Anda di halaman 1dari 24

NAMA : Muhammad Denny Ariefin

NIM : 190701140

KELAS : Reguler 3 C

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM DALAM KASUS TERBITNYA IZIN


MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah perbuatan melanggar hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan

onrechtmatigedaad1. Perbuatan melanggar hukum di sini dimaksudkan adalah

sebagai perbuatan melanggar hukum dalam bidang keperdataan. Menurut Pasal 1365

KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah

perbuatan yang melanggar hukum perdata yang dilakukan oleh seseorang yang

karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, yang mengharuskan

orang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian tersebut untuk mengganti

kerugian. Dalam ilmu hukum dikenal tiga kategori dari perbuatan melanggar hukum,

yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan melanggar hukum karena kesengajaan;

2. Perbuatan melanggar hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan

maupun kelalaian);

3. Perbuatan melanggar hukum karena kelalaian.

1
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm. 247
Dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata ini, dapat diketahui bahwa suatu

perbuatan melanggar hukum baru dapat dituntut penggantian kerugian apabila telah

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Perbuatan itu harus melanggar hokum. Suatu perbuatan adalah

perbuatan melanggar hukum apabila berlawanan dengan:

a. Hak orang lain, atau

b. Kewajiban hukumnya sendiri, atau

c. Kesusilaan yang baik, atau

d. Keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup

masyarakat mengenai orang lain atau benda.

2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

Kerugian yang disebabkan oleh karena perbuatan melanggar

hukum dapat berupa kerugian materiel (dapat dinilai dengan uang)

dan kerugian immaterial (tidak dapat dinilai dengan uang). Dengan

demikian, kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan melawn

hukum tidak hanya terbatas pada kerugian yang ditujukan kepad

kekayaan harta benda, tetapi juga kerugian yang ditujukan pada

tubuh, jiwa, dan kehormatan manusia.

3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan.

Suatu kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian.

Kesengajaan berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dan

perbuatan ini berniat untuk membuat suatu akibat. Adapun


kelalaian berarti seseorang tidak melakukan suatu perbuatan,

padahal menurut hukum ia harus berbuat atau melakukan suatu

perbuatan. Dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa:

a. Kesengajaan adalah melakukan suatu perbuatan dimana dengan

perbuatan itu si pelaku menyadari sepenuhnya aka nada akibat

dari perbuatan tersebut

b. Kelalaian adalah seseorang tidak melakukan suatu perbuatan,

tetapi dengan bersikap demikian pada hakikatnya ia telah

melanggar hukum, sebab semestinya ia harus berbuat atau

melakukan suatu perbuatan. Jadi, ia lalai untuk melakukan

sesuatu perbuatan yang sebenarnya wajib melakukan suatu

perbuatan.

4. Perbuatan itu harus ada hubungan kausal (sebab-akibat) Hubungan

kausal merupakan hubungan sebab-akibat antara perbuatan

melanggar hukum dengan kerugian. Hubungan kausal ini tersimpul

dalam pasal 1365 KUH Perdata yang mengatakan, bahwa perbuatan

yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian. Dengan

demikian, kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan

seseorang. Jika tidak ada perbuatan(sebabnya), maka tidak ada

kerugian (akibatnya).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya hukum tentang

perbuatan melanggar hukum merupakan suatu konsep yang terbilang rumit yang
memproses pemindahan beban resiko dari pundak korban ke pundak pelaku

perbuatan tersebut

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dianalisis dalam karya ilmiah makalah ini adalah untuk

menganalisis perbuatan melanggar hukum dalam izin mendirikan bangunan.

C. Manfaat Tulisan

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:

1. Tulisan ini diharapkan menjadi referensi tulisan ilmiah lainnya tentang

perbuatan melanggar hukum.

2. Tulisan ini merupakan salah satu syarat menyelesaian tugas mata kuliah

hukum perikatan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Perbuatan Melanggar Hukum

Teori perlindungan hukum bersumber dari teori hukum alam atau aliran

hukum alam, aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid plato), dan Zeno

(pendiri aliran stoic). Menurut aliran hukum alam, bahwa hukum itu bersumber dari

Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh

dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah

cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang

diwujudkan melalui hukum dan moral.

Eksistensi dan konsep hukum alam selama ini masih banyak dipertentangkan

dan ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kenyataan justru tulisan-

tulisan pakar yang menolak itu banyak menggunakan hukum alam yang kemungkinan

tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakan sejumlah filosof

hukum terhadaphukum alam, karena mereka menganggap pencarian terhadap sesuatu

yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan

tidak bermanfaat2.

Perlindungan hukum yang preventif kepada masyarakat ialah mencegah

terjadinya suatu sengketa dan adapun dalam perlindungan hukum represif bertujuan

untuk menyelesaikan sengketa. Pada hakikatnya, setiap orang berhak untuk

mendapatkan perlindungan hukum, dalam kaitannya melindungi hak-hak yang timbul

2
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 116.
dalam sebuah perjanjian serta perlindungan hukum bagi penggugat dan tergugat dari

dasar pertimbangan hakim dan akibat hukum yang timbul berdasarkan Putusan

Nomor 192/Pdt. G/2017/PN PLG dan kesesuaiannya dengan teori perlindungan

hukum.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan

dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi

para pilhak yang bersangkutan sehinga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan

teliti, baik, cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka

putusan hakimyang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dapat merugikan

bagi salah satu pihak. Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya

juga memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak

disangkal.

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut

semua fakta atau hal-hal yang terbukti dalam persidangan

c. Adanya semua bagian dari petitum penggugat harus dipertimbangkan atau

diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan

tentang terbukti atau tidaknya dan dapat dikabulkan atau tidaknya tuntutan

tersebut dalam amar putusan


Maka diharapkan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor

192/Pdt.G/2017/PN.PLG hendaklah teliti, baik, cermat, dan berisikan halhal tersebut

di atas, serta menjadi bahan yang sangat menarik untuk dianalisis apakah dasar

pertimbangan hakim tersebut sudah sesuai dengan teori pertimbangan hakim.

B. Contoh Kasus: Perbuatan Melanggar Hukum Dalam Penerbitan Izin

Mendirikan Bangunan Pabrik Kelapa Sawit

Contoh yang diambil mengenai perbuatan melarang hukum adalah kasus

dalam penerbitan izin mendirikan bangunan kelapa sawit milik PT Tor Ganda.

Pada Pasal 6 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 terkait Pengelolaan Lingkungan

Hidup diungkapkan yakni tiap individu wajib menjaga kelestarian peran lingkungan

hidup beserta melakukan pencegahan dan penanggulangan tercemarnya dan rusaknya

lingkungan terkait. Dalam Pasal 6 ayat (2) dijelaskan yakni tiap individu yang

melaksanakan bisnis dan/atau aktivitas wajib menginformasikan yang tepat dan

akurat dalam mengelola lingkungan hidup. Selanjutnya terkait aturan pelaksanaannya

tertuang dalam PP No. 27 Tahun 1999 terkait Analisis Dampak Lingkungan Hidup

(AMDAL) yakni upaya dan/atau aktivitas yang cenderung berdampak besar dan

berarti pada lingkungan hidup diwajibkan sesuai dengan syarat AMDAL, wajib

berupaya mengelola lingkungan terkait dan memantaunya dengan pembinaan menjadi

tugas dari lembaga bidang usaha dan/atau aktivitas. Pada Pasal 67 UU RI No.32

tahun 2009 terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni tiap

individu wajib menjaga kelestarian peran lingkungan hidup beserta melakukan

pengendalian tercemarnya dan/atau rusaknya lingkungan hidup.


Pihak yang memegang ijin tidak diperkenankan bertindak yang menyalahi

peraturan terkait. Melalui perizinan, pemerintah membolehkan pemegang ijin untuk

bertindak tertentu yang sesungguhnya suatu larangan. Sehingga esensi dari sebuah

izin ialah larangan sebuah perilaku, terkecuali diperbolehkan atas perizinan.

Peranan sub-sektor perizinan, khususnya izin usaha mendirikan perusahaan

pabrik kelapa swait (PKS), sangat besar artinya bagi pembangunan ekonomi,

terutama dalam hal menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan

masyarakat khususnya masyarakat petani sawit, dan yang lebih penting lagi dapat

memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha. Sementara bagi pemrintah atau

penguasa, perizinan dapat pula dijadikan sebagai alat atau instrument hukum, guna

mengatur dan mengendalikan kegiatan ekonomi di dalam masyarakat, dan yang lebih

penting lagi dapat meningkatkan penerimaan Negara/ daerah.

Perizinan dapat diartikan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi

pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap

kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perizinan antara lain:

pendaftaran, rekomenadasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan

sesuatu usaha yang biasanya harus memiliki atau diperoleh suatu organisasi

perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melaksanakan suatu

kegiatan atau tindakan. Dengan memberi izin, pengusaha memperkenankan orang

yang memohonnya untuk melakukan tindakan tindakan tertentu yang sebenarnya

dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya

pengawasan (Adrian Sutedi, 2015).


Tujuan secara umum adalah untuk pengendalian dari pada aktivitas

pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman

yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang

berwenang.

Hutan Riau merupakan penyangga kelestarian alam dan paru-paru dunia.

Namun tidak lagi demikian semenjak keberadaan hutan Riau khususnya daerah

Kabupaten Rohul Kecamatan Tambusai sudah habis di babat oleh PT. Tor Ganda

dengan modus koperasi yang beranggotakan fiktif. Hutan lindung yang memiliki luas

28.800 ha di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Di Kecamatan Tambusai Utara

kini telah berubah menjadi perkebunan sawit yang luas.

Menurut salah satu masyarakat sekitar di kawasan hutan lindung Kecamatan

Tambusai Utara, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rokan Hulu memberikan

izin kepada masyarakat sekitar. Izin tersebut terkait SK dan merekomendasikan

penghijauan hutan lindung Sei Mahato diperuntukkan bagi kelompok petani. Namun

SK dan rekomendasi tersebut dirampas oleh kedua koperaso mitra PT. Tor Ganda dan

merusak tanaman penghijauan kelompok tanni yang meliputi karet, matoa, pohon

rambutan, petai dan sebagainya.

Perizinan lahan kepemilikan Koperaso Mahato Bersatu sebetulnya berlokasi

di Desa Mahato km.16 hingga 21 dan terdapat perkebunan. Namun menurut

masyarakat sekitar lahan reboisasi masyarakat dirampas oleh Koperasi Mahato

Bersatu dan Koperaso Karya bakti yang berlokasi di km.40 area hutan Lindung Desa

Mahato.
Tindakan Koperasi Mahato Bersatu bersama Koperaso Karya bakti tersebut

dimulai dari mengusir masyarakat pemilik lahan reboisasi dan merampas lahan

tersebut kemudian lahan reboisasi tersebut dirubah menjadi lahan perkebunan sawit.

Tindakan Koperasi Mahato Bersatu bersama Koperaso Karya bakti tersebut bertolak

belakang dengan program pemerintahan lewat KLHK dan lembaga pelestarian hutan

lain.

Berdasarkan putusan Kemenhut No.23/Kpts-II/1983 terkait ketetapan areal

hutan lindung Sungai Mahato Seluas 28.800 Ha yang terletak d Kabupaten Daerah

Tingkat II Kampar Provinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai Hutan Lindung. Pada

keputusan tersebut ditegaskan bahwa dalam rangka pengamanan areal hutan Sungai

Mahato yang direncanakan akan dijadikan sumber plasma nutfah guna melindungi

ekosistem yang ada di daerah tersebut dan juga untuk daerah lintasan satwa serta

kegiatan pembukaan lahan hutan untuk areal transmigrasi, telah dilaksanakan

penataan batas di lapangan atas areal hutan tersebut.

Hutan Lindung Mahato di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Riau kondisinya

sudah porak poranda maraknya akibat praktek illegal logging. Dari cakupan 28 ribu

hektar, kini kawasan lindung hanya tersisa 20 persen atau cuma tersiasa 3.000 hektar

lagi.

Kuasa hukum Kelompok Tani Reboisasi dari Kantor Hukum Freddy

Simanjuntak, SH., MH & Rekan telah memberikan Surat Kuasa Substisi kepada

Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Kabupaten Rokan Hulu dan di back up

oleh Majelih Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Provinsi Riau untuk mengawasi,

menguasai dan menduduki areal garapan Kelompok Tani Reboisasi Mandiri Sungai
Mahato dangan tujuan untuk lahan garapan reboisasi tersebut dikembalikan kepada

warga masyarakat kelompok tani. Pada tanggal 18 Agustus 2018 Kantor Hukum

Freddy Simanjuntak, SH., MH & Rekan telah memberikan surat kepada Gubernur

Riau yang berisi mengenai telah terjadi dugaan penyalahgunaan wewenang serta

pengrusakan tanaman reboisasi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 4.600 Ha

oleh PT. Tor Ganda yang bermitra dengan Koperasi Sawit Mahato Bersatu dan

Koperasi Sawit Karya Bakti. Sebagai akibat pengrusakan tanaman dan penyerobotan

lahan garapan di Hutan Lindung Milik Negara, telah terjadi bentrol fisik selama bulan

antara kelompok tani Reboisasi Mandiri Hutan Lindung Sei Mahato dengan

karyawan PT. Tor Ganda, koperasi Sawit Mahato Bersama Koperasi Sawit Karya

Bakti yang mengakibatkan jatuh korban 7 (tujuh) orang meninggal dunia yaitu satu

orang dari kelompok tani dan enam orang dari PT. Tor Ganda. Atas surat yang

ditujukan kepada gubernur Riau tersebut, Kantor Hukum Freddy Simanjuntak, SH.,

MH & Rekan atas nama pelapor memohon keadilan dan langkah bantuan

penyelesaian terkait pengembalian fungsi awal hutan lindung dengan cara mengganti

tanaman pohon kelapa sawit menjadi tanaman reboisasi sebagaimana yang

dicanangkan Pemerintah melalui surat rekomendasi dari kepala Dinas Kehutanan dan

perkebunan Rokan Hulu melalui SK No. 522.5/KTPH/0694/VII/2008 tanggal 29 Juli

2008.

Kawasan Hutan Lindung Mahato mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan

sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, dan memelihara keseburan tanah serta sebagai daerah

penyangga perbatasan provinsi Riau dengan Sumatera Utara.


Salah satu tugas dan fungsi dari keberadaan kelompok tani reboisasi mandiri

hutan lindung Sungai Mahato di kawasan Hutan Lindung Sungai Mahato adalah

untuk melestarikan kembali hutan Lindung Sungai Mahato yang sebelumnya telah

porak poranda akibat perambahan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak

bertanggung jawab, dimana sebelumnya sebagian areal kawasan Hutan Lindung

tersebut telah ditanami dengan Tanaman Reboisasi yang bersumber dari bantuan bibit

dari pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Riau, berupa pohon Jabon,

Mahoni, Gaharu, Matoa, Pulai, Trembesi, Durian dan Pohon Karet untuk ditanami

diatas areal kawasan Hutan Lindung Sungai Mahato tersebut.

Tiba-tiba pada tahun 2008 dan tahun 2011 oleh kedua Koperasi yang

merupakan binaan atau mitra dari PT.Tor Ganda yaitu koperasi sawit karya bakti dan

koperasi sawit mahato bersatu telah merusak dan menghancurkan tanaman reboisasi

tersebut dan pada akhirnya kawasan areal hutan lindung tersebut menjadi perkebunan

kelapa sawit yang pada kenyataannya penguasaan secara fisik yang dilakukan oleh

PT Tor Ganda secra melawan hukum adalah mencapai lebih kurang 18.800 Ha yang

terdiri dari penguasaan fisik yang dilakukan oleh koperasi sawit karya bakti yang

dipimpin oleh Rizal Dalimunte adalah seluas 5.000 Ha, yang dikuasai dan di olah

oleh koperasi sawit Mahato Bersatu yang dipimpin oleh Alfazer, adalah seluas 7.200

Ha dan lahan garapan Reboisasi yang dipimpin oleh Paimin adalah seluas 4.600 Ha.

Pihak kelompok tani selama ini telah berupaya mengambil langkah-langkah

hukum seperti dengan membuat pelaporan/pengaduan tertulis kepada instansi terkait

baik kepada pemerintah pusat, pemerintah Daerah Provinsi Riau maupun pemerintah

daerah Kabupaten Rokan Hulu beserta jajarannya dan juga pihak kepolisian Negara
Republik Indonesia maupun jajaran Polda Riau melalui direktorat reserse criminal

khusus, namun hingga kini belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan,

oleh karenanya pada hari Rabu tanggal 7 November 2018 anggota Kelompok Tani

reboisasi mandiri Hutan Lindung Sungai Mahato melakukan unjuk rasa baik di

halaman Mapolda Riau, kantor Gubernur Riau, dan kantor DPRD Provinsi Riau.

Informasi yang didapatkan dari Kantor Hukum Freddy Simanjuntak, diketahui

bahwa Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau tekah

melakukan rangkaian kata-kata bohong dan atau tipu muslihat atau bujuk rayu dan

atau memprovokasi sebagaimana termaktub di dalam rumusan pasal 160 ayat (1)

KUHP, pasal 216 KUHP, dan pasal 241 KUHP serta pasal 378 KUHP.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang kehutanan pasal 50 ayat

3 menyatakan setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau

menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan,

pelanggaran terhadap ini dikenakan sanksi penjara paling lama 10 tahun dan denda

paling banyak 5 milyar rupiah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang kehutanan diatas,

maka PT Tor Ganda telah melakukan pelanggaran hukum. dimana terjadinya

penyalahgunaan wewenang serta pengrusakan tanaman reboisasi menjadi perkebunan

kelapa sawit seluas 4.600 Ha Oleh PT Tor Ganda yang bermitra dengan koperasi

kelapa sawit Mahato Bersatu dan koperasi sawit karya bakti yang terletak di

Kabupaten Rokan Hulu. Akibat pengrusakan tanamana reboisasi dan penyerobotan

lahan garapan di Hutan Lindung Milik Negara, telah terjadi bentrokan fisik selama

satu bulan antara anggota kelompok Tani Reboisasi Mandiri Hutan Lindung Sungai
Mahato dengan koperasi sawit karya bakti yang mengakibatkan jatuh korban

sebanyak tujuh orang meninggal dunia.

Hutan lindung Sungai mahato merupakan Hutan lindung di kabupaten Rokan

Hulu  yang wajib di jaga kelestariannya. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan

dana dengan melaksanakan Program Reboisasi melalui Kelompok tani Reboisasi

Mandiri dengan mnemberikan Bibit tanaman hutan lindung melalui Dinas kehutanan.

Hutan Lindung Sungai Mahato Luasnya Lebih Kurang 28.800 Ha,dan di Kelola oleh

Kelompok Tani Reboisasi Mandiri seluas 4600 Ha.

Namun sangat di sayangkan Hutan Lindung Sungai Mahato yang harus di jaga,

telah dialih Fungsikan oleh Koperasi sawit karya Bakti dan Koperasi Sawit Mahato

bersatu dengan bekerja sama dengan PT Tor Ganda, dengan mengusir Kelompok

Tani Reboisasi Mandiri dari lahan yang mereka Rawat.

Menurut keterangan dari ketua kelompok Tani Reboisasi Mandiri Hutan

lindung (Bapak Paimin) yang dialihkan Fungsi oleh Koperasi karya Bakti dan

Koperasi Sawit bersatu dengan bekerja sama dengan PT Tor Ganda lebih kurang

12.000 Ha, dan PT Tor Ganda telah mendirikan pabrik di kawasan Hutan lindung.

PT Tor Ganda Berani membangun PKS di dalam kawasan Hutan Lindung,tanpa

ada satu aparat Hukum pun yang menyentuhnya. status pajak yang dibayar tidak jelas

dan juga izin mendirikan yang menggunakan surat kuasa dari Kecamatan Tambusai.

Akibat pengalihan Fungsi Hutan di Sungai Mahato Negara telah di rugikan Triliun

Rupiah,dan telah merusak Paru-paru Dunia.

Bapak Paimin selaku Kelompok Tani Reboisasi Hutan Lindung Sungai Mahato

telah memberikan Himbauan kepada anggota Kelompok Tani Reboisasi Hutan


Lindung Sungai Mahato,untuk waktu 30 hari kedepan untuk seluruh kelompok tani

untuk turun kelokasi lahan yang telah mereka garap yang di ambil alih oleh Koperasi

karya Bakti dan Koperasi Sawit bersatu dengan bekerja sama dengan PT Tor Ganda.

Pihak dari kelompok Tani Reboisasi Hutan Lindung Sungai Mahato yang di

ketuai oleh Bapak Paimin telah melaporkan kepada penegak Hukum dan instansi

yang berwenang tentang perusakan Tanaman Reboisasi Hutan Lindung sungai

Mahatosejak tahun 2008 hingga sampai saat ini,namun belum ada tindakan tegas

yang di ambil baik dari Penegak Hukum maupun instansi Pemerintahan yang

berwenang setempat. Dan Pada Tahun 2016 Dinas Kehutan dan Perkebunan Provinsi

Riau mengeluarkan Dana  Pemerintah dengan memberikan bantuan 5 macam jenis

bibit kayu sebanyak 15 ribu pokok kepada Kelompok Tani Reboisasi Hutan Lindung

sungai Mahato untuk di tanam di areal kawasan Hutan lindung,akan tetapi belum

sempat bibit yang di berikan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan  Provinsi Riau di

tanam ,namun bibit yang berada di lokasi hutan lindung tersebut sudah di

hancurkan/musnahkan lagi oleh PT Tor Ganda dan bersama-sama dengan Koperasi

Sawit Mahato Bersatu dan Koperasi Sawit Karya Bakti yang merupakan

Binaan/Mitra PT Tor Ganda.

Kelompok Reboisasi Hutan Lindung Sungai Mahato telah melakukan

bebarapa upaya penyelesaian secara Hukum,namun sampai saat ini belum ada

kepastian Hukum dari Pihak Penegak Hukum dan Instansi Pemerintahan yang terkait.

Dan Kelompok Tani telah melayangkan surat laporan dan Pengaduan  kepada :

1.    Bapak Kapolri Republik Indonesia  :


Dengan Nomor surat :18/KTRMHLM/VIII/2018 tertanggal 28 Agustus 2018

2.    Bapak Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia :

Dengan Nomor Surat :17/KTRMHLM/VIII/2018 tertanggal 28 Agustus 2018

3.    Bapak Kapolda Riau :

Dengan Nomor surat : 01/ KTRMHLM/V/2018 tertanggal 01 Juni 2018

Dengan Nomor surat : 15/ KTRMHLM/VIII/2018 tertanggal 28 Agustus 2018

Dengan Nomor surat : 16/ KTRMHLM/VIII/2018 tertanggal 28 Agustus 2018

4.    Bapak Kepala Kejaksaan Tinggi Riau :

Dengan Nomor surat : 01/ KTRMHLM/V/2018 tertanggal 01 Juni 2018

5.    Bapak Gubernur Riau :

Dengan Nomor surat : 03/ KTRMHLM/VII/2018 tertanggal 23 Juli 2018

Dengan Nomor surat : 32/ KTRMHLM/XI/2018 tertanggal 26 November 2018

6.    Bapak Bupati Rokan Hulu :

Dengan Nomor surat : 30/KTRMHLM/IX/2018

7.    Bapak Camat Tambusai Utara :

Dengan Nomor surat : 31/KTRMHLM/IX/2018

Dan melalui Kuasa Hukum Advokat/Penasihat Hukum dari Kantor Hukum

FREDDY SIMANJUNTAK,SH.,MH & Rekan, juga telah melaporkan dan membuat

Pengaduan kepada:

1.    Bapak Presiden Republik Indonesia

Dengan Nomor surat : 91/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 05 Agustus 2018


Dengan Nomor surat : 125/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 132/FS-APH/XII/2018, tertanggal 21 Desember 2018

2.    Bapak Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Dengan Nomor surat : 94/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 10 Agustus 2018

Dengan Nomor surat : 108/FS-APH/IX/2018, tertanggal 01 September 2018

Dengan Nomor surat : 127/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 135/FS-APH/XII/2018, tertanggal 21 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 04/FS-APH/I/2019, tertanggal 04 Januari  2019

Dengan Nomor surat : 05/FS-APH/I/2019, tertanggal 04 Januari  2019

3.    Bapak Ketua Komisi IV ( Komisi Kehutanan) DPR RI

Dengan Nomor surat : 103/FS-APH/I/2019,

4.    Bapak Kepala Komisi Kepolisian Nasional ( KOMPOLNAS) RI

Dengan Nomor surat : 101/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 18 Agustus 2018

Dengan Nomor surat : 109/FS-APH/IX/2018, tertanggal 01September 2018

5.    Bapak Ketua dan Anggota Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia RI

Dengan Nomor surat : 95/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 10 Agustus  2018

Dengan Nomor surat : 110/FS-APH/IX/2018, tertanggal 1 September 2018

Dengan Nomor surat : 128/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember  2018

Dengan Nomor surat : 136/FS-APH/XII/2018, tertanggal 21 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 006/FS-APH/I/2019, tertanggal 04 Januari  2019

Dengan Nomor surat : 007/FS-APH/I/2019, tertanggal 04 Januari  2019

6.    Bapak Menteri Pendayaan Aparatur Negara Dan Reformasi Republik Indonesia.
Dengan Nomor surat : 129/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember  2018

Dengan Nomor surat : 134/FS-APH/XII/2018, tertanggal 21 Desember  2018

7.    Bapak KEMENKOPOLHUKAM Republik Indonesia.

Dengan Nomor surat : 99/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 03 Agustus  2018

8.    Bapak Menteri Dalam Negeri (MANDAGRI) Republik Indonesia:

Dengan Nomor surat : 100/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 03 Agustus  2018

9.    Ibu Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia:

Dengan Nomor surat : 102/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 03 Agustus 2018

Dengan Nomor surat : 122/FS-APH/XI/2018, tertanggal 17 November 2018

Dengan Nomor surat : 1274/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 134/FS-APH/XII/2018, tertanggal 21 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 001/FS-APH/I/2019,

10.  Bapak Kepala Kepolisian Daerah Riau ( KAPOLDA ) :

Dengan Nomor surat : 97/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 14 Agustus 2018

Dengan Nomor surat : 105/FS-APH/IX/2018, tertanggal 01 September 2018

Dengan Nomor surat : 106/FS-APH/IX/2018, tertanggal 01 September 2018

Dengan Nomor surat : 115/FS-APH/IX/2018, tertanggal 01 Oktober 2018

Dengan Nomor surat : 118/FS-APH/X/2018, tertanggal 08 Oktober 2018

Dengan Nomor surat : 119/FS-APH/XI/2018 tertanggal 17 November 2018

Dengan Nomor surat : 123/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 126/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 131/FS-APH/XII/2018, tertanggal 20 Desember 2018

Dengan Nomor surat : 002/FS-APH/I/2019, tertanggal 03 Januari 2019


11.  Bapak Gubernur Provinsi Riau :

Dengan Nomor surat : 98/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 16 agustus 2018

Dengan Nomor surat : 130/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember  2018

12. Bapak /Ibu Pimpinan DPRD Provinsi Riau :

Dengan Nomor surat : 93/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 05 Agustus 2018

13. Bapak Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Riau :

Dengan Nomor surat : 92/FS-APH/VIII/2018, tertanggal 05 Agustus  2018

Dengan Nomor surat : 107/FS-APH/IX/2018, tertanggal 01 September 2018

Dengan Nomor surat : 116/FS-APH/X/2018, tertanggal 08 Oktober  2018

Dengan Nomor surat : 117/FS-APH/X/2018, tertanggal 08 Oktober 2018

Dengan Nomor surat : 126/FS-APH/XII/2018, tertanggal 18 Desember 2018

14.  Bapak Kepala Dinas Koperasi Dan UKM Provinsi Riau

Dengan Nomor surat : 121/FS-APH/XI/2018, tertanggal 19 November  2018

15. Bapak Kepala Dinas Koperasi Dan UKM Transmigrasi Dan Tenaga Kerja

Kabupaten Rokan Hulu :

Dengan Nomor surat : 120/FS-APH/XI/2018, tertanggal 1 November 2018

Dengan Nomor surat : 003/FS-APH/I/2019, tertanggal 05 Januari  2019

Dalam Perda Rokan Hulu No 15 tahun 2002 Tentang restribusi izin mendirikan

bangunan menyatakan izin mendirikan bangunan adalah izin untuk mendirikan

bangunan. Meninjau aktivitas PT Tor Ganda ditemukan bahwa aktivitas retribusi PT

Tor Ganda tidak sesuai dengan Perda Rokan Hulu No 15 tahun 2002 Bab II pasal 2

yang menyatakan bahwa dengan nama retribusi izin mendirikan bangunan dipungut
retribusi atas setiap pemberian izin mendirikan bangunan. Namun faktan yang terjadi

adalah PT Tor Ganda tidak membayar retribusi usahanya.

Selain itu, Dalam Perda Rokan Hulu No 15 tahun 2002 Bab III tentang perizinan

Pasal 5 dikatakan bahwa setiap orang pribadi atau badan yang akan mendirikan

bangunan menanbah luas dan meningkatkan bangunan harus mendapat izin bupati.

sedangkan PT Tor Ganda tidak memiliki izin dari Bupati Rokan Hulu dan hanya

mengantongi surat keterangan tanah dari Kantor Camat Tambusai. Dengan demikian

PT Tor Ganda sudah melanggar erda Rokan Hulu No 15 tahun 2002 Bab III tentang

perizinan Pasal 5.

Berbicara mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik memang

menyulitkan mengingat tidak adanya peraturan hukum yang secara eksplisit

menyatakan tentang penyelenggaraan yang baik. Namun juga harus memperhatikan

Asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut sebagai ukuran standard

penyelenggaraan pemerintah yang baik khususnya dalam penerbita ijin IMB.

Istilah asas-asas umum pemerintahan Indonesia yang adil belum pernah

dirumuskan secara formal dalam bentuk tertulis dan sangat jarang atau bahkan belum

pernah ditemukan secara eksplisit tertulis dalam peraturan perundang-undangan

Indonesia. Namun apabila dilacak penjabarannya akan ditemukan bermacam-macam

bentuk implementasi dari asas-asas umum pemerintahan yang adil itu. Asas-asas itu

secara materiil banyak ditemukan berserakan diberbagai peraturan perundang-

undangan Indonesia dan yurisprudensi. Karena itu asas-asas yang telah dijabarkan

tersebut tidak saja memiliki daya mengikat secara moral dan doktrinal, bahkan
mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis. Dengan demikian dapat dijadikan

sebagai sumber hukum administrasi formal.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan kaidah atau norma yang

berlaku didalam lingkungan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh setiap organ

pemerintahan berdasarkan wewenang pemerintahan yang melekat kepadanya.

Dengan demikian asas-asas ini dipahami, diikuti dan dijadikan pedoman bagi organ

pemerintahan sebelum melakukan tindakan pemerintahan termasuk dalam

menerbitkan IMB.

Dalam pasal 8 Wet AROP (Administrative Rechspraak Overheids Beschikking-

Peradilan Tata Usaha Negara) Belanda tahun 1975 disebutkan : strijd met in het

algemen rechtbewustzijn levend beginsel van behoorlijk bestuur (bertentangan

dengan apa yang ada dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang

berlaku /hidup tentang pemerintahan yang baik). Mencermati apa yang dirumuskan

dalam pasal 8 Wet AROP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa asas-asas umum

pemerintahan yang baik merupakan suatu asas yang hidup yang melekat pada

kesadaran hukum umum, yang dalam hal ini masyarakat. Dengan demikian apa yang

oleh masyarakat dianggap sebagai norma-norma yang selayaknya dilakukan oleh

organ pemerintahan dalam melakukan tindakannya, sudah sepatutnya diperhatikan,

demikian halnya oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu dalam menerbitkan IMB.

Asas legalitas dalam hukum administrasi pada prinsipnya mengarahkan setiap

tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintahan harus mengindahkan dasar-dasar

keabsahan dan sasaran yang jelas dari setiap tindakan pemerintahan tersebut harus

bertumpu pada norma hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Dengan demikian
hendaklah disadari bahwa asas legalitas sebagai dasar penggunaan wewenang

bukanlah merupakan suatu sistem tertutup tetapi suatu sistem yang terbuka. Artinya

norma hukum yang tidak tertulis harus dipatuhi dalam rangka penggunaan wewenang

yang masih dalam batas-batas tertentu masih memiliki ruang kebebasan (Freies

Ernessen) sekaligus diuji keabsahan tindakan yang dilakukan organ pemerintahan,

pula sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap tindakan pemerintahan sangat

dibutuhkan untuk menerapkan kewenangan bebas (discretionary power) sekaligus

untuk menguji keabsahan tindakan gugatan terhadap tindakan pemerintahan yang

dianggap merugikan.

Kasus diatas merupakan salah satu bentuk perbuatan melanggar hukum.

Dewasa ini disaat segala sesuatunya berkembang dengan pesat, kemungkinan untuk

terjadinya perbenturan kepentingan maupun ruginya orang lain atas sesuatu perbuatan

yang dilakukan orang lain juga semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari pesatnya

laju perkembangan pembangunan perumahan yang diakibatkan oleh semakin

bertambahnya jumlah individu yang berpengaruh terutama pada pemanfaatan lahan

dalam mendirikan bangunan, air selokan untuk mengalirkan ke tempat pembuangan

melalui selokan tetangga dan lain-lain hal yang memaksa seseorang untuk

berhubungan dengan penggunaan sarana milik bersama. Oleh karena itu sudah

sewajarnya antara orang-orang sebagai pemilik bangunan yang bertentangan berhati-

hati dalam pembangunan.


BAB III

PENUTUP

Sebagaimana ditegaskan pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”. Apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal tersebut pada

kenyataan/faktanya masih terdapat masyarakat yang seringkali sebelum mendirikan,

menggunakan atau memperbaiki suatu bangunan tidak menyampaikan kegiatan yang

akan dilakukan.

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa unsur-unsunr PMH

bisa dibagi menjadi 4 unsur; Pertama: unsur adanya perbuatan yang melawan

hukum, Kedua: unsur adanya kesalahan Ketiga: Unsur adanya hubungan kausalitas,

dan Keempat: unsur adanya kerugian.


DAFTAR PUSTAKA

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004

Pasal 1365 KUH Perdata

Putusan Nomor 192/Pdt. G/2017/PN PLG

Anda mungkin juga menyukai