, sehingga pelaku
kecurangan (teller) yang bersangkutan dapat dilacak;
d. Memastikan tabel otoritas benar-benar jelas. Hal ini juga terkait dengan
pembatasan akses, dengan memberikan password khusus yang berbeda-beda
untuk setiap teller.
DAFTAR PUSTAKA

Amrizal. (2004). Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Internal Auditor.


Direktorat Investigasi BUMN dan BUMD Deputi Bidang Investigasi.
Dewangga, A. I. (2017). Fraud dan Pencegahannya Berdasarkan Persepsi Manajemen
Koperasi Simpan Pinjam (Studi Kasus Koperasi Simpan Pinjam Nasari Malang).
Universitas Brawijaya.
International Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (Standards), (2017).
Indonesia, I. A. (2011). Standar Pemeriksaan Akuntan Publik. Salemba Empat.
Itang. (2016). Pemikiran Ekonomi Koperasi Mohammad Hatta: Relevansinya dengan Etika
Ekonomi Islam. Laksita Indonesia.
Jasa Marga Indonesia Highway corp. (2019). TEKNIK DAN METODE IDENTIFIKASI DAN
ANALISIS RISIKO.
KSP Nasari. (2018a). Produk Layanan. https://www.kspnasari.com/services.html#
KSP Nasari. (2018b). Tentang Kami. KSP Nasari. https://www.kspnasari.com/about_us.html
Lumbantobing, Purba, J. E. F., & Simangunsong, R. (2002). Ekonomi Koperasi (Edisi Pert).
Universitas HKBP Nommensen.
Mundir, A. (2016). STRATEGI PENGEMBANGAN KOPERASI JASA KEUANGAN
SYARIAH. Malia, 7(2).
Rahmadian, A. D. (2018). Prosedur Audit Kas dan Teller Pada Bank Negara Indonesia
Kantor Cabang Pembantu Surabaya Town Square. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Perbanas.
Roshila, D. (2017). Analisis Penerapan Manajemen Risiko Pembiayaan (Studi Kasus Pada
BMT Al-Hasanah Cabang Jati Mulyo Lampung Selatan).
Sari, A. S., & Afriyeni. (2020). RESIKO OPERASIONAL UNIT TELLER DAN CUSTOMER
SERVICE PADA PT. BPD SUMBAR CABANG PEMBANTU SIMPANG HARU.
Sembiring, L. J. (2020). Cegah Fraud Perbankan, OJK Perkuat Pengawasan Berlapis.
Sofianti, S. P. D. (2018). Akuntansi Forensik. UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas
Jember.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012, (2012).
Vatharani, T. V., & Fernos, J. (2020). PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO OPERASIONAL
PADA UNIT TELLER PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH SUMATERA BARAT
CABANG SITEBA. 1–18.

Anda mungkin juga menyukai