DISUSUN OLEH :
b. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang
agama, lembaga-lem- baga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak
bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui
umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam
di bawah sub koordinasi dari hukum Belanda.
Masa Kemerdekaan
Sistem Hukum Islam Sebagai Sistem Hukum Nasional, Sebuah Ide Solusi
Yang Harmoni .
Pada masa Penjajahan Belanda, mereka menghendaki daerah yang dikuasainya
meng-gunakan hukum Belanda, namun tidak dapat berjalan, maka mereka
membiarkan lembaga asli yang ada dalam masyarakat tetap berjalan sehingga
dalam Statuta Jakarta tahun 1624 di-sebutkan mengenai kewarisan bagi orang
Indo-nesia Asli yang beragama Islam harus meng-gunakan hukum Islam.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie) meminta pada D.W. Freijer untuk menyusun compendium yang
memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang kemudian terkenal
dengan nama compedium freijer. Posisi Hukum Islam seperti ini terus
berlangsung demikian sampai kurang lebih dua abad, waktu pemerintahan VOC
berakhir pemerintah kolonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan
Indonesia sikapnya berubah terhadap Hukurn Islam, yaitu segala putusan
penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam (hukum asli orang jawa) harus diakui
dulu oleh alat kekuasaan pemerintah.8 Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-
1816) Gubernur Jenderal Inggris Thomas S. Raffles menyatakan bahwa Hukum
Islam berlaku dikalangan rakyat.
Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kekolonial Belanda, mulai dilakukan
kristenisasi karena Belanda menganggap pertukaran agama penduduk menjadi
Kristen akan menguntungkan pemerintah Belanda. Walaupun mendapat
pertentangan dari pemerintahan Belanda, ternyata eksistensi hukum Islam dalam
masyarakat Indonesia ternyata tidak dapat dihilangkan demikian saja, terbukti
dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda seperti Pasal 75 RR
(Regeeriizg Reglement) dan Ps 78 ayat 2 RR yang menginstruksikan kepada
pengadilan untuk menggunakan undang-undang agama/masyarakat apabila terjadi
permasalahan diantara golongan pribumi serta yang disamakan dengan mereka.
Hal tersebut terwujud berdasarkan materi teori Receptio in complexu yang
menyatakan hukum bagi masyarkat/adat adalah merupakan hukum dan agamanya
sebagaimana dikemukakan oleh Lodewijk wilhem Christian van den Berg (1845-
1925). Namun Christian Snouk Hurgronje dan kemudian di kembangkan oleh
Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar penasehat pemerintah Hindia
Belanda (1 857-1936) menetang pendapat teori receptio in complexu dengan
menggeluarkan theorie Receptie yang mengemukakan bahwa hukum Islam
tidaklah sama dengan hukum masya-rakat(adat). Oleh karenanya Hukum Islam
bila hendak menjadi bagian dari hukum adat/masyarakat harus diterima dulu oleh
masyarakat adatnya. Teori ini setelah Indonesia merdeka mendapat perlentangan
yang keras dan Prof Hazirin murid Betrand Ter Haar, menurutnya teori ini
diciptakan untuk merintangi kemajuan Hukum Islam di Indonesia demi ke-
pentingan kolonialis. Oleh karenanya theorie Receptie yang dijuluki teori Iblis
oleh Prof Hazairin tersebut, harus exit (keluar) dari Indonesia karena tidak sesuai
dengan Falsafah Negara Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi
Ketuhanan yang Maha Esa/Agama. Friedrich Carl Von Sovigny dalam bukunya
yang terkenal “Von Beruf Unserer Zeit Fur Gesetz gebung und
Rechtswissenschaft”, “Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-
Undang dan Ilmu Hukum”, antara lain dikatakan:“Das Recht wird nicht gemacht,
est ist und wird mit dem Volke”(hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat). Pandangan Von Savigny ini berpangkal
kepada bahwa di dunia ini terdapat ber-macam-macam bangsa yang pada tiap-tiap
bangsa tersebut mempunyai suatu Volkgeist jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda-beda,
baik menurut waktu dan tempat. Pencerminan adanya suatu jiwa yang berbeda ini
tampak pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Menurut Von
Savigny, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan pada
semua waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan
yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari
masa ke masa (sejarah). Puchta (1798-1846) murid von Savigny membedakan
pengertian bangsa dalam dua jenis, yaitu : (1) Bangsa dalam pengertian etnis,
yang disebut bangsa “alam”, dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan
organis yang membentuk satu negara. Adapaun yang memiliki hukum yang sah
hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam”
memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disyahkan melalui
kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara
mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Ibi sosie-tas, ibi ius.
Dimana ada masyarakat, di situ ada hukum. Demikian adagium dari Cicero yang
di-kemukakan kurang lebih 2005 tahun yang lalu dapat menggambarkan dengan
tepat keterkaitan hukum dengan masyarakatnya. Adagium ini secara sederhana
namun mendasar telah mampu menggambarkan hubungan antara hukum dengan
masyarakat. Secara hipotesis, dapat ditelaah lebih lanjut bahwa adagium tersebut
meng-gambarkan adanya usaha masyarakat untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Usaha masyarakat untuk mengatur kehidupannya sendiri didasarkan atas nilai-
nilai yang mereka yakini, maka sesungguhnya nilai-nilai itu sama dengan konsep-
konsep dan cita-cita yang menggerakkan perilaku individual dan kolektif manusia
dalam kehidupan mereka. Ummat Nabi agung Muhamammad SAW ini
diantaranya adalah mayoritas individu-individu bangsa Indonesia. Perilaku Nabi
beserta ummatnya dikenal berdasarkan syariah Islam. Oleh karena itu terdapat
harmonisasi nilai-nilai Pancasila yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia terhadap nilai-nilai Islam, karena nilai-nilai Islam diyakini dan
diamlakan oleh mayoritas bangsa Indonesia, walaupun nilai-nilai Islam ini
merupakan keyakinan oleh mayoritas bangsa Indonesia akan tetapi tetap toleransi
terhadap nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok minoritas di Indonesia, sikap ini
telah pernah ditunjukkan oleh Muhammad rasulullah dengan piagam
Madinahnya.Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis berpandangan
bahwa sungguh tepat jika sistem hukum Islam dijadikan sebagai sistem hukum
nasional satu satunya.
Sumber hukum Islam tersebut tidak memberikan ajaran pengaruh tertentu dalam
persoalan sistem politik dan ketatanegaraan. Dalam kebebasan memilih tersebut,
setiap negara yang menyatakan sebagai negara Islam atau mencoba menerapkan
nilai hukum Islam, biasanya berbeda-beda utamanya dalam implementasi sistem
politik dan hukum ketatanegaraanya yang bersifat nasional. Atas dasar itulah studi
positivisasi hukum Islam terkait erat dengan sistem hukum nasional terkait dengan
sumbernya yang berbentuk nilai-nilai dasar yang mengakar di masyarakat dan
merupakan bagian penting dari sistem hukum yang terdiri dari struktur hukum,
substansi hukum dan budaya hukum.
Supaya hukum Islam berlaku dan menjadi hukum positif bagi seluruh rakyat
Indonesia diperlukan beberapa hal. Namun sebelum membicarakan hal-hal yang
diperlukan dalam pembentukan hukum Islam sebagai hukum Nasional yang
berlaku untuk seleruh rakyat Indonesia, berikut ini diketengahkan lembaga-
lembaga tinggi negara yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
c) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat (1)
dinyatakan Dewan perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Dengan demikian, DPR selain berwenang memberi
persetujuan terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan oleh
Pemerintah atau Presiden, tetapi juga mempunyai hak inisiatif dalam
membentuk undang-undang. Pearturan perundang-undangan yang
dibentuk DPR ialah undang-undang (UU).
Menurut Masruhan dalam tulisannya di sebuah jurnal yang fokus pada positivisasi
hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa proses positivisasi hukum Islam di
Indonesia mengandung dua dimensi yang dibedakan antara:
1. Hukum Islam dalam kaitannya dengan syarī’at yang berakar pada nash
qath’ī, berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan
arus utama aktivitas umat Islam sedunia.
2. Hukum Islam yang berakar pada nash dhannī yang merupakan wilayah
ijtihādī yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqh
Terkait positivisasi, studinya menjelaskan bahwa dalam perkembangan hukum
Islam70 di Indonesia dibagi menjadi dua:
1. Hukum Islam yang bersifat normatif yang berkaitan dengan aspek ibadah
murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan
kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya.
2. Hukum Islam yang bersifat yuridis formal yang berkaitan dengan aspek
mu’āmalah (khususnya bidang perdata dan diupayakan pula dalam bidang
pidana yang sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan) yang
membutuhkan campur tangan negara dalam pelaksanaannya.
Positivisasi hukum Islam dari segi sumber kedudukan hukum Islam dalam
ketatanegaraan dibagi dua; sebagai sumber persuasif dan autoritatif. Sumber
persuasive, persuasive source, adalah sumber yang harus diyakinkan supaya
diterima semua orang lain (masyarakat). Sedangkan sumber autoritatif,
authoritative source, adalah sumber yang mempunyai kekuatan hukum tanpa
harus meyakinkan kepada orang lain (masyarakat).
Hukum, agama dan politik dalam pola hubungan ketiganya jelas terlibat dalam
pembangunan negara sebagai upaya penyesuaian dengan perkembangan sosial
ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Pola
hubungan ketiganya dalam ambivalensi yang saling berhubungan dalam
mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks Indonesia sangat
dipengaruhi oleh hukum Islam. Ābid al-Jābiry menjelaskan bahwa hubungan
agama, hukum dan politik, dalam konteks pembangunan hukum suatu negara,
maka agama berfungsi sebagai kritik atau pembimbing terhadap ragam model
pembangunan serta perubahan sosial masyarakat yang sangat cepat dengan
masalah kekinian.
Hubungan agama, hukum dan politik dalam konteks agama Islam antara lain
menjelaskan bahwa seorang muslim wajib taat kepada Allah dan rasulnya, namun
terhadap pemimpin dalam arti pemerintah tidak harus ditaati dan dipatuhi secara
mutlak karena dalam ajaran Islam juga membolehkan berbeda dengan
pemerintahan yang menyimpang dari ketentuan syari’at.
Hubungan antara agama, hukum dan politik sangat erat. Ketiganya secara
bersamaan menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat. Pola
hubungan ketiganya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang.
Tidak boleh dibiarkan saling bertentangan dalam konteks pembangunan hukum
nasional Indonesia (Imron, 2008).
Positivisasi hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan
kebijakan politik dan hukum yang diterapkan.
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, hukum Islam diakui sebagai hukum positif
dengan diterapkannya teori receptio in complexu yang kemudian ditentang dengan
teori receptie (resepsi) dan keadaan tidak jauh berubah saat Jepang mengambil
alih kekuasaan. Pada masa Orde Lama hukum Islam berada pada posisi yang
suram dan pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda namun hukum Islam mulai
membaik dengan lahirnya Undang-Undang tentang Perkawinan dan semakin
berkembang pada era reformasi sekarang ini. Positivisasi hukum Islam dalam
pembangunan hukum nasional memiliki dua bentuk yaitu pertama, dalam
perspektif pembangunan hukum nasional maka positivisasi hukum Islam tidak
bisa dilakukan karena kondisi pluralitas bangsa Indonesia. Kedua, hukum Islam
dapat menjadi hukum positif di Indonesia yang berlaku bagi umat Islam melalui
proses legislasi yang sah seperti dalam bidang muamalah atau hukum privat.
Positivisasi hukum Islam memiliki prospek yang cerah karena era reformasi yang
demokratis memiliki karakter hukum responsif, sistem hukum Barat/Kolonial
sudah tidak berkembang, jumlah penduduk mayoritas beragama Islam, politik
pemerintah yang mendukung berkembanganya hukum Islam, dan hukum Islam
menjadi salah satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional
disamping hukum adat dan hukum Barat/colonial. Maka persoalan positivisasi
hukum Islam secara sederhana dapat dijelaskan bahwa negara tidak dapat
membuat hukum yang mewajibkan (memberlakukan) hukum agama tertentu
tetapi Negara dapat membuat aturan yang mengatur pelaksanaan hukum agama
yang telah dilaksanakan atas kesadaran sendiri oleh para penganutnya. Sehingga
hukum-hukum yang dibuat negara atas dasar agama berdasar terbatas pada
melayani dan melindungi atas kesadaran yang tumbuh sendiri dari pemeluknya
agar tidak terjadi konflik diantara umat beragama. Dengan demikian, positivisasi
hukum Islam dapat terjadi dengan memposisikan sebagai hukum nasional
bersama dengan sumber-sumber lainnya yang sudah lama hidup sebagai
kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Positivisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan perubahan tata hukum nasional
dengan memperjuangkan substansi ajaran Islam yang sesuai dengan fitrah
manusia dengan prinsip “patokan dasar dalam simboliknya”, (al ‘ibrah fi al-Islām
bi al-jawhar la bi al-madzhar). Atas dasar itulah positivisasi hukum Islam terkait
dengan nilai-nilai ajaran Islam yang dapat diperjuangkan dan sudah pasti tidak
akan ditolak oleh golongan lain karena sifatnya universal yaitu mengakkan
keadilan, menegakkan hukum, membangun demokrasi, membangun
kepemimpinan yang amanah, melindungi hak asasi manusia, menjalin
kebersamaan, membangun keamanan dan sebagainya, sehingga nilai-nilai inilah
yang akan masuk dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks bernegara
Indonesia yang penting adalah memperjuangkan masyarakat Islami yang sesuai
dengan nilai-nilai substantif dalam Islam (jujur, amanah, demokratis, adil,
menghormati HAM, melestarikan alam dan sebagainya). Inilah yang dimaksudkan
oleh penulis dengan positivisasi hukum Islam di Indonesia era reformasi.
Positivisasi hukum Islam dalam suatu tatanan negara hukum (rechtstaat) yang
berdasarkan Pancasila ini, mengarah pada pemahaman bahwa masyarakat muslim
Indonesia mengamalkan (sebagian) hukum ajaran agamanya (syarī’ah) dan
sebagian yang lain harus tunduk kepada ”hukum negara” yang diadopsi dari
Barat. Tentu saja secara simplistis dapat diasumsikan bahwa sepanjang
sejarahnya, perjuangan menegakkan hukum Islam diwilayah negara Pancasila ini
senantiasa mengalami masa-masa ketegangan (tension) dan bergaining of power
yang cukup melelahkan, baik dengan eksponen bangsa yang lain maupun dengan
kekuasaan negara sebagai pola artikulasi relasi keduanya.
Hukum senantiasa dipenuhi dan diliputi dengan nilai-nilai tertentu sesuai dengan
kehendak perbuatannya (negara). Bahkan, secara generik arti hukum sendiri
merupakan akumulasi dan formulasi dari nilai-nilai tersebut. Nilai mayoritas akan
senantiasa mendominasi dengan kesadaran kolektif yang diterima bersama.
Realitas inilah yang nampaknya menjadi peluang positivisasi hukum Islam.
Hukum tidak netral dan tidak juga objektif. Hukum diciptakan dan dibuat untuk
memihak dan membela, bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan
pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Disini,
hukum seolah-olah tunduk pada kekuatan politik, sesuatu yang seharusnya hukum
berada di atas segalanya (supreme). Di sinilah perlunya meluruskan paradigma
positivisasi hukum Islam dalam arti menyatu secara integral dengan hukum
nasional sesuai kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Posisi hukum Islam disejajarkan dengan hukum Barat dan hukum adat, sebagai
subsistem dan sumber inspirasi bagi pembangunan hukum nasional. Atas dasar
inilah, studi positivisasi hukum Islam ini lebih fokus pada perundang-undangan
bernuansa Islam yang sudah lahir khusunya era reformasi dalam kasus tertentu
(case study), meskipun kasus-kasus yang lain tidak diabaikan begitu saja sesuai
politik hukum era reformasi. Politik hukum era reformasi jelas sangat mendukung
terhadap terlaksananya proyek positivisasi hukum Islam. Argumentasi ini
sekaligus memperjelas bahwa politik hukum dalam kondisi otoriter belum tentu
melahirkan prodak hukum yang otoriter sebagaimana politik hukum yang
demokratis belum tentu melahirkan produk hukum yang demokratis juga.
Positivisasi atau legislasi hukum Islam berarti menjadikan hukum Islam sebagai
hukum negara. Tidak semua ketentuan hukum Islam perlu dilegislasikan karena
tidak semua bagian hukum Islam memerlukan intervensi negara dalam
penegakannya, seperti dalam masalah keimanan dan ketaqwaan.
Ketentuan hukum Islam yang perlu dilegislasikan adalah ketentuan hukum yang
memiliki kategori:
Para ulama fikih (ahli hukum Islam) telah mempraktikkan pendekatan seperti itu,
sehingga pemikiran-pemikiran mereka mengandung unsur-unsur keselerasan
kondisi-kondisi kehidupan masyarakat yang mereka saksikan. Salah satu di
antaranya yang sangat terkenal dalam dunia pemikiran hukum Islam adalah:
Ketika Imam Syafi’i merumuskan qawl al-qadim wa al-qawl jadid. Hal ini
menjadi salah satu bukti bahwa produkproduk pemikiran hukum Islam dikaji dan
dirumuskan dengan memperhatikan kearifan lokal atau faktor kehidupan sosial
masyarakat. Di Indonesia khususnya, telah tampak berbagai jenis produk
pemikiran hukum Islam. Namun yang menjadi masalah adalah: Meskipun wacana
penyesuaian kearifan lokal dalam setiap produk pemkiran hukum Islam
sebahagian sudah dipraktikkan, tetapi diakui pula bahwa produk-produk
pemikiran hukum Islam tersebut masih banyak merujuk pada hasil pemikiran para
ulama terdahulu (empat imam mazhab).
Secara umum produk pemikiran hukum Islam pada masa klasik belum ada yang
bersifat formal. Yang ada adalah berupa karya-karya yang lahir dari pemikiran
atau ijtihad para ulama, atau kesepakatan-kesepakatan tentang status hukum suatu
masalah yang ada dalam masyarakat, seperti ijma’. Demikian pula hasil pemikiran
para ulama yang berkaitan dengan metode dalam mengistimbatkan hukum, seperti
qiyas, istihsan dan maslahah al-mursalah. Apa yang dihasilkan para ulama
tersebut dapat juga disebut produk pemikiran hukum Islam. Sebab meskipun
berupa metode dalam mengistimbatkan hukum, ataupun karya-karya yang bersifat
pribadi dan tidak mengikat, tetapi tidak dapat diingkari bahwa eksistensinya
sangat berharga. Betapa tidak, hasil karya para ulama tersebut menjadi rujukan
pada setiap produk-produk pemikiran hukum Islam yang lebih sfesifik, formal dan
mengikat sampai saat ini, tidak terkecuali di Indonesia. Produk pemikiran hukum
Islam seperti di atas telah menjadi rujukan bagi para ulama Islam di seluruh dunia
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang ada dalam masyarakat.
Hal itu terjadi karena hukum Islam sifatnya universal yang berlaku bagi seluruh
umat Islam, walaupun harus berdampingan dengan hukum nasional atau hukum
umum yang berlaku disatu negara.
Di Indonesia, salah satu sistem hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Dalam
sistem hukum Islam tersebut didalamnya terdapat setidaknya ada empat jenis
produk hukum Islam yang telah berkembang dan berlaku di Indonesia,
yaitu:Fikih,Fatwaulama,hakim, keputusan pengadilan,Yurisprudensi, dan
Perundangundangan.
Fikih sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam, bukan saja dipraktikkan
oleh umat Islam di Indonesia, tetapi juga dipraktikkan umat Islam di seluruh
dunia, meskipun kayfiyahnya tidak seragam. Fikih dalam sejarahnya sudah ada
sejak pada zaman khulafa alrasyidun.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dikategorikan sebagai fikih Indonesia yang
telah dipraktikkan secara formal di Pengadilan Agama. Dikatakan fikih model
Indonesia, sebab (KHI) lahir dari hasil pemikiran oleh para ulama Indonesia
berdasarkan Alquran, hadis dan merujuk kepada kitab-kitab karya para ulama
imam mazhab dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia.
Fatwa ulama yang berkaitan dengan hukum Islam juga merupakan produk
pemikiran hukum Islam. Sekalipun sifatnya tidak mengikat kecuali terhadap yang
meminta fatwa dan setuju terhadap fatwa tersebut, tetapi juga menjadi rujukan
penting dalam mengembangkan hukum Islam di Indonesia.
Dalam salah satu kaidah yang dikenal dalam pemikiran hukum Islam dan
berhubungan dengan kearifan lokal adalah “al adaatul Muhakkamaat”. Kaidah ini
memberikan petunjuk bahwa dalam merumuskan hukum Islam, pendekatan
kultural yang berkaitan dengan adat, tradisi masyarakat yang sifatnya lokal atau
disebut al-urf (kebiasaankebiasaan masyarakar yang bersifat normatif) merupakan
suatu pertimbangan yang penting. Dengan prinsip hal seperti itu tetap akan dinilai,
apakah tradisi itu falid, sahih dan harmoni dengan hukum Islam yang sudah pasti
dan jelas (al-‘adah al-sahih) atau tradisi dan kebiasaankebiasaan itu bertentangan
dengan hukum Islam (al-‘adah al-fasid). Pemikiran hukum Islam yang
dikembangkan oleh para ulama merupakan perwujudan dari pembumian hukum
Islam yang pada prinsipnya selalu sesuai dengan ruang dan waktu.
Pemikiran hukum Islam yang ada di Indonesia, baik yang masih tataran wacana
maupun yang sudah menjadi produk hukum Islam, sedikit banyaknya dipengaruhi
oleh kearifan lokal dan kondisi riil masyarakat Indonesia. Salah satu contoh yang
dapat diperhatikan adalah ketika Munawir Dzazali dengan pemikirannya
reaktualisasi hukum Islam di Indonesia. Munawir menegaskan, bahwa ketentuan
dua banding satu (2 bahagian laki-laki dan 1 bahagian perempuan) dalam
pembagian warisan seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Nisa’(4): 11, perlu
disesuaikan dengan kondisi riil masyarakat Indonesia.
Produk hukum positif yang diambil dari hukum Islam sejak kemerdekaan
Indonesia hingga kini telah banyak jumlahnya. Ada yang bersifat universal, dan
ada pula yang mempunyai identitas khusus hukum Islam. Berikut ini
diketengahkan contoh-contoh produk hukum Islam yang dihasilkan di Indonesia
hingga kini:
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 125
Tahun 2003 Nomor 532 Tahun 2003 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk.
Keputusan menteri Agama Republik Indonesia Nomor 190 Tahun 2004 tentang
Alokasi Porsi Jemaah haji Tahun 1425H/2005M.
2. Dalam konstitusi negara yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945, hukum
Islam mendapat jaminanmenjadi bagian dari hukum nasional dan harusditampung
dalam hukum nasional (Ali, 1994: 5-6).
2. Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menilai legislasi hukum
Islam di Indonesia akan menempatkan mereka menjadi warga negara kelas dua
dan juga dipicu oleh sebagian gerakan Islam sendiriyang kontraproduktif bagi
perjuangan hukum Islam (Jazuni,2005: 490).
http://journal-uim-makassar.ac.id/index.php/ASH/article/view/183/145
http://gubuktatang.blogspot.com/2016/12/sistem-hukum-barat-sistem-
hukum-adat.html?m=1
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/5772/9860#:~:t
ext=Peranan%20hukum%20Islam%20dalam%20pembentukan,khusus
%20dalam%20bidang%20hukum%20tertentu
http://repository.iainponorogo.ac.id/179/1/Positivisasi%20Hukum
%20Islam.pdf
file:///C:/Users/User/Downloads/283-Article%20Text-378-1-10-20171117.pdf
http://jurnal.poliupg.ac.id