MODUL
DISUSUN OLEH :
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
KATA PENGANTAR….........................................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Deskripsi Singkat...........................................................................................3
C. Tujuan Pembelajaran.....................................................................................3
D. Pokok Bahasan...............................................................................................3
Fasilitas / Media...................................................................................................5
- Pencurian….............................................................................................6
- Pemerasan…..........................................................................................10
- Penggelapan….......................................................................................12
iv
- Penipuan….............................................................................................13
- Penadahan..............................................................................................14
- Perjudian…............................................................................................15
- Perusakan Barang..................................................................................17
- Penghinaan….........................................................................................18
- Penganiayaan….....................................................................................22
- Penganiyaan Ringan…..........................................................................23
- Perzinahan…..........................................................................................27
- Perkosaan…...........................................................................................28
- Perbuatan Cabul….................................................................................30
- Pembunuhan….......................................................................................31
- Makar….................................................................................................37
- Permufakatan Jahat…............................................................................37
v
- Penodaan Bendera Kebangsaan Dan Lambang Negara.........................40
- Pemalsuan Surat….................................................................................74
- Peniadaan Pidana...................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................97
vi
BAB I
PENDAHULUA
N
A. LATAR BELAKANG
B. DESKRIPSI SINGKAT
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
D. POKOK BAHASAN
E. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran ini anatara lain :
1. Naskah Pegangan Peserta (Modul);
2. Proyektor
3. Kasus-kasus berkaitan dengan materi ajar
BAB II
DELIK TERTENTU DALAM KUHP
1. Pencurian ternak
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar,
kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang;
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu
hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Pencurian yang dirumuskan dalam Pasal 363 KUHP disebut dengan Pencurian
Berat yaitu pencurian dalam bentuk pokok sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
362 KUHP ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 363 Ayat (1) KUHP dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pencurian ternak;
Obyek dari pencurian disini ialah berupa hewan ternak.
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa
laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru
hara, pemberontakan atau bahaya perang;
Keadaaan-keadaan tersebut diatas merupakan keadaan bencana dan dapat
dipastikan pada saat itu orang-orang dalam kondisi panik dan cemas hingga
mereka kurang memperhatikan barang-barang kepunyaannya. Oleh karena itu
dalam keadaan seperti itu akan mempermudah tindakan pencurian.
3. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang
ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau
tidak dikehendaki oleh yang berhak;
Rumah merupakan tempat kediaman atau tempat tinggal. Disamping rumah,
gerbong kereta api, perahu atau setiap bangunan yang dibuat sedemikian rupa
untuk tempat kediaman termasuk juga dalam pengertian rumah.
Pekarangan tertutup ialah sebidang tanah yang mempunyai tanda-tanda batas
yang nyata yang menunjukkan bahwa tanah dapat dibedakan dari bidang-bidang
tanah sekelilingnya. Tanda-tanda batas itu dapat juga berupa saluran air,
tumpukan batu-batu, pagar bambu, dsb.14)
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
Dalam hal ini pencurian itu harus dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bekerja sama baik fisik maupun psikis, artinya tindakan pencurian yang mereka
lakukan haruslah didasarkan pada kehendak bersama.
5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai
pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau
memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, 3 perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
Perintah palsu ialah perintah yang seakan-akan asli dan seakan-akan dikeluarkan
oleh orang yang berwenang membuatnya berdasarkan UU atau peraturan lain,
sedangkan pakaian jabatan palsu ialah pakaian yang dipakai oleh seseorang
yang seakan-akan orang itu berhak memakainya.
Pemerasan
Pasal 368 KUHP
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat
utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3) dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.
Bagian inti delik dari pasal ini sama dengan delik pemerasan (Pasal 368 KUHP),
ditambah satu bagian inti lagi yaitu ”dengan ancaman akan membuka rahasia”. Jadi
paksaannya itu berupa akan membuka rahasia korban jika tidak diberi sesuatu atau
seterusnya itu. Dalam bahasa Belanda delik ini dikenal dengan Chantage.
Penggelapan
Penipuan
Pasal 378 KUHP
”Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.
Penadahan
Pasal 480 KUHP
“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah :
1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah
atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan,
menggadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan
penadahan;
2. barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda yang diketahuinya,
atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.”
Perjudian
Pasal 303 KUHP
(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda
sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa dengan tidak
berhak :
Ke-1. dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi sebagai
mata pencahariannya, atau dengan sengaja turut campur dalam
perusahaan main judi;
ke-2. dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi kepada
umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan perjudian
itu, biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam
hal memakai kesempatan itu;
ke-3. turut main judi sebagai mata pencaharian.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat
dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.
(3) Main judi berarti tiap-tiap permainan, yang kemungkinan akan menang pada
umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu
bertambah besar karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Main judi
mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau
permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau
main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah :
1. orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi
sebagai mata pencaharian. Misalnya seorang bandar atau orang lain yang
membuka perusahaan tanpa izin dari yang berwajib;
2. orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi
kepada umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan judi itu,
dengan atau tanpa syarat atau cara dalam hal memakai kesempatan itu, tanpa
izin;
3. orang yang turut main judi sebagai mata pencaharian
Permainan dengan kartu yang tidak dapat digolongkan dalam judi ialah : bridge,
domino, dsb yang tidak ada taruhan uangnya, sedangkan yang dapat digolongkan
kedalam judi ialah dadu, tombola, totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepak
bola, togel, dsb.
Permainan dengan kartu yang tidak dapat digolongkan dalam judi ialah : bridge,
domino, dsb yang tidak ada taruhan uangnya, sedangkan yang dapat digolongkan
kedalam judi ialah dadu, tombola, totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepak
bola, togel, dsb.
Perusakan Barang
Pasal 406 KUHP
(1) “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakkan, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan
sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan atau
dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Hukuman yang sama dijatuhkan kepada mereka yang dengan sengaja dan
secara melawan hukum, membunuh, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai
lagiatau menghilangkan seekor hewan yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain.
B. DELIK TERKAIT ORANG
Jenis tindak pidana yang dimaksudkan menyangkut harga diri dan kehormatan
orang, kesehatan orang, kemerdekaan orang maupun nyawa orang yang banyak
ditemui dan terjadi dalam masyarakat. Tindak pidana tersebut berupa
penghinaan, penganiayaan, perkosaan, pencabulan, kelalaian yang
menyebabkan orang luka atau meninggal, perzinahan, dan pembunuhan.
Penghinaan
Pasal 310 KUHP
(1) “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduh sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum, diancam pidana karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(2) “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan, atau ditempel dimuka umum, maka diancam dengan pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(3) “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”
Dalam tindak pidana menista dengan surat (smaadschrift) dan pada umumnya
dalam tindak pidana penghinaan yang dimuat dalam buku II Bab XVI KUHP, tidak
perlu adanya animus in juriandi, yakni niat untuk menghina. Berikut ini penjelasan
mengenai inti delik dalam penghinaan, yaitu:
1). Menuduh Suatu Hal
Tiada perbedaan antara pencemaran dan pencemaran tertulis dalam hal tuduhan
dilakukan secara lisan atau tertulis. Pencemaran menurut Pasal 310 (1) KUHP
dilakukan dengan cara bagaimanapun baik secara lisan atau tertulis.
Pasal 310 (2) KUHP memberikan pemberatan hukuman/pidana untuk bentuk-
bentuk tertentu dari pencemaran dilakukan secara tertulis, yang secara juridis
dinamakan “pencemaran tertulis.”
Menurut H.R. 11 Desember 1899 menuduhkan sesuatu hal yang benar adalah
pencemaran, apabila pelaku berbuat demikian tidak demi kepentingan umum
melainkan hasrat untuk menghina atau melukai orang.
Kemudian menurut H.R. 3 Mei 1937 ada “sesuatu hal” apabila hal ini dituduhkan
sedemikian rupa sehingga menunjukkan sikap konkrit yang diketahui dengan
jelas. Kelakuan ini tidak perlu pula ditetapkan dengan suatu penentuan dan
uraian yang teliti mengenai waktu dan tempatnya.
Selanjutnya H.R. 13 Oktober 1919 mengatakan kata-kata seperti “pemberian
sumpah palsu” dan “itu dia pemberi sumpah palsu“ tidak ada hubungannya
dengan suatu peristiwa tertentu, bukan merupakan tindakan sesuatu hal. Itu
hanya merupakan penghinaan ringan bukan pencemaran. H.R. 24 Juni 1929
juga mengatakan tidak terdapat suatu pencemaran, akan tetapi penghinaan
ringan
apabila syarat tuduhan tidak berisikan suatu tuduhan tentang sesuatu hal dengan
maksud untuk diketahui umum.
Pada ayat (4) diberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
penganiayaan, yaitu “dengan sengaja merusak kesehatan orang”. Kalau demikian,
maka penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa
bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian itu.
Penganiayaan
Ringan Pasal 352
KUHP
(1) Kecuali yang disebut di dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan,
jabatan atau pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Sama dengan Pasal 351 KUHP, pasal ini pun tidak membuat pengertian
atau rumusan tentang apa yang dimaksud dengan “penganiayaan”. Yang
membedakan kedua rumusan ialah rumusan pasal ini disebut penganiayaan ringan.
Penganiayaan ringan ialah yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian.
Kesengajaan disini ditujukan kepada melukai berat orang. Jadi, disini ada
bentuk khusus penganiayaan berupa kesengajaan yang ditujukan untuk melukai
berat orang dan tidak termasuk mencederai. Bukan berarti terjadinya nyeri, tetapi
luka berat. Luka berat menurut Hoge Raad diartikan “luka yang sedemikian rupa
yang tetap membawa akibat yang serius atau membawa akibat kerusakan pada
badan” (Hoge Raad, 8 Januari 1917, p.175).
Perzinahan
Pasal 284 KUHP
(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan :
ke-1. a. laki-laki yang beristeri yang berzina sedang diketahuinya, bahwa Pasal
27 KUH Perdata berlaku baginya;
b. Perempuan yang bersuami yang berzina;
ke-2. a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya
bahwa yang turut bersalah itu bersuami.
b. perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu,
padahal diketahuinya, bahwa yang turut bersalah itu beristeri dan
Pasal 27 KUH Perdata berlaku bagi yang turut bersalah itu.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami atau isteri yang terhina dan
dalam hal bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 KUH Perdata kalau dalam waktu
tiga bulan sesudah pengaduan itu ia memasukkan permintaan untuk bercerai
atau hal dibebaskan dari kewajiban berdiam serumah oleh karena hal itu juga.
(3) Bagi pengaduan itu tidak berlaku pasal 72, 73 dan 75.
(4) Pengaduan itu dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Kalau bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 KUH Perdata, maka pengaduan itu
tiada diindahkan sebelum perkawinan diputuskan karena perceraian, atau
sebelum keputusan yang membebaskan mereka dari kewajiban berdiam
serumah menjadi tetap.
Menurut pengertian umum, zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh perkawinan. Akan
tetapi menurut pasal ini zina ialah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau
suaminya. Supaya dapat dituntut menurut pasal ini, persetubuhan itu harus dilakukan
atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun.
Perkosaan
Pasal 285 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Sebenarnya jarang delik kesusilaan itu terjadi concursus, tetapi pada Pasal
285 KUHP terjadi concursus dengan Pasal 289 KUHP, yaitu dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan berbuat cabul dengan dia (J.M.
van Bemmelen-W.F.C. van Hattum, 1954 : Ibid). Jadi Pasal 285 KUHP merupakan
lex specialis, sedangkan perbuatan cabul merupakan legi generali (Hoge Raad, 19
Maret 1946, No. 259). Kalau dalam persetubuhan itu ada dua laki-laki yang
terlibat, yang satu memaksa sedangkan yang lain melakukan persetubuhan, maka
keduanya dipidana sebagai peserta (deelnemer) (T.J. Noyon-Langemeijer-
Remmilink. Komentar atas artikel 242 Sr).
Hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum pidana Belanda, tidak mengenal
perkosaan tanpa kekerasan (non forcible rape) seperti Amerika Serikat.
Bagian inti delik perkosaan harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
cocok dengan bahasa Indonesia bahwa “perkosaan” menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia 1976 susunan Poerwodarminto, perkosaan berarti :
1. Menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan,
misalnya memperkosa isteri orang, memperkosa gadis yang belum berumur.
2. Melanggar, menyerang dan sebagainya dengan kekerasan.
Perbuatan Cabul
Pasal 289 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
menyerang kehormatan, kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun”.
Pembunuhan
Pasal 338 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
bersalah melakukan pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”
Sebenarnya rumusan ini tidak memuat bagian inti tersendiri, tetapi tetap
mengacu kepada pembunuhan yang tercantum di dalam Pasal 338 KUHP. Hanya
ditambah dengan satu bagian inti yang terdiri dari beberapa alternatif. Oleh karena
itu, dalam pembuktian tetap dirumuskan tentang adanya kesengajaan yang ditujukan
kepada perampasan nyawa orang lain atau ditambah dengan diikuti, disertai, atau
didahului oleh suatu delik, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan
atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau
peserta lain daripada dalam hal tertangkap basah, ataupun untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum.
Pasal 340 KUHP inipun rumusannya sama dengan rumusan Pasal 338 KUHP
ditambah dengan satu lagi bagian inti, yaitu dipikirkan lebih dahulu (met voor
bedachterade). Sebelumnya telah diuraikan bahwa yang menentukan adanya unsur
ini adalah keadaan hati untuk melakukan pembunuhan, walaupun keputusan yang
diambil dalam hati itu sekejap saja dengan pelaksanaannya.
Jadi rumusan deliknya sama dengan rumusan delik dalam Pasal 338 KUHP,
hanya ditambah dengan bagian inti :
1. Atas permintaan orang itu sendiri (yang dibunuh)
2. Permintaan itu dengan kesungguhan hati.
Harus ada permintaan yang jelas dinyatakan oleh orang yang dibunuh, dan
permintaan itu sungguh-sungguh, bukan main-main atau dalam keadaan kurang
sadar.
Tidak disebut “dengan sengaja” dalam pasal ini tidak berarti tidak diisyaratkan
adanya kesengajaan. Kesengajaan sudah terbenih di dalam rumusan itu sendiri.
Sering pembunuhan atas permintaan sendiri ini terjadi karena orang itu sakit
keras, sehingga tidak tahan penderitaan lebih lama, dan memohon dihentikan infus
atau bantuan pernafasan (jadi, dilakukan oleh dokter atau perawat) yang disebut
euthanasia.
Pasal 345 KUHP
“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberi saran untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun jika orang itu jadi bunuh diri”.
Bagian inti delik (Delckt bestanddelen) Pasal 347 ayat (1) KUHP :
1. Sengaja.
2. Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan.
3. Tanpa persetujuan.
Masing-masing ada keadaan memperberat pidana yang tercantum di dalam ayat
(2)nya, yaitu jika perempuan itu mati. Jadi, disini ada masalah kausalitas antara
perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan yang menyangkut perlakuan
terhadap tubuh perempuan itu dan kematiannya.
C. KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA DAN KETERTIBAN
UMUM Makar
Permufakatan jahat
Pasal 110 KUHP:
(1) Permufakatan untuk melakukan salah satu dari kejahatan-kejahatan seperti
yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108 dihukum
dengan hukuman paling lama enam tahun.
(2) Hukuman yang sama dapat dikenakan juga terhadap mereka, yang dengan
maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah salah satu dari kejahatan-
kejahatan seperti yang diatur dalam pasal-pasal 104 – 108 KUHP:
1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan kejahatan itu, untuk memberikan
bantuan atau untuk memberikan kesempatan, sarana atau keterangan;
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap
bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian
lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau
kedudukan menurut Hukum Tata Negara.
Pada dasarnya pasal ini sama dengan Pasal 156 hanya pelaksanaannya
berbeda. Pasal 157 termasuk salah satu delik penyebaran (Verspreidings-delict).
Apa yang dimaksud penyebaran secara terbuka mempertunjukan dan secara
terbuka menempelkan yang artinya bahwa tulisan atau lukisan ditempatkan
sedemikian rupa sehingga umum dapat melihatnya. Jika ditempatkan disuatu tempat
yang dikelilingi pagar akan tetapi dapat dilihat oleh umum dari luar pagar juga
termasuk dalam pengertian mempertunjukan secara terbuka. Menempelkan secara
terbuka berarti tulisan atau lukisan dapat dilihat oleh umum. Supaya isinya tenar
berarti supaya diketahui oleh umum dan ketenarannya berganda berarti supaya
yang sudah tenar menjadi tenar lagi
Pencantuman “dengan maksud” disini selain menguatkan unsur
kesengajaan yang tersirat pada tindakannya juga merupakan tujuan sipenindak agar
isinya itu tenar karenanya untuk penerapan pasal ini tidak mesti sudah terwujud
ketenarannya.
Seperti halnya Pasal 137, 144, 155, 157, 163, 208, 282, 310 (2), 390 dan
534 delik ini termasuk delik penyebaran (verspreidings delict).
Pada dasarnya makna delik ini sama saja dengan delik tersebut hanya pada Pasal
160 caranya berbeda.
Apa yang dimaksud dengan menyebarkan secara terbuka mempertunjukkan atau
menempelkan supaya tenar dan supaya ketenarannya berganda.
Penyebaran suatu tulisan/lukisan berarti bahwa ada beberapa tulisan atau lukisan.
Dengan perkataan lain tidaklah mungkin menyebarkan hanya satu tulisan saja.
Berpindah-pindahnya hanya satu tulisan dari satu tangan ke tangan lainnya tidak
termasuk cakupan pengertian penyebaran. Penyebaran dapat terjadi dimuka umum
atau tidak dimuka umum. Penyebaran dapat juga terjadi melalui kantor pos atau
kantor yang berfungsi serupa dalam hal ini dapat timbul persoalan apakah Kepala
Kantor Pos tersebut telah turut serta atau membantu penindak ?.
Unsur kesalahan si Petindak tersirat pada tindakannya yang berupa menyebarkan
tulisan-penghasutan, mempertunjukkan suatu tulisan-penghasutan dimuka umum
dan lain sebagainya, yang setidak-tidaknya mengetahui isi tulisan penghasutan. Jadi
tidak harus dia sendiri yang membuat tulisan-penghasutan itu, tetapi ia mengetahui
isinya.
Pasal ini termasuk delik penyebaran yang pada dasarnya sama maknanya dengan
delik tersebut dalam Pasal 162 hanya caranya yang berbeda (Lihat uraian dalam
Pasal 162 dan 161).
Pasal ini muncul pada Tahun 1925 untuk mengatasi perbedaan pendapat
tentang pertanggunganjawab pidana bagi seorang penggerak seperti yang diatur
dalam Pasal 55 terutama dalam hal yang digerakkan itu tidak melakukan kejahatan
yang dikehendaki si penggerak. Disatu pihak para sarjana berpendapat bahwa
pertangungjawaban si penggerak terkait pada apakah si tergerak melakukan
kejahatan itu atau tidak (onzelfstandige vorm van deelneming) sedangkan di pihak
lain berpendapat bahwa pertanggungjawaban si penggerak adalah mandiri tidak
terkait pada apakah si tergerak melakukan kejahatan itu atau tidak (zelfstandige
vorm van deelneming). Kedua belah pihak masing masing mempunyai alasan dan
bahkan dasar yang kuat, sehingga untuk pemecahannya disisipkan Pasal 163 bis
dimana unsur kesalahannya berupa kesengajaan yang tersirat pada tindakan
mencoba menggerakkan dengan sarana tertentu. Unsur tindakan terlarang
mencoba menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu kejahatan tetapi
kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana untuk melakukan kejahatan itu
(ternyata kemudian) tidak terjadi. Untuk mencoba menggerakkan tersebut digunakan
salah satu sarana tersebut Pasal 55 ayat (1) ke 2
Apabila dibandingkan perumusan terlarang pada :
Pasal 160 : menghasut untuk melakukan suatu tindak pidana
Pasal 162: menawarkan suatu keterangan dan sebagainya untuk melakukan
suatu tindak pidana
Pasal 163 bis: mencoba menggerakkan (berusaha menggerakkan) untuk
melakukan suatu kejahatan.
Maka persamaannya yang jelas ialah:
Sama-sama berupa “himbauan” dengan gradasi dan cara yang berbeda
Sama-sama sudah sempurna tindak pidana atau kejahatan, asal saja tindakan itu
sudah dilakukan, kendati tindak pidana atau kejahatan tersebut tidak terjadi.
Dalam rangka penerapan Pasal 163 bis ini kemungkinan yang menjadi
kelanjutan atau akibatnya yaitu:
- Kejahatan yang dikehendaki itu tidak terjadi (karena tergantung pada kemauan si
tergerak);
- Percobaan yang dapat dipidana untuk melakukan kejahatan itu tidak terjadi atau;
- Percobaan yang tidak dapat dipidana untuk melakukan kejahatan itu tidak terjadi.
Pada ayat (2) ditentukan jika terjadinya kejahatan (atau percobaannya)
adalah atas kehendak si penggerak tersebut maka ketentuan Pasal 163 bis (1) tidak
berlaku bagi si petindak. Hal ini merupakan suatu ketentuan khusus dibandingkan
dengan ketentuan Pasal 53.
Mengenai wajib lapor sebagai norma tanpa sanksi diatur dalam Pasal 108
KUHAP. Pada ayat pertama antara lain ditentukan “setiap orang yang menyaksikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) berhak
melaporkannya kepada penyelidik/penyidik. Pada ayat kedua antara lain ditentukan
“Setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak
milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik/penyidik”.
Selanjutnya dalam ayat ketiga ditentukan setiap Pegawai Negeri dalam rangka
melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang
merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik.
Terlepas dari tiadanya sanksi pidana terhadap ketentuan tersebut terasa
ada yang kurang pas yaitu :
a. Pada ayat (1) ditentukan hak setiap orang yang menyaksikan suatu tindak
pidana untuk melaporkannya. Ini berarti bukan kewajiban.
b. Pada ayat (2) ditentukan kewajiban setiap orang yang mengetahui adanya
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran)
tertentu untuk melaporkannya.
c. Pada ayat (3) ditentukan kewajiban Pegawai Negeri mengenai pelaporan ini
ternyata lebih sedikit cakupannya (hanya tindak pidana dalam rangka
pelaksanaan tugasnya)
Apabila ketentuan Pasal 108 KUHAP ini dihubungkan dengan Pasal 164,
165 KUHP jelas terlihat ketidakserasiannya. Pada Pasal 164 dan 165 KUHP tidak
dibedakan subjek maupun objeknya. Apabila pelakunya Seorang Pegawai Negeri
jika memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 52 maka dapat dijuntokan pada
Pasal 52 KUHP.
Untuk kesengajaan petindak mencakup tindakan penglalaian
pemberitahuannya, kecukupan materi yang dilaporkannya, alamat pelapor dan
waktu yang tepat, berarti ia menyadari bahwa ia telah melalaikan, menyadari tidak
cukup materi yang diberikan dan sebagainya.
Unsur tindakan penglalaian adalah tindakan pasif yang terlarang, namun
perlu diperhatikan juga apa penyebabnya. Apabila penyebabnya karena takut
tindakan pembalasan dari pemufakatan dimana perlindungan keamanannya tidak
terjamin, hal ini setidak-tidaknya merupakan pengurangan penjatuhan pidana jika
tidak dapat dikualifikasikan sebagai peniadaan pidana. Materi yang dilaporkan harus
cukup, artinya tidak boleh didiamkan sebahagian yang dapat membuat penilaan
berbeda dari yang seharusnya. Alamat pelaporan juga harus sesuai dengan yang
ditentukan di pasal ini.
Baik mengenai subjek cakupan unsur kesengajaan bersifat melawan hukum dan
tindakan yang ditentukan Pasal 165 sama dengan Pasal 164 karenanya
pembahasan tersebut Pasal 164 dapat juga diterapkan Pasal 165 ini.
Perbedaan yang paling utama ialah :
a. Pada Pasal 164 dirumuskan sebagi yang diketahui/disaksikannya adalah
pemufakatan jahat, sedangkan pada Pasal 165 yang diketahui/disaksikannya
adalah suatu niat. Dalam hal ini adalah niat untuk melakukan salah satu
kejahatan.
- Pada Pasal 164 hanya terhadap 9 (Sembilan) pasal saja ditentukan
pemufakatan jahat tersebut, sedangkan pada Pasal 165 niat itu ditentukan
untuk melakukan salah satu kejahatan dari 55 pasal.
Yang dimaksud dengan niat adalah pengungkapan atau pencetusan kata-
kata yang lazimnya sudah merupakan bagian dari suatu keputusan hatinya
sebelumnya yang pada dasarnya bersifat mengancam untuk melakukan suatu
kejahatan.
Dilihat dari sudut ajaran mengenai percobaan dimana dibedakan antara perbuatan
persiapan dan perbuatan pelaksanaan, maka niat disini sudah ada sejak perbuatan
persiapan.
Ketentuan ini melindungi hak menempati rumah (huisrecht) yang diperolehnya dari
kenyataan menempati suatu rumah. Pertanyaan apakah penempatan ini
berdasarkan suatu hak tidaklah penting dan Pasal 167 sering dinamakan dengan
delik peresahan ketenangan rumah (huisvredebdreuk).5)
Menurut H.R. 16 Oktober 1916 ketentuan ini ditujukan terhadap perkosaan hak
seseorang terhadap beradanya disuatu tempat tanpa hak.Dengan “halaman” tidaklah
diartikan halaman dari suatu rumah.Suatu kuburan merupakan suatu “halaman”.
Menurut H.R. 7 Juni 1941 seorang laki-laki yang semenjak beberapa lama bertempat
tinggal dirumah lain, terhadap istrinya yang menempati rumah bersama dahulu, tidak
berhak selaku penyewa memasuki rumah itu secara paksa.
Unsur kesalahan adalah dolus yang tersirat pada tindakannya yang dilarang yaitu
memaksa masuk atau berada disitu dan tidak pergi dengan segera atas permintaan
dari/atas nama yang berhak. Dolus ini tidak mencakup dari tindakan itu, yang
karenanya ditempatkan/dirumuskan didepan tindakan yang mengandung unsur dolus
tersebut.
Penerapan delik ini harus dibuktikan sesuai dengan kenyataan, artinya
sipetindak harus mengetahui/menyadari apakah tindakannya itu bertentangan
dengan hak orang lain, bertentangan dengan hukum atau tidak. Misalnya apakah si
pemilik rumah yang menyewakan rumah kepada A, apabila ia memaksa masuk
kerumah itu atau tidak, tidak perlu harus diketahui si pemilik. Yang penting adalah
apakah menurut ketentuan yag berlaku ataupun menurut kenyataan lainnya tindakan
itu benar atau tidak. Demikian juga misalnya si S (suami dari J yang sudah
diceraikan S) memaksa masuk kerumah J kendati rumah tersebut berasal dari S
apakah perbuatan itu benar atau tidak, harus didasarkan kepada kenyataan atau
ketentuan hukum yang berlaku.Dan tidak disyaratkan diketahui/disadari oleh S.
Tempat dimana para Anggota DPRD bersidang yakni melakukan tugasnya menurut
hukum publik adalah terbuka untuk umum.Jika karena penundaan sidang umum
DPRD telah selesai maka umum tidak berhak lagi untuk tetap berada dalam ruangan
itu dan atas permintaan pejabat yang berwenang, dalam hal ini walikota wajib
meninggalkan ruangan tersebut.
Yang dimaksud ruangan untuk dinas umum ialah setiap ruangan yang
digunakan pemerintah untuk melayani rakyat umum atau badan-badan umum seperti
kantor kas negara, kantor pos telegram dan telepon, kantor tempat
pelaporan/pengaduan, kantor pengadilan, kantor untuk rapat, dsb. Dalam hal ini
harus diperhatikan peraturan pada kantor-kantor tersebut yang mungkin berbeda
satu sama lain. Jika untuk memasuki kantor tersebut harus antri dan tegas diawasi
pelaksanaannya maka penyelonong dapat dipandang sebagai memaksa masuk dan
apabila diluar pengetahuan si petugas si petindak sudah ada didalam dengan cara
menyelonong kemudian dimintakan supaya pergi dan ia tidak mau maka ia telah
melakukan delik ini.
Yang dimaksud pegawai negeri adalah Kepala kantor yang bersangkutan namun
kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pegawai negeri bawahannya kendati
kewenangan tertinggi ada padanya.
Jika di ruang pengadilan dimana sedang berlangsung persidangan seorang
membuat gaduh lalu diminta segera pergi tetapi ia tidak segera pergi maka dapat
terjadi pembarengan antara Pasal 168 dan 217 namun dalam penerapannya harus
dikaji kepentingan mana yang lebih dirugikan yaitu apakah perlindungan terhadap
ketertiban umum atau kepentingan pelaksana tugas penguasa umum yang
karenanya cakupan jika salah satu pasal saja yang diterapkan.
Pasal 173 dan Pasal 174 dapat merupakan menampung bagi suatu tindakan yang
kepadanya tidak dapat diterapkan ketentuan Pasal 146, 147 dan pasal-pasal yang
sepadan di Undang-undang Pemilu.
Sesuai dengan makna dari Pasal 28 UUD 45 yang sekarang sudah diamandemen
dalam hubungannya dengan pokok pikiran bahwa negara kita adalah berkedaulatan
rakyat, maka pada dasarnya untuk mengadakan suatu rapat tidak diperlukan adanya
suatu ijin terlebih dahulu naun untuk pengadaan rapat tertentu atau pengadaan rapat
dalam keadaan darurat dipandang perlu diadakan pembatasan yang karenanya
memerlukan ijin. Pembatasan tersebut diatur dalam :
a. Peraturan perkumpulan dan rapat Stb 1919/27 Pasal 5 dst.
b. Undang-undang Keadaan Bahaya, Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 pasal
18.
Pada Stb 1919/27 tsb antara lain ditentukan:
a. Rapat-rapat umum yang terbuka untuk permusyawaratan bersama adalah
terlarang, kecuali mendapat ijin dari kepala daerah (bupati) setempat.
b. Rapat-rapat umum yang tidak terbuka dan mempunyai sifat kenegaraan tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu (sekurang-kurangnya 24 jam sebelumnya)
kepada kepala daerah adalah terlarang.
c. Rapat para anggota pemakai senjata api yang dihadiri lebih dari sepuluh
orang saksi tanpa ijin terlebih dahulu dari kepala daerah adalah terlarang.
Undang-undang No. 23 Prp 1959 menentukan :
Penguasa Darurat Sipil (juga Penguasa Darurat Militer dan penguasa perang)
berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum,
pertemuan umum, arak-arakan harus dimintakan ijin terlebih dahulu. Ijin ini oleh
penguasa diberikan penuh dan bersyarat. Sedangkan yang dimaksud dengan rapat-
rapat umum atau pertemuan-pertemuan umum adalah rapat atau pertemuan (umum)
yang dapat dikunjungi rakyat umum. Kemudian ditentukan pula bahwa ketentuan
(yang diadakan) tersebut tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara
keagamaan dan adat serta rapat-rapat pemerintah.
Yang dimaksud merintangi ialah suatu tindakan yang membuat agar
seseorang itu mengundurkan niatnya untuk menghadiri rapat tersebut atau
menghambat/menghalang- halangi seseorang yang sedang pergi menuju tempat
rapat tersebut.
Rapat-rapat yang tidak dibenarkan atau dilarang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Rapat dari suatu organisasi terlarang
b. Rapat yang memerlukan ijin terlebih dahulu tetapi belum mendapatkan ijin.
c. Rapat yang terlebih dahulu harus dilaporkan tetapi belum dilaporkan.
d. Rapat yang diadakan sedemikian rupa sehingga menggangu ketertiban umum.
e. Rapat untuk melakukan tindak pidana.
Delik ini ialah delik sengaja yang tersirat pada tindakan merintangi dengan
kekerasan/ancaman kekerasan.Tindakan merintangi disini adalah melawan hukum
jika pertemuan keagamaan atau upacara keagamaan itu diijinkan.Sedangkan
merintangi pemakaman jenazah adalah juga melawan hukum jika pemakaman itu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau kebiasaan.
Pengertian merintangiadalah membuat tidak mungkin (untuk sementara)
memasuki suatu tempat sedangkan yang dimaksud dengan menghalangi ialah
mempersulit untuk memasukinya. Untuk penerapan pasal ini harus semua para
peziarah atau para pengusung dan pengantar terintangi atau dihalangi. Hanya
beberapa orang saja yang dirintangi/dihalangi sudah membuat sempurna delik ini.
Yang dimaksud dengan pertemuan keagamaan yang bersifat umum bukan
saja yang dilakukan didalam gedung atau ruangan tetapi juga di lapangan terbuka.
Penggunaan predikat yang diijinkan disini tidak berarti harus selalu ada surat ijin
tertulis, tergantung kepada peraturan yang sudah ada misalnya tidak perlu pada
setiap sembahyang Jumat di masjid, setiap pertemuan keagamaan di gereja
ataupun di rumah-rumah penganut agama itu harus selalu ada surat ijin. Pertemuan
itu dipandang sudah diijinkan kecuali ada larangan tersendiri atau secara khusus.
Pengertian Pemakaman jenazah disini harus turut diartikan “Kremasi
jenazah” (pembakaran jenazah) seperti yang terjadi di Bali. Dalam pengertian ini
juga harus termasuk pemakaman kembali jenazah (yang digali kemudian
dimakamkan lagi) seperti yang terjadi di tanah Batak.
Berbeda dengan Pasal 175 dimana unsur sengaja itu tersirat pada
tindakannya yang dikuatkan oleh caranya melakukan tindakan tersebut, maka untuk
Pasal 167 ini unsur secara sengaja dicantumkan secara tegas. Hal ini memberikan
kesempatan bagi seorang atau petugas memperingatkan seseorang yang
menimbulkan kekacauan atau menimbulkan suara gaduh untuk menghentikan
perbuatannya tersebut jika disitu ada pertemuan keagamaan dan seterusnya.Jika si
petindak tidak mengetahui/menyadari bahwa disitu ada pertemuan keagamaan dan
dia menimbulkan suara gaduh, maka pasal ini belum dapat diterapkan. Tetapi
setelah kepadanya diberitahukan hal itu namun ia masih tetap melakukan
perbuatannya berarti ia telah mengetahui adanya pertemuan keagamaan tersebut,
maka sejak saat itu telah sempurna terjadi delik ini.
Tindakan yang dilarang adalah mengganggu, yang dimaksud mengganggu adalah
perbuatan si petindak itu terutama mengakibatkan para peserta pertemuan/upacara
tersebut tidak dapat memusatkan atau tidak bisa dengan tenang/baik mengikuti
jalannya pertemuan/upacara tersebut.
Delik ini adalah delik sengaja yang tersirat pada tindakannya itu sendiri
namun mengenai apakah si petindak harus mengetahui bahwa petugas agama itu
diijinkan atau tidak dalam menjalankan tugas tersebut, para sarjana yang beraliran
legalistik berpendapat harus diketahuinya, sedangkan para sarjana yang lebih luwes
berpendapat, tidak dipersyaratkan diketahui lebih dahulu.
Pada butir ke 1 yang dimaksud dengan mengejek (bespotten),
merendahklan atau menertawakan ialah suatu tingkah laku, gerakan, dialek, cara
bicara, dsb dari si objek dan tidak menyangkut kepribadian atau kesusilaannya.
Sedangkan yang dimaksud menghina (Vide Pasal 310, 315) adalah merendahkan,
menertawakan karakter (watak), kesusilaan, perasaan dari si objek.
Yang dimaksud dengan petugas agama adalah mereka yang ditugaskan
untuk melakukan tugas keagamaan seperti Imam, Khadi, pendakwah, pastor,
pendeta, rohaniawan Islam/Katolik/Kristen/Hindu/Budha dan lain sebagainya yang
antara lain meliputi berkhotbah, memimpin sembahyang, dsb.
Dalam penerapan pasal ini pengejekan dilakukan kepada petugas agama tersebut
ketika ia menjalankan tugas keagamaan. Apakah petugas keagamaan itu
mengetahui atau tidak bahwa ia diejek tidak dipersyaratkan. Pada butir 2 yang
dimaksud mencemoohkan mencakup semua tindakan merendahkan benda-benda
untuk keperluan ibadat .Dalam hal ini dilakukan ditempat ibadat atau pada waktu
ibadat dilakukan.
Pengertian menggali disini, tidak harus yang berada dibawah tanah, tetapi juga yang
bersemanyam dilereng gunung (seperti di tanah toraja) dan termasuk juga dalam
pengertian mengambil disini, selain dari mengambil/membawa pergi suatu jenazah
dari hasil penggalian tersebut, juga jenazah yang berasal dari perumahan/rumah
jenazah seperti yang terdapat di daerah tanah batak, pesemayaman jenazah
sebelum diadakan pembakaran seperti yang terdapat di Bali atau kamar-jenazah
dirumah-rumah sakit dan lain sebagainya.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dalam hal peraturan
undang-undang diharuskan supaya memberi keterangan atas sumpah atau
mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut, dengan sengaja memberi
keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau surat, oleh dirinya sendiri atau
wakilnya yang khusus ditunjuk untuk itu.
- “Orang yang dalam hal peraturan undang-undang diharuskan memberi
keterangan atas sumpah” misalnya orang yang menjadi saksi dalam perkara
perdata atau perkara pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 147 dan 265
R.I.B. yang menentukan bahwa saksi dalam perkara perdata atau perkara pidana
harus disumpah dulu menurut agamanya.
- “Orang yang dalam hal peraturan undang-undang diharuskan memberi
keterangan yang mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut” misalnya
pembuat berita acara yang akan diteruskan ke Pengadilan.
- “Keterangan Palsu” adalah keterangan yang tidak benar atau bertentangan
dengan keterangan yang sesungguhnya.
- “Keterangan atas sumpah” berarti keterangan yang diberikan oleh orang
(pembuat berita acara) yang sudah disumpah, yakni sumpah jabatan. Apabila ia
belum melakukan sumpah jabatan, pada penutup berita acara yang dibuatnya,
harus dibubuhi dengan kalimat : “berani mengangkat sumpah di kemudian hari”.
- “Kesanggupan atau penguatan yang diperintahkan oleh undang-undang umum”
misalnya janji. Menurut L.N. 1920 No. 69 sumpah itu dilakukan menurut agama
dan keyakinan orang yang bersumpah. Suatu janji dapat disamakan dengan
sumpah.
PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS
Pasal 244 KUHP
”Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh
mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak palsu, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang atau memalsukan
mata uang atau mata uang kertas negara atau uang kertas bank, dengan maksud
untuk menjalankan atau menyuruh menjalankan mata uang atau mata uang kertas
negara atau uang kertas bank itu sebagai yang asli dan tidak dipalsukan.
- Meniru berarti membuat demikian rupa sehingga menyerupai yang asli.
- Mata uang negara ialah alat pembayaran sah dari negara yang dibuat dari logam.
- Uang kertas negara, ialah alat pembayaran sah dari negara yang dibuat dari
kertas.
- Uang kertas bank, ialah alat pembayaran sah yang dibuat oleh bank yang
ditunjuk oleh pemerintah, terbuat dari kertas.
Dalam pemalsuan alat pembayaran ini, tidak saja meliputi uang Indonesia,
tetapi termasuk juga uang negara asing. Seorang yang melukis uang kertas negara
demikian rapi sehingga sama dengan aslinya, tetapi tidak disertai suatu maksud
untuk menjalankannya sebagai uang kertas yang sah, tidak dapat dituntut dengan
pasal ini.
Termasuk “meniru uang” : mengurangi logam mata uang yang asli, kemudian
menambal dengan logam yang lain, mencetak uang kertas serupa dengan uang
resmi. Orang yang mengurangi logam mata uang, dikenakan pasal 246 KUHP.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja
mengeluarkan, menerima, menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik
Indonesia mata uang dan uang kertas negara atau uang kertas bank yang palsu atau
dipalsukan, dengan maksud untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai
yang asli dan tidak dipalsukan.
Untuk dapat dituntut dengan pasal ini, orang yang mengeluarkan, menerima,
menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik Indonesia untuk diedarkan atau
menyuruh mengedarkan sebagai mata uang dan uang kertas negara atau uang
kertas bank yang asli dan tidak dipalsukan itu harus mengetahui akan kepalsuannya.
Orang yang mengedarkan uang palsu dengan tidak mengetahui akan kepalsuannya,
tidak dihukum.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang mengurangi harga
mata uang, dengan maksud untuk mengeluarkan atau menyuruh mengeluarkan
mata uang yang sudah berkurang itu sebagai mata uang yang masih utuh.
- Yang dapat dikurangi harganya ialah mata uang yang terbuat dari logam, uang
kertas tidak dapat dikurangi. Dan yang biasa dikurangi ialah mata uang yang
terbuat dari emas atau perak.
- Cara mengurangi ialah dengan jalan mengikir mata uang tersebut, sehingga berat
timbangannya berkurang.
- Perbuatan ini dapat dihukum, apabila dilakukan dengan maksud akan
mengedarkan uang yang sudah dikurangi harganya itu sebagai mata uang yang
masih utuh.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah : orang yang dengan sengaja
mengeluarkan, menerima, menyimpan atau memasukkan ke daerah Republik
Indonesia mata uang yang telah dikurangi harganya, 5 dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai mata uang yang tidak rusak.
Mengedarkannya harus dengan unsur sengaja dan mengetahui bahwa mata uang itu
telah dikurangi harganya.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang menerima mata
uang palsu, dipalsukan atau yang dirusakkan, atau uang kertas negara atau uang
kertas bank yang palsu atau dipalsukan, dengan tidak mengetahui kepalsuan uang
tersebut, kemudian setelah ia mengetahui bahwa uang itu palsu mengedarkannya
kembali sebagai mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank yang tidak
palsu atau dipalsukan, karena ia tidak mau rugi.
Orang yang membeli sesuatu dengan uang palsu tetapi tidak diketahuinya bahwa
uang itu palsu, tidak dapat dihukum.
Perlu diingat bahwa pasal-pasal tentang pemalsuan mata uang ini juga diatur Pasal
IX sampai dengan Pasal XIII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Pemalsuan Surat
Pasal 263 KUHP
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
- yang dimaksud surat pembukti resmi (akte otentik) ialah surat yang dibuat
menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, misalnya
akte kelahiran;
- Talon adalah bahagian segi yang melekat pada kupon, yang mana sesudah
kupon-kupon yang melekat pada talon itu habis dipakai, harus diserahkan
kembali untuk mendapatkan rangkaian kupon-kupon yang baru;
- Surat untung sero (dividend) adalah laba saham yang berimbang, yang dibayar
oleh kongsi-kongsi atas surat-surat saham
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang membuat surat keterangan
dokter yang palsu atau memalsukan surat keterangan dokter, dengan maksud akan
memperdayakan kekuasaan umum atau penanggung asuransi.
Menurut L.M. terakhir tahun 1902 No. 449, maka pembawaan ternak dari satu
distrik (bahagian pemerintahan daerah dibawah kabupaten) ke distrik yang lain,
harus disertai surat pengantar yang dikeluarkan oleh Kepala Distrik (Wedana) atau
pegawai yang ditunjuk untuk itu.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialahPegawai yang membuat palsu
surat penghantar itu dan orang yang dengan sengaja memakai surat penghantar
palsu itu, dapat dikenakan pasal ini.
Pasal 274 KUHP
(1) Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan seorang
pejabat selaku penguasa yang sah, tentang hak milik atau hak lainnya atas
sesuatu barang, dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau
penggadaiannya atau untuk menyesatkan pejabat kehakiman atau kepolisian
tentang asalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud tersebut,
memakai surat keterangan itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan.
Surat keterangan yang dipalsukan dalam pasal ini ialah surat keterangan yang
pada umumnya banyak diberikan oleh pegawai pamongpraja, termasuk para
pamong desa, kepada penduduk yang akan membawa atau menjual barang-
barangnya, untuk menyatakan bahwa barang tersebut adalah milik dari penduduk itu.
Pemalsuan surat keterangan sejenis ini biasanya dilakukan untuk
memudahkan penjualan barang-barangnya gelap atau yang berasal dari kejahatan.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah “Menyimpan untuk dapat
digunakan oleh si penyimpan”dapat diartikan“menyediakan”.Perampasan barang
dalam pasal ini harus bersifat imperatif (harus dilakukan), bukan fakultatif.
Kejahatan-kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 264 No. 2 – 5, ialah
pemalsuan tentang :
- Surat utang atau surat tanda utang dari suatu negara atau sebagiannya atau dari
suatu lembaga umum;
- Sero atau surat utang, atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari suatu
perhimpunan, yayasan, perseroan atau maskapai;
- Talon atau surat untung sero (devidend) atau surat bunga uang, dari salah satu
surat yang diterangkan pada ke-2 dan ke-3, atau tentang surat pembukti yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat itu;
- Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.
Peniadaan pidana
Pasal 301 (3) KUHP
Ketentuan ayat ini merupakan peniadaan kualifikasi kejahatan pencemaran
atau pencemaran tertulis jika si pelaku melakukan tindakan itu :
a. Secara gamblang demi kepentingan umum
b. Secara gamblang untuk pembelaan diri yang sangat diperlukan (terpaksa)
Dari sudut teori peniadaan pidana, maka Pasal 310 (3) telah meniadakan unsur sifat
melawan hukum dari tindakan pelaku dalam hal tersebut a atau b diatas. Karena
tindakan tersebut atas dasar Pasal 310 (1) ini dinyatakan telah melakukan tindakan
itu, tapi tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis karena adanya
tersebut a atau b maka putusan hakim berbunyi : “ dilepas dari segala tuntutan
“(ontslag van rechtsvervolging), dan bukan “dibebaskan dari tuduhan” (Vrijspraak).
Yang dimaksud secara gamblang demi kepentingan umum ialah bahwa si
petindak memang secara jelas dan tegas menuduhkan sesuatu hal supaya umum
waspada pada oknum yang dicemarkan itu, misalnya;
- Oknum tersebut selaku direktur dari suatu perusahaan jika menghadapi pelamar-
pelamar wanita maka wanita-wanita tersebut tidak pernah lepas dari pelukan atau
cubitannya.
- Oknum tersebut suka bikin hutang dimana-mana tapi tidak pernah membayar.
Yang dimaksud dengan secara gamblang untuk pembelaan diri yang sangat
diperlukan (terpaksa) ialah untuk menghindarkan diri dari suatu kerugian yang tidak
semestinya menjadi bebannya, misalnya :
- Si pelaku didesas-desuskan telah menghamili seseorang wanita (sekretaris dari
bosnya) lalu ia mengungkapkan siapa sebenarnya yang telah melakukannya.
- Si pelaku didesas-desuskan menerima pemberian (suap) lalu ia mengutarakan
apa yang sebenarnya terjadi yang menyangkut pihak ketiga (yang dicemarkan).
Pada umumnya mengenai ketentuan pada Pasal 312 ini telah dimasukkan
dalam uraian Pasal 311. Yang perlu diingat bahwa Pasal 312 ini tidak hanya
dikaitkan dengan Pasal 311 untuk menentukan adanya fitnah atau tidak, tetapi juga
tertuju kepada Pasal 310 untuk memutuskan apakah hal itu dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Disini kita lihat seakan-
akan ada pembalikan beban pembuktian (omkeering van bewijslast) yaitu mengenai
tugas pembuktian itu seharusnya menjadi beban dari penuntut umum, disini
terdakwa justru dibebani pembuktian. Hal ini bukanlah pembebanan pembuktian
melainkan memberi kesempatan kepada terdakwa untuk mengutarakan
keadaan yang sebenarnya, sedangkan hakim tidak terikat kepada pembuktian
tersebut melainkan hanya digunakan sebagai bahan pertimbangan membentuk
keyakinannya untuk membuat keputusan yang adil.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 313 ditentukan bahwa apabila yang
dituduhkan terdakwa adalah merupakan delik aduan, misalnya seseorang dokter
pegawai negeri ahli kandungan, dalam menjalankan tugasnya (sering) melakukan
perzinaan, maka kebolehan pembuktian hanya jika diadakan pengaduan oleh wanita
yang disetubuhi.
1. Putusan pengadilan haruslah didasarkan pada tuduhan yang dalam perkara ini
berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata yang tertera dalam surat
tuduhan lebih banyak ditujukan kepada Pasal 310 KUHP.
2. Berdasarkan tuduhan antara lain “bahwa PT. Tjahaja Negeri telah ditutup
terdakwa, dan apabila menyaksikan kematian PT. Tjahaja Negeri tersebut
supaya datang dan bila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh PT Tjahaja
Bank Gemary atau barang-barang yang tanggungan PT. Tjahaja agar segera
diangkut demi keamanan barang-barang tersebut.” Terdakwa dinyatakan
bersalah melakukan tindak Pidana 315 KUHP, meskipun kata-kata tersebut lebih
banyak ditujukan terhadap Pasal 310 KUHP (M.A. No. 68 K/Kr/1973 tanggal 16-
12-1976 ) 11)
Dalam perkara ini penuntutan terdakwa atas pasal 315 KUHP dapat dibenarkan,
sekalipun tidak ada pengaduan, tidak ada pengaduan disini adalah karena saksi
yang bersangkutan tidak mengerti/buta hukum dan dalam hal demikian penuntut
umum harus mengusahakan adanya pengaduan itu (M.A. No. 393 K/Kr/1981
tanggal 30-12-1982).
Kata-kata yang bersifat penghinaan terhadap ajaran Ketuhanan yang diberikan oleh
seorang guru besar, bukan merupakan penghinaan pribadi terhadap guru besar itu
(H.R. 24 Pebruari 1902).
Merupakan penghinaan adalah pernyataan-pernyataan yang menurut umum
menunjukan sikap tidak menghormati seseorang seperti “gila”, “bajingan”, “Badut”,
dsb (H.R. 27 Juni 1898)
Jika pasal ini dirumuskan dengan terperinci maka berbunyi : Barangsiapa
yang dengan sengaja melakukan suatu penghinaan yang tidak bersifat pencemaran
atau pencemaran tertulis terhadap seseorang :
a. Dimuka umum dengan lisan atau tulisan.
b. Dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau suatu tindakan nyata (feitelijkheid)
atau
c. Dengan surat yang dikirim atau diterimakan
kepadanya. Diancam karena penghinaan ringan.
Karena penempatan unsur dengan sengaja didepan, maka semua unsur yang
mengikutinya disadari terdakwa/pelaku. Tindakan yang dilarang adalah melakukan
penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis.
Bahwa yang dimaksud dengan penghinaan pada dasarnya adalah merusak
kehormatan atau nama baik seseorang. Jika dilakukan dengan menuduhkan sesuatu
hal/tindakan, disebut sebagai pencemaran atau pencemaran tertulis. Dan jika yang
dituduhkan itu tidak benar disebut sebagai fitnah. Penghinaan yang tidak dengan
menuduhkan sesuatu hal/tindakan disebut sebagai penghinaan ringan atau
bersahaja.
Dalam Pasal 315 dirumuskan tiga cara penghinaan yaitu pertama dengan lisan atau
tulisan dimuka umum. Yang dimaksud dengan dimuka umum (in het openbaar)
adalah : disuatu tempat dimana umum dapat mendengar ucapan (lisan) atau melihat
tulisan. Tulisan disini termasuk juga gambar atau karikatur yang dapat dibaca orang
sebagai penghinaan. Si pelaku dapat mengucapkan/meneriakkan penghinaan itu
atau menunjukan/menempelkan penghinaan itu jika berupa surat/gambar telah
diperbanyak lebih dahulu. Cara yang kedua dengan lisan atau tindakan nyata
pada kehadiran (in de tegenwoodigheid)orang itu sendiri. Yang dimaksud
dengan kehadiran orang itu ialah dihadapan orang itu sendiri, dimuka orang itu
sendiri, yang dapat didengar orang itu sendiri baik terhalang maupun tidak terhalang
tetapi terdengar dengan jelas. Suatu tindakan nyata (feitelijkheid) adalah suatu
gerakan atau suatu isyarat bukan juga suatu tindakan memegang-megang kepala
orang yang dihina itu dimana jelas terasa penghinaan pada tindakan nyata. Cara
ketiga ialah dengan mengirim surat (surat terbuka atau tertutup) yang berisikan
penghinaan ataupun secara langsung menerima surat yang berisikan penghinaan
kepada siterhina.
Pasal ini mengingatkan dan senada dengan Pasal 310 (1) tentang
pencemaran dan Pasal 310 (2) tentang pencemaran tertulis. Bedanya ialah bahwa
sasaran/objek pada delik ini adalah orang yang sudah mati yang diperandaikan
masih hidup. Karena Pasal 310 ini terdiri dari 3 ayat maka ayat ke 3 tersebut juga
berlaku dalam penerapan pasal ini. Berarti jika si pelaku melakukan delik
pencemaran kepada seorang yang sudah mati demi kepentingan umum dan karena
terpaksa beladiri maka tindakannya itu dikualifikasikan sebagai pencemaran. Namun
dalam penerapan delik ini tidak diberlakukan ketentuan kebolehan pembuktian atas
kebenaran tuduhan, yang dengan demikian benar atau tidaknya yang dituduhkan itu
dalam rangka penentuan telah terjadi fitnah tidak dipersoalkan. Selanjutnya apabila
si pelaku hanya melakukan penghinaan ringan terhadap si orang mati tersebut tidak
dapat diterapkan pasal ini
Delik ini merupakan delik aduan. Yang berhak mengadukan ditentukan
adalah keluarga atau isteri (suami) yang masih hidup dari si mati dan belum bercerai
ketika si mati masih hidup. Mengenai pengertian dari keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus (tanpa terbatas derajat) ataupun dalam garis
menyimpang yang dibatasi hanya sampai derajat kedua.
Suatu karangan juga merupakan suatu tulisan jika berisikan gambar-gambar. Orang
yang mengedarkannya tidak perlu hendak menghina dengan sengaja; adalah cukup
bahwa ia mempunyai alasan kuat untuk menduga bahwa isinya adalah menghina
(H.R. 7 Juni 1937).
Delik ini termasuk penyebaran (verspreidings misdrijven). Pasal ini tergabung
kejahatan penghinaan terhadap sasaran (objek) yang masih hidup dan kejahatan
pencemaran (saja) terhadap yang sudah mati.
Tindak pidana yang diuraikan dalam buku ini hanya pokok-pokoknya saja
dan hanya mengenai delik-delik tertentu yang kemungkinan besar akan banyak
ditemui dalam praktek di masyarakat. Sudah barang tentu masih jauh dari memadai
untuk dapat diterapkan di dalam kehidupan masyarakat yang setiap waktu
berkembang, baik sebagai subyek kejahatan maupun obyek kejahatannya.
Untuk dapat memahami dengan baik isi buku ini masih diperlukan referensi
yang lain yaitu : asas-asas hukum pidana dan dengan menerapkan contoh-contoh
kasus yang aktual serta yurisprudensi yang berkembang dalam kehidupan peradilan
di Indonesia, baik dari Mahkamah Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi.
Selamat belajar, semoga berhasil.
DAFTAR PUSTAKA