Makalah ini disusun guna untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Hukum Adat
Disusun oleh:
Bella Aprilia
1710611200
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan
karya tulis yang berjudul “PERNIKAHAN NYEROD DI BALI” dengan tepat waktu .
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan
Akhir kata semoga makalah ini memberikan informasi bagi para pembaca dan bermanfaat
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman judul…....………………………………..........……………………............…..............................1
Kata pengantar………………………............…………………………………............................................2
Daftar isi……………………………………......………………………………...........................................3
BAB 1 PENDADULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah ............................................................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Sistem Kasta di Bali………………..…………………………………...………………………........7
2.2. Aturan Pernikahan Beda Kasta di Bali...............................................................................................10
2.3 Pernikahan Nyerod di Bali………………………………………………………………….………12
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………...…16
3.2. Saran………………………………………………………………………………………………..18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………....................................19
3
BAB 1
PENDAHULUAN
fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai
seorang pendeta atau menjalankan fungsi-Fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai
kasta brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan
berfungsi sebagai kasta ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting
lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan kasta waisya, dan jika seseorang yang
melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia
Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di bali masih mengalami polemik.Hal
ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul
karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan kitab suci
Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang
beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) berpikir (idep) dan
berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul
Zaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu, Selama berabad-
abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, begitu juga dalam
perkawinan, Perkawinan dalam Hindu Bali merupakan suatu yang suci dan sakral. Sehingga
sedapat mungkin perkawinan itu dilakukan di antara warga se-klen atau setidak-tidaknya antara
4
orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Perkawinan adat bali itu bersifat endogami klen.
Orang-orang se-klen adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan
demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klen-nya,
akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus
dijaga agar anak wanita dari kasta tinggi jangan sampai menikah dengan seorang pria yang lebih
rendah derajat kastanya. Karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu kepada
keluarga serta menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita itu.
Berdasarkan uraian tersebut kami akan membahas permasalahan perkawinan dalam Hindu
mengenai pernikahan beda Kasta atau tingkat, derajat manusia dalam masyarakat Hindu Bali.
Pernikahan beda Kasta sudah sejak dulu menjadi pro dan kontra dalam masalah perkawinan Hindu.
Masyarakat Hindu di Bali tidak diperbolehkan menikah dengan Kasta yang berbeda, layaknya
5
1.2.2. Bagaimana aturan mengenai pernikahan beda kasta di Bali?
BAB 2
PEMBAHASAN
6
2.1. Sistem Kasta Di Bali
Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan
Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang
diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta
dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang
Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan
dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama
Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna.
Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur
Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem
kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial
yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain).
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki
pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk
merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu,
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama
yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu
semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
7
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-
anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur
Warna atau tidak. Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra (Jaba)
berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus
menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.Kasta itu dibuat
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta
brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya
seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki
sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan
dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan
bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut.
Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana,
biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan
“Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan
kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut
dengan "Griya".
Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam
pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini
merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan
hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari
keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan
menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan
8
nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri". Sedangkan Masyarakat
yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang
ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak
rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari
segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun
Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan
sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan
Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan
Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat
yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga
masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman
dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada
jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya
9
pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya
sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan
Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus
mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih
rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena
di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.Pernikahan beda kasta sendiri
Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering
terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga
perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara
otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap
mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya
batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang
istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun
jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih
Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh
penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah
dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi
secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai
alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan
mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar,
10
sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan
orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan
Jenis perkawinan ini perkawinan dilakukan dengan cara diam-diam atau lari bersama
dikarenakan tidak disetujui oleh pihak keluarga perempuan. Alasan tidak disetujuinya atau tidak
diizinkan perkawinan ini oleh salah satu pihak orang tua mempelai salah satunya disebabkan
adanya perbedaan kasta atau wangsa antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Selama ini
masyarakat umum mengetahui adanya kasta yang telah di jelaskan diatas. Perkawinan Nyerod
11
yang kemudian dibahas disini merupakan perkawinan dimana kondisi si perempuan memiliki kasta
yang lebih tinggi (perempuan triwangsa) dari pada si laki-laki. Pada zaman dahulu perkawinan
nyerod ini sangat dihindari dan dilarang dikarenakan adanya sanksi bagi yang melakukannya.
Perkawinan Nyerod ini juga disebut sebagai Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Secara
harfiah asu pundung dapat diartikan ”menggendong anjing (asu)”, sedangkan ungkapan yang
Sanksi hukum akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini baik
bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, antara lain penurunan kasta bagi mempelai
perempuan, hukuman buang keluar Bali yang dikenal dengan hukuman Selong bagi kedua
mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni dan labuh batu. Walaupun secara yuridis
formal larangan Perkawinan Nyerod telah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11
Tahun 1951, namun nilai-nilai yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih
membekas pada sikap sebagian masyarakat Bali. Sehingga hal ini tidak menegubah cara berfikir
masyarakat Bali mengenai perkawinan nyerod beda kasta. Masyarakat Bali jauh lebih senang
Dalam perkembangannya masih banyak kaum berkasta Brahmana yang tidak dapat
menerima perkawinan nyerod ini. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di
dalam perkawinan nyerod, yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus
bercerai. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di dalam perkawinan nyerod,
yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. Jika dalam
perkawinan biasa, seseorang bercerai maka kedua belah pihak akan kembali ke rumahnya masing-
masing namun dalam perkawinan nyerod jika terjadi perceraian pihak perempuan tidak dapat
12
kembali ke griya atau rumahnya lagi tapi sebaliknya pihak laki-laki dapat kembali ke rumahnya
lagi.
Dengan kehilangan gelarnya sebagai triwangsa maka perempuan ini tidak bisa balik lagi ke
keluarga asalnya sehingga apabila terjadi perceraian perempuan ini akan terlantar karena tidak bisa
tinggal di rumah mantan suaminya dan tidak bisa kembali ke rumah asalnya atau biasa disebut
ngutang raga atau ngumbang . Maka daripada itu pada masa tersebut jarang ada perempuan yang
melakukan perkawinan beda kasta memutuskan untuk bercerai. Diperlakukan seburuk dan sekasar
apapun perempuan ini akan tetap bertahan dikarenakan jika perempuan ini bercerai maka dia akan
terlantar. Dengan terlantarnya perempuan ini maka dia akan kehilangan segala bentuk hak dan
kewajibannya Hal ini tentu menimbulkan masalah bagi pihak perempuan, apalagi yang terkait
dengan kedudukan perempuan tersebut baik di keluarga asalnya dan dimasyarakat. Dalam
perkawinan beda kasta pada masa pelarangan perkawinan beda kasta, kita bisa melihat bagaimana
Kedudukan perempuan yang lemah dalam perkawinan beda kasta tidak sampai berhenti
sampai disini saja. Bila perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta ini bercerai maka
kedudukan perempuan ini akan terombang-ambing tidak jelas baik di keluarga maupun di
masyarakat. Dalam hal perkawinan beda kasta, perceraian yang terjadi akan menimbulkan dampak
yang sangat besar bagi kedudukan perempuan. Setelah dicabutnya paswara 1927 mengenai asu
pundung alangkahi karang hulu, menyebabkan perkawinan beda kasta tidak dilarang lagi untuk
dilakukan dan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi. Dengan tidak dilaksanakannya lagi
upacara patiwangi maka perempuan yang akan melakukan perkawinan beda kasta tidak perlu
kehilangan kastanya. Hal ini menjadi sangat berarti bagi perempuan triwangsa yang melakukan
perkawinan beda kasta, karena apabila terjadi perceraian maka mereka masih bisa kembali ke
13
rumah asalnya karena masih menyandang gelar triwangsa tersebut dan kedudukan perempuan
triwangsa ini pun masih diterima sebagai bagian dari keluarga. Kedudukan yang dimaksud disini
adalah terkait hak dan kewajiban yang dimiliki perempuan triwangsa ini. Secara umum dapat
dikatakan kewajiban (swadharma) ini meliputi aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama
Hindu dan tempat suci (parahyangan) baik dalam keluarga maupun masyarakat, kewajiban yang
berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan (pawongan) baik bagi keluarga sendiri maupun
masyarakat dan kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas memelihara lingkungan alam
kekayaan keluarga dan leluhur serta pemanfaatan fasilitas miliki desa pakraman seperti tanah desa,
tempat suci, kuburan (setra). Dengan kembalinya perempuan triwangsa ini kerumah, maka tidak
ada lagi yang namanya perempuan terlantar sebagai akibat perceraian beda kasta. Kedudukan
perempuan setelah terjadinya perceraian dari perkawinan beda kasta kemudian lebih diperjelas
lagi dalam Keputusan Pasamuhan Agung III yang dikeluarkan Majelis Desa Pakraman pada tahun
2010.
III ini pihak perempuan triwangsa yang bercerai dari perkawinan beda kasta akan kembali ke
rumah asalnya dengan status mulih deha (kembali gadis) Dengan kembali berstatus mulih deha,
maka swadharma dan swadikara di rumah orang tuanya akan kembali sebagaimana ketika ia masih
belum kawin. Dalam hal ini keluarga perempuan triwangsa tersebut harus mau menerima kembali
hadirnya perempuan triwangsa ini ke rumah, walaupun memang tidak ada aturan yang
memberikan sanksi jika keluarga tersebut tidak mau menerima kembali kehadiran perempuan
triwangsa tersebut.
14
Terkait dengan harta bersama atau harta gunakaya akan dibagi sama rata dengan prinsip
pedum pada. Hal ini tentu berbeda dengan pembagian harta gunakaya pada zaman dulu, dimana
hanya pihak laki-laki yang diuntungkan dalam pembagian harta bersama ini. Namun sekarang
pembagian harta guna kaya harus dibagi sama rata diantara kedua belah pihak. Mengenai
pengasuhan anak pada masa sekarang ini atau setelah keluarnya Keputusan Pasamuhan Agung III
ini sudah dianggap mampu menghargai posisi seorang perempuan sebagai ibu. Pada masa lalu,
pengasuhan anak adalah hak dan tanggung jawab keluarga dari bapaknya, karena didasarkan atas
sistem patrilineal. Dengan adanya perceraian maka seorang ibu tidak punya lagi hubungan hukum
dengan anaknya.Namun Setelah adanya keputusan Pasamuhan Agung III maka setelah perceraian,
anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan
pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah
nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur
15
Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta
brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Kasta Ksatriya merupakan
kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali,
karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada
zaman kerajaan. Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki
kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus
berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau
yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya).
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada
jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya
pernikahan beda agama dalam Islam.Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yang pertama
Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi
di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga
perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara
otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Yang kedua Kasta istri tinggi dari
kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak
perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki
kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau
biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan
yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta
16
Pada zaman dahulu perkawinan nyerod ini sangat dihindari dan dilarang dikarenakan adanya
sanksi bagi yang melakukannya. Perkawinan Nyerod ini juga disebut sebagai Asu Pundung dan
Alangkahi Karang Hulu. Secara harfiah asu pundung dapat diartikan ”menggendong anjing (asu)”,
sedangkan ungkapan yang kedua berarti “melompati kepala”.Sanksi hukum akan dikenakan bagi
pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan, antara lain penurunan kasta bagi mempelai perempuan, hukuman buang keluar Bali
yang dikenal dengan hukuman Selong bagi kedua mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni
dan labuh batu. Serta nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. perkawinan
nyerod jika terjadi perceraian pihak perempuan tidak dapat kembali ke griya atau rumahnya lagi
Namun Setelah dicabutnya paswara 1927 mengenai asu pundung alangkahi karang hulu,
menyebabkan perkawinan beda kasta tidak dilarang lagi untuk dilakukan dan upacara patiwangi
tidak dilaksanakan lagi. Dengan tidak dilaksanakannya lagi upacara patiwangi maka perempuan
yang akan melakukan perkawinan beda kasta tidak perlu kehilangan kastanya. Akibat perceraian
terhadap kedudukan perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung III ini pihak perempuan
triwangsa yang bercerai dari perkawinan beda kasta akan kembali ke rumah asalnya dengan status
mulih deha (kembali gadis) Dengan kembali berstatus mulih deha, maka swadharma dan
swadikara di rumah orang tuanya akan kembali sebagaimana ketika ia masih belum kawin. Terkait
dengan harta bersama atau harta gunakaya akan dibagi sama rata dengan prinsip pedum pada
Mengenai pengasuhan anak pada masa sekarang ini atau setelah keluarnya Keputusan Pasamuhan
Agung III ini sudah dianggap mampu menghargai posisi seorang perempuan sebagai ibu. setelah
perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum
17
dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut
3.2. Saran
Saran saya kepada pembaca terutama pada warga bali Semoga ke depannya orang Bali
khususnya yang beragama Hindu bisa lebih bijak menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan
kasta. Hal-hal yang dirasakan tidak enak dan merugikan sebaiknya memang ditinggalkan saja.
Namun hal-hal positifnya tetap patut dipertahankan, apalagi untuk memfilter berbagai pengaruh
dari luar sehingga ke depannya Bali yang kita cintai tetap “ajeg” serta damai dan lestari selamanya.
18