Anda di halaman 1dari 6

Kontroversi Asuransi di Indonesia : Telaah Fatwa Majelis Ulama

Judul
Indonesia (MUI) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Nama Jurnal Tsaqafah
Download http://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v12i1.370
Volume dan
Vol. 12, No 1 Hal 105-130
Halaman
Tahun 2016
Penulis Husni Mubarrak
Reviewer Erriza Aidatul Choirotunnisa (33020180098)
Tanggal 13 Desember 2018

Asuransi merupakan satu dari sekian pilar penting yang menunjang


perkeonomian, disamping sector perbankan. Asuransi bukan saja dapat
mengumpulkan capital dalam jumlah yang besar melalui pembayaran
premi oleh para peserta, namun asuransi juga dapat memberdayakan
dan memfungsikan dana yang masuk tersebut dengan skema investasi
untuk kemudian digunakan untuk pembayaran klaim dan keuntungan
bagi peserta asuransi. Di Indonesia kebutuhan pengadaan asuransi
adalah keniscayaan sebagai wujud perlindungan dan pertanggungan
bagi warga negara perserta asuransi, serta dapat membantu pembiayaan
pembangunan melalui dana asuransi yang diinvestasikan. Demikian
pula dengan BPJS yang diadakan sebagai perlindungan dan pelayanan
sosial bagi warga negara Indonesia. Kemunculan BPJS pada awalnya
tidak menimbulkan silang pendapat mengenai kelegalannya, namun
Latar Belakang ketika fatwa dari MUI muncul pada 9 Juni 2015 ( 21 Sya’ban 1436H)
dan Tujuan yang di dalamnya mempertanyakan keabsahan dan kesesuaian praktik
Penulisan BPJS Kesehatan dengan syari’at Islam. Sekurang-kurangnya ada tiga
rumusan masalah yang melatari terbitnya fatwa tersebut antara lain :
1. Kesesuaian konsep dan praktik BPJS dengan peraturan
perundang-undangan dan prinsip syariah
2. Solusi pengganti alternatif apabila BPJS terbukti tak memenuhi
kualifikasi syariah compliant
3. Motif penetapan denda 2% atas keterlambatan pembayaran
iuran yang dianggap bertentangan dengan syariat
Namun dalam fatwa itu sendiri tidak ditemukan kata “haram” yang
disebutkan oleh MUI, sebagaimana yang tersebar di berbagai media,
tentang keharaman BPJS dalam fatwa MUI, yang dirasa dapat
mengancam pemahaman, keharmonisan, dan kerukunan umat
beragama, yang dapat menimbulkan keretakan sosial di tengah
masyarakat.
Artikel ini memiliki kepentingan untuk mengamati lebih mendalam
mengenai tinjauan asuransi dalam perspektif syari’at Islam melalui
studi kasus Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan.
Selain itu, dalam artikel ini juga mengkaji lebih jauh mengenai alasan
dari dibolehkan ataupun tidak dibolehkannya asuransi konvensional
dalam perspektif syari’at Islam. Kemudian ditutup dengan model solusi
alternatif untuk pemgembangan asuransi BPJS Kesehatan Indonesia
kedepannya yang diharapkan berlandaskan serta relevan dengan
ketentuan syari’at.
Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun artikel ini adalah
Metode Penulisan
Deskriptif Analisis
1. Studi literatur yang membahas tentang kajian hukum asuransi
konvensional
2. Fatwa ulama Dunia Islam (termasuk Indonesia) mengenai
asuransi konvensional
Rumusan Masalah
3. Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan beserta argumennya
4. Alternatif model pengembangan asuransi BPJS Kesehatan
sesuai dengan ketentuan syari’at
5. Kesimpulan dan saran
1. Studi literatur yang membahas tentang kajian hukum
asuransi konvensional
Dari berbagai kajian studi, baik dalam bentuk personal maupun
koneferensi, pandangan hukum Islam mengenai asuransi konvensional
di kalangan Muslimin dikelompokkan menjadi empat tahap :
a. Identifikasi dan konstruksi pemahaman atas permaslahan
asuransi yang baru masuk dan berkembang di Dunia Islam
pada awal abad ke-XIXM
b. Keputusan pengharaman asuransi konvensional
c. Kajian alasan pengharaman asuransi konvensional
d. Upaya untuk mencari solusi alternatif sebagai ganti daripada
asuransi konvensional
Dari berbagai alasan pengharaman asuransi konvensional, secara umum
Pembahasan
pendapat yang mendominasi adalah transaksinya yang menggunakan
akad mu’awadhah (saling mengganti), antara pihak penanggung
(insurer) yaitu perusahaan asuransi dan pihak tertanggung (insured)
yaitu peserta asuransi yang telah membayar premi dan berhak
mendapatkan klaim, hal ini sesuai dengan asuransi yang kelak
dimaknakan sebagai perjanjian anatara dua pihak atau lebih, dimana
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan. Keharaman skema akad mu’awadhah pada asuransi
konvensional disebabkan oleh transaksinya yang tidak lepas dari unsur
maysir,gharar, dan riba,tiga hal yang sangat dilarang dan harus dijauhi
dalam bertransaksi.
2. Fatwa ulama Dunia Islam (termasuk Indonesia) mengenai
asuransi konvensional
Dalam lingkup kajian ilmu syariah, asuransi adalah persoalan dalam
ranah muamalah yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan
hajat hidup sesame manusia. Sebab itu hukum yang menyangkut
muamalah cenderung lebih fleksibel dan tidak kaku, karena hukum
dasar yang menaunginya adalah boleh (ibahah) asalkan dalam praktek
muamalah tersebut tidak mengandung unsur larangan-larangan dalam
syariat. Maka jika ditinjau secara syariat, praktek asuransi konvensional
secara konsep dan pemikiran tidaklah bertentangan dengan syariat
Islam, namun dalam praktek dan sistem operasionalnya asuransi
konvensional tidak terlepas dari pelbagai unsur larangan seperti maysir,
gharar, dan riba yang diharamkan dalam syariat Islam. Dari berbagai
fatwa yang dikeluarkan institusi keagamaan di berbagai negara seperti
Saudi Arabia, Mesir, Malaysia, termasuk juga Indonesia
mengharamkan asuransi jenis perniagaan (konvensional). Bahkan ada
yang menawarkan alternatif untuk menggunakan asuransi ta’awuniy. Di
Indonesia, dari berbagai fatwa yang dikeluarkan berbagai organisasi
Islam memiliki kesamaan pandangan dalam hal :
a. Kesamaan dan kesatuan pendapat bahwa asuransi konvensional
diharamkan secara syariat
b. Model asuransi ta’awuny (koperasi) pada masa 80-an dan 90-an
dianggap lebih sesuai dengan syariat yang berkeadilan dan terhindar
dari berbagai unsur yang dilarang oleh syariat.
Dari berbagai fatwa yang dikeluarkan, dapat dipahami bahwa
keunggulan asuransi yang sesuai dengan syariat Islam bukan hanya
karena bersumber dari ajaran agama wahyu, namun juga sejalan dengan
prinsip syariat yang mengandung keadilan, hikmah, dan maslahat bagi
manusia.
Mengenai kekosongan model asuransi yang memenuhi ketentuan
syariat pada waktu itu, maka model asuransi ta’wuny (Fatwa
Muhammdiyah), dan model takaful (Fatwa Persis) dipertimbangkan
untuk kemudian dikembangkan dalam studi lebih lanjut mengenai
konsep dan aplikasinya untuk menggantikan operasional asuransi sosial
yang dikelola oleh pemerintah yang masih dijalankan secara
konvensional.
3. Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan
Sejatinya, fatwa dalam ranah syariah lebih bersifat pemberitahuan
hukum yang sifatnya tidak mengikat, namun fatwa MUI tahun 2015
tentang BPJS Kesehatan, apabila diteliti lebih jauh adalah penegasan
ulang serta penguatan atas fatwa yang pernah diterbitkan pada 2011
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Dalam fatwa mengenai
BPJS Kesehatan, MUI mempertanyakan keabsahan dan kesesuaian
praktik BPJS Kesehatan dengan syariat Islam melalui 3 rumusan
masalah :
a. Kesesuaian konsep dan praktik BPJS Kesehatan dengan konsep
syariat Islam
b. Solusi alternative apabila BPJS Kesehatan tak memenuhi
kualifikasi ketentuan syariat
c. Motif penetapan denda 2% atas keterlambatan pembayaran
iuran peserta yang bertentangan dengan syariat
Sehingga dalam fatwa ini yang dipermasalahkan adalah sitem
operasional BPJS yang menggunakan akad mu’awadhah yang tidak
menjamin dalam penanganannya terlepas dari unsur “MaGhRib”
(maysir, gharar, dan riba) sehingga ditawarkan solusi alternatif yang
tertera dalam fatwa MUI 2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah.
Mengenai proses pembuatan dan penerbitan fatwa, sebagai mana fatwa
MUI lainnya, dimulai dengan deskripsi masalah sebagai pengenalan
sebelum penetapan hukum; rumusan masalah; ketentuan hukum; dasar
penetapan dengan mengemukakan dalil dari Al-Qur;an dan al-Sunnah;
pendapat ulama dan fatwa-fatwa yang telah ada sebelumnya; serta
diakhiri dengan rekomendasi atau solusi alternatif. Secara keilmuan
fatwa MUI tentang BPJS juga telah memenuhi kualifikasi. Sedangkan
mengenai waktu (timing), fatwa ini dikeluarkan seiring dikeluarkannya
kebijakan BPJS oleh pemerintah, maka sesuai kapasitasnya MUI
memberikan masukan dan pertimbangan untuk meminimalisir segala
kemungkinan atas ketidaksesuaian penerapan asuransi dengan konsep
syariat Islam. Sehingga fatwa dari MUI mengenai BPJS seharusnya
tidak dinilai dalam konteks sempit sebagai pilihan hukum yang terlalu
politis, apalagi dianggap sebagai perngobralan fatwa secara mudah,
karena bagaimanapun fatwa tersebut tetaplah melalui proses keilmuan
yang berat serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
4. Takaful : Alternatif Model Pengembangan Asuransi Syariat
Asuransi muncul pertama kali di Dunia Barat yang kemudian diekspor
ke Dunia Timur (kebanyakan wilayahnya didiami oleh Muslimin),
bukan berarti secara konsep dan operasional syariat Islam tidak
mengenal asuransi. Karena dalam ranah muamalah dimana asuransi
termasuk di dalamnya dalam pengembangannya kembali kepada
kreativitas dan inovasi manusia dan menyesuaikan dengan syariat yang
telah menetapkan garis besar; rambu serta prinsip yang harus dijaga dan
diperhatikan.
Konsep yang mesti dijalankan adalah asuransi yang terlepas dari unsur
“MaGhRib” dengan tujuan mewujudkan pertanggungan bersama atas
segala resiko yang mungkin terjadi antara peserta, bukan memindahkan
resiko dari peserta asuransi kepada perusahaan pengelola. Dengan
demikian meniscayakan perubahan akad mu’awadhah (konvensional)
menjadi akad takafuliy (saling berkorban, saling menolong), dengan
konsep ini pola relasi antara peserta dengan perusahaan pengelola
adalah wikalah (mewakilkan) dimana peserta berperan sebagai
muwakkil (yang mewakilkan) memberikan dana asuransi kepada
perusahaan pengelola (wakil) untuk disimpan dan dikembangan sesuai
dengan syariat, kemudian atas jasa pengelolaan tersebut perusahaan
berhak mendapat bagian (fee) atas kerjanya yang secara syariat dalam
satu akad utuh, ‘aqd wakalah bi al-ujrah. Dana asuransi tersebut dibagi
menjadi dua bentuk :
a. Rekening tabungan : dikembangkan secara mudarabah ( pengelola
sebagai amil dan peserta sebagai sahib al-amil)
b. Rekening tabarru’ (charity) sebagai dana kebajikan untuk saling
menolong dan menutup klaim peserta yang terkena resiko atau
musibah.
Dalam asuransi berbasis syariah, :
a. Masalah gharar diatasi dengan mengganti akad tabdduli
(pertukaran) yang menggunakan relasi “penanggung-
tertanggung” antara perusahaan dan peserta menjadi akad
takfuliy (saling menanggung) yang diwujudkan dengan adanya
rekening tabarru’
b. Unsur maysir dieliminir karena asuransi dengan asas syariat
yang terlepas dari unsur gharar dengan adanya keikhlasan
peserta atas bagian tertentu dari dana asuransi yang dikhususkan
pada rekening tabarru’, sehingga tidak ada satupun yang merasa
dirugikan.
c. Bahaya riba dihilangkan dengan menginvestasikan dana dari
peserta kepada pengelola dengan menggunaka akad
mudharabah (bagi hasil) dengan porsi pembagain telah
disepakati sebelumnya.
Pengelolaan asuransi kesehatan maupun jaminan sosial lainnya dengan
model tafakul ini telah dipraktekkan dan berkembang luas di berbagai
Negara Muslim seperti Sudan, Malaysia, dan lainnya. Menjadi penting
untuk diperhatikkan bahwa keunggulan dari asuransi yang berasaskan
syariat Islam tak hanya karena ia berasal dari ketentuan Tuhan, namun
juga sejalan dengan nilai, prinsip, dan semangat syariat dalam
mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bagi manusia
Fatwa MUI tahun 2015 mengenai BPJS Kesehatan apabila dianalisis
lebih dalam merupakan wujud dari penegasan kembali fatwa serupa
yang telah diterbitkan MUI tahun 2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah, serta menguatkannya. Didalamnya MUI
mempertanyakan keabsahan dan kesesuaian praktik BPJS Kesehatan
dengan ketentuan syariat Islam. Karena sistem operasional dalam
menjalankan BPJS dianggap masih terikat dalam kerangka asuransi
Kesimpulan konvensional dengan pemakaian akad mu’awadhah dimana dengan
akad ini tak bisa menjamin penangangan asuransi tersebut bisa terlepas
dari unsur maysir, gharar, dan riba yang sangat dilarang oleh syariat.
Dengan demikian ditawarkan asuransi dengan sistem tafakul sebagai
solusi alternative dalam mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bagi
setiap warga Negara, terlebih kaum Muslimin.
Sebagai kajian lanjutan, direkomendasikan studi lanjut tentang
penerapan asuransi takaful kepada asuransi sosial dengan kajian teori
dan praktik di berbagai Negara Muslim secara komparatif, sehingga
kajian tentang asuransi syariah mencapai tahapan aplikatif.
1. Abstrak, di dalam artikel ini, abstrak dipaparkan dalam dua
bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sehingga
memudahkan pembaca dalam memahami permasalahan yang
akan dibahas dalam artikel ini, serta mampu memberi gambaran
mengenai hal-hal apa saja yang akan dibahas didalamnya melalu
kata kunci yang tertera.
2. Pendahuluan, di bagian ini penulis memberikan alur masuk
yang jelas dan detail meskipun dipaparkan secara singkat,
namun tak mengurangi esensi daripada gagasan yang hendak
dibahas dan disampaikan. Selain itu, penulis juga
mengemukakan tujuan yang diharapkan melalui penulisan
artikel ini, sehingga pembaca dapat mengetahui apa yang
diinginkan penulis dengan menulis artikel ini dengan baik.
3. Pembahasan, pada bagian ini rumusan-rumusan masalah yang
telah dikemukakan sebelumnya dapat dikemukakan dengan
runtut, berkesinambungan, sederhana, dan jelas. Dengan kajian
sumber-sumber materi yang relevan dan berbobot sehingga
Pendapat Personal
kredibilitas didalam pembahasan gagasan ini dapat
dipertanggungjawabkan. Serta penulis tak lupa menyisipkan
penjelasan mengenai beberapa istilah asing yang dirasa akan
dapat menimbulkan kebingungan dari para pembaca seperti
istilah maysir,gharar, dan riba yang berkali-kali dibahas di
dalam artikel ini.
4. Di bagian ini, secara singkat penulis memberikan analisis dan
kesimpulan dari materi yang dipaparkan sebelumnya, serta
menyertakan saran mengenai studi yang sekiranya relevan
dalam mewujudkan tujuan dari penulisan artikel ini.
Sehingga, secara keseluruhan artikel ini sangat menarik untuk
dibaca, selain karena materi yang dibahas didalamnya sangat erat
kaitannya dengan kehidupan kita sebagai Hamba Allah sekaligus
sebagai warga Negara yang memiliki hukum, namun juga karena
kemampuan penulis menyampaikan materi secara sederhana, jelas,
dan mudah dipahami. Diharapkan dapat menambah wawasan bagi
para pembaca.

Anda mungkin juga menyukai