Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERDATA


Tugas Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata
(Dosen : Iwan Kurniawan S. Ag Msi )

OLEH
SUSI

KELAS HUKUM SYARIAH


SMESTER 5

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASSALAMIYAH


SERANG BANTEN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu
sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak
yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai
kepastian, keadilan, dan kepastian hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak member dasar-dasar yang cukup kepada
hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan
dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat
ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada
prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih
dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam
hukum acara perdata.
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa dan bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ?
2.      Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?
BAB II 
PEMBAHASAN

1.      Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana
dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali
ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya
dengan tugas hakim dalam mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak.
Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan
keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu
diketahui oleh hakim, diantaranya :
a.       Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh
hakim.
b.      Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan
lebih lanjut.
c.       Pengetahuan tentang pengalaman. [1]
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal
1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa
untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”[2]
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang telah dikecualikan diatas,
Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai arti yuridis. Seperti yang
diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia,
membuktikan berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Lebih lanjut Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan


pembuktian ilmiah adalah semata-mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian
yuridis adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitive, yakni keputusan yang
pasti, dan tidak meragukan serta mempunyai keputusan hukum. Putusan pengadilan harus
objektif sehingga tidak ada pihak yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak
lainnya.  
Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam acara perdata diatur
dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam HIR dan Rbg adalah
hokum pembuktian yang materiil maupun formil.[3]
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan maka yang harus
dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah menemukan
peristiwanya atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum terhadap peristiwa yang
tersebut, kaitan antara peristiwa dan hukum yang ada tersebut.
Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah kebenarannya dimana
kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim tidak boleh melampaui batas
yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim tidak melihat kepada bobot atau isi, akan
tetapi kepada luas daripada pemeriksaan oleh hakim. 
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang
dituntut.[4]
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara
atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.[5]
Sesuai pasal 283 HIR “Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau
suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan
hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163)”[6]
Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat
maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib
membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan
kebenaran bantahannya. [7] Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang
dapat merupakan pedoman bagi hakim.
1.      Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)[8]
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang
mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang
negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
2.      Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan
hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku
mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau
untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang
dikemukakan itu.”
3.      Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta
kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa
yang diajukan.
4.      Teori Hukum Publik[9]
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan
kepentingan publik.
5.      Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para
pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai macam alat bukti akan dibahas di
poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan saksi ahli. 
2.      Macam-macam Alat Bukti
Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan
perkembangannya.

2.1  Pengertian Alat Bukti dan Perkembangannya.


Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang
masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat
bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil
gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat
bukti tertentu.[11] Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini adalah masih
berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak
bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang
telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti,
dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara seperti Belanda[12], telah terjadi perpindahan pola
pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka.
Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi.
Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu  saja melainkan
dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya
dan tidak mertentangan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan
sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.
Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia
ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para
pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena sampai
sekarang pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar 
yang disebutkan Undang-Undang.
\
2.2  Macam-macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat
bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang
telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh
undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-
persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
a.       Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau
hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis
diantaranya sebagai berikut.
Pertama  adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang
dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat
sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta
otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.[14] Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat
haruslah ditandatangani.
Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868
KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh
atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang
membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut
Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai
akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah
tangan.[15]
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para
pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang
berkepentingan.[16]
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana
menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
a.      Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b.     Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
c.     Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit
dua pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah
tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[17] Oleh
karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk
pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
a.       Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
b.      Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya,
ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun
membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti
salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya
alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[18]
c.       Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912
BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang
peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[19]
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia
alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah
termasuk dalam suatu kesaksian.
d.      Alat bukti persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui
umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau
presumptive.

e.       Alat bukti pengakuan


Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH
Perdata pasal 1923-1928.
Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan
persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-
diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal
alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu
peristiwa.[21]
f.       Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut
akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan
diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan
dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
g.      Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan
setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata.
Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya
memiliki maksud sebagai berikut :
a.       Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat
dipindahkan ke tempat objek yang diperkarakan.
b.      Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat
barang itu terletak.
c.       Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang  anggota Majelis yang
bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.[22]
h.      Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu
dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang
bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus
dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of  knowledge”. [23]
Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia :
a.       Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi
b.      Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
c.       Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta
melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary people).[24]
Dari pengertian diaatas tidak  semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi
jika dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan
bidang yang disengketakan.
BAB III 
PENUTUP

Kesimpulan
-          Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya
diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang
mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu
atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.”
-          Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara
atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
-          Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki
kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang
diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah
hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
-          Macam-macam Alat Bukti
a.       Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau
hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis
diantaranya sebagai berikut.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat
sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta
otentik dan akta dibawah tangan.
b.      Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912
BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang
peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
c.       Alat bukti persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui
umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
d.      Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH
Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak
diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
e.       Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut
akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan
diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan
dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
f.       Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan
setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata.
Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR
g.      Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu
dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang
bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus
dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of  knowledge”.  Dari
pengertian diaatas tidak  semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan
dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang
disengketakan.
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang Udang Hukum Perdata


Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII)
Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van het Nedherlands Burgerlijk Recht, Vijfde Deel : Van
Bewijs, N.V. Uigevers Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. 1953.
Reglement Biusten Govesten (RBg)
Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)
[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 132- 133
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (RhedBook Publisher), 422
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 137
[4] Reglement Biusten Govesten (RBg), 18
[5] Opcit, 139
[6] Opcit,  47
[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 142
[8] Asser – Anema – Verdam, 64
[9] Ibid, 72
[10] Kitab Undang Udang Hukum Perdata (RhedBook Publisher), 422
[11] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 554
[12] Opcit, 555
[13] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 556
[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 149
[15] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 566
[16] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 158
[17] Opcit, 607
[18] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),  616-622
[19] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),  166
[20] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),  684
[21] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),  181
[22] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 781
[23] Ibid, 789
[24] Ibid, 790

Anda mungkin juga menyukai