Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional
yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan
salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit
sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang
kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal
tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability, erfolgshaftung,
kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban
pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana.
Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau
asas culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini
biasanya terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana,
khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban
pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana
belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung
pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum
pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ; actus
non facit reum nisi mens sir rea ) “.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian pertanggung jawaban pidana
2. Menjelaskan pertanggung jawaban dalam pidana dalam hokum islam
3. Menjelaskan pembatalan hukuman
4. Hukuman dan Sanksi Dalam Pidana Islam

1
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami dan
semua mahasiswa mampu memahami tentang pertanggung jawaban pidana.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pertangggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teori


kenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau
tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau
tidak.1
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.2 Secara subjektif
kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana)
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk
adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus
ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan
hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-
syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.3
Konsep rancangan KUHP Baru Tahun 2005/2005, di dalam pasal 34
memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada
pada tindak pidana dan secara subjektif seseorang yang memenuhi syarat untuk
dapat di jatuhi hukuman pidana karena perbuatannya itu.

1
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html

2
Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
3
Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
1987. Hal 75

3
Di dalam penjelasannya di kemukakan: tindak pidana tidak berdiri sendiri,
itu baru bermakna manakala terdapat pertanggung jawaban pidana. Ini berarti
setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus di
pidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggung
jawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif
terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan
secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk
dapat dikenai pidana karena perbuatannya.4
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut
Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan
toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan
toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban
kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee
keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi
perbuatan yang toerekeningsvatbaar.5
Pertanggung jawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga
berlaku bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara
langsung mempertanggung jawabkan perbuatannya, pertanggung jawaban
dikenakan kepada orang yang mewakilinya.
Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban
dan ketentraman masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggungjawab
pidana,dipikulkan kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tadi. Untuk
terciptanya tujuan tersebut, hukuman harus:
1. Memaksa seseorang untuk tidak melakukan ulang perbuatannya.
2. Menghalangi keinginan manusia untuk melakukan hal serupa, karena
bayangan yang ditimbulkan atas hasil perbuatannya akan diterimanya
sebagai sesuatu yang sangat merugikan dirinya.

4
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penje
lasan).
5
DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka
Cipta, 1994, hal.131

4
3. Sanksi yang diterima pembuat jarimah harus pula bersesuaian dengan
hasil perbuatannya.
4. Sanksi hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukan serajat
manusia.
5. Hukuman harus diterima jarimah, tidak diberati dan tidak memberati,
selain pembuat jarimah karena adanya pertalian geneokologis, kekeluarga.

B. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam


Ahmad Hanafi mengemukakan batasan atau pengertian pertanggung
jawaban pidana dalam syari’at Islam ialah pembebasan seseorang dengan hasil
(akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari
perbuatannya itu. Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal,
yaitu: adanya perbuatan yang dilarang, dikerjakan dengan kemauan sendiri,
pelakunya mengetahui akibat perbuatan tersebut.
Kalau ketiga hal diatas ada maka terdapat pertanggungjawaban pidana, dan
kalau tidak terdapat maka tidak ada pertanggungjawaban pidana. Menurut Abdul
Qader ’Oudah syari’ah menetapkan tangggung-jawab hanya kepada orang hidup
yang mempunyai kewajiban. Kematian seseorang membatalkan seluruh
responsibilitas dan akuntanbilitas. Syari’ah juga memaafkan perbuatn melanggar
hukum dari anak-anak sampai mencapai usia baligh.6

C. Pembatalan Hukuman
Beberapa hal yang dapat membatalkan hukum:
a. meninggalnya sipembuat jarimah.
b. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman.
c. Bertobat.
d. Korban dan wali/ahli waris, memaafkannya atau ulul amri dalam kasus
ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan

6
Drs.H. Rahmat Hakim (Hukum Pidana islam),2000. hal 175

5
e. Adanya upaya damai antara pelaku denga korban atau wali/ahli waristnya
dalam kasus jarimah qishash/diyat.
f. Lewatnya waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman.

D. Hukuman dan Sanksi Dalam Pidana Islam


Hukuman dalam hukum pidana Islam terbagi-bagi ke dalam beberapa
kelompok. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman,
hukuman dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh syara’
dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu hukuman yang telah ditentukan
oleh syara’, dimana qishash adalah hukuman pembalasan dan diyat
adalah hukuman pembayaran sejumlah denda.
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang bentuknya adalah denda
berupa perbuatan tertentu yang wajib ditunaikan.
d. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang penentuannya diserahkan
kepada ulil amri.7
2. Ditinjau dari segi ada dan tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan
Hadist, hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qisas, diyat, dan kifarat.
Misalnya, hukuman bagi pezina, penuduh zina, pencuri, perampok,
pemberontak, pembunuh, dan lain-lain8;
- Hukuman bagi pezina:
Syariat Islam telah menetapkan jenis hukuman untuk jarimah
zina yaitu:

7 Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 17-20

8 Muhammad Shobri. 2014. Fiqh Jinayah: Ruang Lingkup Hukuman dan Jarimah
dalam Hukum Pidana Islam. Makalah yang dipublikasikan melalui https://academia.edu, halaman
1

6
 Hukuman dera (jilid) seratus kali dan pengasingan untuk
pelaku zina yang keduanya ghoir muhshan (belum
menikah);
 Hukuman jilid seratus kali dan rajam bagi pelaku zina yang
keduanya muhshan (telah menikah);
 Kalau pelakunya yang satu ghoir muhshan dan satunya
muhshan maka yang muhshan dirajam dan yang ghoir
muhshan di dera (jilid) dan diasingkan.
Dasarnya:
QS. An-Nuur: 2"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya, mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman." – (QS.24:2)

 H.R. Jam’ah kecuali Al Bukhari dan An-Nasa’i.


“Jejeka dan gadis hukumannya jilid seratus kali dan
pengasingan selama satu tahun. Dan janda dengan duda
hukumannya jilid seratus kali dan rajam.”9
- Hukuman bagi penuduh zina (qadzaf): dera (jilid) sebanyak 80
kali (QS. An-Nur: 4), dicabut haknya sebagai saksi (diragukan
kejujurannya).
- Hukuman bagi pencuri: potong tangan;
Unsur pencurian: dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bukan
haknya, harta tersebut berharga, dan nisab harta curian yang
dapat mengakibatkan hukuman potong tangan ialah seperempat
dinar (kurang lebih seharga 1,62 gram emas).

9 Fiqi Rathomy, “Macam-Macam Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif”, diakses melalui http://blog-fiqi.blogspot.com/, tanggal 17 September 2014, jam 19:52
WIB

7
Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. memotong
tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak seperempat dinar ke
atas. (HR.Muslim No. 3189);
Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Pada zaman Rasulullah
saw. tangan seorang pencuri tidak dipotong pada (pencurian)
yang kurang dari harga sebuah perisai kulit atau besi
(seperempat dinar) yang keduanya berharga. (HR.Muslim No.
3193).
Jika tidak mencapai nisab maka dikenakan hukuman ta’zir.10
- Hukuman bagi perampok:
Syariat Islam menetapkan empat macam hukuman untuk tindak
pidana perampokan (hirabah) yaitu:
 Hukuman mati; dijatuhkan kepada perampok apabila
disertai dengan pembunuhan.
 Hukuman mati salib; dijatuhkan kepada perampok yang
membunuh serta merampas harta bendanya, dijatuhkan atas
pembunuhan dan percurian harta.
 Hukuman potong tangan dan kaki; dijatuhkan kepada
perampok yang hanya mengambil hartanya saja tanpa
melakukan pembunuhan.
 Hukuman pengasingan; dilakukan kepada perampok
(pengganggu keamanan) yang tidak mengambil harta dan
tidak membunuh tetapi hanya menakut-nakuti saja.
Dasarnya QS. Al-Maidah: 33:
"Sesungguhnya, pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal-balik
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di
dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar," –

10 A. Mukarom. 2012. Tindak Pidana Pencurian (Al – Sariqah) Dalam Fiqh Jinayah.
Makalah mahasiswa IAIN Walisongo, Semarang, halaman 27

8
(QS.5:33)
- Hukuman bagi pemberontak: hukuman mati;
HR. Muslim:
”Dari Arfajah bin Syuraih ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa yang datang kepada
kamu sekalian, sedangkan kalian telah sepakat kepada seorang
pemimpin, untuk memecah belah belah kelompok kalian, maka
bunuhlah dia’”
- Hukuman bagi pembunuh: qishas (pembalasan), diyat
(pembayaran sejumlah harta), dan kifarat (denda berupa
perbuatan tertentu yang wajib ditunaikan), dan hukuman
tambahan lainnya seperti hilangnya hak waris. 11
b. Hukuman yang tidak ada nashnya, yang disebut hukuman ta’zir,
seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan
amanah, bersaksi palsu dan lainnya.12
3. Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang
lain. Dalam hal ini hukuman dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Hukuman Pokok (Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan
untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli.
Contohnya: hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, hukuman
dera 100 kali untuk jarimah zina, atau hukuman potong tangan untuk
jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (Uqubah Badaliyah), Yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat
dilaksanakan karena alasanyang sah.
Contohnya: Hukuman diyat sebagai hukuman pengganti hukuman
qishash, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman had atau
hukuman qishas yang tidak bisa dilaksanakan.

11 Fiqi Rathomy. Loc. Cit.

12 Muhammad Shobri.. Loc. Cit.

9
c. Hukuman Tambahan (Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan hakim
secara tersendiri.
Contohnya: Hukuman pencabutan hak menjadi saksi bagi orang
yang melakukan jarimah qadzaf (menuduh orang berzina),
disamping hukuman pokoknya yaitu dera delapan puluh kali.
d. Hukuman Pelengkap (Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus mendapat keputusan
tersendiri dari hakim. Syarat inilah yang membedakan dengan
hukuman tambahan.
Contohnya seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah
dipotong dilehernya.
4. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya
hukuman, maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas
tertinggi dan batas terendah,
Contohnya: hukuman dera sebagai hukuman had (delapan puluh kali
atau seratus kali) dalam hal ini hakim tidak berwenang untuk
menambah atau mengurangi karena hukuman itu hanya satu macam
saja.
b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas
terendah. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan kebebasan
untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut,
Contohnya: seperti hukuman penjara atau dera pada jarimah-jarimah
ta’zir.
5. Ditinjau dari segi tempat dilakukanya hukuman maka hukuman dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman badan (Uqubah Badanyah), yaitu hukuman yang
dikenakan atas badan manusia, seperti hukuman mati, jilid (dera) dan
penjara.

10
b. Hukuman jiwa (Uqubah Nafsiyah) yaitu hukuman yang dikenakan
atas jiwa manusia, bukannya atas badannya, seperti ancaman,
peringatan, atau teguran.13

13 Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit., halaman 143-144

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga
denganteorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.
Pertanggung jawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang
berkaitan dengan perbuatan sipelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan
dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggung jawaban pidana karena
perbuatan itu sendiri disebabkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan
menurut syarat.
Beberapa hal yang dapat membatalkan hukum:
a. meninggalnya sipembuat jarimah.
b. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman.
c. Bertobat.
d. Korban dan wali/ahli waris, memaafkannya atau ulul amri dalam kasus
ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan.
e. Adanya upaya damai antara pelaku denga korban atau wali/ahli waristnya
dalam kasus jarimah qishash/diyat.
f. Lewatnya waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996
Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
1987
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Drs.H. Rahmat Hakim (Hukum Pidana islam),2000.
Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983
Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan,
Jakarta:Kencana, 2006
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
http://gubukhukum.blogspot.com/2012/03/pidana-dalam-hukum-pidana-
islam.html

13

Anda mungkin juga menyukai