Anda di halaman 1dari 241

SOSIOLOGI HUKUM

Penulis:
M. CHAIRUL BASRUN UMANAILO, M.Si

i
BUKU AJAR
SOSIOLOGI HUKUM

Penulis
M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si
Judul Buku : Sosiologi Hukum
Nama : M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si
NIPS : 137 030 233
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Universitas : Iqra Buru
Alamat e-mail : chairulbasrun@gmail.com

SOSIOLOGI HUKUM
vii + 167 hal; 14,8 x 21 cm

Hak Cipta @ M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si. 2016

Cetakan I, November 2013 (Belum ber-ISBN)


Cetakan II, Maret 2016
Penerbit
FAM PUBLISHING

ISBN
978-602-335-213-5

ii
Kata Pengantar

Menjalani aktifitas sebagai sivitas akademika,

tentunya kita akan menyaksikan banyak fenomena-

fenomena yang terjadi dalam masyarakat, dan itulah

realitas yang semestinya kita pikirkan. Banyak hal yang

kemudian bisa kita analisa dan memberikan kontribusi

untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali

Sosiologi Hukum.

Buku ini berupaya menyajikan berbagai gambaran

umum serta kajian materi yang sederhana namun

komprehensif, setidaknya dapat membantu mahasiswa

untuk memahami proses belajar dan proses penciptaan

pemahaman.

Tulisan yang sederhana, coba ditampilkan dengan

tujuan untuk menggugah rasa keingintahuan mahasiswa,

agar nantinya upaya untuk menyempurnakan

pemahaman Sosiologi Hukum lebih terjewantahkan lewat

berbagai kajian yang ada pada buku ajar ini.

Banyak hal yang kemudian penulis rasakan belum

terakomodir dalam penulisan buku ajar ini yakni

iii
perkembangan terupdate menjelang akhir tahun 2013

hingga saat buku ini diterbitkan, dengan harapan besar

untuk tahun-tahun mendatang akan bisa lebih

disempurnakan lagi.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada mereka yang telah memberikan dorongan moral,

khususnya, Istri tercinta, Yusmidar Umanailo serta kedua

anak-anakku, Annisa Retrofilia Umanailo dan Askar Daffa

Sophia Umanailo, yang selalu mendorong dan

memberikan kekuatan moral selama penulisan buku ajar

ini. Tak lupa kepada mahasiswa-mahasiswa saya tercinta

di Fakultas Hukum Universitas Iqra Buru yang mau

membantu memfasilitasi berdiskusi selama penyusunan

penulisan.

Melalui kajian-kajian dalam buku ini, sekiranya ada

nilai lebih yang bisa kita dapatkan bersama-sama, dan

semoga juga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Tidak

lupa, penulis harapkan adanya dinamika berpikir yang

lebih konstruktif demi perbaikan dalam buku ini, maka

saran kritik sangat penulis harapkan.


Namlea, Maret 2016

M. Chairul Basrun Umanailo, S.Sos.,M.Si


iv
Daftar Isi

Sampul ………………………………………........................................... i
Identitas Penulis ……………………..……………….………..………... ii
Kata Pengantar …………….................…………………………........... iii
Daftar Isi ………………………………...............……………...…….…….. v
Glosarium ………………………………............………………………...... vi
Bahan Pelajaran I Pemahaman Dasar Tentang
Sosiologi Hukum...............................……......................................
1
Bahan Pelajaran II Sejarah dan Perkembangan
Sosiologi Hukum .............................……....…......…................…..
21
Bahan Pelajaran III Pendekatan dan Aliran Yang
Ada Dalam Sosiologi Hukum........…….................................... 31
Bahan Pelajaran IV Paradigma-Paradigma
Dalam Sosiologi Hukum ..................................……………… 47
Bahan Pelajaran V Teori-Teori Sosiologi Hukum …….. 66
Bahan Pelajaran VI Hukum dan Solidaritas Sosial…..... 98
Bahan Pelajaran VII Hukum dan Perubahan Sosial……. 177
Bahan Pelajaran VIII Hukum dan Pembangunan
di Indonesia............ ………………………………………………………. 134
Bahan Pelajaran IX Perencanaan Penelitian
Sosiologi Hukum ......................……...................…………..…….. 155
Daftar Pustaka ….......................................……..….…............... 165

v
Glosarium
Civil Law Sistem hukum yang berkembang di dataran
Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini
adalah, penggunaan aturan-aturan hukum
yang sifatnya tertulis.
Das sein Merupakan peristiwa konkrit yang terjadi
Das sollen Segala sesuatu yang merupakan keharusan,
atau yang mengharuskan kita untuk berpikir
dan bersikap tindak secara tertentu dalam
menghadapi pekerjaan atau masalah tertentu.
Deskriptif Bersifat deskripsi; bersifat menggambarkan
apa adanya
Difusi hukum Penyebaran hukum di kalangan masyarakat
agar diketahui dan dipahami meskipun belum
tentu ditaati oleh warganya
Dimensi hukum Segi hukum yg menjadi pusat tinjauan ilmiah
Egosentris Menjadikan diri sendiri sebagai titik pusat
pemikiran (perbuatan); berpusat pada diri
sendiri (menilai segalanya dari sudut diri
sendiri)
Fakta Hal (keadaan, peristiwa) yg merupakan
kenyataan; sesuatu yg benar-benar ada atau
terjadi
Fungsionalisme Teori yg menekankan bahwa unsur-unsur di dl
suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling
bergantung dan menjadi kesatuan yg
berfungsi; doktrin atau ajaran yg menekankan
manfaat kepraktisan atau hubungan
fungsional
Hukum positif Adalah Peraturan hukum yang berlaku pada
saat ini/ sekarang untuk masyarakat dari
dalam suatu daerah tertentu. Ius
Constitutum merupakan hukum yang berlaku
untuk suatu masyarakat dalam suatu tempat
pada suatu waktu tertentu
Hukum Peraturan atau adat yg secara resmi dianggap
mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau
pemerintah; 2 undang-undang, peraturan, dsb
untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat; 3 patokan (kaidah, ketentuan)
mengenai peristiwa (alam dsb) yg
tertentu; 4 keputusan (pertimbangan) yg
ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis;

vi
Integritas Mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan
yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yg memancarkan kewibawaan; kejujuran;
Komprehensif Bersifat mampu menangkap (menerima) dng baik;
luas dan lengkap (tata ruang lingkup atau isi);
mempunyai dan memperlihatkan wawasan yg luas
Kontekstual Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat
yang dapat mengandung atau menambah kejelasan
makna. Kontekstual adalah makna kata yang sesuai
dengan konteks nya.
Metafisika Ilmu pengetahuan yg berhubungan dng hal-hal yg
nonfisik atau tidak kelihatan
Objek hukum Objek atau kepentingan yg dilindungi dalam hukum

Objektifikasi Adjektiva objektifikasi (komparatif lebih objektifikasi,


superlatif yang paling objektifikasi) Diperlakukan
sebagai objek
Positivisme Positivisme hukum (dihitung dan tak terhitung,
positivisms hukum plural) Sebuah sekolah pemikiran
dalam yurisprudensi di mana hukum dipandang
sebagai terpisah dari nilai-nilai moral
Positivisme Sebuah sistem filsafat berasal oleh Tengah August
Comte, yang berkaitan dengan hanya positif. Ini
tidak termasuk dari filsafat segala sesuatu tetapi
fenomena alam atau sifat-sifat hal dapat diketahui,
bersama dengan hubungan mereka berubah-ubah
koeksistensi dan suksesi, seperti yang terjadi dalam
ruang dan waktu.
Preskriptif Bersifat memberi petunjuk atau ketentuan; (2)
bergantung pada atau menurut ketentuan resmi yg
berlaku
Strukturalisme Sebuah teori sosiologi yang memandang elemen
masyarakat sebagai bagian dari kohesif, struktur
mandiri. (Biologi) Sebuah sekolah pemikiran biologis
yang berhubungan dengan perilaku hukum seperti
struktur organisme dan bagaimana hal itu dapat
berubah, menekankan bahwa organisme keutuhan,
dan karena itu perubahan dalam satu bagian harus
selalu mempertimbangkan sifat saling terkait dari
seluruh organisme
Yurisprudensi Hukum berdasarkan putusan hakim yang
mengandung kaidah hukum tertentu yang dijadikan
ajaran, pedoman dan/atau diikuti oleh hakim lain
dalam memutuskan perkara yang serupa atau
sejenis
vii
BAHAN PEMBELAJARAN I
Pemahaman Dasar Tentang Sosiologi Hukum
A. Pendahuluan
Sosiologi Hukum merupakan cabang yang termuda

pada pohon ilmu pengetahuan hukum dan usianya yang

muda itu tampak pada hasil-hasilnya yang hingga kini masih

sedikit (Alpeldoorn, 1983:425). Itu disebabkan karena ilmu

pengetahuan yang baru itu harus mempertahankan diri

pada dua kancah perang, sebab hak hidupnya sebagai ilmu

pengetahuan yang berdiri sendiri ditentang baik oleh para

ahli Hukum maupun oleh para ahli Sosiologi.

Sosiologi Hukum tidak pertama-tama hendak

mempelajari hukum sebagai perangkat norma atau

sejumlah kaidah khusus yang berlaku, itu adalah bagian dari

kajian-kajian ilmu hukum yang dikonsepkan dan dibataskan

sebagai Jurisprudence.

Sosiologi Hukum adalah cabang kajian khusus dalam

keluarga besar ilmu-ilmu sosial yang disebut Sosiologi.

Kalaupun Sosiologi Hukum juga mempelajari hukum

sebagai seperangkat kaidah khusus, maka yang dikaji

bukanlah kaidah-kaidah itu sendiri melainkan kaidah-kaidah

positif dalam fungsinya yang diperlukan untuk menegakkan

ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat dengan

1
segala keberhasilan dan kegagalanya (Wignjosoebroto,

2002).

Dibalik semua itu, tidak perlu dipertentangkan

konsepsi dasar bagaimana Hukum ataupun Sosiologi

mendeterminasi setiap pemahaman yang berlaku didalam

terminologi masing-masing. Ada kekhawatiran akan muncul

segmentasi metodologis yang semakin membuka jarak

egosentris kedua disiplin tersebut semakin melebar. ada

pemaknaan yang sangat berarti ketika konstruksi

pemahaman Sosiologi Hukum dibangun dengan

mengakulturasikan hukum pada ranah subtansi sementara

Sosiologi berada pada metodologi yang saling terkait.

Alhasil, Sosiologi Hukum sebagai suatu disiplin yang mandiri

tidak akan terdeterminasi oleh Hukum maupun Sosiologi

bahkan termarjinalkan tapi sebaliknya mampu menjadi

disiplin yang memiliki integritas dan kerangka pikir yang

konstruktif serta metodologi yang semakin baik.

Sering yang terjadi pada kajian-kajian yang selalu

menafsir secara subjektifitas integritas dari Sosiologi Hukum,

sebagaimana dikuti Ada beberapa faktor sebagai penyebab

kurangnya perhatian para Sosiolog terhadap hukum

(Mastur, 2013);

Pertama : Para Sosiolog mengalami kesulitan untuk


menyoroti sistem hukum semata-mata
2
sebagai himpunan kaedah-kaedah yang

bersifat normatif sebagimana halnya

dengan para yuris. Para Sosiolog sulit

menempatkan diri dalam normatif karena

Sosiologi merupkan suatu disiplin yang

kategoris.

Kedua : Pada umumnya para Sosiolog dengan

begitu saja menerima pendapat bahwa

hukum merupakan himpunan peratuaran-

peraturan yang statis. Hal ini tercermin

pada pertanyaan-pertanyaan yang

biasanya diajukan para ahli hukum; hukum

apakah yang mengatur Perpajakan, hukum

apakah yang mengatur penanaman modal

asing dan lain sebagainya.

Ketiga : Sosiolog sering mengalami kesulitan untuk

menguasai keseluruhan data tentang

hukum yang demikian banyaknya yang

pernah dihasilkan oleh beberapa generasi

ahli-ahli hukum.

Keempat: Lambatnya perkembangan Sosiologi

Hukum adalah kesulitan-kesulitan

terjadinya hubungan antara para Sosiolog

dengan para ahli hukum karena kedua


3
belah pihak tidak mempergunakan bahasa

dan kerangka pemikiran yang sama.

Sosiologi Hukum diperlukan dan bukan

merupakan penanaman yang baru bagi

suatu ilmu pengetahuan yang telah lama

ada.

Dalam kajian Soejono Soekanto, suatu fakta yang

merupakan penghalang besar terhadap hubungan antara

Sosiologi dengan Hukum dan pada kahirnya menyebabkan

lambatnya perkembangan Sosiologi Hukum adalah

kesulitan-kesulitan terjadinya hubungan antara para

Sosiolog dengan para ahli hukum, karena kedua belah pihak

tidak mempergunakan bahasa dan kerangka pemikiran yang

sama.

Bahasa yang dimengerti oleh pihak-pihak yang

mengadakan hubungan, merupakan suatu persyaratan

mutlak bagi terjadinya dan berhasilnya komunikasi antara

pihak-pihak tersebut. Hal itu menyebabkan ketidakpastian

pada pihak-pihak yang mengadakan hubungan, sehinga

sulit untuk mengadakan pendekatan yang interdisipliner.

Sulitnya komunkasi antara seorang Sosiolog dengan ahli

hukum dipertajam dengan kenyataan, bahwa masing-

masing mempunyai pusat perhatian yang berbeda.

4
Sosiologi Hukum sebagai ilmu pengetahuan, maka

haruslah berbeda denan pengetahuan yang non-ilmiah,

untuk itu Sosiologi Hukum sebagai ilmu pengetahuan

memiliki konsekuensi yang harus dipenuhi yaitu:

1. Sosiologi Hukum harus memiliki proses yang

merupakan aktivitas penelitian, yang terdiri dari

rasional, kognitif, dan teleologis.

2. Sosiologi Hukum harus memiliki aktivitas berupa

metode ilmiah paling tidak menyangkut pola-

pola, analitis, penggolongan, perbandingan dan

survey.

3. Sosiologi Hukum sebagai ilmu harus merupakan

produk pengetahuan yang sistematis (Utsman,

2013:87).

5
B. Uraiaan Bahan Pembelajaran
Defenisi Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum adalah satu cabang dari Sosiologi

yang merupakan penerapan pendekatan Sosiologis

terhadap realitas maupun masalah-masalah hukum. Oleh

karena itu harus dipahami bahwa Sosiologi Hukum bukanlah

suatu cabang dari studi ilmu hukum, melainkan cabang dari

studi Sosiologi. Sosiologi Hukum berkembang atas dasar

suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsungnya di

dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan

masyarakat (Chairuddin, 1991:30).

Sosiologi Hukum adalah bagian dari Sosiologi Jiwa

manusia yang menelaah sepenuhnya realitas Sosial Hukum,

dimulai dari hal-hal yang nyata dan observasi perwujudan

lahiriah, di dalam kebiasaan-kebiasaan kolektif yang efektif.

Sosiologi Hukum menafsirkan kebiasaan-kebiasaan ini dan

perwujudan-perwujudan materi hukum berdasarkan intinya,

pada saat mengilhami dan meresapi mereka, pada saat

bersamaan mengubah sebagian dari antara mereka

(kebiasaan dan perwujudan materi hukum).

Sosiologi Hukum memulai khususnya dari pola-pola

pelambang hukum tertentu sebelumnya, seperti

mengorganisasi hukum, prosedur-prosedur, dan sanksi-

sanksinya, sampai pada simbol-simbol smbol-simbol hukum


6
yang sesuai, seperti kefleksibelan peraturan-peraturan dan

kespontanan hukum (Johnson, 1994;64).

Pemikiran Sosiologi Hukum lebih berfokus pada

keberlakuan empiric atau factual dari hukum. Hal ini

memperlihatkan bahwa Sosiologi Hukum tidak secara

langsung diarahkan pada hukum sebagai sistem konseptual,

melainkan pada kenyataan sistem kemasyarakatan yang

didalamnya hukum hadir sebagai pemeran utama. Objek

utama Sosiologi Hukum adalah masyarakat dan pada

tingkatan kedua adalah kaidah-kaidah hukum.

Hal tersebut di atas berbeda dengan ilmu hukum

normative yang memandang hukum dalam hukum itu

sendiri (apa yang tertuang dalam peraturan). Dalam hal ini

Sosiologi Hukum mencoba untuk memperlakukan sistem

hukum dari sudut pandang ilmu sosial. Pada dasarnya,

Sosiologi Hukum berpendapat bahwa hukum hanyalah salah

satu dari banyak sistem sosial dan bahwa justru sistem sosial

lain, yang terdapat dalam masyarakat, memberi arti dan

pengaruh terhadap hukum (Anwar, 2008).

Untuk lebih mengkonseptualisasikan Sosiologi Hukum,

kita perlu mengadopsi beberapa pengertian Sosiologi

Hukum dari beberapa ahli terkemuka;

7
- Soejono Soekanto

Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu

pengetahuan yang secara analitis dan empiris

menganalisis atau mempelajari hubungan timbal

balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial

lainnya.

- Satjipto Raharjo

Sosiologi Hukum (Sociology of Law) adalah

pengetahuan hukum terhadap pola perilaku

masyarakat dalam konteks sosialnya.

- R. Otje Salman

Sosiologi Hukum adalah ilmu yan mempelajari

hubungan timbal balik antara hukum dengan

gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis

- H.L.A. Hart

menurut Hart, suatu konsep hukum

mengandung unsur-unsur kekuasaan yang

terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam

gejala hukum yang tampak dari kehidupan

masyarakat (Ali, 2005; 1).

C.J.M. Schuyt, mengemukakan bahwa yang menjadi

pusat perhatiannya adalah peranan hukum di dalam

masyarakat dalam hal pertahanan pembagian kesempatan

hidup serta bagaimana peranan nisbi hukum untuk


8
mengubah pembagian yang tidak merata, dan pembagian

kesempatan hidup itu sendiri tidak bisa terlepas dari adanya

struktur kelas di dalam masyarakat sehingga karenanya

muncullah persoalan ketidakadilan dan ketidakmerataan.

“……salah satu tugas Sosiologi Hukum…… tak lain


adalah mengungkapkan sebab musabab ketimpangan
antara tata tertib masyarakat yang dicita-citakan
dengan tertib masyarakat dalam kenyataan (Utsman,
2013;2).

George Gurvitch (1961) seorang professor terkemuka

bidang Sosiologi Hukum yang berasal dari Universitas

Sorbonne, secara runtut mendefenisikan sebagai berikut:

“Sosiologi Hukum ialah bagian dari Sosiologi sukma


manusia yang menelaah kenyataan sosial sepenuhnya
dari hukum, mulai dengan pernyataan yang nyata dan
dapat diperiksa dari luar, dalam kelakuan kolektif yang
efektif. Sosiologi Hukum menafsirkan kelakuan dan
manifestasi material hukum ini menurut makna
batinnya seraya mengilhami meresapinya, sementara
itupun untuk sebahagian dirubahnya. Sosiologi
Hukum khususnya bertindak dari pola hukum ke
lambang yang ditetapkan sebelumnya, seperti hukum,
prosedur dan sanksi-sanksi yang reorganisasi, sampai
pada lambang-lambang hukum semata, seperti
peraturan yang mudah menyesuaikan diri dan hukum
yang serta merta. dari yang tersebut belakangan ini

9
Sosiologi Hukum bertindak kepada nilai-nilai dan
gagasan hukum, dan kepada kepercayaan serta
lembaga-lembaga kolektif yang bercita-citakan nilai
ini dan memahami gagasan-gagasan ini, dan
mewujudkan dirinya dalam fakta-fakta normative yang
serta merta sumber kesahan (validity), yakni
keabsahan dari kepositifan segala hukum” (Utsman,
203; 116).

Manfaat dan Kegunaan Mempelajari Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum adalah cabang dari Ilmu

Pengetahuan sosial yang mempelajari hukum dalam konteks

sosial. Sosiologi Hukum membahas tentang hubungan

antara masyarakat dan hukum; mempelajari secara analitis

dan empiris pengaruh timbal balik antara hukum dengan

gejala sosial lainnya. Memperkenalkan masalah-masalah

hukum yang menjadi objek penelitian yang dilakukan oleh

para sarjana Ilmu Sosial, maka dalam mempelajari suatu

ilmu pengetahuan, tentunya akan membawa manfaat

tersendiri terkait dengan apa yang kita pahami serta kita

pelajari. Manfaat yang dapat kita peroleh tersebut yakni :

- Hasil dari kajian Sosiologi Hukum mampu untuk

membuka serta menambah cakrawala berpikir

dalam memahami permasalah serta

10
perkembangan hukum yang ada di dalam

masyarakat.

- Mampu mengkonsepkan permasalahan-

permasalahan hukum yang terjadi serta

memberikan gambaran maupun alternatif

pemecahan sesuai dengan kerangka konsep dan

teori yang tersaji dalam kajian-kajian teoritik

Sosiologi Hukum.

- Memahami perkembangan hukum positif di

dalam suatu negara dan masyarakat dengan

konstruksi perpaduan antara Sosiologi dan

Hukum.

- Mengetahui efektifitas hukum yang diakui,

dianut maupun berlaku dalam masyarakat.

- Memetakan dampak maupun konsekuensi yang

terjadi akibat penerapan hukum dalam

masyarakat

Tentunya manfaat yang akan didapatkan tidak serta

merta datang dengan sendirinya, melainkan penggiat

Sosiologi Hukum juga harus terus menggali dan

mengembangkan berbagai sumber yang ada. Pada bagian

tersendiri bila seorang mahasiswa hukum mempelajari

Sosiologi bukanlah sesuatu yang mudah, sebab gaya

berpikir Sosiologi yang konstruktif dan metodologis


11
membuat sedikit banyak mahasiswa hukum mengeluarkan

tenaga dan bekerja keras untuk memahaminya. Ada kalanya

penguatan pemahaman Sosiologi di awal pembelajaran

Hukum sangat diperlukan mengingat objek hukum adalah

masyarakat.

Hal inipun berlaku sebaliknya ketika seorang Sosiolog

harus mempelajari hukum, mereka juga harus bekerja keras

untuk mampu memahami konsepsi hukum dengan segala

perspektif serta logika pikir yang sangat luas untuk dipelajari.

Kesimpulan kecil bahwasanya manfaat ilmu menjadi berarti

ketika pemahaman yang kita miliki bisa terbagi kepada

orang lain, dan mampu menjadi alat pemecahan masalah

yang ada di dalam masyarakat.

Purbacaraka dan Soejono Soekanto memaparkan

kegunaan Sosiologi Hukum sebagai berikut:

1. Memberikan kemampuan-kemampuan bagi

pemahaman terhadap hukum dalam konteks

sosial.

2. Mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum

tertulis (bagaimana mengusahakan agar suatu

undang-undang melembaga di masyarakat).

3. Mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum

tertulis, misalnya mengukur berfungsinya suatu

peraturan di dalam masyarakt (Utsman,2013:131).


12
J.Van Houtte. (1970) menyatakan:

1. Pendapat-pendapat yang menyatakan, bahwa

kepada Sosiologi Hukum harus diberikan suatu

fungsi yang global. artinya, Sosiologi Hukum

harus menghasilkan suatu sintesis antara hukum

sebagai sarana organisasi sosial dan sebagai

sarana keadilan. Di dalam fungsinya itu, maka

hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak

kecil dari Sosiologi Hukum, di dalam

mengidentifikasikan konteks sosial dimana

hukum tadi diharapkan berfungsi.

2. Pendapat-pendapat lain menyatakan, bahwa

kegunaan Sosiologi Hukum adalah justru dalam

bidang penerangan dan pengkaidahan (Ustman,

2013: 133).

Objek Sosiologi Hukum


Dalam masyarakat terdapat konstruksi hukum yang

terjalin dari kebiasaan hingga terstruktur menjadi hukum

tertulis dengan kesepakatan bahwa konsensus menjadi

kekuatan kepercayaan antar individu. Hukum sendiri berdiri

pada tatanan struktural dimana hukum diciptakan untuk

sebuah keteraturan atau keharmonisan dalam berkehidupan

13
sosial masyarakat tanpa harus menunggu konsesus bersama

dari individu, maka sering disebut hukum memiliki unsur

pemaksa.

Ketika kedua disiplin ini dipertemukan, maka harus ada

persamaan wilayah bersama untuk saling mengisi, Sosiologi

tidak bisa memaksa Hukum untuk melepaskan struktural dan

mengikuti alur berpikir masyarakat begitu pula Hukum yang

sangat mengikat dan memaksa tidak kemudian mereduksi

Sosiologi untuk menciptakan pola pendekatan masyarakat

yang opportunitis.

Ada hal yang bisa kita simpulkan bersama sebagai

ranah bersama untuk kedua disiplin tersebut yaitu;

1) masyarakat,

2) lembaga,

3) interaksi.

Masyarakat sebagai akumulasi individu yang diikat

dengan interaksi menjadi objek bersama bilamana kemudian

Sosiologi berangapan bahwa masyarakatlah yang

menciptakan dan menghancurkan suatu tatanan hukum,

sama ketika hukum beranggapan bahwa sumber hukum

selalu berasal dari masyarakat dan kembali berpulang

masyarakat. Hukum yang diciptakan selalu untuk

masyarakat, yang menjalani hukum tersebutpun adalah

14
masyarakat, serta dampak yang dihasilkan tentunya akan

kembali ke masyarakat.

Sosiologi mencerna lembaga sosial sebagai suatu

keinginan bersama dari masing-masing individu yang

terlembaga dimana kemudian akan dipatuhi dan di jalani

bersama apa yang telah di atur oleh lembaga tersebut,

hukum melihat lembaga sosial sebagai eleman penting

untuk menjadi konduksi pengawasan berjalannya hukum

dalam masyarakat. Jadi sama seperti Sosiologi Hukum juga

memiliki kepentingan tersendiri pada tataran lembaga-

lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.

Yang terakhir adalah interaksi, bahwasanya menjadi

kebutuhan bersama pada Sosiologi maupun hukum melihat

interaksi sebagai pola perilaku maupun tindakan yang

memiliki arti tertentu, setiap tindakan yang memiliki arti bagi

Sosiologi adalah tindakan sosial sementara setiap tindakan

yang melahirkan konsekuensi bagi orang lain juga suatu

tindakan hukum.

Walaupun digolongkan ke dalam bilangan ilmu

pengetahuan sosial, namun akhir-akhir ini hasil kajian

Sosiologi Hukum tersebut mulai banyak dirujuk juga oleh

para ahli hukum. Kini banyak ahli hukum yang tidak sekedar

berbicara tentang kesahan-kesahan yuridis suatu aturan

hukum saja, akan tetapi juga mulai merasa perlu


15
mengetahui sejauhmana berlakunya aturan hukum

berpengaruh pada terselenggaranya kehidupan

bermasyarakat yang teratur dan tertib.

Kajian seperti itu memberikan kesempatan luas

kepada para ahli hukum untuk menjelajahi alam

pengetahuan yang lebih bersifat kontekstual daripada yang

terlalu sempit dan tekstual. Demikian penting alam

kontekstual bagi para ahli hukum, bahkan yang semula

hanya berpandangan preskriptif tanpa ragu berpendapat

bahwa Sosiologi Hukum harus diakui dan dimasukkan

sebagai bagian dari ilmu hukum, termasuk beberapa

teoretisi hukum di Negeri Belanda seperti Meuwissen dan

Brugink (Match Day 25).

Objektifikasi antara kedua disiplin tersebut hanya bisa

dipahami ketika aktor maupun institusi mau menempatkan

kebutuhan pemahaman pada tataran yang konstruktif, tidak

serta merta ada hegemoni suatu disiplin kepada disipin lain.

Pada Hakekatnya, mulanya sangat sulit dipahami

bahwa Sosiologi dan Hukum dapat dipersatukan, karena

para ahli hukum semata-mata memperhatikan masalah quid

juris, sedang para ahli sosiologi mempunyai tugas untuk


menguraikan quid facti dalam arti mengembalikan fakta-

fakta sosial kepada kekuatan hubungan hubungan. Inilah

yang menyebabkan kegelisahan banyak ahli hukum dan ahli


16
filsafat hukum yang menanyakan apakah Sosiologi Hukum

tidak bermaksud menghancurkan semua hukum sebagai

norma, sebagau suatu asa untuk mengatur fakta-fakta,

sebagai suatu penilaian.

Itu pula sebabnya sebagian ahli Sosiologi tidak

membenarkan adanya Sosiologi Hukum. Mereka khawatir,

melalui Sosiologi Hukum akan dihidupkan kembali

penilaian-penilaian baik-buruk (value judgement) dalam

penyelidikan fakta-fakta sosial. Karena tugas Sosiologi

mempersatukan apa yang dipecah-pecah secara sewenang-

wenang oleh ilmu-ilmu sosial, selain itu para ahli Sosiologi

menegaskan ketidakemungkinan mengasingkan hukum dari

keseluruhan kenyataan sosial, dipandang sebagai suatu

totalitas yang tak terbinasakan (Johnson, 1994;10).

Karena Sosiologi Hukum adalah cabang khusus

Sosiologi, maka metode kajian yang dikembangkan adalah

metode yang telah dilazimkan dalam Sosiologi itu.

Sebagaimana diketahui, sosiologi mencoba melihat objek-

objek kajiannya dengan kacamata penglihatan deskriptif.

Artinya, ia pertama-tama hanya hendak mengetahui dan

memahami ihwal nyata objeknya itu, tanpa memberikan

penilaian apa-apa tentang baik buruknya. Dari kacamata itu

Sosiologi dan Sosiologi Hukum “hanya” akan memberikan

keadaan kualitas dan/atau kuantitas objeknya sebagaimana


17
“apa adanya”. Sosiologi hanya akan mempertanyakan

apakah kualitas tertentu ada atau tak ada dalam objek yang

tengah diteliti itu; dan kalau ada, berapa besarnya

kuantitasnya itu? (Wignjosoebroto. 2002).

Sesungguhnya, Sosiologi Hukum berusaha juga

menyelidiki pola-pola dan simbol-simbol hukum, yakni

makna-makna hukum yang berlaku berdasarkan

pengalaman di suatu kelompok dan dalam satu masa

tertentu, dan berusaha membangun simbol-simbol itu

berdasarkan sistimatika. Dengan demikian, perlu juga

kiranya mengetahui apa saja yang disimbolkan, yang berarti

berupaya mengamati kembali segala sesuatu yang mereka

nyatakan dan menganalisa segala sesuatu yang mereka

sembunyikan. Inilah tugas Sosiologi Hukum, selain itu

kriteria-kriteria yang digunakan mengabstraksikan makna-

makna simbol yang normatif, yang lepas sepenuhnya dari

kenyataan hukum, maupun asas-asas yang mengilhami

tersusunya suatu sistem bersifat khusus dari makna-makna

yang dibangun oleh ilmu hukum, tidak dapat terselenggara

kecuali dengan dukungan Sosiologi Hukum (Johnson,

1994;17).

18
Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Bermula dari maraknya pemikiran bahwa hukum as it

is in society, not as it is in the book sebagai bagian dari


kajian tentang hukum dalam eksistensinya sebagai institusi

masyarakat, menghasilkan topik-topik dalam perbincangan

Sosiologi Hukum akan memaparkan berbagai masalah dan

pemikiran mengenai hukum sebagaimana yang dinyatakan

as it is in society (Match Day 25).


Dalam kajian bahan perkuliahan tersebut diurai dari

perspektif hukum bahwasanya hukum lebih faktual dan

memiliki objektifikasi atas Sosiologi, lebih lanjut coba saya

cuplik dari apa yang dituliskan (Match Day 25);

Pertama, Sosiologi Hukum akan menjelaskan apakah yang


dimaksud dengan hukum yang menjadi objek

kajiannya itu, baik hukum tertulis maupun yang

tidak tertulis. Dalam Sosiologi Hukum, kedua

ragam hukum itu (yang berlegalitas formal dan

yang berlegitimitas sosial) sama-sama dibicarakan

dalam suatu hubungan yang mungkin fungsional

dan sinergis, atau bahkan mungkin disfungsional

dan kontroversial.

Kedua, Sosiologi Hukum akan menjelaskan ihwal

lembaga-lembaga negara yang berfungsi

membentuk atau membuat serta menegakkan

19
hukum itu. Selain itu, dikemukakan dan

diperbincangkan juga ihwal sumber otoritas yang

akan dijadikan dasar normatif untuk

membenarkan dilaksanakannya fungsi-fungsi

tersebut oleh lembaga-lembaga yang

bersangkutan. Selanjutnya, sejarah perkembangan

sistem hukum berikut struktur yang berfungsi

sebagai penopang otoritasnya juga akan

dibicarakan disini. Ihwal yang sering dibicarakan

berkisar kebijakan-kebijakan unifikasi dan fakta riil

tentang bertahannya pluralisme dalam sejarah

perkembangan hukum.

Ketiga, Hubungan interaktif antara sistem hukum yang

formal (sebagaimana ditopang oleh otoritas

negara) dan tertib hukum rakyat (yang bertumpu

pada dasar-dasar moralitas komunitas).

Perbincangan akan tertuju ke pencarian jawab

tentang sejauh manakah hukum akan mampu

bekerja secara efektif, baik dalam peran yang

konservatif sebagai sarana kontrol maupun dalam

peran yang lebih progresif sebagai salah satu

faktor fasilitator yang akan memudahkan

terjadinya perubahan sosial. Memperbincangkan

ihwal keefektifan hukum, diskusi akan berkisar di


20
seputar usaha mengidentifikasi berbagai variabel

sosial dan variabel kultural yang boleh diduga

akan berpengaruh pada bekerjanya hukum dalam

masyarakat itu.

Pada perkembangan selanjutnya, Sosiologi lebih

didominasi oleh ahli-ahli hukum yang mencitrakan

bahwasanya Sosiologi Hukum berasal dari ilmu hukum

sendiri dan sosiologi hanya sekedar menjadi instrument

untuk mengkaji masyarakat yan dikehendaki, namun semua

ini tidak perlu diperdebatkan kembali yang jelas sinergitas

antara kedua disiplin tersebut dapat melahirkan suatu

perubahan yang sekiranya berguna bagi kita semua.

Sebelum jauh kita diskusikan isi buku ini, selayaknya

kita uraikan sejauhmana ruang lingkup dari Sosiologi Hukum

itu sendiri, sebagai hal dimaksud untuk menjelaskan setiap

fenomena maupun argument sebagai penjelas fakta. Untuk

mengetahui kita akan bertolak dengan apa yang disebut

disiplin ilmu, yaitu ajaran tentang kenyataan yang meliputi

disiplin analitis dan disiplin hukum (preskriptif).

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan bahwa

letak antara ruang lingkup Sosiologi Hukum ada 2 (dua) hal,

yaitu:

1. Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial

dari hukum. sebagai contoh dapat disebut


21
misalnya: Hukum Nasional di Indonesia, dasar

sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya :

gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan

2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial

lainnya. sebagai contoh dapat disebut misalnya:

- Undang-undang tentang hak cipta

- Undang-undang mengenai Pemilihan

Presiden secara langsung terhadap gejala

politik (Ali, 2005: 4).

Karakteristik kajian Sosiologi Hukum adalah fenomena

hukum di dalam masyarakat dalam mewujudkan: (1)

Deskripsi, (2) Penjelasan, (3) Pengungkapan, (4) Prediksi.

1. Sosiologi Hukum berusaha untuk memberikan

deskripsi terhadap praktik-praktik hukum.

Apabila praktik-praktik itu dibeda-bedakan ke

dalam pembuatan undang-undang, penerapan

dalam pengadilan maka ia juga mempelajari

bagaimana praktik yang terjadi pada masing-

masing bidang kegiatan tersebut.

2. Sosiologi Hukum bertujuan untuk menjelaskan:

mengapa suatu praktik-praktik hukum didalam

kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-

sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh,

latar belakangnya, dan sebagainya. Satjipto


22
Raharjo mengutip pendapat Max Weber yang

menamakan cara pendekatan yang demikian itu

sebagai suatu interpretative understanding, yaitu

cara menjelaskan sebab, perkembangan, serta

efek dari tingkah laku sosial. dengan demikian,

mempelajari Sosiologi Hukum adalah

menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang

hukum sehingga mampu mengungkapkannya.

3. Sosiologi Hukum senantiasa menguji kesahihan

empiris dari suatu peraturan atau pernyataan

hukum, sehingga mampu memprediksi sesuatu

hukum yang sesuai dan atau tidak sesuai

dengan masyarakat tertentu.

4. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian

terhadap hukum. Perhatiannya yang utama

hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap

objek yang dipelajarri (Ali, 2005;8).

23
C. Penutup
Sosiologi Hukum merupakan salah satu domain dari
ilmu sosial yang menggabungkan dua pendekatan dalam
setiap aplikasinya, yaitu dengan mempergunakan
pendekatan hukum dan pendekatan sosiologi. Ada hal yang
bisa kita simpulkan bersama sebagai ranah untuk kedua
disiplin tersebut yaitu; 1) masyarakat, 2) lembaga, 3)
interaksi.
Mengkonseptualisasikan Sosiologi Hukum yaitu
menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik
antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya, juga
termasuk didalamnya pola perilaku masyarakat dalam
konteks sosialnya dan berbagai gejala hukum yang tampak
dari kehidupan masyarakat.
Mempelajari Sosiologi Hukum tidak sekedar
mengartikan atau pula mendefenisikan namun terlebih lagi
kita juga harus mamahami kebermanfaatan yang salah
satunya memetakan dampak maupun konsekuensi yang
terjadi akibat penerapan hukum dalam masyarakat juga
memilah-milah objektifitasi dari Sosiologi Hukum yaitu
hukum dan masyarakat.
Selain itu perlu juga kita batasi ruang lingkup dari
Sosiologi Hukum dengan memahami dasar-dasar sosial dari
hukum atau basis sosial dari hukum dan efek-efek hukum
terhadap gejala-gejala sosial lainnya.

24
Latihan

1. Sebutkan salah satu pengertian dari Sosiologi Hukum

yang anda ketahui?

2. Jelaskan manfaat dan kegunaan yang bisa didapatkan

dengan mempelajari Sosiologi Hukum?

3. Uraikan secara singkat salah satu objek dari Sosiologi

Hukum?

4. Jelaskan 2 domain dari ruang lingkup Sosiologi

Hukum?

5. Gambarkan dan jelaskan karakter berpikir dari

Sosiologi Hukum?

25
BAHAN PEMBELAJARAN II
Sejarah dan Perkembangan Sosiologi Hukum

A. Pendahuluan
Dilihat dari sudut historis istilah Sosiologi Hukum

untuk pertama kali digunakan oleh seorang Italia yang

bernama Anzilotti pada tahun 1882. Dari sudut

perkembangannya Sosiologi Hukum pada hakekatnya lahir

dari hasil-hasil pemikiran-pemikiran para ahli pemikir, baik

dibidang Filsafat Hukum, ilmu hukum maupun Sosiologi.

Hasil-hasil pemikiran tersebut tidak saja berasal dari

individu-individu, akan tetapi berasal dari mazhab-mazhab

atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir

yang pada garis besarnya mempunyai pendapat yang tidak

banyak berbeda. Betapa besarnya pengaruh filsafat hukum

dan ilmu hukum terhadap pembentukan Sosiologi Hukum,

nyata sekali dari ajaran-ajaran beberapa mazhab dan aliran

yang memberikan masukan-masukan pada Sosiologi

Hukum.

Masukan yang diberikan dari aliran dan mazhab

sangat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak

langsung bagi Sosiologi Hukum. Sosiologi Hukum sebagai

cabang ilmu yang berdiri sendiri merupkan ilmu sosial yaitu

ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama


26
manusia dengan sesamanya, yakni kehidupan sosial atau

pergaulan hidup,singkatnya Sosiologi Hukum mempelajari

masyarakat, khususnya gejala hukum dari masyarakat.

Aristoteles di Zaman Purba (385-322 SM) dan

Montesquieu di jaman modern (1689-1755) adalah hampir

mendekati hukum metodis. Aristoteles mengemukakan

keseluruhan masalah-masalah yang semestinya harus

dipecahkan; Montesquieu, yang dipengaruhi oleh “fisika

sosial” dari Hobbes dan Spinoza telah menghilangkan


prasangka-prasangka kesusilaan pada telaahan berdasarkan

kepada pengamatan empiris secara sistematis (Johnson,

1994; 71). Dengan demikian untuk memahami arti keadilan

Aristoteles terlebih dahulu menggambarkan berbagai

macam hukum positif, dalam hubunganya yang nomos (tata

tertib sosial yang benar-benar efisien), Philia (sociality atau

solidaritas sosial) dan kelompok-kelompok tertentu, dan

negara hanya merupakan mahkotanya.

Singkatnya, Aristoteles, meskipun ia mengintegrasikan

Sosiologi Hukum dengan metafisika dogmatisnya, telah

berhasil memperoleh suatu pandangan singkat mengenai

masalah-masalah asasi dari mikrososiologi hukum, Sosiologi

diferensial, dan Sosiologi Hukum genetis, tetapi hanya

dilapangan Sosiologi Hukum genetis, dan selanjutnya pula

27
dikhususkan kepada hukum negara Yunani masa itu

(Johnson, 1994; 71).

Sosiologi Hukum Monstequieu karena faktor banyak

jumlahnya dan bercorak ragam bentuknya, yang terjalin di

dalamnya, yang dikembangkan, dimasukan ke dalam telaah

semangat sejarah dengan kecendrungannya kepada

individualisasi fakta-fakta. Sosiologi Hukumnya

mengarahkan syarat-syarat naturalistik untuk menelaah pola

tingkah laku kolektif sebagai benda-benda fisik pada

pengamatan empiris yang nyata dan konsekuen; ia

mengganti rasionalisme yang begitu menonjol bahkan di

antara orang-orang sesudah Monstequieu seperti

Condorcet dan Comte dengan empiris radikalnya.

Demikianlah untuk pertama kalinya Sosiologi Hukum

Monstequieu membebaskan Sosiologi Hukum dari segala

kecendrungan-kecendrungan metafisika yang dogmatis, dan

membawanya lebih dekat barangkali terlalu dekat kepada

telaah perbandingan hukum. Bagaimanapun juga,

monstequieu dengan mengguraikan isi konkret dari

pengalaman hukum dalam tipe-tipe peradaban yang

berbagai jenisnya, lebih daripada semua orang sebelumnya

mampu berkata tentang hukum membawa “ia berbicara

tentang apa yang ada, bukan tentang apa yang seharusnya”

28
dan bahwa ia “tidak menilai kebiasaan-kebiasaan melainkan

menerangkannya” (Johnson, 1994; 79).

Namun demikian ada pandangan yang mengartikan

keterpengaruhan Sosiologi Hukum terhadap Filsafat hukum,

Ilmu Hukum dan Sosiologi yang berorientasi pada hukum

sebagai awal berkembangnya Sosiologi Hukum itu sendiri.

Pada segmentasi Filsafat Hukum Hans Kelsen

mengungkapkan bahwasanya hukum tidak boleh

bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya,

sementara kajian ilmu hukum sendiri mengganggap “hukum

sebagai gejala sosial” dan hal ini berbeda seperti yang

diungkapkan oleh Kelsen menanggapi hukum sebagai gejala

normative.

Untuk Sosiologi yang berorientasi pada Hukum

terwakili oleh Durkheim dan Weber; dalam setiap

masyarakat selalu ada solidaritas, ada solidaritas organis dan

ada pula solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis, yaitu yang

terdapat pada masyarakat sederhana, hukumnya bersifat

represif yang diasosiasikan seperti dalam hukum pidana.

Lain halnya dengan solidaritas organis, yaitu terdapat pada

masyarakat modern, hukumnya bersifat restuitif yang

diasosiasikan seperti hukum perdata (Ali, 2005;2-3).

29
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum

Perubahan-perubahan dalam masyarakat tentu saja

dihadapkan kepada tradisi dan pemikiran yang sudah

mapan, niscaya menimbulkan konflik. Keadaan seperti itu

ditunjuk sebagai faktor yang mendorong kehadiran

Sosiologi Hukum. Schuyt menghubungkan perkembangan

serta kemajuan Sosiologi Hukum di Skandinavia, Amerika

Serikat, Jerman dengan perubahan sosial serta situasi situasi

konflik yang terjadi di negara-negara tersebut. Schuyt

melaporkan bahwa di Skandinavia, dimana Sosiologi Hukum

dalam arti modern pertama muncul (1948-1952),

berlangsung perubahan menuju kepada pemerintahan

sosialis.

Pada latar belakang itulah, Sosiologi Hukum muncul di

negara tersebut. Dalam bidang ekonomi dikeluarkan

peraturan-peraturan perundangan untuk mempercepat

perubahan dan munculnya negara kesejahteraan.

Kebijaksanaan tersebut berbenturan dengan cara berpikir

tradisional yang berorientasi liberal. Para pengusaha ingin

mempertahankan hak milik privat atas alat-alat produksi.

Benturan antara ideologis sosialistis dan liberal sangat

mendorong penelitian-penelitian secara Sosiologi Hukum

(Raharjo, 2010;12).
30
Perkembangan yang patut dicatat pula dalam kajian-

kajian Sosiologi Hukum adalah mulai ditinggalkannya

kemudian sikap dan wawasan yang Eropa sentris atau

Amerika sentris yang semula mendominasi kegiatan para

pengkajinya. Seusai Perang Dunia ke II, para pengkaji

Sosiologi Hukum mulai memperhatikan pula apa yang

terjadi dalam konteks Cultural encounters antara “sistem

hukum Eropa yang eksis dan terteruskan sebagai struktur

supra yang modern dan nasional di negeri-negeri

berkembang” dan “basis-basis kultural yang dikukuhi oleh

masyarakat bumi puteranya sebagai bagian dari kekayaan

tradisionalnya”.

Perhatian ini telah mengalahkan kajian-kajian baru

yang mendekatkan kajian-kajian bergaya sosiologis ke

kajian-kajian yang lebih bergaya antropologis. Inilah kajian-

kajian yang harus lebih dikenali sebagai kajian-kajian

tentang transplantasi kultural daripada sebagai kajian-kajian

tentang transformasi sosial (Wignjosoebroto. 2002).

Awal Perkembangan Sosiologi Hukum Di Indonesia

Tesis tentang perubahan masyarakat sebagai

penggerak Sosiologi Hukum juga memperoleh

kebenarannya di Indonesia, oleh karena perkembangan

Sosiologi Hukum di negeri ini juga tidak dapat dilepaskan


31
dari perubahan-perubahan yang terjadi secara susul

menyusul sejak revolusi kemerdekaan. Pencapaian

kemerdekaan negera Indonesia tidak berlangsung secara

Yuridis Tradisional, melainkan secara Politik Sosiologis.

Perubahan yang secara yuridis “Tidak normal” itu

menimbulkan situasi-situasi konflik sehingga mendorong

orang untuk melihat kembali kepada hakikat fungsi hukum,

batas-batas kemampuan hukum dan lain-lain atau yang

tidak lazim dibicarakan dalam wacan hukum tradisional yang

didominasi oleh pemikiran analistis-positivisme (Raharjo,

2010;13).

Meskipun pada hakekatnya Sosiologi Hukum secara

relatif masih muda usianya dan masih baru bagi Indonesia

sehingga belumlah tercipta lapangan kerja yang jelas dan

tertentu. Apa yang yang telah dicapai sekarang ini pada

umumnya merupakan pencerminan daripada hasil-hasil

karya dan pemikiran yang para ahli yang memusatkan

perhatiannya pada Sosiologi Hukum.

Mereka memusatkan perhatiannya pada Sosiologi

Hukum, oleh karena kepentingan-kepentingan yang bersifat

teoritis atau karena mereka mendapatkan pendidikan baik

dalam bidang sosiologi maupun ilmu hukum, atau oleh

karena mereka memang mengkhususkan diri dalam

penelitian Sosiologis terhadap Hukum. Namun pada


32
perkembangannya Sosiolog kurang memeperhatikan

dibidang Hukum. Ada beberapa faktor sebagai penyebab

kurangnya perhatian para Sosiolog terhadap Hukum;

Pertama: Para Sosiolog mengalami kesulitan untuk


menyoroti sistem hukum semata-mata sebagai
himpunan kaedah-kaedah yang bersifat
normatif sebagimana halnya dengan para
Yuris. Para Sosiolog sulit menempatkan diri
dialam normatif karena Sosiologi merupkan
suatu disiplin yang kategoris.
Kedua: Pada umumnya para Sosiolog dengan begitu
saja menerima pendapat bahwa hukum
merupakan himpunan peratuaran-peraturan
yang statis. Hal ini tercermin pada pertanyaan-
pertanyaan yang biasanya diajukan para ahli.
Ketiga : Sosiolog sering mengalami kesulitan untuk
menguasai keseluruhan data tentang hukum
yang demikian banyaknya yang pernah
dihasilkan oleh Beberapa generasi ahli-ahli
hukum.
Keempat: Lambatnya perkembangan Sosiologi Hukum
adalah kesulitan-kesulitan terjadinya hubungan
antara para sosiolog dengan para ahli hukum
karena kedua belah pihak tidak

33
mempergunakan bahasa dan kerangka
pemikiran yang sama ( Mastur, 2013).
Seperti juga halnya di negara-negara lain, munculnya
Sosiologi Hukum di Indonesia masih tergolong cukup baru.
Namun demikian sebagaimana juga telah dibicarakan
sebelumnya bahwa sebagi suatu pendekatan (approach) ia
sudah hampir sama tuanya dengan Ilmu Hukum itu sendiri.
kalau dikatakan bahwa Sosiologi Hukum itu merupakan
disiplin yang relatif baru di Indonesia, maka hal itu tidak
mengurangi kenyataan, bahwa Van Vollenhoven sudah sejak
di awal abad ini menggunakan pendekatan Sosial dan
Sosiologis terhadap hukum. Untuk kesimpulan awal, wacana
hukum yang melibatkan pendekatan Sosiologis sudah
dimulai sejak sebelum didirikan lembaga pendidikan tinggi
(Raharjo, 2010;32).
Keadaan dan perubahan yang demikian itu pada
gilirannya menimbulkan dampak terhadap pemikiran
mengenai hukum. perilaku dan dengan demikian juga
perilaku hukum yang berubah sangat mempengaruhi
hukum di Indonesia. Sebagai mata kuliah, Sosiologi Hukum
memasuki kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia dengan
nama “Hukum dan Masyarakat”. Pada tahun 1980 terbit
buku dengan nama yang sama, yang merupakan karya
pertama yang agak lengkap mengenai filsafat, pendekatan
dan analisis Sosiologis terhadap Hukum. Di tahun 90-an,
mata kuliah tersebut sudah makin biasa diberikan di Fakultas

34
hukum serta menggunakan nama “Sosiologi Hukum”
(Raharjo, 2010; 38).
Keterasingan para mahasiswa dan para sarjana
hukum dari paradigma, teori dan metode sosiologi (hukum)
itu lebih diperkuat lagi tatkala pendidikan hukum di
Indonesia hingga kini masih saja dimaksudkan secara kurang
realistis sebagai studi profesi yang monolitik semata, yang
meyakini bahwa kehidupan bermasyarakat yang kompleks
ini dapat begitu saja diatur secara apriori menurut model-
modelnya yang normatif-positif, yang ditegakkan
berdasarkan prosedur-prosedur bersanksi.
Bermaksud begitu, pendidikan hukum di Indonesia
menganut tradisi Civil Law dari Eropa Kontinental lalu
cenderung memperlakukan hukum sebagai kaidah-kaidah
positif (yang terumus secara eksplisit dan terinterpretasi
secara konsisten) yang terorganisasi di dalam suatu sistem
normatif yang tertutup, dengan metodenya yang monismus
yang ternyata dimaksudkan untuk hanya bisa mengenali
prosedur-prosedur penalaran yang formal-deduktif saja.
Karena metode deduksi ini hanya bermanfaat untuk
menemukan dasar pembenaran atau dasar legitimasi (itu
pun hanya yang formal saja), dan tidak sekali-kali mampu
menemukan hubungan antarvariabel di alam amatan
sebagaimana halnya metode induksi, maka tak pelak lagi
“ilmu hukum” ini sulit digolongkan ke dalam bilangan ilmu;
yaitu ilmu dalam artinya yang khusus sebagai (empirical)
science (Wignjosoebroto. 2002).
35
C. Penutup
Seperti halnya di negara-negara lain munculnya
Sosiologi Hukum di Indonesia masih tergolong , cukup baru,
ilmu hukum di Indonesia datang dan di usahakan melalui
kolonialisasi belanda atas negeri ini, pendidikan tinggi
hukum yang boleh di pakai sebagai lambang dari kegiatan
kajian hukum baru di mulai pada tahun 1942, yaitu dengan
di bukanya rechtchogeschool di Jakarta yang didirikan pada
tahu 1909, dengan masa belajar dengan enam
tahun.lembaga ini belum dapat di maksudkan ke dalam
kategori lembaga keilmuan, karena separuh dari masa itu
masih juga di pakai untuk melakukan pendidikan menengah
atau SLTP atas untuk di ketahui pendidkan menengan atas
baru ada di Indonesia pada tahu 1919.
Kendati perubahan sudah mulai terjadi sejak
kolonialisasi oleh belanda atas Indonesia, namun karena
sempat ‘’ mengadap’’ selama ratusan tahun,maka hilanglah
kualitas perubahan tersebut bahkan masa di bawah
penjajahan belanda sudah di sebut sebagai “zaman norma”
perubahan dan keguncangan sosial yang kemudian
berlangsung secara akumulatif,benar-benar di mulai sejak
kapitulasi Belanda di hadapan jepang. Itulah saatnya bangsa
Indonesia benar-benar merasakan terjadinya suatu
“perubahan guncangan dalam hidupnya” keadaan tak
seperti biasa, zaman normal dan sudah lewat
(Rahardjo,2010:32-34).

36
Keadaan dan perubahan yang demikian itu pada
gilirannya menimbulkan dampak terhadap pemikiran
mengenai hukum. Prilaku dan dengan demikian juga prilaku
hokum yang berubah sangat mempengaruhi praktik hokum
di Indonesia, apabila pada masakolonial hukum relative
mampu menjadi sarana berlangsungsungnya proses-proses
dalam masyarakat secara teratur, tidak demikian keadaanya
sesudah terjadi gelombang perubahan tersebut di atas,
dapat dikatakan, hukum telah kehilangan cengkramannya
terhadap masyarakat.
Dalam suasana demikian itu adalah sangat logis
apabila pemikiran dan studi hukum positivistis,yaitu yang
mendasar pada telaah perundang undangan mengalami
gugatan. Pada waktu orang berpaling ke ilmu hokum dan
mencari tahu bagaimana dapat terjadi perubahan seperti
itu,teori-teori hukum yang positivistis tidak mampu memberi
jawaban atau penjelasan. Sebuah artikel sederhana pada
tahun 1971 telah mengemukakan kekurangan tersebut, yaitu
tentang keterbatasan dari studi hokum normative dan
diperlakukanya suatu pendekatan lain Decade 70-an dapat
di sebut sebagai momentum mulai berkembangnya
Sosiologi Hukum di Indonesia, di tandai dengan munculnya
tulisan-tulisan yang tergolong ke dalam studi sosial
mengenai hukum dalam konteks sosial yang lebih besar
(Rahardjo,2010:36).

37
Latihan

1. Jelaskan sejarah perkembangan Sosiologi Hukum yang

anda pahami?

2. Jelaskan sinkronisasi antara perkembangan Sosiologi

dan Hukum sehingga berada pada satu titik pandang

yang sama tentang masyarakat?

3. Jelaskan awal perkembangan Sosiologi Hukum di

Indonesia?

4. Jelaskan bagaimana Monstequieu membebaskan

Sosiologi Hukum dari segala kecendrungan-

kecendrungan metafisika yang dogmatis?

5. Jelasakan secara umum bagaimana pengaruh pemikiran

Eropa dan Amerika terhadap perkembangan Sosiologi

Hukum di Indonesia?

38
BAHAN PEMBELAJARAN III
Pendekatan Dan Aliran Yang Ada Dalam
Sosiologi Hukum

A. Pendahuluan
Dalam berbagai disiplin ilmu yang ada sudah barang

tentu terdapat pendekatan yang dipakai guna mencapai

tujuan dari disiplin ilmu tersebut. Pendekatan dipergunakan

untuk mempermudah mengkonstruksi struktur pemahaman,

dengan memperhatikan ruang lingkup serta objek yang

ingin dipahami.

Aliran Sosiologis dalam ilmu hukum – yang karena

berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe

Pound yang dalam bahasa asalnya disebut The Sociological

Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam

Jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak


tahun 1930-an.

Aliran dalam Ilmu Hukum ini disebut Sociological

karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim

bernama Oliver Wendel Holmes perintis pemikiran realisme

dalam ilmu hukum yang mengatakan bahwa “sekalipun

hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang

dihasilkan lewat proses-proses yang dapat

dipertanggungjawabkan menurut imperativ-imperativ

39
logika, namun the life of law has not been logic, it is

experience”.
Adapun yang dimaksudkan dengan experience oleh

Holmes di sini tak lain adalah The social atau mungkin pula

The socio-psychological experience.


Maka dapatlah dimengerti mengapa dalam

Sociological jurisprudence ini sekalipun fokus kajian tetap


dalam persoalan kaidah positif (berikut doktrin-doktrinnya

yang logis untuk mengembangkan sistem normatif hukum

berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan

praktik profesional) faktor-faktor sosiologis lalu secara

realistis (dan tak selalu harus secara normatif-positvistik)

mesti senantiasa ikut diperhatikan di dalam setiap kajian

(Wignjosoebroto, 2002).

40
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendekatan Hukum Sebagai Nilai

Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung

arti, bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan

nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Eksistensi

dan kemampuan hukum lalu diukur seberapa jauh ia telah

mewujudkan keadilan tersebut. Dengan demikian, moral

keadilan telah menjadi dasar untuk mensahkan kehadiran

dan bekerjanya hukum (Raharjo 2010; 66).

Dalam buku Sosiologi karangan Satjipto Raharjo (2010)

dikemukakan keberatan Donald Black, seorang Sosiolog

Hukum Amerika terkemuka yang sama sekali menolak untuk

membicarakan nilai-nilai, sebab Sosiologi Hukum

seharusnya konsisten sebagai ilmu tentang fakta, jadi

sesautu itu harus berdasarkan pada apa yang dapat diamati

dan dikualifikasikan.

Di Amerika Serikat, moral untuk menjunjung tinggi

kemerdekaan dan kebebasan individu melahirkan peradilan

pidana “adversary sistem” dan apa yang disebut

“exclusionary rules”. Demi menjunjung kemerdekaan

individu, maka dalam peradilan pidana fakta dan kebenaran

dapat dipinggirkan oleh pertimbangan melindungi hak-hak

tersangka (Raharjo 2010; 71).

41
Pendekatan Hukum Sebagai Institusi

Dalam Sosiologi Hukum, institusi adalah suatu sistem

hubungan sosial yang menciptakan keteraturan dengan

mendefenisikan dan membagikan peran-peran yang saling

berhubungan di dalam institusi. Para pihak dalam institusi

menempati dan menjalankan perannya masing-masing,

sehingga mengetahui apa yang diharapkan orang darinya

dan apa yang dapat diharapkannya dari orang lain. Institusi

menjadikan usaha untuk menghadapi tuntutan-tuntutan

dasar dalam kehidupan tersebut berlangsung tertib,

berkesinambungan dan bertahan lama (enduring). keadaan

yang demikian itu dimungkinkan, karena institusi memuat

peraturan, prosedur dan praksis. Institusi tersusun dari (1)

nilai, (2) kaidah, (3) peran dan (4) organisasi.

Institusionalisasi adalah usaha untuk membuat institusi

menjadi mapan. Persoalan yang dihadapi negara

berkembang pada umumnya adalah bagaimana membuat

hukum itu memiliki otoritas yang cukup agar mampu

menjalankan fungsinya dengan baik (Raharjo 2010; 83-84).

Aliran-Aliran Yang Mempengaruhi Terbentuknya


Sosiologi Hukum

Mazhab Formalitas

42
Tokoh terpenting dalam mazhab ini adalah Jhon

Austin (1790-1859), ia mengatakan bahwa: hukum

merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasan

tertinggi (law is command of the lawgivers), atau dari yang

memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah

perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir,

perintah mana yang dilakukan oleh mahluk berfikir yang

memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin

menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap

dan bersifat tertutup dan karena ajarannya

dinamakan Analitical Jurisprudence. Ajaran Austin

kurang/tidak memberi tempat bagi hukum yang hidup

dalam masyarakat.

Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:

1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk

manusia

2. Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia,

hukum ini terbagi lagi menjadi 2 (dua) bagian:

a. Hukum yang sebenarnya; hukum yang

tepat disebut sebagai hukum, jenis hukum

ini disebut juga sebagai hukum positif.

Hukum yang sebenarnya mengandung:

perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.

Hukum yang sebenarnya terbagi 2 (dua):


43
Hukum yang dibuat oleh penguasa

seperti undang-undang, peraturan

pemerintah dan lain-lain.

Hukum yang dibuat atau disusun oleh

rakyat secara individual yang

dipergunakan untuk melaksanakan hak-

hak yang diberikan kepadanya,

misalnya: hak kurator terhadap

badan/orang dalam kuratele atau hak

wali terhadap orang yang berada

dibawah perwalian.

b. Hukum yang tidak sebenarnya; adalah

bukan hukum yang merupakan hukum

yang secara langsung berasal dari

penguasa, tetapi peraturan-peraturan

yang berasal dari perkumpulan-

perkumpulan atau badan-badan tertentu.

Tokoh yang kedua adalah Hans Kelsen (1881), dari

unsur Sosiologis berarti bahwa ajaran Hans Kelsen tidak

memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan

berkembang didalam masyarakat. Ajaran Kelsen

memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata

yang sama sekali terlepas dari das sein / kenyataan sosial.


44
Hukum merupakan sollens kategori (seharusnya) dan

bukan seins kategori (adanya): orang menaati hukum karena

ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu kehendak

negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah

ketertiban yang menghendaki orang menaatinya

sebagaimana seharusnya.

Ajaran stufen theory berpendapat bahwa suatu sistem

hukum adalah suatu hierarkhis dari hukum dimana suatu

ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan

hukum lainnya yang lebih tinggi adalah grundnorm atau

norma dasar. Ringkasnya ajaran Kelsen ini adalah:

o Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur

tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional.

o Hukum tidak mempersoalkan “bagaimana hukum

seharusnya” (what the law ought to be), tetapi

“apa hukumnya” (what the law is).

o Hukum tidak lain adalah kemauan negara, namun

orang taat kepada hukum bukan karena negara

menghendakinya, tetapi karena ia merasa wajib

mentaatinya sebagai perintah negaranya.

o Bagi Kelsen Hukum berurusan dengan bentuk

(forma), bukan dengan isi (materia).

45
o Suatu hukum dapat saja tidak adil, namun tetap

saja merupakan hukum karena dikeluarkan oleh

penguasa.

o Keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum.

o Kelsen dipandang sebagai tokoh pencetus Teori

Jenjang (Stufentheorie), yang semula

diperkenalkan oleh Adolf Merkl.

o Hukum adalah suatu sistem yang terdiri dari

susunan norma berbentuk piramida. Norma yang

lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu

norma yang lebih tinggi.

o Semakin tinggi suatu norma, maka akan semakin

abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu

norma, maka akan semakin konkrit.

Mazhab Sejarah dan Kebudayaan


Mazhab sejarah dan kebudayaan ini adalah

senyatanya mempunyai pemikiran yang bertentangan

dengan mazhab formalisme. Dalam hal ini mazhab sejarah

dan kebudayaan menekankan bahwasanya hukum hanya

dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan

kebudayaan dimana hukum tersebut timbul.

Munculnya aliran sejarah setidaknya dilatar belakangi

oleh tiga hal :

46
1. Rasionalisme abad XVIII yang didasarkan pada

hukum alam yang dipandang tidak

memperhatikan fakta sejarah.

2. Semangat revolusi Perancis yang menentang

tradisi dan lebih mengutamakan rasio.

3. Adanya larangan penafsiran oleh hakim karena

undang-undang dipandang telah dapat

memecahkan semua masalah hukum.

Beberapa pemikir mazhab ini, antara lain Friedrich Karl

von Savigny (1779-1861) berasala dari jerman, tokoh ini juga

ini dianggap sebagai pemuka sejarah hukum (bahkan

Georges Gurvitch menyatakan Savigny dan Puhcha adalah

peletak dasar mazhab sejarah ini). Ia berpendapat bahwa

hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum

masyarakat (valksgeist). Yang mana semua hukum berasal

dari adat istiadat dan kepercayaan serta bukan berasal dari

pembentukan undang-undang. Ringkasnya pendapat

Savigny yaitu:

o Hukum adalah suatu produk dari kekuasaan

yang tidak disadari (unconscious force).

o Hukum beroperasi secara diam-diam di tengah

masyarakat.

47
o Sumber utama hukum adalah adanya kesetiaan

dari anggota masyarakat, kebiasaan dan

kesadaran dari anggota masyarakat.

o Di setiap masyarakat, tradisi dan kebiasaan

tertentu yang secara terus menerus dipraktekkan

berkembang menjadi peraturan hukum dan

diakui oleh organ-organ negara.

Tokoh lain dalam mazhab ini adalah Sir Henry

Maine (1822-1888), ia mengatakan bahwa perkembangan

hukum dari status kontrak yang sejalan dengan

perkembangan masyarakat yang mana masih sederhana

kepada masyarakat yang senyatanya sudah modern dan

kompleks serta kaidah-kaidah hukum yang ada pada

masyarakat sederhana secara berangsur-angsur akan hilang

dan berkembang kepada kaidah-kaidah hukum sudah

modern dan kompleks.

Mazhab ini membangun kajian-kajian adaptif atas

masyarakat yang relatif bersifat statis homogen, dengan

masyarakat yang komplek (modern), dinamis dan relatif

heterogen. Sehingga sangat membantu dalam

perkembangan bahkan memprediksi bangunan Sosiologi

hukum baik secara teoritis maupun secara aplikatif.

Sehingga apa yang dikatakan Satjipto Rahardjo bahwa

benturan-benturan antara hukum dan negara dengan


48
masyarakat dengan segala budayanya yang lebih alami

memang tidaklah dapat dihindari, apalgi suatu negara dan

bangsa yang sangat majemuk (seperti Indonesia), makanya

agar proses hukum itu tidak dibatasi sebagai proses hukum,

melainkan sebagaimana ditegaskan Satjipto Rahardjo adalah

juga proses sosial.

Puchta adalah murid Von Savigny yang

mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya. Ia

berpendapat sama dengan gurunya, bahwa hukum suatu

bangsa terikat pada jiwa bangsa (Volksgeist) yang

bersangkutan. Hukum tersebut menurutnya dapat

berbentuk:

1) Langsung berupa adat istiadat,

2) Melalui undang-undang,

3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para

ahli hukum.

Aliran Utilitarianisme
Prinsip aliran ini adalah bahwa masyarakat bertindak

untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi

penderitaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jeremy

Bentham (1748-1832) yaitu:

49
“Dalam teorinya tentang hukum, Bentham
menggunakan salah satu prinsip dari aliran
utilitarianisme yakni bahwa manusia bertindak untul
memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan… setiap kejahatan harus disertai dengan
hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan
tersebut. Dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan
tidak lebih dari apa yang diperlakukan untuk
mencegah terjadinya kejahatan”.

Jeremy Bentham (1748-1832)

Berpendapat : Bahwa alam memberikan kebahagiaan

dan kerusakan. Tugas Hukum adalah memelihara

kebahagiaan dan mencegah kejahatan. Menurutnya

pemidanaan haruslah bersifat spesifik untuk tiap jenis

kejahatan, dan seberapa besar pidana itu boleh diberikan,

hal ini tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk

mencegah timbulnya kejahatan.

Yang menjadi kelemahan teori Bentham ini adalah

bahwa ukuran keadilan, kebahagiaan dan penderitaan itu

sendiri diinterpretasikan relatif berbeda antara manusia yang

satu dengan yang lainnya. Sehingga keadilan dan

penderitaan tersebut tidaklah menjadi wujud yang pasti

sama bagi setiap manusia.


50
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Rudolph Von

Ihering (1818-1892) yang ajarannya disebut sosial

utilitarianisme. Ihering berpendapat:

“… hukum sebagai sarana untuk mengendalikan


individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan
masyarakat dimana merela menjadi warganya…
hukum juga merupakan suatu alat yang dapat
dipergunakan untuk melakukan perubahan-
perubahan sosial”.

Rudolf Von Jhering (1818-1892)

Jhering mengajarkan tentang utilitarian sosial. Mulanya

ia penganut paham sejarah (yang dikembangkan oleh

Savigny). Namun pada akhirnya ia justru menentang

pendapat dari Savigny. Menurut Savigny hukum Romawi

adalah pernyataan dari jiwa bangsa Romawi, dan oleh

karena itu ia adalah hukum nasional (Romawi). Hal inilah

yang dibantah oleh Jhering, Jhering mengatakan seperti

dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa

terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya.

Demikian pula dalam bidang kebudayaan. Hukum

Romawi pada hakekatnya juga mengalami hal ini. Suatu

barang tentu lapisan tertua hukum Romawi adalah bersifat

51
nasionalis tetapi pada tingkat-tingkat perkembangan

berikutnya hukum itu makin mendapat ciri universal.

Lebih lanjut Jhering mengatakan bahwa hukum

Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena

hukum Romawi bersifat nasional, akan tetapi justru karena

hukum Romawi dalam perkembangannya sudah

berhadapan dengan aturan hidup lain, sehingga hukum

tersebut lebih bersifat universal daripada nasional

(Darmodiharjo, 1999: 112-116).

John Stuart Mill (1806-1873)

Pemikirannya dipengaruhi oleh pertimbangan

psikologi. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia mencari

kebahagiaan. Yang ingin dicapai manusia bukanlah benda

atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat

ditimbulkannya. Ia dalam pemikirannya menjelaskan

hubungan antara keadilan, kegunaan, kapentingan individu

dan kepentingan umum.

Aliran Sociological Jurisprudence


Ajaran-ajaran aliaran Sociological Juriprudence
berkembang dan menjadi popular di Amerika Serikat

terutama atas jasa Roscoe Pound (1870-1964). Roscoe

berpendapat, bahwa hukum harus dilihat atau dipandang

52
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas

dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka

yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi

secara maksimal.

Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum

sebagai suatu proses (Law in Action) yang dibedakannya

dengan hukum tertulis (Law in The Books). Pembedaan ini

dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum

subtansif maupun hukum ajektif. Ajarannya tersebut

menonjolkan masalah, apakah hukum yang ditetapkan

sesuai dengan pol-pola perikelakuan. Ajarannya tersebut

dapat diperluas lagi sehingga mencakup masalah

keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan

juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang

nyata.

Baik Sosiological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum

mempunyai pokok perhatian yang sama. Pound mengakui

bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat

pengendalian sosial, bahkan hukum selalu menghadapi

tantangan dari pertentangan-pertentangan.

G. W Paton lebih suka menggunakan istilah metode

fungsional untuk menggantikan istilah Sociological

Jurisprudence. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya


53
kerancuan antara “Sociological Jurisprudence” dengan

“Sosiologi Hukum” (Sociology of law). Menurut Lily Rasjidi,

ada perbedaan antara keduanya, Sosiologi Hukum

memandang hukum sebagai gejala soaial belaka, dengan

pendekatan dari masyarakat ke hukum, untuk Sosiological

Jurisprudence mendekati hubungan hukum dengan

masyarakat, mulai dari hukum ke masyarakat (Rasjidi,

1993:84). Pelopor aliran Sosiological Juriprudence adalah

Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.

Eugen Ehrlich (1862-1922)

Ia melihat adanya perbedaan antara hukum positif di

satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di

pihak yang lain. Titik pusat perkembangan hukum tidak

terletak pada undang-undang, putusan hukum atau ilmu

hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Menurutnya

hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif

apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup

dalam masyarakat.

Aliran Realisme Hukum


Aliran ini diprakarsai oleh Karl Liewellyn (1893-

1962), Jereme Frank (1889-1957) dan Justice Oliver Wendell

Halmes (1841-1935) ketiga orang tersebut berasal dari

54
Amerika. Konsep mereka sangat radikal tentang proses

peradilan, dikatakannya bahwa hakim-hakim tidaklah hanya

menentukan hukuman, tetapi bahkan membentuk hukum.

Seorang hakim selalu harus memilih, dia yang menentukan

prinsip-prinsip mana yang dipakai dalam menentukan

pemeriksaan di pengadilan dan pihak-pihak mana yang

akan menang dalam suatu perkara. Sering kali suatu

keputusan hakim telah mendahului penggunaan prinsip-

prinsip hukum yang formal. Kemudian konsep keadilan

dirasinalisasikan di dalam suatu pendapat tertulis.

Aliran realisme hukum sangat memperhatikan tentang

konsep keadilan, namun secara ilmiah mereka menyadari

bahwa keadilan, atau hukum yang adil itu sendiri paling

tidak sangat sulit ditentukan kalau tidak dikatakan tak bisa

ditetapkan. Sementara itu tugas hukum tidak lebih hanyalah

proses dugaan bahwa apabila seseorang berbuat dan atau

tidak berbuat sesuatu, maka dia akan menerima derita

sebagai sanksi dan atau sebaliknya sesuai dengan proses

keputusan yang ditetapkan.

- Essensi hukum ada pada penerapannya, yang


terdapat dalam putusan-putusan pengadilan.
- Keputusan-keputusan hakim sebagai essensi
hukum diputuskan dan dilaksanakan sesuai
kebutuhan masyarakat.

55
- Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya
pada akar dari hukum itu sendiri, yaitu yang
berada di dalam kebutuhan masyarakat itu
sendiri (in social need).

John Chipman Gray (1839-1915)


Gray adalah salah seorang penganut Realisme hukum
di Amerika. Semboyannya terkenal: All the law is judgemade
law. Ia menyatakan di samping logika sebagai unsur
undang-undang, maka unsur kepribadian, prasangka dan
faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang
besar dalam pembentukan hukum.

Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)


Holmes memandang apa yang dilakukan oleh
pengadilan (hakim) itulah yang disebut dengan hukum.
Holmes juga menyatakan: Di samping norma-norma hukum
bersama tafsirannya, moralitas hidup dan kepentingan-
kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para hakim.

Axel Hagerstorm (1868-1939)


Axel adalah tokoh Realisme Hukum Skandinavia.
Pemikirannya tentang (realisme) hukum dapat dilihat dari
pendapatnya tentang bagaimana rakyat Romawi mentaati
hukum. Menurutnya, rakyat Romawi mentaati hukum secara
Irrasional, yaitu hukum yang bersumber dari Tuhan.

56
C. Penutup
Sosiologi Hukum adalah disiplin ilmu yang sudah

sangat berkembang saat sekarang ini. Pada prinsipnya,

sosiologi hukum (Sociology Of Law) merupakan derivatif

atau cabang dari Ilmu Sosiologi, bukan cabang dari ilmu

hukum. Ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan

masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hukum, tetapi

tidak disebut sebagai Sosiologi Hukum, melainkan disebut

sebagai Sociological Jurispudence.

Aliran Sosiologi Hukum yang melihat hukum

sebaliknya bahwa hukum tidak bisa lepas dari kehidupan

masyarakat, kedua-duanya adalah saling menguatkan ketika

proses pembuatan maupun ketika diberlakukan. Sehingga

muncul istilah hukum yang sesuai dengan hukum yang

hidup ditengah masyarakat.

Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial merupakan

sebuah ikhtiar melakukan konstruksi hukum yang didasarkan

pada fenomena sosial yang ada. Perilaku masyarakat yang

dikaji adalah perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan

sistem norma yang ada. Interaksi ini muncul sebagai bentuk

reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan

perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat perilaku

masyarakat sebagai bentuk aksi dalam mempengaruhi

pembentukan sebuah hukum positif.


57
Ilmu-ilmu sosial yang masuk ke dalam studi hukum

perspektif sosiologis tergolong sebagai ilmu hukum (dalam

arti luas). Ilmu hukum pun dibagi ke dalam 2 kelompok

yakni: ilmu hukum normatif, yang juga popular disebut

sebagai dogmatika hukum dan ilmu hukum empirik.

Kelompok disiplin ilmu yang masuk ke dalam socio-legal

studies, masuk ke dalam kelompok ilmu hukum empirik.

Dalam konsepsi Meuwissen, ilmu hukum atau

dogmatika hukum adalah disiplin hukum yang paling

rendah tingkat abstraksinya. Sedangkan filsafat hukum

adalah disiplin hukum yang tingkat abstraksinya paling

tinggi. Di tengah-tengah ilmu hukum dan filsafat hukum

terdapat teori hukum (Jurisprudence).

Penggolongan yang dirumuskan oleh Meuwissen

tentulah bertetangan dengan pendapat yang mengatakan

bahwa hampir semua disiplin ilmu yang masuk ke dalam

studi hukum perspektif sosiologis adalah anak dari induknya

yang nota bene adalah ilmu sosial. Sosiologi Hukum adalah

anak dari Ilmu Sosiologi. Antropologi Hukum adalah anak

dari antrpologi budaya dan Sejarah Hukum adalah anak dari

Ilmu Sejarah.

58
Latihan

1. Jelaskan pengertian dari pendekatan maupun aliran

dalam Sosiologi Hukum?

2. Berikan penjelasan tentang pendekatan hukum sebagai nilai dan

pendekatan hukum sebagai institusi?

3. Jelaskan aliran-aliran yang mempengaruhi Sosiologi

Hukum?

4. Jelaskan perbedaan mazhab formalisme dengan

mazhab sejarah dan kebudayaan?

5. Jelaskan pokok pemikiran dari aliran realisme hukum?

59
BAHAN PEMBELAJARAN IV
Paradigma-Paradigma Dalam Sosiologi Hukum
A. Pendahuluan
Sebagai ilmu monografis maka Sosiologi Hukum

berurusan dengan kenyataan hukum sehari-hari (the full

reality of law). Hukum tidak dapat dilihat semata-mata


sebagai sekumpulan materi hukum, seperti perundang-

undangan dan putusan pengadilan, melainkan memiliki

sosok atau jati diri.

Apakah yang dinamakan ’paradigma’ itu? Paradigma

adalah suatu istilah yang kini amat populer dipakai dalam

berbagai wacana di kalangan para akademisi untuk

menyebut adanya “suatu pangkal (an) atau pola berpikir

yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang

secara individual atau sekelompok orang secara kolektif

pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang

dikuasainya”.

Istilah ini berasal muasal dari bahasa Yunani

klasik, paradeigma, dengan awal pemaknaannya yang

filosofik, yang berarti ‘pola atau model berpikir’. Dari

pangkalan berpikir yang berbeda inilah, sekalipun melihat

objek yang sama, orang tak ayal lagi akan memandang

objek yang sama itu dengan persepsi interpretatif dan

akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan yang

60
berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat

dipersepsi sebagai sebuah gelas yang berisi air, tetapi di lain

pihak dapat pula.

Hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif

dasar. Adanya paradigma tersebut membawa kita kepada

kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang

mengekspresikan paradigm tersebut. Dengan mengetahui

paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat

memahami hukum lebih baik daripada jika tidak dapat

mengetahuinya.

Istilah paradigma itu tidak hanya untuk

mengisyaratkan adanya pola atau pangkal berpikir yang

berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik

antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa

yang disebut paradigm shift. Dijelaskan olehnya (Thomas S.

Kuhn), The Structure of Scientific Revolutions : Chicago

University Press, 1962, bahwa, sepanjang sejarah

peradabannya yang panjang, komunitas-komunitas manusia

itu hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas

dasar kemampuannya mengembangkan pola atau model

berpikir yang sama untuk mendefinisikan pengetahuan-

pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu

pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai

“yang normal dan yang paling benar”, untuk kemudian


61
didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang

dipandangnya “paling normal dan paling benar” pula.

Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan

dengan keyakinan paradigmatik tak selamanya bertahan

dalam jangka panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan

diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya

suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya

itu dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang

disebut the paradigm shift itu.

Demikianlah pola berpikir alias paradigma yang

mendefinisikan pengetahuan suatu komunitas sebagai

pengetahuan yang “normal dan normal” ini hanya bisa

bertahan sepanjang kurun waktu tertentu, sampai ….. sampai

suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus

teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat

didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi

persoalan hidup yang bermunculan, demikian rupa sehingga

terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk mencari

teori-teori pengetahuan baru untuk menjawabi banyak

persoalan yang tak bisa dipecahkan bersaranakan

pengetahun-pengetahuan berparadigma lama, dengan

“beringsut untuk beralih” ke pengetahuan pengetahuan

baru

62
Perbincangan mengenai teori-teori sosial tentang

hukum yang dipulangkan balik ke buah pikiran Marx, Maine,

Durkheim, dan Weber sesungguhnya adalah perbincangan

tentang apa yang disebut oleh Luhman (Rechtsoziologie,

1972) sebagai awal perkembangan Sosiologi Hukum yang

klasik. Teori-teori sosial tentang hukum yang dikemukakan

oleh para pakar pada belahan akhir abad 20 ini yaitu seabad

atau hampir seabad setelah masa hidup keempat tokoh

perintis tersebut di muka tentu saja sudah kian lanjut lagi,

dan tak mudah untuk masih dibilangkan sebagai awal yang

klasik.

Namun begitu, asas-asas teori sosial yang mutakhir

tentang hukum ini umumnya memang bisa pula kita

pulangkan balik ke buah pikiran keempat pakar (atau lima

kalau saja Eugen Ehrlich juga ikut dimasukkan ke dalam

barisan) yang dibilangkan sebagai perintis-perintis dengan

pemikiran-pemikirannya yang klasik itu.

Maka tak salahlah kiranya kalau untuk mengetahui

teori-teori yang telah tumbuh-kembang hingga stadiumnya

yang mutakhir kini orang bersedia menengok dan mengkaji

ulang apa yang pernah dirintiskan oleh para peletak dasar

Sosiologi Hukum yang modern itu (Wignjosoebroto, 2002).

63
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendefenisian Paradigma

Tahun 1962 Kuhn telah memperkenalkan tentang The

Structure od scientific revolution. Istilah paradigm kemudian


memasuki halaman-halaman ilmu pengetahuan. Paradigm

adalah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota

masyarakat sain. Paradigma secara etimologis berasal dari

bahasa Yunani para (di samping atau berdampingan), dan

Deigma (contoh). Dalam kerangka ilmu paradigm

dipandang sebagai kerangka keyakinan (Ordering belief

framework), atau komitmen para intelektual.


Pada dasarnya, paradigma merupakan model yang

dipakai ilmuan dalam kegiatan ilmiahnya, untuk menentukan

jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metoda

apa dan melalui prosedur bagaimana penggarapan itu harus

dilakukan.

Istilah paradigma berasal dari istilah latin paradeigma

yang artinya pola. Istilah ini oleh Kuhn digunakan untuk

menunjuk dua pengertian, pertama, totalitas konstelasi

pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi, dan teknik yang dianut

oleh akademisi, maupun praktisi disiplin ilmu tertentu, yang

memengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, upaya

manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan,

yang menjungkirbalikan semua asumsi dan aturan yang ada.


64
Dalam hal ini paradigm dirumuskan sebagai;

Suatu gambaran fundamental tentang subject matter

dalam suatu ilmu. Paradigma berfungsi untuk

merumuskan apa yang harus dikaji, pertanyaan-

pertanyaan apa yang harus ditanyakan dan aturan-

aturan apa yang harus diikuti dalam mengartikan

jawabab-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah

unit yang paling luas dari consensus dalam suatu ilmu

dan bermanfaat untuk membedakan antara suatu

komunitas keilmuan atau subkomunitas keilmuan satu

denga lainnya. Paradigma membuat penggolongan,

merumuskan dan saling menghubungkan contoh-

contoh, teori-teori dan metode-metode atau alat-alat

yang ada di dalamnya (Anwar, 2008).

Dalam kajian filsafat sosial dan ilmu pengetahuan

sosial, yang kelak meliput juga kajian tentang hukum

nasional yang modern, ada dua paradigma yang sejak lama

berebut dan silih berganti merebut posisi dominan, baik

dalam percaturan akademik maupun dalam pemecahan

masalah kehidupan sehari-hari. Adapun kedua paradigma

itu ialah paradigma teologik yang etik-normatif dan

paradigma saintifik yang logik-empirik. Paradigma tersebut

pertama tampil sebagai mainstream yang dominan sejak

dari era falsafati kaum Stoa di masa sejarah Yunani kuno,


65
sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Aristoteles (384-

322 s.M.), sedangkan paradigma yang kedua datang

mencabar pada masa yang jauh lebih kemudian, ialah masa

datangnya ajaran tentang kebangkitan rasio manusia yang

dikenali sebagai era renesains, sebagaimana yang diwakili

antara lain oleh Galileo dari Galilea (1564 -1642).

Paradigma Aristotelian:

Paradigma Aristotelian berpangkal pada kepahaman

bahwa alam semesta ini berhakikat sebagai suatu

keteraturan atau suatu tertib (disebut‘order’ dalam bahasa

Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti bahwa ‘sudah

tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya’. Alam semesta

itu sudah ada di idea Tuhan yang normatif sebelum ada

dalam wujudnya yang empirik dalam alam amatan manusia.

Lebih lanjut lagi alam pemikiran Aristoteles, semesta

itu tidaklah cuma merupakan sesuatu “ada sebelum ada”

(pre-established), akan tetapi juga disifati oleh hadirnya

keselarasan (harmony) yang final dan sekaligus juga

merupakan suatu rancangbangun tatanan yang terwujud

hanya karena adanya suatu penciptaan oleh Yang Maha

Sempurna, yang oleh sebab itu juga mengisyaratkan adanya

tujuan subjektif Sang Maha Sempurna yang final (causa

finalis) pula, ialah kesempurnaan yang tak akan dapat


66
diganggu. Episteme Aristotelian yang memahamkan

semesta sebagai suatu tertib tunggal yang

preestablished, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik

(teleos = tujuan) ini, menggambarkan semesta ini sebagai

suatu tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak hanya

‘tak akan dapat diganggu’ akan tetapi juga ‘tak boleh

diganggu’. Tak ayal lagi, alam semesta ini lalu juga

dipahamkan sebagai suatu alam yang berkeniscayaan

mutlak karena bersumber dari moral kesempurnaan Tuhan,

yang dalam kekuasaannya sebagai Sang Khalik adalah

pencipta kebaikan dan keindahan yang tak terbantah.

Semesta merupakan ekspresi kecerdasan dan kearifan

illahi, dan setiap elemen dalam tatanan moral seperti ini

(yang anorganik maupun yang organik, tak kurang-

kurangnya juga manusia) sudah dikodratkan dan karena itu

haruslah pula berulahlaku menuruti keniscayaan yang sudah

kodrati itu, deikian rupa agar keteraturan dan keselarasan

dalam tertib semesta ini akan senantiasa terjaga.

Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) barangkali

dapatlah disebut sebagai salah seorang representasi paham

Aristotelian dari masa yang boleh dibilang sezaman dengan

maraknya paham Galilean yang dikatakan sebagai perintis

peletakan dasar-dasar ontologik dan epistimologik bagi

perkembangan ilmu pengetahuan fisika modern. Sebagai


67
pemikir dalam garis Aristotelian, alam pemikiran Leibniz tak

terlalu berbeda dengan episteme Aristotelian yang dikuasai

oleh pemikiran metafisikal yang meyakini kebenaran konsep,

bahwa kehidupan semesta ini telah dikuasai sejak awal mula

oleh suatu imperativa keselarasan.

Dengan perkataan lain, alam semesta ini pada

hakikatnya adalah suatu tertib berkeselarasan yang telah

terwujud secara pasti sejak awal mulanya sebagai

suatupreestablished harmonius order yang tak sekali-kali

mengenal adanya pertentangan. Leibniz menggambarkan

hadirnya keselarasan semesta semisal hadirnya keselarasan

yang dimainkan oleh suatu paduan orchestra. Sekian banyak

pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh Leibniz

disebutmonad yang independen) telah “memainkan” bagian

masing-masing yang sekalipun masing-masing bertindak

sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total

terwujudlah suatu berkeselarasan.

Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak lain

karena adanya partitur yang telah ada dan tercipta serta

ditetapkan sejak awal mula oleh sang komposer, lama

sebelum musik dimainkan oleh para monad itu dan

tersaksikan secara indrawi. Partitur itu telah hadir sebagai

bagian yang inheren di dalam setiap diri satuan (pemain)

yang sama-sama hadir di dalam totalitas sistem (orkestra).


68
Paradigma Galilean:

Paradigma Galilean, yang mencabar paradigma lama

yang Aristotelian, marak pada suatu zaman tatkala sejumlah

manusia pencari kebenaran mencoba memahami

keteraturan alam semesta ini tidak lagi berhakikat sebagai a

harmonious pre-established God’s order.


Paradigma baru ini mengetengahkan pemikiran

bahwa seluruh tertib semesta inisesungguhnya merupakan

himpunan fragmen variabel dalam jumlah yang tak

terhingga, yang secara terus-menerus berhubungan secara

interaktif dalam suatu proses kausalitas di ranah indrawi,

yang sekalipun tampak seperti suatu kekisruhan (chaos),

yang berlangsung secara= berterusan seolah tanpa

mengenal titik henti yang final, namun yang sesungguhnya

di tengah situasi yang secara indrawi tampak kisruh itu

sedang berproses secara progresif dengan keniscayaan

yang tinggi, bergerak dari suatu situasi keseimbangan yang

semula ke suatu situasi keseimbangan berikutnya, ad

infinitum. Inilah yang kelak, dalam sains fisika, disebut


homeostasis.
Demikianlah akan dikatakan secara paradigmatik

dalam pemikiran yang Galilean ini bahwa semesta itu adalah

sesungguhnya suatu jaringan variabel yang interaktif, yang


69
bergerak secara dinamik dan progresif di tengah alam

indrawi yang objektif, tunduk pada imperativa kausalitas

yang berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun.

Imperativa kausalitas ini meniscayakan terjadinya

keterulangan hubungan interaktif antar-variabel yang

progresif, yang oleh sebab itu akan memungkinkan para

pemantau yang dengan tekun menyimaknya untuk

menengarai adanya universalitas dalam hubungan antar-

variabel itu, yang pada gilirannya akan memungkinkan para

pemantau ini dapat membuat prediksi apa yang akan terjadi

apabila satu variabel dikontrol dan/atau dihadirkan terhadap

variabel yang lain.

Di sinilah letak keistimewaan paradigma Galilean yang

non-teologik melainkan saintifik, yang memungkinkan


terjadinya “transfer” dari episteme (pengetahuan yang murni

dengan idiom-idiomnya yang normatif)

ke techne (pengetahuan yang aplikatif dengan

idiomidiomnya yang lugas dan rasional untuk mengatakan

apa adanya).

Dari paradigma yang tak hanya mengetengahkan

perlunya mengetahui berbagai peristiwa kausalitas di

alamnya yang objektif dan “buta nilai”, melainkan yang juga

menyadari adanya kemungkinan mengontrol sebab untuk

memproduksi dan mereproduksi akibat inilah lahirnya ilmu


70
pengetahuan (science/sains) berikut berbagai metodenya

untuk memanipulasi hubungan-hubungan sebabakibat ke

arah ragam-ragamnya yang tak hanya bernilai

ilmiah/saintifik tetapi juga yang teknologik.

Sejarah Perkembangan Paradigma Sosiologi Hukum

Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya

manusia, namun secara sistematis baru dimulai sejak abad

ke-17, ketika Descrates dan para pengikutnya

mengembangkan positivisme, yang sangat berpengaruh

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang

berkembang di Eropa Kontinental, khusunya di Prancis,

dengan dua eksponennya yang terkenal, Henry Saint Simon

dan Aguste Comte. Positivisme adalah suatu paham yang

menuntut, agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk

menentukan kebenaran hendaknya memerlukan realitas

sebagai suatu eksis, sebagai suatu objek yang harus

dilepaskan dari sembarang macan prakonsepsi metafisis

yang subjektif sifatnya.

Positivisme dalam ilmu pengetahuan ini dibidani oleh

dua pemikir Prancis, Henry Saint Simon dan muridnya

Aguste Comte. Dalam perkembangannya yang banyak

memperkenalkan positivisme ini adalah Aguste Comte dan


71
kemudian menjadi paham filsafat ilmu pengetahuan sejak

awal abad ke-20.

Positivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut;

1. Bebas nilai (objektif) dikotomi yang tegas antara

fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti

mengambil jarak dengan semesta dengan

bersikap imparsial-netral. Peneliti hanya melalui

fakta-fakta yang teramati terukur maka

pengetahuan tersusun dan menjadi cerminan

realitas (korespondensi).

2. Fenomenalis, pengetahuan yang abash hanya

berfokus pada fenomena semesta. Metafisika

yang hanya mengandaikan sesuatu di belakang

fenomena ditolak mentah-mentah.

3. Nominalisme, positivism berfokus pada yang

individual particular Karen itulah kenyataan satu-

satunya. Semua bentuk universalisme adalah

semata pemahaman dan bukan kenyataan itu

sendiri.

4. Reduksionisme, alam semesta direduksi menjadi

fakta-fakta yang dapat dipersepsi.

5. Naturalisme, paham tentang keteraturan dari

peristiwa-peristiwa alam, yang menisbikan

penjelasan adikodrati.
72
6. Mekanisme, paham yang mengatakan bahwa

semua gejala alam dapat dijelaskan secara

mekanikal-determinisme seperti layaknya mesin

(Anwar, 2008).

Selain Positivisme, ada juga Teori kritis. Aliran

pemikiran ini lebih senang menyebut dirinya sebagai

ideologically oriented inquiry, yang merupakan suatu

wacana atau cara pandang terhadap realitas, yang

mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu.

Teori kritis lahir dalam ilmu pengetahuan karena

realitas cara pandang positivis terlalu direduksi.

Reduksionisme memandang bahwa alam selalu dipandang

hanya dengan menatap dari kursi goyang para ilmuan

belaka dan tidak pernah turun ke lapangan secara

langsung

Dari dua perkembangan teori kritis tersebut, Hubert

mencatat ada tiga karakteristik dari teori kritis yang

dikembangkan oleh Horkheimer.

Pertama, teori kritis diarahkan oleh suatu

kepentingan perubahan fundamental pada

masyarakat. untuk kepentingan ini harus

ditumbuhkan sikap kritis dalam

mengintepretasikan realitas yang dinilai

terdistorsi.
73
Kedua, teori kritis dilandaskan pada pendekatan

berpikir historis.

Ketiga, teori kritis ada upaya pengembangan berpikir

komprehensif.

Konstruktivisme merupakan salah satu paradigm

yang berhasil memikat sebagian para ilmuan modern,

konstruktivisme berpendapat bahwa alam semesta secara

epistemologis adalah sebagai hasil konstruksi sosial.

Disamping itu, paham ini hampir merupakan antithesis dari

paham yang meletakan pengamatan dan objektivitas

dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.

Secara sederhana, konstruktivisme beranggapan

bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi (bentukn)

dari yang mengetahui sesuatu. Filsafat konstruktivisme

percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang

yang sedang mengetahuinya. Pengetetahuan tidak dapat

dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang

lain. Pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik

tetapi sutau proses menjadi tahu.

Semua pengetahuan yang kita peroleh adalah

konstruksi kita sendiri. Proses konstrutivisme harus

mempunyai kemampuan mengingat dan mengungkap

kembali pengalaman, kemampuan membandingkan,

kemampuan mengambil keputusan mengenai persamaan


74
dan perbedaan dan kemampuan untuk lebih menyukai

pengalaman yang satu dari yang lain.

Von Glaserrsfeld membedakan adanya tiga macam

tahap konstruktivisme;

1. Konstruktivisme radikal adalah konstruktivisme

yang mengesampingkan hubungan

pengetahuan sebagai suatu kriteria kebenaran.

Bagi konstruktivisme radikal, pengetahuan tidak

merefleksikan suatu kenyataan ontologis

subjektif tetapi merupakan suatu pengaturan

dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk

oleh pengalaman seseorang.

2. Realisme hipotesis, menurut aliran ini,

pengetahuan (ilmiah) kita pandang sebagai

suatu hipotetsis dari struktur kenyataan dan

berkembang menuju suatu pengetahuan yang

sejati, yang dekat dengan realitas.

3. Konstruktivisme yang biasa adalah filsafat yang

menyatakan pengetahuan kita merupakan suatu

gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita

dipandang sebagai suatu gambaran yang

dibentuk suatu objek dari dalam dirinya sendiri

(Anwar, 2008).

75
Alam Pemikiran Eropa Barat

Ketika membahas alam pemikiran Sosiologi Hukum

Eropa Barat maka terbesit pikiran kita dengan beberapa

tokoh yang sangat terkenal pada masanya, seperti Karl

Marx, Henry S Maine, maupun Emile Durkheim. Dari ketiga

tokoh tersebut terbangun beberapa hal pokom dalam

sosiologi hukum; Marx sendiri menganggap bahwa hukum

dan kekuasaan politik merupakan sarana kapitalis yang

berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan

kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi dan

sarana ekploitasi.

Dari kajian Marx, dapat kita simpulkan bahwa hukum

bukan sekali-kali model idealisasi moral masyarakat, atau

setidak-tidaknya bahwa masyarakat adalah manifestasi

normative apa yang telah dihukumkan, melainkan

merupakan pengembangan amanat kepentingan ekonomi

para kapitalis yang tak segan memarakkan kehidupannya

lewat eksploitasi-eksploitasi yang lugas. Pokok pikiran Marx

dalam Sosiologi Hukum adalah sebagai berikut.

1. Hukum adalah adat yang menyebabkan

timbulnya konflik dan perpecahan. Hukum tidak

berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya

melindungi kelompok-kelompok dominan.

76
2. Hukum bukan alat integrasi tetapi merupakan

pendukung ketidaksamaan yang dapat

membentuk perpecahan kelas.

3. Hukum dan kekuasaan merupakan sarana-

sarana dari kaum kapitalis yang berkuasa di

bidang ekonomi, untuk melanggenggkan

kekuasaannya.

4. Hukum bukanlah model idealis dari moral

masyarakat atau setidak-tidaknya masyarakat

bukanlah manifestasi normative dari apa yang

telah dihukumkan (Anwar, 2008).

Marx memandang masyarakat sebagai suatu

keseluruhan yang antagonis. Dalam pandangannya, watak

dasar seperti ini ditentukan oleh hubungan konflik antar

kelas-kelas sosial, yang kepentingan-kepentingannya

saling bertentangan dan tak dapat didamaikan karena

perbedaan kedudukan mereka dan tatanan ekonomi.

Henry S Maine, menghasilkan pemikiran bahwa pada

asumsinya masyarakat bukan suatu tipe ideal yang

permanen, melainkan sebagai suatu sistem variable yang

tak pernah bisa terbebas dari berlakunya dinamika proses.

Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa mayarakat bukanlah

yang serba laten. Pemikiran Maine dalam sosiologi hukum

sebagai berikut;
77
1. Masyarakat bukanlah masyarakat yang serba

laten melainkan yang bersifat contingent. Dari

sinilah ia cetuskan sebagai Bapak teori Evolusi

klasik. Teori ini mengatakan bahwa masyarakat

yang progresif adalah masyarakat yang bergerak

dari status ke kontrak.

2. Dalam masyarakat terdapat askripsi-askripsi

tertentu, yang sesungguhnya merupakan

peanugrahan atribut dan kapasitas kepada

warga masyarakat yang bersangkita dengan

posisi masing-masing di dalam tatanan status

yang telah ditradisikan dalam masyarakat.

hubungan antara status dihubungkan atas dasar

askripsi tersebut.
3. Kenyataan dalam masyarakat berubah tatkala

masyarakat melakukan transisi ke situasi-situasi

baru, yang berhubungan dengan membesarnya

agregasi dalam kehidupan. Juga kian

meningkatnya interdepedensi antara segmen-

segmen sosial dalam kehidupan ekonomi

(Anwar, 2008).

Selain Marx dan Maine, Durkheim merupakan Sosiolog

yang mempunyai perhatian tertentu bagi kajian-kajian

hukum. Dalam mengungkapkan idenya tentang hukum,


78
Durkheim bertolak dari penemuan yang terjadi dalam

masyarakat. dengan metode empirisnya, ia melihat jenis-

jenis hukum dengan tipe solidaritas dalam masyarakat.

Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial, pada

hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial yang

berkembang di dalam suatu masyarakat. Hukum

menurutnya adalah cerminan solidaritas. Menurut Durkheim,

hukum dirumuskan sebagai suatu kaidah yang bersanksi.

Berat ringanya suatu sanksi tergantung kepada suatu

pelanggarana dan anggapan masyarakat sendiri tentang

sanksi tersebut.

Bagi Durkheim, ketika masyarakat masih berada pada

tahap diferensiasi segmental, masyarakat tampak sebagai

himpunan sekian banyak satuan pilihan, yang masing-

masing berformt kecil dan antara yang satu dengan yang

lain seragam. Solidaritas yang dominan dalam masyarakat

yang terdeferensiasi secara segmental ini, dikategorikan

sebagai tipe solidaritas mekanis dengan hukum yang

represif. Dalam solidaritas ini, seorang warga masyarakat

secara langsung terikat kepada masyarakat. hal ini dapat

terjadi dengan indikasi cita-cita bersama dari masyarakat

yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat serta intensif

daripada cita-cita masing-masing warganya secara

individual.
79
Hukum yang menindak mencerminkan masyarakat

yang bersifat kolektif, sedangkan hukum yang mengganti

merupakan cerminan masyarakat yang telah terdiferensiasi

dan terspesialisasi ke dalam fungsi-fungsi. Keadaan ini

menciptakan perbedaan-perbedaan dalam pengalaman

dan pandangan. Tipe inilah yang dinamakan oleh

Durkheim dengan tipe solidaritas organis. Hukum

dibutuhkan bukan untuk menindaklanjuti tetapi

memberikan pergantian, sehingga keadannya menjadi

pulih kembali seperti semula.

Sementara itu, Max Weber memandang hukum

sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan-aturan

yang dikelompokan dan dikombinasikan dengan

konsesnsus, menggunakan alat kekerasan sebagai daya

paksaan. Ia menganggap, hukum adalah kesepakatan yang

valid dalam suatu kelompok tertentu. Menurut Weber, dua

hal tersebut adalah dua unsur mutlak yang harus ada

dalam hukum.

Jika disimpulkan, rumusan hukum adalah kombinasi

dari:

1. Beberapa langkah dari adanya kesepakatan

warga masyarakat

80
2. Suatu persetujuan yang dipertahankan secara

mendalam tentang prosedur-prosedur dan

proses-proses

3. Pelaksanaan organisasi melalui kekuasaan

negara (Anwar, 2008).

Alam Pemikiran Amerika Serikat

Sebagaimana paradigma yang lahir dari Eropa Barat,

tokoh-tokoh Amerika pun melahirkan beberapa kajian yang

tentunya menjadi paradigm dalam kajian sosiologi hukum

diantaranya; Oliver Wendell Holmes, Benjamin Nathan

Cardozo, Roscoe Pound.

Holmes memperkenalkan sebuah isyarat yang dikenal

dengan revolusi Sosiologi dalam Ilmu Hukum di Amerika

Serikat. Pikiran utama Holmes dalam Sosiologi Hukum

adalah bahwa setiap hakim bertanggungjawab

memformulasikan hukum lewat keputusan-keputusannya.

hakim harus selalu sadar dan yakin bahwa hukum itu adalah

bukan suatu hal Omnipressent in the sky, melainkan sesuatu

yang senantiasa hadir dalam situasi-situasi konkrit. Bahwa

kehidupan hukum tidak pernah berdasarkan logika,

melainkan merupakan pengalaman yang isinya harus

dilukiskan oleh Sosiologi Hukum.

81
Dengan demikian, Holmes sesungguhnya memandang
hukum sebagai sejumlah keputusan. Pada hakikatnya,
keputusan tersebut merupakan cerminan kepentingan
mereka yang dominan di dalam masyarakat. menurut
Holmes, hukum bukan saja dilihat dari defenisi Yuriprudensi
tetapi ramalan-ramalan yang akan diputuskan oleh
pengadilan.
Benjamin Nathan Cardozo perhatiannya ditujukan
pada aktivitas-aktivitas dalam pengadilan. Menurutnya,
dalam setiap praktik peradilan terdapat suatu ketidakpastian
yang semakin besar yangdiakibatkan oleh keputusan
pengadilan. Adalah suatu manifestasi yang tidak dapat
dicegah dari kenyataan bahwa proses peradilan bukanlah
penemuan hukum, melainkan penciptaan hukum.
Pemikiran Cardozo Adalah Sebagai berikut;
1. Hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan
suatu perkara tetapi batasannya tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Berbagai kepentingan sosial seperti logika,
rakyat, sejarah dan standar moralitas yang
disepakati bersama-sama dalam kehidupan,
merupakan instrument kea rah terciptanya
hukum.
3. Hukum harus tetap sejalan dengan kebutuhan-
kebutuhan sosial (Anwar, 2008).

82
Sementara itu Roscoe Pound memiliki pandangan
hukum diselenggarakan untuk memaksimalkan pemuasan
kebutuhan dan kepentingan (interest). Dalam buku Alvin S
Johnson, Sociology of Law, dituliskan bahwa yang menjadi
pokok pikiran dari Pound adalah sebagai berikut.
1. Ia lebih menelaah akibat-akibat sosial yang
actual dari adanya lembaga-lembaga hukum
dan doktrin-doktrin hukum (lebih pada fungsi
hukum daripada isi abstraknya).
2. Mengajukan studi Sosiologis untuk
mempersiapkan perundang-undangan dan
menganggap hukum sebagai suatu lembaga
sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha
yang bijaksana dalam menemukan cara-cara
terbaik untuk melanjutkan dan membimbing
usaha-usaha yang seperti itu.
3. Untuk menciptakan efektifitas cara dalam
membuat peraturan perundang-undangan dan
memberi tekanan kepada hukum untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial (tidak ditekankan
kepada sanksi).
Dengan demikian, Pound lebih memandang hukum
sebagai proses rekayasa sosial. Hukum adalah sarana utuk
dapat mengontrol masyarakat.

83
C. Penutup
Ilmu yang mempelajari hukum disebut secara umum

sebagai ilmu hukum yang dalam bahasa inggrisnya disebut

sebagai Jurisprudence. Kata Jurisprudence muncul dari kata

Latin Jurisprudential yang artinya the study, knowledge, or

science of law. Ranah kajian ilmu hukum sesungguhnya


selalu berkembang seiring perkembangan umat manusia

dalam pencarian keadilan (searching for the justice) itu

sendiri. Oleh karena itu kajian tentang hukum tidak terlepas

dari kajian yang telah ada sebelumnya. Implikasi lebih

lanjut, sebenarnya tidak boleh ada pemisahan secara ketat

dan dikotomik terhadap pemahaman study normatif

(doktrinal) dengan pemahaman study hukum non doktrinal.

Apa yang kita sebut sebagai paradigma telah

mengalami proses berfikir secara metodologis keilmuan

yang akan dibuktikan keterandalannya melewati ruang dan

waktu. Sebagai bentuk pegangan dalam menganalisis,

paradigma bukan merupakan hasil akhir tetapi sebuah

tawaran akademik yang memberikan jalan berfikir pada

pengamat untuk mengevaluasi kembali pola pikir yang telah

dianut orang banyak. Sejalan dengan hal ini maka yang

dihindari adalah penganutan paradigma secara “kultus

individu”, yang berpegang pada satu paradigma dan

membelanya mati-matian, tanpa berfikir bahwa persoalan


84
hukum adalah persoalan sosial, maka kerap kali yang

dihadapi adalah memberikan penjelasan yang mudah dan

dapat diterima semua pihak.

Paradigma dalam proses berfikir merupakan sebuah

tawaran saja bagi proses pembelajaran suatu kaidah

keilmuan, bukan tawaran akhir. Sepanjang perjalanan umat

manusia untuk terus berfikir, maka terbuka banyak sekali

kemungkinan untuk timbul paradigma-paradigma baru

dengan setting sosial yang berbeda.

85
Latihan

1. Jelaskan secara umum paradigma yang dikemukakan

oleh beberapa ahli?

2. Jelaskan pengertian paradigma dalam kajian Sosiologi

Hukum?

3. Jelaskan perkembangan paradigma Sosiologi Hukum?

4. Jelaskan gaya berpikir Eropa Barat dan Amerika

5. Sebutkan dan jelaskan inti pemikiran dari positivistic?

86
BAHAN PEMBELAJARAN V
Teori-teori Sosiologi hukum
A. Pendahuluan
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin

yang berarti ‘perenungan’, yang pada gilirannya berasal dari

kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti ‘cara atau hasil

pandang adalah suatu konstruksi di alam ide imajinatif

manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam

pengalaman hidupnya.

Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya

pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam

kehidupannya yang indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam

kontemplatif-imajinatifnya, khususnya dalam ilmu

pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan

bermasyarakatnya.

Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang

indrawi ataukah pengalamannya yang kontemplatif-

imajinatif murni, teori itu adalah suatu himpunan konstruksi

yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam

ide imajinatif manusia, Berada di alam imajinatif, teori adalah

gambaran atau hasil penggambaran secara reflektif

fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi

manusia, dibangun dengan bahan-bahan pembangun yang

sebagaimana kita ketahui disebut konsep.

87
Betullah apa yang dikatakan secara ringkas dalam

kepustakaan berbahasa Inggris, seperti yang telah dikatakan

di awal bab ini, bahwa concepts is the building blocks of

theories. Didefinisikan dalam rumusan yang demikian,


berbicara tentang ‘teori’, tak pelak lagi orang niscaya akan

diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama

adalah realitas in abstracto yang berada di alam idea yang

imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa

realitas in concreto yang berada di alam pengalaman yang

indrawi.

Di dalam bahasa falsafati, sementara orang

mengatakan bahwa realitas pertama disebut ‘realitas

nomenon’ (atau ‘nomena’ apabila jamak), sedangkan yang


tersebut kedua disebut ‘realitas fenomenon’ (atau‘fenomena’

apabila jamak).

Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam

nomena yang imajinatif itu, teori hanya bisa dijembatani

dengan padanannya yang berada di alam realitas fenomena,

vise versa, bersaranakan simbol-simbol yang dalam ilmu

bahasa disebut ‘kata-kata’ atau rangkaiannya yang disebut

‘kalimat’. Ringkasnya kata, teori itu terdiri dari sehimpunan

konsep berikut rangkaian-rangkaiannya yang disebut

‘hukum’ (dalam artinya yang umum dan luas).

88
Adapun yang disebut hukum dalam artinya yang

umum dan luas ini tak lain daripada kalimat-kalimat

pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua rupa.

Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari

hasil amatan indrawi di alam fenomena (disebut nomos atau

keteraturan empirikal yang objektif); sedangkan yang kedua

ialah keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus ajaran

yang diyakini kebenarannya sebagaimana yang bermaqom

di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang

secara subjektif membedakan mana yang baik, yang karena

itu wajib dijalani, dan mana pula yang buruk, yang karena itu

wajib dijauhi).

89
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendefenisian Teori
Karya-karya Durkheim dan Weber merupakan contoh

klasik teori makro. Kedua pemikir besar tersebut melihat

sosiologi sebagai kajian terhadap masyarakat sebagai suatu

keseluruhan, sehingga pengkajian mengenai hukum juga

ditempatkan kerangka pemahaman yang demikian itu

(Raharjo, 2010;109).

Durkheim dianggap cukup memilik jasa besar dalam

perkembangan Sosiologi Hukum, dimana beberapa

kajiannya memang diperuntukan membahas fungsi hukum

dan keteraturan sosial sebagai suatu unsur penting dalam

realitas sosial.

Sosiologi Hukum harus membedakan antara jenis-

jenis hukum; klasifikasi pertama yang perlu diadakan ialah

antara hukum yang berkesesuaian dengan kesetiakawanan

organis atau kesetiakawanan karena perbedaan.

Hukum yang berkesesuaian dengan kesetiakawanan

mekanis ialah hukum pidana; yang berkesesuaian dengan

organis adalah hukum keluarga, kontrak, dan dagang,

hukum prosedur, hukum administrative dan konstitusional.

Semua hukum yang dapat dirumuskan sebagai peraturan-

peraturan dengan sanksi-sanksi terorganisasi adalah

90
berlawanan dengan peraturan-peraturan dengan sanksi-

sanksi yang bertebaran (Johnson, 1994; 104).

Kajian Strukturalisme

Teori strukturalisme adalah teori yang berusaha untuk

memahami aspek-aspek kemasyarakatan yang bertitik tolak

dari pendekatan kepada struktur bahasa yang digunakan

oleh masyarakat tersebut, kemudian juga dasar masyrakat,

yang menganggap subjek atau actor bukan sebagai variabel

bebas, tetapi lebih merupakan variable yang tidak bebas,

yang selalu dipengaruhi dan dikungkung oleh struktur

masyarakat, struktur mana terdapat dalam pikiran alam

bawah sadar masyarakat (Fuady, 2013:24).

Paham strukturalisme dimulai dari sebuah proposisi

yang menyatakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem

yang terstruktur, demikian juga dengan kebudayaan yang

juga suatu system terstruktur. Dan akhirnya, masyarakat

pun merupakan suatu system yang terstruktur juga. Jadi,

menurut paham strukturalisme, manusia telah

terperangkap dalam sistem dan struktur bahasa, sehingga

mau tidak mau ketika mau mencoba memahami segala

sesuatu, maka manusia itu harus juga memahaminya

dalam konsteks struktur dan sistem bahasa yang tadi

(Fuady, 2013:118).
91
Paham strukturalisme menekankan kepada arti

pentingnya suatu “struktur” dalam masyarakat. Struktur itu

sendiri memiliki sifat-sifat sebagai berikut;

1. Struktur merupakan suatu totalitas

2. suatu struktur dapat bertransformasi

3. Saat bertransformasi, terjadilah auto regulasi

yakni pembentukan relasi-relasi baru dalam

internal struktur tersebut (Fuady, 2013:122).

Bahwa yang dimaksud dengan teori strukturalisme

dalam Sosiologi ialah pemahaman aspek-aspek

kemasyarakatan yang bertitik tolak dari pendekatan kepada

struktur bahasa yang digunakan oleh masyarakat tersebut,

kemudian juga ke struktur dasar masyarakat. (underlying

structure), yang menganggap subjek atau actor bukan


sebagai variable bebas, tetapi ini merupakan variabel yang

tidak bebas yang selalu dipengaruhi dan dikungkung oleh

struktur masyarakat, struktur mana terdapat dalam pikiran

alam bawah sadar masyarakat. Karena titik fokusnya ialah

“struktur bahasa”, maka paham ini juga disebut dengan

istilah “struturalis”. (Fuady, 2013:119).

Salah satu dari sasaran analisa Strukturalisme ialah

struktur dari norma-norma hukum. tidak semua orang tahu

bahwa norma-norma hukum paling sedikit mempunyai tiga

buah elemen yang sangat penting.


92
Pertama ialah elemen deskripsi mengenai situasi.

Kedua ialah elemen disposisi atau rekomendasi

Ketiga ialah elemen sanksi (Podgorecki, 1987:390).

Hukum kriminal (hukum pidana) banyak berhubungan

dengan elemen-elemen sanksi dan situasi, dan biasanya

mengabaikan elemen rekomendasi atau norma-norma yang

tersembunyi di belakang aturan-aturan hukum yang

diberikan. Sering terjadi bahwa norma-norma kelihatannya

menjadi tidak efektif apabila elemen-elemen yang dimiliki

dan norma-norma tersebut tersebar ke dalam fragmen-

fragmen yang berbeda-beda di dalam sistem hukum.

(Podgorecki, 1987:390).

Sistem hukum sebagai suatu keseluruhan (dan semua

bagian-bagiannya) di dalam suatu sistim sosial akan

mendorong dan memaksakan perilaku individu yang sesuai

dengan harapan dan keinginan dari sistem sosial tersebut,

sehingga karenanya sistem hukum kemudian dipergunakan

sebagai alat untuk menilai perilaku-perilaku setiap individu,

yaitu apakah dan sampai sejauh manakah perilaku-perilaku

mereka itu sesaui dengan tuntutan dari aturan-aturan dan

norma-norma yang berlaku dari sistem sosial tersebut.

Sistem hukum memiliki beberapa peralatan (misalnya,

hierarki dan norma-norma, intepretasi terhadap norma-

norma yang mana intepretasi ini kemudian menjadikan


93
norma-norma tersebut sebagai suatu kesatuan yang

kemudian disebut sebagai sistem hukum, dan sebagainya)

yang dipergunakan untuk memelihara kekuatan dari sistem

hukum sebagai suatu kesatuan (Podgorecki, 1987:391).

Hubungan teori strukturalisme dengah bidang hukum

yang bersifat fenomenal, ada empat macam fenomena

hukum menurut strukturalis, yaitu;

1. Fenomena hukum kelembagaan. misalnya

kelembagaan kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advocate, rumah penjara, lembaga bantuan

hukum, komisi-komisi negara bidang hukum,

dan lain-lain.

2. Fenomena hukum doctrinal. Ini merupakan

pendapat para ahli hukum (doktrin) sebagai

suatu sumber hukum yang memutus perkara.

3. Fenomena hukum normative. Dalam hal ini

berbentuk aturan dan norma hukum produk

lembaga legislative dan produk pengadilan.

4. Fenomena hukum administrative. Dalam hal ini

berupa berbagai peraturan yang diterbitkan oleh

badan-badan eksekutif tingkat dibawah Undng-

undang yang berisikan tata cara mewujudkan

undang-undang ke dalam praktik hukum.

(Fuady. 2013:140).
94
Analisis strukturalis ke dalam sosiologi bidang hukum

antara lain menghasilkan tiga konsep tenatng evolusi

hukum dan perkembanan hukum, yaitu;

1. Konsep yang menyatakan bahwa suatu hukum

berasal dari alam bawah sadar manusia sebagai

faktor bawaan (innate subconscious), yang

dalam hal ini tidak jauh berbeda antara hukum

dalam masyarakat yang tradisional dan hukum

dalam masyarakat maju. Konsep ini sejalan

dengan teori hukum alam.

2. Oposisi-oposisi biner yang mendasar, yang dari

waktu ke waktu menyaring bahaya atau resiko

dari produk-produk budaya hukum secara

evolutif, dan produk budaya yang telah disaring

tersebut membentuk suatu norma, prinsip, dan

aturan hukum dalam suatu masyarakat.

3. Terdapat benih-benih untuk terbentuknya

berbagai macam oposisi biner, dimana oposisi-

oposisi biner tersebut satu sama lainsaling

berkombinasi yang menghasilkan suatu produk

hukum yang merupakan bagian dari sistem

budaya dalam suatu masyarakat (Fuady,

2013:151).

95
Kaum strukturalisme beranggapan bahwa suatu

realitas sosial terdiri dari berbagai jaringan abstrak yang

berisikan hubungan tertentu. Jejaring itu muncul ke

permukaan dalam bentuk fenomena kultural. Karena itu,

analisis kaum strukturalisme ini sangat berguna untuk

mengetahui bagaimana suatu hubungan hukum antara

anggota masyarakat tersebut, dimana hubungan hukum

kemudian di atur oleh suatu norma hukum (Fuady,

2013:156).

Hal-hal yang tadinya dianggap sederhana dan tidak

penting, justru memiliki peran yang sangat penting dalam

menemukan dan memahami gejala sosial budaya, misalnya

adalah bagaimana kita mungkin bisa memahami suatu

fenomena sosial dengan menggunakan analisis

sebagaimana para ahli Linguistik memahami bahasa

(Sulhanudin, 2008).

N. Troubetzkoy (dalam Alan Lane, 1968) menyatakan

bahwa pikiran dasar dari teori Struktural adalah:

Pertama, Linguistik struktural mengalami lompatan

dari studi fenomena kesadaran linguistik

pada infra-struktur nir-sadar.

Kedua, Strukturalisme tidak menganggap istilah-

istilah itu independen, tetapi menganalisis

96
hubungan antar istilah-istilah yang saling

terikat.

Ketiga, Strukturalisme mengenalkan sistem konsep.

Dan yang terakhir, linguistik struktural

ditujukan untuk menemukan hukum umum

(general laws) baik secara induksi maupun

dengan cara deduksi.

Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang

Antropologi/Sosiologi telah melahirkan berbagai perspektif

dalam memandang fenomena budaya. Dengan teori ini,

persoalan-persoalan tanda (simbol dalam bahasa) semakin

mudah dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa

diidentifikasi melalui struktur dari persoalan tersebut. Karena

dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk diyakini

memiliki struktur. Susunan unsur-unsur dapat dianalisis

sehingga dapat diketahui asal-usul konsep itu dan juga

gejalanya. Dengan demikian penjelasanya akan semakin

mudah (Sulhanudin, 2008).

Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di

kalangan ilmuwan ssosial di tahun 1960-an, terutama di

Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era

eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II.

Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap

eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi.


97
Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia

sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk

dunia (Sulhanudin, 2008).

Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan

tokoh-tokoh utama selain Claude Levi-Strauss, yaitu Micheal

Foucault, J. Lacan, dan R. Barthes. Aliran ini muncul ketika

filsafat eksistensialisme mulai pudar.

Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan oleh

berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan

terkomputerisasi memudarkan aliran humanisme romantis

eksistensialis yang berkisar pada subyek otonom, daya cipta

peorangan, penciptaan makna, dan pilihan proyek masa

depan serta dunia bersama sebagai tempat tinggal yang

manusiawi. Usaha eksistensialisme untuk mengubah dan

memperbaiki keadaan tersebut tidak berdaya dihadapan

kenyataan-kenyataan struktur yang makin kuat yang

mengutamakan kemantapan dan keseimbangan struktural

daripada dinamika kreatif dari si subyek.

Dengan diilhami oleh Marx dan Freud, para strukturalis

menyangsikan istilah-istilah kaya kunci eksistensialis seperti

,"manusia", "kesadaran intensional", "subyek", "kebebasan",

"otonomi" dan menggantinya dengan istilah-istilah mereka,

yaitu: "ketidaksadaran", "struktur","diskursus","penanda" dan

"petanda" (Sulhanudin, 2008).


98
Meskipun banyak pertentangan antara

eksistensialisme dan strukturalisme tapi ada juga yang saling

melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia terjebak

dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika

manusia lahir ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki

peran, meskipun kemudian ia mampu memilih atau

membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia kembali akan

terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan

faktisitasnya Heidegger dimana manusia terlempar ke dunia

tanpa bisa dirundingkan lebih dulu. Perbedaannya faktisitas

mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan

eksistensialitas manusia. Sedangkan keterjebakkan manusia

dalam jaring-jaring struktur mengandaikan hilangnya unsur

subyek dan obyek, semua hanyalah bagian dari tenunan

struktur (Sulhanudin, 2008).

Kata “struktur” yang menjadi dasar dari pemikiran

strukturalisme dapat kita lacak dengan memahami Semiotika

(Semiotics) atau Semiologi (Semiology) yang dikembangkan

secara brilian oleh Saussure untuk mengkaji tanda bahasa.

Saussure memproklamirkan bahwa tanda bahasa dibangun

melalui struktur relasi antar tanda bahasa yang menunjukan

adanya perbedaaan (Payne, 1996:513) (Sulhanudin, 2008).

99
Kajian Fungsional Struktural

Konsep pemikiran paham fungsionalisme mengambil

tempat berpijak dari filsafat yang diajarkan oleh Thomas

Hobbes tentang homo homini lupus, yang menyatakan

bahwa pada prinsipnya, manusia saling berkelahi satu sama

lain. Manusia yang satu akan menjadi serigala bagi yang lain

(Fuady, 2013:191).

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan

teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di

abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali

mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile

Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural


fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu
menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu

terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan,

ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi

agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.

Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan

structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai

keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya

berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran

100
Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert

Spencer.

Comte dengan pemikirannya mengenai analogi

organismic kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert

Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan

antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya

berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite

functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis


substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional.

Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim

tertanam kuat terminologi organismik tersebut. Durkheim

mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan

dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang

dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai

fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi

seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama

lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi

maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah

yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons

dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu,

antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown

juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional

modern.

101
Teori Fungsionalisme mengajarkan bahwa secara

teknis masyarakat dapat dipahami denan melihat sifatnya

sebagai suatu analisis system sosial, dan subsistem sosial,

dengan pandangan bahwa masyarakat pada hakekatnya

tersusun kepada bagian-bagian secara struktural, dimana

dalam masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistem dan

faktor-faktor yang satu sama lain mempunyai peran dan

fungsinya masing-masing, saling berfungsi, dan mendukung

dengan tujuan agar masyarakat dapat terus bereksistensi,

dimana tidak ada satu bagian pun dalam masyarakat yang

dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan bagian yang lain,

dan jika salah satu bagian masyarakat yang berubah akan

terjadi gesekan-gesekan ke bagian lain dari masyarakat ini.

Jadi, paham fungsionalisme ini lebih menitiberatkan

perhatiannya kepada faktor dan peranan masyarakat secara

makro dengan mengabaikan faktor dan peranan dari

masing-masing individu yang terdapat di dalam masyarakat

ini (Fuady, 2013:25).

Fungsionalisme ialah suatu teori sosial murni yang

besar (grand theory) dalam Ilmu Sosiologi, yang

mengajarkan bahwa secara teknis masyarakat dapat

dipahami dengan melihat sifatnya sebagai suatu analisis

sistem sosial, dan subsitem sosial, dengan pandangan

bahwa masyarakat pada hakikatnya tersusun kepada


102
bagian-bagian secara struktural, dimana di dalam

masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistim dan faktor-

faktor, yang satu sama lain mempunyai peran dan fungsinya

masing-masing, saling berfungsi dan saling mendukung

dengan tujuan agar masyarakat ini terus bereksistensi,

dimana tidak ada satu bagianpun dalam masyarakat yang

dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan bagian yang lain,

dan jika salah satu bagian dari masyarakat yang berubah,

akan terjadi gesekan-gesekan dan goyangan-goyangan ke

bagian yang lain dari masyarakat ini (Fuady, 2013:181).

Menurut pandangan perspektif teoritis ini, perilaku

atau struktur sosial atau sesungguhnya hukum, dalam

mempelajari haruslah dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi

manifestasi yang mana dimaksudkan dengan fungsi-fungsi

manifestasi ini adalah konsekuensi-konsekuensi yan

diharapkan dari tindakan-tindakan sosial; dan dalam

kaitannya dengan fungsi-fungsi latent baik yang tidak

diharapkan maupun yang tidak diketahui (Podgorecki,

1987:384).

Model-model fungsionalisme yang menggambarkan

suatu masyarakat permulaanya sangat bernilai karena

model-model dapat memperlihatkan bahwa hukum adalah

merupakan suatu fenomena sosial yang dependen atau

tergantung kepada faktor-faktor lain dalam masyarakat


103
(karena sistem hukum dibentuk oleh kekuatan-kekuatan

yang berada di luar sistem tersebut (Podgorecki, 1987:385).

Dalam kajian Sosiologi terdapat beberapa teori

tentang perubahan masyarakat, teori-teori tersebut sebagai

berikut;

1. Teori perkembangan tiga tahap dari Agute


Comte, yaitu dari tahap teologis, ke tahap
metafisis, dan terus ke tahap positif.
2. Teori ekuilibrium dari Talcott Parsons, yang
menyatakan adanya perubahan dalam
masyarakat secara sedikit demi sedikit (evolusi).
3. Teori kemajuan dan pembagian kerja dari Emile
Durkheim, yang menyatakan bahwa karena
faktor kemajuan dan pembagian kerja, maka
masyarakat berkembang dan berubah dari sistim
masyarakat yang mekanisk ke sistem masyarakat
yang organik.
4. Teori evolusi Darwinisme dari Herbert Spencer,
yang menyatakan bahwa seperti perkembangan
mahluk hidup, suatu masyarakat juga
Berkembang dari yang sederhana menuju ke
system masyarakat yan kompleks.
5. Teori perjuangan kelas dari Karl marx, dimana
masyarakat berkembang dari system masyarakat
yang borjuis, aristokrat, dan kapitalis yang

104
berkelas-kelas, kepada sistem masyarakat tanpa
kelas (Fuady, 2013:195).

Teori Perkembangan Tiga Tahap Dari Agute Comte

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling

terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan

bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris

dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial

kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari

kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan

dari revolusi Perancis.

Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry

de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi

Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus

mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang

menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap

dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan

masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap

metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang

mendasari masyarakat industri (Kajian Tokoh

Sosiologi\Auguste Comte).

Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam

bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan


105
sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu

dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang

semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan.

Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan

dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis

antara gejala-gejala (diinspirasi dari de Bonald), sedangkan

dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat

sejarah Condorcet). Bagi Comte untuk menciptakan

masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang

kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini

mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta

2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus

meneurs dari syarat-syarat hidup

3. Metode ini berusaha ke arah kepastian

4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu

yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode

historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu

alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat

yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai

perkambangan gagasan-gagasan

Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam

Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi


106
pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat

dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus

percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan

manusia dan gejala sosial da[at digunakan sebagai dasar untuk

mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik

untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan

hukum-hukum itu.

Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu

keseluruhan organisk yang kenyataannya lebih dari sekedar

jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk

mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode

penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa

masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya

gejala fisik.

Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian

empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika

dan Biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini

[eneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya

dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap

penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa

dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini

memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu

Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu

keadaan dengan keadaan yang lainnya.


107
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte

berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang

bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu,

pertama, Tahap Teologis, merupakan periode paling


lama dalam sejarah manusia, dan dalam

periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode,

yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang

dominan dalam masyarakat primitif, meliputi

kepercayaan bahwa semua benda memiliki

kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.

Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa


ada kekuatan-kekuatan yang mengatur

kehidupannya atau gejala alam.

Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai


digantikan dengan yang tunggal, dan

puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.

Kedua, Tahap Metafisik merupakan tahap transisi

antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap

ini ditandai oleh satu kepercayaan akan

hukum-hukum alam yang asasi yang dapat

ditemukan dalam akal budi.

Ketiga, Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan

data empiris sebagai sumber pengetahuan

terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu


108
sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini

menunjukkan bahwa semangat positivisme

yang selalu terbuka secara terus menerus

terhadap data baru yang terus mengalami

pembaharuan dan menunjukkan dinamika

yang tinggi. Analisa rasional mengenai data

empiris akhirnya akan memungkinkan

manusia untuk memperoleh hukum-hukum

yang bersifat uniformitas.

Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya


akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada
keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu
kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan
kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu
tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah
melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang
ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai
masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan
konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial
yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa
(yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi
suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul
keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat
industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi

109
kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan
adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu
keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).

Pemetaan tokoh dan teori dalam kajian


strukturalisme

Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan

pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan,

penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu

hal melaluipendidikan. Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa

hal hirarki, komponen danunsur,erdapat metode, model teor

itis yang jelas, distingsi yang jelas.

Para ahli strukturalisme menentang eksistensialime

serta fenomenologi yang masih di anggap terlalu

individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal

adalah pandangan Maurice Merleau-Ponty yang menentang

fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. Merleau-

Ponty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam

identitas manusia adalah bahwa kita adalah objek-objek fisik

yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-

beda dan unik dalam ruang dan waktu.

110
Ferdinand De Saussure dalam linguistik. Sebagai

penemu stuktur bahasa, Saussure berargumen dengan

melawan para sejarawan yang menang dalam pendekatan

filologi. Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati

dari sistem terdiri dari elemen dan peraturannya dalam

pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi

dalam masyarakat. Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam

sebuah social fact, yang berdasar pada objektivitas di mana

psikologi dan tatanan sosial dipertimbangkan.

Saussure memandang bahasa sebagai gudang

(lumbung) dari tanda tanda diskusif yang dibagikan oleh

sebuah komunitas. Bahasa bagi Saussure adalah modal

interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang

disebut semiologi.

Levi-Strauss dalam masyarakat Metode Strauss adalah

anthropologi dan linguistik secara serempak. Unsur-unsur

yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan

masyarakatnya sendiri. Dalam proses analisisnya, manusia

kemudian dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang

tidak dikonstitusikan oleh analisis itu, melainkan dilarutkan

dengan analisis. Perubahan penekanan dari manusia ke

struktur merupakan ciri umum pemikiran strukturalis.

Lev Vygotsky, Jacques Lacan dan Jean

Piaget dalam psikologi. Jacques Lacan (Freudian) dalam


111
psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan Levi-

Strauss untuk menekankan pendapat Sigmund Freud

dengan bahasa dan argumen yang, sebagai sebuah tatanan

kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang

itu. Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan

dinamis, termasuk metafora, metonomi, kondensasi serta

pergeserannya. Jean Piaget sendiri menggambarkan

strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu,

yaitu yang unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di

luar struktur itu sendiri. Sistem itu ditangkap melalui kognisi

anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.

Roland Berthes menerapkan analis strukturalis


pada kritik sastra dengan menganggap berbagai
macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai bahasa yang
berbeda-beda. Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu
mengekspresikan sistem formal yang telah dibentangkan
penulisnya dengan suatu bahasa. Hal ini terkait dengan
kondisi zamannya.
Michel Foucault dalam filsafat, strukturalisme modern
atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat adalah dengan
mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai
wacana epistemik dari tiruan maupun
pengungkapannya. Sebagaimana peran isntitusional dari
pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan

112
pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah
sosial juga berlaku pendekatan itu. Dalam disiplin ini, Focault
menyarankan, di dalam perubahan teori dan praktek dari
kegilaan,kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan
catatan itu dapat menormalisasi setiap individu dalam
pengertian mereka.
Pierre Bourdieu Bourdieu pada awalnya menghasilkan

karya-karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis,

termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan

eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan

Louis Althusser.

Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu

yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas

ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga

konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur

mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk

menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali

serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang

mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari,

dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor

memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara

dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia

sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur

sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”.

113
Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam
struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan

kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya

posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-

beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi

seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama

kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama

dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan

yang sama.

Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif,

dimana seorang individu bereaksi secara efisien dalam

semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan

dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah

struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah

struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak

habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah

struktur yang distruktur oleh dunia sosial.

Habitus menjadi konsep penting baginya dalam

mendamaikan ide tentang struktur dengan ide tentang

praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam

berbagai cara, yaitu:

1. Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris

untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus

(gaya hidup).
114
2. Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau

perasaan (emosi).

3. Sebagai perilaku yang mendarah daging.

4. Sebagai suatu pandangan tentang dunia

(kosmologi).

5. Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial

praktis.

6. Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan

perubahan hidup dan jenjang karier.

Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang


struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi

obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas

dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah

interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif

antara individu. Penghubung posisi mungkin agen individual

atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh

struktur lingkungan.

Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena

pertarungan. Struktur Field lah yang menyiapkan dan

membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi

tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan

posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan

sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka

sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana


115
berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik)

digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan

politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan

kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata

semua lingkungan yang lain.

Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang

menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial,

pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber

ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-

hubungan sosial yang memungkinkan seseorang

bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal

simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise

seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang

memiliki beberapa dimensi, yaitu:

1. Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya.

2. Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi.

3. Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar

universitas).

4. Kemampuan-kemampuan budayawi dan

pengetahuan praktis.

5. Kemampuan untuk dibedakan dan untuk

membuat oerbedaan antara yang baik dan

buruk.

116
Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun

hingga terbatinkan dalam diri seseorang. Setelah dibahas

tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan

hubungan ketiga konsep tersebut.

Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual

utama yang krusial bagi karya Bourdieu yang ditopang oleh

sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi dan

perbuatan beserta beragan jenis modal.

Habitus mendasari Field yang merupakan jaringan

relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial

yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field semacam

hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur

posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan

masyarakatyang terbentuk secara spontan.

Habitus memungkinkan manusia hidup dalam

keseharian mereka secara spontan dan melakukan

hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses

interaksi dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field.

Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan

antara individu yang memiliki banyak modal dengan

individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di

singgung bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi

kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam

field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap


117
individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara baik

dan bertahan di dalamnya.

Pemetaan tokoh dan teori dalam kajian fungsional


struktural
Teori Fungsionalisme Struktural menekankan kepada

keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-

perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah

fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan

keseimbangan. Menurut teori ini masyarakat merupakan

suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau

elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam

keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian

akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain.

Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem

sosial, adalah fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalu

tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan

hilang dengan sendirinya.

Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa

semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi

sutu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-

lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut

teori Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya

kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya

118
sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan Robert K.

Merton sebagai penganut teori ini berpendapat bahwa

objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti; peranan

sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi

kelompok, pengendalian sosial.

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan

teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di

abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali

mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile

Durkheim dan Herbet Spencer.

Asumsi-asumsi dasarnya adalah bahwa seluruh

struktur sosial atau setidaknya diprioritaskan, menyumbang

terhadap suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku,

artinya pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi

oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat

sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ

yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut

merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut

tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan

pendekatan lainnya pendekatan struktural fungsional ini

juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori Stratifikasi Struktural-Fungsional & Kritiknya

(Kingsley Davis dan Wilbert Moore). Menurut mereka, dalam

masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial


119
merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal.

Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat

memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga

memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem

stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada

stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada

sistem posisi (kedudukan).

Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi

tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana

agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah

fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi

dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat.

Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan

individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat

individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi

tersebut.

Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi

masalah karena tiga alasan mendasar,

a. Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi

yang lain.

b. Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga

keberlangsungan masyarakat daripada posisi yang

lain.

120
c. Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang

berbeda.

Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi

cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk

menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan

bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat

dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang

menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya

secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat

akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang

berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.

Fungsionalisme Struktural Taclott Parsons, mengenal

empat fungsi penting untuk semua system dan terkenal

dengan istilah AGIL. Fungsi-fungsi penting tersebut ialah

Adaptation, Goal Atteinment, Integration, dan Latency.

a. Adaptation ( adaptasi), Sistem tersebut harus

menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan

setelah itu membuat lingkungan sesuai dengan

kebutuhan.

b. Goal Atteinment (Pencapaian tujuan), Sistem

tersebut harus mendefenisikan dan mencapai

tujuannya.

c. Integration (integrasi), Sistem tersebut harus

mampu mensinergiskan antar komponen dalam


121
sistem tersebut dan juga ketiga fungsi yang lain

(Adaptation, Goal Atteinment, Latency)

d. Latency ( pemeliharaan pola), Sistem tersebut juga

harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki,

baik motivasi individual maupun pola-pola kultural

yang menciptakan dan menopang motivasi.

Parson mendesain skema AGIL diatas untuk digunakan

disemua tingkat dalam sistem teoritisnya, yaitu: Organisme

perilaku ialah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi

adaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan

mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian

melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan

menetapkan tujuan system dan mengoptimalkan sumber

daya yang ada untuk mencapai tujuan. Sistem Sosial

menjalankan fungsi integrasi dengan mengendalikan setiap

komponennya. Dan Sistem Kultural melaksanakan fungsi

pemeliharaan pola.

Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton Sebagai

seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya

telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas

tentang teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang

pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi

perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (fungsional-

122
struktural) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan

Sosiologis.

Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari

analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah

Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional

masyarakat yang dapat dibatasi sebagai

suatu keadaan dimana seluruh bagian dari

system sosial bekerjasama dalam suatu

tingkatan keselarasan atau konsistensi

internal yang memadai, tanpa menghasilkan

konflik berkepanjangan yang tidak dapat

diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton

memberikan koreksi bahwa kesatuan

fungsional yang sempurna dari satu

masyarakat adalah bertentangan dengan

fakta. Hal ini disebabkan karena dalam

kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang

fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat

pula bersifat disfungsional bagi kelompok

yang lain.

Postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang

menganggap bahwa seluruh bentuk sosial

dan kebudayaan yang sudah baku memiliki


123
fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini

dikatakan bahwa sebetulnya disamping

fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga

dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat

dikategorikan kedalam bentuk atau sifat

disfungsi ini. Dengan demikian dalam

analisis keduanya harus dipertimbangkan.

Postulat ketiga, yaitu indispensability yang

menyatakan bahwa dalam setiap tipe

peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek

materiil dan kepercayaan memenuhi

beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah

tugas yang harus dijalankan dan merupakan

bagian penting yang tidak dapat dipisahkan

dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan.

Menurut Merton, postulat yang kertiga ini

masih kabur (dalam artian tak memiliki

kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi

merupakan keharusan.

Emile Durkheim , Masyarakat modern dilihat oleh

Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki

realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki

seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang

harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi


124
anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng.

Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan

berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis.

Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi

ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi

yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian

yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai

keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat

menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga

dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan.

Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai

suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi

dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat

dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut

keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu

sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk

pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.

Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown,

Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi

yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan

keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang

hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model

organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep


125
dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman

Radcliffe-Brown (1976:503-511), mengenai fungsionalisme

struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional

kontemporer: Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu

berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara

penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya

dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu

merupakan sumbangan yang diberikannya bagi

pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown

(1976:505).

Coser dan Rosenberg (1976: 490), melihat bahwa

kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di

dalam mendefinisikan konsep-konsep Sosiologi mereka.

Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh

suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas

kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada

seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola,

atau suatu sistem dengan pola-pola yang relatif

abadi.Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama,

atau pemerintahan, termasuk struktur kelembagaan partai

politik adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang

masing-masing merupakan bagian yang saling

bergantungan satu sama lain (norma-norma mengatur

status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.


126
Coser dan Rosenberg (1976: 490) membatasi fungsi

sebagai konsekuensi-konsekuensi dari setiap kegiatan sosial

yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur

tertentu dari bagian-bagian komponennya. Dengan

demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang

terjadi di dalam struktur itu. Hal ini melahirkan masalah

tentang bagaimana berbagai norma sosial yang mengatur

status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling

berhubungan satu sama lain dan berhubungan dengan

sistem yang lebih luas.

127
C. Penutup
Mahzab strukturalisme yang berkembang, bermula

dari konsep Linguistik Struktural yang dikembangkan oleh

Saussure. Menurutnya, bahasa sebagai sebuah sistem tanda

harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single

temporal plane). Saussure membedakan tiga jenis bahasa

dalam konsepnya, yaitu Signifier, Signified, Arbitrer, dan

Differences.
Signifier dan Signified berbeda satu sama

lain. Signifier adalah petanda, bisa dipahami karena adanya

signified. Sedangkan signified adalah penanda, apapun yang

ditangkap oleh panca indera.

Kemudian strukturalisme yang dikembangkan oleh

Claude Levi Strauss adalah beberapa konsep cara berpikir

akal manusia yang dianggapnya elementer dan yang karena

itu bersifat universal (Koentjaraningrat, 1987: 233). Dalam

melihat struktur bahasa, Strauss tetap menggunakan

metode linguistik Saussure untuk menginvestigasikan

kebudayaan. Kebudayaan bisa direduksi ke dalam bentuk

oposisi biner (0-1). Maksudnya adalah adanya elaborasi dari

differences, hubungan hirarkis dengan prinsip umum 0-1,

pemahaman bahwa 0-1 selalu bersifat berlawanan dan

beroposisi, serta relasi antara 0 dan 1 bersifat natural, stabil,

dan objektif.
128
Strukturalisme disini bersifat anti-humanis, untuk

memahami struktur, manusia sebagai subjek harus

dipisahkan secara radikal dari kebudayaan. Tugas

antropologi struktural disini adalah untuk melakukan

investigasi terhadap deep structure. Misalnya dalam

menganalogikan orkes simfoni. Seorang struktural-

fungsionalis akan datang ke konser musik dan tertarik pada

peranan-peranan dan status-status yang membentuk

organisasi sosial orkes simfoni. Kemudian dia akan meminta

partitur dan menginvestigasi deep structure lewat susunan

nada, aransemen sebagai fakta “matematis”, oposisi biner

yang objektif.

Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran

filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua

masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur

yang sama dan tetap.

Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada

deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan,

penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh

waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-

unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme

menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu

obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur

pada setiap tingkat).


129
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai

metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner

tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan

ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi

introduksi metode struktural dalam bermacam bidang

pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk

mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari

pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini

dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer.

Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik

kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan

membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat

dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi

apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini

menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan

penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua

orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminologi

organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa

masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya

terdapat bagian bagian yang dibedakan.

Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi

masing masing yang membuat sistem menjadi seimbang.

Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan


130
fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka

akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang

menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan

Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu,

antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown

juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional

modern.Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini

juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum,

dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat

adalah : Visi substantif mengenai tindakan sosial, Strateginya

dalam menganalisa struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini

berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam

menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam

menginterpretasikan keadaan.

131
Latihan

1. Jelaskan pengertian tentang teori?

2. Jelaskan asumsi dasar dari dua teori dalam Sosiologi

Hukum yang anda ketahui?

3. Petakan tokoh dan teori dari masing-masing ahli?

4. Teori tiga tahap dari Auguste Comte?

5. Jelaskan pemahaman strukturalisme dan Fungsional

Struktural?

132
BAHAN PEMBELAJARAN VI
Hukum dan Solidaritas Sosial
A. Pendahuluan
Teori-teori mengenai masyarakat, berkembang sesuai

dengan perkembangan masyarakatnya. Dari masa ke masa,

teori-teori tersebut mengalami perkembangan dan

perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama

dengan bertumbuhnya teori baru (kadang kala para

akademisi sering menyebutkan teori lama sudah datang

ajalnya). Dalam konteks tersebut, kita tidak boleh

menyanggah bahwa perubahanperubahan teori mengenai

masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang

dinamis dengan daya pergerakan yang tinggi. Beragam teori

mengenai masyarakat itu memperlihatkan bahwa

kemampuan masyarakat untuk berubah itulah yang menjadi

faktor penting dalam memahami masyarakat. Artinya,

masyarakat tidak dapat dimengerti dari suatu variabel,

pernyataan, dan asumsi dari sebuah teori saja, melainkan

mesti dilihat secara riil dan kontekstual.

Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial

dalam karyanya The Division Of Labour yaitu secara mekanis

dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami

dalam kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat.

Bagi Durkheim, solidaritas banyak di pengaruhi oleh fakta


133
sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha

manusia untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang

disebutnya masyarakat.

Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud

Durkheim mengenai fakta sosial adalah suatu ciri atau sifat

sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level

biologi dan psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada

secara khusus di dalam diri manusia.

Ritzer (2004) juga menjelaskan bahwa fakta sosial,

dalam teori Durkheim itu bersifat memaksa karena

mengandung struktur-struktur yang berskala luas misalnya

undang-undang yang melembaga. Sesuai dengan

pernyataan beliau bahwa: Suatu fakta sosial harus dikenal

oleh kekuatan memaksanya yang bersifat eksternal yang

memaksa atau mampu memaksa individu, dan hadirnya

kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik dengan

adanya suatu sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan

yang diberikan kepada setiap usaha individu yang condong

untuk melanggarnya.

Namun orang dapat juga mengenalnya dengan

tersebarnya fakta sosial itu dalam kumpulan itu, asalkan dia

dapat memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu

sendiri terlepas dari bentuk-bentuk individu yang

diasumsikan dalam penyebaran tersebut (Emile Durkheim


134
1964). indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis

adalah ruang lingkup dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat

menekan (represif). Nilai-nilai ini men-justifikasi setiap

prilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau

melanggar kesadaran kolektif yang kuat tersebut.

Hukuman pada pelaku kejahatan memperlihatkan

pelanggaran moral dari kelompok tersebut melawan

ancaman atau penyimpangan yang demikian tersebut,

karena mereka dipandang sudah merusakkan keteraturan

sosial. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan

rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara

objektif yang memojokkan masyarakat itu, juga tidak

merupakan pertimbangan yang diberikan untuk

menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya,

sebaliknya ganjaran itu menggambarkan dan menyatakan

kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya tidak terlalu

banyak sifat orang yang menyimpang atau tindakan

kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran

kolektif yang diperlihatkannya, tetapi perlu diketahui suatu

sifat kejahatan muncul dari umpan balik nilai-nilai

masyarakat. Yang penting dari solidaritas mekanis adalah

bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat

homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan

sebagainya. Homogenitas ini hanya mungkin kalau


135
pembagian kerja bersifat minim (Johnson,1986), Berlawanan

dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul

karena pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas

ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang

tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil

dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan,

yang memungkinkan dan juga menggalakkan

bertambahnya perbedaan pada kalangan individu.

136
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendefenisian Solidaritas Sosial

Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial

dalam karyanya The Division Of Labour yaitu secara mekanis

dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami

dalam kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat.

Bagi Durkheim, solidaritas banyak di pengaruhi oleh fakta

sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha

manusia untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang

disebutnya masyarakat.

Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud

Durkheim mengenai fakta sosial adalah suatu ciri atau sifat

sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level

biologi dan psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada

secara khusus di dalam diri manusia. Ritzer (2004) juga

menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu

bersifat memaksa karena mengandung struktur-struktur

yang berskala luas misalnya undang-undang yang

melembaga. Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa:

Suatu fakta sosial harus dikenal oleh kekuatan

memaksanya yang bersifat eksternal yang memaksa

atau mampu memaksa individu, dan hadirnya

kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik

dengan adanya suatu sanksi tertentu maupun sesuatu


137
perlawanan yang diberikan kepada setiap usaha

individu yang condong untuk melanggarnya. Namun

orang dapat juga mengenalnya dengan tersebarnya

fakta sosial itu dalam kumpulan itu, asalkan dia dapat

memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu

sendiri terlepas dari bentuk-bentuk individu yang

diasumsikan dalam penyebaran tersebut (Emile

Durkheim 1964) (Setiawan, 2013).

Solidaritas Sosial Dalam Perspektif Sosiologi Dan Hukum


Sosiolog Emile Durkheim menamakan hal pembagian

kerja tersebut dengan sebutan solidaritas. Selanjutnya,

Durkheim membagi jenis solidaritas tersebut ke dalam dua

bentuk sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu

dan hingga kini rasanya masih relevan untuk

dikemukakan.

Pertama, solidaritas organik. Yakni, solidaritas yang

terbangun antara sesame manusia yang didasari akar-akar

humanisme serta besarnya tanggung jawab dalam

kehidupan sesama. Solidaritas tersebut mempunyai

kekuatan sangat besar dalam membangun kehidupan

harmonis antara sesama.

138
Karena itu, landasan solidaritas

tersebut lebih bersifat lama dan tidak temporer.

Kedua, solidaritas mekanistik. Bentuk hubungan antar

sesama selalu dilandaskan pada hubungan sebab akibat

(kausalitas), bukan pada kesadaran akan nilai-nilai

kemanusiaan. Hubungan yang terjalin lebih bersifat

fungsional sehingga lebih temporer sifatnya. Pada tataran

lebih luas, bisa saja solidaritas yang terbangun di dalamnya

didasarkan pada kacamata niaga, yang di dalamnya

berlaku hukum untung rugi.

Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah

“kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan

hubungan antara individu dan atau kelompok yang

didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang

dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional

bersama”.

Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah

diungkapkan, di bagi menjadi dua yaitu: pertama, mekanik

adalah solidaritas sosial yang didasarkan pada suatu

“kesadaran kolektif” (collective consciousness) bersama yang

menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan

sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga

masyarakat yang sama itu. Yang ikatan utamanya adalah

kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral.


139
Sedangkan yang kedua, organik adalah solidaritas yang

muncul dari ketergantungan antara individu atau kelompok

yang satu dengan yang lainnya akibat spesialisasi jabatan

(pembagian kerja).

Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya,

pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan

solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam

bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan

ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya,

karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh

kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang

‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam

masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh

warisan bersama dan pekerjaan yang sama.

Dalam masyarakat modern yang 'organik', para

pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang

lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk

tertentu (bahan makanan, pakaian, dan lain-lain) untuk

memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja

yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa

kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda

dari kesadaran kolektif-seringkali malah berbenturan

dengan kesadaran kolektif.

140
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada

suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu

sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang

memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat

represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang

akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas

kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu;

hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan

keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang

memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia

bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk

memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang

kompleks.

Menurut Durkheim Terjadi Suatu evolusi berangsur-

berangsur dari Solidaritas mekanis ke solidaritas organis

yang didasarkan atas pembagian kerja. Evolusi itu dapat

dilihat dari meningkatnya hukum restitutif yang

mengakibatkan berkuranya hukum represif dan dari

melemahnya kesadaran kolektif. Surutnya kesadaran kolektif

itu tampak paling jelas didalamnya hilangnya arti agama.

Dengan demikian maka terdapat lebih banyak ruang bagi

perbedaan-perbedaan individual. Tetapi Durkheim

mengemukakan pada waktu yang sama bahwa kesadaran

kolektif dalam segi-segi tertentu justru bertambah kuat,


141
yaitu dimana kesadaran kolektif ini memberi tekanan kepada

martabat individu.

Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena

semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan

suatu kebingungan tentang norma dan semakin

meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan

sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-

norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai

keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala

bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol

adalah bunuh diri.


Faktor Pendukung Dan Perusak Solidaritas Sosial
Perspektif hukum dalam konteks interaksi sosial dapat

mengalami perubahan dalam pengaturan dan penerapan.

Hukum yang diharapkan bisa memecahkan masalah secara

adil dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dalam

kenyataan bisa berubah ke arah pengaturan dan penerapan

hukuman bagi siapa yang kuat dialah yang menang. Inilah

fenomena yang mewarnai penerapan hukum dalam konteks

sosial.

Perubahan dalam penerapan hukum itu merupakan

fenomena yang berlangsung secara alami, karena itu perlu

dipahami apa yang sesungghnya terjadi, mengapa hal itu

bisa terjadi dan bagaimana penerapan hukum itu

142
berlangsung. Diskursus tentang penerapan hukum dalam

masyarakat merupakan topik yang menarik karena sering

bersifat kontroversial. Terdapat pakar yang berpendapat

bahwa secara konseptual perangkat hukum merupakan

instrumen yang inhernt dalam kehidupan sosial, tetapi

dalam kenyataan hal itu terkesampingkan. Karena itulah

masyarakat menuntut perlunya “tatanan hukum baru” dalam

rangka menjaga ketertiban sosial.

Peralihan dari solidaritas mekanik ke yang organis

tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh

keseimbangan tanpa ketegangan. Karena ikatan sosial

primordial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan,

dan komunitas dirusak oleh meningkatnya pembagian kerja,

mungkin ada ikatan-ikatan sosial lainnya yang tidak berhasil

menggantikannya. Akibatnya masyarakat menjadi terpecah

yang ditandai individu-individu terputus dengan ikatan

sosialnya, dan kelompok yang menjadi perantara individu

menjadi tidak berkembang dengan baik.

Studi tentang perubahan hukum sangat lekat dengan

cara mengarahkan peran manusia sebagaimana yang

diharapkan. Di sini posisi hukum menjadi multi dimensi

dalam kehidupan manusia, oleh karena itu dalam perubahan

hukum juga menyangkut secara langsung terhadap

keperluan ketertiban sosial yang meliputi nilai dan norma


143
sosial, sistem kemasyarakatan, kebiasaan dan relasi sosial

yang belum maupun yang sudah mapan, dan sistem

kelembagaan sehingga meskipun ada pergeseran tetapi

pranata hukum diharapkan tetap terjaga.

Perubahan hukum dalam kehidupan sosial merupakan

suatu kenyataan yang terjadi dalam usaha manusia untuk

mencapai tujuan hidupnya. Perubahan hukum itu bisa

berbentuk evolusi, transformasi ataupun revolusi,

tergantung dari dinamikanya. Perubahan hukum juga bisa

terjadi secara sepotong-sepotong (graduil) atau serempak

(radical). Perubahan hukum dan akibatnya terhadap kondisi

masyarakat telah menjadi fakta dalam kehidupan manusia,

sebagai reaksi atas rangsangan dari luar maupun dari dalam

masyarakat sendiri. Akibat dari perubahan itu terhadap

kehidupan manusia menimbulkan efek positif ataupun

negatif.

Selain perubahan hukum (law change), dikenal juga

perkembangan hukum (law development), yaitu suatu

perubahan yang ditujukan untuk mencapai kemajuan atau

perbaikan keadaan hidup masyarakat. Dengan perkataan

lain perkembangan hukum berkaitan dengan rekayasa yang

dapat dicapai melalui penggunaan ilmu pengetahuan untuk

memperbaiki tatanan sosial agar dengan perbaikan itu

144
manusia dapat hidup lebih layak sesuai dengan

martabatnya.

Dengn demikian dalam rangka perkembangan hukum

(setelah menjadi kenyataan) selalu menuntut penyesuaian

diri dari anggota masyarakat yang ada di dalamnya. Tetapi

menyesuaikan saja tidaklah cukup, memahami dan

menghayati peraturan baru adalah lebih penting untuk

menghindari kekacauan di dalam masyarakat akibat dari

kemajuan yang telah dicapai. Pemikiran ini berdasarkan

argumen bahwa pada hakikatnya keberadaan hukum adalah

untuk menyelesaikan benturan kepentingan antar sesama

manusia (conflict of human interests) yang terjadi di

masyarakat melalui proses distribusi keadilan (dispensing

justices).
Bagi masyarakat tertentu perkembangan hukum bisa

dianggap sebagai pemicu terjadinya kontradiksi yang

menajam dan keras bahkan menjadi penyebab timbulnya

kerusuhan sosial karena implementasinya yang tidak adil.

Pandangan ini didasarkan pada fakta yang terjadi disekitar

kehidupan manusia bahwa, instrumen hukum tidak bekerja

secara memuaskan dan justru memicu konflik yang

membesar dan distruktif. Masyarakat sering dikecewakan

oleh tindakan dari aparat yang tidak adil, tidak tegas,

bertele-tele, tidak tuntas dan cenderung mencari-cari


145
kesalahan orang (extra yudicial crime). Bahkan masyarakat

sering melihat dan merasakan kolusi antar preman

(lawer maupunhigh) dengan aparat penegak hukum,

sehingga muncul istilah seperti mafia pengadilan atapun

mafia penyidikan.

Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat

dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar

karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu

sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim

yang membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori :

Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis ini, terjadi dalam masyarakat yang

memiliki ciri khas keseragaman pola-pola relasi sosial,

memiliki latar belakang pekerjaan yang sama dan

kedudukan semua anggota. Apabila nilai-nilai budaya yang

melandasi relasi mereka, dapat menyatukan mereka secara

menyeluruh. Maka akan memunculkan ikatan sosial yang

kuat dan di tandai dengan munculnya identitas sosial yang

kuat pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan,

sehingga tidak ada aspek kehidupan yang tidak

diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu

melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada

masyarakat. Karena itu, tidak terbayangkan bahwa hidup

146
mereka masih dapat berlangsung apabila salah satu aspek

kehidupan di pisahkan dari kebersamaan.

Solidaritas mekanis menunjukan berbagai komponen

atau indikator penting. Contohnya yaitu, adanya kesadaran

kolektif yang di dasarkan pada sifat ketergantungan individu

yang memiliki kepercayaan dan pola normatif yang sama.

Individualitas tidak berkembang karena di hilangkan oleh

tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat

hukuman cenderung mencerminkan dan menyatakan

kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau

pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.

Singkatnya, solidaritas mekanis di dasarkan pada suatu

“kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang di

lakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan

sentimen total di antara para warga masyarakat. Individu

dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam

banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi

dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan

kepercayaan atau agama.

Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci

menegaskan indikator sifat kelompok social yang di

dasarkan pada solidaritas mekanis, yakni :

a) Pembagian kerja rendah


147
b) Kesadaran kolektif kuat

c) Hukum represif dominan

d) Individualitas rendah

e) Konsensus terhadap pola normatif penting

f) Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum

orang yang menyimpang

g) Secara relatif sifat ketergantungan rendah

h) Bersifat primitif atau pedesaan.

Contoh masyarakat solidaritas mekanis dan organis.

Yaitu masyarakat yang memiliki pola pembagian kerja yang

sedikit, seperti pada masyarakat desa. Masyarakat desa

memiliki homogenitas pekerjaan yang tinggi misalnya

sebagai petani. Karena kesamaan yang dimiliki oleh

masyarakat desa, membuat membuat kesadaran kolektif

antara individu di dalam masyarakat itu sangat tinggi.

Masyarakat desa juga homogenitas dalam hal kepercayaan

di bandingkan masyarakat kota. Homogenitas itulah yang

mepersatukan masyarakat desa.

Solidaritas organis
Solidaritas organis terjadi di masyarakat yang relatif

kompleks dalam kehidupan sosialnya namun terdapat

kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok

sosialnya, terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu :

148
a) Adanya pola antar-relasi yang parsial dan

fungsional

b) Terdapat pembagian kerja yang spesifik,

c) Adanya perbedaan kepentingan, status,

pemikiran dan sebagainya.

Perbedaan pola relasi-relasi dapat membentuk ikatan

sosial dan persatuan melalui pemikiran yang membutuhkan

kebersamaan serta diikat dengan kaidah moral, norma,

undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat

universal. Karena itu, ikatan solidaritas tidak lagi menyeluruh,

melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat

parsial.

Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja

bertambah besar. Solidaritas ini di dasarkan pada tingkat

saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini di

akibatakan karena spesialisasi yang tinggi di antara keahlian

individu. Spesialisasi ini juga sekaligus mengurangi

kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis.

Akibatnya, kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan

sosial tergeser. Keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu,

munculah ketergantungan fungsional yang bertambah

antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara

relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah

149
pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula di

dasarkan oleh kesadaran kolektif.

Contoh dalam solidaritas organis ialah perusahaan

dagang. Alasan yang mempersatukan organisasi itu

kemungkinan besar ialah motivasi-motivasi anggotanya.

Keinginan mereka akan imbalan ekonomi yang akan di

terima atas partisipasinya, dan di dalam organisasi dagang

masing-masing anggotanya akan merasa tergantung satu

dengan yang lain. Misalnya dalam suatu pabrik, ada

kecenderungan orang berada di mesin teknisi, pengawas,

penjual, orang yang memegang pembukuan, sekretaris, dan

seterusnya. Semua kegiatan mereka memiliki hubungan

spesialisasi dan saling ketergantungan. Sehingga sistem

tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi

berdasarkan pada saling ketergantungan.

Contoh lainnya yaitu dalam masyarakat dengan

solidaritas mekanis, proses perubahan kepemimpinan di

lakukan secara turun temurun dari kepala suku atau etua

adat. Berbeda dengan masyarakat organis proses suksesi

kepemimpinan di lakukan dengan melibatkan partisipasi

masyarakat atau individu. Contohnya seperti pemilihan

umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia melalui

Pemilihan Umum yang melibatkan seluruh warga Negara

Indonesia.
150
Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim,

di mana dalam solidaritas organis di ciptakan pembagian

kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja tersebut

membagi aktivitas yang mulanya hanya dilaksanakan oleh

satu individu menjadi lebih besar dengan bagian-bagian

yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja

akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara

fungsional di butuhkan untuk saling melengkapi. Karena itu

untuk memunculkan suatu solidaritas sosial dalam kelompok

berdasarkan kepentingan bersama yang sifatnya tertentu.

Nampak bahwa pada solidaritas organis menekankan

tingkat saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari

spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di

kalangan individu. Perbedaan individu akan mengurangi

kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar

untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organis

menurut Durkheim di tandai dengan eksistensi hukum yang

bersifat restitutif atau memulihkan, melindungi pola

ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu

yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam

masyarakat.

Doyle Paul Johnson pun secara terperinci menegaskan

indikator sifat kelompok sosial atau masyarakat pada

solidaritas organis, yakni;


151
a) Pembagian kerja tinggi;

b) Kesadaran kolektif lemah;

c) Hukum restitutif/memulihkan dominan;

d) Individualitas tinggi;

e) Konsensus pada nilai abstrak dan umum

penting;

f) Badan-badan kontrol sosial menghukum orang

yang menyimpang;

g) Saling ketergantungan tinggi; dan

h) Bersifat industrial perkotaan.

Peranan Hukum Sebagai Perekat Solidaritas


Bagi Emile Durkheim, masyarakat berbeda dengan

individu (John J. Macionis, Sociology), Masyarakat berada di

luar (beyond) individu. Masyarakat ada sebelum, di tengah,

dan setelah kehadiran individu di dunia. Masyarakat akan

tetap ada kendati individu-individu sudah tidak lagi menjadi

anggotanya. Masyarakatlah yang punya kekuasaan

mengarahkan pemikiran dan tindakan manusia. Sebab itu,

kajian psikologi atau biologi dianggap tidak pernah bisa

menangkap inti pengalaman sosial seseorang. Segera

setelah dibentuk oleh sekumpulan orang, masyarakat

seterusnya bergerak secara mandiri. Bahkan, masyarakat

menuntut kepatuhan dari orang-orang yang telah

membentuknya.
152
Bagi Durkheim, struktur sosial adalah pola perilaku

manusia yang meliputi norma, nilai, dan kepercayaan. Pola

perilaku tersebut dikodifikasi di dalam budaya. Struktur

sosial juga disebut Durkheim sebagai fakta sosial. Fakta

sosial adalah struktur sosial yang benar-benar ada di luar

individu, sifatnya permanen, bukan trend. Selain struktur,

masyarakat juga punya fungsi. Fungsi ini memastikan

masyarakat mampu beroperasi. Salah satu fakta sosial

adalah kriminalitas. Bagi Durkheim, secara sosial fungsi

kriminalitas tidaklah abnormal. Eksisnya kriminalitas

menunjukkan kemampuan masyarakat dalam

mendefinisikan moralitas. Sanksi yang diberikan sanksi

masyarakat atas para pelaku kriminal menunjukkan

eksistensi norma sosial yang harus dipatuhi setiap

anggotanya. Durkheim juga menyatakan, masyarakat tidak

hanya berada di luar individu melainkan juga di dalam-nya.

Personalitas pribadi merupakan representasi masyarakat di

dalam diri individu. Konsekuensi logisnya, apapun yang

individu lakukan, bayangkan, pikirkan, putuskan,

sesungguhnya dipengaruhi apa yang masyarakat

introjeksikan kepadanya. Masyarakat-lah yang mengatur apa

yang boleh diinginkan individu, bagaimana cara

mencapainya, serta apa saja batasannya.

153
Durkheim juga menyorot integrasi sosial. Pandangan

menarik Durkheim mengenai ini adalah kasus bunuh diri.

Menurut Durkheim, bunuh diri lebih banyak terjadi dalam

masyarakat yang lemah integrasi sosialnya. Dalam sebuah

penelitian – dimuat dalam karya tulisnya, Suicide tingkat

bunuh diri rendah di kalangan masyarakat Katolik ketimbang

Protestan. Bagi Durkheim penyebabnya adalah, penekanan

kolektivitas pada masyarakat Katolik lebih besar, sementara

Protestan lebih kepada individualitas. Durkheim berbeda

dengan Weber dalam memandang konsep masyarakat

tradisional dan modern. Bagi Durkheim, masyarakat modern

punya pembatasan yang lebih sedikit atas individu

ketimbang yang dilakukan masyarakat tradisional. Akibat

sedikitnya keterlibatan masyarakat atas individu modern,

masyarakat modern cenderung menciptakan anomie.

Anomie adalah kondisi di mana individu hanya sedikit

mendapat bimbingan moral dari masyarakat. Akibat anomie,

tingkat perceraian, kehamilan di luar nikah, bunuh diri, stress

dan depresi individual lebih banyak terdapat di masyarakat

modern ketimbang tradisional.

Durkheim juga mengkomparasikan kohesi sosial

antara masyarakat tradisional dengan modern. Komparasi

Durkheim lakukan atas aspek solidaritas sosial. Pada

masyarakat pra-industrial, tradisi bertindak sebagai perekat


154
sosial (kohesi) masyarakat. Masyarakatnya mengembangkan

solidaritas-mekanik. Solidaritas-mekanik adalah ikatan sosial

berdasarkan nilai-nilai moral dan sentimen bersama dan

masih kuat dianut serta dipatuhi oleh para anggota

masyarakat. Solidaritas-mekanik sekaligus merupakan

produk kesamaan struktur, okupasi, dan proses sosial

masyarakat.

Dalam masyarakat industri, kepadatan moral (moral


density) meningkat. Peningkatan berakibat pada
melemahnya solidaritas-mekanik yang membuat individu
merasa tidak lagi terikat tradisi. Sebagai penggantinya di
masyarakat modern muncul solidaritas-organik yaitu ikatan
sosial berdasarkan spesialisasi dan kesalingtergantungan
okupasi antaranggota masyarakat. Perbedaan spesialisasi
kerja (okupasi) pada masyarakat modern membuat para
anggotanya saling bergantung satu sama lain.
Ketergantungan bukan karena punya nilai, norma, atau
budaya serupa melainkan kepentingan okupasi. Transaksi
antar kepentingan okupasi direkat oleh uang. Dalam
membangun rumah misalnya, terdapat sejumlah profesi
yang saling bergantung seperti arsitek, mandor, teknik sipil,
tukang listrik, tukang pipa, buruh bangunan kasar, ataupun
pejabat yang mengurus Izin Mendirikan Bangunan. Mereka
tidak bisa bekerja sendiri dalam mendirikan suatu bangunan,

155
dan mereka hanya mau bekerja jika kompetensi masing-
masing diimbali dengan uang.

156
C. Penutup
Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanis

untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya. Solidaritas

mekanis lebih menekankan pada sesuatu kesadaran kolektif

bersama (collective consciousness yang menyandarkan pada

totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata

ada pada warga masyarakat yang sama.

Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang

bergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat

yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma

yang sama pula. Oleh karena itu sifat individualitas tidak

berkembang, individual ini terus menerus akan dilumpuhkan

oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Individu

tersebut tidak harus mengalami atau menjalani satu tekanan

yang melumpuhkan, karena kesadaran akan persoalan hal

yang lain mungkin juga tidak berkembang. Inilah yang

menjadi akar memudarnya atau deintegrasi nilai pada

solidaritas mekanis.

Pertama, perlu diketahui bahwa nilai barang bersifat

ekonomis semakin lama nilainya akan menyusut. Kedua,

kesadaran kolektif sebenarnya tidak stagnan atau tetap,

melainkan bergerak liar dalam setiap tindakan masyarakat.

Berlawanan dengan solidaritas mekanis, solidaritas

organis muncul karena pembagian kerja yang bertambah


157
besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling

ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu

bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi

dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga

menggalakkan bertambahnya perbedaan pada kalangan

individu.

Munculnya perbedaan-perbedaan pada kalangan


individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang pada
gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk
keteraturan sosial dibandingkan dengan saling
ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-
individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih
otonom sifatnya.
Seperti yang dinyatakan Durkheim bahwa “itulah
pembagian kerja yang terus saja mengambil peran yang
tadinya diisi oleh kesadaran kolektif”. Durkheim
mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organis itu
ditandai oleh pentingnya undang-undang yang bersifat
memperbaiki, menyehatkan maupun yang bersifat
memulihkan (restitutif) daripada yang bersifat represif.
Tujuan dari kedua bentuk undang-undang tersebut
sangat berbeda. Undang-undang represif lebih
mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat
sedangkan undang-undang restitutif berfungsi
mempertahankan atau melindungi pola saling

158
ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu
yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang
diberikan kepada seseorang pelaku kejahatan berbeda
dalam kedua undang-undang itu. Mengenai tipe sanksi
yang bersifat restitutif Durkheim mengatakan “bukan bersifat
balas dendam, melainkan hanya sekedar menyehatkan
keadaan”.
Terlaksananya undang-undang represif sebenarnya
bukan memperkuat keadaan karena sudah adanya investasi
nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju kepada
undang-undang restitutif.

159
Latihan
1. Jelaskan konsep solidaritas sosial dari beberapa ahli?

2. Jelaskan pandangan Durkheim tentang integrasi sosial?

3. Jelaskan apa yang dijelaskan Doyle Paul Johnson

mengenai indikator sifat kelompok sosial atau

masyarakat pada solidaritas organis?

4. Jelaskan pemahaman tentang solidaritas mekanis dan

organis?

5. Jelaskan peranan hukum sebagai perekat sosial?

160
BAHAN PEMBELAJARAN VII
Hukum dan perubahan sosial
A. Pendahuluan

Sebagaimana yang kita ketahui, perubahan serta

dinamika masyarakat memiliki saham penting bagi

munculnya sosiologi hukum, dalam hal ini perubahan

menjadikan setiap bagian yang ada pada kehidupan

masyarakat ikut menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi.

Kelompok masyarakat berkembang dari bentuk yang

sederhana sampai dengan yang kompleks. Bersamaan

dengan itu, timbullah hukum dalam masyarakat, mulai dari

yang sederhana sampai pada saatnya menjadi semakin

rumit. Corak kehidupan masyarakat diikuti oleh corak hukum

yang berlaku pada masyarakat tersebut.

Dalam perkembangannya saling pengaruh

mempengaruhi. Setiap kelompok masyarakat selalu

ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang

ideal dan aktual, antara yang standar dan yang praktis.

Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat

mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah

laku individu. Penyimpangan nilai yang ideal dalam

masyarakat seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan

menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Dalam situasi

demikian, kelompok berhadapan dengan problema untuk


161
menjamin ketertiban bila kelompok tersebut ingin

mempertahankan eksistensinya

Dalam sistim sosial menurut teori Cybernetic (Soerjono

Soekanto), masyarakat mengalami perubahan sosial

berdasarkan beberapa aspek yaitu:

a. Budaya.

Aspek budaya dalam perubahan sosial

menkontribusikan nilai. Nilai yang dimaksud adalah

pembangsaan, pembangsaan agama,

pembangsaan iptek, pembangsaan militer,

pembangsaan persatuan dan kesatuan.

b. Sosial.

Aspek sosial menkontribusikan integrasi (pengikat).

Dalam aspek ini nilai dijadikan sebagai pedoman

yang harus dituliskan dalam bentuk hukum,

sehingga nilai tersebut dijadikan sebagai pengikat

kehidupan bersama. Bentuk hukum yang dimaksud

adalah sistem hukum tidak tertulis (hukum adat),

sistem hukum tertulis (Common Law, Anglo Saxon,

Sosialis, Islam).
c. Politik.

Aspek politik menkonktribusikan pencapaian tujuan.

Dalam mencapai tujuan kehidupan harus terikat

dengan aturan dan nilai. Dalam pencapaian tujuan


162
harus menggunakan budaya politik, proses politik,

partisipasi politik, komunikasi politik dan struktur

politik.

d. Ekonomi.

Masyarakat dalam perubahan sosial dalam

mencapai tujuan ekonomi harus menggunakan

energi. Energi yang dimaksud harus bersifat liberal,

kapitalis, sosialis dan pancasila sehingga akan

mengalami pertumbuhan ekonomi dan

pemerataan ekonomi.

Pembangunan sendiri terdiri dari beberapa konsep:

· Kemajuan karena adanya pembangunan

· Pembangunan belum tentu kemajuan

· Pembangunan karena adanya perubahan sosial

· Perubahan sosial belum tentu pembangunan.

Berdasarkan konsep perubahan di atas, Soerjono

Soekanto mendefenisikan pembangunan merupakan proses

yang dialami oleh suatu masyarakat menuju kepada

keadaan hidup yang lebih baik, proses mana pada

umumnya direncanakan serta dilakukan dengan sengaja.

Pada prinsipnya kaidah-kaidah hukum sebagai alat

untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting

terutama dalam perubahan yang dikehendaki atau

direncanakan (intended change atau planed change).


163
Dengan perubahan yang direncanakan dan dikehendaki

tersebut dimaksudkan sebagai perubahan yang dikehendaki

dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan

sebagai pelopor. Dalam masyarakat yang kompleks dimana

birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan sosial,

mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya.

Dalam hal ini, maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk

mengadakan perubahan sosial, walaupun secara tidak

Langsung.

Selanjutnya sehubungan dengan perubahan ini,

hukum juga bertujuan mengubah perikelakuan masyarakat.

Satu masalah yang muncul seperti dikemukakan oleh

Gunnar Myrdal yakni soft development dimana hukum

tertentu ternyata tidak efektif. Gejala ini terjadi karena

beberapa faktor seperti pembentuk hukum, penegak

hukum, pencari keadilan dan lainnya. oleh karena itu, selain

mencapai tujuan, perlu dirumuskan sarana untuk mencapai

tujuan tersebut.

Soerjono Soekanto mengemukakan ada 4 kaidah

hukum yang bertujuan mengubah perikelakuan masyarakat

yakni:

o Melakukan imbalan secara psikologis bagi

pemegang peranan yang patuh maupun

pelanggar kaidah hukum.


164
o Merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk

bertindak sedemikian rupa, sehingga sesuai

dengan serasi-tidakserasinya perikelakuan

pemegang peranan dengan kaidah hukum.

o Mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang

dapat mempengaruhi perikelakuan pemegang

peranan yang mengadakan interaksi.

o Mengusahakan perubahan persepsi, sikap, dan

nilai-nilai pemegang peranan.

Langkah di atas hanya merupakan suatu model yang

tentunya memiliki banyak kelemahan. Akan tetapi dengan

model tersebut, setidaknya dapat diidentifikasi masalah yang

berkaitan dengan tidak efektifnya sistem hukum tertentu

dalam mengubah dan mengatur perikelakuan masyarakat.

165
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Defenisi Dan Konsep Perubahan Sosial

Kehidupan manusia itu adalah proses dari suatu tahap

hidup ke tahap lainnya, karena itu perubahan sebagai

proses dapat menunjukkan perubahan sosial dan perubahan

budaya atau berlaku kedua duanya pada satu runtuntan

proses itu. Adapun perubahan sebagai proses tanpa

membicarakan dahulu macam dan arah proses itu. Proses

dalam makna sosial pada hakekatnya ialah perjalanan

kehidupan suatu masyarakat yang ditunjukkan oleh

dinamikanya baik mengikuti evolusi biologi dalam daur

hidup, maupun perubahan tingkah laku dalam menghadapi

situasi sosial mereka.

Menurut Astrid S.Susanto ( 1985 ) perubahan sosial

adalah perubahan masyarakat menjadi kemajuan

masyarakat yang sesuai bahkan dapat menguasai kemajuan

teknologi dan menghindari bahaya degradasi martabatnya.

Perubahan sosial diberi arti sebagai development atau

perkembangan yang merupakan perubahan tertuju pada

kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat,

sehingga akan dinikmati pula oleh individu. Tujuan

pembangunan itu adalah pemanfaatan kemajuan tehnologi

dan ilmu dalam memperbaiki keadaan materi – mental

manusia, agar martabat manusia dapat ditingkatkan.


166
Robert H. Lauer memberikan uraian tentang

perubahan sosial dalam versi lain. Paling tidak ia

menganggap penting untuk terlebih dahulu menguraikan

definisi perubahan sosial dimasa lalu yang dibangun diatas

mitos – mitos tentang perubahan yang merintangi

pemahaman dan menghalagi penyusunan perspektif baru,

karena itu ia menyatakan ” Understanding of social change,

therefore,must begin by defining the concept and by


shedding The mythical from our thought.”
Pemahaman mengenai perubahan sosial harus dimulai

dengan memberikan batasan konsepnya dan

menghilangkan mitos dari pikiran kita. Mitos membentuk

pola pikiran yang menyimpang,trauma dan ilusi,yang akan

merupakan kendala untuk memahami perubahan sosial

sebagai hakekat kehidupan manusia.

Kebanyakan literatur tentang perubahan sosial ,

dimulai tanpa mendefinisikan dengan jelas mengenai apa

yang dimaksud dengan konsep perubahan itu. Perubahan

sosial diperlakukan seakan mempunyai makna berupa fakta

intuitif. Tetapi arti perubahan sosial sebenarnya bukanlah

berupa fakta intuitif dan bukan berarti suatu yang sama

dengan fakta intuitif seperti yang diartikan kebanyakan para

ahli.

167
Lalu apa yang kita artikan dengan perubahan sosial

itu? Kebanyakan definisi membicarakan perubahan sosial

dalam arti yang sangat luas. Wilbert Moore misalnya,

mendefinisikan perubahan sosial sebagai “perubahan

penting dari striktur sosial”, dan yang dimaksud dengan


struktur sosial adalah “pola-pola perilaku dan interaksi sosial.

Moore memasukkan ke dalam definisi perubahan sosial

sebagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan

fenomena kultural. Perubahan sosial didefinisikan sebagai

fariasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola

soaial, dan bentuk-bentuk sosial, serta “setiap modifikasi

pola antar hubungan yang mapan dan standart perilaku.

Disadari atau tidak perubahan dalam masyarakat itu

pasti terjadi, meskipun terkadang perubahan didalamnya

tidak selamanya mencolok atau sangat berpengaruh

terhadap kehidupan luas. Ada perubahan yang bersifat

cepat dan mencakup aspek-aspek yang luas, ada pula yang

berjalan sangat lambat. Perubahan tersebut akan terlihat

dan dapat ditemukan oleh seseorang yang mau meneliti

susunan dan kehidupan suatu masyarakat dalam kurun

waktu tertentu dan dibandingkan dengan susunan dan

kehidupan masyarakat tersebut pada masa lampau

Rogers et.al. mengemukakan bahwa perubahan sosial

adalah suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan


168
didalam struktur dan fungsi dari suatu sistem

kemasyarkatan.

Sedangkan Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi

mengemukakan bahwa perubahan sosial diartikan sebagai

suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik

karena perubahan-peubahan kondisi geografis, kebudayaan

material, komposisi penduduk, idiologi, maupun karena

adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam

masyarakat tersebut

Soerjono Soekanto merumuskan bahwa perubahan

sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-

lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-

nilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan diantara kelompok-

kelompok dalam masyarakat

Kiranya sulit untuk membayangkan bahwa perubahan-

perubahan sosial yang terjadi pada salah satu lembaga

kemasyarakatan, tidak akan menjalar ke lembaga-lembaga

kemasyarakatan lainnya. Walaupun hal itu mungkin saja

terjadi, akan tetapi pada umumnya suatu perubahan di

bidang tertentu akan mempengaruhi bidang-bidang lainnya.

Masalah kemudian adalah sampai seberapa jauh suatu

lembaga kemasyarakatan dapat mempengaruhi lembaga-

lembaga kemasyarakatan lainnya, atau sampai sejauh


169
manakah suatu lembaga kemasyarakatan dapat bertahan

terhadap rangkaian perubahan-perubahan yang dialami

lembaga kemasyarakatan lainnya (Rosana, 2011).

Realitas Perubahan Sosial Di Indonesia


Perubangan sosial di Indonesia dimulai dengan

reformasi yang membawa perubahan terhadap tantanan

kehidupan. Reformasi merupakan suatu proses perbaikan

dengan melakukan koreksi terhadap unsur-unsur yang

rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar

yang masih fungsional, tanpa merubah bentuk masyarakat

dan budaya secara total dan mendasar. Transformasi adalah

perubahan yang sifatnya lebih cepat, total, mendasar dan

menyeluruh. Sedangkan deformasi merupakan kerusakan

pada keteraturan sosial tersebut. Perubahan yang cepat

tersebut harus mampu mempertahankan “cultural

continuity”, dan disini suatu unsur yang amat perlu


dipertahankan adalah kesepakatan-kesepakatan nilai

(commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih

dari 60 tahun silam.

Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi


pergeseran-pergeseran yang diantaranya sebagai berikut:

170
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi
Oligarki, Kekuasaan terpusat pada sekelompok
kecil elit, sementara sebagian besar rakyat
(demos) tetap jauh dari sumber-sumber
kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi
dan sebagainya.). Krisis dalam representative
democracy dan civil society.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–
Cultural Animosity). Pola konflik di Indonesia
ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung
fanatik Orba dengan pendukung Reformasi,
tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas
sosial, kampung dan sebagainya. Sifatnya pun
bukan vertikal antara kelas atas dan bawah
tetapi justru lebih sering horizontal, antara
rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan
konflik yang korektif tetapi destruktif.
a) Konflik sosial yang terjadi di Indonesia
bukan hanya konflik terbuka (manifest
conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah
“hidden atau latent conflict” antara
berbagai golongan.
b) Cultural animosity adalah suatu kebencian
budaya yang bersumber dari perbedaan
ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib
yang diberikan oleh sejarah masa lalu,
sehingga terkandung unsur keinginan
balas dendam. Konflik tersembunyi ini

171
bersifat laten karena terdapat mekanisme
sosialisasi kebencian yang berlangsung
dihampir seluruh pranata sosialisasi (agent
of socialization) di masyarakat (mulai dari
keluarga, sekolah, kampung, tempat
ibadah, media massa, organisasi massa,
organisasi politik dan sebagainya.
c) Kita belum berhasil menciptakan
kesepakatan budaya (civic culture)
d) Persoalannya adalah proses integrasi
bangsa kita yang kurang mengembangkan
kesepakatan nilai secara alamiah dan
partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih
mengandalkan pendekatan kekuasaan
(integrasi koersif)
e) Karena kebencian sosial yang tersembunyi,
maka timbul suatu budaya merebaknya
pengangguran. Secara sosiologis,
penganggur adalah orang yang tidak
memiliki status sosial yang jelas
(statusless), sehingga tidak memiliki
standar pola perlaku yang pantas atau
tidak pantas dilakukan, cenderung mudah
melepaskan diri dari tanggungjawab sosial
(Umanailo, 2013).

172
Hukum Dan Perannya Dalam Perubahan Sosial
Dalam Masyarakat Indonesia

Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang

tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang

dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk

hukum, badan penegak hukum, dan badan-badan

pelaksana hukum, merupakan ciri-ciri yang terdapat pada

negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana, ketiga

fungsi berada pada satu tangan terntentu atau diserahkan

pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti

keluarga. Akan tetapi, baik pada masyarakat modern

maupun sederhana ketiga fungsi tersebut dijalankan dan

merupakan saluruan-saluran melalui mana hukum

mengalami perubahan-perubahan.

Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-

perubahan hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama.

Artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan

hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur

lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin

hal yang sebaliknya yang terjadi.

Agent of change atau pelopor perubahan adalah


seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan

kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau

lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Hukum

173
mempunyai pengaruh langsung dan pengaruh tidak

langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial.

Seperti misalnya hukum yang mengatur pengendara

bermotor untuk memakai helm bagi penggunanya.

Realitas yang memaksa pengendara untuk mamakai

tidak terlepas dari intervensi hukum, dimana ada kekuatan

berupa sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Maka

dengan demikian hukum mampu merubah masyarakat

untuk memakai helm ketika berkendaraan di jalan umum.

Selain itu, hukum merupakan suatu sarana yang

ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat,

sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam

bidang ini adalah apabila yang terjadi apa yang dinamakan

oleh Gunnar Myrdal sebagai Soft Developmnet (Soekanto,

1980).

Hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan

diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu

akan timbul, apabila ada fktor-faktor tertentu yang menjadi

halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari

pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan,

maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.

Fungsi Hukum Sebagai Siklus Perubahan Sosial


174
Pada prinsipnya kaidah-kaidah hukum sebagai alat

untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting

terutama dalam perubahan yang dikehendaki atau

direncanakan (intended change atau planed change).


Dengan perubahan yang direncanakan dan dikehendaki

tersebut dimaksudkan sebagai perubahan yang dikehendaki

dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperan

sebagai pelopor. Dalam masyarakat yang kompleks dimana

birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan sosial,

mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya.

Dalam hal ini, maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk

mengadakan perubahan sosial, walaupun secara tidak

Langsung.

Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupan

sosialnya tidak akan pernah terlepas dari adanya kebutuhan

dalam menunjang kelangsungan kehidupan mereka, oleh

sebab itulah manusia yang satu dengan manusia yang

lainnya akan saling memiliki kepentingannya masing-masing

dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Namun karena manusia identik dengan sifat egois

(mementingkan diri sendiri) dan angkuh yang

menyebabkannya seringkali merugikan orang lain ketika

menjalankan dan mengejar kepentingan mereka, jadi tidak

mustahil akan sering terjadi konflik di antara manusia dalam


175
melaksanakan dan mengejar kepentingannya tersebut,

disinilah muncul yang biasa disebutkan dengan masalah.

Dari needs dan problem itu, kemudian hukum hadir untuk

meminimalisir konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial

manusia, agar manusia merasa aman dalam menjalankan

dan mengejar kepentingannya masing-masing

(Mertokusumo, 2005: 3).

Hukum juga sering diartikan sebagai teks yang tertera

di dalam Undang-Undang, sebagai aparat penegak hukum

(Polisi, Jaksa, dan Hakim), dalam kajian tentang budaya

hukum (Legal Culture), terlihat bahwa hukum itu disitu

difungsikan sebagai motor keadilan, kemudian dalam

berbagai kajian lainnya terkadang hukum disebut sebagai

institusi sosial, dan juga sebagai alat rekayasa sosial, bahkan

sebagian orang menyatakan hukum itu sebagai mitos dari

kenyataan.

Perbedaan yang demikian tidak menjadi suatu

permasalahan dalam mendefenisikan serta memfungsikan

hukum tersebut. Namun ada hal yang menarik dalam kajian

sosiologi hukum, yaitu ketika melihat prilaku manusia

sebagai hukum. Sebagaimana dipaparkan oleh Satjipto

Rahardjo (2009: 20), maka akan diperlukan kesediaan untuk

mengubah konsep kita mengenai hukum, dimana hukum itu

176
tidak hanya diartikan sebagai peraturan (rule), tetapi juga

prilaku (behavior).

Lawrence M. Friedman, sebagaimana di kutip oleh

Saifullah, (2007: 26) yang menyatakan bahwa sistem hukum

itu terdiri atas struktur hukum (berupa lembaga

hukum), substansi hukum (beruba perundang-undangan),

dankultur hukum atau budaya hukum. Dimana ketiga

komponen itulah yang mendukung berjalannya sistem

hukum di suatu Negara.

Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa secara realitas

sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam

masyarakat itu akan mengalami perubahan-perubahan

sebagai akibat pengaruh dari modernisasi atau globalisasi,

baik itu secara evolusi maupun revolusi. Dan bisa juga

karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang

mempengaruhi hukum. Demikian halnya dengan manusia

dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), tentunya bisa

mengalami perubahan-perubahan seperti yang terjadi pada

hukum itu sendiri. Lantas bagaimana jika hukum dan

masyarakat itu mengalami perubahan. apakah hukum itu

yang menyebabkan perubahan masyarakat, atau

sebaliknya. dan bagaimana peran social control dan social

enginerring dalam perkembangan masayarakat tersebut.

177
Fuady (2011: 52), yang jika dilihat dari perkembangan

hokum dibandingkan dengan perkembangan masyarakat,

hokum dapat dibedakan sebagai berikut;

1. Hukum Social engineering

2. Hukum Progressive

3. Hukum Slow Motion

4. Hukum Stagnan

Gerakan dari empat model hokum tersebut berfungsi

dan berkembang secara berbeda-beda, dengan konsekuensi

yang berbeda-beda pula.

Perubahan hukum dan perubahan masyarakat, ada

dua macam perubahan hukum yaitu;

1. Perubahan hokum yang bersifat ratifikasi. Dalam

hal ini sebenarnya masyarakat sudah terlebih

dahulu berubah dan sudah mempraktikkan

perubahan dimaksud kemudian diubahlah hukum

untuk disesuaikan dengan perubahan yang sudah

terlebih dahulu terjadi dalam mayarakat. Akan

tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini tidak

serta-merta terjadi perubahan hukum jika terjadi

perubahan dalam masyarakat. Yang lebih sering

ialah hukum sulit merespons perubahan yang

terjadi dimasyarakat. Sebab hakikinya hokum itu

super konservatif, dan kalaupun berkembang dia


178
berkembang mengikuti iramanya sendiri, berputar

diorbitnya sendiri dengan logikanya sendirir dijalan

yang sunyi. Perubahan masyarakat yang

menyebabkan perubahan hokum ini sering terjadi

perubahan dalam bentuk perubahan undang-

undang yang ada. Tetapi sekali-kali juga perubahan

dalam Yurisprudensi yang bersifat menggebrak”.

Misalnya Yurisprudensi belanda tahun 1919 yang

mengubah paradigma pranata perbuatan hukum.

2. Perubahan hukum yang bersifat proaktif. Dalam hal

ini masyarakat belum mempraktikkan perubahan

tersebut, tetapi sudah ada ide-ide yang

berkembang terhadap perubahn dimaksud.

Kemudian sebelum masyarakat mempraktikkan

perubahan ynag dimaksud, hukum sudah terlebih

dahulu diubah, sehingga dapat mempercepat

praktik perubahan masyarakat tersebut. dalam hal

ini, berlakulah ungkapan “hukum sebagai sarana

rekayasa masyarakat” (law as a tool social


enginerring) (Fuadi, 2011: 52-55).

179
C. Penutup
Perubahan sosial dalam masyarakat adalah suatu

produk dengan berbagai faktor, dan dalam banyak hal,

hubungan antar faktor-faktor tersebut. Selain faktor hukum,

ada beberapa mekanisme perubahan lainnya, seperti faktor-

faktor teknologi, ideologi, kompetisi, konflik, ekonomi, dan

politik, serta masalah struktural (structural strains). Semua

mekanisme tersebut dalam kebanyakan hal saling

berhubungan. Hal itu juga terjadi dalam perubahan hukum

: adalah sangat sulit, bahkan tidak mungkin, untuk

menggambarkan hubungan sebab dan akibat (cause-and-

effect relationship).
Hukum dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of

change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau


kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari

masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-

lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan social yang

dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah

pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan

tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat

dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih

dahulu, dinamakan social engineering atau social planning

(Soekonto, 1988:99).

180
Hukum mepunyai pengaruh langsung atau pengaruh

yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya

perubahan sosial. Misalnya, suatu peraturan yang

menentukan sistem pendidikan tertentu bagi warga Negara

mepunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat

penting bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.

Di dalam berbagai hal, hukum mempunyai

pengaruh yang langsung terhadap lembaga-lembaga

kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat

hubungan yang langsung antara hukum dengan

perubahan-perubahan sosial. Suatu kaidah hukum yang

menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa

memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahli waris

mempunyai pengaruh langsung terhadapat terjadinya

perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah

untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan hubungan-

hubungan antara warga masyarakat. Pengalaman-

pengalaman di Negara-negara lain dapat membuktikan

bahwa hukum, sebagiamana halnya dengan bidang-bidang

kehidupan lainnya dipergunakan sebagai alat untuk

mengadakan perubahan sosial. Misalnya di Tunisia, maka

sejak diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun

1957, seorang wanita yang telah dewasa, mempunyai

181
kemampuan hukum untuk menikah tanpa harus di dampingi

oleh seorang wali.

Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum

sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai

peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan

yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang

direncanakan. Dengan perubahan-perubahan yang

dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu

perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga

masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan

dalam masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi

memegang peranan penting tindakan-tindakan social, mau

tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya.

Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk

badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat

(secara terencana), maka hukum diperlukan untuk

membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan

membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hukum

mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan

membentuk badan-badan yang secara langsung

berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan di

bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik.

182
Latihan
1. Jelaskan pemahaman anda tentang hukum dan

perubahan sosial?

2. Jelaskan empat kaidah hukum yang bertujuan

mengubah perikelakuan masyarakat?

3. jelaskan realitas perubahan sosial di Indonesia yang

terjadi saat ini?

4. Jelaskan hukum dan perannya dalam perubahan

masyarakat Indonesia?

5. Fungsi hukum sebagai siklus perubahan sosial di

Indonesia?

183
BAHAN PEMBELAJARAN VIII
Hukum Dan Pembangunan Di Indonesia
A. Pendahuluan
Pembangunan (development) mulai ramai diper-

bincangkan sejak tahun 1949 pasca Perang Dunia II. Harry S.

Truman, Presiden Amerika Serikat (AS) ketika itu

mengumumkan kebijakan luar negeri pemerintahannya

untuk menghadapi sosialisme, rival utamanya dalam era

Perang Dingin. Sebagai alternatif pengganti kolonialisme,

pembangunan ditawarkan dalam bentuk program-program

pengentasan keterbelakangan dan perbaikan kerusakan

pasca perang. Bak bola salju, ide pembangunan terus

menggelinding ke seluruh penjuru bumi. Gustavo Gutierez

mencatat evolusi istilah pembangunan kembali mulai

bergulir sejak Konferensi Asia Afrika (KAA) I tahun 1955 di

Bandung. KAA disinyalir menjadi momentum awal

bangkitnya kesadaran negara Selatan-Selatan

(underdevelopment).

Pembangunan sebagaimana realita pada umumnya,

menjadi Self Projected reality yang kemudian menjadi acuan

dalam proses pembangunan. Pembangunan juga sering

menjadi semacam Ideology og Developmentalism,


kesadaran sesuatu bangsa yang terbentuk melalui

pengalamannya baik pengalamannya baik pengalaman

184
sukses maupun kegagalan-kegagalan yang dialami amat

menentukan interprestasi mereka tentang pembangunan.

Namun kerena pengalaman suatu bangsa yang

mempengaruhi kesadaran tersebut tidaklah statis, maka

interprestasi mereka tentang pembangunan tidak pula statis.

Melalui mata rantai pemihosan dan demistifikasi paradigma

pembangunan terjadilah pergeseran tadi. Paradigma

pembangunan yang pada suatu waktu tertentu menjadi

acuan pembangunan nasional, dapat saja mengalami proses

demistifikasi, sementara paradigma-paradigma baru timbul

menggantikannya.

Melalui proses itu timbullah pergeseran paradigma

pembangunan yang merentang dari paradigma

pertumbuhan atau paradigma ekonomi murni, paradigma

kesejahteraan, pradigma neo ekonomi, paradigma

dependensial sampai paradigma pembangunan manusia.

Kecenderungan negara-negara berkembang untuk meniru

negara maju (Demonstration Effect) yang sering dipakai

dengan mengambil unsur-unsur dari berbagai paradigma

(Fusion Effect) dan ingin mencapai prestasi yang oleh

negara maju dicapai berabad-abad, hanya dalam beberapa

dasawarsa (Compression Effect) nampaknya ikut

mempercepat tempo pergeseran paradigma pembangunan.

185
Akan tetapi, suka atau tidak suka disadari atau tidak

disadari, paradigma pertumbuhan atau paradigma ekonomi

murni nampaknya tetap menjadi paradigma yang dominan

di banyak negara, dan mengalami semacam Renaissance

pada akhir-akhir ini di negara-negara Eropa Timur.

Paradigma ini memandang pembangunan nasional

sebagai identik dengan pembangunan ekonomi. Tujuan

pembangunan nasional adalah mencapai pertumbuhan

ekonomi yang setinggi-tingginya. Dan pertumbuhan

ekonomi dipandang sebagai fungsi saving ratio, capital

output ratio untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi


yang setinggi-tingginya. Paradigma ini snagat berorientasi

pada produksi, fokus, dan prioritas utamanya adalah pada

growth generating sectors. Mekanisme pasar menjadi


tumpuan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.

Begitu juga dengan apa yang terjadi pada

pembangunan hukum yang lebih dikenal dengan

pembaruan hukum. Bangsa Indonesia masih terus dengan

pembaruan guna memcapai sebuah keteraturan yang lebih

mendukung kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Pembaruan hukum bisa berupa pengembangan hukum

maupun penemuan dan rekayasa dalam bidang hukum

seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.

186
Dalam bidang politik, hukum menata bagaimana

aturan untuk mengatasi perselisihan antara calon konstentan

dengan menetapkan lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai

lembaga penyelesaian perselisahan. Bukan kemudian

lembaga Mahkamah Konstitusinya yang menjadi perhatian

tetapi sebaliknya hukum telah mampu memainkan

instrument sebagai penegak hukum yang belum ada di

waktu-waktu sebelumnya.

Dalam pembangunan hukum kiranya kita tidak bisa

mempolakan seperti halnya ekonomi mengidentifikasi

dengan pertumbuhan pasar maupun indeks pembangunan

manusia, tetapi huku lebih berfokus pada sebagaimana

hukum sebagai instrument mampu mencegah serta

menyelesaikan persoalan hukum dengan lebih efektif.

187
B. Uraian Bahan Pembelajaran

Defenisi Dan Konsep Pembangunan


Pembangunan adalah proses perubahan keadaan

menuju pada kondisi yang lebih baik (Kartasasmita, 1997).

Pembangunan juga diartikan sebagai upaya yang dilakukan

secara terencana untuk menuju pada suatu perubahan sosial

(social change) dalam masyarakat, walau sebenarnya

pembangunan tidak sama dengan perubahan sosial.

Sebagai sebuah proses, pembangunan tentu saja

dilakukan dengan melihat kebutuhan-kebutuhan yang ada

sekaligus merespon perubahan yang terjadi dalam

masyarakat dan tuntutan-tuntutan pergeseran waktu akibat

berkembangnya peradaban, sistem sosial kemasyarakatan,

dan teknologi yang lebih maju. “Pembangunan adalah

proses yang multidimensional yang melibatkan proses

reorganisasi dan reorientasi dari keseluruhan sistem

ekonomi dan sosial (Todaro, 2003).

Terminologi pembangunan didefinisikan dengan

begitu beragam. Tidak ada kesepakatan yang sama juga

tentang definisi pembangunan yang satu dengan yang lain.

Dalam banyak hal, istilah pembangunan seringkali

digunakan merujuk dengan konsep tentang

pengembangan. Terminologi ‘pembangunan’ dan

188
‘pengembangan’ sendiri pada hakekatnya juga dapat saling

dipertukarkan.

Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung

menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk

beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya

secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak

berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara

universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau

development (Rustiadi, 2006).


Pembangunan sendiri memiliki dua pemahaman.

Pertama, pembangunan sebagai fenomena sosial yang


mencerminkan kemajuan peradaban manusia. Dengan kata

lain, perubahan dari satu peradaban menuju kepada

peradaban yang lebih advanced atau lebih maju dari

kehidupan yang dijalani sebelumnya. Kedua, pembangunan

dipahami sebagai planned societal change atau perubahan

sosial yang terencana, yang kemudian diikuti dengan

revolusi-revolusi yang ada di negara-negara di dunia.

Secara teoritis, pembangunan mempunyai tiga inti.

Tiga inti pembangunan itu seperti yang dikemukakan oleh

Todaro (2003) adalah pertama, sustenance atau peningkatan

standar hidup, bahwa pembangunan harus mampu

meningkatkan kemampuan setiap manusia untuk memenuhi

189
kebutuhan dasarnya (basic needs), seperti makan,

kebutuhan bernaung (shelter), kesehatan dan perlindungan.

Dengan kata lain, pembangunan dilakukan sebagai

upaya atau proses untuk memenuhi kebutuhan dasar dari

manusia yang hidup di dalamnya. Kedua, self-esteem,

pembangunan harus mampu memberikan penghargaan diri

sebagai manusia, dan tidak digunakan sebagai alat dari

orang lain. Artinya, pembangunan harus mampu

mengangkat derajat manusia dan menciptakan kondisi

untuk tumbuhnya self-esteem. Ketiga, freedom from


servitude, pembangunan harus membebaskan atau

memerdekakan manusia dari penghambaan dan

ketergantungan akan alam, kebodohan dan kemelaratan.

Pembangunan dilakukan untuk tujuan peningkatan

kebebasan setiap orang dari kungkungan atau tekanan-

tekanan kepentingan yang ada.

Sebagai sebuah proses, pembangunan dilakukan

untuk mencapai kemajuan. Proses pembangunan

membutuhkan masukan sumber daya untuk

ditransformasikan menjadi hasil atau keluaran. Keluaran atau

output akan dihasilkan secara optimal, apabila input atau

masukan sumber dayanya berkualitas. Siagian, menyatakan

bahwa sesungguhnya pembangunan adalah suatu usaha

atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan


190
berencana dan dilakukan secara sadar oleh bangsa, negara

dan pemerintah menuju modernisasi dalam rangka

terciptanya nation building. Siagian juga menambahkan

bahwa secara umum, pembangunan dapat diartikan pula

sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan

alternatif yang lebih banyak kepada warga negara yang

menjadi stakeholder untuk memenuhi kebutuhan dan

mencapai aspirasi yang lebih manusiawi.

Realitas Pembangunan Di Indonesia


Pembangunan di negara-negara berkembang, tidak

terkecuali di Indonesia, berlangsung setelah usai Perang

Dunia II. Negara berkembang yang semula adalah negara

bekas jajahan, saat itu mulai bangkit melakukan perlawanan

terhadap penjajah. Selanjutnya mereka menetapkan diri dan

mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai

negara merdeka (independent nations), meskipun beberapa

diantaranya, seperti beberapa negara di Asia Tenggara dan

Selatan, posisinya adalah sebagai negara commonwealth ,

yakni Malaysia, Singapura dan India. Realitas kebangkitan itu

tidak sama antara satu dengan yang lain walaupun

semuanya disponsori oleh hutang-hutang luar negeri dalam

periode pembangunannya.

191
Di Asia Tenggara, Singapura lebih dulu diakui oleh

dunia internasional sebagai salah satu dari the Newly

Industrializing Countries. Namun sebagian besar dari negara


berkembang di Asia, hingga kini belum ada yang menyamai

kemajuan negara-negara Barat yang mengklaim diri sebagai

negara modern, kecuali empat negara yang disebut sebagai

the Newly Industrializing Countrie, yakni Korea Selatan,


Taiwan, Hongkong dan Singapura.

Tentu ada berbagai penjelasan. Selain penjelasan

sosial budaya juga penjelasan politik, yang berkaitan dengan

strategi politik Barat saat menghadapi perang dingin.

Sesungguhnya hal ini perlu uraian tersendiri, yang dalam

tulisan ini tidak akan diulas. Tulisan ini hendak memahami

secara khusus konteks pembangunan dan kesejahteraan di

Indonesia selama berlangsungnya periode pembangunan

bangsa.

Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun-

ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The


Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Namun,

bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide

negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan

secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang

hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum


192
hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu

kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai

suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam

hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat

(1) Elemen kelembagaan (elemen institusional),

(2) Elemen kaedah aturan (elemen instrumental),

dan

(3) Elemen perilaku para subjek hukum yang

menyandang hak dan kewajiban yang

ditentukan oleh norma aturan itu (elemen

subjektif dan kultural).


Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup

(a) Kegiatan pembuatan hukum (law making),

(b) Kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum

(law administrating), dan

(c) Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law

adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim


juga disebut sebagai kegiatan penegakan

hukum dalam arti yang sempit (law

enforcement) yang di bidang pidana melibatkan


peran kepolisian, kejaksaan, advokat, dan

kehakiman atau di bidang perdata melibatkan

peran advokat (pengacara) dan kehakiman.

193
Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering

dilupakan orang, yaitu:

(d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law

socialization and law education) dalam arti


seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan

(e) pengelolaan informasi hukum (law information

management) sebagai kegiatan penunjang.


Kelima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga

wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu

(i) Fungsi legislasi dan regulasi,

(ii) Fungsi eksekutif dan administratif, serta

(iii) Fungsi yudikatif atau judisial. Organ legislatif

adalah lembaga parlemen, organ eksekutif

adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan

organ judikatif adalah birokrasi aparatur

penegakan hukum yang mencakup kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan Kesemua itu harus

pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-

masing mulai dari organ tertinggi sampai

terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur

tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan

aparatur tingkat kabupaten/kota. (Asshiddiqie,

2006).

194
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan

aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu

sama lain itulah, tercakup pengertian sistem hukum yang

harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indo-

nesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan

dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen

tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka

hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat

diharapkan tegak sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi

hukum Eropa Kontinental (civil law), kita cenderung

menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan

pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan

perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan

penegakan hukum (law enforcing). Bahkan, kitapun dengan

begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang

lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie

yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum

ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu

hukum.

Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat

membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini

diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui

universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality


195
before the law). Orang kaya di Jakarta harus diperlakukan
sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil

di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku

Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku

terpencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara

(Asshiddiqie, 2006).

Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan

saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya.

Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil

seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengeta-

huan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan

dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti

itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat

bersifat simetris.

Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya,

begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan

terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikannya

seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang

tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris.

Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu

norma hukum kepada mereka yang sama sekali tidak

mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau

pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan

itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses


196
kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan

terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya.

Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan

pembuatan hukum (law making) dan penegakan hukum (law

enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasyarakatan


hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan di-

anggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci

tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang menyadari hak

dan kewajibannya secara hukum, maka hukum apapun yang

dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan

ditaati dengan sungguh-sungguh.

Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre-

hensif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat

penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum

ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan

gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)

juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat

hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu

elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum

tersebut di atas.

Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting

kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai

apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum

Indonesia yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar


197
1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan

ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hendaklah

dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang

perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu.

Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-

print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan


Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan

tegakkan di masa depan (Asshiddiqie, 2006).

Hukum Dan Perannya Dalam Pembangunan


Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu

sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk

dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun

pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara

Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh

terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun

hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja

dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas.

Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting

kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai

apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum

Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama

198
sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1

ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum

yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan

sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka

Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu

menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang

Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak

kita bangun dan tegakkan di masa depan.

Dalam kajian diagnostik tentang perkembangan

hukum di Indonesia yang dilakukan tahun 1996, Prof. Dr.

Mochtar Kusumaatmadja menilai keadaan hukum sebagai

“desperate but not hopeless”. Survai yang disponsori oleh

Bank dunia dan Bappenas ini, telah mendeteksi berbagai

kelemahan dalam sistem hukum Indonesia, yaitu di bidang

Sumber Daya Manusia, Lembaga-lembaga Hukum dan

Sistem Peradilan kita. Laporan Kajian yang disampaikan

kepada Bank Dunia dan Bappenar pada awal tahun 1997

disertai 9 (sembilan) rekomendasi umum dan 47 (empat

puluh tujuh) rekomendasi khusus yang menyangkut

kebijakan serta hal-hal teknis.

Disponsori oleh para mahasiswa Indonesia dan

generasi muda, arus reformasi melanda negara kita dalam

tahun 1998 dan menjatuhkan pemerintahan Orde Baru yang

telah lebih dari 30 tahun berkuasa. Gerakan reformasi


199
melihat kelemahan pemerintahan Orde Baru a.l. adalah

bahwa pemerintah yang berkuasan selama 30 tahun ini

telah berubah menjadi rejim yang otoriter dengan

dukungan militer, serta korupsi telah menjadi sangat

endemik dikalangan birokrat (sipil dan militer) dan disertai

dengan kolusi (persekongkolan antara pemegang kuasa

politik dan pemegang kuasa ekonomi untuk melakukan

perbuatan melawan hukum) dan nepotisme (mendahulukan

sanak-saudara secara curang). Keadaan ini menjadi lebih

parah lagi karena adanya birokrasi yang sangat menekan

dari atas (top down) dengan politik hukum yang tidak atau

kurang memberi tempat pada aneka ragam sistem hukum

yang telah ada di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam keadaan sebagaimana disarikan di atas, maka

tidaklah mengherankan bahwa salah satu slogan utama

reformasi, yang merupakan “ideologi gerakan reformasi”,

adalah “pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme”

(pemberantasan KKN). Dalam acuan untuk kajian substansi

reformasi oleh Badan Kerjasama Ikatan Alumni Perguruan

Tinggi Seluruh Indonesia (BKS-IKAPTISI) dikatakan

(September, 1999):

“Di bidang hukum, pemberantasan KKN korupsi, kolusi

dan nepotisme telah menjadi salah satu tuntutan

utama sejak awal Gerakan Reformasi muncul. Tuntutan


200
itu berada dalam sebuah bingkai besar, yakni

keinginan untuk menegakkan supremasi hukum di

Bumi Indonesia yang dalam konstitusinya secara tegas

telah menyatakan diri sebagai negara hukum.

Reformasi bidang hukum dengan sendirinya mutlak

dilakukan, sebab hukum itulah yang pada dasarnya

mengatur seluruh perilaku masyarakat bangsa dalam

kehidupan bernegara. Hukum harus benar-benar

mandiri, dan bukan lagi menjadi alat legitimasi

kekuasaan (Reksodiputro, 2009).

Ada 3 hal penting ketika kita berbicara pembangunan

hukum maupun pembaharuan hukum yaitu;

1. Supremasi hukum

adanya tuntutan terhadap surpremasi hukum

adalah karena dalam masa pembangunan 1967-

1997 bangsa Indonesia mengalami keadaan

dimana kepastian hukum dan perlindungan

hukum sangat lemah. Meskipun Konstitusi (UUD

1945) menetapkan bahwa “negara hukum” dan

“kedaulatan rakyat” merupakan asas-asas

kehidupan bernegara kita, tetapi penafsirannya

(oleh pemerintah maupun akademisi) pada masa

Orde Baru tidak menghasilkan demokrasi

(malahan suatu pemerintah otoriter). Seharusnya


201
kekuasaan presiden yang begitu besar menurut

konstitusi kita harus tunduk pada hukum,

sehingga jabatan presiden tidak

memungkinkannya menjadi diktator. Presiden

harus tunduk pada hukum dengan “berbagi

kekuasaan” (sharing of power) dengan DPR/MPR

dan Sistem Peradilan (dengan Mahkamah

Agung dipuncak sistem ini). Makalah ini akan

mempergunakan pengertian menegakkan

(kembali) “supremasi hukum”

2. Reformasi sistem hukum

Sebenarnya sistem hukum Indonesia,

sebagaimana bentuk dasarnya (batasan-

batasannya) ada dalam konstitusi, sudah

mengandung sistem (bentuk) pemerintahan

yang demokratis. Sistem hukum tersebut telah

menetapkan siapa yang berwenang membuat

undang-undang (yaitu Dewan Perwakilan

Rakyat), siapa yang bertugas menafsirkan

undang-undang (yaitu Sistem Peradilan) dan

siapa yang harus melaksnaakan undang-undang

(yaitu Pemerintah). Sistem hukum ini harus

dianggap telah menyatakan bahwa sistem

pemerintahan Indonesia seharusnya (wajib)


202
adalah demokratis, karena “kedaulatan berada

pada rakyat” dan negara ini adalah “negara

hukum” (dan bukan negara berdasarkan

kekuasaan). Kalau kenyatan dalam ± 30 tahun

(ditambah ± 8 tahun setelah dekrit Presiden

Sukarno) terakhir ini berlainan, hal itu bukanlah

kekeliruan konstitusi, tetapi kekeliruan penafsir-

penafsirnya (termasuk para Manggala P-4).

Karena negara ini harus mempunyai bentuk

pemerintahan demokratis (demokrasi melalui

perwakilan; representative democracy), maka

ada dua asas utama yang mutlak diperhatikan,

yaitu asas “kebebasa” dan asas “persamaan”.

Kekeliruan dalam masa Orde Baru adalah bahwa

kedua asas ini tidak mendapat perlindungan

hukum yang cukup. Malahan penafsiran kedua

asas inipun sering keliru (baik oleh pemerintah

maupun oleh kalangan akademisi).

Kebebasan, mencakup kebebasan menyatakan

pemikiran dan pendapat (kebebasan

menyampaikan kritik dalam bentuk yang tidak

mengurangi kebebasan orang lain), kebebasan

berkelompok dengan orang-orang yang

sepaham (kebebasan berserikat, berkumpul atau


203
bertemu) dan kebebasan warganegara

mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya

(misalnya kebebasan beragama).

Persamaan, mencakup persamaan di muka

hukum (tidak ada privilege untuk kategori

warganegara tertentu, baik menurut keturunan,

agama, suku, jender dll) dan berarti pula harus

ada usaha mengurangi “kesenjangan” sosial-

eknomi-politik yang selalu akan ada dalam

masyarakat.

Reformasi Sistem Hukum harus berarti lebih

menampilkan sistem pemerintahan yang

demokratis dalam Sistem Hukum Indonesia dan

memberdayakan kedua asas utama tersebut,

yakni “kebebasan” dan “persamaan”, dengan

mengacu pada norma-norma universal tentang

konsep demokrasi (jangan mempergunakan

konsep “demokrasi terpimpin”, “demokrasi

pancasila”, dan sebagainya).

3. Restrukturisasi kekuasaan peradilan

Dalam negara dengan pemeirntahan

demokratis, dimana akan ada “sharing of

powers” dan “checks and balances”, maka


disamping adanya “kekuasaan mandiri” (pada
204
DPR, Pemerintah dan Sistem Peradilan), ada pula

kewenangan masing-masing lembaga itu untuk

“memeriksa” (check) kewenangan lembaga

lainnya, agar terjadi “harmonisasi

(keseimbangan) kekuasaan” (berada dalam

“balances”). Konsepnya disini adalah bahwa

“pemeriksaan” itu perlu untuk “keseimbangan”

kekuasaan agar tidak akan terjadi “tirani

(tyranny) kekuasaan” oleh salah satu lembaga

pemegang kekuasaan (legislatif, eksekutif atau

yudikatif). Jadi konsepnya ada “mixing of


powers” yang bermanfaat untuk menjalankan
bentuk pemerintahan yang demokratis

Tetapi dalam masa Orde Baru tidak dibangun

suatu sistem peradilan untuk melindungi

warganegara terhadap dikresi sewenang-

wenang yang dilakukan eksekutif. Malahan

dalam banyak kasus, yudikatif bersedia

dipengaruhi oleh eksekutif. Apabila ekesekutif

kalah dalam berperkara di pengadilan, maka

tidak segan-segan lembaga ini mempengaruhi

Mahkamah agung untuk tetap memenangkan

perkaranya. Terlihat pada waktu itu bahwa

sistem peradilan tidak berkuasa (powerless)


205
terhadap intervensi aparat birokrasi. Etika

pemerintahan (good governance) telah

diabaikan secara sangat menyolok (termasuk

oleh para teknokrat).

Dengan restrukturisasi kekuasaan peradilan,

maka dalam negara demokrasi yang menjunjung

tinggi supremasi hukum, warganegara (maupun

orang asing) harus dapat melawan setiap

kesewenang-wenangan (juga dari aparat

birokrasi) melalui suatu sistem peradilan yang

independen (bebas dari pengaruh eksekutif),

netral (bebas dari korupsi) dan adil serta

berwibawa (putusan pengadilan wajib

dilaksanakan) (Reksodiputro, 2009).

Fungsi Hukum Sebagai Pengawasan Dan


Penginspirasian Pelaksanaan Pembangunan
Republik Indonesia sejak berdirinya telah

mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Untuk

memberikan jaminan perlindungan hukum bagi warga


206
negara, prinsip negara hukum ditegaskan dalam

UndangUndang Dasar. Julius Stahl menjelaskan bahwa unsur

suatu negara hukum (rechtstaat) adalah:

(1) perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,

(2) Pemisahan dan pembagian kekuasaan untuk

menjamin hak-hak itu

(3) pemerintahan berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan

(4) adanya peradilan administrasi dalam

perselisihan.

Sebagai negara berdasarkan hukum, negara dan

pemerintah Indonesia didirikan untuk melindungi segenap

bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta memajukan

kesejahteraan umum, dan mewujudkan masyarakat yang

adil makmur, merata baik materiil dan spiritual (Marbun,

2004).

Prinsip-prinsip hukum berupa kepastian dan keadilan

hukum dimaksudkan sebagai nilai-nilai dasar mengenai apa

yang dikehendaki manusia dari keberadaan dan keberlakuan

hukum. Hukum dengan nilainilainya hendak mewujudkan

bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk melindungi dan

memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Dalam konteks tersebut, nilai-nilai dasar dari hukum

dimaksudkan sebagai nilai instrumental, yaitu hukum


207
tersebut bernilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan

kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat (Zaini, 2012).

Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat

dalam masyarakat, namun demikian dalam hukum biasanya

nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berpasangan, akan

tetapi tidak jarang pula bertentangan. Nilai-nilai tersebut,

misalnya : ketertiban dan ketentraman, kepastian hukum

dan kesebandingan, kepentingan umum dan kepentingan

individu (Rahardjo, 1998:69). Dengan demikian, tidak

adanya keserasian dan harmonisasi diantara nilai-nilai

tersebut yang terdeskripsikan dalam masyarakat akan

mengganggu tujuan dan jalannya proses penegakkan

hukum.

Pada era global pembangunan hukum ditandai

dengan kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar yang

dewasa ini semakin mengglobal. Dalam kondisi semacam

itu, produk-produk hukum yang dibentuk lebih banyak

bertumpu pada keinginan pemerintah, karena tuntutan

pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi telah mampu

menimbulkan perubahan-perubahan yang amat

fundamental baik dalam hal fisik maupun sosial politik dan

budaya yang mapu melampaui pranata-pranata hukum

yang ada. Produk hukum yang ada lebih meangarah pada

upaya untuk memberi arahan dalam rangka menyelesaikan


208
konflik yang berkembang dalam kehidupan ekonomi

(Mahfud, 2001).

Pembangunan hukum yang tertuju pada kehidupan

perekonomian saat ini harus mampu mengarah dan

memfokuskan pada aturan-aturan hukum yang diharapkan

mampu memperlancar roda dinamika ekonomi dan

pembangunan yang tidak melepaskan diri dari sistem

demokrasi ekonomi dengan mengindahkan akses rakyat

untuk mencapai efisiensi dan perlindungan masyarakat

golongan kecil.

209
C. Penutup
Bahwa Hukum merupakan pilar utama yang memiliki

peran sangat penting dalam pembangunan nasional. Hal ini

tentunya pada tataran kondusif tidaknya hukum yang

berlaku. Indikator yang menentukan hukum itu kondusif

adalah manakala memenuhi lima kulalitas yakni stability,

predictability, fairness, education, dan kemampuan

meramalkan adalah prasyarat untuk berfungsinya sistem

ekonomi.

Perlunya predictability sangat besar di negara-negara

dimana masyarakatnya untuk pertama kali memasuki

hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan social

tradisionil mereka. Stabilitas juga berarti hukum berpotensi

untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi

kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek

keadilan (fairness) seperti persamaan di depan hukum,

standar sikap pemerintah, adalah perlu untuk memelihara

mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang

berkelebihan

Pembangunan yang komprehensif bukan hanya

memperhatikan hanya dari aspek ekonominya saja

melainkan juga harus memperhatikan hak-hak azasi

manusia, keduanya tidak dalam posisi yang berlawanan, dan

dengan demikian pembangunan akan mampu menarik


210
partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi bertambah penting

karena bangsa kita berada dalam era globalisasi, artinya

harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Hukum yang kondusif bagi pembangunan sedikitnya

mengandung lima kwalitas : stability, predictability, fairness,

education, dan kemampuan meramalkan adalah prasyarat


untuk berfungsinya sistim ekonomi. Perlunya predictability

sangat besar di negara-negara dimana masyarakatnya untuk

pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi

melampaui lingkungan social tradisionil mereka.

Stabilitas juga berarti hukum berpotensi untuk

menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-

kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan (fairness)

seperti persamaan di depan hukum, standar sikap

pemerintah, adalah perlu untuk memelihara mekanisme

pasar dan mencegah birokrasi yang berkelebihan.

211
Latihan
1. Jelaskan pengertian dan konsep pembangunan?

2. Jelaskan realitas pembangunan di Indonesia?

3. Jelaskan hukum sebagai suatu kesatuan sistem yang

memiliki tiga elemen yakni, elemen kelembagaan,

elemen kaedah, elemen perilaku?

4. Jelaskan fungsi hukum sebagai pengawasan?

5. Hukum dan perannya dalam pembangunan?

212
BAHAN PEMBELAJARAN IX
Perencanaan penelitian Sosiologi hukum

A. Pendahuluan
Kata penelitian merupakan terjemahan dari bahasa

Inggris: research yang diartikan usaha atau pekerjaan untuk

menelusuri/mencari kembali yang dilakukan dengan suatu

metode tertentu dan dengan cara cermat, sistematis

terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk

kepentingan ilmu pengetahuan dan pemecahan/menjawab

permasalahan. Penelitian adalah pemeriksaan yang teliti;

penyelidikan (Poerwadarminta, 1976). Penelitian juga dapat

diartikan sebagai penyaluran hasrat ingin tahu manusia

(Suparmoko, 1991).

Penelitian kualitatif adalah salah satu metode

penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman

tentang kenyataan melalui proses berfikir induktif. Dalam

penelitian ini, peneliti terlibat dalam situasi dan setting

fenomenanya yang diteliti. Peneliti diharapkan selalu

memusatkan perhatian pada kenyataan atau kejadian dalam

konteks yang diteliti. Setiap kejadian merupakan sesuatu

yang unik dan berbeda dengan yang lain karena ada

perbedaan konteks.

213
Tugas peneliti adalah mengumpulkan data dan

menyajikannya sedemikian rupa sehingga para informan

dibiarkan berbicara sendiri. Tujuannya adalah untuk

membuat laporan apa adanya dengan sedikit atau tanpa

interpretasi atau campur tangan atas kata-kata lisan

informan dan dengnan sedikit atau tanpa penafsiran atas

pengamatan yang dilakukan oleh para peneliti sendiri.

Walau kelompok peneliti ini berpendapat bahwa pandangan

informan tentang realitas tidak mencerminkan ”kebenaran”,

namun pendapat subjek dilaporkan secara spontan dan

penuh makna.

214
B. Uraian Bahan Pembelajaran
Metode penelitian kualitatif
Metodologi secara umum didefinisikan sebagai ”a

body of methods and rules followed in science or discipline”.


Sedangkan metode sendiri adalah ”a regular systematic plan

for or way of doing something”. Kata metode berasal dari


istilah Yunani methodos (meta+bodos) yang artinya cara.

Jadi, metode penelitian sosial adalah cara sistematik yang

digunakan peneliti dalam pengumpulan data yang

diperlukan dalam proses identifikasi dan penjelasan

fenomena sosial yang tengah ditelisiknya. Secara dikotomis,

dalam ilmu sosial dikenal dua jenis metode penelitian yaitu

kuantitatif dan kualitatif (Somantri, 2005:57).

Istilah penelitian kualitatif diberi makna sebagai jenis

penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur

statistik atau bentuk hitungan lainnya. Mereka memberikan

contoh penelitian kualitatif seperti penelitian tentang

kehidupan, riwayat, perilaku seseorang, disamping juga

tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau

hubungan timbal balik.

Sebagian datanya dapat dihitung sebagaimana data

sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif. Pada umumnya

data diperoleh melalui wawancara dan pengamatan. Data

yang terkumpul tidak diolah secara statistik. Untuk

215
melengkapi data yang dihasilkan dari proses wawancara dan

pengamatan, peneliti dapat menggumakan dokumen, buku,

kaset video dan bahkan data yang telah dihitung untuk

tujuan lain, misalnya data sensus.

Penelitian kaulitatif adalah salah satu metode

penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman

tentang kenyataan melalui proses berfikir induktif. Dalam

penelitian ini, peneliti terlibat dalam situasi dan setting

fenomenanya yang diteliti. Peneliti diharapkan selalu

memusatkan perhatian pada kenyataan atau kejadian dalam

konteks yang diteliti. Setiap kejadian merupakan sesuatu

yang unik dan berbeda dengan yang lain karena ada

perbedaan konteks.

Para peneliti lebih senang menghubungi beberapa

informan kunci dari suatu komunitas. Jumlah informan yang

dijadikan responden jumlahnya dapat dikatakan relatif kecil

sekali. Sebagai konsekuensinya, pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan oleh para peneliti relatif mendalam sekali.

Kesediaan informan untuk mau menghabiskan waktunya

berjam-jam dalam beberapa hari sering menjadi pertanda

berhasilnya proses wawancara.

Tugas peneliti adalah mengumpulkan data dan

menyajikannya sedemikian rupa sehingga para informan

dibiarkan berbicara sendiri. Tujuannya adalah untuk


216
membuat laporan apa adanya dengan sedikit atau tanpa

interpretasi atau campur tangan atas kata-kata lisan

informan dan dengnan sedikit atau tanpa penafsiran atas

pengamatan yang dilakukan oleh para peneliti sendiri.

Walau kelompok peneliti ini berpendapat bahwa pandangan

informan tentang realitas tidak mencerminkan ”kebenaran”,

namun pendapat subjek dilaporkan secara spontan dan

penuh makna.

Penelitian kualitatif umumnya digunakan dalam dunia

ilmu-ilmu sosial dan budaya misalnya penelitian kebijakan,

ilmu politik, administrasi, psikologi komunitas dan sosiologi,

organisasi dan manajemen, bahkan sampai pada

perencanaan kota dan perencanaan regional.

Menurut Miles dan Huberman bahwa penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang bertitik tolak dari

realitas dengan asumsi pokok bahwa tingkah laku manusia

mempunyai makna bagi pelakunya dalam konteks tertentu.

Sehingga ada tiga aspek pokok yang harus dipahami.

Pada dasarnya manusia selalu bertindak sesuai

dengan makna terhadap semua yang ditemui dan dialami di

dunia ini.Makna yang ditemui dan dialami timbul dari

interaksi antar individu. Manusia selalu menafsirkan makna

yang ditemui dan dialami sebelum ia bertindak, tindakan

217
yang dijalankan sejalan dengan makna terhadap barang

yang digunakan.

Strauss dan Corbin menyatakan bahwa seseorang

yang melakukan penelitian kualitatif memiliki beberapa

alasan. Pertama, adalah alasan demi kemantapan peneliti

berdasarkan pengalaman penelitiannya. Beberapa peneliti

yang memiliki latar belakang bidang pengetahuan seperti

antropologi, atau yang terkait dengan orientasi filsafat

seperti fenomenologi, biasanya dianjurkan untuk

menggunakan metode kualitatif.

Kedua, adalah alasan untuk tidak terjebak pada angka-

angka hasil pengolahan dengan menggunakan teknik

statistik yang cenderung berlaku untuk populasi. Ketiga,

adalah alasan dari sifat masalah yang diteliti. Dalam

beberapa bidang studi, pada dasarnya lebih tepat

digunakan jenis penelitian kualitatif. Contoh dari penelitian

semacam ini adalah penelitian untuk mengungkap sifat

pengalaman seseorang dengan fenomena seperti sakit,

berganti agama, ketagihan obat, kehidupan pengemis, dan

pola partisipasi wanita bekerja di luar rumah.

Pendekatan Dalam Penelitian Sosiologi Hukum


Jika jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif maka

secara garis besar digunakan pendekatan-pendekatan:


218
1. Pendekatan dengan mengkaji asas-asas hukum,

yaitu penelitian tentang keterkaitan asas-asas dan

doktrin hukum dengan hukum positif, maupun

hukum yang hidup dalam masyarakat.

2. Pendekatan terhadap sistematika hukum, yaitu

penelitian dengan menelusuri secara sistematik

keterkaitan antara hukum dasar, hukum yang

sifatnya instrumental dan operasional.

3. Pendekatan sinkronisasi hukum, yaitu penelaan

hukum dengan mengsinkronisasikan hukum secara

vertikal melalui asas atribusi, delegasi dan mandat.

Sedangkan pada sinkronisasi horizontal melalui

asas delegasi.

4. Pendekatan sejarah hukum, merupakan penelaan

yang menitik beratkan pada suatu sejarah hukum

masa lalu, kemudian perkembangan masa kini dan

antisipasi masa yang akan datang.

5. Pendekatan perbandingan hukum, merupakan

penelaan yang menggunakan dua atau lebih sistem

hukum untuk dibandingkan apakah mengenai

perbedaannya atau persamaannya.

Soemitro (1990) mengemukakan penelitian hukum

terdiri dari:

219
1. Penelitian yang berupa inventarisasi hukum

positif.

2. Penelitian yang berupa usahausaha penemuan

asas-asas dan dasar falsafah (doktrin) hukum

positif.

3. Penelitian berusaha menemukan hukum

inconcreto yang sesuai untuk diterapkan guna


menyelesaikan suatu perkara tertentu.

Penelitian hukum empiris. Jika jenis penelitian yaitu

penelitian hukum empiris atau disebut juga penelitian

Hukum Sosiologis, yang perlu dilakukan yaitu merumuskan

hipotesis. Hipotesis adalah simpulan sementara yang

ditemukan atas dasar teori dan observasi terhadap

fenomena yang ada (kenyataan empiris).

Maria S.W. Sumardjono (1989), merumuskan hipotesis

adalah harapan-harapan terinci tentang realitas empiris

yang diperoleh dari proposisi. Proposisi adalah kesimpulan

yang ditarik tentang hubungan antara konsep.

Bagi penelitian hukum empiris atau suatu penelitian

yang menguji tingkat kepatuhan masyarakat terhadap suatu

norma hukum, paling sedikit diperlukan dua variable. Untuk

menguji hubungan antara satu variable dengan variable

yang lain, sangat perlu untuk merumuskan hipotesis.

220
Kerlinger menyebutkan bahwa hipotesis yang baik harus

memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:

1. Menyatakan hubungan antara dua variabel.

2. Menyatakan kemungkinan untuk dapat diuji

secara empiris, artinya variable tersebut dapat

diukur dan dinyatakan bagaimana hubungan

antara variable tersebut. Selanjutnya

William J. Goode dan Paul K. Hatt mengemukakan

kriteria hipotesis yang baik, yakni harus:

1. Mengandung konsep yang jelas.

2. Dapat diuji secara empiris.

3. Spesifik/terinci.

4. Dapat ditunjang dengan tehnik-tehnik yang ada.

5. Dapat dihubungkan dengan teori (Sumardjono

(1989)

Jika penelitian hukum difokuskan pada menguji

kualitas materi hukum normatif, maka sasaran data/materi

pada data sekunder yaitu data yang sudah tersedia dan

tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Data yang dimaksud

yaitu bahan hukum primer atau bahan hukum positif artinya

suatu norma hukum yang mempunyai kekuatan mengikat.

Kemudian bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum

yang melengkapi bahan hukum primer seperti rancangan

undang-undang dan naskah akademik. Sedangkan bahan


221
hukum tersier merupakan bahan informasi hukum yang baik

yang terdokumentasi maupun tersaji melalui media.

Jika penelitian hukum difokuskan pada menguji

kepatuhan masyarakat terhadap suatu norma hukum

dengan tujuan mengukur efektif atau tidak suatu

pengaturan/materi hukum yang berlaku, maka obyek atau

sasaran data yaitu data primer.

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh

peneliti di lapangan melalui responden dengan cara

observasi, wawancara dan penyebaran angket. Dalam

penelitian jenis ini, penentuan tempat atau wilayah dan

obyek penelitian (populasi dan sample) hams secara rinci.

Dalam menganalisis hasil penelitian, jenis penelitian

hukum yang kita gunakan sangat menentukan sifat

analisisnya. Jika sasaran dalam penelitian menguji kualitas

substansinya norma hukum, maka analisisnya bersifat

kualitatif artinya rumusan pembenaran didasarkan pada

kualitas dari pendapat-pendapat para ahli hukum, doktrin,

teori, maupun dari rumusan norma hukum itu sendiri.

Sedangkan jika sasaran dalam penelitian untuk

menguji apakah suatu norma hukum efektif atau tidak

dalam penerapannya dalam masyarakat kita harus melihat

respon masyarakat bagaimana tingkat kepatuhan terhadap

hukum. Analisis pembenarannya dilihat dari data empiris


222
yang diklasifikasikan dalam bentuk jumlah. Sifat analisisnya

kualitatif yaitu akurat pembenaran melalui metode statistik.

Metode ini sama dengan analisis pada penelitianpenelitian

ilmu sosial padaumumnya.

Suatu laporan penulisan/penelitian dimulai dengan

judul. Judul merupakan pesan yang hendak disampaikan

oleh penulis berkenan dengan tulisannya. Suatu judul yang

baik dirumuskan dalam bahasa ilmiah dengan jelas,

mengandung permasalahan dan tidak memberikan peluang

kepada pihak pembaca untuk memberikan penafsiran ganda

artinya mudah dipahami oleh orang lain. Dari judul

dijabarkan dalam latar belakang. Latar belakang itu sendiri

merupakan kilas balik dari judul yang bermuatan;

permasalahan, manfaat dan keakrualan (keaslian/kebaruan

dan menarik).

Suatu hal yang penting dalam latar belakang

penulisan hukum yaitu rumusan hukum normatif yang

dijadikan pijakan permasalahan penelitian. Dari latar

belakang kita dapat mengindentifikasi masalah yang

selanjutnya merumuskannya. Selanjutnya rumusan tujuan

penelitian harus sinkron dengan rumusan masalah bahkan

antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan

yang kelak diperoleh harus ada benang merahnya atau ada

sinkronisasi.
223
Dalam penelitian hukum empiris kerangkat teori dan

kerangka konsep mutlak diperlukan akan tetapi dalam

penelitian hukum normatif yang sepenuhnya menggunakan

data sekunder, maka penyusunan kerangka konsepsional

mutlak diperlukan (Soekanto, 1982).

Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum

empiris dirumuskan dalam definisi operasional sedangkan

dalam penelitian hukum normatif dapat diambil rumusan

hukum normative seperti rumusan pasal-pasal. Manfaat

penelitian dapat diuraikan dalam dua hal yaitu manfaat dari

segi akademik yaitu menunjang pengembangan ilmu

pengetahuan dan manfaat dari segi praktis yaitu berupa

sumbangsi bagi masyarakat atau dunia praktek terhadap

suatu hal yang berkaitan dengan hukum.

Kemudian tentang metode penelitian yang meliputi

jenis penelitian dalam hal ini penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum empiris, cara perolehan data/bahan

penelitian dan sifat analisis sebagaimana penulis uraikan

pada bagian sebelumnya. Sistematika penulisan sangat

penting dipaparkan sebab bagian ini merupakan iktiar yang

rinci atau bagian-bagian dalam penyusunan laporan

penelitian.

Dalam penelitian hukum empiris memuat cara-cara


analisis seperti korelasi antara satu variable dengan variable
224
yang lain. Data tersebut diedit kemudian diklarifikasikan dan
ditampilkan dalam tabel dan dianalisis dengan
menggunakan teknik statistic dan pada akhirnya dapat
menjawab hipotesis yang sudah dirumuskan pada bab
sebelumnya apakah menerima atau menolaknya.
Sedangkan pada penelitian hukum normatif yang
analisisnya bersifat pembenaran kualitatif, bahan yang
diperoleh dipisahkan menurut kategori masing-masing dan
diberi tafsiran secara abstraktif guna menjawab
permasalahan yang sudah dirumuskan.
Penelitian merupakan langkah penelurusan untuk
menemukan kebenaran menurut metode ilmu pengetahuan
guna pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri dan
menemukan solusi untuk masalah yang ada pada
masyarakat.
Penelitian hukum yang merupakan cara bagaimana
menelusuri ilmu hukum baik dari segi substansi hukum
maupun respon masyarakat terhadap norma hukum
tentunya harus mempunyai metode sesuai dengan
kebutuhan ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum sebagai ilmu
yang mengkaji normatif hukum, tentunya tidak begitu saja
mengambil langkah-langkah penelitian ilmu-ilmu sosial
misalnya untuk penelitian hukum normatif pendekatannya
lebih pada abstraktif dan sifat analisis yang kualitatif.
Sedangkan pada penelitian hukum empiris mengikuti
langkahlangkah metode ilmu sosial pada umumnya.
225
Latihan

1. Jelaskan pemahaman anda tentang penelitian Sosiologi

Hukum?

2. Jelaskan pendekatan yang dipakai dalam penelitian

Sosiologi Hukum?

3. Jelaskan alasan seseorang untuk memilih penelitian

kualitatif?

4. Jelaskan pengertian penelitian hukum empiris?

226
5. Jelaskan analisa data yang dipergunakan di dalam

penelitian hukum?

227
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik & Der Leeden , A. C. Van. 1986. Durkheim dan
Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor
Indonesia ,Jakarta
Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin. 2005. Sosiologi Hukum. Sinar
Grafika. Jakarta.
Anwar, Yesmil. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta.
Grasindo.
Apeldoorn, Prof Mr. Dr. L.J. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. P.T.
Pradnya Paramita. 1983
Asshiddiqie Prof. Dr. Jimly, S.H. 2006. “Menyoal Moral Penegak
Hukum” Disampaikan pada acara Seminar dalam rangka
Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, Gramedia, Jakarta
Fuady, Munir, 2011, Teori-teori dalam Sosiologi
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta
Garna, Judistira K. 1994. Materi Kuliah Teori-teori Ilmu Sosial,
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung
Hadjon, Philipus M., 1998, Penelitian Hukum Normatif (Buku
Ajar), pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
John J. Macionis, Sociology ...,
Johnson, Alvin S. 1994. Sosiologi Hukum. Pt Rineka Cipta.
Jakarta
Kanto, Prof. Dr. Ir. Sanggar Ms, Dan A. Imron Rozuli,Se,M.Si.
2013. Tindakan Ekonomi Dan Keterlekatan Pondok
Pesantren Dengan Santri Karyawan Jurusan Sosiologi,

228
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Universitas
Brawijaya, Malang.
Kartasasmita, Ginandjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat,
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES,
Jakarta
Koentjaraningrat, 1987........
Kuhn, Thomas S., 1962,The Structure of Scientific Revolutions :
Chicago University Press
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, 1993, Remaja
Rosdakarya, 84 Bandung
Marbun, S.F. Dkk. 2004, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta
Mastur, Sh,Mh, 2013. Peranan Dan Manfaat Sosiologi Hukum
Bagi Aparat Penegak Hukum. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum
Qisti, Fak. Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang
Mertokusumo, Sudikno, 2005. Mengenal Hukum, Liberty, Cet-2,
Yogyakarta
Mahfud, Moh MD, 2001, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS,
Jakarta
Muttaqin, Zainal S.Ip. 2010. Universitas Serang Raya Bahan
Belajar Mahasiswa Untuk Mata Kuliah Sosiologi Dan
Politik Semester Genap Tahun Akademik 2010/2011
Universitas Serang Raya
Paul Johnson, Doyle, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern,
Penerbit PT Gramedia, Jakarta
Podgorecki, Adan Dan Christopher J. Whelan. 1987. Pendekatan
Sosiologis Terhadap Hukum. Pt Bina Aksara. Jakarta

229
Poerwadarminta, 1976,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta,
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara
Raharjo, Prof. Dr. Satjipto, Materi Kuliah Pengantar Ilmu Hukum.
Match Day 25. Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kenyataan
(Bagian 1)
Raharjo, Prof. Dr. Satjipto, SH. 2010. Sosiologi Hukum,
Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah. Genta
Publishing. Yogyakarta
Reksodiputro, Mardjono. 2009. Menyelaraskan Pembaruan
Hukum. Komisi Hukum Nasional Repubik Indonesia.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi
Dari Teori Sosiologi Klasik
Rosana, Ellya. 2011. Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal
Tapis Vol.7 No.12 Januari-Juli.
Rustiadi, Ernan, et., al., 2006, Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, edisi Mei 2006, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor
Satjipto Rahardjo, 1998, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah
University Press, Surakarta
Setiawan, Ramadhani. 2013. Solidaritas Mekanik Ke Solidaritas
Organik (Suatu Ulasan Singkat Pemikiran Emile
Durkheim). Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Singgih, Doddy Sumbodo. 2011. Prosedur Analisis Stratifikasi
Sosial Dalam Perspektif Sosiologi. Jurnal Masyarakat
Kebudayaan Dan Politik Volume 20, Nomor 1
Soekanto, Soerjono, 1985, Emile Durkheim: Aturan-aturan
Metode Sosiologis, Rajawali, Jakarta:

230
Soekanto, Soerjono. 1988, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum, Rajawali Pers cet-5, Jakarta
Soemitra, R.H., 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Soeryono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI
Press, Jakarta
Somantri, Gumilar Rusliwa, Memahami metode kualitatif,
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005:
57-65 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Sumardjono, Maria S.W., 1989,Pedoman Pembuatan Usulan
Penelitian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Suparmoko, M., 1987, Metode Penelitian Praktis untuk limit
Sosial dan limit Ekonomi, BPFE, Yogyakarta
Todaro, Michael P. & Stephen C. Smith, 2003, Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi kedelapan, Erlangga,
Jakarta
Umanailo, M. Chairul Basrun. 2013. Perubahan Sosial Di
Indonesia : Tradisi, Akomodasi, Dan Modernisasi
Academia.Edu.
Utsman, Sabian. 2013. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Makna
Dialog Antara Hukum Dan Masyarakat. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Waluyo., (dalam A. Santoso), 1991-1992, Menetapkan dan
Merumuskan Masalah Dalam Kegiatan Penelitian
(Makalah Latihan Jabatan Metodologi Penelitian Bagi
Tenaga Edukatif), UNTAG, Semarang

231
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode
Dan Masalah. Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat
(Elsam), Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum Berbasis
Masyarakat Dan Ekologi (Huma). Jakarta
Zaini, Dr. Zulfi Diane S.H., M.H Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2,
Desember 2012

232
Biografi Penulis

M. Chairul Basrun Umanailo, Lahir


di Ambon 22 Nopember 1978.
Menyelesaikan pendidikan dasar
hingga Menengah Umum di Kota
Ambon, kemudian menyelesaikan
studi S1 pada Jurusan Sosiologi
Universitas Sebelas Maret pada
2002. Pada Tahun 2016 berhasil
menyelesaikan studi S2-Sosiologi pada Universitas Sebelas
Maret dan saat ini penulis tercatat sebagai salah satu
Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Brawijaya,
beraktifitas sehari-hari dengan kegiatan penelitian, diskusi
maupun workshop dan seminar, beberapa kegiatan terakhir
2014 yang dijalaninya yaitu Seminar on International Exposure
for Lecture and Research di FISIP UGM, Asia Pasific Civil Society
Defining the Education for the Future yang diadakan oleh Asia
South Pasific Association for Basic and Adult Education
(ASPBAE). Saat ini penulis merupakan salah satu staf pengajar
pada Fakultas Hukum Universitas Iqra Buru, juga Pernah
mengabdikan dirinya pada beberapa lembaga diantaranya;
Center for Urban Research and Community Management
(CIRCUM), P2KP, LPPM, pada tahun 2005 menjadi Sekretaris
Program pada Patnership for Local Politic Transformation
(PLPT) dan (2014) menjadi Direktur Pusat Kajian Pembangunan
dan Transformasi Sosial (PKPTS). Penulis dapat dihubungi
melalui E-mail; chairulbasrun@gmail.com dan 08114781173..

Anda mungkin juga menyukai