Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

RUANG LINGKUP HUKUM PENITENSIER

OLEH KELOMPOK 1 :

1. Andi Nova Nabila Tonra (04020200297)


2. Insyirihul Waqiah (04020200300)
3. Ika Wahyuni Saleha (04020200310)
4. Sitti khaeriyah (04020200319)
5. Nurwahidah (04020200343)
6. Andi Annisa Rezkiah Salsabila (04020200346)
7. Nur Fijri (04020200347)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘Alamin.
Segala puji dan syukur tiada hentinya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
dengan keagungan-Nya telah melimpahkan segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ Ruang Lingkup Hukum Penitensier”.
Dan juga saya berterima kasih kepada, ibu Hj. Ernawaty, S.H.,M.H. dan bapak H. Azwar
Dzabur, S.H., M.H selaku Dosen mata kuliah Hukum Penitensier di Universitas Muslim
Indonesia yang telah memberi tugas ini kepada kami.
Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk
para pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa sangat berguna dan
menjadi inspirasi untuk pembaca.
Saya yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, pepatah
mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”, oleh karenanya saya memohon maaf apabila
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini.
Kepada seluruh pembaca yang bersedia memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam rangka penyempurnaan makalah ini selanjutnya, saya membuka tangan
selebar-lebarnya untuk apresiasi tersebut dengan hati yang terbuka dan ucapan terima kasih.

Makassar, 12 April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3

A. .....................................................................................................................3
B. .....................................................................................................................5
C. .....................................................................................................................8
D. .....................................................................................................................10
E. .....................................................................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................................................14

A. Kesimpulan..................................................................................................14
B. Saran............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai hukuman dalam hukum pidana, khususnya berkenaan dengan
Hukum Penitensier atau Hukum Penghukuman atau Hukum Pemidanaan, atau ada yang
menyebutkannya Hukum Peniten-sia senantiasa merupakan suatu wacana yang menarik.
Studi mengenai hal ini telah berkembang menjadi suatu mata kuliah terpisah dari Asas-asas
Hukum Pidana (yang dalam kurikulum berbagai Fakultas Hukum kini, lebih dikenal
dengan sebutan Hukum Pidana).
Perkembangan tentang bidang pidana dan pemidanaan semakin mengemuka,
mengingat hakikat pidana sebagai penderitaan yang dikenakan oleh negara kepada seseorang
yang melakukan tindak pidana, yang dalam penerapannya akan bersinggungan dengan hak
asasi manusia. Bukan hanya menyang-kut kriteria pengancaman, penjatuhan suatu jenis atau
macam pidana dalam rangka pembalasan, dan perlindungan serta pengayoman masya-rakat,
tetapi juga bagaimana upaya untuk memperbaiki pelaku yang ter-sesat, dan mengembalikan
kepercayaan masyarakat serta memberikan pengampunan terhadap “dosa” yang dilakukan
oleh si pelaku.
Selain itu, pesatnya kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan akibat globalisasi,
turut mewarnai corak pidana dan pemidanaan di suatu negara. Pengaruh interaksi dengan
negara-negara lain dan organisasi-organisasi dunia, seperti PBB, pun merupakan salah satu
aspek yang sangat menentukan agar suatu negara mendapatkan tempat dalam pergaulan
dunia. Apalagi jika dikaitkan dengan pendapat bahwa hukum pida-na suatu bangsa adalah
cermin peradaban suatu bangsa atau indikasi dari peradaban bangsa itu (a mirror of
civilization of a nation).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :
1. Apa pengertian Hukum penitensier ?
2. Apa Ruang Lingkup Hukum Penetensier ?
3. Apa Tujuan dari Pemidanaan ?
4. Apa arti pidana dan pemidanaan ?
5. Apa Jenis-jenis pidana ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang akan dibahas adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum penitensier ?
2. Untuk mengetahui Ruang Lingkup Hukum Penetensier ?
3. Untuk mengetahui Tujuan dari Pemidanaan ?
4. Untuk mengetahui arti pidana dan pemidanaan ?
5. Untuk mengetahui Jenis-jenis pidana?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Penitensier


Secara harfiah hukum penitensier diartikan sebagai suatu keseluruhan dari dari norma-
norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan. Dalam KUHP khususnya dalam buku
kedua dan ketiga selalu akan dijumpai dua jens norma yakni norma yang selalu harus dipenuhi
agar sesuatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana dan norma-norma yang berkenaan
dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari suatu tindak pidana. Secara
terinci UU telah mengatur tentang yaitu :
1. Bila mana suatu pidana dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku.
2. Jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut.
3. Untuk berapa lama memang dapat dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat
dijatuhkan.
4. Dengan cara yang bagaimanakah pidana harus dilaksanakan.
Menurut Prof. Van Bemmelen telah mengartikannya sebagai Hukum penitensier
adalah Hukum yang berkenaaan dengan tujuan, daya kerja, dan organanisasi dari lembaga-
lembaga pemidanaan.

B. Ruang Lingkup Hukum Penitensier


Ruang lingkup hukum penitensier tidak akan pernah terlepas dengan istilah pidana
dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/ derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara
(melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah
melanggar hukum pidana. Adapun proses peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan
proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan pelaku kejahatan. Sedangkan
pemidanaan merupakan penjatuhan pidana sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum
untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana
berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan
hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana, karena
pidana juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi
sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang
mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas
pelanggaran terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku
tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak
menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan hukum penitensier/hukum
sanksi. Hukum penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman
(strafstelsel) dan sistem tindakan (matregelstelsel). Menurut Utrecht, hukum penitensier ini
merupakan sebagian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber
hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang
memuat sanksi pidana).
2. Beratnya sanksi itu.
3. Lamanya sanksi itu dijalani.
4. Cara sanksi itu dijalankan ,dan
5. Tempat sanksi itu dijalankan.
6. Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
Sanksi pidana dan tindakan (maatregel) termasuk dalam hukum pidana. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menyebutkan istilah sanksi tindakan, hal
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 KUHP. Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat
yang makin kompleks juga diiringi dengan perkembangan hukum pidana yang begitu cepat.
Hukum pidana bukan hanya diatur dalam KUHP (kodifikasi) melainkan juga telah diatur di luar
kodifikasi KUHP. Sehingga untuk tindak pidana yang diatur di luar KUHP dengan
menggunakan asas lex specialis, maka dalam hal menjerat pelaku kejahatan juga dengan
menggunakan ketentuan pidana di luar KUHP (hukum pidana yang berkenaan dengan anak
sebagai pelaku kejahatan dan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Di
mana untuk tindak pidana yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan anak sebagai pelaku
tindak pidana telah menerapkan bukan hanya sanksi pidana akan tetapi juga sanksi tindakan
(maatregel). Untuk mengetahui kegunaan dari mempelajari hukum penitensier, maka adapun
yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Sejarah Pemidanaan
Sistem pemidanaan telah ada di dunia sudah cukup lama, sejarah pemidaanan yang
dulu pernah diterapkan kepada pelaku kejahatan memiliki jenis- jenis sanksi pidana dan tata
cara untuk pelaksanaan sebagai berikut:
a. Pidana membuang / menyingkirkan / melumpuhkan (abad 19). Bentuk pidana
menyingkirkan/melumpuhkan dimaksudkan agar penjahat itu tidak lagi mengganggu
masyarakat, penyingkiran dilakukan dengan beberapa cara misalnya membuang atau
mengirim penjahat itu keseberang lautan. Dalam hal ini juga berlaku dalam adat
minangkabau, sanksi pidana dapat dalam bentuk menyingkirkan yaitu membuang
sepanjang adat. Di Indonesia terutama pada zaman hindia belanda dulu pidana
pembuangan ini banyak juga dilakukan terhadap orang – orang politik.
b. Sistem pemidanaan kerja paksa (abad 17). Misalnya kerja paksa mendayung sampan,
cara – cara kerja paksa itu lama kelamaan menjadi hilang setelah kapal meningggalkan
layar. Di Hindia Belanda kerja paksa sebagai bentuk pidana pernah juga dilakukan
terutama dalam pembuatan jalan raya dan membuat lubang. Walaupun pidana penjara
yang dikenal sejak berabad-abad sebagai “Bui” bagi lawan-lawan politik penguasa
namun baru menjadi sesuatu yang bersifat umum sebagai pengganti pidana mati,
pembuangan dan pengasingan.
c. Pidana mati (abad 16). Cara – cara pelaksanaan pidana mati pada abad 16. ini adalah
dibakar atau dibelah dengan ditarik kereta kearah yang berlawanan, dikubur hidup-
hidup, digoreng dengan minyak, ditenggelamkan dilaut atau dijantungnya dicopot serta
dirajam sampai mati. Lama kelamaan tata cara pemidanaan mati itu dilakukan dengan
memberikan perhatian terhadap perikemanusiaan sehingga akhirnya pemidanaan mati
digantikan dengan cara dipancung,, penggantungan ditiang gantungan, dan ditembak
mati.
Menurut R. Soesilo, jenis pemidanaan yang pernah ada zaman dahulu di Indonesia seperti:
1. Dibakar hidup terikat pada satu tiang
2. Dimatikan dengan menggunakan suatu keris
3. Dibakar
4. Dipukul
5. Dipukul dengan rantai
6. Ditahan dalam penjara
7. Kerja paksa dalam pekerjaan-pekerjaan umum.
Akan tetapi macam hukuman itu tidak dipakai lagi, sekarang hukuman sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari:
a. Pidana Pokok: Pidana Mati; Pidana Penjara; Pidana Kurungan; Pidana Denda\
b. Pidana Tambahan; Pencabutan hak-hak tertentu; Perampasan barang-barang tertentu;
Pengumuman putusan hakim
1. Pidana dan Teori Pemidanaan
Menurut Adami Chazawi ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini,
namun yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar, yaitu:
a. Teori Absolut
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena
penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan
hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu harus
diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (kejahatan) yang dilakukannya.
Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena
penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Tindakan pembalasan di dalam
penjatuhan pidana mempunyai dua arah:
1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan).
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat
(sudut objektif dari pembalasan).
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah
alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata
tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.
            Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar
tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu,
pidana merupakan suatu yang terpaksa perlu diadakan.
            Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga
macam sifat, yaitu:
1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering)
3. Bersifat membinasakan (onshadelijk maken)
c. Teori Pencegahan Umum
Menurut teori pencegahan umum ini pidana yang dijatuhkan kepada penjahat
ditujukan agar orang-orang umum menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang
dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan
melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Jadi, menurut teori pencegahan
ini, untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan,
pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan di muka umum.
d. Teori Pencegahan Khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah
dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang
yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan
nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga
macam yaitu: a)Menakut-nakutinya; b) Memperbaikinya. c) Membuatnya menjadi tidak
berdaya.
e. Teori Gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut :
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata
tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhkannya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan terpidana.
2. Perkembangan Double Track System (sanksi pidana dan tindakan) dalam hukum pidana
Perkembangan sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dimana di samping
pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan
berbagai tindakan (treatment). Sistem pemidanaan dua jalur ini terdapt dalam Rancangan Kitab
Undang Hukum Pidana yang baru dimana, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah
dikenal dalam KUHP Indonesia (Pasal 10 KUHP).
Perkembangan hukum pidana di Indonesia dalam hal penerapan system pemidanaan dua
jalur (sanksi pidana dan tindakan) justru telah bayak diterapkan dalam untuk tindak pidana
diluar kodifikasi KUHP. penerapan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana (Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
Undang-Undang No.3 tahun 1997 Bab III Pidana dan Tindakan Pasal 22,
berbunyi:”terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan
dalam undang-undang ini”. Mengenai tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal
ialah:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi social kemasyarakatan yang
bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
adapun kegunaan hukum penitensier adalah:
1. Untuk mengetahui bahwa dari tahun ketahuan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan
semakin diperhalus (lebih manusiawi).
2. Bahwa pada hakekatnya pidana merupakan suatu kesengajaan untuk memberikan suatu
penderitaan kepada pelaku tindak pidana, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
kejahatan dan memberikan ketertiban kepada masyarakat.
3. Sedangkan mengenai tindakan yang baru dikenal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP) akan tetapi telah diterapkan dalam jenis kejahatan-kejahatan di
luar kodifikasi KUHP seperti dalam undang-undang pengadilan anak. Pada hakekatnya suatu
unsur kesengajaan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana yang tidak mengandung
unsur penderitaan. Yang bertujuan untuk memperbaiki sikap pelaku kejahatan tersebut agar
tidak melakukan tindak pidana untuk ke dua kalinya.
4. Untuk memberikan pengetahuan yang lebih kongkrit dan komprenshif kepada para
mahasiswa hukum sehingga mereka dapat memahami masalah pidana dan pemidanaan tidak
saja dalam konteks ius costitutum, melainkan juga dalam konteks ius constituendum.

C. Tujuan Pemidanaan
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dari
suatu pemidanaan yaitu :
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri
2. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan
3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain
yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi
Tiga pokok pembahasan diatas pada umumnya sama dengan pendapat para penulis
bangsa Romawi. Prof. Simons berpendapat bahwa bahwaa para penulis selama itu pada
umumnya telah mencari dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada tujuannya yang lebih
jauh dari suatu pembinaan, disamping melihat dari suatu pemidanaan sebagai suatu
pembahasan. Prof. Simons juga merasa yakin bahwa hingga akhir abd ke -19, praktik
pemidanaan berada dibawah pengaruh dari paham pembalasan atau vergeldingsidee dan
afchrikkingsidee begitupun menurut Prof. van hammel berpendapat sama bahwa praktik
pemidanaan masih dipengaruhi oleh dua pemikiran pokok hingga akhir abad ke-19.
Para penganut mashab hukum alam atau natuurechht-school pada umumnya mencari
dasar dari pemidanaan pada pengertian hukum yang berlaku umum. Mereka yang memandang
negara sebagai suatu penjelmaan dari kehendak manusia, mencari dasar pembenaran dari
pemidanaan pada kehendak individu.
Teori-teori yang berusaha dasar pembenaran dari suatu pidana semata-mata pada suatu
tujuan tertentu dapat dibagi menjadi dua macam teori yaitu :
a. Teori pencegahan umum ataua algamene preventie theorieen, yang ingin dicapai dari tujuan
pidana yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar tidak melakukan
kejahatan.
b. Teori pencegahan khusus atau bijzondere preventive theorieen, yang ingin dicapai dari
tujuan pidana yakni membuat jera, memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri menjadi
tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi.

D. Arti Pidana dan Pidanaan


Menurut prof. vanhamel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif pidana
dewasa ini adalah:
“Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd
rechtvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading, van wege den staat als handhaver
der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.”
Artinya:
Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kesuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari
ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yang yakni semata-mata karena orang tersebut
telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
Menurut prof. simons, pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh undang-
undang pidana telah dikaitkan oleh pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.
Menurut algra-Janssen, telah merumuskan pidana atau straf sebagai alat yang digunakan
oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagain
dari perlindungan yang seharusnya dinikmati terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta
kekayaan, yaitu seandainya ia tidak melakukan suatu tindak pidana.
Mengenai pidana diatas dapat diketahui bahwa pidana sebenarnya hanya merupakan suatu
penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak
mungkin dapat mempunyai suatu tujuan.

E. Jenis-jenis Pidana
Hukum pidana Indonesia hanya mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana
tambahan. Menurut ketentuan di dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum pidana, pidana
pokok itu terdiri atas:
1. Pidana Mati
Pidana mati itu telah tercantum sebagai pidana pokok pada urutan pertama dari
ututan-urutan pidana pokok sebagaimana yang telah ditentukan di dalam pasal 10 dari kitab
undang-undang hukum pidana.
Menurut ketentuan pasal 11 KUHP, pidana mati itu dilakukan oleh seorang algojo,
yang dilaksanakan oleh terpidana diatas tiang gantungan, yakni dengan mengikatkan sebuah
jerat pada leher terpidana yang terikat pada tiang gantungan tersebut, dan kemudian dengan
menjatuhkan papan tempat terpinjaknya terpidana. Pelaksaan dari pidana mati itu kemudian
dengan penetapan presiden (Penpres) tanggal 27 april 1964 nomor 2 tahun 1964, lembaran
negara tahun 1964 nomor 38, yang kemudian telah menjadi undang-undang nomor 2 PNPS
tahun 1964 telah di ubah, yaitu dengan cara ditembak sampai mati. Tentang bagaimana
caranya melaksanakan pidana mati dalam lingkungan peradilan, umum, hal mana telah di
atur di dalam pasal 2 sampai dengan pasal 16 undang-undang nomor 2 PNPS tahun 1964.
2. Pidana Penjara
Yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana merupakan pembatasan
bergerak dalam seorang terpidana dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah
lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata
tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang berkaitan dengan suatu tindakan
tata tertib bagi mereka yang telah melanggaran peraturan tersebut.
3. Pidana Kurungan
Sama halnya dengan pidana penjara, hukum pidana kurungan juga merupakan suatu
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seoarang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut di dalam suatu lembaga pemasyarakatan, dengan
mewajibkan orang itu menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam lembaga
pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang
melanggar peraturan tersebut. Lembaga pidana kurungan sebenarnya berasal dari lembaga
emprisonnement pour contraventions depolice yang terdapat di dalam code penal prancis.
Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa, dan
merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan kebebasan bergerak yang
dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-
pelanggaran, sebagaimana yang telah di atur di dalam buku ke III kitab undang-undang
hukum pidana.
Akan tetapi, pidana kurungan bukan merupakan jenis pidana pokok, yang diancam
semata-mata bagi pelanggaran-pelanggaran, karena di dalam buku ke II kitab undang-undnag
hukum pidana, kita juga dapat menjumpai sejumlah kejahatan yang oleh pembentuk undang-
undang telah diancam secara alternative dengan pidana penjara bagi mereka yang telah
melakukan culpose delicten atau delik-delik yang telah dilakukan secara tidak sengaja.
Pidana kurangan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pokok pidana atau als
pricipale ataupun sebagai pengganti atau als verongende dari pidana denda.
Menurut penejelasan dalam memorie van teolicting, dimasukkannya pidana kurangan
kedalam KUHP telah terdorong oleh dua macam kebutuhan masing-masing, yaitu:
a. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangan sederhana berupa suatu
pembatasan bergerak atau suatu vrijheidsstraf yang sifatnya sangat sederhana bagi delik-
delik yang sifatnya ringan.
b. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan kebebasan
bergerak yang singat yang tidak begitu mengekang bagi delik-delik yang menurut sifatnya
tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental atau adanya suatu maksud yang
sifatnya jahat pada pelakunya, ataupun yang juga sering disebut sebagai suatu custodia
honesta belaka.
Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah satu hari dan selama-lamanya
1 tahun. Akan tetapi, lamanya pidana kurungan tersebut dapat diperberat hingga 1 tahun
dan empat bulan, yaitu karena terjadinya suatu samenloop, suatu recidife atau karena
tindak pidana yang bersangkutan telah dilakukan oleh seorang pegawai negeri dengan
menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus, atau karena pegawai negeri tersebut
pda waktu melakukan tindak pidananya telah menggunakan kekuasaan, kesempatan atau
saran yang telah ia peroleh karena jabatannya.
Pasal 19 KUHP menentukan bahwa:
1) Orang yang dipidana dengan pidana kurungan itu wajib melakukan pekerjaan yang
diperintahkan kepadanya, dan
2) Kepada orang yang dipidana dengan pidana kurungan diberikan pekerjaan yang lebih
ringan yang diberikan kepada orang yang dipidana dengan pidana penjara.
Pasal 57 gestichtenreglement ternyata tidak mengatur secara terincih mengenai
pelaksanaan dan ketentuan yang terdapat didalam pasal 19 KUHP diatas, melainkan
hanya mengulangi ketentuan yang terdapat didalam pasal 19 ayat 2 KUHP dengan
menambahkan beberapa ketentuan yang antara lain telah mengatakan bahwa:
a) Orang-orang yang telah dijatuhi pidana penjara dan pidana kurungan dapat
diwajibkan melakukan pekerjaan, baik dalam maupun diluar lembaga
pemasyarakatan.
b) Yang tidak dapat diperintahkan untuk melakukan pekerjaan diluar lembaga
pemasyarakatan adalah:
 Orang-orang wanita
 Orang-orang terpidana yang telah diadakan pemeriksaan kesehatan terhadap diri
mereka, ternyata dipandang sebagai tidak mampu untuk melakukan pekerjaan
tersebut.
 Orang-orang terpidana yang menurut putusan hakim memang telah dinyatakan
sebagai tidak dapat si pekerjakan diluar lembaga pemasyarakatan.
 Orang=orang yang telah dijatuhi pidana seumur hidup.
Adapun pasal 58 ayat 1 gestichtenreglement hanya mengatakan, bahwa sifat
pekerjaan dan orang-orang yang dipidana dengan pidana penjara dan pidana kurungan itu
diatur oleh mentri kehakiman.
Apabila didalam pasal 28 KUHP, pembentuk undang-undang secara tegas telah
menentukan bahwa pidana penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan didalam
suatu lembaga pemasyarakatan yang sama, tetapi didalam bagian-bagian yang terpisah,
gestichtenreglement yang diharapkan akan mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan
dari pasal 28 KUHP tersebut, ternyata didalam pasal 36 ayat 2 dan ayat 3 hanya
mengatakan:
a. Apabila pidana kurungan itu harus dijalankan didalam lembaga yang diperuntukkan
untuk menjalankan pidana penjara, maka orang-orang yg dijatuh pidana kurungan iti
ditempatkan dibagian yang terpisah didalam lembaga tersebut.
b. Apabila keadaan memaksa, maka dengan menyimpang dari ketentuan tersebut diatas,
pidana penjara dan pidana kurungan itu dapat dijalankan didalam bagian yang sama
dari lembaga yang bersangkutan.
Peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan, pada dasarnya
juga berlaku bagi orang-orang yang menjalankan pidana kurungan, hingga apabila mereka
itu telah melanggar peraturan tersebut, maka bagi mereka juga dapat dikenakan tindakan
tata tertib seperti yang dapat dikenakan bagi orang-orang yang menjalankan pidana
penjara, apabila mereka itu telah melakukan pelanggaran yang sama.
Dengan demikian, 4 macam hukuman yang disebutkan didalam pasal 69 ayat 1
gestichtenreglement itu juga berlaku bagi orang-orang yang menjalankan pidana kurungan
didalam lembaga pemasyarakatan, masing-masing yaitu:
a. Dihentikannya kemudahan-kemudahan yang berhak mereka terima berdasarkan
gestichtenreglement dan peraturan-peraturan rumah tangga lembaga pemasyarakatan
untuk suatu jangka waktu yang tidak melebihi 1 bulan.
b. Dikenakan suatu eenzame opsluting ayau suatu penutupansecara mnyendiri untuk
jangka waktu yg tidak lebih lama dari delapan hari.
c. Dikenakan suatu eenzame opsluting seoerti yang dimaksutkan diatas, ditambah
dengan pemberian makan yang hanya terdiri dari nasi dan air saja.
d. Dikenaka suatu eenzame opsluting seperti yang dimaksut dalam huf C diatas, dan
diwajibkan untuk melaksanakan hukumannya didalam sebuah penjara yang berjeruji
besi, dengan tidak mengurangi lamanya pidana kurungan yang sedang dijalankan
didalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan untuk jangka waktu yang tidak
lebih dari 8 hari.
4. Pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda
Diatas telah dijelaskan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh hakim bagi
seseorang sebagai pokok pidana, tetapi ia juga dapat merupakan suatu pengganti dari suatu
pidana denda yang telah tidak dibayar oleh seorang terpidana. Bagi pidana kurungan
pengganti pidana denda lamanya adalah sekuranh-kurangnya 1 hari dan selama-lamanya 6
bulan.
Akan tetapi, lamanya pidana kurungan penggani pidana denda tersebut dapat
diperberat hingga selama-lamanya 8 bulan yakni apabila tindak pidana yang telah dilakukan
oleh terpidana itu ada hubungannya dengan suatu samenloop van starfbare feiten, dengan
suatu recidive atau dengan tindak pidana sebagaimana yang dimaksut dalam pasal 52 KUHP.
Pidana kurugan sebagai pengganti pidana denda itu tidak dengan sendiri harus
dijalankan apabila terpidana telah membayar uang dendanya, yakni apabila hakim didalam
putusanya hanya menjatuhkan pidana denda saja, tampa menyebutkan bahwa terpidana harus
menjalankan pidana kurungan sebagai pengganti dari pidana dendan yang telah ia jatuhkan,
dalam hal terpidana telah tidak membayar uang pidana yang bersangkutan.
Agar seorang terpidana yang telah dijatuhi pidana denda kemudian dapat diwajibkan
untuk menjalankan pidana kurungan, dalam hal ia telah membayar uang denda yang telah
ditetapkan oleh hakim, maka dalam putusan hakim itu secara tegas harus diputuskan tetang
besarnya uang denda yang harus dibayar terpidana, dan tentang lamanya pidana kurungan
pengganti pidana denda yang harus dijalankan oleh terpidana, yakni dalam hal ia tidak
membayar lunas uang denda yang bersangkutan.
Menurut Hoge Raad, dalam hal seorang hakim telah memutuskan pidana denda
dengan suatu pidana kurungan sebagaimana pengganti pidana denda yang bersangkutan
maka pasal 30 KUHP harus juga disebut dalam putusannya. Pasal 30 ayat 4 KUHP
mengatakan sebagai berikut :
“lamanya pidana kurungan itu ditetapkan dalam putusan hakim dengan cara yang demikian
rupa, hingga untuk satu pidana denda sebesar tujuh rupia dan lima sen atau kurang itu diganti
dengan satu hari, dan untuk suatu pidana denda yang lebih besar diganti dengan satu hari
bagi tiap-tiap tujuh rupiah dan lima puluh sen dari pidana demda yang telah diputuskan, dan
demikian pula untuk sejumlah yang tersisa.”
Seseorang yang telah dijatuhi pidana denda itu, dapat saja secara langsung
menjalankan pidana kurungan pengganti dendanya tampa harus menunggu lampaunya
waktu untuk membayar denda, apabila ia menghendakinya atau karena ia telah mengetahui
bahwa uang denda tersebut tidak akan dapat ia bayar dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan oleh hakim.
5. Pidana Denda
Pidana denda itu merupakan jenis pidana pokok yang ketiga dalam hukum pidana
Indonesia, yang pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa. Undang-
undang hukum pidana kita telah menentukan bahwa besarnya denda pidana itu sekurang-
kurangnya adalah tiga rupiah dan tujuh puluh lima sen, tetapi telah tidak menentukan berapa
besarnya pidana denda yang sebesar-besarnya.
Pidana denda itu dapat dijumpai dalam buku ke-I dan buku ke-II KUHP, yang telah
diancamkaan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran. Pidana denda tersebut
telah diancamkan didalam KUHP, baik sebagai satu-satunya pidana pokok, maupun secara
alternative, baik dengan penjara pidana saja maupun pidana kurungan pidana saja ataupun
secara alternative dengan kedua jenis pidana-pidana pokok tersebut secara bersama-sama.
Didalm KUHP pidana denda yang terbesar telaah diancamkan didalm pasal 303 ayat 1
KUHP yaitu sebesar dua puluh lima juta rupiah bagi mereka tampa hak :
1) Dengan sengaja telah melakukan sebagai usaha, yaitu menawarkan atau memberikan
kesempatan untuk berjudi atau dengan sengaja telah turut serta dalam usaha seperti itu.
2) Dengan sengaja telah menawarkan atau telah memberikan kesempatan kepada halayak
ramai untuk berjudi atau dengan sengaja telah turut serta dalam usaha seperti itu, tampa
melihat apakah pemakaian kesempatan itu digantungkan pada sesuatu atau pada
pengetahuan mengenai sesuatu cara atau tidak.
3) Telah turut serta dalam permainan judi sebagai suatu usaha.
Pasal 82 ayat 1 KUHP itu telah menentukan :
“hak untuk melakukan penuntutan terhadap pelanggaran yang tidak diacam dengan pidana
pokok yang lain kecuali pidana denda itu gugur dengan dibayarnya uang denda tertinggi
secara sukarela, dan biaya-biaya apabila telah terjadi penuntutan, atas kuasa dari pejabat
yang telah ditunjuk untuk itu dengan peraturan umum, dan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan oleh pejabat tersebut. ”
Didalam rumusan pasal 82 ayat 1 KUHP telah dijelaskan, bahwa tenggang waktu
untuk membayar lunas uang denda tertinggi yang telah diancamkan bagi sesuatu pelanggaran
itu harus ditetapkan oleh jaksa. Tenggang waktu yang ditetapkan oleh jaksa untuk membayar
lunas uang denda tertinggi denda itu, tidak selalu harus berakhir sebelum dimulainya suatu
sidang pengadilan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah hukum penitensier diartikan sebagai suatu keseluruhan dari dari norma-
norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan. Dalam KUHP khususnya dalam buku
kedua dan ketiga selalu akan dijumpai dua jens norma yakni norma yang selalu harus dipenuhi
agar sesuatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana dan norma-norma yang berkenaan
dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari suatu tindak pidana.
Ruang lingkup hukum penitensier tidak akan pernah terlepas dengan istilah pidana dan
pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/ derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara
(melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah
melanggar hukum pidana. Adapun proses peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan
proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan pelaku kejahatan.

B. Saran
Setelah membuat makalah ini adapun saran dari penulis yaitu adanya pembahasan
lebih lanjut untuk memahami tentang pengertian dari hukum islam, syariah, fiqh dan ruang
lingkup hukum islam agar semakin terperinci dan mudah dimengerti dan
diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Jupri. 2012. Hukum Penitensier. https://www.negarahukum.com/hukum-penitensier.html.


(diakses tanggal 12 April 2022).
Lamintang. 2012. Hukum Penitensier Indonesia. Edisi kedua. Sinar Grafika : jl. Sawo Raya No.
18 Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai