Anda di halaman 1dari 105

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019

MODUL

DELIK TERTENTU DALAM KUHP

DISUSUN OLEH :

TIM PENYUSUN MODUL


BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2019
i
ii
iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i

TIM PENYUSUN MODUL.....................................................................................................ii

KATA PENGANTAR….........................................................................................................iii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1

B. Deskripsi Singkat...........................................................................................3

C. Tujuan Pembelajaran.....................................................................................3

D. Pokok Bahasan...............................................................................................3

Fasilitas / Media...................................................................................................5

BAB II DELIK TERTENTU DALAM KUHP

A. Delik Terkait Harta Benda.............................................................................6

- Pencurian….............................................................................................6

- Pencurian dengan Pemberatan.................................................................7

- Pemerasan…..........................................................................................10

- Penggelapan….......................................................................................12

iv
- Penipuan….............................................................................................13

- Penadahan..............................................................................................14

- Perjudian…............................................................................................15

- Perusakan Barang..................................................................................17

B. Delik Terkait Orang.....................................................................................18

- Penghinaan….........................................................................................18

- Penganiayaan….....................................................................................22

- Penganiyaan Ringan…..........................................................................23

- Kekerasan dengan Tenaga Bersama…..................................................24

- Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati............................................26

- Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Luka............................................27

- Perzinahan…..........................................................................................27

- Perkosaan…...........................................................................................28

- Nikah Tanpa Izin…..............................................................................28

- Perbuatan Cabul….................................................................................30

- Pembunuhan….......................................................................................31

C. Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Dan Ketertiban Umum

- Makar….................................................................................................37

- Permufakatan Jahat…............................................................................37

- Penghinaan Terhadap Presiden Dan Wakil Presiden….........................40

v
- Penodaan Bendera Kebangsaan Dan Lambang Negara.........................40

- Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi

Orang atau Barang.................................................................................67

- Kejahatan Terhadap Penguasa Umum…...............................................67

- Sumpah Palsu atau Keterangan Palsu…................................................68

- Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas..............................................69

- Pemalsuan Materai dan Merek…..........................................................74

- Pemalsuan Surat….................................................................................74

- Peniadaan Pidana...................................................................................82

- Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang.............................................94

BAB III PENUTUP........................................................................................................96

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................97

vi
BAB I
PENDAHULUA
N

A. LATAR BELAKANG

KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan


perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil
di Indonesia, merupakan warisan kolonial Belanda yang berasal dari Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui
Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan
kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini
berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan
bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung
diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini."
Penegasan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial sejak
tanggal 26 Februari 1946, saat itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah
yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal
dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam
Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan
bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari
diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh
Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah
jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh
wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958,
dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab

Modul Delik Tertentu dalam KUHP 1


Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1
UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun 1946
Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Perkebangan KUHP dari waktu ke waktu mengalami dinamikanya, adanya
perubahan, pencabutan juga penambahan baik dengan undang-undang maupun
oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar RI
Tahun 1945. Hal ini dapat difahami karena rumusan pasal - pasalnya sudah tidak
lagi sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang selalu
berkembang. Hal ini dapat di lihat dengan adanya RUU KUHP yang sampai saat
ini masih terus diperbaharui rumusannya dan masih menunggu waktu untuk
disahkan.
Untuk itu bagi para calon jaksa yang nantinya akan menerapkan pasal-pasal
KUHP itu harus selalu mengikuti perkembangan perubahan-perubahan tersebut
agar dapat dengan tepat, benar, untuk menjamin kepastian hukum, keadilan juga
kemanfaatan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasar keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-027/J.A/03/1994 Tanggal 5
Maret 1994 perihal Pengelompokan Jenis-jenis Perkara Tindak Pidana
Umum,dalam KUHP dikelompokkan sebagai berikut :
1. Jenis tindak pidana yang termasuk tindak pidana terhadap keamanan negara
dan Ketertiban umum, yang meliputi :
a. Buku Kedua ( Kejahatan ), Bab I sampai dengan Bab XXIX A ( Pasal
104 – 479 r ) KUHP;
b. Buku Ketiga ( Pelanggaran ), Bab I sampai dengan Bab IX ( Pasal 489
– 569 ) KUHP
2. Jenis tindak pidana yang termasuk tindak pidana terhadap orang dan harta
benda yang meliputi :
a. Buku Kedua ( Kejahatan ), Bab XIII sampai dengan Bab XXX ( Pasal
277 – 485 ) KUHP;
b. Buku Ketiga ( Pelanggaran ), Bab IV – Bab VII ( Pasal 529 – 551 )
KUHP.
Untuk memudahkan di dalam menemukan kembali Pasal-pasal yang
dibahas serta memudahkan memasukkan ke dalam golongan jenis tindak pidana,
maka penguraian tentang delik-delik tertentu dalam modul ini akan disesuaikan
dengan penggolongan yang diatur dalam keputusan Jaksa Agung RI tersebut.
Namun untuk memudahkan pemahaman dan intensitas terjadinya tindak pidana
di masyarakat pembahasannya dapat dilakukan sesuai dengan referensi
yang sudah biasa, yaitu mulai dari tindak pidana terhadap harta benda,
orang, kesusilaan, ketertiban umum, penghinaan, dan pemalsuan.

B. DESKRIPSI SINGKAT

Mata diklat Delik-delik Tertentu Dalam KUHP memberi pengetahuan dasar


tentang Delik-delik Tertentu Dalam KUHP yang meliputi kejahatan terhadap
ketertiban umum, kejahatan terhadap orang dan harta benda.

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

a. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah pembelajaran selesai peserta diklat diharapkan dapat mengerti dan
memahami tentang Delik-delik Tertentu Dalam KUHP yang menyangkut
tindak pidana terhadap ketertiban umum , terhadap orang dan harta benda.
b. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mengikuti diklat ini Peserta diklat mampu menerapkan pasal-pasal
dari tindak pidana tertentu terhadap ketertiban umum (Kamtibum) dan
tindak pidana terhadap orang dan harta benda (Oharda) yang terjadi
dimasyarakat.

D. POKOK BAHASAN

Dalam KUHP terdapat delik-delik tertentu menyangkut tindak pidana


terhadap ketertiban umum maupun terhadap orang dan harta benda. Pokok
pembahasan akan dimulai dari tindak pidana yang paling sering ditemukan dalam
interaksi manusia sehari-hari dan penanganannya diserahkan kepada Jaksa yang
baru dilantik setelah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa.
Pokok pembahasan dimaksud disusun sebagai berikut:
1. Pencurian (Pasal 362 – Pasal 365 KUHP)
2. Pemerasan dan pengancaman (Pasal 368 – Pasal 369 KUHP)
3. Penggelapan (Pasal 372 – Pasal 374 KUHP)
4. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
5. Penadahan (Pasal 480-Pasal 481 KUHP)
6. Penghinaan (Pasal KUHP)
7. Penganiayaan (Pasal 351 – Pasal 353 KUHP)
8. Kealpaan yang menyebabkan luka/mati (Pasal 359 – Pasal 360 KUHP)
9. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
10. Kejahatan terhadap nyawa
11. Kejahatan terhadap asal usul perkawinan
12. Perbuatan curang
13. Perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak
14. Penghancuran atau perusakan barang
15. Pemalsuan surat
16. Kejahatan terhadap kesusilaan
17. Kejahatan terhadap Keamanan Negara
18. Kejahatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
19. Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara
sahabat serta wakilnya
20. Kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan
21. Kejahatan terhadap ketertiban umum
22. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau
barang
23. Kejahatan terhadap penguasa umum
24. Sumpah palsu atau keterangan palsu
25. Pemalsuan mata uang dan uang kertas
26. Pemalsuan meterai dan merek
27. Membuka rahasia
28. Kejahatan jabatan
29. Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap sarana dan prasarana.
30. Pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang atau barang dan
kesehatan
31 Pelanggaran ketertiban umum

E. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran ini anatara lain :
1. Naskah Pegangan Peserta (Modul);
2. Proyektor
3. Kasus-kasus berkaitan dengan materi ajar
BAB II
DELIK TERTENTU DALAM KUHP

A. DELIK TERKAIT HARTA BENDA

Kejahatan terhadap harta benda merupakan kejahatan yang paling banyak


terjadi di dalam masyarakat. Jenis-jenis kejahatan terhadap harta benda diatur dalam
Buku II KUHP, antara lain adalah pencurian, pemerasan, penggelapan, penipuan
dan penadahan,
Unsur-unsur khas dari masing-masing tindak pidana terhadap harta benda
ialah:
1. dari pencurian (diefstal) : mengambil barang orang lain untuk memilikinya;
2. dari pemerasan : (afpersing) : memaksa orang lain dengan kekerasan untuk
memberikan sesuatu;
3. dari penipuan (oplichting) : membujuk orang lain dengan tipu muslihat untuk
memberi sesuatu;
4. dari penggelapan (verduistering) : memiliki barang yang sudah ada ditangannya
(zich to eigenen);
5. dari penadahan : menerima atau memperlakukan barang yang diperoleh orang
lain.
Berikut ini akan dijelaskan unsur delik tersebut diatas sebagaimana diatur
dalam KUHP.
Pencurian
Pasal 362 KUHP
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun, atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Bagian inti delik (delict bestanddelen) :


1. barangsiapa;
2. mengambil;

Modul Delik Tertentu dalam KUHP 6


Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan
tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke lain tempat. 1
Perbuatan mengambil juga diartikan perbuatan yang mengakibatkan barang
dibawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang berada di
luar kekuasaan pemiliknya.Menurut HR tanggal 12 Nopember 1894 pengambilan
telah selesai jika barang berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskan
karena diketahui.
3. sesuatu barang;
dalam pengertian sesuatu barang, tidak hanya yang mempunyai nilai ekonomis
akan tetapi termasuk juga yang mempunyai nilai non ekononomis seperti karcis
kereta api yang telah terpakai (HR 28 April 1930) dan sebuah kunci sehingga
pelaku dapat memasuki rumah orang lain (HR 25 Juli 1933).
4. barang itu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
Barang yang diambil oleh pelaku tidak perlu kepunyaan orang lain pada
keseluruhannya, barang itu bisa saja merupkan milik atau kepunyaan bersama
antara korban dan pelaku.
5. dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
Perbuatan mengambil barang orang lain itu dilakukan oleh pelaku untuk
memilikinya yang dikendaki tanpa hak atau kekuasaan pelaku. Dalam hal ini
pelaku harus menyadari bahwa barang yang diambilnya ialah milik orang lain.

Pencurian dengan Pemberatan


Pasal 363 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. Pencurian ternak

2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar,
kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup


yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak
diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk


sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong
atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, 2 perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu
hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.

Pencurian yang dirumuskan dalam Pasal 363 KUHP disebut dengan Pencurian
Berat yaitu pencurian dalam bentuk pokok sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
362 KUHP ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 363 Ayat (1) KUHP dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pencurian ternak;
Obyek dari pencurian disini ialah berupa hewan ternak.
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa
laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru
hara, pemberontakan atau bahaya perang;
Keadaaan-keadaan tersebut diatas merupakan keadaan bencana dan dapat
dipastikan pada saat itu orang-orang dalam kondisi panik dan cemas hingga
mereka kurang memperhatikan barang-barang kepunyaannya. Oleh karena itu
dalam keadaan seperti itu akan mempermudah tindakan pencurian.
3. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang
ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau
tidak dikehendaki oleh yang berhak;
Rumah merupakan tempat kediaman atau tempat tinggal. Disamping rumah,
gerbong kereta api, perahu atau setiap bangunan yang dibuat sedemikian rupa
untuk tempat kediaman termasuk juga dalam pengertian rumah.
Pekarangan tertutup ialah sebidang tanah yang mempunyai tanda-tanda batas
yang nyata yang menunjukkan bahwa tanah dapat dibedakan dari bidang-bidang
tanah sekelilingnya. Tanda-tanda batas itu dapat juga berupa saluran air,
tumpukan batu-batu, pagar bambu, dsb.14)
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
Dalam hal ini pencurian itu harus dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bekerja sama baik fisik maupun psikis, artinya tindakan pencurian yang mereka
lakukan haruslah didasarkan pada kehendak bersama.
5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai
pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau
memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, 3 perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
Perintah palsu ialah perintah yang seakan-akan asli dan seakan-akan dikeluarkan
oleh orang yang berwenang membuatnya berdasarkan UU atau peraturan lain,
sedangkan pakaian jabatan palsu ialah pakaian yang dipakai oleh seseorang
yang seakan-akan orang itu berhak memakainya.

Pasal 365 KUHP


(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri
sendiri atau peserta yang lain, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun :Jika perbuatan dilakukan
pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, di jalan umum, atau dalam kerta api, atau trem yang sedang berjalan.
1. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
2. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
jabatan palsu.
3. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka
berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3.
Bagian inti delik (delict bestanddelen) pasal ini sama dengan delik pencurian biasa
(Pasal 362 KUHP). Ketentuan dalam Pasal 365 KUHP tidak berarti gabungan antara
pencurian dengan delik kekerasan yang lain meskipun dilakukan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan. Kekerasan dan ancaman kekerasan merupakan keadaan
yang berkualifikasi. Maksudnya suatu keadaan yang mengubah kualifikasi pencurian
(biasa) menjadi pencurian dengan kekerasan (sehari-hari disebut perampokan).

Pemerasan
Pasal 368 KUHP
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat
utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3) dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.

Bagian inti delik (delict bestanddelen) ialah :


1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
Hal ini merupakan tujuan terdekat dengan memakai paksaan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan. Dengan adanya bagian inti untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain, maka delik ini ada persamaannya dengan delik penipuan
yang dimaksud Pasal 378 KUHP, yaitu ada penyerahan sesuatu dari korban
kepada pembuat. Akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu pada
delik pemerasan ini ada paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
sehingga orang itu menyerahkan sesuatu atau mengadakan utang atau
menghapus piutang sedangkan pada delik penipuan, korban tergerak untuk
menyerahkan sesuatu dan seterusnya karena rayuan memakai nama palsu,
martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong.
Pada delik pemerasan ini ancaman pidananya jauh lebih berat, lebih dua kali
lipat.
2. Secara melawan hukum;
Dalam delik ini si pembuat mengetahui bahwa perbuatannya untuk
menguntungkan diri sendiri itu melawan hukum.
3. Memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Merupakan pemerasan jika seorang memaksa penyerahan barang yang dengan
penyerahan itu dapat mendapatkan piutangnya, juga jika memaksa orang untuk
menjual barangnya walaupun dia bayar harganya dengan penuh atau bahkan
melebihi harganya (Hoge Raad, 23 Maret 1936, N. J 563 dan 814).
Menurut JM. Van Bemmelen – WFC Van Hattum, delik pemerasan
berdasarkan Pasal 368 KUHP ini erat hubungannnya dengan delik pencurian
dengan kekerasan atau perampokan (Pasal 365 KUHP), karena keduanya
mengenai kekerasan atau ancaman kekerasan dan keduanya mengenai
pengambilan barang orang lain. Perbedaannya ialah pada delik pemerasan ini
ada semacam ”kerjasama” dengan korban, karena korban sendiri yang
menyerahkan barang itu (dengan paksaan berupa kekerasan atau ancaman
kekerasan) sedangkan delik pencurian dengan kekerasan tidaklah demikian,
pencuri itu mengambilnya sendiri.

Pasal 369 KUHP


(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan ancaman akan membuka rahasia,
memaksa orang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang
atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
(2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena
kejahatan.

Bagian inti delik dari pasal ini sama dengan delik pemerasan (Pasal 368 KUHP),
ditambah satu bagian inti lagi yaitu ”dengan ancaman akan membuka rahasia”. Jadi
paksaannya itu berupa akan membuka rahasia korban jika tidak diberi sesuatu atau
seterusnya itu. Dalam bahasa Belanda delik ini dikenal dengan Chantage.
Penggelapan

Pasal 372 KUHP


”Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah.”

Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam


Pasal 362 KUHP, bedanya dalam pencurian, barang yang diambil untuk dimiliki itu
belum berada di tangan si pelaku, sedangkan dalam kejahatan penggelapan, barang
yang diambil untuk dimiliki itu sudah berada ditangan si pelaku tidak dengan jalan
kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya.
Menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Juni 1901 perbedaan antara
pencurian dan penggelapan terletak pada siapa yang secara nyata menguasai
barangnya. Pencurian tidaklah mungkin terhadap suatu barang yang sudah berada
dalam kekuasaan hukum dan kekuasaan nyata pelaku. Pengambilan barang secara
melawan hukum dengan persetujuan si pemegang ialah pencurian.

Pasal 374 KUHP


”Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang
disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencaharian atau karena
mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 35 K/Kr/1975 tanggal 25


September 1975 Pasal 374 KUHP ini hanyalah pemberatan dari Pasal 372 KUHP,
yaitu apabila dilakukan dalam hubungan jabatan atau hubungan kerja, sehingga jika
Pasal 374 KUHP dapat dibuktikan maka Pasal 372 KUHP dengan sendirinya dapat
dibuktikan juga.
Yang diartikan dengan kata ”memiliki” (toe eigenen) sebagai dimaksud Pasal
374 KUHP ialah menguasai barang bertentangan dengan hak yang dipunyai
seseorang atas barang tersebut (toe eigenen is een ”beschikken” over het goed in
strijd met de aard van het richt, dat men over dat goed uitoefend), maka penggunaan
uang oleh seorang pegawai negeri untuk keperluan lain (meskipun untuk itu
dibuatkan bon) dari pada yang telah ditentukan merupakan kejahatan termaksud
dalam Pasal 374 KUHP (MA No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei 1957).

Penipuan
Pasal 378 KUHP
”Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.

Menurut HR tanggal 29 Maret 1949 unsur-unsur penipuan ialah:


1. dengan maksud untuk menguntungkan diri dengan melawan hukum ;
Menguntungkan diri dengan melawan hukum berarti menguntungkan diri sendiri
dengan tiada hak.
Menurut HR tanggal 27 Mei 1935 pelaku harus mempunyai maksud untuk
menguntungkan diri secara melawan hukum, dan adalah tidak perlu adanya pihak
lain yang dirugikan. Hakim tidak perlu menerapkan terhadap siapa kerugian itu
dibebankan.
2. menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu ;
Untuk adanya „penyerahan‟ adalah perlu bahwa barang itu berpindah dari
kekuasaan seseorang, akan tetapi tidak perlu bahwa barang itu juga jatuh dalam
kekuasaan orang lain.
3. dengan menggunakan salah satu upaya penipuan.
 Tipu muslihat merupakan perbuatan-perbuatan yang menyesatkan, yang
dapat menimbulkan dalih-dalih yang palsu dan gambaran-gambaran yang
keliru dan memaksa orang untuk menerimanya.
 Terdapat suatu rangkaian kebohongan, jika antara pelbagai kebohongan itu
terdapat suatu hubungan yang demikian rupa dan kebohongan yang satu
melengkapi kebohongan yang lain, sehingga mereka secara timbal balik
menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu
kebenaran.
 Nama palsu ialah nama yang bukan nama sebenarnya.
 martabat palsu misalnya seseorang yang tidak mempunyai sesuatu jabatan
mengaku dan bertindak sebagai pegawai polisi, notaris, pastor, dsb.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 133 K/Kr/1973 tanggal 15 Nopember 1975
mengatakan bahwa seorang yang menyerahkan cek, padahal ia mengetahui bahwa
cek itu tidak ada dananya, perbuatannya merupakan tipu muslihat sebagaimana
termaksud dalam Pasal 378 KUHP.

Penadahan
Pasal 480 KUHP
“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah :
1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah
atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan,
menggadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan
penadahan;
2. barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda yang diketahuinya,
atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.”

Delik penadahan sebagaimana dirumuskan Pasal 480 KUHP pada


umumnya bersifat formil, sehingga ada tidaknya pihak lain yang dirugikan bukanlah
unsur yang menentukan.
Tidak ada peraturan yang mengharuskan untuk lebih dahulu menuntut dan
menghukum orang yang mencuri sebelum menuntut dan menghukum orang yang
menadah. Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 79 K/Kr/1958 tanggal 9 Juli
1958, adanya orang yang kecurian dan adanya barang-barang yang berasal dari
pencurian itu terdapat pula penadahnya, sudahlah cukup untuk menuntut yang
bersangkutan karena penadahan.
Pasal 481 KUHP
(1) Barangsiapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar,
menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari
kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Yang bersalah dapat dicabut haknya berdasarkan Pasal 35 nomor 1-4 dan
haknya untuk melakukan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

Menurut HR tanggal 27 Juli 1895 untuk adanya sebagai kebiasaan adalah


perlu adanya pengulangan perbuatan yang menunjuk pada adanya kebiasaan. Tidak
perlu dibuktikan bahwa pelaku mempunyai kecendrungan untuk melakukan delik
yang sama.

Perjudian
Pasal 303 KUHP
(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda
sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa dengan tidak
berhak :
Ke-1. dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi sebagai
mata pencahariannya, atau dengan sengaja turut campur dalam
perusahaan main judi;
ke-2. dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi kepada
umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan perjudian
itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam
hal memakai kesempatan itu;
ke-3. turut main judi sebagai mata pencaharian.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat
dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.
(3) Main judi berarti tiap-tiap permainan, yang kemungkinan akan menang pada
umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu
bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi
mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau
permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau
main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :
1. orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi
sebagai mata pencaharian. Misalnya seorang bandar atau orang lain yang
membuka perusahaan tanpa izin dari yang berwajib;
2. orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi
kepada umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan judi itu,
dengan atau tanpa syarat atau cara dalam hal memakai kesempatan itu, tanpa
izin;
3. orang yang turut main judi sebagai mata pencaharian

Permainan dengan kartu yang tidak dapat digolongkan dalam judi ialah : bridge,
domino, dsb yang tidak ada taruhan uangnya, sedangkan yang dapat digolongkan
kedalam judi ialah dadu, tombola, totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepak
bola, togel, dsb.

Pasal 303 (bis)


(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda
setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah :
ke-1. barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, yang diadakan
dengan melanggar ketentuan-ketentuan tersebut pada Pasal 303;
ke-2. barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau
dipinggirnya maupun di tempat yang dimasuki oleh khalayak umum,
kecuali jika untuk mengadakan itu ada izin dari pengawas yang
berwenang.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran-
pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara selama-lamanya enam tahun
atau denda setinggi-tingginya lima belas juta rupiah.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :


- orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi
sebagai mata pencaharian. Misalnya seorang bandar atau orang lain yang
membuka perusahaan tanpa izin dari yang berwajib;

- orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi


kepada umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan judi itu,
dengan atau tanpa syarat atau cara dalam hal memakai kesempatan itu,
tanpa izin;

- orang yang turut main judi sebagai mata pencaharian

Permainan dengan kartu yang tidak dapat digolongkan dalam judi ialah : bridge,
domino, dsb yang tidak ada taruhan uangnya, sedangkan yang dapat digolongkan
kedalam judi ialah dadu, tombola, totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepak
bola, togel, dsb.

Perusakan Barang
Pasal 406 KUHP
(1) “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakkan, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan
sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan atau
dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Hukuman yang sama dijatuhkan kepada mereka yang dengan sengaja dan
secara melawan hukum, membunuh, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai
lagiatau menghilangkan seekor hewan yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain.
B. DELIK TERKAIT ORANG

Jenis tindak pidana yang dimaksudkan menyangkut harga diri dan kehormatan
orang, kesehatan orang, kemerdekaan orang maupun nyawa orang yang banyak
ditemui dan terjadi dalam masyarakat. Tindak pidana tersebut berupa
penghinaan, penganiayaan, perkosaan, pencabulan, kelalaian yang
menyebabkan orang luka atau meninggal, perzinahan, dan pembunuhan.

Berikut akan diuraikan bunyi pasal dan penjelasannya.

Penghinaan
Pasal 310 KUHP
(1) “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduh sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum, diancam pidana karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(2) “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan, atau ditempel dimuka umum, maka diancam dengan pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(3) “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”

Menurut putusan MA No. 109 K/Kr/1970 tanggal 10-1- 1973 perbuatan-perbuatan


yang dilakukan oleh pembela untuk mempertahankan kepentingan yang dibelanya,
dianggap dilakukannya karena terpaksa (noodzakelijke verdediging) asalkan saja
perbuatan-perbuatan pembelaan itu dilakukannya dengan baik dan dengan cara
yang tidak berlebihan.

Dalam tindak pidana menista dengan surat (smaadschrift) dan pada umumnya
dalam tindak pidana penghinaan yang dimuat dalam buku II Bab XVI KUHP, tidak
perlu adanya animus in juriandi, yakni niat untuk menghina. Berikut ini penjelasan
mengenai inti delik dalam penghinaan, yaitu:
1). Menuduh Suatu Hal
Tiada perbedaan antara pencemaran dan pencemaran tertulis dalam hal tuduhan
dilakukan secara lisan atau tertulis. Pencemaran menurut Pasal 310 (1) KUHP
dilakukan dengan cara bagaimanapun baik secara lisan atau tertulis.
Pasal 310 (2) KUHP memberikan pemberatan hukuman/pidana untuk bentuk-
bentuk tertentu dari pencemaran dilakukan secara tertulis, yang secara juridis
dinamakan “pencemaran tertulis.”
Menurut H.R. 11 Desember 1899 menuduhkan sesuatu hal yang benar adalah
pencemaran, apabila pelaku berbuat demikian tidak demi kepentingan umum
melainkan hasrat untuk menghina atau melukai orang.
Kemudian menurut H.R. 3 Mei 1937 ada “sesuatu hal” apabila hal ini dituduhkan
sedemikian rupa sehingga menunjukkan sikap konkrit yang diketahui dengan
jelas. Kelakuan ini tidak perlu pula ditetapkan dengan suatu penentuan dan
uraian yang teliti mengenai waktu dan tempatnya.
Selanjutnya H.R. 13 Oktober 1919 mengatakan kata-kata seperti “pemberian
sumpah palsu” dan “itu dia pemberi sumpah palsu“ tidak ada hubungannya
dengan suatu peristiwa tertentu, bukan merupakan tindakan sesuatu hal. Itu
hanya merupakan penghinaan ringan bukan pencemaran. H.R. 24 Juni 1929
juga mengatakan tidak terdapat suatu pencemaran, akan tetapi penghinaan
ringan

apabila syarat tuduhan tidak berisikan suatu tuduhan tentang sesuatu hal dengan
maksud untuk diketahui umum.

2). Kepentingan Umum atau Pembelaan Terpaksa


Hanya pada pencemaran dan pencemaran tertulis dibenarkan alasan demi
kepentingan umum atau pembelaan terpaksa apabila yang dituduhkan dan
dibuktikan penghinaan ringan, maka alasan-alasan tersebut diatas tidak
diperkenankan.
Menurut H.R. 29 Juni 1908 alasan demi kepentingan umum atau pembelaan
terpaksa juga dibenarkan jika kebenaran yang dituduhkan itu tidak terbukti.
Kemudian menurut H.R. 17 November 1924 kesengajaan untuk menghina dapat
digabungkan dengan tujuan untuk membela kepentingan umum.
Pertanyaan apakah pelaku telah berbuat demi kepentingan umum atau karena
pembelaan terpaksa, hanya hakimlah yang berwenang menilainya dan bukan
pendapat subyektif dari pelaku (H.R. 11 Maret 1901). Jika publikasi hal-hal
tertentu dilakukan demi kepentingan umum, maka pelaku harus melakukannya
secara wajar. Dengan menuduhkannya secara kasar maka kepentingan umum
tidak dibelanya (H.R. 26 November 1934).
Alasan demi kepentingan umum tidak dapat dibenarkan, apabila hal-hal yang
disalahkan telah diperiksa oleh instansi-instans yang berwenang dan hal ini
diketahui pelaku (H.R. 26 November 1934).
Pada Pasal 310 ini terdapat dua bentuk tindak pidana penghinaan yaitu
pencemaran atau penistaan pada ayat (1) dan pencemaran tertulis pada ayat (2).

Ad.1. Pasal 310 ayat (1) KUHP


Unsur sengaja disini ditempatkan didepan dan ini berarti mempengaruhi seluruh
unsur (rumusan) yang mengikutinya. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam rangka
penerapan pasal ini tidak perlu dipersoalkan apakah si pelaku juga mengetahui atau
tidak menghendaki akibat dari pencemarannya itu. Misalnya; si A yang dicemarkan
nama baiknya/kehormatannya, oleh atasannya telah dimutasikan atau ditunda
kenaikan pangkat/jabatannya, cukuplah jika si pelaku menyadari bahwa ia telah
menyerang kehormatan/nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu dan
dengan maksud supaya diketahui oleh umum. Kalaupun dipersoalkan atau
dipertanyakan akibat yang lebih jauh yang dikehendaki si pelaku, maka hal ini
hanyalah merupakan bahan pertimbangan untuk penentuan berat/ringan pidana
yang akan dituntutkan/dijatuhkan.
Dalam rangka maksud si pelaku supaya pencemaran itu diketahui umum,
timbul permasalahan : “apakah si korban harus merasa tercemar ?“. Mengingat
bahwa delik ini pada umumnya merupakan delik aduan (kecuali Pasal 316) maka
dengan mudah persoalan ini dapat dijawab justru karena si korban merasa tercemar
lalu mengadukannya. Tentunya jawaban ini tidak begitu saja diterapkan, terutama
untuk delik Pasal 316 yang tidak mensyaratkan adanya pengaduan.
Sebenarnya yang terpenting dalam masalah ini ialah siapa yang menjadi
ukuran tentang perasaan ketercemaran itu. Jawaban yang diutarakan tadi jelas
mengindikasikan bahwa sang korbanlah yang jadi ukuran. Padahal ukuran lain masih
banyak yang dapat dan lebih tepat digunakan.
Mengenai unsur ketiga yaitu bersifat melawan hukum, pada dasarnya setiap
orang dilarang atau tidak berwenang untuk mencemarkan kehormatan atau nama
baik orang lain. Namun dalam dua hal ada perbedaan pendapat yaitu apabila
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Tindakan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 310 (1) ialah ;
a. Menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu (hal/tindakan)
dengan maksud yang jelas (kenlijk doel) supaya hal itu tersiar pada umum, atau;
b. Menyerang nama baik seseorang..................(vide a.)
Caranya untuk menyerang kehormatan seseorang itu ialah dengan menuduhkan
sesuatu hal/perbuatan. Yang dimaksud dengan sesuatu hal/perbuatan tidak selalu
harus merupakan suatu tindakan yang diuraikan secara terperinci mengenai
kejadiannya serta uraian tempat dan waktunya. Cukuplah jika
iamenyebutkan/menyatakan suatu pergaulan, perangai, tindakan, keadaan dan lain
sebagainya dari seseorang itu, yang dari pernyataan tersebut jelas dan mudah dapat
disimpulkan suatu kelakuan tertentu.
Maksud pelaku untuk menyerang kehormatan/nama baik seseorang tersebut ialah
agar tersiar berita yang mencemarkan itu. Maksud itu harus mudah dimengerti
orang atau maksudnya gamblang agar tersiar berita yang meresahkan itu
(ruchtbaarheid te geven). Yang terpenting disini ialah apakah maksud itu
gamblang?.Jadi tidak harus sudah terbukti apakah sudah tersiar/tidak.Cara
penyiarannya untuk diketahui umum, tidak harus selalu dimuka umum mengutarakan
kata-kata penyerangan kehormatan tersebut, melainkan dapat juga jika si pelaku
menyampaikan kepada orang-orang secara satu demi satu didatangi pada tempat
dan waktu yang berlainan.
Penyerangan kehormatan itu harus tertuju kepada seseorang walaupun
tidak harus secara tegas menyebut nama seseorang. Namun orang-orang
mengetahui secara pasti yang dimaksud dalam penyerangan kehormatan tersebut.
Yang dituduhkan itu dapat berupa berita yang benar-benar terjadi dan dapat juga
isapan jempol belaka. Dalam hal yang kedua ini bentuk kejahatan berubah dan
maksimum ancaman pidananya lebih berat jika sipelaku tidak dapat membuktikan
kebenaran dari yang dituduhkan itu dan apabila diperbolehkan untuk
membuktikannya. (Pasal 311).
Yang dimaksud menyerang nama baik ialah merusak penilaian yang baik
dari masyarakat kepada seseorang. Jadi menyerang nama baik dari tuan Saleh
adalah merusak penilaian yang baik itu sehingga tuan Saleh tidak dihormati lagi
seperti sediakala atau tidak mendapat tempat yang terhormat lagi dihati masyarakat
umum.

Ad.2. Pasal 310 (2) KUHP


Unsur-unsur pencemaran (Pasal 310 ayat 1) dengan pencemaran tertulis pada
dasarnya sama, bedanya hanya terletak pada cara menuduhkan sesuatu hal itu.
Pada pencemaran hal tersebut dilakukan dengan cara lisan, gerakan atau perbuatan
yang diperlihatkan pada orang lain (umum) atau dengan suatu tulisan/gambar yang
diperlihatkan pada orang lain secara satu demi satu pada tempat dan waktu yang
berbeda sedangkan pada pencemaran tertulis cara itu dilakukan dengan tulisan atau
gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel dimuka umum.
Yang dimaksud menyiarkan atau menyebarkan ialah setelah memperbanyak
tulisan/gambaran itu kemudian membagi-bagikannya kepada orang-orang/umum.
Dan saat membagikan tersebut tidak harus dimuka umum.
Yang dimaksud dengan mempertunjukkan ialah memperlihatkan kepada khalayak
ramai, sedangkan yang dimaksud menempelkan ialah bahwa tulisan atau gambar itu
ditempelkan disuatu tempat untuk dibaca/dilihat oleh siapa saja. Yang dimaksud
dengan secara terbuka (openlijk) ialah pada suatu tempat yang dapat didatangi atau
orang-orang dapat melihat atau membaca yang dipertunjukkan atau ditempelkan itu.
Jadi dapat saja tulisan/gambar ditempelkan disuatu tempat yang bukan tempat
umum. Misalnya dibelakang suatu pagar atau di belakang suatu kaca tapi dapat
didekati oleh umum.
Cara penyiaran (penyebaran) ataupun secara terbuka (openlijk) mempertunjukkan
atau menempelkan tersebut sekaligus merupakan pemberatan ancaman pidana.
Penganiayaan

Pasal 351 KUHP


(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pada ayat (4) diberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
penganiayaan, yaitu “dengan sengaja merusak kesehatan orang”. Kalau demikian,
maka penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa
bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian itu.

Penganiayaan
Ringan Pasal 352
KUHP
(1) Kecuali yang disebut di dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan,
jabatan atau pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Sama dengan Pasal 351 KUHP, pasal ini pun tidak membuat pengertian
atau rumusan tentang apa yang dimaksud dengan “penganiayaan”. Yang
membedakan kedua rumusan ialah rumusan pasal ini disebut penganiayaan ringan.
Penganiayaan ringan ialah yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian.

Pasal 353 KUHP


(1) Penganiayaan yang dipikirkan lebih dahulu diancam pidana penjara paling lama
enam tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 354 KUHP


(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Kesengajaan disini ditujukan kepada melukai berat orang. Jadi, disini ada
bentuk khusus penganiayaan berupa kesengajaan yang ditujukan untuk melukai
berat orang dan tidak termasuk mencederai. Bukan berarti terjadinya nyeri, tetapi
luka berat. Luka berat menurut Hoge Raad diartikan “luka yang sedemikian rupa
yang tetap membawa akibat yang serius atau membawa akibat kerusakan pada
badan” (Hoge Raad, 8 Januari 1917, p.175).

Pasal 355 KUHP


(1) Penganiayaan berat yang dipikirkan lebih dahulu (met voor bedachterade)
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.

Sebenarnya ketentuan Pasal ini mengenai “dipikirkan lebih dahulu” hanya


merupakan keadaan yang memperberat pidana penganiayaan berat (seperti tersebut
dalam Pasal 354 KUHP). Dengan demikian berbeda dengan pembunuhan yang
dipikirkan lebih dahulu (moord) yang tercantum di dalam Pasal 340 KUHP.

Kekerasan dengan Tenaga Bersama

Pasal 170 KUHP


(1) Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam :
1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan
luka-luka
2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun jika kekerasan
mengakibatkan luka berat.
3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun jika kekerasan
mengakibatkan maut.

Maksud “secara terang-terangan” berarti tidak secara bersembunyi sehingga


tidak perlu dimuka umum, cukup apabila ada kemungkinan orang lain dapat
melihatnya.
Menurut putusan M.A. No.10 K/Kr/1975 tanggal 17 Maret 1976 meskipun
perbuatan penggunaan kekerasan tidak dilihat oleh orang lain akan tetapi jika
dilakukan di suatu tempat yang dapat dilihat oleh orang lain maka unsur openlijk atau
secara terang-terangan telah dinyatakan terbukti.
Pasal ini tidak menyatakan sebagai dapat dihukum setiap perbuatan yang
dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan tenaga bersama secara sengaja
terhadap barang-barang yang berada ditempat umum.Akan tetapi hanya perbuatan
yang dilakukan dengan kekerasan yang dilakukan dimuka umum dan dengan
demikian melanggar ketertiban umum.
Dengan “secara terang-terangan dan menggunakan kekerasan diartikan apa yang
disebut vis publica terhadap orang atau barang.
Menurut H.R. 19 November 1894 pada Pasal 170 pelaku tidak bertanggung
jawab untuk akibat-akibat parah dari perbuatan perbuatan para pelaku peserta hal
mana pengecualian terhadap Pasal 55 KUHP. Delik ini tidak mungkin dilakukan oleh
hanya satu orang saja, kendati dalam hal terjadi suatu akibat seperti tersebut ayat (2)
mungkin hanya satu orang saja yang dipertanggungjawabkan pidananya
berdasarkan ayat (2) tersebut.Kepada selebihnya yang tidak turut serta
mengakibatkan akibat tersebut, diterapkan ayat (1).
Beberapa sarjana berpendapat tidak cukup hanya dua orang saja,
alasannya antara lain bahwa istilah “dengan tenaga bersama” lebih mengindikasikan
suatu gerombolan manusia. Kemudian ditambahkan jika dua orang subyek sudah
dipandang memenuhi unsur subjek delik mengapa tidak digunakan istilah dua orang
atau lebih yang tidak asing lagi dalam terminologi hukum pidana?.Sementara sarjana
lainnya (Noyon) berpendapat bahwa subjek ini sudah memenuhi syarat jika ada dua
orang (atau lebih).
Unsur kesalahan delik ini berupa kesengajaan, hal tersebut disimpulkan dari
perumusan “dengan tenaga bersama melakukan“, yang berarti setidak-tidaknya ada
saling pengertian mengenai yang dilakukan dengan tenaga bersama itu. Apakah
“saling pengertian” itu terjadi jauh sebelum kejadian itu atau pada waktu kejadian itu
tidak dipersoalkan.
Tindakan larangan disini adalah secara terbuka dengan tenaga bersama
melakukan kekerasan terhadap orang atau barang yang dimaksud secara terbuka
(openlijk) adalah tindakan yang dapat disaksikan umum. Jadi apakah tindakan itu
dilakukan ditempat umum atau tidak, tidak dipersoalkan, yang penting dapat dilihat
umum.
Yang dimaksud dengan tenaga bersama adalah beberapa tenaga
dipersatukan oleh mereka yang mempunyai tenaga. Ini tidak berarti dalam
melakukan kekerasan terhadap orang misalnya semua tangan menyekap orang itu
kemudian semua kaki menendangnya kemudian semua tangan
menghempaskannya. Jika ada yang menyekapnya, yang lain memukul dan yang lain
lagi menendang, ini merupakan hal telah menggunakan tenaga bersama.
Kealpaan menyebabkan orang lain mati

Pasal 359 KUHP


“Barang siapa kerena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun”.

Kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2


syarat:
- Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau kurang
waspada.
- Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang
dilakukannya dengan kurang hati-hati itu.

Kealpaan menyebabkan orang lain luka

Pasal 360 KUHP


(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan
paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus
rupiah.

Penafsiran luka berat terdapat dalam pasal 90 KUHP.


Pada ayat 2 ditetapkan, bahwa luka sebagai akibat perbuatan kurang hati-hati itu
harus juga menimbulkan penyakit pada korban atau karena luka itu korban tidak
dapat melakukan pekerjaannya atau jabatannya sehari-hari untuk sementara waktu.
Hal ini harus dibuktikan dengan surat pernyataan dokter yang disebut visum et
repertum. Pasal ini seperti halnya pasal 359 dipergunakan dalam pelanggaran lalu
lintas yang menimbulkan akibat luka atau luka berat pada seseorang (saat ini telah
berlaku UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan sebagai
Lex Specialis dari KUHP).

Perzinahan
Pasal 284 KUHP
(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan :
ke-1. a. laki-laki yang beristeri yang berzina sedang diketahuinya, bahwa Pasal
27 KUH Perdata berlaku baginya;
b. Perempuan yang bersuami yang berzina;
ke-2. a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya
bahwa yang turut bersalah itu bersuami.
b. perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu,
padahal diketahuinya, bahwa yang turut bersalah itu beristeri dan
Pasal 27 KUH Perdata berlaku bagi yang turut bersalah itu.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami atau isteri yang terhina dan
dalam hal bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 KUH Perdata kalau dalam waktu
tiga bulan sesudah pengaduan itu ia memasukkan permintaan untuk bercerai
atau hal dibebaskan dari kewajiban berdiam serumah oleh karena hal itu juga.
(3) Bagi pengaduan itu tidak berlaku pasal 72, 73 dan 75.
(4) Pengaduan itu dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Kalau bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 KUH Perdata, maka pengaduan itu
tiada diindahkan sebelum perkawinan diputuskan karena perceraian, atau
sebelum keputusan yang membebaskan mereka dari kewajiban berdiam
serumah menjadi tetap.
Menurut pengertian umum, zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh perkawinan. Akan
tetapi menurut pasal ini zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau
suaminya. Supaya dapat dituntut menurut pasal ini, persetubuhan itu harus dilakukan
atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun.

Perkosaan
Pasal 285 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Bagian inti delik (delict bestanddelen) ini adalah :


1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
2. Memaksa.
Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan itu tidak
dapat melawan dan terpaksa melakukan persetubuhan.
3. Dengan perempuan yang bukan
isterinya. Perempuan yang disetubuhi
tersebut
4. Terjadi persetubuhan.
Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antara pembuat dan
perempuan yang dipaksa tersebut.

Sebenarnya jarang delik kesusilaan itu terjadi concursus, tetapi pada Pasal
285 KUHP terjadi concursus dengan Pasal 289 KUHP, yaitu dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan berbuat cabul dengan dia (J.M.
van Bemmelen-W.F.C. van Hattum, 1954 : Ibid). Jadi Pasal 285 KUHP merupakan
lex specialis, sedangkan perbuatan cabul merupakan legi generali (Hoge Raad, 19
Maret 1946, No. 259). Kalau dalam persetubuhan itu ada dua laki-laki yang
terlibat, yang satu memaksa sedangkan yang lain melakukan persetubuhan, maka
keduanya dipidana sebagai peserta (deelnemer) (T.J. Noyon-Langemeijer-
Remmilink. Komentar atas artikel 242 Sr).
Hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum pidana Belanda, tidak mengenal
perkosaan tanpa kekerasan (non forcible rape) seperti Amerika Serikat.
Bagian inti delik perkosaan harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
cocok dengan bahasa Indonesia bahwa “perkosaan” menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia 1976 susunan Poerwodarminto, perkosaan berarti :
1. Menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan,
misalnya memperkosa isteri orang, memperkosa gadis yang belum berumur.
2. Melanggar, menyerang dan sebagainya dengan kekerasan.

Nikah Tanpa Ijin


Pasal 279 KUHP
(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun :
a. Barangsiapa melakukan perkawinan, sedang diketahuinya bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang ada merupakan halangan
yang sah untuk melakukan perkawinan kembali”
b. Barangsiapa melakukan perkawinan, sedang diketahuinya bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan itu merupakan halangan yang
sah bagi pihak lain tersebut untuk melakukan perkawinan lagi”
(2) Apabila orang yang bersalah telah melakukan perbuatan seperti yang diatur
dalam angka 1 di atas, menyembunyikan hal tersebut kepada pihak lain,
bahwa perkawinannya atau perkawinan-perkawinannya yang ada itu
merupakan halangan yang sah untuk melakukan perkawinan lagi, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Hukuman pencabutan hak seperti diatur dalam Pasal 35 nomor 1 sampai dengan 5
dapat dijatuhkan.

Perbuatan Cabul
Pasal 289 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
menyerang kehormatan, kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun”.

Bagian inti delik (Delict bestanddelen) adalah :


1. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Perbuatan harus dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
2. Memaksa.
Dengan memaksa dalam, bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut tidak akan
terjadi bila tidak dilakukan secara paksa dan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan.
3. Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Melakukan atau membiarkan terhadap dirinya sesuatu perbuatan yang memaksa
dengan mamakai kekerasan atau ancaman kekerasan. Perbuatan cabul adalah
sebagai perbuatan yang melanggar perasaan malu seksual.
Menurut Noyon-Langenmeijer-Remmilink dalam komentar Pasal 248 Sr
(Pasal 289 KUHP) dikatakan ada perbedaan antara perbuatan cabul (ontuchtige
handeling) dengan melanggar kehormatan kesusilaan (schending van de
eerbaarheid), karena dalam hal perbuatan cabul orang berpikir mengenai perbuatan
yang ditujukan pada kontak seksual yang bagaimanapun juga kontak seksual yang
betentangan dengan norma etika sosial, tanpa melakukan perbuatan yang
mengerikan.
Beberapa yurisprudensi lain menyangkut Pasal 289 KUHP, ialah :
1. Seorang laki-laki yang dengan memegangi tangan seorang perempuan memaksa
perempuan tersebut untuk memegang kemaluannya dengan tidak menghiraukan
perlawanan perempuan itu telah memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan
cabul (Hoge Raad, 15 Pebruari 1926, B.J. 1926 No. 264).
2. Kejahatan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul dianggap
segera setelah si pembuat berhasil mengatasi perlawanan yang diberikan oleh
perempuan atau telah berhasil menghindarkan perlawanan yang mungkin akan
diberikan oleh perempuan tersebut dengan melakukan perbuatan kekerasan itu
secara tidak disangka-sangka akan terjadi oleh perempuan tersebut (Hoge Raad,
5 Nopember 1946, 1947 No. 17 )
3. Adalah tidak perlu perbuatan tersebut telah dilakukan lebih dari satu kali (Hoge
Raad, 29 Juni 1908, W 8739).
4. Sesuatu keterangan saksi, yang memberikan penjelasan mengenai tingkah laku
terdakwa di bidang seksual dapat diterima sebagai alat bukti (Hoge Raad, 26
Januari 1931, N.J. 1931, No. 952).
5. Keterangan seorang saksi mengenai tindakan-tindakan kesusilaan yang telah
dilakukan oleh terdakwa terhadap dirinya dapat lebih meyakinkan dari keterangan
saksi-saksi lain dengan tindakan serupa yang pernah dilakukan terhadap mereka
(Hoge Raad, 24 Nopember 1930, N.J. No. 118).

Pembunuhan
Pasal 338 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
bersalah melakukan pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”

Bagian inti delik (Delict bestanddelen) adalah :


1. Dengan sengaja.
Kesengajaan disini ditujukan kepada hilangnya nyawa orang lain, inilah yang
membedakan dengan penganiayaan yang mengakibatkan kematian, karena
dalam hal penganiayaan, tidak ada maksud atau kesengajaan untuk
menghilangkan nyawa orang. Matinya orang itu hanya akibat dari penganiayaan.
2. Merampas nyawa orang lain.
Hilangnya nyawa sebagai tujuan kesengajaan harus terjadi. Sebenarnya disini
unsur materiel penganiayaan dalam arti merusak kesehatan orang, delik terjadi
jika nyawa hilang. Disini terjadi kausalitas antara perbuatan kesengajaan dan
kematian.
Jika kematian terjadi dalam waktu yang lama sesudah terjadinya perbuatan,
misalnya setahun atau lebih, maka dengan sendirinya, pembuktian mengenai
kematian sebagai akibat perbuatan pembunuhan menjadi sulit. Apakah termasuk
delik pembunuhan biasa (doodslag) ataukah pembunuhan yang dipikirkan lebih
dahulu (moord).

Pasal 339 KUHP


“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului atau suatu delik yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau
untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta yang lain dari pidana dalam hal
tertangkap basah (betrapping op heterdaad) ataupun untuk memastikan penguasaan
barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

Sebenarnya rumusan ini tidak memuat bagian inti tersendiri, tetapi tetap
mengacu kepada pembunuhan yang tercantum di dalam Pasal 338 KUHP. Hanya
ditambah dengan satu bagian inti yang terdiri dari beberapa alternatif. Oleh karena
itu, dalam pembuktian tetap dirumuskan tentang adanya kesengajaan yang ditujukan
kepada perampasan nyawa orang lain atau ditambah dengan diikuti, disertai, atau
didahului oleh suatu delik, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan
atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau
peserta lain daripada dalam hal tertangkap basah, ataupun untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum.

Pasal 340 KUHP


“Barang siapa dengan sengaja dan dengan dipikirkan lebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan yang dipikirkan lebih dahulu dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun”.

Pasal 340 KUHP inipun rumusannya sama dengan rumusan Pasal 338 KUHP
ditambah dengan satu lagi bagian inti, yaitu dipikirkan lebih dahulu (met voor
bedachterade). Sebelumnya telah diuraikan bahwa yang menentukan adanya unsur
ini adalah keadaan hati untuk melakukan pembunuhan, walaupun keputusan yang
diambil dalam hati itu sekejap saja dengan pelaksanaannya.

Pasal 341 KUHP


“Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak yang dilahirkan atau
tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena
pembunuhan anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Pasal 342 KUHP


“Seorang ibu karena untuk melaksanakan niat yang ditentukan, karena takut akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama
kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena pembunuhan anak sendiri
dengan dipikirkan lebih dahulu, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Kedua rumusan delik pasal diatas masing-masing mengacu pada ketentuan


Pasal 338 KUHP untuk Pasal 341 KUHP dan Pasal 340 KUHP untuk Pasal 342
KUHP. Jadi, rumusan Pasal 341 KUHP itu sama dengan rumusan Pasal 338 KUHP
hanya ditambah bagian inti “karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat
anak dilahirkan”. Keadaan ini (panik) menyebabkan pidana menjadi lebih ringan,
dari lima belas tahun ke tujuh tahun.
Kalau pada saat atau beberapa waktu kemudian ia takut ketahuan ia
melahirkan anak dan ia melakukan pembunuhan, maka ia melakukan pembunuhan
anak (kinderdoodslag). Tetapi jika ia takut ketahuan ia akan melahirkan dan
memutuskan membunuhnya jika nanti lahir, maka ia melakukan pembunuhan anak
yang dipikirkan lebih dahulu (kindermoord).

Pasal 344 KUHP


“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.”

Jadi rumusan deliknya sama dengan rumusan delik dalam Pasal 338 KUHP,
hanya ditambah dengan bagian inti :
1. Atas permintaan orang itu sendiri (yang dibunuh)
2. Permintaan itu dengan kesungguhan hati.
Harus ada permintaan yang jelas dinyatakan oleh orang yang dibunuh, dan
permintaan itu sungguh-sungguh, bukan main-main atau dalam keadaan kurang
sadar.
Tidak disebut “dengan sengaja” dalam pasal ini tidak berarti tidak diisyaratkan
adanya kesengajaan. Kesengajaan sudah terbenih di dalam rumusan itu sendiri.
Sering pembunuhan atas permintaan sendiri ini terjadi karena orang itu sakit
keras, sehingga tidak tahan penderitaan lebih lama, dan memohon dihentikan infus
atau bantuan pernafasan (jadi, dilakukan oleh dokter atau perawat) yang disebut
euthanasia.
Pasal 345 KUHP
“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberi saran untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun jika orang itu jadi bunuh diri”.

Bagian inti delik (Delikt bestanddelen) adalah :


1. Sengaja.
Dengan mendorong orang lain untuk membunuh diri sebenarnya sudah terhisap
kesengajaan. Tetapi menolongnya mungkin saja tidak sengaja, misalnya
seseorang meminjam pistol (kasus Jaksa Hasan Nur di Jawa Timur) dan yang
meminjamkan itu tidak tahu kalau orang itu bermaksud untuk membunuh diri,
begitu pula dalam memberi sarana, misalnya apotik yang menjual obat tidur
kepada seseorang yang kemudian memaksa untuk membunuh diri (overdosis).
2. Mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau
memberi sarana untuk itu.
Yang tersebut kedua ini berarti alternatif, artinya cukup salah satunya saja,
apakah mendorong, apakah memberi sarana atau alat untuk membunuh diri, Ada
negara yang tidak memcantumkan delik seperti ini di dalam KUHP nya.
Membunuh diri sendiri itu tidak diancam dengan pidana, misalnya mencoba
bunuh diri. Tetapi di Inggris sampai tahun 1961 membunuh diri adalah delik,
kemudian sama dengan Belanda (Noyon et al, komentar Pasal 294).
3. Orang yang didorong, ditolong atau diberi sarana itu, benar-benar membunuh diri.
Kalau tidak, maka tentu delik ini tidak terjadi. Jadi, percobaan bunuh diri tidak
membawa pembantu menjadi dapat dipidana, yang diperhatikan hanya
membunuh diri yang selesai. Noyon berpendapat, agak keberatan jika pembantu
tidak dipidana dalam hal percobaan bunuh diri dapat dipidana katanya.
Begitupula yang ditulis oleh S.J. Hirsch dalam disertasinya di Leiden, 1882
berjudul Hulp en aanzetting tot zelfmoord.

Pasal 346 KUHP


“Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau membiarkan orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”.

Bagian ini delik (Delikt bestanddelen) adalah :


1. Sengaja.
Kesengajaan ini ditujukan pada gugurnya atau matinya kandungan. Jadi, bukan
kelalaian (Culpa).
2. Menggugurkan atau mematikan kandungan atau membiarkan orang lain untuk
itu.
Menyebabkan gugurnya atau matinya kandungan dilakukan terhadap diri atau
membiarkan orang lain berarti mengizinkan orang itu menyebabkan pengguguran
atau matinya kandungannya. Menyebabkan kematian kandungan berarti
membunuh kandungan itu di dalam perut ibunya.
Undang-undang tidak membedakan keadaan perkembangan kandungan dan
kemungkinan hidup sesudah digugurkan yang secara medis ini kurang tepat kata
Noyon et al, karena secara medis dibedakan antara abortus dan partus preamaturus
(lahir secara dini).
Seorang ibu yang menggugurkan kandungannya agar ia selamat tidak
dipidana berdasarkan keadaan terpaksa (noodtoestand).

Pasal 347 KUHP :


(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 KUHP :


(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan ini mengakibatkan matinya perempuan tersebut diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Bagian inti delik (Delckt bestanddelen) Pasal 347 ayat (1) KUHP :
1. Sengaja.
2. Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan.
3. Tanpa persetujuan.
Masing-masing ada keadaan memperberat pidana yang tercantum di dalam ayat
(2)nya, yaitu jika perempuan itu mati. Jadi, disini ada masalah kausalitas antara
perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan yang menyangkut perlakuan
terhadap tubuh perempuan itu dan kematiannya.
C. KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA DAN KETERTIBAN

UMUM Makar

Pasal 104 KUHP

“Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan atau


meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam
dengan pidana mati, atau dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama duapuluh tahun.”

Bagian inti delik dari pasal 104 ini adalah :


 Makar
 Dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan
kemampuan
 Presiden atau Wakil Presiden
Dalam Pasal 87 KUHP dijelaskan bahwa perbuatan makar itu ada, setelah maksud
dari pelaku menjadi nyata dengan permulaan pelaksanaan, seperti yang
dimaksudkan di dalam pasal 53 KUHP.

Permufakatan jahat
Pasal 110 KUHP:
(1) Permufakatan untuk melakukan salah satu dari kejahatan-kejahatan seperti
yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108 dihukum
dengan hukuman paling lama enam tahun.
(2) Hukuman yang sama dapat dikenakan juga terhadap mereka, yang dengan
maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah salah satu dari kejahatan-
kejahatan seperti yang diatur dalam pasal-pasal 104 – 108 KUHP:
1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan kejahatan itu, untuk memberikan
bantuan atau untuk memberikan kesempatan, sarana atau keterangan;

2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk


melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain;
3. mempunyai dalam persediaan alat-alat, yang diketahuinya bahwa alat-alat
tersebut adalah alat-alat yang dimaksudkan untuk melakukan kejahatan itu;

4. mempunyai dibawah kekuasannya atau mempersiapkan rencana dari


pelaksanaan kejahatan itu, yang dimaksudkan untuk diberitahukan kepada
orang lain;

5. berusaha mencegah, menghambat atau menggagalkan sesuatu usaha


yang dilakukan oleh pihak pemerintah untuk mencegah atau menindas
pelaksanaan kejahatan itu.

(3) Barang termasuk ayat 2 ke-3 dapat dirampas;


(4) Tidak dipidana barangsiapa ternyata bahwa maksudnya hanya
mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam arti
umum.
(5) Jika dalam salah satu hal seperti dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini,
kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 setelah Pasal 107 KUHP


disisipkan pasal 107 a – f yang berbunyi 2) :

Pasal 107 a KUHP


” Barangsiapa secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme, Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”.

Pasal 107 b KUHP.


”Barangsiapa secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau
melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti
Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 c KUHP
”Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme, Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun)”.

Pasal 107 d KUHP.


”Barangsiapa yang melawan hukum di muka umum dengan lisan atau tulisan, dan
atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme, Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
(duapuluh) tahun ”.

Pasal 107 e KUHP.


Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun :
a. Barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga
menganut ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan
perwujudannya; atau
b. Barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberi bantuan
kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya
berdasarkan ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan
perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan
Pemerintah yang sah.

Pasal 107 f KUHP.


Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20
(duapuluh) tahun :
a. Barangsiapa yang secara melawan hukum membuat tidak dapat dipakai,
menghancurkan, memusnahkan instalasi negara atau militer, atau
b. Barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan
pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang
banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 134 KUHP
“Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, tanggal 6


Desember 2006 Pasal 134, 136 bis dan Pasal 137 dinyatakan tidak berlaku.

Penodaan Bendera Kebangsaan


Dan Lambang Negara
Pasal 154 a KUHP
Pasal 154 a KUHP berbunyi :
”Barangsiapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang
Negara Republik Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah”.
Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada kata menodai. Derajat
kesengajaan disini paling sedikit kesengajaan sebagai tujuan. Kesimpulan bahwa
delik ini adalah delik sengaja dapat ditelusuri pada sejarah pasal ini pada Undang-
undang No. 1 Tahun 1964 yang berbunyi :
Barangsiapa terhadap bendera kebangsaan Indonesia dengan sengaja menjalankan
suatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan-penghinaan
kebangsaan, dihukum penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan.
Tindakan yang dilarang ialah menodai bendera kebangsaan RI atau
lambang Negara RI. Yang dimaksud dengan menodai disini adalah meremehkan,
menganggap enteng/hina/nista. Apabila seseorang salah membuat bentuk jenisnya,
salah menerapkan waktu dan cara penggunaan, salah menerapkan tata tertib
penggunaan, salah menggunakannya bersama-sama dengan bendera lain, salah
penggunaan di kapal, di luar negeri, maka hal itu dipandang sebagai pelanggaran
dan ketentuan pidananya diatur di Peraturan Bendera Kebangsaan Perpem No.40
Tahun 1958 LN No.68 Tahun 1958.
Yang dimaksud dengan bendera Kebangsaan Republik Indonesia adalah
bendera Sang Saka Merah Putih yang berbentuk segi empat panjang yang lebarnya
duapertiga dari pada panjangnya, bagian atas berwarna merah dan bagian bawah
berwarna putih, sedangkan kedua bagian sama lebarnya yang merupakan lambang
kedaulatan dan tanda kehormatan Republik Indonesia.
Yang dimaksud Lambang Negara Republik Idonesia terbagi atas tiga
bagian yaitu :
 Burung Garuda yang kepalanya menengok lurus kesebelah kanan.
 Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher garuda
 Semboyan tulisan diatas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Pada tanggal 09 Juli 2009 disahkan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan yang mengatur tentang praktik
penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, serta
lagu kebangsaan berikut ketentuan – ketentuan pidananya.

Pasal 156 KUHP


“Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah”.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap
bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian
lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau
kedudukan menurut Hukum Tata Negara.

Pasal 156 a KUHP


Dipidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka
umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan :
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal ini telah mengurangi “keterpaksaan” menggunakan penafsiran secara
luas terhadap Pasal 156 khususnya terhadap objek golongan rakyat yang
diperbedakan karena agama.
Perbuatan menyalahgunakan agama di dalam Pasal 156 a merupakan
pandangan yang tajam, yaitu agar jangan sampai terjadi misalnya “menarik”
seseorang berpindah agama, maka untuk dapat bekerja (menjadi karyawan) disuatu
perusahaan diwajibkan menganut suatu agama tertentu, atau untuk mendapatkan
sebidang tanah disalahgunakan suatu agama tertentu. Namun apabila ada
seseorang yang menyalahgunakan agama dengan cara menceritakan, mengajarkan
suatu agama tetapi berbeda dengan agama yang sebenarnya, bahkan
menyalahgunakan untuk mencari dukungan, belumlah dengan sendirinya
merupakan delik melainkan petindak tersebut harus diperingatkan terlebih dahulu
dan apabila peringatan itu tidak digubris barulah tindakan itu dikualifikasikan sebagai
delik (Vide Pasal 1 s/d 3 UU No.1 Pnps Tahun 1965)
Selain itu juga mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan
maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan
KeTuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini menunjukan bahwa rakyat Indonesia adalah
masyarakat yangsocio-religious.
Yang perlu mendapat perhatian dalam rangka penerapan Pasal 156 a ini
ialah bahwa sesuatu agama (atau golongan rakyat yang diperbedakan karena
agama) bukan saja : Islam, Kristen, Katolik, Hindu Bali, Budha (dan Kong Hu
Cu/Confusius) yang diakui itu melainkan juga agama-agama lainnya yang ada di
Indonesia seperti Yahudi, Zarazuastrian, Shinto,Theoism, sedangkan mengenai
badan/aliran kebatinan pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan
yang sehat dan ke arah KeTuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti jika suatu aliran
kepercayaan yang sudah bersendikan KeTuhanan Yang Maha Esa maka merekapun
mendapat perlindungan pasal ini.

Pasal 157 KUHP


(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau
lukisan dimuka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-
golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana Penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah .
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemindahannya
menjadi tetap karena kejahatan yang semacam itu juga, yang bersangkutan
dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut.

Pada dasarnya pasal ini sama dengan Pasal 156 hanya pelaksanaannya
berbeda. Pasal 157 termasuk salah satu delik penyebaran (Verspreidings-delict).
Apa yang dimaksud penyebaran secara terbuka mempertunjukan dan secara
terbuka menempelkan yang artinya bahwa tulisan atau lukisan ditempatkan
sedemikian rupa sehingga umum dapat melihatnya. Jika ditempatkan disuatu tempat
yang dikelilingi pagar akan tetapi dapat dilihat oleh umum dari luar pagar juga
termasuk dalam pengertian mempertunjukan secara terbuka. Menempelkan secara
terbuka berarti tulisan atau lukisan dapat dilihat oleh umum. Supaya isinya tenar
berarti supaya diketahui oleh umum dan ketenarannya berganda berarti supaya
yang sudah tenar menjadi tenar lagi
Pencantuman “dengan maksud” disini selain menguatkan unsur
kesengajaan yang tersirat pada tindakannya juga merupakan tujuan sipenindak agar
isinya itu tenar karenanya untuk penerapan pasal ini tidak mesti sudah terwujud
ketenarannya.

Pasal 160 KUHP


“Barangsiapa di muka umum lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan
perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak
menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan
berdasarkan ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling
lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Unsur kesalahan disini tersirat pada tindakannya yang berupa kesengajaan
namun dicakup oleh kesengajaan itu adalah:
a. Ia mengetahui/menyadari bahwa ia telah mengeluarkan kata-kata atau membuat
suatu tulisan (atau suatu gambaran) yang membuat orang-orang lain yang
menyatakannya (mendengar, membaca, atau merasakannya) menjadi tergerak,
bernafsu, mengerti untuk melakukan suatu tindakan/perbuatan.
Namun apakah suatu tindakan/perbuatan yang dihasutkannya itu adalah
merupakan suatu tindak pidana (jika terjadi), tidak dicakup oleh unsur
kesengajaan itu. Sipetindak tidak diisyaratkan mengetahui bahwa
tindakan/perbuatan yang dihasutkannya itu adalah suatu tindak pidana
(Kejahatan atau pelanggaran).
b. Untuk tindakan terlarang yang kedua, juga tidak diisyaratkan diketahui oleh
sipenindak apakah ia mengenal penguasa umum yang diserang itu. Pokoknya
yang diserang itu adalah Penguasa Umum.
c. Untuk tindakan terlarang ketiga juga tidak diisyaratkan kepada sipenindak apah ia
mengetahui suatu peraturan perundangan. Pokoknya jika penghasutan itu
menjadi kenyataan. Maka yang tidak dipatuhi itu ternyata adalah suatu peraturan
perundangan.
d. Hal yang sama seperti tersebut c, untuk tindakan terlarang yang keempat.
Selanjutnya disini ada empat macam tindakan/perbuatan yang dihasutkannya
yaitu:
1. menghasut supaya melakukan tindak pidana;
2. menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa
umum;
3. menghasut supaya tidak mematuhi peraturan perundangan, atau;
4. menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan
berdasarkan peraturan perundangan.
Jadi tindakannya bukan hanya menghasut saja tetapi harus dirangkaikan dengan
kata-kata yang mengikuti tersebut ke -1 s/d ke-4 diatas.
Mengingat bahwa tindakan tersebut ke -3 dan ke-4 tidak selalu dapat
dirasakan oleh masyarakat sebagai mengganggu ketentraman dan ketertiban
umum, maka pada tempatnya jika diperbedakan kualitas dari tindakan-terlarang
tersebut ke-1 dan ke-2, yang benar-benar dapat dirasakan sebagai mengganggu
ketentraman dan ketertiban (rust en orde) masyarakat misalnya menghasut supaya
saksi yang dipanggil untuk menghadiri persidangan tidak mematuhi panggilan
tersebut, tidak selalu dapat dirasakan sebagai penggangguan ketertiban umum,
Membedakan seperti itu adalah penting untuk penuntutan atau penjatuhan pidana
yang sepadan.
Selanjutnya masih dalam rangka tindakan terlarang ini maka tindakan itu
harus dilakukan dimuka umum, ini berarti setidak-tidaknya ada beberapa orang
yang mendengarkannya.Apabila hal ini dilakukan dijalan umum tetapi tiada
seorangpun ada disitu maka pasal ini tidak dapat diterapkan.Karenanya pengertian
dimuka umum disini adalah yang dapat didengar, dilihat dan dirasakan
umum.Penghasutan secara lisan dapat saja dilakukan dipekarangan rumahnya
yang tertutup sedang di luar pagar rumah itu banyak orang yang mendengarkannya
atau melalui suatu siaran radio, dsb.Jika penghasutan dilakukan dengan suatu
tulisan, maka tulisan itu dikirim kepada beberapa orang (bukan hanya satu orang).
Jika tulisan itu disebarkan, dipertunjukan atau ditempelkan Vide pasal 161.
Pengertian penghasut (opruien)harus dibedakan dari menggerakkan,
menganjurkan atau berusaha menggerakkan. Menghasut adalah membuat
berminat, bernafsu atau turut mendendam sehingga ia melakukan yang
dihasutkannya itu, tidak dipersoalkan apakah ia menghasut untuk melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran maksimum ancaman pidananya sama.
Delik ini dianggap sempurna apabila seseorang itu mengeluarkan kata-kata
penghasutan dimuka umum.Jika tidak harus sudah terjadi suatu tindak pidana,
perbuatan kekerasan pada penguasa umum, tindakan tidak mematuhi suatu
peraturan perundangan atau tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang
berdasarkan peraturan perundangan.Cara menghasut itu tidak perlu berapi-api
cukup jika umum dapat mendengarkannya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :7/PUU-7/2009, tanggal
22 Juli 2009 delik ini sebagai delik materiil, artinya akibat dari penghasutan ini sudah
ada. ( kasus Rizal Ramli ).

Pasal 161 KUHP


(1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang
penguasa umum dengan kekerasan atau menentang suatu hal lain seperti
tersebut dalam pasal diatas, dengan maksud supaya isi yang menghasut
diketahui atau lebih diketahui umum diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
(2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya
menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat
dilarang menjalankan pencaharian tersebut”.

Seperti halnya Pasal 137, 144, 155, 157, 163, 208, 282, 310 (2), 390 dan
534 delik ini termasuk delik penyebaran (verspreidings delict).
Pada dasarnya makna delik ini sama saja dengan delik tersebut hanya pada Pasal
160 caranya berbeda.
Apa yang dimaksud dengan menyebarkan secara terbuka mempertunjukkan atau
menempelkan supaya tenar dan supaya ketenarannya berganda.
Penyebaran suatu tulisan/lukisan berarti bahwa ada beberapa tulisan atau lukisan.
Dengan perkataan lain tidaklah mungkin menyebarkan hanya satu tulisan saja.
Berpindah-pindahnya hanya satu tulisan dari satu tangan ke tangan lainnya tidak
termasuk cakupan pengertian penyebaran. Penyebaran dapat terjadi dimuka umum
atau tidak dimuka umum. Penyebaran dapat juga terjadi melalui kantor pos atau
kantor yang berfungsi serupa dalam hal ini dapat timbul persoalan apakah Kepala
Kantor Pos tersebut telah turut serta atau membantu penindak ?.
Unsur kesalahan si Petindak tersirat pada tindakannya yang berupa menyebarkan
tulisan-penghasutan, mempertunjukkan suatu tulisan-penghasutan dimuka umum
dan lain sebagainya, yang setidak-tidaknya mengetahui isi tulisan penghasutan. Jadi
tidak harus dia sendiri yang membuat tulisan-penghasutan itu, tetapi ia mengetahui
isinya.

Pasal 162 KUHP


“Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan atau
memberikan keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Unsur kesalahannya adalah dengan sengaja tersirat pada tindakan
“menawarkan” sedangkan unsur tindakannya adalah menawarkan untuk
memberikan kesempatan atau sarana melakukan suatu tindak pidana.
Sepintas lalu kejahatan ini banyak kesamaan dengan Pasal 56 yang
berbunyi mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan. Namun Pasal 56 bukanlah suatu delik, melainkan suatu
ketentuan umum mengenai pembantuan. Perbedaan lainnya ialah pada orang yang
akan dibantu itu, sedangkan pada Pasal 162 ini seirama dengan Pasal 160, inisiatif
berada pada yang menawarkan itu berupa semacam “penghasutan”.
Perbedaan selanjutnya ialah bahwa pada Pasal 56 ditentukan untuk
melakukan suatu kejahatan, sedangkan pada Pasal 162 dirumuskan untuk
melakukan suatu tindak pidana.
Dalam kejadian sehari-hari delik tersebut Pasal 162 sering berlatar belakang
mencari keuntungan misalnya menawarkan suatu zat cair yang bisa menghapus
tulisan tinta dalam rangka penggantian (pemalsuan) nilai dalam rapor sekolah atau
menawarkan suatu keterangan bagaimana caranya mendapatkan sesuatu dari
penguasa atau menghindarkan suatu pembayaran – wajib ke kas Negara melalui
pintu belakang atau pun memberikan suatu kesempatan untuk menanami sebidang
tanah yang akan diambil-alih oleh penguasa dengan sejumlah ganti rugi.
Sekiranya tindak pidana yang dihasutkan (Pasal 160 dan 161) atau yang
ditawarkan (Pasal 162, 163) dilakukan oleh orang (2) yang dihasut/ditawari tersebut,
maka mereka ini dipertangungjawabkan pidana sesuai dengan tindak pidana yang
mereka lakukan, sedangkan kepada si penghasut/si penawari itu diterapkan Pasal
160/161 atau 162/163 dan disini juga letak perbedaan utama antara penggerakan
(uitlokking) dengan penghasutan (opruiing) atau penawaran (aanbieder).
Penggerakan dipertanggungjawabkan sepenuhnya atas tindak pidana yang
digerakkannya itu 3).

Pasal 163 KUHP


(1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka
umum tulisan yang berisi penawaran untuk memberikan keterangan,
kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud
supaya penawaran itu
diketahui oleh umum diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak
pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang
bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut.

Pasal ini termasuk delik penyebaran yang pada dasarnya sama maknanya dengan
delik tersebut dalam Pasal 162 hanya caranya yang berbeda (Lihat uraian dalam
Pasal 162 dan 161).

Pasal 163 bis KUHP


(1) Barangsiapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam Pasal 55
ke 2 berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan atau
percobaan, untuk dapat dipidana tidak terjadi diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah tetapi
dengan pengertian bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhi pidana yang lebih berat
dari pada yang dapat dijatuhkan karena percobaan kejahatan atau apabila
percobaan itu tidak dapat dipidana karena kejahatan itu sendiri.
(2) Anjuran tersebut tidak berlaku jika tidak mengakibatkan kejahatan atau
percobaan kejahatan disebabkan karena kehendak sendiri.

Pasal ini muncul pada Tahun 1925 untuk mengatasi perbedaan pendapat
tentang pertanggunganjawab pidana bagi seorang penggerak seperti yang diatur
dalam Pasal 55 terutama dalam hal yang digerakkan itu tidak melakukan kejahatan
yang dikehendaki si penggerak. Disatu pihak para sarjana berpendapat bahwa
pertangungjawaban si penggerak terkait pada apakah si tergerak melakukan
kejahatan itu atau tidak (onzelfstandige vorm van deelneming) sedangkan di pihak
lain berpendapat bahwa pertanggungjawaban si penggerak adalah mandiri tidak
terkait pada apakah si tergerak melakukan kejahatan itu atau tidak (zelfstandige
vorm van deelneming). Kedua belah pihak masing masing mempunyai alasan dan
bahkan dasar yang kuat, sehingga untuk pemecahannya disisipkan Pasal 163 bis
dimana unsur kesalahannya berupa kesengajaan yang tersirat pada tindakan
mencoba menggerakkan dengan sarana tertentu. Unsur tindakan terlarang
mencoba menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu kejahatan tetapi
kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana untuk melakukan kejahatan itu
(ternyata kemudian) tidak terjadi. Untuk mencoba menggerakkan tersebut digunakan
salah satu sarana tersebut Pasal 55 ayat (1) ke 2
Apabila dibandingkan perumusan terlarang pada :
 Pasal 160 : menghasut untuk melakukan suatu tindak pidana
 Pasal 162: menawarkan suatu keterangan dan sebagainya untuk melakukan
suatu tindak pidana
 Pasal 163 bis: mencoba menggerakkan (berusaha menggerakkan) untuk
melakukan suatu kejahatan.
Maka persamaannya yang jelas ialah:
 Sama-sama berupa “himbauan” dengan gradasi dan cara yang berbeda
 Sama-sama sudah sempurna tindak pidana atau kejahatan, asal saja tindakan itu
sudah dilakukan, kendati tindak pidana atau kejahatan tersebut tidak terjadi.
Dalam rangka penerapan Pasal 163 bis ini kemungkinan yang menjadi
kelanjutan atau akibatnya yaitu:
- Kejahatan yang dikehendaki itu tidak terjadi (karena tergantung pada kemauan si
tergerak);
- Percobaan yang dapat dipidana untuk melakukan kejahatan itu tidak terjadi atau;
- Percobaan yang tidak dapat dipidana untuk melakukan kejahatan itu tidak terjadi.
Pada ayat (2) ditentukan jika terjadinya kejahatan (atau percobaannya)
adalah atas kehendak si penggerak tersebut maka ketentuan Pasal 163 bis (1) tidak
berlaku bagi si petindak. Hal ini merupakan suatu ketentuan khusus dibandingkan
dengan ketentuan Pasal 53.

Pasal 164 KUHP


“Barangsiapa mengetahui ada sesuatu pemufakatan untuk melakukan kejahatan
berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108, 113, 115, 124, 187 atau 187 bis
sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu dan dengan sengaja tidak
segera memberitahukan tentang hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian
atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi
dilakukan dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

Mengenai wajib lapor sebagai norma tanpa sanksi diatur dalam Pasal 108
KUHAP. Pada ayat pertama antara lain ditentukan “setiap orang yang menyaksikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) berhak
melaporkannya kepada penyelidik/penyidik. Pada ayat kedua antara lain ditentukan
“Setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak
milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik/penyidik”.
Selanjutnya dalam ayat ketiga ditentukan setiap Pegawai Negeri dalam rangka
melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang
merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik.
Terlepas dari tiadanya sanksi pidana terhadap ketentuan tersebut terasa
ada yang kurang pas yaitu :
a. Pada ayat (1) ditentukan hak setiap orang yang menyaksikan suatu tindak
pidana untuk melaporkannya. Ini berarti bukan kewajiban.
b. Pada ayat (2) ditentukan kewajiban setiap orang yang mengetahui adanya
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran)
tertentu untuk melaporkannya.
c. Pada ayat (3) ditentukan kewajiban Pegawai Negeri mengenai pelaporan ini
ternyata lebih sedikit cakupannya (hanya tindak pidana dalam rangka
pelaksanaan tugasnya)
Apabila ketentuan Pasal 108 KUHAP ini dihubungkan dengan Pasal 164,
165 KUHP jelas terlihat ketidakserasiannya. Pada Pasal 164 dan 165 KUHP tidak
dibedakan subjek maupun objeknya. Apabila pelakunya Seorang Pegawai Negeri
jika memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 52 maka dapat dijuntokan pada
Pasal 52 KUHP.
Untuk kesengajaan petindak mencakup tindakan penglalaian
pemberitahuannya, kecukupan materi yang dilaporkannya, alamat pelapor dan
waktu yang tepat, berarti ia menyadari bahwa ia telah melalaikan, menyadari tidak
cukup materi yang diberikan dan sebagainya.
Unsur tindakan penglalaian adalah tindakan pasif yang terlarang, namun
perlu diperhatikan juga apa penyebabnya. Apabila penyebabnya karena takut
tindakan pembalasan dari pemufakatan dimana perlindungan keamanannya tidak
terjamin, hal ini setidak-tidaknya merupakan pengurangan penjatuhan pidana jika
tidak dapat dikualifikasikan sebagai peniadaan pidana. Materi yang dilaporkan harus
cukup, artinya tidak boleh didiamkan sebahagian yang dapat membuat penilaan
berbeda dari yang seharusnya. Alamat pelaporan juga harus sesuai dengan yang
ditentukan di pasal ini.

Pasal 165 KUHP


(1) Barangsiapa mengetahui ada niat melakukan kejahatan berdasarkan Pasal-
pasal 104, 106, 107 dan 108, 110-113 dan 115-129 seta 131 atau niat untuk lari
dari tentara dalam masa perang, untuk membunuh dengan rencana, untuk
menculik atau memperkosa atau mengetahui adanya niat untuk melakukan
kejahatan tersebut dalam bab VII dalam kitab undang-undang ini, sepanjang
kejahatan itu membahayakan nyawa orang atau untuk melakukan salah satu
kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 224-228, 250 atau salah satu kejahatan
berdasarkan Pasal-pasal 264 dan 275 sepanjang mengenai surat kredit yang
diperuntukkan bagi peredaran, sedang masih ada waktu untuk mencegah
kejahatan itu dan dengan segaja tidak memberitahukan hal itu kepada pejabat
kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu
dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Pidana tersebut diterapkan terhadap orang yang mengetahui bahwa sesuatu
kejahatan berdasarkan ayat 1 telah dilakukan dan telah membahayakan nyawa
orang pada saat akibat masih dapat dicegah, dengan sengaja tidak
memberitahukannya kepada pihak-pihak tersebut dalam ayat 1.

Baik mengenai subjek cakupan unsur kesengajaan bersifat melawan hukum dan
tindakan yang ditentukan Pasal 165 sama dengan Pasal 164 karenanya
pembahasan tersebut Pasal 164 dapat juga diterapkan Pasal 165 ini.
Perbedaan yang paling utama ialah :
a. Pada Pasal 164 dirumuskan sebagi yang diketahui/disaksikannya adalah
pemufakatan jahat, sedangkan pada Pasal 165 yang diketahui/disaksikannya
adalah suatu niat. Dalam hal ini adalah niat untuk melakukan salah satu
kejahatan.
- Pada Pasal 164 hanya terhadap 9 (Sembilan) pasal saja ditentukan
pemufakatan jahat tersebut, sedangkan pada Pasal 165 niat itu ditentukan
untuk melakukan salah satu kejahatan dari 55 pasal.
Yang dimaksud dengan niat adalah pengungkapan atau pencetusan kata-
kata yang lazimnya sudah merupakan bagian dari suatu keputusan hatinya
sebelumnya yang pada dasarnya bersifat mengancam untuk melakukan suatu
kejahatan.
Dilihat dari sudut ajaran mengenai percobaan dimana dibedakan antara perbuatan
persiapan dan perbuatan pelaksanaan, maka niat disini sudah ada sejak perbuatan
persiapan.

Pasal 166 KUHP


Ketentuan dalam Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang yang dengan
memberitahukan ini mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri
sendiri, bagi seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau
garis menyimpang derajat ke dua atau ketiga, bagi suami atau bekas suaminya atau
bagi orang lain yang juga dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencahariannya
dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut
Ketentuan tersebut Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi seseorang jika
menimbulkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, ini berarti bahwa pasal ini
menjunjung tinggi asas “non self incriminatior”. Dari perumusan ini dapat
disimpulkan bahwa seseorang itu adalah seorang pelaku peserta.Sebenarnya
penjunjungan asas tersebut sekedar merupakan penegasan karena berdasarkan
undang-undang juga dapat disimpulkan bahwa asas non self incriminatior berlaku
untuk setiap tindak pidana. Perhatikan bunyi Pasal 52 UU No 8 Tahun 1981
(KUHAP) yang menentukan : Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik atau hakim. Ketentuan ini diperkuat pula oleh Pasal 117 KUHAP.
Pasal 167 KUHP
(1) Barangsiapa memaksa masuk kedalam rumah, ruangan atau pekarangan
tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada disitu
dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atas suruhannya tidak
pergi dengan segera, diancam pidana dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan
anak kunci palsu atau pakaian jabatan palsu atau barangsiapa tidak setahu yang
berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan disitu
pada waktu malam, dianggap memaksa masuk.
(3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan
orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
(4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang
melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Ketentuan ini melindungi hak menempati rumah (huisrecht) yang diperolehnya dari
kenyataan menempati suatu rumah. Pertanyaan apakah penempatan ini
berdasarkan suatu hak tidaklah penting dan Pasal 167 sering dinamakan dengan
delik peresahan ketenangan rumah (huisvredebdreuk).5)
Menurut H.R. 16 Oktober 1916 ketentuan ini ditujukan terhadap perkosaan hak
seseorang terhadap beradanya disuatu tempat tanpa hak.Dengan “halaman” tidaklah
diartikan halaman dari suatu rumah.Suatu kuburan merupakan suatu “halaman”.
Menurut H.R. 7 Juni 1941 seorang laki-laki yang semenjak beberapa lama bertempat
tinggal dirumah lain, terhadap istrinya yang menempati rumah bersama dahulu, tidak
berhak selaku penyewa memasuki rumah itu secara paksa.
Unsur kesalahan adalah dolus yang tersirat pada tindakannya yang dilarang yaitu
memaksa masuk atau berada disitu dan tidak pergi dengan segera atas permintaan
dari/atas nama yang berhak. Dolus ini tidak mencakup dari tindakan itu, yang
karenanya ditempatkan/dirumuskan didepan tindakan yang mengandung unsur dolus
tersebut.
Penerapan delik ini harus dibuktikan sesuai dengan kenyataan, artinya
sipetindak harus mengetahui/menyadari apakah tindakannya itu bertentangan
dengan hak orang lain, bertentangan dengan hukum atau tidak. Misalnya apakah si
pemilik rumah yang menyewakan rumah kepada A, apabila ia memaksa masuk
kerumah itu atau tidak, tidak perlu harus diketahui si pemilik. Yang penting adalah
apakah menurut ketentuan yag berlaku ataupun menurut kenyataan lainnya tindakan
itu benar atau tidak. Demikian juga misalnya si S (suami dari J yang sudah
diceraikan S) memaksa masuk kerumah J kendati rumah tersebut berasal dari S
apakah perbuatan itu benar atau tidak, harus didasarkan kepada kenyataan atau
ketentuan hukum yang berlaku.Dan tidak disyaratkan diketahui/disadari oleh S.

Ada dua macam tindakan yang dilarang dirumuskan disini yaitu:


a. Memaksa masuk ke suatu rumah, ruangan tertutup atau pekarangan tertutup
yang dipakai orang lain.
b. Berada disuatu rumah, ruang tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai
orang lain yang atas permintaan dari atau atas nama yang berhak tidak pergi
dengan segera.
Memaksa masuk ialah memasuki (suatu rumah dan sebagainya)
bertentangan dengan kehendak dari orang lain si pemakai yang sekaligus
merupakan yang berhak. Kehendak itu dapat diutarakan/diucapkan dengan lisan
atau tulisan bahkan dengan isyarat atau tanda yang sudah lazim dapat dimengerti
bahkan juga secara diam-diam.
Pengertian masuk dengan suatu perintah palsu ialah si petindak
menggunakan suatu perintah tertulis yang palsu atau dipalsukan yang isinya seakan-
akan memberi hak atau kewenangan baginya menurut perundangan untuk
memasuki rumah tersebut. Yang dimaksud kostum palsu ialah pakaian seragam
yang biasa dipakai oleh suatu organisasi atau badan tertentu dalam delik ini dipakai
oleh yang tidak berwenang untuk itu misalnya pakaian seragam atau yang
menyerupai pakaian seragam militer, polisi, jaksa, jawatan lalu lintas-angkutan jalan
raya, pegawai cleaning service, pegawai teknis kelistrikan, pegawai air minum,
pegawai perusahaan gas dan lain sebagainya yang dipakai oleh orang yang tidak
berhak/berwenang untuk itu.
Yang dimaksud tanpa sepengetahuan yang berhak dan bukan karena
kekhilafan memasukinya dan kedapatan disitu pada waktu malam ialah seseorang
yang memasuki rumah tersebut melalui pintu yang terbuka atau tertutup tetapi tidak
terkunci. Ia memasuki rumah bukan karena kekhilafan misalnya dikira rumah sendiri
atau rumah orang tua/saudaranya sendiri.
Yang dimaksud dengan rumah(istilah umum) suatu tempat yang sengaja
diadakan atau dibuat untuk digunakan sebagai tempat tinggal dimana lazimnya
dilakukan istirahat-malam(tidur), makan/minum dan bahkan juga dimana harta
sebagian atau seluruhnya ditaruh.
Yang dimaksud ruangan tertutup ialah setiap bangunan atau ruangan yang tidak
terbuka setiap waktu untuk umum atau yang tidak sembarang waktu dapat dimasuki
oleh siapa saja.Jadi suatu rumah yang tidak berpenghuni yang pintu-pintunya
terkunci (misalnya baru dibangun, telah kosong sehabis disewakan/dikontrakan)
adalah ruang tertutup. Termasuk juga dalam golongan ruangan tertutup toko-toko,
perusahaan bengkel yang tidak dihuni. Untuk yang hanya menginap di hotel untuk 2
atau 3 malam saja maka bangunan ini dikatagorikan ruangan tertutup.
Yang dimaksud pekarangan tertutup ialah sebidang tanah yang jelas
terpisah dari bidang tanah lainnya (sekelilingnya) dan jelas ada tanda-tanda yang
dimaksudkan bahwa tidak setiap orang boleh memasuki pekarangan tersebu dan
biasanya dikelilingi dengan pagar atau selokan dan diberi larangan untuk
memasukinya.
Pada dasarnya yang berhak dari suatu rumah, ruangan tertutup atau
pekarangan tertutup adalah kepala keluarga (atau si penguasa) namun haknya
dipandang dengan sendirinya mengalir juga kepada anggota keluarganya yang turut
menghuni rumah tersebut bahkan juga kepada pembantunya, tetapi jika terjadi
perselisihan tentang hak tersebut maka yang lebih menentukan adalah sang kepala
keluarga.
Selanjutnya pada tindakan terlarang kedua ditentukan berada disitu (rumah,
ruangan tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain) atas permintaan
dari dan atas nama si yang berhak tidak pergi dengan segera. Ada dua kemungkinan
seseorang berada disitu yaitu setelah memasukinya baik dengan memaksa maupun
dengan tidak memaksa tapi tanpa kulonuwun atau masuk atas ijin si yang berhak
namun tidak segera pergi atas permintaan si yang berhak.
Yang dimaksud dengan atas permintaan dari si yang berhak atau atas namanya
ialah suatu perintah, suruhan, imbauan, saran ataupun gerakan maupun dengan
tulisan (jika si yang berhak tidak bisa bicara) yang dapat dimengerti si petindak dan
pada pokoknya menghendaki si petindak segera pergi.

Pasal 168 KUHP


(1) Barangsiapa memaksa masuk kedalam rumah, ruangan untuk dinas umum
atau berada disitu dengan melawan hukum atas permintaan pejabat berwenang
tidak pergi dengan segera, diancam pidana dengan pidana penjara paling lama
empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan
anak kunci palsu atau pakaian jabatan palsu atau barangsiapa tidak setahu
pejabat yang berwenang lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan
kedapatan disitu pada waktu malam, dianggap memaksa masuk.
(3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat
menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan.
(4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang
melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Tempat dimana para Anggota DPRD bersidang yakni melakukan tugasnya menurut
hukum publik adalah terbuka untuk umum.Jika karena penundaan sidang umum
DPRD telah selesai maka umum tidak berhak lagi untuk tetap berada dalam ruangan
itu dan atas permintaan pejabat yang berwenang, dalam hal ini walikota wajib
meninggalkan ruangan tersebut.
Yang dimaksud ruangan untuk dinas umum ialah setiap ruangan yang
digunakan pemerintah untuk melayani rakyat umum atau badan-badan umum seperti
kantor kas negara, kantor pos telegram dan telepon, kantor tempat
pelaporan/pengaduan, kantor pengadilan, kantor untuk rapat, dsb. Dalam hal ini
harus diperhatikan peraturan pada kantor-kantor tersebut yang mungkin berbeda
satu sama lain. Jika untuk memasuki kantor tersebut harus antri dan tegas diawasi
pelaksanaannya maka penyelonong dapat dipandang sebagai memaksa masuk dan
apabila diluar pengetahuan si petugas si petindak sudah ada didalam dengan cara
menyelonong kemudian dimintakan supaya pergi dan ia tidak mau maka ia telah
melakukan delik ini.
Yang dimaksud pegawai negeri adalah Kepala kantor yang bersangkutan namun
kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pegawai negeri bawahannya kendati
kewenangan tertinggi ada padanya.
Jika di ruang pengadilan dimana sedang berlangsung persidangan seorang
membuat gaduh lalu diminta segera pergi tetapi ia tidak segera pergi maka dapat
terjadi pembarengan antara Pasal 168 dan 217 namun dalam penerapannya harus
dikaji kepentingan mana yang lebih dirugikan yaitu apakah perlindungan terhadap
ketertiban umum atau kepentingan pelaksana tugas penguasa umum yang
karenanya cakupan jika salah satu pasal saja yang diterapkan.

Pasal 169 KUHP


(1) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut
serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan pelanggaran
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Terhadap pendiri atau pengurus pidana dapat ditambah sepertiga.

Subyek disini disebutkan para perserta (sebagai uraian dari penyertaan)


tidak dipersoalkan apakah ia sebagai yang bersama-sama melakukan, menyuruh
melakukan, turut serta, melakukan pergerakan atau tergerak atau bahkan membantu
dan juga apakah para peserta itu aktif (melakukan kegiatan-kegiatan langsung)
maupun pasif (penyumbang tetap-donatur), kesemuannya adalah peserta.
Unsur kesalahannya disini tidak ditentukan. Apabila dikaji hakekat dari
kejahatan ini didasarkan asas non facit reum nisi mens sit rea (geen straf zonder
schuld) maka unsur kesalahannya minimal adalah culpa 6).
Tindakan yang dilarang disini adalah :
a. Penyertaan pada suatu perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan-
kejahatan (ayat 1);
b. Penyertaan pada suatu perkumpulan lainnya yang dilarang oleh perundangan
umum (ayat 1);
c. Penyertaan pada suatu perkumpulan yang bertujuan untuk melakukan
pelanggaran-pelanggaran (ayat 2).
Penyertaan adalah suatu penggabungan diri sebagai yang bersama-sama
melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menggerakkan, digerakkan
atau membantu melakukan baik secara aktif maupun pasif. Penggabungan diri
adalah suatu perkumpulan yang tidak hanya bersifat insindental, perkumpulan ini
dirancang bukan insidental dan tidak harus punya AD/ART namun jelas ada
pimpinan dan tujuannya
Perkumpulan yang pertama ialah perkumpulan yang bertujuan untuk melakukan
kejahatan-kejahatan dan kedua perkumpulan terlarang berdasarkan perundangan
umum. Untuk perkumpulan yang pertama misalnya perkumpulan curanmor,
perkumpulan tukang copet, perkumpulan tukang tadah, dll
Sedangkan perkumpulan yang kedua ialah :
a. Berdasarkan peraturan perkumpulan rapat (vereening en
vergaderingsverordening) Stb 1919/27 dan terakhir dirubah dengan Stb 1940/3
yang pada Pasal 3 ditentukan perkumpulan terlarang adalah :
1. Yang wujudnya atau tujuannya dirahasiakan
2. Yang oleh pemerintah diumumkan bertentangan dengan
ketentraman/ketertiban umum, sedangkan suatu perkumpulan dipandang
bertentangan dengan ketertiban umum apabila ia mempunyai kegiatan atau
tujuan untuk:
- Tidak menaati/melanggar ketentuan perundangan;
- Melanggar kesusilaan;
- Melanggar pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang.
b. Berdasarkan Stb 1909/250 terakhir dirubah dengan Stb 1917 No 469 sub 6, 171
e tentang pencegahan perkumpulan rahasia orang-orang Cina.
c. Berdasarkan perundangan dibidang ketatanegaraan seperti misalnya :
 Undang-undang No.2 Pnps Tahun 1962 yang melarang suatu organisasi yang
tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia.
 Perundangan yang membubarkan partai dan/atau organisasi massa tertentu
seperti Keppres No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 tentang Pembubaran
Partai Komunis Indonesia termasuk ormas-ormasnya Junto TAP MPRS
No.XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966.

Pasal 172 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja mengganggu ketenangan dengan mengeluarkan
teriakan-teriakan atau tanda-tanda bahaya palsu, diancam pidana dengan pidana
penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.”
Dengan penempatan unsur sengaja didepan berarti seluruh perumusan delik
ini dipengaruhinya.Unsur tindakan mengganggu ketenangan dengan mengeluarkan
teriakan-teriakan atau tanda pemberitahuan bahaya.Yang dimaksud dengan
ketenangan disini bukan hanya keamanan lahiriah, tetapi juga batiniah.Teriakan
tanda bahaya yang palsu misalnya meneriakkan “kebakaran!” padahal tidak benar
terjadi.Tanda pemberitahuan bahaya yang palsu misalnya dengan kentongan,
lambaian sehelai kain/kertas berwarna tertentu yang sudah dikenal sebagai tanda
bahaya, padahal diketahui bahwa bahaya itu tidak ada.Jadi kepalsuannya disini
bukan alat yang digunakan tetapi makna dari penggunaan alat/sarana tersebut.

Pasal 173 KUHP


“Barangsiapa dengan kekerasan dan ancaman kekerasan merintangi rapat umum
yang diizinkan, diancam pidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun”.

Pasal 173 dan Pasal 174 dapat merupakan menampung bagi suatu tindakan yang
kepadanya tidak dapat diterapkan ketentuan Pasal 146, 147 dan pasal-pasal yang
sepadan di Undang-undang Pemilu.
Sesuai dengan makna dari Pasal 28 UUD 45 yang sekarang sudah diamandemen
dalam hubungannya dengan pokok pikiran bahwa negara kita adalah berkedaulatan
rakyat, maka pada dasarnya untuk mengadakan suatu rapat tidak diperlukan adanya
suatu ijin terlebih dahulu naun untuk pengadaan rapat tertentu atau pengadaan rapat
dalam keadaan darurat dipandang perlu diadakan pembatasan yang karenanya
memerlukan ijin. Pembatasan tersebut diatur dalam :
a. Peraturan perkumpulan dan rapat Stb 1919/27 Pasal 5 dst.
b. Undang-undang Keadaan Bahaya, Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 pasal
18.
Pada Stb 1919/27 tsb antara lain ditentukan:
a. Rapat-rapat umum yang terbuka untuk permusyawaratan bersama adalah
terlarang, kecuali mendapat ijin dari kepala daerah (bupati) setempat.
b. Rapat-rapat umum yang tidak terbuka dan mempunyai sifat kenegaraan tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu (sekurang-kurangnya 24 jam sebelumnya)
kepada kepala daerah adalah terlarang.
c. Rapat para anggota pemakai senjata api yang dihadiri lebih dari sepuluh
orang saksi tanpa ijin terlebih dahulu dari kepala daerah adalah terlarang.
Undang-undang No. 23 Prp 1959 menentukan :
Penguasa Darurat Sipil (juga Penguasa Darurat Militer dan penguasa perang)
berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum,
pertemuan umum, arak-arakan harus dimintakan ijin terlebih dahulu. Ijin ini oleh
penguasa diberikan penuh dan bersyarat. Sedangkan yang dimaksud dengan rapat-
rapat umum atau pertemuan-pertemuan umum adalah rapat atau pertemuan (umum)
yang dapat dikunjungi rakyat umum. Kemudian ditentukan pula bahwa ketentuan
(yang diadakan) tersebut tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara
keagamaan dan adat serta rapat-rapat pemerintah.
Yang dimaksud merintangi ialah suatu tindakan yang membuat agar
seseorang itu mengundurkan niatnya untuk menghadiri rapat tersebut atau
menghambat/menghalang- halangi seseorang yang sedang pergi menuju tempat
rapat tersebut.
Rapat-rapat yang tidak dibenarkan atau dilarang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Rapat dari suatu organisasi terlarang
b. Rapat yang memerlukan ijin terlebih dahulu tetapi belum mendapatkan ijin.
c. Rapat yang terlebih dahulu harus dilaporkan tetapi belum dilaporkan.
d. Rapat yang diadakan sedemikian rupa sehingga menggangu ketertiban umum.
e. Rapat untuk melakukan tindak pidana.

Pasal 174 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja mengganggu rapat umum yang diizinkan dengan
jalan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam pidana dengan pidana
penjara paling lama tiga minggu atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Dapat disimpulkan delik ini merupakan kelanjutan dari Pasal 173 dimana
dilarang merintangi suatu rapat umum yang diijinkan, pada Pasal 174 rapat tersebut
sedang berjalan lalu diganggu.

Pasal 175 KUHP


“Barangsiapa dengan kekerasan dan ancaman kekerasan merintangi pertemuan
keagamaan yang bersifat umum dan diijinkan atau upacara keagamaan yang
diijinkan atau upacara penguburan jenazah, diancam pidana dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan”

Delik ini ialah delik sengaja yang tersirat pada tindakan merintangi dengan
kekerasan/ancaman kekerasan.Tindakan merintangi disini adalah melawan hukum
jika pertemuan keagamaan atau upacara keagamaan itu diijinkan.Sedangkan
merintangi pemakaman jenazah adalah juga melawan hukum jika pemakaman itu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau kebiasaan.
Pengertian merintangiadalah membuat tidak mungkin (untuk sementara)
memasuki suatu tempat sedangkan yang dimaksud dengan menghalangi ialah
mempersulit untuk memasukinya. Untuk penerapan pasal ini harus semua para
peziarah atau para pengusung dan pengantar terintangi atau dihalangi. Hanya
beberapa orang saja yang dirintangi/dihalangi sudah membuat sempurna delik ini.
Yang dimaksud dengan pertemuan keagamaan yang bersifat umum bukan
saja yang dilakukan didalam gedung atau ruangan tetapi juga di lapangan terbuka.
Penggunaan predikat yang diijinkan disini tidak berarti harus selalu ada surat ijin
tertulis, tergantung kepada peraturan yang sudah ada misalnya tidak perlu pada
setiap sembahyang Jumat di masjid, setiap pertemuan keagamaan di gereja
ataupun di rumah-rumah penganut agama itu harus selalu ada surat ijin. Pertemuan
itu dipandang sudah diijinkan kecuali ada larangan tersendiri atau secara khusus.
Pengertian Pemakaman jenazah disini harus turut diartikan “Kremasi
jenazah” (pembakaran jenazah) seperti yang terjadi di Bali. Dalam pengertian ini
juga harus termasuk pemakaman kembali jenazah (yang digali kemudian
dimakamkan lagi) seperti yang terjadi di tanah Batak.

Pasal 176 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja mengganggu pertemuan keagamaan yang bersifat
umum dan diijinkan atau upacara keagamaan yang diijinkan atau upacara
penguburan jenazah dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam
pidana dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana
denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.”

Berbeda dengan Pasal 175 dimana unsur sengaja itu tersirat pada
tindakannya yang dikuatkan oleh caranya melakukan tindakan tersebut, maka untuk
Pasal 167 ini unsur secara sengaja dicantumkan secara tegas. Hal ini memberikan
kesempatan bagi seorang atau petugas memperingatkan seseorang yang
menimbulkan kekacauan atau menimbulkan suara gaduh untuk menghentikan
perbuatannya tersebut jika disitu ada pertemuan keagamaan dan seterusnya.Jika si
petindak tidak mengetahui/menyadari bahwa disitu ada pertemuan keagamaan dan
dia menimbulkan suara gaduh, maka pasal ini belum dapat diterapkan. Tetapi
setelah kepadanya diberitahukan hal itu namun ia masih tetap melakukan
perbuatannya berarti ia telah mengetahui adanya pertemuan keagamaan tersebut,
maka sejak saat itu telah sempurna terjadi delik ini.
Tindakan yang dilarang adalah mengganggu, yang dimaksud mengganggu adalah
perbuatan si petindak itu terutama mengakibatkan para peserta pertemuan/upacara
tersebut tidak dapat memusatkan atau tidak bisa dengan tenang/baik mengikuti
jalannya pertemuan/upacara tersebut.

Pasal 177 KUHP


Diancam pidana dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah :
1. Barangsiapa menertawakan seorang petugas agama dalam menjalankan tugas
yang diijinkan.
2. Barangsiapa menghina benda-benda untuk keperluan ibadat ditempat atau pada
waktu ibadat dilakukan.

Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada tindakannya itu sendiri
namun mengenai apakah si petindak harus mengetahui bahwa petugas agama itu
diijinkan atau tidak dalam menjalankan tugas tersebut, para sarjana yang beraliran
legalistik berpendapat harus diketahuinya, sedangkan para sarjana yang lebih luwes
berpendapat, tidak dipersyaratkan diketahui lebih dahulu.
Pada butir ke 1 yang dimaksud dengan mengejek (bespotten),
merendahklan atau menertawakan ialah suatu tingkah laku, gerakan, dialek, cara
bicara, dsb dari si objek dan tidak menyangkut kepribadian atau kesusilaannya.
Sedangkan yang dimaksud menghina (Vide Pasal 310, 315) adalah merendahkan,
menertawakan karakter (watak), kesusilaan, perasaan dari si objek.
Yang dimaksud dengan petugas agama adalah mereka yang ditugaskan
untuk melakukan tugas keagamaan seperti Imam, Khadi, pendakwah, pastor,
pendeta, rohaniawan Islam/Katolik/Kristen/Hindu/Budha dan lain sebagainya yang
antara lain meliputi berkhotbah, memimpin sembahyang, dsb.
Dalam penerapan pasal ini pengejekan dilakukan kepada petugas agama tersebut
ketika ia menjalankan tugas keagamaan. Apakah petugas keagamaan itu
mengetahui atau tidak bahwa ia diejek tidak dipersyaratkan. Pada butir 2 yang
dimaksud mencemoohkan mencakup semua tindakan merendahkan benda-benda
untuk keperluan ibadat .Dalam hal ini dilakukan ditempat ibadat atau pada waktu
ibadat dilakukan.

Pasal 178 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja merintangi atau menghalang-halangi jalan masuk atau
pengangkut mayat ke kuburan yang diijinkan, diancam pidana dengan pidana
penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu
delapan ratus rupiah.”

Unsur kesalahan berbentuk dengan sengaja yang ditempatkan diawal perumusan


yang berarti mempengaruhi unsur-unsur berikutnya. Mengenai unsur yang bersifat
melawan hukum dari tindakan ini harus dikaitkan dengan status tempat pemakaman
tersebut misalnya apakah ia Taman Makam Pahlawan atau Pemakaman Umum
yang diatur oleh penguasa setempat atau yang diurusi oleh sekelompok masyarakat,
ataukah tempat pemakaman keluarga. Pengusungan jenazah ke tempat pemakaman
tersebut jika sesuai dengan peraturan yang berlaku adalah tidak bersifat melawan
hukum.
Unsur tindakannya ialah :
a. Merintangi atau menghalangi jalan masuk (yang diijinkan) ke suatu tempat
pemakaman
b. Merintangi atau menghalangi pengusungan jenazah (yang diijinkan) ke suatu
tempat pemakaman.
Yang dimaksud dengan merintangi disini ialah membuat tidak mungkin (untuk
sementara) memasuki suatu tempat, sedangkan yang dimaksud menghalangi ialah
mempersulit untuk memasukinya. Untuk penerapan pasal ini tidak harus semua
peziarah atau para pengusung dan pengantar terintangi atau terhalangi. Hanya
beberapa orang saja yang dirintangi/dihalangi sudah sempurna delik ini.
Tempat pemakaman adalah suatu tempat yang sudah disediakan untuk tempat
peristirahatan terakhir dari seseorang yang menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Tempat tersebut disediakan sebagai perwujudan dari penghormatan dari
manusia, terutama keluarga, kerabat dan tetangga kepada sesama manusia yang
telah mendapat panggilan dari Tuhannya dan juga sakaligus merupakan pernyataan
belasungkawa kepada keluarga yang ditingalkan.
Yang dimaksud dengan jenazah pada dasarnya adalah tubuh manusia yang tidak
bernyawa lagi, termasuk jika hanya sebagian tubuh itu saja yang ditemukan
(misalnya dalam hal kematian karena kecelakaan ledakan). Namun dalam rangka
penerapan pasal ini juga harus dipandang sebagi termasuk jenazah, jika pun hanya
tulang belulang saja yang ada misalnya dalam pemindahan kerangka jenazah para
pahlawan dari suatu pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan atau
pemindahan kerangka jenazah dari leluhur kesuatu tempat yang dipandang lebih
luhur sesuai dengan adat istiadat suatu suku bangsa di Indonesia.

Pasal 179 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja menodai kuburan atau dengan sengaja dan melawan
hukum menghancurkan tanda peringatan ditempat kuburan, diancam pidana dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Unsur dengan sengaja disini dicantumkan dua kali. Unsur sengaja pertama
hanya mencakup tindakan menodai. Artinya si petindak menyadari bahwa ia
melakukan tindakan menodai. Unsur sengaja kedua yang diikuti unsur “dan melawan
hukum” mencakup tindakan menghancurkan atau merusak. Dalam literatur asing
dikatakan bahwa unsur sengaja kedua ini tidak mencakupi rumusan (bagian unsur)
suatu tanda peringatan ditempat pemakaman. Berarti pembuktiannya cukup jika
sudah sesuai dengan kenyataan. Apakah si petindak mengetahui bahwa yang
dirusak itu adalah suatu tanda peringatan atau tidak dan apakah mengetahui atau
tidak bahwa si petindak melakukan pengrusakan itu disuatu tempat pemakaman
tidak dipersyaratkan/dipersoalkan dan tidak perlu dibuktikan.
Perumusan dengan sengaja dan melawan hukum berarti bahwa sifat
melawan hukum dari tindakan itu segera mengikuti pengetahuan si petindak tentang
perbuatannya itu. Dengan kata lain sifat melawan hukum dari tindakannya itu tidak
dicakup/dipengaruhi unsur kesengajaan tersebut. 4 Dengan menganut penerapan
sifat melawan hukum materil, sebenarnya jika unsur melawan hukum itu
dicantumkan, supaya dicantumkan didepan unsur tindakan, atau jika tidak
dicantumkan, tetap juga harus dibuktikan jika diminta. Jika misalnya keluarga
almarhum itu yang merusak tanda peringatan itu lalu diganti dengan yang baru, dan
pada saat itu yang merusak, bukanlah suatu tindakan yang melawan hukum.
Yang dimaksud dengan liang lahat ialah liang untuk tempat jenazah tersebut
disemayamkan beserta segala isinya (kain kafan, peti mati, dsb) termasuk alat
menutupnya (setelah ditimbun) misalnya semen/beton, penutup diatas timbunan
liang lahat, rumah-rumahannya, termasuk pagar, dsb.Yang dimaksud
menodai(schenden) adalah suatu tindakan yang merusak keutuhan dari lianglahat
atau makam tersebut. Sekaligus juga dalam pengertian penodaan ini mengandung
unsur penghinaan/menganggap remeh atau tidak bernilai makam tersebut yang tidak
dapat diterima oleh masyarakat yang menghormatinya.
Yang dimaksud dengan tanda peringatan (gedenkteeken) adalah sesuatu benda
yang ditaruh diatas makam tersebut sebagai peringatan untuk mengenang yang
sudah meninggal atau untuk penghormatan kepada almarhum. Pohon Kamboja atau
pohon beringin yang ditanam diatas makam sepanjang tidak dimaksud sebagai
penghias, sesuai dengan kesadaran masyarakat setempat dapat juga dipandang
sebagai tanda peringatan.

Pasal 180 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil
jenazah, atau memindahkan atau mengangkut jenazah yang sudah digali atau
diambil, diancam pidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pengertian menggali disini, tidak harus yang berada dibawah tanah, tetapi juga yang
bersemanyam dilereng gunung (seperti di tanah toraja) dan termasuk juga dalam
pengertian mengambil disini, selain dari mengambil/membawa pergi suatu jenazah
dari hasil penggalian tersebut, juga jenazah yang berasal dari perumahan/rumah
jenazah seperti yang terdapat di daerah tanah batak, pesemayaman jenazah
sebelum diadakan pembakaran seperti yang terdapat di Bali atau kamar-jenazah
dirumah-rumah sakit dan lain sebagainya.

Pasal 181 KUHP


“Barangsiapa mengubur, menyembunyikan, membawa lari atau menghilangkan
mayat dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahirannya, diancam
pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Unsur kesalahannya berbentuk kesengajaan yang dicantumkan sebagai


menguburkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahirannya,
menyembunyikan mayat dengan maksud dan seterusnya. Kata-kata denga maksud
disini berfungsi sebagai kesengajaan dan sebagai tujuan. Dalam hal ini ia sebagai
tujuan berarti apakah menjadi kenyataan tersembunyikan kematian atau kelahiran itu
tidak dipersyaratkan.
Unsur tindakannya ialah :
- Mengubur, menyembunyikan, membawa, menghilangkan
- mayat
- dengan maksud untuk menyembunyikan kematian atau kelahirannya.
Yang dimaksud dengan mengubur ialah menaruh mayat disuatu lubang tanah lalu
ditutupi. Lubang tanah dapat kebawah, kesamping pada lereng gunung dan
sebagainya.Cara menutupinya dan kedalamannya tidak harus seperti yang diatur
dalam suatu peraturan misalnya penguburan dikuburan umum yang disediakan
pemerintah.Yang dimaksud menyembunyikan adalah membuat tidak diketahui orang
dimana mayat itu berada.Sedang bagaimana caranya tidak dipersoalkan.
Yang dimaksud membawa lari disini tidak harus terjadi pemindahan yang
jauh.Pokoknya dibawa kemana saja untuk pelaksanaan tujuannya itu.
Yang dimaksud dengan menghilangkan disini bukan saja supaya orang lain tidak
dapat mencarinya tetapi juga apabila mayat itu dicincang sedemikan rupa sehingga
tidak dapat berbentuk manusia lagi.
Yang dimaksud dengan mayat atau jenazah adalah tubuh manusia yang tidak
bernyawa lagi, termasuk juga yang pada waktu lahir sudah berbentuk manusia
sempurna tapi sudah tidak bernyawa atau dekat setelah ia lahir lalu mati.
Delik ini ditujukan untuk memelihara penghormatan manusia terhadap mayat
atau jenazah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat pada jaman peradaban
yang semakin meningkat dan dapat juga dikatakan agar asal usul dari mendiang
jelas. Delik ini dalam kenyataan sering terjadi apabila seorang anak dilahirkan sudah
meninggal tau mati terbilang menit atau jam setelah dilahirkan.
Dalam penerapan pasal ini perlu juga diperhatikan apabila ada seseorang
mati karena kekerasan. Tentunya dalam hal ini dapat terjadi pembarengan antara
pembunuhan dan menyembunyikan kematian dari si korban. Delik ini dapat juga
terjadi karena masalah warisan misalnya sengaja penguburan seseorang yang kaya
disembunyikan agar yang menguasai warisan masih leluasa mengurusi warisannya.
Tujuan menyembunyikan kematian atau kelahirannya tidak berarti harus memilih
salah satu kematian yang disembunyikan atau kelahiran disembunyikan. Karena bagi
seseorang anak yang terlahir mati maka dapat terjadi bahwa kematian dan
kelahirannya itu dimaksudkan untuk disembunyikan.

Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum


Bagi Orang atau Barang
Pasal 187 KUHP
”Barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, menyebabkan peledakan
atau menyebabkan banjir, dihukum :
1. Dengan hukuman penjara selama-lamanya duabelas tahun jika hal tersebut
dapat mendantangkan bahaya umum bagi barang;
2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya limabelas tahun apabila
mendatangkan bahaya bagi jiwa orang lain;
3. Dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan penjara duapuluh tahun,
jika hal tersebut mendatangkan bahaya bagi jiwa orang lain dan perbuatan
tersebut telah menyebabkan meninggalnya orang lain.

Kejahatan Terhadap Penguasa Umum


Pasal 207 KUHP
” Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di
Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Bagian inti delik :
 menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum dengan lisan
atau tulisan;
 menghina suatu penguasa umum atau badan umum yang ada di Indonesia.
Mahkamah Agung memutuskan pada tanggal 1 September 1964, bahwa hakim dan
jaksa termasuk dalam pengertian kekuasaan yang ada di Indonesia.
Perlu diingat bahwa delik ini buka delik aduan dan oleh karenanya tidak perlu
pengaduan penyidik dapat langsung bertindak dalam hal tertangkap tangan.

Sumpah Palsu atau Keterangan Palsu


Pasal 242 KUHP
(1) Barangsiapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya
memberi keterangan diatas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada
keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu diatas
sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(2) Jika keterangan palsu diatas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan
menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
(4) Pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-4 dapat dijatuhkan.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dalam hal peraturan
undang-undang diharuskan supaya memberi keterangan atas sumpah atau
mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut, dengan sengaja memberi
keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau surat, oleh dirinya sendiri atau
wakilnya yang khusus ditunjuk untuk itu.
- “Orang yang dalam hal peraturan undang-undang diharuskan memberi
keterangan atas sumpah” misalnya orang yang menjadi saksi dalam perkara
perdata atau perkara pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 147 dan 265
R.I.B. yang menentukan bahwa saksi dalam perkara perdata atau perkara pidana
harus disumpah dulu menurut agamanya.
- “Orang yang dalam hal peraturan undang-undang diharuskan memberi
keterangan yang mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut” misalnya
pembuat berita acara yang akan diteruskan ke Pengadilan.
- “Keterangan Palsu” adalah keterangan yang tidak benar atau bertentangan
dengan keterangan yang sesungguhnya.
- “Keterangan atas sumpah” berarti keterangan yang diberikan oleh orang
(pembuat berita acara) yang sudah disumpah, yakni sumpah jabatan. Apabila ia
belum melakukan sumpah jabatan, pada penutup berita acara yang dibuatnya,
harus dibubuhi dengan kalimat : “berani mengangkat sumpah di kemudian hari”.
- “Kesanggupan atau penguatan yang diperintahkan oleh undang-undang umum”
misalnya janji. Menurut L.N. 1920 No. 69 sumpah itu dilakukan menurut agama
dan keyakinan orang yang bersumpah. Suatu janji dapat disamakan dengan
sumpah.
PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS
Pasal 244 KUHP
”Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh
mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak palsu, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang atau memalsukan
mata uang atau mata uang kertas negara atau uang kertas bank, dengan maksud
untuk menjalankan atau menyuruh menjalankan mata uang atau mata uang kertas
negara atau uang kertas bank itu sebagai yang asli dan tidak dipalsukan.
- Meniru berarti membuat demikian rupa sehingga menyerupai yang asli.
- Mata uang negara ialah alat pembayaran sah dari negara yang dibuat dari logam.
- Uang kertas negara, ialah alat pembayaran sah dari negara yang dibuat dari
kertas.
- Uang kertas bank, ialah alat pembayaran sah yang dibuat oleh bank yang
ditunjuk oleh pemerintah, terbuat dari kertas.
Dalam pemalsuan alat pembayaran ini, tidak saja meliputi uang Indonesia,
tetapi termasuk juga uang negara asing. Seorang yang melukis uang kertas negara
demikian rapi sehingga sama dengan aslinya, tetapi tidak disertai suatu maksud
untuk menjalankannya sebagai uang kertas yang sah, tidak dapat dituntut dengan
pasal ini.
Termasuk “meniru uang” : mengurangi logam mata uang yang asli, kemudian
menambal dengan logam yang lain, mencetak uang kertas serupa dengan uang
resmi. Orang yang mengurangi logam mata uang, dikenakan pasal 246 KUHP.

Pasal 245 KUHP


“Barangsiapa denga sengaja megedarkan mata uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan
tidak palsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima
diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau
memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan
maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan
tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja
mengeluarkan, menerima, menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik
Indonesia mata uang dan uang kertas negara atau uang kertas bank yang palsu atau
dipalsukan, dengan maksud untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai
yang asli dan tidak dipalsukan.
Untuk dapat dituntut dengan pasal ini, orang yang mengeluarkan, menerima,
menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik Indonesia untuk diedarkan atau
menyuruh mengedarkan sebagai mata uang dan uang kertas negara atau uang
kertas bank yang asli dan tidak dipalsukan itu harus mengetahui akan kepalsuannya.
Orang yang mengedarkan uang palsu dengan tidak mengetahui akan kepalsuannya,
tidak dihukum.

Pasal 246 KUHP


“Barangsiapa mengurangi nilai mata uang dengan maksud untuk mengeluarkan atau
menyuruh mengedarkan uang yang dikurangi nilainya itu, diancam karena merusak
uang dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang mengurangi harga
mata uang, dengan maksud untuk mengeluarkan atau menyuruh mengeluarkan
mata uang yang sudah berkurang itu sebagai mata uang yang masih utuh.
- Yang dapat dikurangi harganya ialah mata uang yang terbuat dari logam, uang
kertas tidak dapat dikurangi. Dan yang biasa dikurangi ialah mata uang yang
terbuat dari emas atau perak.
- Cara mengurangi ialah dengan jalan mengikir mata uang tersebut, sehingga berat
timbangannya berkurang.
- Perbuatan ini dapat dihukum, apabila dilakukan dengan maksud akan
mengedarkan uang yang sudah dikurangi harganya itu sebagai mata uang yang
masih utuh.

Pasal 247 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang dikurangi nilai olehnya
sendiri atau yang merusaknya waktu diterima diketahui sebagai uang yang tidak
rusak, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang yang
demikian itu dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya
sebagai uang yang tidak rusak, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah : orang yang dengan sengaja
mengeluarkan, menerima, menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik
Indonesia mata uang yang telah dikurangi harganya, 5 dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai mata uang yang tidak rusak.
Mengedarkannya harus dengan unsur sengaja dan mengetahui bahwa mata uang itu
telah dikurangi harganya.

Pasal 249 KUHP


“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang tidak asli, dipalsu atau
dirusak atau uang kertas negara atau bank yang palsu atau dipalsu, diancam,
kecuali berdasarkan Pasal 245 dan 247, dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang menerima mata
uang palsu, dipalsukan atau yang dirusakkan, atau uang kertas negara atau uang
kertas bank yang palsu atau dipalsukan, dengan tidak mengetahui kepalsuan uang
tersebut, kemudian setelah ia mengetahui bahwa uang itu palsu mengedarkannya
kembali sebagai mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank yang tidak
palsu atau dipalsukan, karena ia tidak mau rugi.
Orang yang membeli sesuatu dengan uang palsu tetapi tidak diketahuinya bahwa
uang itu palsu, tidak dapat dihukum.

Pasal 250 KUHP


“Barang siapa membuat atau mempunyai persediaan bahan atau benda yang
diketahuinya bahwa itu digunakan untuk meniru, memalsu atau mengurangi nilai
mata uang, atau untuk meniru atau memalsu uang kertas negara atau bank,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang membuat atau
menyediakan perkakas-perkakas atau bahan-bahan seperti cap cetakan, kertas,
logam, mesin percetakan, klise, obat-obat kimia, potret dan sebagainya yang
diketahui bahwa perkakas-perkakas atau bahan-bahan tersebut akan digunakan
untuk meniru, memalsu, mengurangi harga mata uang.

Pasal 250 bis KUHP


Pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab
ini,maka:
mata uang palsu, dipalsu atau dirusak, uang kertas negara atau bank yang palsu
atau dipalsukan, bahan-bahan atau benda-benda yang menilik sifatnya digunakan
untuk meniru, memalsu atau mengurangi nilai mata uang atau uang kertas,
sepanjang dipakai untuk atau menjadi obyek dalam melakukan kejahatan, dirampas,
juga apabila barang-barang itu bukan kepunyaan terpidana.

Peraturan umum tentang barang-barang yang boleh dirampas termaktub


dalam Pasal 39 KUHP. Tetapi peraturan yang termaktub dalam pasal ini, merupakan
peraturan khusus.
Menurut pasal ini, maka barang-barang tersebut tidak hanya boleh dirampas
(fakultatif), tetapi harus dirampas (imperative). Kalau Pasal 39 menetapkan bahwa
barang yang boleh dirampas itu harus milik tersangka, maka dalam Pasal 250 bis ini
menetapkan bahwa semua barang yang menjadi pangkal kejahatan harus dirampas,
sekalipun bukan milik tersangka.

Pasal 251 KUHP


Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling
banyak sepuluh ribu rupiah, barangsiapa dengan sengaja dan tanpa izin pemerintah,
menyimpan atau memasukkan ke Indonesia keping-keping atau lembaran-lembaran
perak, baik yang ada maupun yang tidak ada capnya atau dikerjakan sedikit,
mungkin dianggap sebagai mata uang, padahal tidak nyata-nyata akan digunakan
sebagai mata uang, padahal nyata-nyata tidak akan digunakan sebagai perhiasan
atau tanda peringatan.
Maksud pasal ini ialah untuk mencegah supaya jangan sampai ada barang-
barang yang diedarkan di Indonesia yang mneyerupai mata uang. Guna mengawasi
hal itu, maka memasukkan benda-benda semacam itu ke Indonesia harus ada izin
dari yang berwajib. Dan untuk benda-benda yang nyata-nyata sebagai perhiasan
atau tanda peringatan (misalnya dalam bentuk kalung, gelang dan sebagainya), tidak
diperlukan izin.

Pasal 252 KUHP


Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 244 – 247, maka hak-hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 No. 1 – 4
dapat dicabut.

Perlu diingat bahwa pasal-pasal tentang pemalsuan mata uang ini juga diatur Pasal
IX sampai dengan Pasal XIII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Pemalsuan Meterai dan Merek


Pasal 253 – 262KUHP

Pasal 253 KUHP


Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :
(1) Barangsiapa meniru atau memalsu materai yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia, atau jika diperlukan tanda tangan untuk sahnya materai itu,
barangsiapa meniru atau memalsu tanda tangan, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai materai itu sebagai materai yang
asli dan tidak dipalsu atau yang sah;
(2) Barangsiapa dengan maksud yang sama, membikin materai tersebut dengan
menggunakan cap yang asli secara melawan hukum.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah


1. Orang yang meniru atau memalsukan materai yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh mamakai
materai itu oleh orang lain sebagai materai yang asli atau yang tidak dipalsukan
atau yang sah;
2. Orang yang meniru atau memalsukan tanda tangan yang perlu untuk sahnya
materai itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai materai itu
oleh orang lain sebagai materai yang asli atau yang tidak dipalsukan atau yang
sah;
3. Orang yang membuat materai dengan memakai alat cap yang asli dengan
melawan hukum, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai
materai itu oleh orang lain sebagai materai yang asli atau yang tidak dipalsukan
atau yang sah.

Pemalsuan Surat
Pasal 263 KUHP
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :


1. Ayat (1) orang yang membikin surat palsu atau memalsukan surat
a. yang dapat menerbitkan sesuatu hak;
b. yang dapat menerbitkan sesuatu perutangan;
c. yang dapat membebaskan daripada utang;
d. yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan
kerugian.
2. Ayat (2) orang yang dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan,
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu dapat
mendatangkan kerugian.
a. Surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak misalnya surat izin mengemudi,
ijazah, karcis tanda masuk, surat saham, dll;
b. Surat yang dapat menerbitkan sesuatu perutangan misalnya kuasa untuk
dapat membuat utang;
c. Surat yang dapat membebaskan daripada utang misalnya kuitansi dan
sejenisnya;
d. “Surat palsu” dapat diartikan surat yang disusun demikian rupa, sehingga
isinya tidak pada mestinya (tidak benar);
e. “Memalsukan surat” berarti mengubah surat itu demikian rupa, sehingga
isinya menjadi lain daripada isi surat yang asli;
f. “Memalsukan tanda tangan yang berkuasa menanda-tangani surat” termasuk
dalam pengertian ”memalsukan surat”. Demikian pula menempelkan pas foto
orang lain daripada yang berhak dalam ijazah sekolah, surat izin mengemudi,
harus dapat dipandang sebagai suatu pemalsuan;
g. “Dapat mendatangkan kerugian”, tidak perlu dibuktikan bahwa kerugian itu
sudah ada, tetapi cukup dengan adanya “kemungkinan” saja;
h. Yang diartikan “kerugian” tidak hanya kerugian materiil, tetapi juga kerugian-
kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dan
sebagainya.

Pasal 264 KUHP


(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika
dilakukan terhadap :
1. Akta-akta Otentik;
2. Surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun
dari suatu lembaga umum;
3. Sero atau surat utang atau sertifikat sero atau utang dari suatu perkumpulan,
yayasan, perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan
dalam angka 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti
surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat
tersebut dalam ayat pertama yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan
seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan
kerugian.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :


1. Orang yang membikin surat palsu atau memalsukan surat :
a. Pembukti resmi (akte otentik);
b. Utang atau tanda utang dari suatu negara atau sebagainya dari suatu
lembaga umum;
c. Sero, tanda sero, utang atau tanda utang dari suatu perhimpunan, yayasan,
perseroan atau maskapai;
d. Talon, untung sero (deviden) atau bunga uang dari salah satu surat yang
diterangkan pada nomor 2 dan 3 diatas, atau tentang surat pembukti yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat itu;
e. Kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan, dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah surat
itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan
kerugian;
2. Orang yang dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-
olah surat itu asli dan tidak dipalukan, kalau pemakaian surat itu dapat
mendatangkan kerugian;

- yang dimaksud surat pembukti resmi (akte otentik) ialah surat yang dibuat
menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, misalnya
akte kelahiran;
- Talon adalah bahagian segi yang melekat pada kupon, yang mana sesudah
kupon-kupon yang melekat pada talon itu habis dipakai, harus diserahkan
kembali untuk mendapatkan rangkaian kupon-kupon yang baru;
- Surat untung sero (dividend) adalah laba saham yang berimbang, yang dibayar
oleh kongsi-kongsi atas surat-surat saham

Pasal 266 KUHP


(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian
itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :


1. Orang yang memberikan keterangan yang tidak benar kepada pegawai Catatan
Sipil untuk dimasukkan kedalam akte kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai
tersebut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain
mempergunakan akte itu seolah-olah keterangan yang termuat didalam akte itu
benar;
2. Selain itu juga orang yang dengan sengaja menggunakan akte yang memuat
keterangan tidak benar itu. Dalam kedua hal ini senantiasa harus dibuktikan,
bahwa orang itu bertindak seakan-akan isi surat itu benar dan perbuatan itu dapat
mendatangkan kerugian;
3. Seorang pedagang yang menyuruh membuat persetujuan dagang kepada
seorang notaris mengenai sebidang tanah, yang mana sebenarnya tanah itu telah
dijual kepada orang lain. Dalam hal ini maka akte notaris itu merupakan suatu
surat yang digunakan sebagai bukti terhadap suatu pemindahan hak milik.
Kerugian yang diderita oleh pembeli sudah nyata, yakni jumlah uang yang
dibayarkan untuk pembelian itu yang bukan semestinya, biaya notaris dan
sebagainya.

Pasal 267 KUHP


(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke
dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :


1. Dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu (bukan
keterangan lisan) tentang adanya sesuatu penyakit, kelemahan atau cacat pada
seseorang. Hukuman itu bertambah berat, apabila surat keterangan itu diberikan
dengan maksud untuk memasukkan seseorang kedalam rumah sakit gila atau
supaya orang itu ditahan disana.
2. Mengancam dengan hukuman yang sama kepada orang yang dengan sengaja
memakai surat keterangan palsu itu, seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran.

Pasal 268 KUHP


(1) Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud
untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud yang sama
memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat
itu benar dan tidak dipalsu.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang membuat surat keterangan
dokter yang palsu atau memalsukan surat keterangan dokter, dengan maksud akan
memperdayakan kekuasaan umum atau penanggung asuransi.

Pasal 269 KUHP


(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat keterangan tanda
kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan atau keadaan lain, dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya
diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan
pertolongan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai
surat keterangan yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam ayat
pertama, seolah-olah surat itu sejati dan tidak dipalsukan.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :


1. Orang yang membuat palsu atau memalsukan surat keterangan tentang
kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, cacat atau keadaan lain-lain, dengan
maksud akan menggunakan atau menyuruh menggunakan surat itu supaya
dapat masuk bekerja, menerbitkan kemurahan hati atau perasaan suka
memberi pertolongan;
2. Orang yang menggunakan surat semacam itu sedang ia mengetahui akan
kepalsuannya.

Pasal 270 KUHP


(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan pas jalan atau surat
penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan
menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing
untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh beri
surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan
menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain memakai surat itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan atau
seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat yang tidak benar atau yang dipalsu tersebut dalam ayat pertama, seolah-
olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Yang dibuat palsu atau dipalsukan dalam pasal ini ialah :
1. Surat pas jalan;
2. Surat pengganti pas jalan;
3. Surat keselamatan (jaminan atas keselamatan diri);
4. Surat perintah jalan;
5. Surat-surat lain yang diberikan menurut peraturan undang-undang izin masuk ke
Indonesia tersebut dalam L.N. 1949 No. 331 misalnya Surat izin masuk, Paspor,
Surat izin mendarat, Surat izin berdiam, dll.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :


1. Orang yang dengan jalan palsu membuat atau memalsukan pas jalan dan
sebagainya;
2. Orang yang menyuruh memberikan pas jalan yang palsu dan sebagainya;
3. Orang yang dengan sengaja memakai surat pas jalan yang palsu dan
sebagainya, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan atau isinya sesuai
dengan kebenaran.

Pasal 271 KUHP


(1) Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat pengantar bagi kerbau
atau sapi, atau menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau dengan
menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam ayat pertama, seolah-
olah sejati dan tidak dipalsu atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Menurut L.M. terakhir tahun 1902 No. 449, maka pembawaan ternak dari satu
distrik (bahagian pemerintahan daerah dibawah kabupaten) ke distrik yang lain,
harus disertai surat pengantar yang dikeluarkan oleh Kepala Distrik (Wedana) atau
pegawai yang ditunjuk untuk itu.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialahPegawai yang membuat palsu
surat penghantar itu dan orang yang dengan sengaja memakai surat penghantar
palsu itu, dapat dikenakan pasal ini.
Pasal 274 KUHP
(1) Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan seorang
pejabat selaku penguasa yang sah, tentang hak milik atau hak lainnya atas
sesuatu barang, dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau
penggadaiannya atau untuk menyesatkan pejabat kehakiman atau kepolisian
tentang asalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud tersebut,
memakai surat keterangan itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan.

Surat keterangan yang dipalsukan dalam pasal ini ialah surat keterangan yang
pada umumnya banyak diberikan oleh pegawai pamongpraja, termasuk para
pamong desa, kepada penduduk yang akan membawa atau menjual barang-
barangnya, untuk menyatakan bahwa barang tersebut adalah milik dari penduduk itu.
Pemalsuan surat keterangan sejenis ini biasanya dilakukan untuk
memudahkan penjualan barang-barangnya gelap atau yang berasal dari kejahatan.

Pasal 275 KUHP


(1) Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa
diperuntukkan untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 264
No. 2 – 5, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denga paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Bahan-bahan dan benda itu dirampas.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah “Menyimpan untuk dapat
digunakan oleh si penyimpan”dapat diartikan“menyediakan”.Perampasan barang
dalam pasal ini harus bersifat imperatif (harus dilakukan), bukan fakultatif.
Kejahatan-kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 264 No. 2 – 5, ialah
pemalsuan tentang :
- Surat utang atau surat tanda utang dari suatu negara atau sebagiannya atau dari
suatu lembaga umum;
- Sero atau surat utang, atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari suatu
perhimpunan, yayasan, perseroan atau maskapai;
- Talon atau surat untung sero (devidend) atau surat bunga uang, dari salah satu
surat yang diterangkan pada ke-2 dan ke-3, atau tentang surat pembukti yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat itu;
- Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.

Pasal 506 KUHP


“Barangsiapa sebagai germo mengambil keuntungan dari perbuatan melanggar
susila oleh seorang wanita, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
satu tahun”.
Meskipun ancaman hukuman dalam pasal ini hanya satu tahun namun berdasarkan
pasal 21 ayat 4 KUHAP, pelaku dapat dilakukan penahanan.

Peniadaan pidana
Pasal 301 (3) KUHP
Ketentuan ayat ini merupakan peniadaan kualifikasi kejahatan pencemaran
atau pencemaran tertulis jika si pelaku melakukan tindakan itu :
a. Secara gamblang demi kepentingan umum
b. Secara gamblang untuk pembelaan diri yang sangat diperlukan (terpaksa)
Dari sudut teori peniadaan pidana, maka Pasal 310 (3) telah meniadakan unsur sifat
melawan hukum dari tindakan pelaku dalam hal tersebut a atau b diatas. Karena
tindakan tersebut atas dasar Pasal 310 (1) ini dinyatakan telah melakukan tindakan
itu, tapi tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis karena adanya
tersebut a atau b maka putusan hakim berbunyi : “ dilepas dari segala tuntutan
“(ontslag van rechtsvervolging), dan bukan “dibebaskan dari tuduhan” (Vrijspraak).
Yang dimaksud secara gamblang demi kepentingan umum ialah bahwa si
petindak memang secara jelas dan tegas menuduhkan sesuatu hal supaya umum
waspada pada oknum yang dicemarkan itu, misalnya;
- Oknum tersebut selaku direktur dari suatu perusahaan jika menghadapi pelamar-
pelamar wanita maka wanita-wanita tersebut tidak pernah lepas dari pelukan atau
cubitannya.
- Oknum tersebut suka bikin hutang dimana-mana tapi tidak pernah membayar.
Yang dimaksud dengan secara gamblang untuk pembelaan diri yang sangat
diperlukan (terpaksa) ialah untuk menghindarkan diri dari suatu kerugian yang tidak
semestinya menjadi bebannya, misalnya :
- Si pelaku didesas-desuskan telah menghamili seseorang wanita (sekretaris dari
bosnya) lalu ia mengungkapkan siapa sebenarnya yang telah melakukannya.
- Si pelaku didesas-desuskan menerima pemberian (suap) lalu ia mengutarakan
apa yang sebenarnya terjadi yang menyangkut pihak ketiga (yang dicemarkan).

Pasal 311 KUHP


(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan
untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam
melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan Pasal 35 No.1-3 dapat dijatuhkan.
Karena tuduhan-tuduhan terhadap Mr. Jusuf Wibisono yang dilontarkan
terdakwa dalam karangannya ada samar-samar, tidak tegas dan nyata tidaklah
tepat diterima bahwa terdakwa telah bertindak demi kepentingan umum. Lagi pula
bagi terdakwa sebagai anggota DPR, ada jalan lain untuk bertindak demi
kepentingan umum, ialah dengan membicarkan masalahnya dalam DPR (M.A. No.
13 K/Kr/1956 tanggal 9 Nopember 1957).
Fitnah merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis tetapi selain ia
harus memenuhi unsur-unsur dari kejahatan tersebut disertai tambahan :
a. Bahwa kepada si pelaku diperbolehkan untuk membuktikan kebenaran dari yang
dituduhkan.
b. Bahwa si pelaku tidak dapat membuktikannya.
c. Bahwa yang dituduhkannya itu bertentangan dengan yang diketahuinya.
Yang dimaksud dengan yang diketahuinya ialah yang dinyatakan panca
indranya sendiri. Setidak-tidaknya telah diadakan penelitian tentang sesuatu yang
semula didengar dari orang lain. Jika bertentangan dengan yang diketahuinya berarti
bertentangan dengan yang dinyatakannya melalui panca indranya sendiri atau
bertentangan dengan penelitiannya sendiri.

Pasal 312 KUHP


Pembuktian akan kebenaran tuduhan hanya dibolehkan dalam hal-hal berikut :
1. Apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu guna
menimbang keterangan terdakwa, bahwa perbuatan dilakukan demi kepentingan
umum, atau karena terpaksa untuk membela diri
2. Apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya.
Pembuktian mengenai kebenaran hal yang dituduhkan sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 312 KUHP hanya diijinkan dalam hal terdakwa dituduhkan kejahatan-
kejahatan menista atau menista dengan surat akan tetapi kebenaran yag dituduhkan
itu sama sekali tidak diperkenankan pada tuduhan kejahatan “penghinaan bersahaja”
(M.A. No. 21 K/Kr/1957 tanggal 4-1-1958)
Catatan :
1. Yang dimaksud oleh Mahkamah Agung disini bukan menista akan tetapi
memfitnah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 KUHP. Nista adalah
terjemahan untuk “smaad” yang diatur dalam Pasal 310 KUHP, sedangkan fitnah
adalah terjemahan untuk “laster”.
2. Terjemahan yang dipergunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno untuk smaad adalah
pencemaran.9)
3. Hanya dalam kejahatan fitnah yang diatur dalam Pasal 311 KUHP, pembuktian
tentang kebenarannya diperbolehkan. Lihat Arrest HR tanggal 22 April 1901.10)

Pasal 313 KUHP


Pembuktian yang dimaksud dalam Pasal 312 tidak dibolehkan, jika hal yang
dituduhkan hanya dapat dituntut atas pengaduan dan pengaduan tidak dimajukan.

Pada umumnya mengenai ketentuan pada Pasal 312 ini telah dimasukkan
dalam uraian Pasal 311. Yang perlu diingat bahwa Pasal 312 ini tidak hanya
dikaitkan dengan Pasal 311 untuk menentukan adanya fitnah atau tidak, tetapi juga
tertuju kepada Pasal 310 untuk memutuskan apakah hal itu dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Disini kita lihat seakan-
akan ada pembalikan beban pembuktian (omkeering van bewijslast) yaitu mengenai
tugas pembuktian itu seharusnya menjadi beban dari penuntut umum, disini
terdakwa justru dibebani pembuktian. Hal ini bukanlah pembebanan pembuktian
melainkan memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengutarakan
keadaan yang sebenarnya, sedangkan hakim tidak terikat kepada pembuktian
tersebut melainkan hanya digunakan sebagai bahan pertimbangan membentuk
keyakinannya untuk membuat keputusan yang adil.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 313 ditentukan bahwa apabila yang
dituduhkan terdakwa adalah merupakan delik aduan, misalnya seseorang dokter
pegawai negeri ahli kandungan, dalam menjalankan tugasnya (sering) melakukan
perzinaan, maka kebolehan pembuktian hanya jika diadakan pengaduan oleh wanita
yang disetubuhi.

Pasal 314 KUHP


(1) Jika yang dihina, dengan putusan hakim yang menjadi tetap, dinyatakan bersalah
atas hal yang dituduhkan, maka pemidanaan karena fitnah tidak mungkin.
(2) Jika ada dengan putusan hakim yang menjadi tetap dibebaskan dari hal yang
dituduhkan, maka putusan itu dipandang sebagai bukti sempurna bahwa hal yang
dituduhkan tidak benar.
(3) Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang
dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai
mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan.
Pasal ini mengatur kelanjutan dari kebolehan terdakwa (penghina)
membuktikan tuduhannya.Dalam hal ini tuduhan itu berupa suatu tindakan pidana
yang dapat dituntut karena jabatan (ambtshalve vervolgbare delict) atau berupa
suatu delik aduan yang sudah diadukan oleh yang dirugikan (yang berhak). Jika si
terhina yang dalam perkara si penghina adalah saksi utama, maka dalam rangka
penguraian Pasal 314 ini ia adalah terdakwa dalam perkara yang dituduhkan
kepadanya, misalnya si terhina dituduh melakukan korupsi (atau perzinaan dan telah
diadukan) maka jika ternyata ia bersalah dan putusan hakim untuk itu telah menjadi
tetap, maka putusan ini berpengaruh kepada perkara si penghina. Pengaruhnya
ialah bahwa putusan ini merupakan bukti bahwa si penghina itu dipandang perlu
membuktikan tuduhannya dan sekaligus putusan itu meniadakan pemidanaan
karena fitnah.
Jika si terhina dibebaskan dari yang dituduhkannya yang berarti yang
dituduhkan oleh si penghina itu tidak benar, maka putusan ini (jika sudah menjadi
tetap) dipandang sebagai bukti sempurna. Sedangkan jika perkara yang dihina itu
masih dalam penuntutan, maka penyelesaian perkara dari si penghina ditunda
sampai mendapatkan putusan terhadap perkara yang dihina tersebut (praejudicieel
geschil).

Pasal 315 KUHP


Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau
pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik dimuka umum dengan
lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan,
dengan surat yang dikirimkan atau yang diterimakan kepadanya, diancam karena
penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

1. Putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan yang dalam perkara ini
berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat
tuduhan lebih banyak ditujukan kepada Pasal 310 KUHP.
2. Berdasarkan tuduhan antara lain “bahwa PT. Tjahaja Negeri telah ditutup
terdakwa, dan apabila menyaksikan kematian PT. Tjahaja Negeri tersebut
supaya datang dan bila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh PT Tjahaja
Bank Gemary atau barang-barang yang tanggungan PT. Tjahaja agar segera
diangkut demi keamanan barang-barang tersebut.” Terdakwa dinyatakan
bersalah melakukan tindak Pidana 315 KUHP, meskipun kata-kata tersebut lebih
banyak ditujukan terhadap Pasal 310 KUHP (M.A. No. 68 K/Kr/1973 tanggal 16-
12-1976 ) 11)
Dalam perkara ini penuntutan terdakwa atas pasal 315 KUHP dapat dibenarkan,
sekalipun tidak ada pengaduan, tidak ada pengaduan disini adalah karena saksi
yang bersangkutan tidak mengerti/buta hukum dan dalam hal demikian penuntut
umum harus mengusahakan adanya pengaduan itu (M.A. No. 393 K/Kr/1981
tanggal 30-12-1982).
Kata-kata yang bersifat penghinaan terhadap ajaran Ketuhanan yang diberikan oleh
seorang guru besar, bukan merupakan penghinaan pribadi terhadap guru besar itu
(H.R. 24 Pebruari 1902).
Merupakan penghinaan adalah pernyataan-pernyataan yang menurut umum
menunjukan sikap tidak menghormati seseorang seperti “gila”, “bajingan”, “Badut”,
dsb (H.R. 27 Juni 1898)
Jika pasal ini dirumuskan dengan terperinci maka berbunyi : Barangsiapa
yang dengan sengaja melakukan suatu penghinaan yang tidak bersifat pencemaran
atau pencemaran tertulis terhadap seseorang :
a. Dimuka umum dengan lisan atau tulisan.
b. Dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau suatu tindakan nyata (feitelijkheid)
atau
c. Dengan surat yang dikirim atau diterimakan
kepadanya. Diancam karena penghinaan ringan.
Karena penempatan unsur dengan sengaja didepan, maka semua unsur yang
mengikutinya disadari terdakwa/pelaku. Tindakan yang dilarang adalah melakukan
penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis.
Bahwa yang dimaksud dengan penghinaan pada dasarnya adalah merusak
kehormatan atau nama baik seseorang. Jika dilakukan dengan menuduhkan sesuatu
hal/tindakan, disebut sebagai pencemaran atau pencemaran tertulis. Dan jika yang
dituduhkan itu tidak benar disebut sebagai fitnah. Penghinaan yang tidak dengan
menuduhkan sesuatu hal/tindakan disebut sebagai penghinaan ringan atau
bersahaja.
Dalam Pasal 315 dirumuskan tiga cara penghinaan yaitu pertama dengan lisan atau
tulisan dimuka umum. Yang dimaksud dengan dimuka umum (in het openbaar)
adalah : disuatu tempat dimana umum dapat mendengar ucapan (lisan) atau melihat
tulisan. Tulisan disini termasuk juga gambar atau karikatur yang dapat dibaca orang
sebagai penghinaan. Si pelaku dapat mengucapkan/meneriakkan penghinaan itu
atau menunjukan/menempelkan penghinaan itu jika berupa surat/gambar telah
diperbanyak lebih dahulu. Cara yang kedua dengan lisan atau tindakan nyata
pada kehadiran (in de tegenwoodigheid)orang itu sendiri. Yang dimaksud
dengan kehadiran orang itu ialah dihadapan orang itu sendiri, dimuka orang itu
sendiri, yang dapat didengar orang itu sendiri baik terhalang maupun tidak terhalang
tetapi terdengar dengan jelas. Suatu tindakan nyata (feitelijkheid) adalah suatu
gerakan atau suatu isyarat bukan juga suatu tindakan memegang-megang kepala
orang yang dihina itu dimana jelas terasa penghinaan pada tindakan nyata. Cara
ketiga ialah dengan mengirim surat (surat terbuka atau tertutup) yang berisikan
penghinaan ataupun secara langsung menerima surat yang berisikan penghinaan
kepada siterhina.

Pasal 316 KUHP


Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini ditambahkan
dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena
menjalankan tugas yang sah.

Penghinaan atas pejabat yang mendampingi orang yang menjalankan tugasnya


secara sah dipandang ditujukan terhadap seorang pejabat yang dimaksud dalam
Pasal 316 KUHP (M.A. No. 45 K/Kr 1973 tanggal 10-10-1974).
Keadaan bahwa seorang pejabat sedang melakukan jabatannya yang sah bukan
merupakan unsur dari perbuatan itu yang dapat dihukum. Jika hal itu tidak terbukti
tidak dapat dilakukan penghukuman, dengan syarat bahwa tuntutannya berdasarkan
pengaduan (H.R. 29 Mei 1893).
Pasal 316 ini tidak merumuskan kejahatan penghinaan secara tersendiri
melainkan hanya pemberatan ancaman pidana dan menjadikan sebagai delik yang
dapat dituntut karena jabatan dari kejahatan penghinaan tersebut dalam pasal-pasal
terdahulu :
a. Pencemaran (Pasal 310 ayat (1))
b. Pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat (2))
c. Fitnah (Pasal 311)
d. Penghinaan ringan (Pasal 315)
Hal itu ditentukan apabila objeknya adalah Pegawai negeri yang sedang atau
menjalankan tugas yang sah.
Yang dimaksud seorang pegawai negeri yang menjalankan tugas yang sah sama
artinya dengan menjalankan jabatannya yang tidak bertentangan dengan
kewajibannya. Mengenai kewajiban seorang pegawai negeri tidak harus tegas
terperinci telah tertuang dalam suatu perundangan, namun kewajiban itu harus
selaras dengan sifat jabatan itu.
Mengenai pegawai negeri yang dihina itu sedang/sewaktu menjalankan tugas yang
sah atau karena ia sudah atau akan menjalankan tugas yang sah, misalnya polisi
yang sedang melakukan penangkapan yang sah, seorang pegawai pajak yang
sedang menafsir pajak seseorang.

Pasal 317 KUHP


(1) Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan
palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tetang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena
melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan..

Surat pengaduan ataupun aangifte bahwa seorang jaksa telah memaksakan


kepada terdakwa untuk mengambil seorang pengacara tertentu yang dikirimkan ke
Pengadilan Tinggi, merupakan pengaduan atau aangifte kepada averheid termasuk
dalam Pasal 317 KUHP.
Bevoegd atau tidaknya Pengadilan Tinggi mengurus isi pengaduan atau aangifte itu
tidak merupakan unsur dari pasal 317 KUHP. M.A. No. 32 K/Kr/1957 tanggal 11-2-
1958 12)

Kata-kata “hai bayar hutang mu “ berarti menuduh orang yang bersangkutan


sebagai orang yang cidra janji. Jika kata-kata tersebut diucapkan dihadapan orang
lain, maka kata-kata tersebut merupakan penghinaan, akan tetapi bukan merupakan
tuduhan mengenai suatu hal. (H.R. 1 April 1940)
Untuk menyerang kehormatan seseorang, tidaklah perlu bahwa yang bersangkutan
merasa terhina. Kehormatan seseorang dapat saja dimata orang dianggap telah
dinodai, terlepas dari perasaan subjektif orang yang dihina (H.R. 9 Desember 1912).
Pada penghinaan ringan hanya diperiksa apakah pelaku sengaja melakukan
penghinaan, suatu pemeriksaan tentang kebenarannya tidak diperlukan (H.R. 28
Maret 1898)
Suatu penghinaan dilakukan dimuka umum, apabila hal itu dilakukan disuatu tempat
yang tersedia untuk umum dan semua hadirin dapat mendengarkannya (H.R. 9 Juni
1941).
Penghinaan oleh suatu tulisan dalam majalah ditempat dimana majalah itu
diedarkan. Apabila hal ini terjadi dipelbagai tempat maka semua tempat tersebut
merupakan tempat terjadinya kejahatan (H.R. 2 Januari 1923).
Bagi penghinaan ringan dalam suatu tulisan, tidaklah perlu bahwa tulisan itu dalam
keseluruhannya bersifat menghina. Tidak menjadi soal apakah isinya untuk
menghina terbatas, atau isinya lebih dari itu (H.R. 4 April 1921).
Apabila dalam surat tuduhan yang dimaksud adalah pencemaran tertulis, akan tetapi
yang dituduhkan itu tidak terbukti, namun dapat juga terjadi penghukuman karena
penghinaan, jika unsur-unsurnya telah dituduhkan dan terbukti (H.R. 11 Mei 1931).
Titik berat delik ini adalah penghinaan kepada seseorang tertentu dan
ditentukan sebagai delik aduan berarti memberi kesempatan kepada yang dirugikan
(si terhina) untuk menuntut atau tidak, dengan pertimbangan agar tidak dirugikan
untuk kedua kalinya.
Delik ini dinamai pengaduan fitnah (lasterlijke aanklact) yang dibedakan
dengan delik fitnah (Pasal 311). Kesamaannya yang menonjol adalah sama-sama
menuduhkan (mengajukan) suatu berita palsu (yang tidak benar) dan sama-sama
ditujukan kepada keterhinaan objek. Perbedaannya ialah bahwa pada fitnah
penyampaian berita itu ditujukan kepada khalayak ramai/umum, sedangkan pada
pengaduan fitnah ditujukan kepada penguasa. Perbedaan selanjutnya ialah karena
pada delik pengaduan fitnah ini harus terbukti kesadaran si pelaku tentang
kepalsuan dari pengaduan/pemberitahuannya, maka tidak ada masalah kebolehan
pembuktian dan kelanjutannya sebagaimana diatur pada Pasal 312 s/d 314.
Unsur kesengajaan pada delik ini mencakup seluruh unsur dibelakangnya.
Jadi si pelaku harus menyadari kepalsuan dari pengaduan atau pemberitahuannya
dan menyadari bahwa karena pengaduan/pemberitahuan itu dapat merusak
kehormatan atau nama baik seseorang tertentu;
Tindakan yang dilarang disini ialah mengajukan pengaduan/pemberitahuan
palsu tentang seseorang tertentu (bepaald person) yang karenanya dapat terserang
kehormatannya atau nama baiknya. Pengaduan/pemberitahuan tersebut diajukan
kepada penguasa secara tertulis atau dengan lisan dan meminta untuk dituliskan.
Yang dimaksud dengan mengajukan (inleveren) disini tidak saja hanya
memberikan atau menerimakan, tetapi termasuk juga mengirimkan melalui
seseorang atau melalui pos, atau berupa telegram.
Yang dimaksud palsu disini, tidak harus seluruhnya palsu melainkan dapat juga
sebagian. Misalnya pada suatu malam benar terjadi suatu pencurian, kemudian
dilaporkan seseorang tertentu yang melakukannya pada hal diketahui bahwa orang
itu bukan pelakunya.
Laporan atau pengaduan yang berupa surat, tidak harus sesuai dengan suatu bentuk
tertentu. Juga tidak perlu harus jelas alamat si pelaku. Biasanya surat seperti itu
disebut sebagai “Surat kaleng”. Dan memang justru dalam hal seperti itu akan sukar
melacaknya/menyidik si pelakunya.
Penyampaian laporan lisan harus inisiatif pertama dari si pelaku untuk
meminta dituliskan. Namun apabila si penguasa yang menerima laporan lisan itu
menuliskannya dan tidak dicegah oleh si pengadu/si pelaku maka dalam hal ini harus
dipandang sebagai permintaan si pelaku untuk dituliskan.
Dalam hal pengaduan/pemberitahuan yang tidak tertulis oleh si pelaku atau
tidak dituliskan atas permintaan si pelaku, tidak dapat dipandang sebagai yang telah
mengajukan pengaduan/pemberitahuan seperti dimaksud di pasal ini. Bahkan dalam
suatu Arres HR (W.7903 tanggal 16 maret 1903) sebagai perbandingan, oret-oretan
penguasa tersebut disuatu kertas klad tidak dipandang sebagai laporan sempurna
melainkan sebagai persiapan laporan saja.
Sasaran dari pengaduan/pemberitahuan palsu itu harus seseorang tertentu.
Ini tidak berarti harus jelas identitas dan alamat dari sasaran tersebut. Cukuplah jika
segera dapat dipastikan siapa yang dimaksud.
Karena pengaduan/pemberitahuan itu si pelaku juga harus mengetahui bahwa
kehormatan/nama baik seseorang itu dapat terserang. Ini tidak dapat diisyaratkan
supaya diketahui oleh umum.
Yang dimaksud dengan penguasa ialah bukanlah semua pegawai negeri
melainkan terbatas pada pembesar atau orang-orang tertentu yang diberi wewenang
di bidang penerimaan pengaduan/pemberitahuan serta berwenang menangani atau
menyelesaikan hal yang diadukan itu. Hal yang diadukan/dilaporkan tidak hanya di
bidang perkara pidana saja tetapi juga di bidang perkara administrasi. Dapat
dibayangkan bahwa kendati dimaksudkan si pelaku supaya si korban diproses
secara pidana, tetapi dengan keterhinaan dari sang objek, maka konduitenya dapat
turun atau jelek yang dapat berpengaruh pada kedudukannya.
Pasal 318 KUHP
(1) Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu
persangkaan terhadap seseorang bahwa ia melakukan suatu perbuatan pidana,
diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 dapat dijatuhkan

Pasal 319 KUHP


Penghinaan yang diancam pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada
pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.
Suatu pengaduan mengenai pencemaran tertulis dapat merupakan dasar
untuk penuntutan dan penghukuman/pemidanaan karena penghinaan ringan. (H.R.
16 Juni 1953).
Unsur sengaja pada si pelaku disenafaskan dengan tindakannya (handeling) yag
aktif maupun pasif. Pelaku menyadari akibat tindakannya itu.
Tindakan yang dilarang disini tidak dicantumkan secara tegas. Karena yang
dimaksud adalah tindakan apa saja, asal saja si pelaku mengetahui tindakannya itu
dapat menimbulkan persangkaan fitnah (lasterlijke verdachtmaking). Jadi tindakan
itu bernafaskan kepalsuan, yang ditujukan kepada seseorang tertentu.
Misalnya si pelaku telah menempatkan sebuah sepeda motor yang pemiliknya tidak
diketahui dalam pekarangan tertutup dari seseorang tertentu. Nafas kepalsuan dari
tindakan ini adalah seakan-akan orang tertentu (objek) tersebutlah yang mengambil
motor tersebut untuk dimiliki secara melawan hak. Akibatnya jika si pemilik sepeda
motor menemukan motor itu ada di pekarangan tersebut pastilah ia akan menyangka
bahwa seseorang tertentu yang telah mencuri sepeda motor itu.
Disini tersirat bahwa delik ini adalah untuk memfitnah dengan cara dimaksud pada
pasal ini.

Pasal 320 KUHP


(1) Barangsiapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang
kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran
tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari salah seorang
keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang
sampai derajat ke dua dari yang mati itu atau atas pengaduan suami
(isterinya).
(3) Jika karena lembaga matriarkhal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain
dari pada bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut oleh pengaduan orang itu.

Pasal ini mengingatkan dan senada dengan Pasal 310 (1) tentang
pencemaran dan Pasal 310 (2) tentang pencemaran tertulis. Bedanya ialah bahwa
sasaran/objek pada delik ini adalah orang yang sudah mati yang diperandaikan
masih hidup. Karena Pasal 310 ini terdiri dari 3 ayat maka ayat ke 3 tersebut juga
berlaku dalam penerapan pasal ini. Berarti jika si pelaku melakukan delik
pencemaran kepada seorang yang sudah mati demi kepentingan umum dan karena
terpaksa beladiri maka tindakannya itu dikualifikasikan sebagai pencemaran. Namun
dalam penerapan delik ini tidak diberlakukan ketentuan kebolehan pembuktian atas
kebenaran tuduhan, yang dengan demikian benar atau tidaknya yang dituduhkan itu
dalam rangka penentuan telah terjadi fitnah tidak dipersoalkan. Selanjutnya apabila
si pelaku hanya melakukan penghinaan ringan terhadap si orang mati tersebut tidak
dapat diterapkan pasal ini
Delik ini merupakan delik aduan. Yang berhak mengadukan ditentukan
adalah keluarga atau isteri (suami) yang masih hidup dari si mati dan belum bercerai
ketika si mati masih hidup. Mengenai pengertian dari keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus (tanpa terbatas derajat) ataupun dalam garis
menyimpang yang dibatasi hanya sampai derajat kedua.

Pasal 321 KUHP


(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum
tulisan atau gambaran yang isinya menghina atau bagi orang yang sudah mati
mencemarkan namanya, dengan maksud supaya isi surat atau gambar
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan
dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencahariannya, sedangkan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian tersebut.
(3) Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari orang yang ditunjuk
dalam Pasal 319 dan 320 ayat (2) dan (3).

Suatu karangan juga merupakan suatu tulisan jika berisikan gambar-gambar. Orang
yang mengedarkannya tidak perlu hendak menghina dengan sengaja; adalah cukup
bahwa ia mempunyai alasan kuat untuk menduga bahwa isinya adalah menghina
(H.R. 7 Juni 1937).
Delik ini termasuk penyebaran (verspreidings misdrijven). Pasal ini tergabung
kejahatan penghinaan terhadap sasaran (objek) yang masih hidup dan kejahatan
pencemaran (saja) terhadap yang sudah mati.

Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang


Pasal 330 KUHP
(1) “Barangsiapa dengan sengaja mencabut seorang anak di bawah umur dari
kekuasaan yang sah menurut undang-undang menguasai anak itu atau dari
pengawasan orang yang berwenang untuk melakukan pengawasan atas anak
itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun dijatuhkan, jika dalam hal
tersebut dipergunakan tipu daya, kekerasan atau ancaman kekerasan
ataupun apabila anak itu berusia di bawah duabelas tahun”.

Pasal 333 KUHP


(1) Barangsiapa dengan sengaja merampas kemerdekaan orang lain secara
melawan hukum atau membiarkan orang lain tersebut dirampas
kemerdekaannya secara melawan hukum, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya delapan tahun.
(2) Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada tubuh maka orang
yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
tahun.
(3) Apabila perbuatan tersebut menyebabkan meninggalnya seseorang maka ia
dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya duabelas tahun.
(4) Hukuman-hukuman yang ditentukan dalam pasal ini juga berlaku bagi mereka
yang dengan sengaja menyediakan tempat untuk melakukan peremapasan
kemerdekaan tersebut secara melawan hukum.
BAB III
PENUTUP

Tindak pidana yang diuraikan dalam buku ini hanya pokok-pokoknya saja
dan hanya mengenai delik-delik tertentu yang kemungkinan besar akan banyak
ditemui dalam praktek di masyarakat. Sudah barang tentu masih jauh dari memadai
untuk dapat diterapkan di dalam kehidupan masyarakat yang setiap waktu
berkembang, baik sebagai subyek kejahatan maupun obyek kejahatannya.
Untuk dapat memahami dengan baik isi buku ini masih diperlukan referensi
yang lain yaitu : asas-asas hukum pidana dan dengan menerapkan contoh-contoh
kasus yang aktual serta yurisprudensi yang berkembang dalam kehidupan peradilan
di Indonesia, baik dari Mahkamah Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi.
Selamat belajar, semoga berhasil.
DAFTAR PUSTAKA

(1) Prodjodikoro, Wirjono.Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Ed. II, Cet.


Kelima. Bandung : Refika Aditama, 2002.
(2) Andi Hamzah. Prof.Dr.jur. Delik-Delik Tertentu ( Speciale Delicten) di Dalam
KUHP. Cetakan Pertama, Juli 2010. Pusat Studi Hkum Pidana Universitas
Trisakti.
(3) H. W. Djumena. Mr. Kitab Undang2 Hukum Pidana Indonesia. Cetakan
Kedelapan belas, Dinas Penerbitan Balai Pustaka Djakarta, Tahun 1960.
(4) Anwar, H.A.K. Moch. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II).Cet.
Ketujuh. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994.
(5) Moeljatno, Prof. SH, KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi
Aksara, Jakarta , cetakan tahun keduapuluh lima, 2006.
(6) Soenarto Soerodibroto, SH, KUHP & KUHAP, Edisi keempat, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 1994.

Anda mungkin juga menyukai