Anda di halaman 1dari 29

HUKUM ISLAM

ANALISIS PUTUSAN GUGATAN CERAI


PENGADILAN AGAMA
Perkara Nomor 0154/Pdt.G/2016/Pa/Bjr.

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam


Dosen Pengampu: Dr. Achmad Husen, M.Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 5

 Adhietya Febryan Herlambang 1401617003


 Reny Chairani 1401617020
 Satria Aji Darmawan 1401617029

PPKN A 2017

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji sukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Analisis
Putusan Pengadilan” ini dengan tepat waktu walaupun masih banyak kekurangan
di dalamnya. Kami juga berterima kasih kepada Bapak Dr. Achmad Husen, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Hukum Islam yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat


kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik dan saran demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang. Semoga makalah ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya.

Jakarta, April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................3
2.1 Pengertian Pengadilan Agama ........................................................... 3
2.2 Kewenangan Peradilan Agama .......................................................... 4
2.3 Beracara di Pengadilan Agama .......................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................13
3.1. Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan .............................. 13
A. Putusnya Perkawinan ................................................................ 13
B. Alasan-alasan Perceraian .......................................................... 14
C. Akibat Perceraian ...................................................................... 15
3.2. Analisis Putusan Perceraian ............................................................. 16
A. Pengajuan Perceraian ................................................................ 16
B. Pertimbangan Hukum ............................................................... 21
C. Mengadili .................................................................................. 24
BAB IV PENUTUP ..............................................................................................25
4.1. Simpulan .......................................................................................... 25
4.2. Saran ................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................26

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya
suatu ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti disebutkan di dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa “Perkawinan
bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah”, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Adanya pengaturan mengenai perkawinan seperti Kompilasi Hukum


Islam dan UU No 1 Tahun 1974 adalah untuk memberikan perlindungan
hukum bagi adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan
perempuan dalam suatu ikatan resmi yang sering disebut sebagai ikatan
perkawinan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa adanya perkawinan
dapat menimbulkan akibat-akibat yang oleh karenanya membutuhkan suatu
hukum yang mengaturnya agar tidak timbul permasalahan-permasalahan di
kemudian hari. Meskipun telah diatur sedemikian rupa, adanya ikatan
perkawinan berakibat pada putusnya perceraian, yang diantaranya adalah
perceraian.

Secara hukum, perceraian merupakan salah satu kasus yang ditangani


oleh Lembaga Peradilan. Pengadilan Agama sebagai salah satu Lembaga
Peradilan di Indonesia, merupakan peradilan khusus. Dikatakan peradilan
khusus karena Pengadilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau
rakyat beragama Islam. Peradilan Agama berwenang dibidang perdata
tertentu saja, tidak dalam bidang pidana dan juga hanya untuk orang-orang
beragama Islam di Indonesia.

1
1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah analisis putusan pengadilan agama mengenai gugatan


perceraian di dalam perkara No. 0154/Pdt.G/2016/Pa/Bjr.?

1.3. Tujuan Penulisan

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam terkait analisis putusan
pengadilan agama mengenai gugatan perceraian di dalam perkara No.
0154/Pdt.G/2016/Pa/Bjr.

2
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pengadilan Agama

Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya merupakan instansi yang cukup


tua usianya. Lebih tua dari Departemen Agama sendiri bahkan lebih tua dari
usia Negara Indonesia, kehadirannya (Peradilan Agama) sudah ada sejak
munculnya kerajaan-kerajaan islam di Nusantara ini. Peradilan ini muncul
berbarengan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak,
Mataram, Cirebon, dan lain-lain (Afdol, 2006).

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989


Tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama yang ada di Indonesia adalah
dikatagorikan sebagai peradilan Kuasai, karena didasarkan ketentuan dalam
Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
maka semua putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan
Umum. Ketentuan ini membuat Pengadilan Agama secara de pacto lebih
rendah kedudukannya dari Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formil
dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ada empat
lingkungan Peradilan di Indonesia, yaitu (Arto, 2005):
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara

Ketentuan diatas menegaskan, bahwa ada empat lingkungan Peradilan


yang setara di Indonesia: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pernyataan kesetaraan empat
lingkungan Peradilan di Indonesia, termasuk di dalamnya Peradilan Agama,

3
merupakan koreksi terhadap ketentuan yang terdapat dalam staatblad 1882
Nomor 152 dan staadblad 1937 Nomor 116 dan 610 Tentang peraturan
Pengadilan Agamadi jawa dan madura, staatblad 1937 Nomor 639 Tentang
Peraturan Kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagian residensi
Kalimantan Selatan dan Timur serta peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di
luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99) yang
telah menempatkan Peradilan Agama berada di bawah Peradilan Umum
(Rasyid & Syarifudin, 2009).

2.2 Kewenangan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal


dari bahasa Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan
juga dengan “wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Bicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara
Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif”
dan “Kekuasaan Aboslut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang
mengajukannya gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi
kekuasaan pengadilan.

Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49


sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006Tentang
Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang Relatif dan
wewenang absolut. Wewenang Relatif Peradilan Agama pada Pasal 118
HIR, atau Pasal 142 RB.g jo Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989, sedangkan wewenag absolut berdasarkan pasal 49 Undang-
Undang 7 Tahun 1989, yaitu kewenangan mengadili perkara-perkara perata-
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang ilakukan berdasarkan
hukum Islam, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh an ekonomi islam (Fauzan,
2007).

4
Peradilan Agama mempunyai 2 (dua) kompetensi. Dalam penjelasan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang masih tetap berlaku
berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa lingkungan Peradilan
Agama adalah salah satu di antara lingkungan “Peradilan Khusus” sama
halnya seperti Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni
melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara “tertentu” dan
terhadap rakyat “tertentu”.

Penjelasan lebih lanjut mengenai kata “Perkara tertentu” dan “rakyat


tertentu” dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 49 Undang- Undang Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa “Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-
Undang ini”. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 di atas berbeda
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang mencantumkan kata “perdata”
sehingga sebelum adanya peruabahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 ini, maka bunyi Pasal 2 itu adalah “Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-Undang ini”.

Dengan demikian jelaslah bahwa perubahan Undang-Undang Nomor


7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama membawa perubahan kewenangan
Peradilan Agama, yang semula hanya berwanang menyelesaikan perkara

5
perdata, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tengtang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
Peradilan Agama telah diberi kewenangan baru untuk mengadili perkara
non perdata. Perubahan ini dipandang sebagai upaya pemberian landasan
yuridis bagi Peradilan Agama untuk memiliki peradilan khusus yang disebut
dengan Mahkamah Syariah (Tingkat Pertama) dan Mahkamah Provinsi
(Tingkat Banding) sebagaimana diatur dalam Pasal 3A dan penjelesannya
jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Abdurrahman, 2008).

Selain itu, kewenangan Absolut Peradilan Agama dirumuskan dalam


Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang menerima, memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama islam di bidang:”

1. Perkawinan 5. Zakat
2. Kewarisan 6. Infaq
3. Hibah 7. Shodaqoh
4. Wakaf 8. Ekonomi Syariah

Selanjutnya, pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970


Tentang Ketenruan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
telah menyebutkan secara enumeratif tugas pokok Peradilan Agama, yaitu
menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya.

6
Peradilan Agama, oleh Pasal 52 ayat (1) dinyatakan, bahwa selain
mempunyai tugas pokok juga mempunyai tugas tambahan, yang dapat
memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam
kepada instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta. Begitu
juga dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 52 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan,
bahwa Pengadilan Agama dapat melaksanakan tugas dan kewenagan tugas
dan kewenangan lain yang diserahkan kepadanya berdasarkan undang-
undang (Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, 2006).

Kompetensi relatif sebagai kewenangan atau kekuasaan Pengadilan


yang satu jenis berdasarkan daerah atau wilayah hukum. Dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dinyatakan, bahwanPengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya (Kota)
atau Kabupaten yang daerah hukumnya meliputi wilayah Pemerintahan
Kota atau Kabupaten.

2.3 Beracara di Pengadilan Agama

Yang dimksud dengan beracara adalah pelaksanaan tuntutan hak baik yang
mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa yang
diajukan oleh pihak yang berkepentingan. Dalam tuntutan hak baik yang
mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa yang
diajukan oleh pihak yang berkepentingan, penyelesaiannya diserahkan ke
pengadilan dimaksudkan selain untuk mendapatkan keabsahan tentang hak
yang dipunyai oleh salah satu pihak atau lebih juga untuk mendapat hak-
haknya sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang mana pelaksanaannya
dapat dilakukan dengan cara paksa terhadap pelanggar hak dan kewajiban.

7
Umumnya untuk beracara di Pengadilan pada asasnya dikenakan
biaya (Pasal 182 HIR jo Pasal 145 ayat (4) RBg.jo Pasal 4 ayat (2), Pasal 5
ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman). Biaya
perkara tersebut meliputi biaya kepaniteraan dan biaya materai, kecuali bagi
mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan
permohonan beracara tanpa biaya atau dengan cara prodeo(Pasal 237 HIR jo.
Pasal 273 RBg) (Sarwono, 2011).

Terminologi Hukum Acara Perdata merupakan peraturan hukum yang


mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan
peraturan hukum materil. Sedangkan Istilah Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama merupakan suatu terminologi yang tergolong masih berusia muda,
karena sebelum diberlakukanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama masih memakai hukum acara
yang tidak tertulis, sebagaimana terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 14 K/AG/1979 tanggal 5 Juni 1980 yang
menyebutkan, bahwa beracara di Pengadilan Agama tidak terikat pada
ketentuan hukum acara perdata yang dipergunakan oleh Peradilan Umum,
karena hukum acara perdata yang dipergunakan oleh Pengadilan Agama
dianggap masih bersifat hukum tidak tertulis.

Pengadilan Agama merupakan peradilan negara yang kewenangan


absolutnya adalah menyelesaikan memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara perdata dalam bidang perkawinan, waris, wakaf, hibah dan sodakoh.
Dengan demikian dapat disimpulkan, rumuskan pengertian Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama adalah seperangkat peraturan yang mengatur tata
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka hakim
Pengadilan Agama dan bagaimana pula hakim Pengadilan harus bertindak
untuk menjamin terlaksananya hukum materil yang menjadi wewenang
Pengadilan Agama. Dengan perkataan lain, Hukum Acara Perdata Peradilan

8
Agama adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya mempertahankan
hukum perdata materiil yang berlaku di Peradilan Agama.

Ketentuan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama


diatur dari Pasal 54 s.d 91 Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 Tentang
Peradilan Agama, atau Peralihan yang menjadi solusi atas permasalahan
dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat ditemukan dalam Pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
menyatakan bahwa “Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam Undang-Undang ini”.

Perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama akan diperiksa secara


kontradiktoir oleh hakim adalah perkara yang sekurang-kurangnya harus ada
dua pihak yang berperkara, yakni Penggugat dan Tergugat. Penggugat
adalah pihak yang merasa dirugikan dan memulai perkara atau memajukan
gugatan, sedangkan Tergugat adalah orang yang dianggap merugikan pihak
lain (pihak pengugat) dan pihak yang ditarik ke muka Pengadilan oleh
Penggugat. Pengecualian terhadap ketentuan ini disebut dengan gugatan
volunteer. Dalam pengertian, yaitu Pemohon dan perkara ini lebih dikenal
dengan perkara “Permohonan”.

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman


di Indonesia mempunyai tugas pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 47
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan perkara termasuk perkara voluntair.

9
Proses baracara di peradilan Agama melalui beberapa proses yaitu antara
lain (Mertokusumo, 2011):

a. Menerima Perkara

Sesuai dengan tugas dan kewenagan Pengadilan Agama yaitu menerima,


memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pada tingkat pertama.
Peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan
dalam suatu keputusan, proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum
acara, jadi peradilan tidak bisa lepas dari hukum acara.Dengan demikian
dapat disiimpulkan bahwa peradilan adalah kewenangan suatu lembaga
untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya
hukum dan keadilan. PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan yang
menyebutkan“Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa
gugatan Perceraian, baik Penggugat maupun Terguagat atau kuasa
mereka akan dipanggil untuk menghindari sidang tersebut”.

b. Memeriksa Perkara

Keabsahan pemanggilan para pihak yang berperkara merupakan syarat


mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat dilanjutkannya persidangan
sebuah perkara. Pernyataan ini dapat dipahami dari teks Pasal 55
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
menyatakan, bahwa “tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai
sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak
yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku”.

Pernyataan yang sama juga dijumpai di dalam Pasal 26 ayat (1) PP


Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan, bahwa “setiap kali
diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik
penggugat maupun Tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk
menghadiri sidang tersebut”.

10
Dengan demikian, apabila panggilan kepada Penggugat/Pemohon
atau Tergugat/Termohon belum disampaikan secara resmi dan patut (sah),
maka persidangan terhadap sebuah perkara belum dapat dilaksanakan.
Selanjutnya hakim hanya boleh mengambil sikap memerintah untuk
memanggil pihak yang belum dipanggil secara sah, tidak dibenarkan
menjatuhkan putusan apapun terhadap perkara tersebut. Setelah Majelis
Hakim menilai bahwa panggilannya kepada Penggugat/Pemohon dan
Tergugat/Termohon telah disampaikan secara resmi dan patut, maka
tahapan berikutnya melaksanakan pemeriksaan perkara sesuai dengan
kronologi pemeriksaan perkara perdata yang pada garis besarnya sebagai
berikut.

1. Upaya perdamaian
2. Pembacaan Gugatan dan Jawaban Tergugat
3. Replik Penggugat
4. Duplik Tergugat
5. Pembuktian Penggugat
6. Pembuktian Tergugat
7. Kesimpulan Penggugat
8. Musyawarah Majelis Hakim

Dalam keadaan normal, semua tahapan pemeriksaan perkara di atas


harus dilalui. Meskipun sebenarnya banyaknya tahapan pemeriksaan
perkara tidak identik dengan jumlah atau banyaknya persidangan, karena
dapat saja dua atau tiga tahapan dilakukan dalam satu kali persidangan.
Begitu pula sebaliknya, bisa juga satu tahapan dilakukan dalam dua kali
persidangan.

c. Memutus Perkara

Tugas pokok Pengadilan Agama yang ketiga adalah mengadili ataupun


memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Putusan merupakan

11
“Pernyataan Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk
itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum
dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
pihak yang berperkara”.

Berdasarkan ketentuan yang ada dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan perkara yang diterima di Pengadilan adalah termasuk
perkara voluntair.

Dengan demikian perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama


adalah perkara contentiosa dan perkara voluntair. Selanjutnya dalam
Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, yaitu putusan dan penetapan. Putusan disebutkan
sebagai keputusan Pengadilan atas perkara gugatan karena adanya suatu
sengketa, sedangkan penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara
permohonan.Putusan dapat dibagi dua, yaitu :

1. Putusan Sela
2. Putusan Akhir

12
1
3

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan

A. Putusnya Perkawinan

Persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya,


diatur dalam pasal 38-l41 Undang-Undang Perkawinan. Namun, tata
cara perceraian diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 36.

Pasal 38 UU Perkawinan
Perkawinan dapat putus karena:
1) Kematian,
2) Perceraian
3) Atas keputusan pengadilan

Pasal 39 UU Perkawinan
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3) Tata cara perceraian di depan siding pengadilan diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 40 UU Perkawinan
1) Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.

13
1
4

B. Alasan-alasan Perceraian

Alasan-asalan peceraian diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU Nomor 1


tahun 1974 tentang Perkawinan Jo Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yakni sebagai berikut.

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,


penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri;
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah-tangga;

Khusus yang beragama Islam, ada tambahan dua alasan perceraian


selain alasan-alasan yang sudah disebutkan di atas, sebagaimana diatur
dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu:

1. Suami melanggar taklik-talak;


2. Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.

14
1
5

C. Akibat Perceraian

Diatur dalam pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 149 inpres No 1


Tahun 1991. Akibat putusnya perkawinan dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu:

1. Akibat talak
2. Akibat perceraian

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal


156 Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 1 Tahun 1991. Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian terhaap anak-anaknya yaitu:

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari


ibunya kecuali ibunya telah meninggal dunia
2. Anak yang sudah memayyiz berhak memilih hadanah dari ayah dan
ibunya.
3. Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan
pengadilan agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat
lain yang mempunya hak hadanah pula.
4. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan anaknya dan
pemilikan anaknya yang tidak turut padanya (Pasal 156 inpres
Nomor 1 tahun 1991) .

Dalam pasal 41 UU Nomor 1 tahun 1974 disebutkan tiga akibat


putusnya perkawinan karana perceraian terhadap anak-anaknya sebagai
berikut.

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik


anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak.

15
1
6

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan


pendidikan anak itu.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suamiuntuk membiayai
penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.

3.2. Analisis Putusan Perceraian

Putusan Pengadilan Agama mengenai perceraian dengan Nomor


Putusan 0154/Pdt.G/2016/Pa/Bjr. yang didaftarkan pada 1 Maret 2016,
berisikan putusan akhir perkara kasus perceraian yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama Kota Banjar yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu pada tingkat pertama.

A. Pengajuan Perceraian

Penggugat bernama Aceng Ohid bin Sulaeman merupakan seorang


suami berumur 38 tahun yang bekerja sebagai pedagang. Sedangkan,
tergugat bernama Elah Suhaelah binti Romja adalah seorang istri
berumur 35 tahun yang merupakan Ibu Rumah Tangga. Di dalam
pokok-pokok surat pengajuan perceraian yang diajukan pengguggat
mengemukakan hal-hal sebagai berikut.

- Bahwa Pemohon telah melangsungkan pernikahan dengan


Termohon pada tanggal 06 Desember 1999 di hadapan Pejabat
Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjar Kabupaten Ciamis, sesuai
dengan Kutipan Akta Nikah Nomor 500/15/XII/1999 Tertanggal 06
Desember 1999.

- Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup bersama


sebagai suami istri tidak memiliki rumah sendiri dan sudah
dikaruniai Satu (1) anak, yang berna KAYLA ANDINI usia 11
(sebelas) Tahun.

16
1
7

- Bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sejak bulan Desember


1999 sampai dengan tahun 2012 berjalan harmonis, meskipun
sebenarya ada permasalahan mengenai hubungan hutang piutang
antara termohon dengan pihak lain yang tidak diketahui oleh
pemohon namu hal itu sudah diselesaikan oleh pemohon

- Bahwa setelah berumah tangga selama kurang 13 (Tiga Belas) tahun


lamanya, kemudian pada tahun 2012 puncak ketidakharmonisan
rumah tangga, yang dipicu oleh prilaku Termohon kerap meminjam
uang kepada orang lain tanpa seijin dan sepengetahun Pemohon, dan
penggunaannyapun tidak jelas, dan hal ini sering menimbulkan
percekcokan yang terus menerus, dan pada bulan Januari 2016
pemohon dengan termohon sudah Pisah ranjang, bahkan kadang-
kadang Termohon bertempat tinggal di kediaman Orang Tua
Termohon di lingkungan Banjarkolot Rt 02 Rw 15 Kecamatan
Banjar Kota Banjar;

- Bahwa sejak berpisah sampai sekarang antara Pemohon dan


Termohon sudah tidak ada komunikasi lagi dan tidak pernah lagi
melaksanakan kewajiban sebagai suami istri;

- Bahwa keadaan rumah tangga seperti tersebut diatas Pemohon sudah


tidak sanggup lagi untuk meneruskan perkawinan dengan Termohon;

- Bahwa Pemohon telah berusaha mempertahankan keutuhan rumah


tangga dengan meminta bantuan kepada keluarga akan tetapi tidak
berhasil;

- Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, permohonan PEMOHON


telah sesuai dengan maksud pasal 19 huruf (f) peraturan pemerintah
Nomor 9 tahun 1975, j.o Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam,
oleh karena itu PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa perkara ini untuk memutuskan sebagai berikut.

17
1
8

1) Mengabulkan permohonan Pemohon ;


2) Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu
kepada Termohon;
3) Menetapkan biaya perkara menurut hukum.

- Bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan Pemohon
menghadap ke persidangan, sedangkan Termohon tidak menghadap
juga tidak menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya yang
sah sekalipun menurut relaas panggilan tanggal 04 Maret 2016 dan
18 Maret 2016 Nomor 0154/Pdt.G/2016/PA.Bjr yang dibacakan di
persidangan, Termohon telah dipanggil secara resmi dan patut serta
ternyata ketidakhadirannya bukan disebabkan oleh suatu halangan
yang sah menurut hukum;

- Bahwa kemudian Majelis Hakim berusaha menasehati Pemohon agar


tetap mempertahankan rumah tangganya dengan Termohon namun
tidak berhasil, selanjutnya pemeriksaan dimulai dengan dibacakan
surat permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh
Pemohon;

- Bahwa oleh karena Termohon tidak hadir di persidangan maka


upaya perdamaian tersebut tidak dapat dilaksanakan, selanjutnya
pemeriksaan dimulai dengan dibacakan surat permohonan Pemohon
yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon;

- Bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, maka Pemohon telah


mengajukan alat bukti berupa:

1) Surat:

Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor 1500/15/XII/1999, tanggal


6 Desember 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Banjar Kabupaten Ciamis (sekarang Kota Banjar),

18
1
9

bermeterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya yang


ternyata sesuai;

2) Saksi:

a. Dadan Iskandar bin Jaya, umur 38 tahun, agama Islam,


pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal Dusun Karangpucung Rt
27/Rw 09 Desa Balokang Kecamatan Banja Kota Banjar, dan
di bawah sumpahnya memberikan keterangan sebagai berikut.

 Bahwa, saksi kenal kepada Pemohon dan Termohon karena


saksi adalah saudara sepupu Pemohon dan hadir ketika
Pemohon dan Termohon menikah;

 Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang


menikah pada tahun 1999;

 Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon berumah


tangga di rumah milik bersama di Dusun Karangpucung Rt
29 Rw 10 Desa Balokang Kecamatan Banjar, Kota Banjar;

 Bahwa, Pemohon dan Termohon telah dikaruniai 1 orang


anak bernama Kayla Andini;

 Bahwa, awalnya rumah tangga Pemohon dan Termohon


rukun dan harmonis selama 13 tahun, namun sejak tahun
2012 mulai goyah sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang disebabkan

 Termohon tidak terbuka dalam keuangan dan Termohon


sering meminjam uang kepada orang lain tanpa
sepengetahuan dan seizin Pemohon;

 Bahwa, saksi pernah melihat pertengkaran antara Pemohon


dan Termohon;

19
2
0

 Bahwa, sejak tahun 2016 Pemohon dengan Termohon telah


berpisah tempat tinggal;

 Bahwa, pihak keluarga telah berusaha merukunkan Pemohon


dengan Termohon, namun tidak berhasil;

b. Abdul Manap Bin Nadirin, umur 46 tahun, agama Islam,


pekerjaan Transfotasi, tempat tinggal di Dusun Karangpucung
Rt 30/Rw 10 Desa Balokang Kecamatan Banjar, Kota Banjar,
dan dibawah sumpahnya memberikan keterangan sebagai
berikut.

 Bahwa, saksi kenal kepada Pemohon dan Termohon karena


saksi adalah saudara sepupu Termohon;

 Bahwa, Pemohon dan Termohon sebagai suami istri;

 Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon tinggal di


rumah milik bersama di Dusun Cibentang Kec. Purwaharja
Kota Banjar dana telah dikaruniai 1 orang anak;

 Bahwa, sepengtahuannya awalnya rumah tangga Pemohon


dengan Termohon rukun dan harmonis, namun sejak tahun
2012 mulai sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang
disebabkan

 Termohon sering meminjam uang kepada Koprasi simpan


pinjam (Kosipa) tanpa sepengetahuan Pemohon, dan
Termohon keras kepala tidak bisa menerima nasihat dari
Pemohon;

 Bahwa, sekarang antara Pemohon dengan Termohon sudah


pisah rumah selama lebih kurang 3 bulan;

20
2
1

 Bahwa, baik saksi maupun keluarga sudah berusaha


merukunkan Pemohon dengan Termohon, namun tidak
berhasil;

 Bahwa selanjutnya pihak Pemohon mengajukan kesimpulan


secara lisan yang pada pokoknya tetap pada permohonannya
dan mohon putusan;

 Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala yang


dicatat dalam berita acara sidang merupakan bagian tak
terpisahkan dari putusan ini;

B. Pertimbangan Hukum

- Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon


adalah sebagaimana diuraikan di atas;

- Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah


ditetapkan Pemohon menghadap ke persidangan, sedangkan
Termohon tidak pernah menghadap dan tidak pula menyuruh
orang lain sebagai kuasanya, meskipun telah dipanggil secara
resmi dan patut, dan ketidak-hadirannya tidak berdasarkan alasan
yang sah menurut hukum. Oleh karena itu perkara ini diproses
dengan tanpa hadirnya Termohon;

- Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 125 ayat (1)


HIR yaitu putusan tanpa hadirnya Termohon (verstek) dapat
dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum dan beralasan, oleh
karena itu majelis membebani Pemohon untuk membuktikan
dalil-dalilnya;

- Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon


telah mengajukan alat bukti surat bertanda P dan 2 orang saksi
sebagaimana dimuat dalam duduk perkara;

21
2
2

- Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.) dan keterangan saksi-


saksi dibawah sumpah terbukti antara Pemohon dan Termohon
telah terikat dalam perkawinan yang sah, sehingga Pemohon
mempunyai alasan hukum dalam mengajukan permohonan cerai
talaknya;

- Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan


Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 145 HIR, Majelis
Hakim telah mendengar keterangan 2 (dua) saksi dari orang yang
dekat dengan Pemohon dan Termohon (tetangga dan karyawan
Pemohon dan Termohon) yang telah disumpah dan diperiksa
secara terpisah yang pada pokoknya saksi-saksi tersebut
menerangkan yang keterangannya tersebut satu sama lain saling
bersesuaian, yaitu bahwa tahun 2012 rumah tangga Pemohon dan
Termohon tidak harmonis karena sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang disebabkan Termohon tidak terbuka dalam
keuangan dan Termohon sering meminjam uang kepada orang
lain tanpa sepengetahuan dan seizin Pemohon, akibatnya sejak
tahun 2016 antara Pemohon dan Termohon sudah pisah rumah
lebih kurang 3 bulan lamnya;

- Menimbang, bahwa keterangan saksi-saksi tersebut adalah atas


dasar pengetahuannya sendiri bukan atas dasar keterangan orang
lain dan keterangannya tersebut bersesuaian pula dengan dalil
yang dikemukakan oleh Pemohon, sehingga kesaksiannya
tersebut dapat diterima dan dapat menguatkan dalil yang
dikemukakan oleh Pemohon;

- Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas,


terbukti antara Pemohon dan Termohon telah terjadi perselisihan
dan pertengkaran yang terus menerus hal ini dapat dilihat dari
selama 3 bulan berturut-turut antara Pemohon dan Termohon

22
2
3

telah berpisah tempat tinggal, satu sama lain tidak menjalankan


kewajibannya sebagai suami istri, sehingga majelis hakim
berpendapat rumah tangga Pemohon dan Termohon tersebut
sudah sulit untuk disatukan lagi satu sama lain, karena tujuan
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam yaitu untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan
kekal, sakinah, mawaddah warahmah sudah tidak terwujud;

- Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan


tersebut di atas Majelis Hakim menilai permohonan Pemohon
telah sesuai dengan maksud Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo.
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian
Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Pemohon telah berhasil
membuktikan dalil-dalil permohonannya;

- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta dan pertimbangan


tersebut di atas, permohonan Pemohon patut dikabulkan;

- Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang


perkawinan, maka berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006
dan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, maka
segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada
Pemohon;

- Memperhatikan segala ketentuan peraturan perundang-undangan


yang berlaku serta kaidah-kaidah Hukum Syara’ yang berkaitan
dengan perkara ini;

23
2
4

C. Mengadili

- Menyatakan, Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan


patut untuk menghadap ke persidangan tidak hadir;

- Mengabulkan permohonan Pemohon dengan Verstek;

- Memberi izin kepada Pemohon (Aceng Ohid bin Sulaeman) untuk


menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (Elah Suherlah
binti Romja) di depan sidang Pengadilan Agama Kota Banjar;

- Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara


ini hingga kini sebesar Rp. 306.000,- (tiga ratus enam ribu
rupiah);

24
2
5

BAB IV PENUTUP

4.1. Simpulan

Dalam Putusan Pengadilan Agama mengenai perceraian dengan


Nomor Putusan Nomor Putusan 0154/Pdt.G/2016/Pa/Bjr. Tercantum bahwa
pengajuan surat perceraian dapat dilakukan di Pengadilan Agama. Kasus
perceraian dalam putusan tersebut berisikan gugatan yang diajukan oleh
Pemohon kepada Termohon yakni seorang suami dengan permasalahan
rumah tangga yakni perilaku Termohon kerap meminjam uang kepada
orang lain tanpa seizin dan sepengetahun Pemohon, dan penggunaannya pun
tidak jelas, dan hal ini sering menimbulkan percekcokan yang terus menerus.

Setiap kasus perdata, hakim akan melakukan mediasi dan juga


menyarankan musyawarah dan juga melakukan itikad baik, rujuk apabila
masih dapat dipertahankan ikatan perkawinan yang telah dibina. Namun,
pada kasus ini mediasi dan musyawarah tidak berhasil.

4.2. Saran

Sebelum membina rumah tangga, kita harus memperhatikan banyak


hal seperti kesiapan mental, memilih jodoh yang tepat, mempertimbangkan
kemampuan, dan lain-lain, sehingga dalam berjalannya rumah tangga selalu
harmonis serta tidak akan terjadi cekcok yang menimbulkan perceraian.

25
2
6

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. (2008). Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi


Syaria : Tantangan Masa yang Akan Datang. Suara Udilag.

Afdol. (2006). Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan UU No. 3


Tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya:
Airlangga University Press.

Arto, M. (2005). Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fauzan, M. (2007). Pokok-pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan


Mahkamah Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 3


Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. (2006). Sinar Grafika.

Mertokusumo, S. (2011). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty Yogyakarta.

Rasyid, C., & Syarifudin. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.

Sarwono. (2011). Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik . Jakarta: Sinar
Grafika.

26

Anda mungkin juga menyukai