Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia sebagai makhluk yang berakal dan
beradab terikat dalam berbagai norma-norma dan nilai-nilai yang diakui serta ditaati.
Bahkan, keharusan dalam menjalani kehidupan sesuai dengan norma-norma yang berlaku
secara mutlak bersifat mengikat, dalam artian lingkup kehidupan yang dinaungi oleh sebuah
norma dan aturan maka, manusia yang hidup di dalamnya berkewajiban menaatinya. Dari
norma-norma yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka
kemudian muncullah aturan-aturan serta larangan-larangan yang secara umum berlaku untuk
membatasi tingkah laku manusia agar mampu menjalani hidup yang relevan dengan norma
yang diakui dan disepakati bersama serta adanya sanksi yang diberikan atas pelanggaran dari
aturan-aturan tersebut. Peraturan dan larangan tertentu yang berlaku dalam suatu kehidupan
masyarakat beserta sanksi-sanksi yang mengikutinya tersebutlah yang secara umum
dipahami sebagai hukum oleh manusia.1

Berbicara mengenai hukum, maka tak menutup kemungkinan ketika muncul pertanyaan-
pertanyaan dalam lingkup hokum itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Dari manakah
hukum yang mengikat itu berasal?”, atau “ Mengapa hukum tersebut harus ditaati?”.
Sehingga dari kedua pertanyaan ini, dapat menimbulkan konsepsi atas interpretasi mengenai
“Sumber Hukum” yang berbeda, ketika kita dihadapkan dengan persoalan definisi sumber
hukum, maka dapat kita misalkan dengan pertanyaan mengenai “Sumber Air”. Ketika kita
ditanyai mengenai sumber air, maka yang akan muncul dalam pemikiran kita adalah, dari
mana asal munculnya air, atau sesuatu yang menimbulkan aliran air. Maka, dapat kita
simpulkan secara teoritis, ketika muncul pembahasan mengenai “Sumber Hukum”, maka

1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta 1986. Hlm. 35
hal-hal yang akan dibicarakan adalah mengenai asal munculnya suatu hukum, sehingga
mengantarkan kita kepada definisi “Sumber Hukum” secara epistemologis. 2

Sumber hukum dapat dikaji melalui dua cara diantaranya adalah, sumber hukum yang
dikaji dari berbagai disiplin ilmu yang ada, dan hasilnya akan menjawab pertanyaan
mengenai kekuatan dalam hukum yang menjadikannya bersifat mengikat, atau disebut
sebagai “Sumber Hukum dalam arti Materiil”. Yang kedua adalah sumber hukum yang dikaji
dalam lingkup asal suatu hukum yang sifatnya mengikat tersebut, sehingga akan muncul
jawaban atas pertanyaan “ Dimana dapat ditemukan sumber hukum yang bersifta mengikat
tersebut?”, yang kemudian disebut sebagai “Sumber Hukum dalam arti Formil”.3

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Apakah definisi dari sumber hukum?
1.2.2. Bagaimanakah Sumber Hukum dalam arti Marteriil?
1.2.3. Bagaiamanakah Sumber Hukum dalam arti Formil?

1.3 Tujuan
1.3.1. Menjelaskan definisi sumber hukum secara materiil dan
1.3.2. Sumber Hukum secara Materiil yang dikaji dari berbagai sudut pandang disipin
ilmu
1.3.3. Menjelaskan macam-macam Sumber Hukum secara Formil

1.4 Manfaat
1.4.1. Pembaca diharapkan mampu mengetahui dan memahami definisi Sumber Hukum
secara materiil maupun formil

1.4.2. Pembaca diharapkan mampu memahami sumber hukum secara materiil yang
dikaji dari berbagai disiplin ilmu

1.4.3. Pembaca diharapkan mampu memahami macam-macam hukum secara formil

2
Farkhani, Pengantar Ilmu Hukum , STAIN Salatiga Press, Salatiga 2014. Hlm. 71
3
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2001. hlm.57
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum adalah kata yang digunakan untuk menjawab dua pertanyaan
yaitu,“ Mengapa hukum itu mengikat?” pertanyaan ini dimaksudkan untuk menjawab
pertanyaan mengenai kekuatan sumber hukum hingga mengikat dan manusia mau
mematuhinya. Jawaban dari pertanyaan ini mengarahkan kita kepada definisi sumber
hukum secara material. Kemudian yang kedua adalah untuk menjawab “ Dimana kita
dapat menemukan aturan-aturan hukum yang bersifat mengikat itu?”. Jawaban yang
akan diperoleh dari pertanyaan tersebut dapat kita mengerti sebagai sumber hukum
dalam artian yang formal.4

Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala apa saja yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa,
yakni, aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan saksi yang tegas dan nyata.5

Van Apeldorn membedakan 4 macam sumber hukum, yaitu :


1. Sumber hukum dalam arti Historis, yakni tempat dimana kita
menemukan hukumnya dalam sejarah.
2. Sumber hukum dalam arti sosiologis, merupakan faktor-faktor yang
menentukan isi hukum positif.
3. Sumber hukum dalam arti filosofis, yang menjadi alasan mendasar
mengapa hukum itu timbul.

4
Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup
Berlakunya Hukum Buku 1, P.T. Alumni, Bandung 2009. Hlm. 59-60
5
C.S.T. Kansil, op.cit. hlm 46
4. Sumber hukum dalam arti formil, dilihat dari proses atau terjadinya
hukum ditengah masyarakat.6

Arti sumber hukum :

1. Sebagai asas hukum, yaitu yang menjadi permulaan hukum.


2. Menunjukkan hukum terdahulu dan menjadi bahan hukum yang
kemudian.
3. Sumber berlakunya memberi kekuatan secara formal kepada peraturan
hukum.
4. Sumber dimana kita dapat mengenal hukum.
5. Sumber terjadinya hukum. Atau sumber yang menimbulkan hukum7

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumber hukum adalah, segala


faktor yang mendasari timbulnya suatu hukum, termasuk tempat dimana hukum
itu dapat ditemukan. Pada hakikatnya, sumber hukum adalah tempat dimana kita
dapat menemukan dan menggali hukum.

Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sumber hukum materiil dan
sumber hukum formil.

2.2 Sumber Hukum dalam Arti Materiil

Menurut Kansil sumber hukum materiil dapat dilihat dari berbagai macam faktor,
misalnya faktor ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya.8

Dibawah ini akan dibahas Sumber Hukum dalam Arti Materiil yang dikaji dari
berbagai disiplin ilmu tersebut :

6
Farkhani, loc. cit.
7
Sumber-sumber Hukum diakses dari http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.com/2013/06/sumber-sumber-
hukum.html
8
C.S.T. Kansil, loc. cit.
1. Seorang ahli ekonomi akan mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan
ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa, yang
menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat.9
3. Sejarah hukum terus berkembang dari waktu ke waktu, perkembangan
tersebut tidak luput dari peran gejala-gejala serta perubahan sosial, sehingga
dari segi sejarah, hukum secara materiil dapat diperhatikan dari sudut
pandang sejarah dengan :
- Sumber Pengenalan Hukum, yakni seluruh dokumentasi, tulisan, inskripsi
dan sebagainya.
- Menggunakan dokumen-dokumen, surat-surat, dan keterangan yang
memuat berbagai jenis aturan yang dianggap mampu berkembang dengan
menyesuaikan perkembangan sosial.10
4. Sumber hukum materiil secara filsafat, adalah sumber hukum yang dikaji atas
berbagai pertanyaan-pertanyaan yang mendasar mengenai kata hukum itu
sendiri, seperti “apa hakekat hukum?”, “apa tujuan hukum”, “mengapa
hukum harus ditaati?” dan sebagainya. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan diperoleh makna hukum secara konkrit.
5. Sumber hukum materiil dari sudut pandang agama, bagi para ahli agama,
sumber hukum adalah kitab suci, seperti Al-Qur’an, Injil, Zabur maupun
Taurat. Karena kitab-kitab suci tersebut memuat bahan-bahan hukum serta
mengatur bagaimana hukum tersebut ditegakkan.11

2.3 Sumber Hukum dalam Arti Formil


Sumber hukum dalam arti formil bertalian dengan masalah atau persoalan
dimanakah kita bisa mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan atau kaidah-
kaidah hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat.12

9
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, loc. cit.
10
Farkhani, op. cit. hlm. 72
11
Farkhani, Ibid., hlm. 74
12
Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, op. cit. hlm. 59-60
Sumber-sumber hukum formal antara lain :
1. Undang-undang (Statute)
2. Kebiasaan (Costum)
3. Keputusan-keputusan hakim (Juripundentie)
4. Traktat (Treaty)
5. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)13
6. Agama

2.3.1 Undang-undang ( Statute)


Undang-undang adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat diadakan dan diperlihara oleh penguasa negara.14
Undang-undang dapat diartikan dengan dua cara, yakni secara materiil dan
formil :
a. Undang-undang secara materiil
Menurut Kansil, undang-undang secara materiil adalah segala
ketetapan dan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah secara isi dan
peraturannya mengikat setiap penduduk secara langsung.15
Menurut Paul Laband, undang-undang secara material ialah penetapan
suatu kaidah hukum dengan tegas, sehingga hukum tersebut bersifat
mengikat.
Untuk itu harus ada dua unsur yang dipenuhi :
- Anordung : Penetapan peraturan dengan tegas yang menjadi hukum dan
bersifat mengikat.
- Rechtssatz : peraturan kaidah itu16
b. Undang-undang secara formil
Undang-undang secara formil dapat diartikan sebagai segala
peraturan yang dibentuk dan disusun oleh lembaga kenegaraan yang

13
C.S.T Kansil, loc.cit.
14
C.S.T. Kansil, loc.cit.
15
C.S.T. Kansil, Ibid., hlm.47
16
Farkhani, op. cit., hlm.76
memiliki wewenang dalam pembentukannya, dan memastikan undang-
undang tersebut berlaku sebagaimana mestinya.17

1. Syarat berlakunya suatu undang-undang


a. Syarat mutlak diberlakukannya suatu undang-undang apabila telah
diundangkan dalam suatu Lembaran Negara (staatblad) yang pada
umumnya diberi nomor urut beserta tahun terbitnya.
b. Umumnya, tanggal berlakunya undang-undang sesuai dengan yang
tertulis dalam staatblad tersebut. Namun apabila tidak disebutkan
tanggal berlakunya, maka undang-undang tersebut berlaku pada hari
ke-30 setelah diundangkan.
c. Ditentukan waktu berlakunya dengan adanya peraturan lain.18

Pada saat syarat-syarat yang tiga tersebut telah dipenuhi, maka asas
“fictie hukum” yaitu, setiap orang dinilai telah mengetahui dan
memahami diberlakukannya suatu undang-undang tersebut resmi berlaku.
Sehingga apabila ada seseorang yang melanggar undang-undang tersebut,
ia tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan : “
Saya tidak tahu-menahu adanya undang-undang tersebut”.19

2. Berakhirnya undang-undang
Sebuah undang-undang dapat dikatakan telah berakhir masa berlakunya
apabila :
a. Jangka waktu berlaku yang ditentukan oleh undang-undang itu sudah
lampau
b. Keadaan atau hal yang diatur dalam suatu undang-undang sudah tidak
ada lagi

17
Farkhani, loc.cit.
18
Farkhani, Ibid., hlm. 77
19
C.S.T. Kansil, loc.cit.
c. Undang-undang tersebut dengan tegas telah dicabut oleh lembaga
maupun instansi yang membuat dan atau yang lebih tinggi
d. Telah diadakan undang-undang baru yang isinya berlainan atau
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku sebelumnya20
e. Dicabut dengan tegas oleh undang-undang yang sejenis. Contoh : UU
No.62 tahun 1958 dicabut dengan tegas oleh UU No.12 tahun 2006
yang keduanya mengatur tentang kewarganegaraan. Adanya sebuah
kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku,
atau undang-undang tersebut tak lagi ditaati, dan atau undang-undang
yang berlaku bertentangan dengan agenda pembangunan.21

3. Materi muatan Undang-undang


a. Mengatur lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 meliputi : hak-hak
asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan
penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara,
wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan,
serta keuangan negara.
b. Adanya perintah pengaturan suatu undang-undang oleh undang-
undang yang lainnya.22
4. Mekanisme Legalisasi Undang-undang
DPR atau Presiden mengajukan suatu Rancangan Undang-
undang.RUU yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri atau
LPND (Lembaga Pemerintah non Departemen sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya. Kemudian RUU diajukan kepada DPR
dengan didampingi Surat Presiden serta ditegaskan oleh menteri yang
mewakili Presiden dalam pemabahasan RUU di DPR. Batas waktu
pembahasan RUU oleh DPR adalah 60 har semenjak Surat Presiden
diterima.

20
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, hlm.58-59
21
Farkhani, loc.cit.
22
Farkhani, Ibid, hlm. 77
RUU yang diajukan olh DPR, disiapkan oleh DPR disampaikan
dengan adanya surat pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden menunjuk
menteri yang mewakili dalam pembahsan RUU, dalam waktu 60 hari
sejak surat Pimpinan DPR diterima.
Peran DPD dalam Persiapan Pembentukan Undang-undang yaitu,
DPD memiliki kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR
mengenai hal yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan
daerah, dan lain sebagainya.
Dalam pembahasan RUU oleh DPR bersama Presiden atau menteri
yang mewakili melalui berbagai tingkat pembicaraan dalam rapat
komisi/alat kelengkapan DPR yang berwenang dan bertugas khusus
menangani legislasi serta dalam rapat paripurna.
DPD ikut serta dalam Pembahasan RUU yang sesuai
kewenangannya, dalam berbagai rapat yang ada, juga DPD memberikan
pertimbangan kepada DPR megenai RUU yang mengatur APBN, pajak,
pendidikan dan agama.23
5. Pengesahan UU
Setelah RUU disetujui bersama oleh DPR dan Presiden,
disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi
UU paling lambat adalah 7 hari setelah tanggal persetujuan bersama.
RUU disahkan oleh Presiden dengan menandatangani dalam
jangka waktu 30 hari sejak disetujui. Jika tidak ditandatangani dalam
jangka waktu 30 hari, maka RUU tersebut sah menjadi sebuah UU yang
wajib diundangkan.
Beberapa asas hukum yang menjadi dasar dalam pemberlakuan
undang-undang :
a. Undang-undang tidak berlaku surut yaitu, Undang-undang yang baru
saja berlaku tidak dapat diberlakukan kepada peristiwa dan perbuatan
hukum yang ada sebelum Undang-undang tersebut diberlakukan.

23
Farkhani, Ibid, hlm. 78
b. Lex superiorderogate legie inferiori, yakni Undang-undang yang
dibuat oleh lembaga yang memiliki kedudukan lebih tinggi, memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dibanding Undang-undang yang dibuat
oleh lembaga yang kedudukannya lebih rendah.
c. Lex specialis derogat lex generalis, maksudnya adalah Undang-
undang yang mengatur persoalan khusus lebih utama dibandingkan
dengan Undang-undang yang bersifat umum.
d. Lex posteriori derogat legi priori, adalah undang-undang yang baru
menggantikan kedudukan undang-undang yang lama, apabila
mengatur hal yang sama.

2.3.2 Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang


dalam hal yang sama. Kebiasaaan tertentu atau perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang dan diterima dalam suatu masyarakat, sehingga perbuatan yang
berlawanan dengan kebiasaan yang berlaku dapat dianggap sebagai pelanggaran
perasaan hukum, demikianlah dapat muncul suatu kebiasaan hukum.24

Dalam sudut pandang hukum, kebiasaan yang ada dalam masyarakat yang
bernilai positif kemudian diindahkan dan ditaati selayaknya menaati hukum
positif, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebiasaan merupakan bagian dari
sumber hukum yang berlaku. Dalam kehidupan sosial ada kebiasaan atau adat
yang bersendikan hukum yang kemudian dikenal dengan hukum adat. Sedangkan
kebiasaan yang berkembang dalam suatu masyarakat dan tidak bersendikan
hukum disebut dengan adat istiadat.

Menurut Marwan Mas, suatu kebiasaan dapat manjadi hukum adat yang tidak
tertulis dengan syarat, :
a. Syarat materiil : Kebiasaan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus.

24
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, op. cit. hlm.60
b. Syarat psikologis : Masyarakat meyakini kebiasaan tersebut masuk akal untuk
dijadikan suatu kewajiban.
c. Syarat sangsi : Adanya suatu sangsi apabila kebiasaan tersebut dilanggar.

Perbedaan prinsipal antara Hukum Kebiasaan dan Hukum Adat :

a. Hukum kebiasaan tidak tertulis, sedangkan hukum adat sebagian besar


tertulis.
b. Hukum kebiasaan lahir dari kontrak sosial dunia timur dan dunia barat yang
disatukan dalam suatu hukum nasional, sedangkan hukum adat berasal dari
kehendak nenek moyang, agama maupun tradisi masyarakat.25

Pertanyaan yang muncul adalah haruskah hukum kebiasaan diberlakukan?


Menurut pasal15 Algemene Bepalingen van Watgeving voor Indonesia (AB) “
Kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-undang menunjuk
pada kebiasaan untuk diperlakukan”, jadi hakim harus memakai kebiasaan dalam
hal-hal UU yang menunjuk kepada kebiasaan.26

2.3.3 Keputusan Hakim (jurispundentie)

Jurispudensi adalah keputusan-keputusan hakim terdahulu menjadi


patokan bagi hakim-hakim lain yang sesudahnya pada masalah yang sama.
Beberapa macam Jurispudensi :
a. Jurispudensi tetap : keputusan hakim yang terjadi atas rangkaian
keputusan yang sejenis dan menjadi dasar pengadilan (standard-arresten)
dalam mengambil keputusan.
b. Jurispudensi tidak tetap : semua keputusan hakim terdahulu yang tidak
menjadi standard arresten

25
Farkhani, op. cit. hlm 80-81
26
C.S.T. Kansil, op.cit. hlm. 49
c. Jurispudensi semi-yuridis : semua keputusan hakim yang diajukan dan
diminta oleh seseorang, dan ketetapan tersebut hanya berlaku bagi sang
pemohon.
d. Jurispudensi administratif : surat edaran Mahkamah Agung yang hanya
berlaku secara administratif dan mengikat internal pengadilan.27

Seorang hakim yang mengikuti keputusan hakim yang terdahulu dengan


keyakinan dan sependapat dengan keputusan yang ada. Dan keputusan tersebut
hanya dijadikan sebagai pedoman dalam pemutusan perkara yang serupa.

2.3.4 Traktat (Treaty)

Traktat adalah suatu perjanjian antar negara, yaitu perjanjian internasional


yang dilakukan oleh 2 negara atau lebih, dan mengikat setiap warga negara dari
masing-masing negara yang menjadi peserta perjanjian tersebut.28 Traktat sifatnya
mengikat setiap warga negara peserta secara otomatis, berdasarkan pada asas
Pacta Sunt Servanda.

Macam-macam traktat :
a. Traktat Bilateral : Perjanjian yang diadakan oleh dua negara.
b. Traktat Multilateral : Perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua negara.
c. Traktat Koletif/terbuka : Apabila ada traktat multilateral dan memberikan
kesempatan bagi negara yang tidak turut mengadakan perjanjian pada
permulaannya.

Traktat dapat dijadikan sebagai hukum formil apabila telah diratifikasi oleh
negara. Dalam beberapa hal ratifikasi hanya dapat dilakukan dengan perstujuan
DPR, yaitu :

a. Masalah politik yang mempegaruhi arah politik luar negeri.

27
Farkhani, op.cit. hlm. 83-84
28
Farkhani, op. cit. hlm. 81
b. Masalah yang ada dalam UUD 1945 dan sistem perundang-undangan
Indonesia harus diatur kembali dengan undang-undang.
c. Ikatan kerjasama dan pinjaman luar negeri yang dapat mempengaruhi
kebijakan politik baik dalam negeri maupun luar negeri.29

Selain dari ketiga persoalan diatas, pemerintah dapat melakukan perjanjian


dengan negara lain tanpa harus dengan persetujuan DPR. Dua bentuk traktat
dalam hubungan internasional :

a. Treaty : perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk disetujui


sebelum diratifikasi oleh presiden.
b. Agreement : perjanjian yang telah diratifikasi olehh Presiden baru
kemudian disampaikan kepada DPR untuk diketahui.

2.3.5 Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Doktrin adalah hukum yang diciptakan oleh orang yang pandai serta pendapat
dan ajaran yang disampaikan oleh ahli hukum yang diakui kredibilitas dan
kapabilitasnya oleh masyarakat dalam hal hukum.30

Doktrin dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil dan menentukan


hukum walaupun frekuensi penggunaannya tidak setinggi 4 sumber hukum
sebelumnya. Terutama dalam hubungan secara Internasional pendapat-pendapat
ahli hukum memiliki peran yang besar, serta menjadi sumber hukum yang sangat
penting.

Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of


the International Court of Justice) pasal 38 ayat 1 , disebutkan beberapa pedoman
yang berlaku dalam menimbang dan memutus perselisihan, yaitu :
a. Perjanjian-perjanjian internasional (International conventions)

29
Farkhani, Ibid. hlm. 82
30
C.S.T. Kansil,op.cit. hlm.51
b. Kebiasaan-kebiasaan internasional (International customs)
c. Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab ( The general
principles of law recognised by civilised nations)
d. Keputusan hakim ( Judical decisions) dan pendapat-pendapat sarjana
hukum.31

2.3.6 Agama

Sumber hukum agama adalah hukum yang bersumber pada nilai-nilai


yang tertuang dalam kitab-kitab suci. Mayoritas ahli hukum tidak menggolongkan
agama dalam sumber hukum formil, namun Prof. Ahmad Ali selalu
menyampaikan dalam kuliah-kuliah hukumnya, bahwa agama adalah salah satu
sumber hukum formil.32

31
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, op. cit. hlm.64
32
Farkhani, op.cit. hlm. 85
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sumber hukum adalah, segala faktor yang mendasari timbulnya suatu hukum,
termasuk tempat dimana hukum itu dapat ditemukan. Pada hakikatnya, sumber hukum adalah
tempat dimana kita dapat menemukan dan menggali hukum. Jadi, sumber hukum adalah
seluruh faktor determinan yang mempengaruhi timbulnya suatu hukum yang kemudian
bersifat mengikat dan mutlak untuk ditaati.

Sumber hukum ada dua macam, sumber hukum secara materiil dan formil. Sumber
hukum dalam arti materiil adalah sumber-sumber hukum yang dapat dikaji melalui berbagai
macam disiplin ilmu, seperti ekonomi,filosofis, sejarah, agama dan sebagainya.

Sedangkan sumber-sumber hukum dalam arti formil adalah masalah atau persoalan
dimanakah kita bisa mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah
hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Yaitu, Undang-undang,
Kebiasaan, Keputusan-keputusan hakim, Traktat, Pendapat Sarjana Hukum, Agama.

3.2 Saran
Demikian makalah mengenai “Sumber Hukum” yang bisa kami paparkan.
Makalah ini jauh dari kata sempurna namun kami sebagai penulis berharap makalah ini
membantu memperkaya wawasan pembaca mengenai “Sumber Hukum”.

Anda mungkin juga menyukai