Anda di halaman 1dari 17

“TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”

Makalah Ini Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Tugas Kuliah

OLEH
NAMA : MATAHARI SUHAIMI (210510330)
GILBERT SIMON NAPITUPULU (210510019)
REZA SUKARNO PAHLEVI MARPAUNG (210510338)
ARIF FADILLAH (210510365)
FAKULTAS : HUKUM
PROGRAM STUDI : HUKUM PIDANA KHUSUS
DOSEN PENGAMPU: Dr. UMMI KALSUM S.H.,M.H

KEMENTERIAN PENDIDIKAN,KEBUDAYAAN,
RISET DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS HUKUM
2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat dan hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang bertema “Tindak Pidana Pencucian Uang” Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari ibu Dr.Ummi Kalsum
S,H.,M.H pada bidang studi Hukum Pidana Khusus. Selain itu,makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Dr.Ummi Kalsum S,H.,M.H yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari,makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu,kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Lhokseumawe, 17 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1
KATA PENGANTAR...................................................................................... 2
DAFTAR ISI.................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.A Latar Belakang............................................................................................. 4


1.B Rumusan Masalah....................................................................................... 5
1.C Tujuan Penelitian........................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Money Laundering.............................................................. 5
B. Tahapan-Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang......................... 7
C. Modus Operandi Pencucian Uang................................................... 7
D. Jenis-Jenis Pencucian Uang............................................................. 8
E. Dampak Pencucian Uang................................................................ 9
F. Dasar Hukum Pencucian Uang....................................................... 10
G. Penegakan Hukum Dalam Memberantas Money Laundering.......... 10
H. Upayah Pecegahan Uang................................................................. 14

BAB II PENUTUP
KESIMPULAN....................................................................................... 1

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundering) merupakan upaya perbuatan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui
berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari
kegiatan yang legal.
Meski Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sudah diakui sebagai kejahatan oleh kalangan
internasional dan berbagai negara sudah berkomitmen untuk melakukan kriminalisasi terhadap
pencucian uang, akan tetapi TPPU sendiri belum memiliki satu definisi yang baku dan universal di
seluruh negara. Perbedaan latar belakang dan fokus dalam penyusunan kebijakan pemidanaan
terhadap tindak pidana pencucian uang di berbagai negara menjadi penyebabnya. Sebagai contoh
Inggris dan Perancis yang menggunakan instumen pencucian uang sebagai bagian dari upaya
pemberantasan obat bius. Sedangkan di Amerika memiliki tujuan penanggulangan kejahatan yang
lebih luas.
Di Indonesia, mengacu pada Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, definisi Tindak
Pidana Pencucian Uang tidak disebutkan secara eksplisit. Hal ini dapat dilihat pada pengaturan
pencucian uang pertama kali di Indonesia, yakni Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perubahan
Atas Undang undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang hanya
mendefinisikan pencucian uang melalui bentuk deliknya, yakni:
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbang-kan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang
sah.
Adapun Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terbaru, yakni Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(Undangundang TPPU) hanya mendefinisikan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai berikut:
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Adapun dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut yang mengatur mengenai
bentukbentuk tindak pidana sebagaiamana dimaksud diatur dalam Pasal 3, 4, 5, dan 6.
Ada tiga tahapan yang ditempuh untuk “mensucikan” hasil kejahatan dalam money laundring.
Pertama, uang yang dihasilkan dari suatu kegiatan kejahatan di ubah ke dalam bentuk yang kurang
atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai
cara (placement). Langkah kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan
anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga
sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau

4
menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (layering). Langkah yang terakhir
adalah tahapan dimana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam
Harta Kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam
berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan
bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (integrasi).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan money laudering sudah dapat
mengantisipasi berkembangnya kejahatan money laundering ?
2. Bagaimana penegakkan hukum dalam pemberantasan money laundering di Indonesia?

C. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuannya adalah dengan penelitian ini diharapkan akan diketahui peraturan-
peraturan mana saja yang berkaitan dengan money laundering tersebut yang belum sesuai, atau
mempunyai kendala terhadap pelaksanaan pemberantasan terhadap kejahatan money laundering

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Money Laundering
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau Money Laundering sebagai suatu kejahatan mempunyai
ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda.

Hal ini ditandai dengan bentuk TPPU sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan
lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate crime atau
core crime yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang haram yang kemudian dilakukan proses
pencucian atU penyamaran asal-usul seolah-olah uang tersebut dihasilkan dari aktivitas yang halal
(legal). Praktek pencucian uang merupakan ide dari seorang mafia terkenal di Amerika Serikat yang
bernama Alphone Gabriel Capone yang lebih dikenal dengan nama Al Capone pada tahun 1920-1930.

Sedangkan istilah money laundering pertama kali digunakan pada surat kabar di Amerika Serikat
sehubungan dengan pemberitaan skandal Watergate pada tahun 1973 kemudian penggunaan sebutan
tersebut dalam konteks pengadilan atau dalam konteks hukum muncul untuk pertama kalinya tahun
1982 dalam perkara US v $4.255.625,39 (1982) 551 F Supp, 314 di Amerika Serikat. 

Masalah yang paling krusial dari TPPU adalah keterkaitannya dengan perkembangan organisasi-
organisasi kriminal seperti Mafia Sisilia Italia dan generasi baru dari organisasi ini di Amerika Serikat
yang dikenal dengan nama La Cosa Nostra, Kartel-Kartel Narkoba, Yakuza, Triad, Irish mob, Mafia
Rusia dan lain sebagainya di berbagai belahan dunia saat itu.

Organisasi kriminal ini melakukan diversifikasi usaha atas hasil kejahatannya berupa pemerasan,
perjudian, prostitusi, perdagangan narkotika dan penyelundupan dengan cara mengambil alih aktivitas
bisnis legal tertentu dengan hasil keuntungan keuangan yang sangat tinggi. Melalui TPPU maka hasil
kejahatan itu seperti life blood of the crime atau aliran darah yang menghidupi kejahatan itu sendiri.
Karena sifatnya yang teorganisir dengan didukung sumber pendanaan yang sangat kuat dan jaringan
kerja yang sangat luas melintasi batas-batas negara (transnational crime) maka TPPU menjadi
perhatian khusus pemerintahan antarnegara.

TPPU dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang sangat merugikan
masyarakat antara lain merongrong sektor swasta dengan dampak yang sangat besar. Mengancam

5
stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan dan dapat mengakibatkan
hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi negaranya. Perkembangan awal instrumen
untuk pencegahan TPPU secara regional, dimulai dengan sebuah rekomendasi, The Committe of
Manisters of the Council of Europe, tanggal 27 Juni 1980 yang dinamakan “Measures againts the
transfer and safeguarding of the funds of criminal origin“.Sedangkan instrumen pertama yang bersifat
internasional untuk pencegahan TPPU yaitu, pernyataan prinsip basel (Basel Stetement of Principles)
12 Desember 1988 tentang Pencegahan Cara Kriminal Sistem Perbankan untuk tujuan tindak pidana
pencucian uang. Prinsip Basel ini kemudian diperkuat oleh 40 rekomendasi yang dikeluarkan pada
tahun 1990. Financial Action Task Force (FATF) merupakan puncak dari soft law di bidang
pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang telah diadopsi sistem perbankan internasional.

Saat ini yang menjadi dasar hukum TPPU di Negara Republik Indonesia adalah “Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”.
Dimana Undang-Undang tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yang mengatur
pencucian uang yaitu “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002″ sebagaimana telah diubah dengan
“Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003″.

Pengertian TPPU dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010. Intinya
bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh
seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan
mengusainya.

Dalam sebuah literatur tentang Kriminologi, Hagan (2013) menyatakan bahwa definisi pencucian
uang berkenaan dengan kegiatan membersihkan atau mencuci “uang kotor” (dana-dana ilegal). Dari
definisi harfiah dan sederhana tersebut, dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar kegiatan pencucian
uang yaitu mengubah dari sesuatu yang kotor menjadi bersih, dari sesuatu yang ilegal menjadi legal.

Hagan juga menjelaskan tiga (3) tahap dalam pencucian uang, yaitu:

1. Placement. Dalam tahap ini pelaku mengumpulkan uang-uang kotornya dan memasukkan
atau menempatkannya ke dalam suatu sistem finansial.
2. Layering. Dalam tahap ini pelaku menyamarkan jejak uang dengan cara mentransfer uang
ke rekening bank perusahaan palsu, menciptakan faktur palsu dan perusahaan
menggunakan bank asing dan melakukan wire transfer (transfer uang antar bank antar
negara).
3. Integration. Dalam tahap ini merupakan keadaan dimana uang sudah dapat digunakan
untuk berbagai macam investasi, donasi kampanye politik, dan disusupkan untuk
perusahaan yang sah.

Secara garis besar unsur TPPU terdiri dari: unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea).
Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa
keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang
dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan,
dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.

Mengacu pada Pasal 2 UU Nomor 8 tahun 2010, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana asal
(predicate crime) bagi terjadinya TPPU, antara lain: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika,
penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak
pidana di bidang pasar modal, tindak pidana di bidang perasuransian, tindak pidana kepabeanan dan

6
cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan,
penipuan, pemalsuan, perjudian, prostitusi, tindak pidana di bidang perpajakan, di bidang kehutanan,
di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam
dengan penjara 4 tahun atau lebih.

Dalam pembuktian TPPU nantinya hasil tindak pidana merupakan unsur tindak pidana yang harus
dibuktikan. Pembuktian apakah benar atau tidaknya uang atau harta kekayaan tersebut merupakan
hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan uang atau
harta kekayaan tersebut, bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal yang
menghasilkan uang atau harta kekayaan lainnya.

Hal ini juga tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 90/PUU-XIII/2015, sebagaimana
dalam ratio decidendi putusan tersebut MK menyatakan bahwa frasa “tidak wajib dibuktikan terlebih
dahulu” bukan berarti tidak perlu dibuktikan sama sekali tindak pidana asalnya, namun TPPU tidak
perlu menunggu lama sampai perkara pidana asalnya diputus atau telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Sehingga muncul diskursus bahwa dalam keadaan tertentu TPPU juga dapat menjadi jenis
tindak pidana yang berdiri sendiri (independent crime).

B. Tahapan-Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang


Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui 3 langkah tahapan :
1. Tahap Penempatan/Placement
Adalah uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan diubah kedalam bentuk
yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan
berbagai cara. Contoh : penempatan dana di pecah-pecah melalui pembukaan rekening
tabungan,deposito dan giro secara bersamaa. Penggunaan uang tunai dalam pembukaan rekening.
2. Tahap Pelapisan/ Layering
Adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks,berlapis dan anonim dengan tujuam
memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak
asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan hasil tindak pidana tersebut. Contoh : Pembukaan rekening dan transfer dana ke beberapa
Negara Tax Heaven (wilayah tertentu yang menyediakan fasilitas penampungan aset atau investasi
asing tanpa kewajiban membayar pajak,sepert Britsih Virgin Island & Cayman Island).
3. Tahap Integrasi
Merupakan tahapan di mana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke
dalam harta kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung. Diinvestasikan kedalam
berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan. Dipergunakan untuk membiayai kegiatan
bisnis yang sah ataupun membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Contoh : mendirikan perusahaan
dan mengalirakan uang/dana dari hasil tindak pidana sebagai bagian dari modal perusahaan hingga
menghasilkan profit. Yang seolah-olah merupakan uang /dana yang berasal dari usaha legal.

C. Beberapa Modus Operandi Pencuncian Uang


Modus operandi kejahatan pencucian uang umumnya dilakukan melalui cara-cara antara lain:
1. Melalui Kerja Sama Modal
Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luar negeri. Uang tersebut masuk kembali dalam bentuk
kerja sama modal (joint venture project). Keuntungan investasi tersebut diinvestasikan lagi dalam

7
berbagai usaha lain. Keuntungan usaha lain ini dinikmati sebagai uang yang sudah bersih karena
tampaknya diolah secara legal,bahkan sudah dikenakan pajak.
2. Melalui Angunan Kredit
Uang tunai diseludupkan ke luar negeri. Lalu disimpan di bank negara tertentu yang prosedur
perbankannya termasuk lunak. Dari bank tersebut ditransfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito.
Kemudian, dilakukan peminjaman ke suatu bank di eropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang
hasil kredit ditanamkan kembali ke negara asal uang haram tadi.
3. Melalui Perjalanan Luar Negeri
Uang tunai di transfer ke luar negeri melalui bank asing yang ada di negaranya. Lalu,uang tersebut
dicairkan kembali dan dibawa kembali ke negara soalnya oleh orang tertentu. Seolah-olah uang
tersebut berasal dari luar negeri.
4. Melalui Penyamaran Usaha Dalam Negeri
Dengan uang tersebut maka didirikanlah perusahaan samaran,tidak dipermasalahkan apakah uang
tersebut berhasil atau tidak,tetapi kesannya usaha tersebut telah menghasilkan uang “bersih’.
5. Melalui Penyamaran Perjudian
Dengan uang tersebut didirikanlah usaha perjudian. Tidak menjadi masalah apakah menang atau
kalah. Akan tetapi,akan di buat kesan dibuat menang sehingga ada alasan asal usul uang tersebut.
Seandainya di Indonesia masih ada SDSB,nalo,lotre,dan lain-lain yang sejenisnya kepada pemilik
uang haram dapat ditawarkan nomor yang menang dengan harga yang lebih mahal. Dengan
demikian,uang tersebut memberikan kesan kepada yang bersangkutan sebagai hasil kemenangan
kegiatan perjudian tersebut (lotre,SDSB,nalo dan sejenisnya).
6. Melalui Penyamaran Dokumen
Uang tersebut secara fisik tidak kemana-mana,tetapi keberadaannya didukung oleh berbagai dokumen
palsu atau dokumen yang diadakan,seperti membuat double invoice dalam jual beli dan ekspor impor.
Agar ada kesan uang itu sebagai hasil kegiatan luar negeri.
7. Melalui Pinjaman Luar Negeri
Uang tunai dibawa ke luar negeri dengan berbagai cara,lalu uang tersebut dimasukkan kembali
sebagai pinjaman luar negeri. Hal ini seakan-akan memberikan kesan bahwa pelaku memperoleh
bantuan kredit dari luar negeri.
8. Melalui Rekayasa Pinjaman Luar Negeri
Uang secara fisik tidak ke mana-mana,tetapi kemudian dibuat suatu dokumen seakan-akan ada
bantuan atau pinjaman luar negeri. Jadi,pada kusus ini sama sekali tidak ada pihak pemberi pinjaman.
Yang ada hanya dokumen pinjaman,yang kemungkinan besar adalah dokumen palsu.

D. Jenis-jenis Tindak Pidana Pencucian Uang


Jenis-Jenis TPPU Pada umumnya, TPPU dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis. Berdasarkan
penyusunan dakwaannya, TPPU disebut sebagai Stand-Alone Money Laundering. Disebut demikian
karena TPPU pada dasarnya merupakan tindak pidana lanjutan dari suatu tindak pidana asal. Namun,
TPPU ini diartikan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dengan mengacu pada penuntutan
tindak pidana pencucian uang secara tunggal, tanpa harus menuntut tindak pidana asal. Dalam hal ini,
penyusunan dakwaan TPPU dapat dijadikan satu berkas dengan tindak pidana asalnya ataupun dipisah
dengan tindak pidana asalnya. Hal ini dianggap relevan karena:

8
1. Terdapat kemungkinan tidak adanya cukup bukti dari tindak pidana asal tertentu yang
menimbulkan hasil kejahatan; atau
2. Dalam situasi dimana terdapat kekurangan pada wilayah hukum atas terjadinya tindak pidana
asal. Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kemungkinan telah dicuci oleh
terdakwa (self-laundering) atau oleh pihak ketiga (third party money laundering).
Lebih lanjut, berdasarkan hubungan dengan pelaku tindak pidana asal, TPPU dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1. Self-Laundering, yaitu pencucian uang yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam
perbuatan tindak pidana asal.
2. Third Party Money Laundering, yaitu pencucian uang yang dilakukan oleh orang yang tidak
terlibat dalam perbuatan tindak pidana asal.
Sementara itu, berdasarkan tempat terjadinya, terdapat TPPU yang dikenal dengan istilah Foreign
Money Laundering. Foreign Money Laundering ini merupakan pencucian uang yang dilakukan di luar
yurisdiksi dari tempat terjadinya tindak pidana asal. Hal ini dilakukan untuk menyulitkan aparat
penegak hukum dalam menelusuri hasil tindak pidana. Di Indonesisa, TPPU telah diatur dalam
UndangUndang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Dalam UU ini, TPPU dibedakan menjadi:
a. Tindak Pidana Pencucian Uang Aktif TPPU aktif merupakan jenis pencucian uang dimana
adanya perbuatan aktif untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan hasil
tindak pidana. Ketentuan mengenai TPPU aktif diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU.
b. b. Tindak Pidana Pencucian Pasif TPPU pasif merupakan jenis pencucian uang dimana tidak
adanya perbuatan aktif untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan hasil
tindak pidana. Ketentuan mengenai TPPU pasif diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU TPPU.

E. Dampak Tindak Pidana Pencucian Uang


Dampak-dampak tindak pidana pencucian uang itu sebagai berikut :
a. Merongrong sektor bisnis swasta yang sah (undermining the legitimate private bussines
sector) Salah satu dampak mikro ekonomi dari tindak pidana pencucian uang terasa di sektor
swasta. Para pencuci uang sering menggunakan perusahaan- perusahaan (front companies)
untuk mencampur uang haram dengan uang yang sah, dengan maksud untuk
menyembunyikan uang hasil kegiatan kejahatannya. Misalnya saja di AS, kejahatan
terorganisasi (organized crime) menggunakan tooktoko pizza untuk menyembunyikan uang
hasil perdagangan heroin. Perusahaan-perusahaan front companies tersebut mempunyai
akses kepada danadana haram yang besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka
mensubsidi barang-barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut
sehingga barang-barang dan jasa itu bisa dijual jauh dibawah harga pasar. Hal ini dapat
mengakibatkan terpukulnya bisnis yang sah karena tidak dapat bersaing dengan perusahaan-
perusahaan tersebut dan pada akhirnya dapat mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang
sah tersebut gulung tikar.
b. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (undermining the integrity of financial market)
Lembaga-lembaga keuangan yang mengandalkan kegiatannya pada dana yang bersumber
dari hasil kejahatan dapat menghadapi bahaya likuiditas.Uang dalam jumlah besar yang
dicuci dan baru saja ditempatkan pada sebuah bank dapat tiba-tiba menghilang dari bank
tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu karena dengan tiba-tiba dipindahkan oleh
pemiliknya melalui internet transfer. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan masalah likuiditas
yang serius bagi lembaga keuangan yang bersangkutan.
c. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (Loss of
control of economic policy) Tindak pidana pencucian uang dapat pula menimbulkan dampak

9
yang tidak diharapkan terhadap nilai mata uang dan tingkat suku bunga. Hal itu terjadi
karena setelah pencucian uang, para pencuci lebih suka menanamkan dana- dana tersebut
di negara-negara dimana kegiatan mereka itu kecil sekali kemungkinannya untuk dapat
dideteksi. Karena preferensi para pencuci uang yang demikian itu, maka pencucian uang
dapat meningkatkan ancaman ketidakstabilan moneter. Singkatnya, tindak pidana pencucian
uang dapat mengakibatkan terjadinya perubahanperubahan terhadap jumlah permintaan
uang (money demand) dan meningkatkan volatilitas dari arus modal internasional, bunga
dan nilai tukar mata uang yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya. Kejadiankejadian
seperti ini berakibat lebih lanjut kepada lepasnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
perekonomian negara. d. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economic
distortion and instability) Para pencuci uang tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan
dari investasi-investasi mereka, tetapi mereka lebih tertarik untuk melindungi hasil
kejahatan yang mereka lakukan. Hal tersebut karena hasil keuntungan yang mereka peroleh
dari kegiatan kriminal sudah luar biasa besarnya. Mereka tidak lagi mengharapkan
keuntungan tambahan dengan menanamkan hasil kejahatan itu di investasi-investasi yang
memberikan return yang tinggi. Mereka lebih tertarik untuk “menginvestasikan” danadana
mereka di kegiatan-kegiatan yang aman bagi mereka dari kejaran otoritas penegak hukum
sekalipun secara ekonomis tidak menghasilkan return of investment yang tinggi. Akibat sikap
mereka yang demikian itu, pertumbuhan ekonomi dari negara di mana investasi mereka itu
dilakukan dapat terganggu.

F. Dasar Hukum Tindakan Money Laundering


Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, perbuatan yang dikategorikan sebagai tindakan pencucian uang atau money laundering adalah:
1. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau
surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan.
2. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-
hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana.
3. Menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana.
Hukuman bagi pelaku tindak pidana pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
diatas adalah pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).

G. PENEGAKAN HUKUM DALAM MEMBERANTAS MONEY LAUNDERING


A. Pelaporan
Pelaporan oleh penyedia jasa keuangan merupakan salah satu pilar penting dalam
pelaksanaan rezim anti pencucian uang. Melalui pelaporan dapat diketahui informasi awal
dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang. Standar internasional yang tertuang di
dalam 40 recommendations angka 11 menetapkan agar setiap negara melaporkan suspicious
financial transaction kepada otoritas yang disebut financial intelligence unit (FIU). Pada
prinsipnya rezim anti pencucian uang di Indonesia bekerja atas dasar laporan yang
disampaikan oleh penyedia jasa keuangan kepada PPATK,

10
sebagaimana diatur di dalam pasal 13 ayat (1) sebagai berikut : “Penyedia Jasa Keuangan
wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk
hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara,
baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari
kerja.” Laporan transaksi keuangan mencurigakan tidak didasarkan pada batasan jumlah uang
tertentu seperti halnya laporan transaksi keuangan tunai.
Pasal 1 angka 7 Undang-undang menetapkan tiga kriteria suatu transaksi keuangan
mencurigakan yaitu :
a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari Hasil Tindak Pidana.
Berdasarkan kriteria di atas maka apabila suatu transaksi keuangan memenuhi salah satu
kriteria sudah dapat diklasifikasikan sebagai transaksi keuangan mencurigakan. Kriteria di
atas tidak berlaku secara kumulatif artinya tidak harus keseluruhan kriteria tersebut dipenuhi,
namun cukup hanya salah satu kriteria terpenuhi suatu transaksi dapat ditentukan sebagai
transaksi keuangan mencurigakan. Sebagai pelaksanaan Undang-undang Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, ditetapkan pula ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah atau
yang dikenal dengan Know Your Customer (KYC). Ketentuan KYC dikeluarkan oleh otoritas
yang mengawasi dan mengeluarkan peraturan terhadap lembaga keuangan. Di Indonesia
terdapat tiga otoritas dimaksud yaitu Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan, Direktorat
Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) sebagai otoritas lembaga keuangan non-bank seperti
asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun; dan Bapepam untuk industri pasar modal.
Ketentuan KYC ini merupakan bagian dari instrumen prinsip kehatihatian (prudential
principle) dan manajemen resiko (risk management). Ketentuan KYC juga mewajibkan
penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK. Laporan transaksi
keuangan mencurigakan hanya disampaikan kepada PPATK. Otoritas lembaga keuangan
tidak menerima laporan ini. Demikian pula halnya dengan instansi penegak hukum. Dalam
hal otoritas lembaga keuangan memerlukan data atau informasi yang terkait dengan laporan
transaksi keuangan mencurigakan maka dapat meminta kepada PPATK berdasarkan Nota
Kesepahaman yang sudah ditandatangani. PPATK menyerahkan hasil analisis atas laporan
transaksi keuangan mencurigakan kepada penyidik berdasarkan Pasal 31 Undang-undang.
Hasil analisis merupakan laporan yang telah diperkaya dengan informasi tambahan dari
PPATK. Otoritas lembaga keuangan menetapkan sanksi administratif apabila penyedia jasa
keuangan tidak menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan lepada PPATK.
Peraturan Bank Indonesia misalnya menetapkan sanksi administratif dalam bentuk kewajiban
membayar apabila ditemukan laboran yang tidak disampaikan. Denda tersebut berjumlah Rp
1 juta per hari kelambatan dengan maksimum Rp 30 juta. Pentingnya penetapan sanksi
administratif oleh otoritas lembaga keuangan adalah untuk menjamin dipatuhinya ketentuan
KYC. Pertimbangan penerapan Undang-undang dan ketentuan KYC kepada penyedia jasa

11
keuangan adalah karena penyedia jasa keuangan menghadapi berbagai resiko dalam
menjalankan usahanya. Resiko yang berkaitan dengan money laundering resiko reputasi
(reputational risk) dan resiko kriminal (criminal rsik). Dari waktu ke waktu penyampaian
laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK terus menunjukkan angka
kenaikan. Kenaikan pelaporan tersebut disebabkan oleh makin tingginya kesadaran dari
penyedia jasa keuangan sebagai hasil dari pembinaan yang dilakukan oleh PPATK dengan
dukungan dari otoritas lembaga keuangan . Penyedia jasa keuangan yang paling banyak
melaporkan adalah bank. Hal ini disebabkan kesadaran yang lebih baik akan pentingnya
penerapan rezim ini oleh kalangan perbankan dibandingkan dengan penyedia jasa keuangan
lainnya sebagai hasil dikeluarkannya Ketentuan KYC untuk perbankan lebih dulu yaitu pada
bulan Juni 20013 . Hingga saat ini memang masih terdapat kendala dalam penyampaian
laporan transaksi keuangan mencurigakan, yaitu:
a. Kurangnya pemahaman penyedia jasa keuangan mengenai Undang-undang Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan ketentuan KYC; Hingga akhir Desember 2005 telah
diterima (Statistik PPATK) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip
Mengenal Nasabah dikeluarkan pada Juni 2001. Ketentuan KYC untuk penyedia jasa
keuangan non-bank pada 15 Januari 2003 dan penyedia jasa keuangan di sector pasar modal
pada 31 Januari 2005 72
b. Keenganan menerapkan kewajiban pelaporan karena dikhawatirkan dapat berdampak
buruk pada hubungan penyedia jasa keuangan dengan nasabah;
c. Takut berhubungan dengan aparat penegak hukum sebagai akibat lanjut dari
disampaikannya laporan;
d. Persaingan antar penyedia jasa keuangan dan anggapan bahwa tidak semua penyedia
jasa keuangan menerapkan ketentuan sebagaimana mestinya;
e. Ikikad tidak baik (te kwarde trouw) dari penyedia jasa keuangan. Terdapat beberapa
pandangan yang kurang tepat mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan dari
penyedia jasa keuangan.
Sebagian penyedia jasa keuangan beranggapan bahwa transaksi yang dilaporkan sudah
pasti merupakan tindak pidana sehingga PPATK akan meneruskan laporan yang disampaikan
kepada aparat penegak hukum. Padahal laporan transaksi keuangan mencurigakan merupakan
deteksi awal dari indikasi tindak pidana pencucian uang yang didasarkan pada aliran dana.
Untuk mengetahui apakah ada tindak pidana di dalamnya maka penyidiklah yang akan
menentukan lebih jauh berdasarkan informasi yang terdapat di dalam hasil analisis PPATK.
Pasal 8 Undang-undang menetapkan ancaman pidana kepada penyedia jasa keuangan yang
tidak menyampaikan laporan berupa pidana denda Rp 250 juta dan paling banyak Rp 1
Milyar. Ancaman pidana denda ini dirasakan sangat berat oleh penyedia jasa keuangan
karena menyangkut besaran pidana denda yang tidak sedikit dan konsekuensi menjalani
proses acara pidana yang akan sangat memukul reputasi penyedia jasa keuangan masyarakat
di mata masyarakat dan otoritas lembaga keuangan. Hingga saat ini sudah terdapat dua
penyedia jasa keuangan yang diproses hukum karena tidak menyampaikan laporan. Kedua
penyedia jasa keuangan tersebut diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak
menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK dan terkait dengan
pembobolan PT. Bank Global yang dibekukan oleh Bank Indonesia beberapa waktu lalu.
B. Penyidikan
Pasal 30 Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menetapkan, bahwa:
“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana

12
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Pasal tersebut
berarti bahwa hukum acara yang digunakan dalam proses hukum perkara tindak pidana
pencucian uang, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan adalah menggunakan Kitab Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) selama tidak ditentukan lain oleh Undang-undang Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Pengertian penyidikan di dalam KUHAP adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Penyidik karena
kewajibannya mempunyai wewenang untuk:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;
h. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
i. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;
j. mengadakan penghentian penyidikan; dan k. mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggungjawab.
Dalam melakukan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang
berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75 KUHP).
Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh penyidik, juga ditandatangani oleh semua
pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut. Selanjutnya, setelah berkas perkara lengkap (P-
21), penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Penyerahan berkas
dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:
Tahap Pertama: Pada tahap pertama Penyidik hanya menyerahkan berkas perkara,
selanjutnya Penuntut Umum menunjuk Jaksa Peneliti untuk meneliti apakah berkas perkara
sudah lengkap atau belum. Apabila dari hasil penelitian berkas belum lengkap, maka
dikembalikan kepada Penyidik untuk dilengkapi (P-18), atau dapat juga berkas dikembalikan
disertai petunjuk (P-19). Apabila berkas sudah lengkap (P-21), maka hal itu diberitahukan
kepada Penyidik. Sementara tenggang waktu bagi Penuntut Umum untuk meneliti berkas
perkara itu maksimal 14 (empatbelas) hari, artinya bila tenggang waktu itu terlewati tanpa
pemberitahuan/pengembalian berkas, maka berkas perkara dianggap sudah sempurna.
Tahap Kedua : Penyerahan tahap kedua adalah penyerahan tanggung jawab atas berkas
perkara dan tersangka kepada Penuntut Umum oleh Penyidik. Dan sejak itu status tersangka
berubah menjadi terdakwa. C. Penuntutan Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim
di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 7 KUHAP). Adapun yang dimaksud dengan Penuntut
Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan

13
melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 angka 6 KUHAP), sedangkan Jaksa itu sendiri
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk bertindak sebagai Penuntut Umum
serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan itu, maka ia dapat mengambil
beberapa sikap. Misalnya dalam hal tersangkut beberapa orang terdakwa, maksudnya apakah
perkara itu diajukan dalam 1 (satu) berkas perkara atau dipecah menjadi beberapa berkas
perkara (Splitsing). Sikap lain dari Jaksa Penuntut Umum adalah melakukan “penggabungan
perkara”, ini dalam hal pada waktu yang sama atau bersamaan menerima berkas perkara dan
membuatnya dalam 1(satu) surat dakwaan. Alasan dimungkinkannya dilakukan
penggabungan perkara itu adalah apabila beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya. Atau beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu sama lain, dan
beberapa tindak pidana yang tidak tersangkut paut satu sama lain, tetapi yang satu dengan
yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan (Pasal 141 KUHAP). Dalam hal terjadi perkara koneksitas dimana
pelaku tindak pidana terdiri dari orang-orang termasuk dalam yurisdiksi pengadilan yang
berbeda misalnya 1(satu) tersangka sipil, masuk jurisdiksi pengadilan umum, sementara
tersangka lainnya militer, masuk jurisdiksi pengadilan militer. Penanganan kasus demikian
dari Dik, Tut sampai peradilannya harus dalam bentuk koneksitas. Artinya dalam tim itu
tergabung penyidik dari Polri dan Militer. (Pasal 22 UU No.14/1970) D. Putusan Pengadilan
Hingga saat ini sudah ada tiga putusan pengadilan berkaitan dengan tindak pidana pencucian
uang. Putusan pertama dan kedua adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
berkaitan dengan perkara atas nama Lukman Hakim dan Tony Chaidir yang terkait dengan
PT. BII (Tbk.). Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis 3 tahun penjara
terhadap Lukman Hakim dan Tony Chaidir. Jaksa Penuntut Umum maupun terpidana tidak
menyatakan banding 78 atas putusan tersebut sehingga putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan yang kedua adalah yang
berkaitan dengan perkara atas nama Jasmarwan di Pengadilan Negeri Medan. Terdakwa
Jasmarwan divonis 3,5 tahun penjara atas dakwaan melakukan tindak pidana penipuan,
pencucian uang dan pemalsuan surat. Jasmarwan maupun Jaksa Penuntut Umum tidak
mengajukan banding sehingga putusan Pengadilan Negeri Medan sudah memiliki kekuatan
hukum yang tetap. Berdasarkan pemantauan atas jalannya persidangan perkara tindak pidana
pencucian uang, hakim yang memahami tindak pidana pencucian uang masih dapat dikatakan
sedikit. Hal ini wajar mengingat Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
masih relative baru di Indonesia, dan terbatasnya referensi mengenai money laundering dan
kejahatan di bidang keuangan di daerah. Hakim pada umumnya juga belum menaruh
perhatian pada perlindungan khusus untuk saksi dan pihak pelapor. Dalam pemeriksaan di
persidangan sering dijumpai pihak pelapor dipertemukan dengan tersangka. Kalau para
hakim tidak dipersuasi untuk menerapkan perlindungan khusus ini, rezim anti pencucian uang
dikhawatirkan tidak akan dapat diwujudkan secara efektif di Indonesia. Untuk mendorong
para hakim memahami rezim anti pencucian uang. PPATK dan istansi terkait
menyelenggarakan sosialisasi dan diskusi mengenai anti pencucian uang secara
berkesinambungan.
H. Upaya Pencegahan Pencucian Uang
Peran Penyedia Jasa Keuangan
 Menerapkan program anti pencucian uang dengan melakukan Customer Due
Diligence (CDC) dan Enhanced Due Diligence (EDD) untuk mengetahui profil dan risiko
nasabah. Penerapan CDC dan EDD dapat dilakukan mulai dari identifikasi, verifikasi,
monitoring calon nasabah, dan pengkinian profil nasabah.

14
 Melakukan pemantauan dan pengkinian data untuk mengetahui profil dan risiko nasabah
terupdate.
 Memelihara data statistik atas rekening yang telah dilaporkan.
 Menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), Laporan Transaksi
Mencurigakan (LKTM), Laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana Dari dan Ke Luar
Negeri (LTKL) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
2. Peran Nasabah Penyedia Jasa Keuangan
 Wajib memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak
Pelapor dengan minimal memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi dengan
mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan dokumen
pendukungnya.
 Dalam hal transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, setiap orang wajib
memberikan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak
lain tersebut secara jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.
 Transaksi pengiriman uang melalui sistem transfer wajib memberikan identitas dan
informasi yang benar mengenai pengirim asal, alamat pengirim asal, penerima kiriman,
jumlah uang, jenis mata uang, tanggal pengiriman uang, sumber dana, dan informasi lain
yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib diberikan ke Penyedia
Jasa Keuangan.
 Secara tegas menolak untuk menyimpan dana kepemilikan orang lain pada rekening yang
dimiliki tanpa kejelasan asal usul sumber dana.
 Secara tegas menolak dana yang tidak diketahui asal usulnya.
3. Peran Masyarakat Umum
 Tidak membeli harta atau aset yang tidak jelas status kepemilikannya.
 Tegas menolak pemberian sumbangan dana tanpa kejelasan peruntukannya untuk siapa.
 Tegas menolak mendanai pembelian bahan kimia berbahaya yang diduga terkait kegiatan
terorisme.
 Tidak terlibat dalam pengumpulan dana oleh yayasan bagi kegiatan yang tidak
berhubungan dengan fungsi yayasan tersebut.
 Tegas menolak membantu pendistribusian buku, artikel, tulisan yang isinya cenderung
anarkis atau radikal.
 

15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peraturan mengenai money laundering yaitu Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian uang (UUPU) di Indonesia belum sepenuhnya dapat mengantisipasi
berkembangnya kejahatan money laundering. Dikarenakan sanksinya tidak memberikan efek jera
kepada pelaku tindak pidana. Hal ini juga harus diperhatikan kembali karena tindak pidana pencucian
uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan,
tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari
itu Tindak Pidana Pencucian Uang termasuk White collar crime. Yaitu tindakan kriminal yang
pelakunya dari kelompok kelas ekonomi atas. Umumnya, dilakukan oleh para pemegang jabatan yang
memanfaatkan posisinya. Contohnya adalah kecurangan bisnis, pemalsuan data perusahaan, korupsi,
dan penyelundupan barang ilegal.

16
Daftar Pustaka
http://www.bphn.go.id/data/documents/19Penelitian%20MONEY
%20LOUNDERING.pdf
http://www.bphn.go.id/data/documents/19Penelitian%20MONEY
%20LOUNDERING.pdf
https://www.bfi.co.id/id/blog/money-laundering-adalah-definisi-jenis-dan-cara-
mencegah

17

Anda mungkin juga menyukai