Anda di halaman 1dari 28

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

 Aji Anugrah Akbar (20200610068)


 Erlita Sari (20200610075)
 Salsabila Nur Hafifah (20200610079)
 Muhammad Hardhiyanto Wira S (20200610051)
1. LATAR BELAKANG SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM
ISLAM DI INDONESIA
 Sebelum Hukum Islam masuk ke Indonesia, rakyat Indonesia
menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya,sangat
majemuksifatnya. Dapat diduga, pengaruh AgamaHindu danBudha
sangat kuat teihadap hukum adat rakyat.
Ibnu Batutali, pengembara Arab asal Maroko yang pada tahun 1345 M.
singgah di samudera Pasai, dan sempat beijumpa denga'n Sultan Al-
Malik Al-Zahir, melaporkan bahwa Sultan sangat mahir Penerapan
hukum Islam di Indonesia berkaitan erat dengan awal masuknya Islam
di Indonesia. Artinya, setelah masuknya Islam ke Indonesia, hukum
Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di
Nusantara ini Oleh karena itu tidak salah jika dikatakan bahwa hukum
Islam itu sudah mulai diamalkan atau diberlakukan sejak kedatangan
Islam di Indonesia. dalam Fiqih Mazhab Syafi'i. Menurut Hamka, dari
sinilah Fiqih Mazhab Syafi'i keinudian merata di seluruh wilayah
Nusantara. Hukum Islam merupakan hukum resmi kerajaan-kerajaan
Islam.Sebagai bukti bahwa hukum Islam telah diberlakukan di
Indonesia sejak dahulu kala ialah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
jauh sebelum penjajahan Belanda.

o Menurut Yusuf,2 kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri


di Sumatera ialah kerajaan Jeumpa, kesultanan Peureulak,
kesultanan Samudera Pasai, kesultanan Lamuri, kerajaan Pedir,
kerajaan Daya, kerajaan Linge, kesultanan Aceh, kerajaan
Malayu Tambayung (abad ke 6 akhir) Bintan, kesultanan
Indrapura, kerajaan Pasaman, kerajaan Pagaruyung, kerajaan
Siguntur, kerajaan Sungai Pagu, kerajaan Pulau Punjung,
kerajaan Jambu Lippo, kerajaan Koto Anau, kerajaan Bungo
Setangkai, kesultanan Jambi, kesultanan Serdang, kesultanan
Asahan, dan kesultanan Deli.
o Sementara kerajaan-kerajaan Islam di Jawa ialah kesultanan
Cirebon(1552-1677), kesultanan Demak (1500-1550),
kesultanan Banten (1524-1813 ), kesultanan Pajang (1568-
1618), kesultanan Mataram (1586-1755), kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat (1755- sekarang), dan kasunanan
Surakarta Hadiningrat (1755-sekarang).
o Dan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Maluku ialah kerajaan
Nunusaku, kesultanan Ternate (1257), kesultanan Tidore
(1110-1947), kesultanan Jailolo, kesultanan Bacan, kerajaan
Loloda, kerajaan Sahulau, kerajaan Tanah Hitu (1470-1682),
kerajaan Iha, kerajaan Honimoa/ Siri Sori, dan kerajaan
Huamual.
o Adapun kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Sulawesi:
Kesultanan Gowa (awal abad ke-16-1667), kesultanan Buton
(1332-1911), kesultanan Bone (abad 17), dan kerajaan Banggai
(abad 16).
o Sedang kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan ialah kesultanan
Pasir (1516), kesultanan Banjar (1526-1905), kesultanan
Kotawaringin, kerajaan Pagatan (1750), kesultanan Sambas
(1671), kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura,
kesultanan Berau (1400), kesultanan Sambaliung (1810),
kesultanan Gunung Tabur (1820), kesultanan Pontianak (1771),
kerajaan Tidung (1076-1916), kerajaan Tidung Kuno (1076-
1551), dinasti Tengara (1551-1916), dan kesultanan Bulungan
(1731)
o Dan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Papua ialah kerajaan
Waigeo, kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe), kerajaan
Salawati (marga Arfan), kerajaan Sailolof/Waigama (marga
Tafalas), kerajaan Fatagar (marga Uswanas), kerajaan Rumbati
(marga Bauw), kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai), kerajaan
Sekar (marga Rumgesan), kerajaan Patipi, kerajaan Arguni,
kerajaan Wertuar(marga Heremba), kerajaan Kowiai/kerajaan
Namatota, kerajaan Aiduma, dan kerajaan Kaimana.

Semua kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia ini


merupakan bukti bahwa hukum Islam telah diberlakukan sejak dahulu
kala di Indonesia. Sebab bagaimana mungkin para pakar sejarah
menyebut suatu kerajaan itu kerajaan Islam jika hukum dan peraturan
yang diberlakukan bukan hukum Islam. Meskipun tentu saja antara
satu kerajaan dengan kerajaan lainnya tidak sama dalam hal apa saja
yang diterapkan dalam hukum Islam itu dan bagaimana cara
penerapannya.

 Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di


tanah air Indonesia. Belum ada kesepakatan ahli sejarah tentang awal
masuknya Islam di Indonesia. Ada yang mengatakan abad ke-1 Hijriyah
atau abad ke-7 Masehi, ada pula yang mengatakan abad ke-7 Hijriyah atau
abad ke-13 Masehi. Walaupun para ahli sejarah berbeda mengenai awal
masuknya Islam ke Indonesia, namun dapat dikatakan bahwa setelah Islam
masuk ke- Indonesia, hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh
para pemeluk agama Islam di Nusantara ini. Hal ini dapat dilihat dari hasil
karya ahli hukum Islam Indonesia. Misalnya, Miratul Thullab, Sirathal
Mustaqim, Sabilal Muhtadin, Kutaragama, Sajinatul Hukum, dan lain-lain.
penelusuran hukum Islam dari aspek sejarah dapat dilihat juga dari
berdirinya Masjid Demak abad ke-14 sebagai masjid pertama yang
bersimbol islam.Ia menyatakan permulaan zaman islam dalam tradisi jawa
terkait erat dengan dua peristiwa:
o jatuhnya benteng agama Budha yang diwakili oleh Keraton
Majapahit
o berdirinya masjid besar di dmak sebagai pusat kerajaan islam
yang baru tempat beribadah hari jum’at bagi raja dan warga
keraton pembangunan masjid demak terjadi pada tahun 1428
caka (1506)

 Sebenarnya pemikiran syariat (fikih,hukum islam) sudah berkembang


di Indonesia sejak awalabad ke-13. Hal ini dibuktikan oleh laporan
Ibnu Batutah (w.779 H / 1377 M), pengembara muslim Afrika Utara
yang pada 746 H / 1325 M mengunjungi Samudera Pasai dalam
perjalanan dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah
Sultan Malik az- Zahir (1297-1326), putra Sultan Malikush Shaleh (w.
1297). Ibnu Batutah menyatakan bahwa raja dan rakyat bermazhab
syafi’i Selanjutnya

 Hukum Islam pada Masa Pra Pen- jajahan Belanda


o Masyarakat Indonesia sebelum Islam masuk telah menganut kepercayaan
animesme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang
dibangun atas dasar kepercayaan yang dianutnya, lalu disusul dengan
lahirnya kerajaan Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar
agama Islam.
Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa akar sejarah hukum Islam di
kawasan nusantara dimulai pada abad pertama hijriah atau sekitar abad
ketujuh dan kedelapan masehi. i. Dengan berdirinya kerajaan Pasai, Islam
semakin menyebar yang dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
lain, seperti kerajaan Malaka tidak jauh dari Aceh, di Jawa lahir kesultanan
Demak, Mataram dan Cirebon. Di Sulawesi dan Maluku ada kerajaan
Gowa dan kesultanan Ternate dan Tidore.
Kehadiran kerajaan-kerajaan Islam yang menggantikan kerajaan Hindu-
Budha membawa hukum Islam di Indonesia untuk pertama kalinya
digunakan dalam hukum positif. Pada masa itu para penguasa kerajaan
Islam memposisikan hukum Islam sebagai hukum negara. Dibuktikan
dengan adanya literatur-literatur fiqhi yang ditulis oleh para ulama
nusantara pada abad enam belas dan tujuh belasan.
 Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
o Penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran
Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai sebuah organisasi
dagang Belanda, karena penduduk pribumi sangat sulit menerima hukum-
hukum yang asing bagi mereka sehingga VOC membebaskan penduduk
pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Keadaan inilah yang oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Cristian van den
Berg, disebut telah terjadi receptio in complexu yaitu penerimaan hukum
Islam secara menyeluruh oleh umat Islam.
Hal ini kemudian dikenal dengan istilah teori receptio in complexu.Bukti
teori receptio in complexu dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan
berikut:
Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus
diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam,

a. Pada pertengahan abad 19, PemerintahHindia Belanda


melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang
secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan
hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

b. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang
agama, lembaga-lem- baga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak
bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui
umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam
di bawah sub koordinasi dari hukum Belanda.

c. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,


Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian
membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan
agama di Jawa dalam memeriksa kasus- kasus kewarisan (dengan
alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).

d. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2


Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78
Regerring sreglement), yang intinya perkara perdata sesama
muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu
telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh
sesuatu ordonasi.Upaya Belanda mengontrol operasio- nalisasi
hukum Islam dengan berbagai cara membuat posisi hukum Islam
terus melemah hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia
Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

 Masa Kemerdekaan

o Untuk memposisikan kembali hukum Islam seperti sebelum adanya teori


Receptie, maka Prof. DR. Hazairin memunculkan teori Receptie Exit dan
Sayuti Thalib dengan teori Receptie a contrario yaitu teori yang
mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam.Pemberlakuan Hukum Islam,terutama di bidang
hukum waris Islam dengan menerapkan penafsiran tekstual,ternyata secara
empiris dirasakan menim-bulkan ketidakadilan.
Oleh karena itu dalam penerapan hukum waris Islam perlu dilakukan
penafsiran teks ayat-ayat al-Qur’an secara kontektual. Interpretasi secara
kontekstual inilah yang disebut dengan teori Recoin (Receptio
ContextualInterpretatio).
Dengan demikian kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan
mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun dalam UUD 1945 tidak
dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun hukum Islam berlaku bagi
bangsa Indonesia yang beragama Islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan
(2).

 Hukum Islam pada Masa Reformasi

o Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan


mem- positifkan hukum Islam sangat kuat. Perkembangan hukum Islam
pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai
teraktualisasikan dalam kehidu- pan sosial. Wilayah cakupannya menjadi
sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum perdata tetapi masuk dalam
ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang
tentang Oto- nomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia
pada mulanya adalah UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah,
yang kemudian diamandemen melalui UU No.31 tahun 2004 tentang
otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam
bidang hukum.Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam adalah banyak
daerah menerapkan hukum Islam. Meskipun hukum Islam tidak
berkembang lewat jalur struktural partai, namun hukum Islam pada era
reformasi sebagai kelanjutan dari era sebelumnya dapat berkembang pesat
melalui jalur kultural. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari
kemajuan kaum muslim di bidang ekonomi dan pendidikan.
Perkembangan Islam pada era reformasi diikuti perkem- bangan hukum
Islam secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh lahirnya beberapa
undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 jo No. 50
Tahun 2009; UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; UU No.
17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji diubah dengan UU No. 13
Tahun 2008; dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankkan
Syariah.Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia
diatur dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999
ini, hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk
berperan sebagai bahan baku hukum nasional. pemberlakuan hukum Islam
di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu
penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian.
2. HUKUM ISLAM SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL

A. Hukum Islam dalam Hukum Nasional


Hukum Islam yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah
swt., maupun yang mengatur hubungannya dengan sesama manusia, mempunyai
peranan dalam pembentukan hukum nasional. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa banyak aturan-aturan dan ketentuan-ketentuannya, yang selama ini dikenal
dalam hukum Islam telah terserap ke dalam hukum perundang-undangan negara.
Peranan hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu dari sisi hukum Islam sebagai salah satu sumber pembentukan hukum
nasional, dan dari sisi diangkatnya hukum Islam sebagai hukum negara. GBHN
telah menetapkan bahwa hukum nasional harus dijiwai dan didasari oleh Pancasila
dan UUD 1945, karena Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber
hukum dan menjadi landasan semua produk hukum di Indonesia. Sila pertama
dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan pasal 29 UUD menetapkan
bahwa negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua hal ini menuntut
agar hukum nasional itu berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi bangsa
Indonesia pengertian berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa itu mengandung
arti “berdasarkan agama”, karena mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama
dan hanya bagian yang sangat kecil dari yang percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa itu yang tidak beragama. Dengan demikian, pembentukan hukum nasional
mengambil dan bersumber pada hukum yang hidup dalam masyarakat, maka
dengan sendirinya hukum Islam berperan dalam pembentukan hukum nasional.
Hal ini merupakan realisasi dari tuntutan dijadikannya hukum Islam menjadi salah
satu bahan rujukan dan sumber dari pembentukan hukum nasional, fakta
menunjukkan sudah begitu banyak unsur- unsur hukum Islam masuk dalam
produk legislatif terutama sejak masa orde baru. Hukum Islam memasuki produk
hukum nasional bukan hanya yang berkaitan ibadah, hukum keluarga atau
perkawinan, dan hukum tentang tanah wakaf. Adanya sistem bagi hasil
(mudarabah) dalam Undang-Undang perbankan, adanya makanan halal dalam
Undang-undang Pangan, menunjukkan telah masuknya fikih (hukum Islam)
dalam poduk hukum nasional.Dalam pembentukan hukum nasional terdapat hal-
hal yang perlu dicermati, yaitu: Diterimanya hukum Islam masuk ke dalam hukum
nasional bukan hanya karena hukum Islam diikuti mayoritas masyarakat bangsa
Indonesia, tetapi karena hukum Islam memang mampu memenuhi tuntutan
keadilan. Dengan masuknya hukum Islam ke dalam hukum nasional, ia tidak lagi
akan menggunakan label Islam dan juga tidak lagi menjadi milik umat Islam saja,
tetapi menjadi milik bangsa.Pakar hukum Islam harus mampu menggali nilai-nilai
universal dari hukum Islam untuk disumbangkan menjadi hukum nasional, supaya
tidak akan menghadapi kendala penolakan dari anggota badan legislatif yang tidak
beragama Islam.Hukum Islam sangat identik dengan keadilan dan mampu
memenuhi tuntutan keadilan, dan dalam pelaksanannya memiliki tempat di
kalangan masyarakat dalam arti dapat diterima oleh semua masyarakat termasuk
non muslim, karena sudah menjadi milik negara. Oleh arena itu, keuniversalan
hukum Islam membutuhkan kajian yang lebih komprehensif, agar dapat
terkomodir dalam perumusan peraturan perundang-undangan yang disusun dan
oleh anggota badan legislatif.
Sistem Hukum Adat
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya se-perti Jepang, India, dan
Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak ter-tulis yang
tumbuh dan berkembang dan diper-tahankan dengan kesadaran hukum
masyarakat-nya.Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka
hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Pe-negak hukum
adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera. Istilah hukum adat pertama kali diper-kenalkan secara ilmiah oleh C.
Snouck Hur-gronje, Kemudian pada tahun 1893, C. Snouck Hurgronje dalam
bukunya yang berjudul "DeAtjehers" menyebutkan istilah hukum adat se-bagai
adat recht (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem
pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masya-rakat Indonesia.
Istilah ini kemudian dikem-bangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollen-
hoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum
menjadi Indonesia).Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama
mencanangkan gagasan pembagian hukum adat. Menurutnya daerah di Nusantara
menurut hukum adatdapat dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut: Aceh, Gayo
dan Batak,Nias dan sekitarnya, Minangkabau, Mentawai,Sumatra Selatan,
Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-
Talaud,Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Ma-kassar), Maluku Utara,
Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara dan Timor,Bali dan
Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pe-sisiran), Jawa Mataraman, dan Jawa Barat
(Sunda), sedangkan menurut Gerzt orang Ame-rika menyatakan bahwa
masyarakat Indonesia memiliki 350 budaya, 250 bahasa dan seluruh keyakinan
dan Agama di dunia ada di Indonesia.Hukum adat ini didasarkan pada nilai-nilai
yang hidup dalam setiap masyarakat hukum adat, apabila didasarkan pada perwi-
layahan lingkungan masyarakat adat, sebagai-mana dikemukakan oleh Cornelis
van Vollen-hoven maka akan memiliki nilai-nilai hukum adat pada setiap
masyarakat adat di 23 (dua puluh tiga) lingkungan wilayah adat, sedangkan
menurut Gezt maka akan memiliki nilai-nilai hukum adat pada setiap masyarakat
adat di 350 lingkungan wilayah adat beserta budayanya. Hukum adat di Indonesia
terdiri dari berbagai macam hukum adat, menurut Puchta (1798-1846) murid von
Savigny hukum adat yang semacam ini tidak dapat dijadikan hukum secara
nasional hanya sebagai keyakinan bagi masyarakatnya masing-masing, nilai-
nilainya juga tidak dapat dimasukkan di dalam sistem hukum nasional, keculai
hukum adat yang di miliki, diyakini dan diamalkan secara terus menerus oleh
bangsa atau masyarakat nasional dapat dijadikan hukum secara nasional setelah
melalui proses pengesahan di lembaga legis-latif dan atau eksekutif, dan nilai-
nilainya da-pat dimasukkan ke dalam sistem hukum na-sional.

Sistem Hukum Islam


Nilai-nilai Islam menyatu dengan sifat manusia, dan mengakibatkan evolusi
spiritual dan moralnya. Tesis pokok dalam Islam adalah konsep tauhid atau
keesaan Tuhan). Kepercaya-an akan keesaan Sang Pencipta merupakan prasyarat
untuk masuk Islam. Penegasan iman seorang muslim dengan menyatakan dua
kalimat syahadat. Allah itu yang memiliki semua pengetahuan, Yang Maha
Bijaksana, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Pengasih, sebagaimana diketahui
pada “Asmaul Husna”, dan dari sifat-sifat Allah inilah sistem nilai Islam berasal.
De-ngan kata lain bahwa nilai-nilai Islam bersum-ber dari sifat-sifat Allah, yang
kemudian diim-plementasikan dan dipraktikkan oleh Muham-mad Rasulullah
beserta ummatnya sebagai syariah Islam.Syariah Islam dalam perjalanan sejarah-
nya memeliki kedudukannya yang amat pen-ting. hukum islam tidak kehilangan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat yang terus mene-rus berkembang dengan
munculnya imam-imam mazhab, dengan sendirinya dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat Islam. Di Indonesia,hukum Islam dilaksanakan dengan sepenuhnya
oleh masyarakat Islam. Meski didominasi oleh
fikih syafi’i dan an fikih syafi’iyah lebih banyak dan dekat dengan kepribadian
Indonesia. Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai
terjemahan al-fikih al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-
islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam
al-qur’an maupun al-sunnah, istilah al-hukm al-islam tidak dijumapai. Yang digu-
nakan adalah kata syariat yang dalam penjabarnnya. Kemudian lahir istilah Fikih.
Kata syari’ah dan derivasinya di gunakan lima kali dalam al-qur’an yakni (Surat
Al-Syura,42 :13,21. Al-A’raf,7 :163,Al- Maidah ,5 :48, dan Al-Jasiyah,45 :18)
Syari’ah secara harfiah berarti jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui
air sungai. Penggunaannya dalam Al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas
yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama usul al-fiqh, syariah
adalah titah (khitab) Allah berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim,balig
dan berakal sehat), baik berupa tuntutan,pilihan,atau perantara (sebab, syarat,atau
penghalang). Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis
(‘amaliyah).Pada mulanya kata syari’at meliputi semua as-pek ajaran agama,
yakni akidah, syari’ah (hukum) dan akhlak. Ini terlihat pada syari’at setiap agama
yang diturunkan sebelum Islam.Karena bagi setiap ummat, Allah memberikan
syari’at dan jalan yang terang (Al-Maidah,5:48)
.Namun karena agama-agama yang diturunkan sebelum Muhammad SAW inti
akidahnya adalah tauhid (mengesakan Tuhan), maka dapat di-pahami bahwa
cakupan syari’ah, adalah amali-yah sebagai konsekuensi dari akidah yang diimani
setiap ummat. Namun demikian, ketika kita menggunakan kata syari’at, maka
pema-haman kita tertuju kepada semua aspek ajaran Islam. Adapun kata fikih
yang dalam Al-Qur’an digunakan dalam bentuk kerja (fi’il) disebut sebanyak 20
kali. Penggunaannya dalam Al-Qur’an berarti memahami, sebagaimana ter-
cantum dalam Surat Al-An’am ayat 65 yang artinya “Perhatikanlah, betapa kami
menda-tangkan tanda-tanda kebesaran, kami silih berganti, agar mereka
memahaminya”. Fikih secara etimologis, artinya paham. Namun berbeda dengan
‘ilm yang artinya mengerti. Ilmu bisa diperoleh secara nalar atau wahyu, fikih
menekankan pada penalaran, meski penggunaannya nanti ia terikat kepad wahyu.
Dalam pengertian terminologis, fikih adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis (amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci, contohnya, hukum
wajib shalat, diambil dari perin-tah Allah dalam ayat aqimu al-shalat (dirikan-lah
shalat). Dalam al-qur’an tidak dirinci bagaimana tata cara menjalankan shalat,
maka dijelaskan kemudian melalui sabda Nabi SAW :
”Kejakanlah shalat, sebagaimana kalian me-lihat aku menjalankannya” (sallu
kama raaitu-muni usalli). Berdasarkan praktek Nabi inilah,sahabat-sahabat, tbi’in,
dan fuqaha’ merumuskan tata aturan shalat yang benar dengan segala syarat dan
rukunnya.

Sistem Hukum Islam Sebagai Sistem Hukum Nasional, Sebuah Ide Solusi
Yang Harmoni .
Pada masa Penjajahan Belanda, mereka menghendaki daerah yang dikuasainya
meng-gunakan hukum Belanda, namun tidak dapat berjalan, maka mereka
membiarkan lembaga asli yang ada dalam masyarakat tetap berjalan sehingga
dalam Statuta Jakarta tahun 1624 di-sebutkan mengenai kewarisan bagi orang
Indo-nesia Asli yang beragama Islam harus meng-gunakan hukum Islam.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie) meminta pada D.W. Freijer untuk menyusun compendium yang
memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang kemudian terkenal
dengan nama compedium freijer. Posisi Hukum Islam seperti ini terus
berlangsung demikian sampai kurang lebih dua abad, waktu pemerintahan VOC
berakhir pemerintah kolonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan
Indonesia sikapnya berubah terhadap Hukurn Islam, yaitu segala putusan
penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam (hukum asli orang jawa) harus diakui
dulu oleh alat kekuasaan pemerintah.8 Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-
1816) Gubernur Jenderal Inggris Thomas S. Raffles menyatakan bahwa Hukum
Islam berlaku dikalangan rakyat.
Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kekolonial Belanda, mulai dilakukan
kristenisasi karena Belanda menganggap pertukaran agama penduduk menjadi
Kristen akan menguntungkan pemerintah Belanda. Walaupun mendapat
pertentangan dari pemerintahan Belanda, ternyata eksistensi hukum Islam dalam
masyarakat Indonesia ternyata tidak dapat dihilangkan demikian saja, terbukti
dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda seperti Pasal 75 RR
(Regeeriizg Reglement) dan Ps 78 ayat 2 RR yang menginstruksikan kepada
pengadilan untuk menggunakan undang-undang agama/masyarakat apabila terjadi
permasalahan diantara golongan pribumi serta yang disamakan dengan mereka.
Hal tersebut terwujud berdasarkan materi teori Receptio in complexu yang
menyatakan hukum bagi masyarkat/adat adalah merupakan hukum dan agamanya
sebagaimana dikemukakan oleh Lodewijk wilhem Christian van den Berg (1845-
1925). Namun Christian Snouk Hurgronje dan kemudian di kembangkan oleh
Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar penasehat pemerintah Hindia
Belanda (1 857-1936) menetang pendapat teori receptio in complexu dengan
menggeluarkan theorie Receptie yang mengemukakan bahwa hukum Islam
tidaklah sama dengan hukum masya-rakat(adat). Oleh karenanya Hukum Islam
bila hendak menjadi bagian dari hukum adat/masyarakat harus diterima dulu oleh
masyarakat adatnya. Teori ini setelah Indonesia merdeka mendapat perlentangan
yang keras dan Prof Hazirin murid Betrand Ter Haar, menurutnya teori ini
diciptakan untuk merintangi kemajuan Hukum Islam di Indonesia demi ke-
pentingan kolonialis. Oleh karenanya theorie Receptie yang dijuluki teori Iblis
oleh Prof Hazairin tersebut, harus exit (keluar) dari Indonesia karena tidak sesuai
dengan Falsafah Negara Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi
Ketuhanan yang Maha Esa/Agama. Friedrich Carl Von Sovigny dalam bukunya
yang terkenal “Von Beruf Unserer Zeit Fur Gesetz gebung und
Rechtswissenschaft”, “Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-
Undang dan Ilmu Hukum”, antara lain dikatakan:“Das Recht wird nicht gemacht,
est ist und wird mit dem Volke”(hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat). Pandangan Von Savigny ini berpangkal
kepada bahwa di dunia ini terdapat ber-macam-macam bangsa yang pada tiap-tiap
bangsa tersebut mempunyai suatu Volkgeist jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda-beda,
baik menurut waktu dan tempat. Pencerminan adanya suatu jiwa yang berbeda ini
tampak pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Menurut Von
Savigny, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan pada
semua waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan
yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari
masa ke masa (sejarah). Puchta (1798-1846) murid von Savigny membedakan
pengertian bangsa dalam dua jenis, yaitu : (1) Bangsa dalam pengertian etnis,
yang disebut bangsa “alam”, dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan
organis yang membentuk satu negara. Adapaun yang memiliki hukum yang sah
hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam”
memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disyahkan melalui
kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara
mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Ibi sosie-tas, ibi ius.
Dimana ada masyarakat, di situ ada hukum. Demikian adagium dari Cicero yang
di-kemukakan kurang lebih 2005 tahun yang lalu dapat menggambarkan dengan
tepat keterkaitan hukum dengan masyarakatnya. Adagium ini secara sederhana
namun mendasar telah mampu menggambarkan hubungan antara hukum dengan
masyarakat. Secara hipotesis, dapat ditelaah lebih lanjut bahwa adagium tersebut
meng-gambarkan adanya usaha masyarakat untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Usaha masyarakat untuk mengatur kehidupannya sendiri didasarkan atas nilai-
nilai yang mereka yakini, maka sesungguhnya nilai-nilai itu sama dengan konsep-
konsep dan cita-cita yang menggerakkan perilaku individual dan kolektif manusia
dalam kehidupan mereka. Ummat Nabi agung Muhamammad SAW ini
diantaranya adalah mayoritas individu-individu bangsa Indonesia. Perilaku Nabi
beserta ummatnya dikenal berdasarkan syariah Islam. Oleh karena itu terdapat
harmonisasi nilai-nilai Pancasila yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia terhadap nilai-nilai Islam, karena nilai-nilai Islam diyakini dan
diamlakan oleh mayoritas bangsa Indonesia, walaupun nilai-nilai Islam ini
merupakan keyakinan oleh mayoritas bangsa Indonesia akan tetapi tetap toleransi
terhadap nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok minoritas di Indonesia, sikap ini
telah pernah ditunjukkan oleh Muhammad rasulullah dengan piagam
Madinahnya.Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis berpandangan
bahwa sungguh tepat jika sistem hukum Islam dijadikan sebagai sistem hukum
nasional satu satunya.

3. POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Perkembangan selanjutnya, positivisasi hukum Islam sebagai upaya pembaharuan


hukum nasional yang hukum induknya masih menggunakan Hukum Hindia
Belanda yang bertentangan dengan kultur, budaya dan kesadaran hukum yang
berkembang di Indonesia yang mayoritas penduduk muslim, sangat erat kaitannya
dengan perkembangan politik hukum nasional. Pembaharuan yang dimaksud
dalam positivisasi hukum Islam sesunguhnya merupakan upaya pembangunan
sistem hukum nasional. Pentingnya upaya positivisasi tersebut terkait dengan
fakta hukum nasional yang secara yuridis konstitusional sejak kemerdekaan
hingga sekarang (era reformasi) belum berhasil menggantikan induk hukum
nasional warisan Belanda, walaupun usaha penggantian tersebut tersebut terus
diupayakan dengan berbagai penyesuaian sejak UU No. 1 Tahun 1946.
Positivisasi hukum Islam sesungguhnya merupakan upaya pembaharuan hukum
nasional selaras dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat dan
merupakan hal wajar untuk terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan sekaligus
sebagai upaya merubah sistem otoriter yang terjadi pada masa sebelum reformasi.

Sumber hukum Islam tersebut tidak memberikan ajaran pengaruh tertentu dalam
persoalan sistem politik dan ketatanegaraan. Dalam kebebasan memilih tersebut,
setiap negara yang menyatakan sebagai negara Islam atau mencoba menerapkan
nilai hukum Islam, biasanya berbeda-beda utamanya dalam implementasi sistem
politik dan hukum ketatanegaraanya yang bersifat nasional. Atas dasar itulah studi
positivisasi hukum Islam terkait erat dengan sistem hukum nasional terkait dengan
sumbernya yang berbentuk nilai-nilai dasar yang mengakar di masyarakat dan
merupakan bagian penting dari sistem hukum yang terdiri dari struktur hukum,
substansi hukum dan budaya hukum.

Azizy menjelaskan bahwa positivisasi adalah persoalan besar terkait


perkembangan historis serta metodologi studi agama—hukum Islam, seperti
Ijtihād, Ijmā’, Qiyās dan lainnya yang mempunyai lingkup kajian luas dengan
menyesuaikan sosio kultur yang berkembang di Indonesia yang pemaknaannya
membutuhkan perubahan sesuai tuntutan perubahan sosial dan studi keislaman
kontemporer (eklektisisme).

Menurut Arifin positivisasi hukum Islam secara sosiologis merupakan gejala


sosial hukum akibat lamanya benturan tiga sistem hukum; hukum Adat, hukum
Barat dan hukum Islam oleh politik Hukum Belanda. Sedangkan secara normatif
filofofis merupakan upaya meluruskan persepsi tentang syariat Islam yang
mengalami kejumudan sejak abad ke-10 Hijriyah akibat pergolakan politik Islam
yang berpengaruh di Indonesia.

Supaya hukum Islam berlaku dan menjadi hukum positif bagi seluruh rakyat
Indonesia diperlukan beberapa hal. Namun sebelum membicarakan hal-hal yang
diperlukan dalam pembentukan hukum Islam sebagai hukum Nasional yang
berlaku untuk seleruh rakyat Indonesia, berikut ini diketengahkan lembaga-
lembaga tinggi negara yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di dalam UUD 1945 Pasal 2


ayat (1) ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang. Menurut Pasal 3 ayat (1) MPR berwenang
mengubah dan menetapkan undang-undang. Peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh MPR ialah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) dan undang-undang (UU).

b) Presiden. Di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) Presiden Republik


Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Dan menurut Pasal 5 ayat
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada dewan
perwakilan rakyat. Sedang Pasal 5 ayat (2) memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Peraturan perundang-
undangan yang dibuat Presiden ialah Undang-undang (UU) dan Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (PERPRES), Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (PERPU).

c) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat (1)
dinyatakan Dewan perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Dengan demikian, DPR selain berwenang memberi
persetujuan terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan oleh
Pemerintah atau Presiden, tetapi juga mempunyai hak inisiatif dalam
membentuk undang-undang. Pearturan perundang-undangan yang
dibentuk DPR ialah undang-undang (UU).

d) Menteri. Untuk membantu Presiden melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-


fungsinya dalam banyak bidang maka diselenggarakanlah kementerian-
kementerian yang dipimpin oleh para menteri. Para menteri tersebut
memperoleh delegasi wewenang untuk membentuk perundang-undangan
dari Presiden supaya dapat melaksanakan tugas dan fungsinya. Peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh para menteri disebut Peraturan
Menteri (PERMEN).

e) Lembaga Pemerintah Non-Kementerian. Lembaga Pemerintah Non-


Kementerian adalah lembaga pemerintah tingkat pusat yang menjalankan
wewenang, tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan
pemerintahan di bidang-bidang tertentu dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. Lembaga Pemerintah Non-Kementerian itu yakni: a.
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasioanl (BAKOSURTANAL),
b. Lembaga Adiminstrasi Negara (LAN), c. Badan kepegawaian Negara
(BKN), d. Badan Standardisasi Nasional (BSN), e. Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPPOM), f. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS), g. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), h. Badan
Urusan Logistik (BULOG), i. Badan Pengawas Perdangan Berjangka
Komoditi (BAPPBETI), j. Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), k. Lembaga Penerbangan dan Antaraksi Nasional
(LAPAN), l. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), m. Biro Pusat
Statistik (BPS), n. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), o. Badan
Pertahanan Nasional (BPN), p. Perpustakaan Nasional, q. Badan
pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), r. Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN), s. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), t. Badan Akutansi Keuangan Negara (BAKUN), u. Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh Lembaga Pemerintah Non-Kementerian ialah Peraturan
atas nama masing-masing badan atau lembaga.
f) Direktorat Jenderal Kementerian. Menurut Keputusan Presiden Nomor 44
tahun 1974 Pasal 14 Huruf A Direktorat Jenderal menyelenggarakan
fungsi perumusan kebijaksanaan teknis. Ini berarti Direktorat Jenderal
dapat mengeluarkan peraturan-peraturan atas namanya sendiri yang isinya
memberikan rincian yang bersifat teknis, dan kebijaksanaan pelaksanaan
bidang pemerintahan yang digariskan oleh menteri. Peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh Direktorat Jenderal ialah Peraturan atas nama
masing-masing Direktorat Jenderal.

g) Pemerintahan Daerah (PEMDA). Pemerintahan Daerah adalah


penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pemerintahan Daerah adalah gubernur, Bupati atau Walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan
wewenang, kewajiban dan tanggung jawab serta kuasa peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah
yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah (PERDA), Peraturan
Kepala Daerah dan ketentuan lainnya. Kebijakan daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum serta peraturan daerah lainnya. Perda dibuat oleh
DPRD bersama-sama dengan Pemerintah Daerah.

h) Peraturan Desa (PERDES). Menurut UU No. 10 tahun 2004 Bab 1 Pasal 1


Point 8 Peraturan Desa/peraturan yang setingkat lainnya adalah peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Menurut Masruhan dalam tulisannya di sebuah jurnal yang fokus pada positivisasi
hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa proses positivisasi hukum Islam di
Indonesia mengandung dua dimensi yang dibedakan antara:

1. Hukum Islam dalam kaitannya dengan syarī’at yang berakar pada nash
qath’ī, berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan
arus utama aktivitas umat Islam sedunia.
2. Hukum Islam yang berakar pada nash dhannī yang merupakan wilayah
ijtihādī yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqh
Terkait positivisasi, studinya menjelaskan bahwa dalam perkembangan hukum
Islam70 di Indonesia dibagi menjadi dua:
1. Hukum Islam yang bersifat normatif yang berkaitan dengan aspek ibadah
murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan
kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya.
2. Hukum Islam yang bersifat yuridis formal yang berkaitan dengan aspek
mu’āmalah (khususnya bidang perdata dan diupayakan pula dalam bidang
pidana yang sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan) yang
membutuhkan campur tangan negara dalam pelaksanaannya.

Hirarki peraturan perundang-undangan menurut UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 7


ayat (1) dan (2) ialah seperti berikut:

1. Jenis dan hirarki Pearturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
c) Peraturan Pemerintah.
d) Peraturan Presiden.
e) Peraturan Daerah

2. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


Provinsi bersama Gubernur.
b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
c) Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan
Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala desa atau nama lainnya.

Positivisasi hukum Islam dari segi sumber kedudukan hukum Islam dalam
ketatanegaraan dibagi dua; sebagai sumber persuasif dan autoritatif. Sumber
persuasive, persuasive source, adalah sumber yang harus diyakinkan supaya
diterima semua orang lain (masyarakat). Sedangkan sumber autoritatif,
authoritative source, adalah sumber yang mempunyai kekuatan hukum tanpa
harus meyakinkan kepada orang lain (masyarakat).

Positivisasi hukum Islam di Indonesia sesungguhnya merupakan suatu bentuk


Ijtihād Tatbīqi dalam konstelasi pergumulan politik hukum nasional di Indonesia
terkait dengan pengembangan kajian hukum Islam mengenai al-Dīn - Syarī’ah –
Fiqh - yang memang sangat dibutuhkan seiring dengan berkembangnya persoalan
manusia dengan sosial budaya Indonesia. Artinya, positivisasi hukum Islam
sesungguhnya merupakan upaya meluruskan persepsi tentang syari’at melalui :
(1) Pengadilan Agama terutama para hakimhakimnya (2) mengakrabkan umat
Islam (ulama-ulama) dengan yurisprudensi, dan (3) membuat kompilasi hukum
Islam serta perundangan lain yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia
dengan segala persoalan sosial budayanya.

Dengan memperhatikan jenis peraturan di atas dan lembaga yang membentuknya,


proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua:

1. Proses pembentukan undang-undang.


2. Proses pembentukan jenis peraturan perundang-undangan lain yang
dilakukan oleh pemerintah seperti Presiden atau pembantu Presiden.

Oleh karena pembentukan undang-undang harus melalui mekanisme dan proses


yang melibatkan banyak pihak, maka berikut ini hanya akan diketengahkan
tahapan pembentukan undang-undang saja, bukan peraturan perundang-undangan
yang lainnya.

Secara umum pembentukan undang-undang terdiri atas tiga tahap:

 Proses penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU), yang merupakan


proses penyusunan dan perancangan di lingkungan Pemerintah atau di
lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. RUU bisa berasal dari Pemerintah
dan bisa pula atas inisiatif DPR. Apabila ada dua RUU maka yang
dibahas terlebih dahulu adalah yang diterima lebih dahulu, sedangka RUU
yang diterima kemudian dijadikan pelengkap.

 Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan RUU di


Dewan Perwakilan Rakyat. Pembahasan RUU melalui empat tingkat
pembicaraan yaitu tingkat I dilakukan dalam Rapat Paripurna, tingkat II
dilakukan dalam Rapat Paripurna, tingkat III dilakukan dalam Rapat
Komisi, dan tingkat IV dilakukan dalam Rapat Paripurna, kecuali Badan
Musyawarah menentukan pembahasan dengan prosedur singkat.

 Proses pengesahan oleh Presiden dan pengundangan oleh Menteri Negara


Sekretaris Negara atas perintah Presiden. Presiden mengesahkan RUU
tersebut dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling
lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama antara DPR dan
Presdien. Jika tidak ditanda tangani oleh Presiden dalam jangka waktu
tersebut maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara.
Positivisasi terkait pembaharuan hukum Islam21 merupakan trend pembaharuan
pemikiran hukum Islam di Indonesia. Dengan meminjam terminologi Fazlur
Rahman, Rofiq22 dan Rahman23 menjelaskan positivisasi sebagai bagian dari
pembaharuan hukum Islam menunjukkan trend neomodernisme. Hal ini dapat
direpresenstasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk legislasi
suatu hukum. Ciri-cirinya adalah (1) Mempertimbangkan seluruh tradisi Islam,
baik yang bersifat tradisional maupun modern, (2) Pembedaan antara Islam
normatif dan Islam historis atau Islam konseptual dan Islam aktual, (3)
Menggunakan metodologi ilmiah dalam upaya reformulasi Hukum Islam,
berdasarkan khazanah intelektualisme Islam klasik dan akar-akar spritualisme
Islam, (4) Menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah secara historis sosiologis dan
kronologis, (5) Ada pembedaan antara yang ideal-moral dengan legal-spesifik,
dengan mengedepankan ideal moral, (6) Upaya mensistematisasi metode
penafsiran modernisme klasik, (7) Memasukkan masalah kekinian ke dalam
pertimbangan reinterpretasi al-Qur’an.

Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam


hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Dalam lintasan sejarah itu,
hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya, baik sebagai hukum positif atau
tertulis, maupun tidak tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan
praktik hukum. Inilah yang disebut dengan teori eksistensi.

Hukum, agama dan politik dalam pola hubungan ketiganya jelas terlibat dalam
pembangunan negara sebagai upaya penyesuaian dengan perkembangan sosial
ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Pola
hubungan ketiganya dalam ambivalensi yang saling berhubungan dalam
mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks Indonesia sangat
dipengaruhi oleh hukum Islam. Ābid al-Jābiry menjelaskan bahwa hubungan
agama, hukum dan politik, dalam konteks pembangunan hukum suatu negara,
maka agama berfungsi sebagai kritik atau pembimbing terhadap ragam model
pembangunan serta perubahan sosial masyarakat yang sangat cepat dengan
masalah kekinian.

Hubungan agama, hukum dan politik dalam konteks agama Islam antara lain
menjelaskan bahwa seorang muslim wajib taat kepada Allah dan rasulnya, namun
terhadap pemimpin dalam arti pemerintah tidak harus ditaati dan dipatuhi secara
mutlak karena dalam ajaran Islam juga membolehkan berbeda dengan
pemerintahan yang menyimpang dari ketentuan syari’at.

Hubungan antara agama, hukum dan politik sangat erat. Ketiganya secara
bersamaan menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat. Pola
hubungan ketiganya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang.
Tidak boleh dibiarkan saling bertentangan dalam konteks pembangunan hukum
nasional Indonesia (Imron, 2008).
Positivisasi hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan
kebijakan politik dan hukum yang diterapkan.
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, hukum Islam diakui sebagai hukum positif
dengan diterapkannya teori receptio in complexu yang kemudian ditentang dengan
teori receptie (resepsi) dan keadaan tidak jauh berubah saat Jepang mengambil
alih kekuasaan. Pada masa Orde Lama hukum Islam berada pada posisi yang
suram dan pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda namun hukum Islam mulai
membaik dengan lahirnya Undang-Undang tentang Perkawinan dan semakin
berkembang pada era reformasi sekarang ini. Positivisasi hukum Islam dalam
pembangunan hukum nasional memiliki dua bentuk yaitu pertama, dalam
perspektif pembangunan hukum nasional maka positivisasi hukum Islam tidak
bisa dilakukan karena kondisi pluralitas bangsa Indonesia. Kedua, hukum Islam
dapat menjadi hukum positif di Indonesia yang berlaku bagi umat Islam melalui
proses legislasi yang sah seperti dalam bidang muamalah atau hukum privat.
Positivisasi hukum Islam memiliki prospek yang cerah karena era reformasi yang
demokratis memiliki karakter hukum responsif, sistem hukum Barat/Kolonial
sudah tidak berkembang, jumlah penduduk mayoritas beragama Islam, politik
pemerintah yang mendukung berkembanganya hukum Islam, dan hukum Islam
menjadi salah satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional
disamping hukum adat dan hukum Barat/colonial. Maka persoalan positivisasi
hukum Islam secara sederhana dapat dijelaskan bahwa negara tidak dapat
membuat hukum yang mewajibkan (memberlakukan) hukum agama tertentu
tetapi Negara dapat membuat aturan yang mengatur pelaksanaan hukum agama
yang telah dilaksanakan atas kesadaran sendiri oleh para penganutnya. Sehingga
hukum-hukum yang dibuat negara atas dasar agama berdasar terbatas pada
melayani dan melindungi atas kesadaran yang tumbuh sendiri dari pemeluknya
agar tidak terjadi konflik diantara umat beragama. Dengan demikian, positivisasi
hukum Islam dapat terjadi dengan memposisikan sebagai hukum nasional
bersama dengan sumber-sumber lainnya yang sudah lama hidup sebagai
kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

Positivisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan perubahan tata hukum nasional
dengan memperjuangkan substansi ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah
manusia dengan prinsip “patokan dasar dalam simboliknya”, (al ‘ibrah fi al-Islām
bi al-jawhar la bi al-madzhar). Atas dasar itulah positivisasi hukum Islam terkait
dengan nilai-nilai ajaran Islam yang dapat diperjuangkan dan sudah pasti tidak
akan ditolak oleh golongan lain karena sifatnya universal yaitu mengakkan
keadilan, menegakkan hukum, membangun demokrasi, membangun
kepemimpinan yang amanah, melindungi hak asasi manusia, menjalin
kebersamaan, membangun keamanan dan sebagainya, sehingga nilai-nilai inilah
yang akan masuk dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks bernegara
Indonesia yang penting adalah memperjuangkan masyarakat Islami yang sesuai
dengan nilai-nilai substantif dalam Islam (jujur, amanah, demokratis, adil,
menghormati HAM, melestarikan alam dan sebagainya). Inilah yang dimaksudkan
oleh penulis dengan positivisasi hukum Islam di Indonesia era reformasi.
Positivisasi hukum Islam dalam suatu tatanan negara hukum (rechtstaat) yang
berdasarkan Pancasila ini, mengarah pada pemahaman bahwa masyarakat muslim
Indonesia mengamalkan (sebagian) hukum ajaran agamanya (syarī’ah) dan
sebagian yang lain harus tunduk kepada ”hukum negara” yang diadopsi dari
Barat. Tentu saja secara simplistis dapat diasumsikan bahwa sepanjang
sejarahnya, perjuangan menegakkan hukum Islam diwilayah negara Pancasila ini
senantiasa mengalami masa-masa ketegangan (tension) dan bergaining of power
yang cukup melelahkan, baik dengan eksponen bangsa yang lain maupun dengan
kekuasaan negara sebagai pola artikulasi relasi keduanya.

Negara hukum Indonesia menganut aliran positivisme yuridis. Aliran ini


menyatakan bahwa yang dapat diterima sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah
yang telah ditentukan secara positif oleh negara. Hukum hanya berlaku kalau
hukum itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang
(negara).

Hukum senantiasa dipenuhi dan diliputi dengan nilai-nilai tertentu sesuai dengan
kehendak perbuatannya (negara). Bahkan, secara generik arti hukum sendiri
merupakan akumulasi dan formulasi dari nilai-nilai tersebut. Nilai mayoritas akan
senantiasa mendominasi dengan kesadaran kolektif yang diterima bersama.
Realitas inilah yang nampaknya menjadi peluang positivisasi hukum Islam.
Hukum tidak netral dan tidak juga objektif. Hukum diciptakan dan dibuat untuk
memihak dan membela, bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan
pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Disini,
hukum seolah-olah tunduk pada kekuatan politik, sesuatu yang seharusnya hukum
berada di atas segalanya (supreme). Di sinilah perlunya meluruskan paradigma
positivisasi hukum Islam dalam arti menyatu secara integral dengan hukum
nasional sesuai kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.

Posisi hukum Islam disejajarkan dengan hukum Barat dan hukum adat, sebagai
subsistem dan sumber inspirasi bagi pembangunan hukum nasional. Atas dasar
inilah, studi positivisasi hukum Islam ini lebih fokus pada perundang-undangan
bernuansa Islam yang sudah lahir khusunya era reformasi dalam kasus tertentu
(case study), meskipun kasus-kasus yang lain tidak diabaikan begitu saja sesuai
politik hukum era reformasi. Politik hukum era reformasi jelas sangat mendukung
terhadap terlaksananya proyek positivisasi hukum Islam. Argumentasi ini
sekaligus memperjelas bahwa politik hukum dalam kondisi otoriter belum tentu
melahirkan prodak hukum yang otoriter sebagaimana politik hukum yang
demokratis belum tentu melahirkan produk hukum yang demokratis juga.

Positivisasi atau legislasi hukum Islam berarti menjadikan hukum Islam sebagai
hukum negara. Tidak semua ketentuan hukum Islam perlu dilegislasikan karena
tidak semua bagian hukum Islam memerlukan intervensi negara dalam
penegakannya, seperti dalam masalah keimanan dan ketaqwaan.
Ketentuan hukum Islam yang perlu dilegislasikan adalah ketentuan hukum yang
memiliki kategori:

a. Penegakannya memerlukan bantuan kekuasaan negara, dan


b. Berkorelasi dengan ketertiban umum.

4. PRODUK HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Para ulama fikih (ahli hukum Islam) telah mempraktikkan pendekatan seperti itu,
sehingga pemikiran-pemikiran mereka mengandung unsur-unsur keselerasan
kondisi-kondisi kehidupan masyarakat yang mereka saksikan. Salah satu di
antaranya yang sangat terkenal dalam dunia pemikiran hukum Islam adalah:
Ketika Imam Syafi’i merumuskan qawl al-qadim wa al-qawl jadid. Hal ini
menjadi salah satu bukti bahwa produkproduk pemikiran hukum Islam dikaji dan
dirumuskan dengan memperhatikan kearifan lokal atau faktor kehidupan sosial
masyarakat. Di Indonesia khususnya, telah tampak berbagai jenis produk
pemikiran hukum Islam. Namun yang menjadi masalah adalah: Meskipun wacana
penyesuaian kearifan lokal dalam setiap produk pemkiran hukum Islam
sebahagian sudah dipraktikkan, tetapi diakui pula bahwa produk-produk
pemikiran hukum Islam tersebut masih banyak merujuk pada hasil pemikiran para
ulama terdahulu (empat imam mazhab).

Secara umum produk pemikiran hukum Islam pada masa klasik belum ada yang
bersifat formal. Yang ada adalah berupa karya-karya yang lahir dari pemikiran
atau ijtihad para ulama, atau kesepakatan-kesepakatan tentang status hukum suatu
masalah yang ada dalam masyarakat, seperti ijma’. Demikian pula hasil pemikiran
para ulama yang berkaitan dengan metode dalam mengistimbatkan hukum, seperti
qiyas, istihsan dan maslahah al-mursalah. Apa yang dihasilkan para ulama
tersebut dapat juga disebut produk pemikiran hukum Islam. Sebab meskipun
berupa metode dalam mengistimbatkan hukum, ataupun karya-karya yang bersifat
pribadi dan tidak mengikat, tetapi tidak dapat diingkari bahwa eksistensinya
sangat berharga. Betapa tidak, hasil karya para ulama tersebut menjadi rujukan
pada setiap produk-produk pemikiran hukum Islam yang lebih sfesifik, formal dan
mengikat sampai saat ini, tidak terkecuali di Indonesia. Produk pemikiran hukum
Islam seperti di atas telah menjadi rujukan bagi para ulama Islam di seluruh dunia
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang ada dalam masyarakat.
Hal itu terjadi karena hukum Islam sifatnya universal yang berlaku bagi seluruh
umat Islam, walaupun harus berdampingan dengan hukum nasional atau hukum
umum yang berlaku disatu negara.

Di Indonesia, salah satu sistem hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Dalam
sistem hukum Islam tersebut didalamnya terdapat setidaknya ada empat jenis
produk hukum Islam yang telah berkembang dan berlaku di Indonesia,
yaitu:Fikih,Fatwaulama,hakim, keputusan pengadilan,Yurisprudensi, dan
Perundangundangan.

Fikih sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam, bukan saja dipraktikkan
oleh umat Islam di Indonesia, tetapi juga dipraktikkan umat Islam di seluruh
dunia, meskipun kayfiyahnya tidak seragam. Fikih dalam sejarahnya sudah ada
sejak pada zaman khulafa alrasyidun.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dikategorikan sebagai fikih Indonesia yang
telah dipraktikkan secara formal di Pengadilan Agama. Dikatakan fikih model
Indonesia, sebab (KHI) lahir dari hasil pemikiran oleh para ulama Indonesia
berdasarkan Alquran, hadis dan merujuk kepada kitab-kitab karya para ulama
imam mazhab dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia.
Fatwa ulama yang berkaitan dengan hukum Islam juga merupakan produk
pemikiran hukum Islam. Sekalipun sifatnya tidak mengikat kecuali terhadap yang
meminta fatwa dan setuju terhadap fatwa tersebut, tetapi juga menjadi rujukan
penting dalam mengembangkan hukum Islam di Indonesia.

Produk pemikiran hukum Islam yang lain adalah keputusan Pengadilan


Agama.Keputusan Pengadilan Agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang
berperkara. Meskipun sebagai produk lembaga yudikatif, keputusan pengadilan
dapat bernilai yurisprudensi yang dalam kasus-kasus yang sama dapat menjadi
rujukan sebagai reprensi hukum Islam. Keputusan pengadilan adalah bersifat
dinamis, karena ia merupakan usaha untuk memberi jawaban atau menyelesaikan
masalah yang diajukan kepada pengadilan pada suatu titik waktu tertentu.

Selanjutnya produk pemikiran hukum Islam yang lain adalah undangundang.


Produk pemikiran hukum Islam seperti ini sifatnya mengikat, bahkan daya ikatnya
lebih luas melebihi yang lain. Namun demikian agak lamban, karena sebagai
peraturan organik, kadang-kadang tidak cukup elastis untuk mengantisipasi
tuntutan waktu dan perubahan.11 Hal tersebut dapat dimengerti, sebab dalam
pembuatan undang-undang biasanya mengalami proses yang berbelit-belit dan
menggunakan waktu yang lama, apalagi kalau masalah yang ingin dibuatkan
undangundang terjadi pro-kontra dalam masyarakat.

Dalam salah satu kaidah yang dikenal dalam pemikiran hukum Islam dan
berhubungan dengan kearifan lokal adalah “al adaatul Muhakkamaat”. Kaidah ini
memberikan petunjuk bahwa dalam merumuskan hukum Islam, pendekatan
kultural yang berkaitan dengan adat, tradisi masyarakat yang sifatnya lokal atau
disebut al-urf (kebiasaankebiasaan masyarakar yang bersifat normatif) merupakan
suatu pertimbangan yang penting. Dengan prinsip hal seperti itu tetap akan dinilai,
apakah tradisi itu falid, sahih dan harmoni dengan hukum Islam yang sudah pasti
dan jelas (al-‘adah al-sahih) atau tradisi dan kebiasaankebiasaan itu bertentangan
dengan hukum Islam (al-‘adah al-fasid). Pemikiran hukum Islam yang
dikembangkan oleh para ulama merupakan perwujudan dari pembumian hukum
Islam yang pada prinsipnya selalu sesuai dengan ruang dan waktu.
Pemikiran hukum Islam yang ada di Indonesia, baik yang masih tataran wacana
maupun yang sudah menjadi produk hukum Islam, sedikit banyaknya dipengaruhi
oleh kearifan lokal dan kondisi riil masyarakat Indonesia. Salah satu contoh yang
dapat diperhatikan adalah ketika Munawir Dzazali dengan pemikirannya
reaktualisasi hukum Islam di Indonesia. Munawir menegaskan, bahwa ketentuan
dua banding satu (2 bahagian laki-laki dan 1 bahagian perempuan) dalam
pembagian warisan seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Nisa’(4): 11, perlu
disesuaikan dengan kondisi riil masyarakat Indonesia.

Produk hukum positif yang diambil dari hukum Islam sejak kemerdekaan
Indonesia hingga kini telah banyak jumlahnya. Ada yang bersifat universal, dan
ada pula yang mempunyai identitas khusus hukum Islam. Berikut ini
diketengahkan contoh-contoh produk hukum Islam yang dihasilkan di Indonesia
hingga kini:

A. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.


Contohnya:
(1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tenang Perkawinan
(2) Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
yang telah diamandemen menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat.
(3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.

B. Peraturan Pemerintah. Contohnya:


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang
Bank Perkreditan Rakyat, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan prinsip Bagi Hasil.

C. Peraturan Presiden. Contohnya:

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan


Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
D. Peraturan Daerah. Contohnya:

(1) Peraturan Daerah Provinsi Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000


tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
(2) Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Larangan Pelacuran.
(3) Peraturan Desa Cibuluh Nomor 01/Perdes-cb/IV/2003 tentang Peran
Serta Masyarakat desa Dalam Menjaga dan Memelihara Hutan

Selain peraturan perundang-undangan di atas, menurut Pasal 7 Ayat (4) UU No.


10 Tahun 2004, terdapat jenis peraturan perundang-undangan yang diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Jenis peraturan perundang-
undangan tersebut yaitu :

E. Keputusan Presiden. Contohnya:

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang


Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Propinsi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

F. Keputusan Bersama Menteri. Contohnya:

Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 125
Tahun 2003 Nomor 532 Tahun 2003 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk.

G. Keputusan Menteri. Contohnya:

Keputusan menteri Agama Republik Indonesia Nomor 190 Tahun 2004 tentang
Alokasi Porsi Jemaah haji Tahun 1425H/2005M.

Produk hukum positif yang dibentuk di Indonesia dapat digolongkan ke dalam


beberapa kategori jika dilihat dari sudut pandang materi atau kandungan agama di
dalamnya seperti berikut:

a) Peraturan perundang-undangan yang bersifat universal, di mana


materinya bukan dari fiqih (hukum Islam). Peraturan perundang-undangan ini
diberlakukan kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang suku,
golongan, kelompok dan agama. Contoh peraturan perundang-undangan ini yaitu:
(1) Undang-undang Nomor Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi.
(2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
(3) Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
(4) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
(5) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
(6) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

b) Peraturan perundang-undangan yang bersifat universal yang materinya


ada dari fiqih. Peraturan perundang-undangan ini berlaku untuk seluruh warga
negara Indonesia. Contoh peraturan perundang-undangan ini yaitu:

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.


2. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
kepegawaian.
3. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

c) Peraturan perundang-undangan yang bersifat universal, di mana


materinya hanya sebagian dari materi hukum Islam (fiqih), sehingga perlu adanya
peraturan perundang-undangan tambahan untuk melengkapinya. Peraturan
perundang-undangan ini misalnya:

(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang


dilengkapi dengan keluarnya Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 tentang Buku I
masalah Hukum Perkawinan.
(2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang
dilengkapi dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama nomor 01 Tahun 2003 tentang
Hak Cipta.

d) Peraturan perundang-undangan yang bersifat identitas (ciri khas hukum


Islam), di mana peraturan perundang-undangan ini hanya berlaku untuk warga
negara Indonesia yang beragama Islam saja. Peraturan perundang-undangan ini
misalnya:

(1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.


(2) Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
(3) Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji.
(4) Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Wakaf

e) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk warga negara


Indonesia yang tidak beragama Islam. Jadi orang islam tidak terikat terhadap
peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan perundang-undangan tersebut
misalnya:

(1) Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1999 tentang Sekolah Tinggi


Hindu Negeri;
(2) Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru
Imlek
(3) Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2004 tentang Pendirian Sekolah
Tinggi Agama Kristen Negeri Palangkaraya, dan Sekolah Tinggi Agama Kristen
Negeri Toraja.

5. PELUANG DAN TANTANGAN LEGISLASI HUKUM ISLAM DI


INDONESIA

Beberapa faktor pendukung dalam hal melegislasikan hukum Islam di


Indonesia, antara lain:

1. Mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam sehingga memperjuangkan


hukum Islam dalam hukumnasional kemungkinanmendapatkan dukungan
mayoritas (Aripin, 2008: 289).

2. Dalam konstitusi negara yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945, hukum
Islam mendapat jaminanmenjadi bagian dari hukum nasional dan harusditampung
dalam hukum nasional (Ali, 1994: 5-6).

3. Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya


aspirasi politik Islam,termasuk aspirasi dalam hal melegislasikan hukum Islam.

4. Hukum Islam memiliki elastisitas untuk disesuaikan dengan keadaan


dankebutuhan umat Islam Indonesia (Jazuni,2005: 429).

Dari berbagai peluang di atas, sebaliknya ada beberapa tantangan legislasi


hukum Islam, yaitu:
1. Perbedaan pendapat dikalangan muslim sendiri, ada yang mendukung gagasan
legislasi danada pula yangmenolaknya (Effendi, 1998: 270).

2. Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menilai legislasi hukum
Islam di Indonesia akan menempatkan mereka menjadi warga negara kelas dua
dan juga dipicu oleh sebagian gerakan Islam sendiriyang kontraproduktif bagi
perjuangan hukum Islam (Jazuni,2005: 490).

3. Produk legislasi yang merupakan produk politik harus mendapatkan dukungan


suara mayoritas di lembagapembentuk hukum, dan fakta menunjukkan bahwa
aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia (Azizy, 2002: 178).
DAFTAR PUSTAKA

http://journal-uim-makassar.ac.id/index.php/ASH/article/view/183/145

http://gubuktatang.blogspot.com/2016/12/sistem-hukum-barat-sistem-
hukum-adat.html?m=1

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/5772/9860#:~:t
ext=Peranan%20hukum%20Islam%20dalam%20pembentukan,khusus
%20dalam%20bidang%20hukum%20tertentu

http://repository.iainponorogo.ac.id/179/1/Positivisasi%20Hukum
%20Islam.pdf

file:///C:/Users/User/Downloads/283-Article%20Text-378-1-10-20171117.pdf

http://jurnal.poliupg.ac.id

Anda mungkin juga menyukai