Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“PERNIKAHAN NYEROD DI BALI”

Makalah ini disusun guna untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Hukum Adat

Disusun oleh:

Bella Aprilia

1710611200

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan

karya tulis yang berjudul “PERNIKAHAN NYEROD DI BALI” dengan tepat waktu .

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini

dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang

mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran

serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan

untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini memberikan informasi bagi para pembaca dan bermanfaat

untuk kita semua.

Bekasi,25 November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman judul…....………………………………..........……………………............…..............................1
Kata pengantar………………………............…………………………………............................................2
Daftar isi……………………………………......………………………………...........................................3

BAB 1 PENDADULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah ............................................................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Sistem Kasta di Bali………………..…………………………………...………………………........7
2.2. Aturan Pernikahan Beda Kasta di Bali...............................................................................................10
2.3 Pernikahan Nyerod di Bali………………………………………………………………….………12

BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………...…16
3.2. Saran………………………………………………………………………………………………..18

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………....................................19

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kasta merupakan suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan

fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai

seorang pendeta atau menjalankan fungsi-Fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai

kasta brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan

berfungsi sebagai kasta ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting

lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan kasta waisya, dan jika seseorang yang

melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia

dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan fungsi sebagai kasta sudra .

Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di bali masih mengalami polemik.Hal

ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul

karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan kitab suci

Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang

beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) berpikir (idep) dan

berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul

keturunan, status sosial, dan ekonomi.

Zaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu, Selama berabad-

abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, begitu juga dalam

perkawinan, Perkawinan dalam Hindu Bali merupakan suatu yang suci dan sakral. Sehingga

sedapat mungkin perkawinan itu dilakukan di antara warga se-klen atau setidak-tidaknya antara

4
orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Perkawinan adat bali itu bersifat endogami klen.

Orang-orang se-klen adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan

demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klen-nya,

terjagalah kemungkinan-kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang

akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus

dijaga agar anak wanita dari kasta tinggi jangan sampai menikah dengan seorang pria yang lebih

rendah derajat kastanya. Karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu kepada

keluarga serta menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita itu.

Berdasarkan uraian tersebut kami akan membahas permasalahan perkawinan dalam Hindu

mengenai pernikahan beda Kasta atau tingkat, derajat manusia dalam masyarakat Hindu Bali.

Pernikahan beda Kasta sudah sejak dulu menjadi pro dan kontra dalam masalah perkawinan Hindu.

Masyarakat Hindu di Bali tidak diperbolehkan menikah dengan Kasta yang berbeda, layaknya

menikah dengan orang beda Agama atau keyakinan.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana sistem kasta di Bali?

5
1.2.2. Bagaimana aturan mengenai pernikahan beda kasta di Bali?

1.2.3. Bagaimana bisa terjadi perkawinan nyerod di bali?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Untuk mengetahui bagaimana sistem kasta di Bali.

1.3.2. Untuk mengetahui aturan mengenai pernikahan beda kasta di Bali

1.3.3. Untuk mengetahui terjadi perkawinan nyerod di bali.

BAB 2

PEMBAHASAN

6
2.1. Sistem Kasta Di Bali

Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan

Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang

diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta

dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang

sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.

Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan

dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama

Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna.

Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur

Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang.

Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem

kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial

yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain).

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki

pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk

merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu,

lebih baik tidak diperdebatkan lagi.

Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama

yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu

semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.

7
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-

anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur

Warna atau tidak. Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra (Jaba)

berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus

menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.Kasta itu dibuat

dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial, diantaranya:

Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta

brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya

seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki

sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan

dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan

bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut.

Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana,

biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan

“Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan

kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut

dengan "Griya".

Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam

pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini

merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan

hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari

keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan

menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan

8
nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri". Sedangkan Masyarakat

yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang

ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak

rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari

segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun

I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Jero".

Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan

sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan

Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan

Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat

yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga

masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman

dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".

2.2. Aturan pernikahan beda kasta di Bali

Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada

jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya

9
pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya

sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan

pernikahan beda kasta.

Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus

mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih

rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena

di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.Pernikahan beda kasta sendiri

ada dua macam, yaitu :

Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering

terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga

perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara

otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap

mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya

batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang

istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun

jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih

kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.

Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh

penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah

dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi

secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai

alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan

mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar,

10
sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan

orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan

mengalami penurunan kasta.

2.3. Pernikahan nyerod di Bali

Jenis perkawinan ini perkawinan dilakukan dengan cara diam-diam atau lari bersama

dikarenakan tidak disetujui oleh pihak keluarga perempuan. Alasan tidak disetujuinya atau tidak

diizinkan perkawinan ini oleh salah satu pihak orang tua mempelai salah satunya disebabkan

adanya perbedaan kasta atau wangsa antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Selama ini

masyarakat umum mengetahui adanya kasta yang telah di jelaskan diatas. Perkawinan Nyerod

11
yang kemudian dibahas disini merupakan perkawinan dimana kondisi si perempuan memiliki kasta

yang lebih tinggi (perempuan triwangsa) dari pada si laki-laki. Pada zaman dahulu perkawinan

nyerod ini sangat dihindari dan dilarang dikarenakan adanya sanksi bagi yang melakukannya.

Perkawinan Nyerod ini juga disebut sebagai Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Secara

harfiah asu pundung dapat diartikan ”menggendong anjing (asu)”, sedangkan ungkapan yang

kedua berarti “melompati kepala”.

Sanksi hukum akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini baik

bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, antara lain penurunan kasta bagi mempelai

perempuan, hukuman buang keluar Bali yang dikenal dengan hukuman Selong bagi kedua

mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni dan labuh batu. Walaupun secara yuridis

formal larangan Perkawinan Nyerod telah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11

Tahun 1951, namun nilai-nilai yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih

membekas pada sikap sebagian masyarakat Bali. Sehingga hal ini tidak menegubah cara berfikir

masyarakat Bali mengenai perkawinan nyerod beda kasta. Masyarakat Bali jauh lebih senang

melakukan perkawinan intrawangsa daripada perkawinan antarwangsa.

Dalam perkembangannya masih banyak kaum berkasta Brahmana yang tidak dapat

menerima perkawinan nyerod ini. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di

dalam perkawinan nyerod, yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus

bercerai. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di dalam perkawinan nyerod,

yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. Jika dalam

perkawinan biasa, seseorang bercerai maka kedua belah pihak akan kembali ke rumahnya masing-

masing namun dalam perkawinan nyerod jika terjadi perceraian pihak perempuan tidak dapat

12
kembali ke griya atau rumahnya lagi tapi sebaliknya pihak laki-laki dapat kembali ke rumahnya

lagi.

Dengan kehilangan gelarnya sebagai triwangsa maka perempuan ini tidak bisa balik lagi ke

keluarga asalnya sehingga apabila terjadi perceraian perempuan ini akan terlantar karena tidak bisa

tinggal di rumah mantan suaminya dan tidak bisa kembali ke rumah asalnya atau biasa disebut

ngutang raga atau ngumbang . Maka daripada itu pada masa tersebut jarang ada perempuan yang

melakukan perkawinan beda kasta memutuskan untuk bercerai. Diperlakukan seburuk dan sekasar

apapun perempuan ini akan tetap bertahan dikarenakan jika perempuan ini bercerai maka dia akan

terlantar. Dengan terlantarnya perempuan ini maka dia akan kehilangan segala bentuk hak dan

kewajibannya Hal ini tentu menimbulkan masalah bagi pihak perempuan, apalagi yang terkait

dengan kedudukan perempuan tersebut baik di keluarga asalnya dan dimasyarakat. Dalam

perkawinan beda kasta pada masa pelarangan perkawinan beda kasta, kita bisa melihat bagaimana

seseorang perempuan diperlakukan secara tidak adil.

Kedudukan perempuan yang lemah dalam perkawinan beda kasta tidak sampai berhenti

sampai disini saja. Bila perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta ini bercerai maka

kedudukan perempuan ini akan terombang-ambing tidak jelas baik di keluarga maupun di

masyarakat. Dalam hal perkawinan beda kasta, perceraian yang terjadi akan menimbulkan dampak

yang sangat besar bagi kedudukan perempuan. Setelah dicabutnya paswara 1927 mengenai asu

pundung alangkahi karang hulu, menyebabkan perkawinan beda kasta tidak dilarang lagi untuk

dilakukan dan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi. Dengan tidak dilaksanakannya lagi

upacara patiwangi maka perempuan yang akan melakukan perkawinan beda kasta tidak perlu

kehilangan kastanya. Hal ini menjadi sangat berarti bagi perempuan triwangsa yang melakukan

perkawinan beda kasta, karena apabila terjadi perceraian maka mereka masih bisa kembali ke

13
rumah asalnya karena masih menyandang gelar triwangsa tersebut dan kedudukan perempuan

triwangsa ini pun masih diterima sebagai bagian dari keluarga. Kedudukan yang dimaksud disini

adalah terkait hak dan kewajiban yang dimiliki perempuan triwangsa ini. Secara umum dapat

dikatakan kewajiban (swadharma) ini meliputi aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama

Hindu dan tempat suci (parahyangan) baik dalam keluarga maupun masyarakat, kewajiban yang

berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan (pawongan) baik bagi keluarga sendiri maupun

masyarakat dan kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas memelihara lingkungan alam

(palemahan) baik untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat.

Terkait dengan hak-haknya (swadharma) ada hubungannya dengan penerusan harta

kekayaan keluarga dan leluhur serta pemanfaatan fasilitas miliki desa pakraman seperti tanah desa,

tempat suci, kuburan (setra). Dengan kembalinya perempuan triwangsa ini kerumah, maka tidak

ada lagi yang namanya perempuan terlantar sebagai akibat perceraian beda kasta. Kedudukan

perempuan setelah terjadinya perceraian dari perkawinan beda kasta kemudian lebih diperjelas

lagi dalam Keputusan Pasamuhan Agung III yang dikeluarkan Majelis Desa Pakraman pada tahun

2010.

Akibat perceraian terhadap kedudukan perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung

III ini pihak perempuan triwangsa yang bercerai dari perkawinan beda kasta akan kembali ke

rumah asalnya dengan status mulih deha (kembali gadis) Dengan kembali berstatus mulih deha,

maka swadharma dan swadikara di rumah orang tuanya akan kembali sebagaimana ketika ia masih

belum kawin. Dalam hal ini keluarga perempuan triwangsa tersebut harus mau menerima kembali

hadirnya perempuan triwangsa ini ke rumah, walaupun memang tidak ada aturan yang

memberikan sanksi jika keluarga tersebut tidak mau menerima kembali kehadiran perempuan

triwangsa tersebut.

14
Terkait dengan harta bersama atau harta gunakaya akan dibagi sama rata dengan prinsip

pedum pada. Hal ini tentu berbeda dengan pembagian harta gunakaya pada zaman dulu, dimana

hanya pihak laki-laki yang diuntungkan dalam pembagian harta bersama ini. Namun sekarang

pembagian harta guna kaya harus dibagi sama rata diantara kedua belah pihak. Mengenai

pengasuhan anak pada masa sekarang ini atau setelah keluarnya Keputusan Pasamuhan Agung III

ini sudah dianggap mampu menghargai posisi seorang perempuan sebagai ibu. Pada masa lalu,

pengasuhan anak adalah hak dan tanggung jawab keluarga dari bapaknya, karena didasarkan atas

sistem patrilineal. Dengan adanya perceraian maka seorang ibu tidak punya lagi hubungan hukum

dengan anaknya.Namun Setelah adanya keputusan Pasamuhan Agung III maka setelah perceraian,

anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan

pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat

jaminan hidup dari pihak purusa.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah

nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur

15
Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis

keturunan Patrinial, diantaranya:

Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta

brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Kasta Ksatriya merupakan

kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali,

karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada

zaman kerajaan. Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki

kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus

berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau

yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya).

Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada

jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya

pernikahan beda agama dalam Islam.Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yang pertama

Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi

di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga

perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara

otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Yang kedua Kasta istri tinggi dari

kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak

perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki

kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau

biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan

yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta

suaminya, yang disebut sebagai "nyerod".

16
Pada zaman dahulu perkawinan nyerod ini sangat dihindari dan dilarang dikarenakan adanya

sanksi bagi yang melakukannya. Perkawinan Nyerod ini juga disebut sebagai Asu Pundung dan

Alangkahi Karang Hulu. Secara harfiah asu pundung dapat diartikan ”menggendong anjing (asu)”,

sedangkan ungkapan yang kedua berarti “melompati kepala”.Sanksi hukum akan dikenakan bagi

pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai

perempuan, antara lain penurunan kasta bagi mempelai perempuan, hukuman buang keluar Bali

yang dikenal dengan hukuman Selong bagi kedua mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni

dan labuh batu. Serta nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. perkawinan

nyerod jika terjadi perceraian pihak perempuan tidak dapat kembali ke griya atau rumahnya lagi

tapi sebaliknya pihak laki-laki dapat kembali ke rumahnya lagi.

Namun Setelah dicabutnya paswara 1927 mengenai asu pundung alangkahi karang hulu,

menyebabkan perkawinan beda kasta tidak dilarang lagi untuk dilakukan dan upacara patiwangi

tidak dilaksanakan lagi. Dengan tidak dilaksanakannya lagi upacara patiwangi maka perempuan

yang akan melakukan perkawinan beda kasta tidak perlu kehilangan kastanya. Akibat perceraian

terhadap kedudukan perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung III ini pihak perempuan

triwangsa yang bercerai dari perkawinan beda kasta akan kembali ke rumah asalnya dengan status

mulih deha (kembali gadis) Dengan kembali berstatus mulih deha, maka swadharma dan

swadikara di rumah orang tuanya akan kembali sebagaimana ketika ia masih belum kawin. Terkait

dengan harta bersama atau harta gunakaya akan dibagi sama rata dengan prinsip pedum pada

Mengenai pengasuhan anak pada masa sekarang ini atau setelah keluarnya Keputusan Pasamuhan

Agung III ini sudah dianggap mampu menghargai posisi seorang perempuan sebagai ibu. setelah

perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum

17
dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut

mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

3.2. Saran

Saran saya kepada pembaca terutama pada warga bali Semoga ke depannya orang Bali

khususnya yang beragama Hindu bisa lebih bijak menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan

kasta. Hal-hal yang dirasakan tidak enak dan merugikan sebaiknya memang ditinggalkan saja.

Namun hal-hal positifnya tetap patut dipertahankan, apalagi untuk memfilter berbagai pengaruh

dari luar sehingga ke depannya Bali yang kita cintai tetap “ajeg” serta damai dan lestari selamanya.

18

Anda mungkin juga menyukai