Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang permasalahan tarikh tasyri’ tidak akan lepas dari
faktor yudikatif,eksekutif dan kondisi masyarakat yang menjadi aktor dalam
berkembang atau menyusutnya sejarah tarikh tasyri’. Setiap pergantian generasi
selalu saja ada fenomena-fenomena yang menarik dari berkembangnya tarikh
tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada masa Nabi tasyri’ langsung diterima dari Tuhan yang
menciptakan syari’at itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan Nabi selalu
terawasi. Jadi tidak diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi
sebagai yudikatif dan eksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat Arab pada
masa itu.
Perkembangan tasyri’ pada masa sahabat tidak begitu drastis. perubahan yang
terjadi hanya pada pola aplikasi saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat
terkait dengan tasyri’ masih bisa disatukan. Akan tetapi perlu kita ketahui
bahwa embriopertama eksisnya perbedaan mazhab itu adalah pada masa para
sahabat setelah Nabi wafat.
Perkembangan yang terjadi pada ulama-ulama Hijaz menjadi ahlul
Hadist dan Ra’yi adalah pengaruh dari pemikiran Ali, Ibnu Mas’ud, dan Umar
bin Khatab yang sangat terkenal banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan
hukum suatu masalah. Dalam hal ini di kalangan para tabi’in banyak yang
terpengaruh oleh cara istimbathukum  para sahabat tersebut, para tabi’in di Iraq
terpengaruh oleh metode ijtihad yang digunakan oleh  Ali sedangkan ulama Hijaz 
dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Abbas yang tidak menggunakan ra’yu.
Timbulnya mazhab sunny adalah perkembangn dari ulama ahlul Ra’yu,
termasuk juga ulama mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, dan Imam Hanbal.
Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum syari’ah pada masa ini
sengan berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam

1
Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda, yang menjadi
tanda tanya apakah di balik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin
menciptakan sekte-sekte sendiri, apakah perbedaan yang terjadi itu karena dilatar
belakangi oleh tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i
dengan background Iraq dan Mesir sehingga hadirnya qaul qadim dan qaul
jadidnya, Imam Hanifah yang dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang
dilatar belakangi oleh negeri Hijaz, dan Imam Hambali yang berlatar belakang
sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-faktor yang lainnya.[1]
Dilatar belakangi oleh hal tersebut, maka kami pemekalah akan mencoba
mengkaji masalah tersebut, dengan makalah kami yang berjudul Periode Atba’ Al-
Fuqaha/Periode Mazhab. Mudah-mudahan makalah kami dapat memberi sedikit
pandangan kepada para pembaca terkait tentang perkembangang tarikh
tasyri’ pada masa imam mazhab.perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam
mazhab.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatar belakangi perkembangan tarikh tasyri’ pada masa imam
mazhab?
2. Bagaimana dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab?
3. Bagaimana pengaruh pembukuan ushul fiqh dan fiqh terhadap
perkembangan tasyri’?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memberi pemahaman tentang hal yang melatar belakangi
perkembangan tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
2. Memperoleh pengetahuan tentang dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam
mazhab.
3. Mengetahui pengaruh pembukuan ushul fiqh dan fiqh terhadap
perkembangan  tasyri’.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor Perkembangan Tasyri’


Berdasarkan sejarah Islam, bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh pada
periode ini merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa
munculnya mazhab-mazhab fiqh itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri,
bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh
para orientalis.
Fenomena perkembangan tasyri’ pada periode ini, seperti tumbuh suburnya
kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan
kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.1
Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali
bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu munculnya mazhab
dalam sejarah terlihat adanya pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga
muncul mazhab-mazhab fiqh pada periode ini pendapat tersebut, sehingga
munculnya mazhab-mazhab yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup
sebelumnya tentang timbulnya mazhab tasyri’, ada beberapa faktor yang
mendorong,  diantaranya:2
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum
Islammenghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda
tradisinya.
2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri mazhab-mazhab fiqh berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-

1 Mun’im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, (Islamabat: Risalah Bush, 1995), hal. 76.

2 Mahjuddin, Ilmu Fiqih, (Jember: GBI Pasuruan, 1991), hal. 111.

3
pusat study  tentang fiqih, yang diberi nama al-Madzhab atau al-
Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa Barat
menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-
muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu
pendapat dari ulama-ulama mazhab ketika menghadapi masalah
hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan
hukum Islam dalam pemerintahannya.
4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal
tentang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari
suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai mazhab
hukum Islam.

B. Mazhab-Mazhab Fiqh (dasar pemikiran dan perkembangannya).


1. Mazhab Hanafi
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki
nama lengkapnya adalah al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara
politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada
Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun
80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abdul Malik ibn Marwan. Beliau meninggal
pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.3

Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada
zaman Abbasyiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima
kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena di antara putranya ada yang bernama
Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena
beliau begitu taat beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab
"haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat
lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau
berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.

3 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 188.

4
Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas
anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar
fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari bertalian
dengan keagamaan. Mula-mula beliau mempelajari hukum agama, kemudian ilmu
kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti
ilmu yang lain, dan Abu Hanifah sendiri memang sangat tertarik mempelajari
ilmu fiqih yang merangkum berbagai aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah
mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru
yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Beliau banyak
mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah,
diantaranya:
a. Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya
menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena
perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian,
metode ijtihad yang digunakan adalah qiyasdengan  menjadikan kesaksian
sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’i.
b. Abu Hanifah dan ulama Kufah berpendapat bahwa shalat gerhana
dilakukan dua rakaat sebagai mana shalat ’id tidak dilakukan dua
kali ruku’ dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula
menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia
mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khalifah Bani Umayyah
kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi
yang sangat berbeda antara kedua masa tersebut.
Mazhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan
ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan
dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang
terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.

5
Murid Imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-
pemikirannya adalah: Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-
Hasan al-Syaibani, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, di antaranya Jami’ al-
Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain.
Sumber-sumber hukum mazhab Hanafi:
1) al-Qur’an, sunnah dan ijma’
Bagi mazhab Hanafi al-Qur’an, sunnah dan ijma’ merupakan
sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat
di dalam al- Qur’an maka merujuk ke hadis dan jika tidak terdapat di
dalam hadis maka merujuk ke ijma’. Terkait dengan sunnah, Imam
Hanafi hanya menggunakan hadis yang shahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat, Imam Hanafi hanya menggunakan pendapat
yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan
ini sebagai prinsip penting mazhab Hanafi.
2) Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh Hanifah bahwa beliau tidak harus
menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat,
dia memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan
atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.4
3) Istihsan (Preperensi)
Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari
pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya,
walupun bukti yang dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
4) ‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah di mana tidak
terdapat tradisi Islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-
tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda di dalam dunia Islam
menjadi sumber hukum.

4 Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


1996), hal. 105.

6
2. Mazhab Maliki
Nama lengkap pendiri mazhab Maliki adalah Malik bin Annas bin Abu
Amir. Lahir pada tahun 93 H (721 M) di Madinah pada perkembangan
selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun
179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang
sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan
ini tidak menghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah,
di samping itu dia juga menuntut ilmu nahwu, syair dan juga menghafal al-
Qur,an, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama yang dikenal sangat
cerdas di antara para ulama lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi
gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam Malik belajar kepada ulama-ulama Madinah, dan yang menjadi guru
pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’
Maulana ibn Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di Madinah sebagai ahli
hadis.5
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadis bergaya
fiqh. Inilah kitab tertua hadis dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia
seorang imam dalam ilmu hadis dan fiqih sekaligus. Dalam fatwa hukumnya ia
bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau
mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadis ahad, dalam ini
disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari
sahabat.
Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan
lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.
Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih mazhab Maliki dan sudah dicetak
dua kali di Mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’.

5 Abdul Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri’ Islam, (Solo: Ramadhani, 1991), hal. 89.

7
Pembuatan undang-undang di Mesir sudah memetik sebagian hukum dari mazhab
Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah Mesir.6
Sumber-sumber hukum mazhab Maliki
Dalam menentukan hukum-hukum, Imam Maliki memeberi runtutan
pengambilan sumber hukum, adapun sumber-sumber hukum yang digunakan
Imam Malik antara lain:
a. Al-Qur’an
b. Hadist (yang berkualitas shahih dan masyhur)
c. Ijma’ (amalan ulama Madinah ketika itu)
d. Qiyas (analogis)
e. Maslahah mursalah (kepentingan umum)
Konsep maslahah mursalah yang di gunakan oleh Imam Malik di dasari
oleh kondisi masyarkat Madinah, walaupun banyak para ulama yang tidak setuju
dengan penggunaan metode maslahah mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang
menunjukkan terhadap metode tersebut. Imam Malik lebih banyak
menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hukum-hukum
baru yang tidak terdapat didalam al-Qur’an dan hadis.

3. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin
Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama
Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada
Rasul, beliau lahir di Ghazah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun
204 H pada saat beliau berumur 52 tahun.
Syafi’i pernah belajar ilmu fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di
mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan
bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian
hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian
hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional,

6 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


1996), hal. 149.

8
baik aliran Madinah maupun Kuffah. Dalam kontek fiqihnya Syafi’i
mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-
Sunnah serta ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum
yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang
terakhir melakukan qiyas dan istishab.7
Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
a. Ar-Risalah: merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
b. Al-Umm: isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan
pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.
Sumber-sumber hukum mazhab Syafi’i
Pengetahuan-pengetahuan untuk menggali hukum diperlukan keilmuan
tentang dalil-dalil yang mengandung permasalahan perintah dan larangan.
Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga
tersusun dengan baik. Asas-asas yang dimaksud misalnya
asas tasyri’. Pengetahuan tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan
dengan daya fikir dan daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut, begitu
juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, dalam menggali hukum syari’ah, Imam
Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam
kitab ar-Risalah:
1) Al-Qur’an
2) Al-Hadist
3) Ijma’
4) Ra’yu (Qiyas)
a) Al-Qur’an
Dalam menggali hukum di dalam al-Qur’an Imam Syafi’i lebih
menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau
utarakan bahwa al-Qur’an  diturunkan dengan bahasa Arab dengan
tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat
lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat al-

7 Rahmat Syafi’i, Usul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 52.

9
Qur’ansetiap kali  beliau berfatwa, namun Syafi’i menganggap
bahwa al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari al-Sunnah, karena kaitan
antara keduanya sangat erat.
b) Al-Sunnah
Untuk hadis Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadis yang
bersifat mutawatir dan ahad, sedangkan untuk hadis yang dhaif hanya
digunakan untuk li afdhalil ‘amal, dalam menerima hadis ahad mazhab
Syafi’i  mnsyaratkan:8
1)      Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq
2)      Perawinya cerdik dan mahami hadis yang diriwayatkannya
3)      Perawinya dengan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat bil
makn.
4)      Perawinya tidak mnyalahi ahl-Ilmi
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh
Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadis, hadis ahad yang
diterimanya sebatas kalau hadis tersebut sahih  dan
bersambung.
Faktor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam
menerima hadis karena sesudah Nabi wafat banyak dari
kalangan aliran politik yang membuat hadis-hadis palsu untuk
menguatkan posisinya sebagai pemimpin.

c) Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’ para
sahabat, dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan
di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak
ada didalam nash baik al-Qur’an maupun hadis, contoh ijma’ yaitu
shalat terawih 20 rakaat. Jika terjadi perbedaan di antara para
sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat
kepada al-Qur’an dan sunnah.

8 Muh. Zuhri, Hukum Islam. . . , hal. 123.

10
Ijma’ menurut para ulama menempati posisi ketiga
setelah al-Qur’an dan hadis, begitu juga dengan Syafi’i,
konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan merujuk
kepada dalil yang ada yaitu  al-Qur’an dan al-Sunnah yang
memiliki hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh
Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada nash:
1) Bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut
tidak akan sampai kepada kebenaran.
2) Bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada Nabi,
sementara Nabi tidak pernah menetapkan hukum tanpa
mengkaitkan dengan dalil-dalil al-Qur’an.
3) Pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah
salah besar.
4) Pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak
diketahui hukum syara’  nya.
d) Qiyas
Qiyas menurut para ahli hukum Islam berarti
penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip
tertentu, perbandingan hukum permasalahan yang baru
dibandingkan dengan hukum yang lama. Imam Syafi’i sangat
membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i
tidak bisa  independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i
dikaitkan dengan nash al-Qur’an dan sunnah.
4. Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin
Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H dan wafat
tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke
berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz,
Yaman, Kufah dan Basrah. Beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis
dalam kitab musnadnya.

11
Sebagaimana diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad,
kemudian melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Daerah yang pernah
dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman.
Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan hadis, karena
perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadis Imam Ahmad bin Hanbal
menurut beberapa ulama dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh.
Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu fiqih
yang berkesan yaitu Imam syafi’i yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi
murid Imam syafi’i yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri.
Orang yang belajar hadis akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar
ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’i, para pengikut Imam Syafi’i
menilai bahwa Ahmad Ibn Hanbal adalah pengikut Imam Syafi’i, meskipun dalam
kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’i yang dikenal menjadi
guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Mazhab Hanafi.
Akan tetapi dalam proses tasyri’  Imam Hambali banyak Terpengaruh oleh Imam
Syafi’i, yang masih nelakukan pendekatan tekstual,tidak seperti Imam Hanafi
yang menggunakan ra’yu dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hanbal dibangun atas lima dasar yaitu
sebagai berikut:
a. Al-Nushush dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan
dalam al-Qur’an dan sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna
yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
b. Apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah ia menukil
fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat
lainnya.
c. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat
yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
d. Imam Ahmad mengambil hadis mursal dan dhaif sekiranya tidak ada
dalil yang menghalanginya.

12
Dimaksud dengan dhaif disini bukan dhaif yang bathil dan yang mungkar,
tetapi dhaif yang tergolong shahih atau hasan. Dalam pandangan Imam Ahmad,
hadis itu tidak terbagi atas shahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua
yaitu shahih dan dhaif saja.
Pembagian hadis menjadi shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-
Tirmidzi (209-279 H). Karenanya  tidak mengherankan kalau di masa Imam
Ahmad pembagian hadis masih kepada shahih dan dhaif. Hadis dhaif ada
bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas.
Menggunakan hadis semacam ini lebih utama daripada menggunakan qiyas.

C. Pengaruh pembukuan Usul fiqh dan Fiqh terhadap


Perkembangan tasyri’
Pembukuan ushul fiqh dilakukan pada masa Imam Mujtahid/Imam Mazhab
(Para Imam Mujtahid), yang terdiri dari:
1. Imam Abu Hanifah (80—150H)
2. Malik bin Anas (93-179 H)
3. Imam Syafi’I (150-204 H)
4. Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah
perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya
berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara’. Untuk itu
para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah
terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri
mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, yaitu:
a. Golongan Hanafiyah mengklaim Abu Hanifah, Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagai orang pertama menyusun
ilmu ushul fiqh alasannya, Abu Hanifah adalah orang pertama yang
menjelaskan metode istinbath, sedangkan Abu Yusuf menyusun tulisan
ushul fiqh. Demikian pula Muhammad bin Hasan menyusun kitab ushul
fiqh sebelum Syafi’i.

13
b. Golongan Malikiyah juga mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama
berbicara ilmu ushul fiqh. Tapi mereka tidak mengklaim Imam Malik
sebagai orang pertama menyusun kitab ushul fiqh.
c. Syi’ah Imamiyah juga mengklaim Muhammad Baqir ibn Ali ibnu Zainal
Abidin kemudianm diteruskan putranya Ja’far Shodiq,
d. Golongan Syafi’iyah juga mengklaim Imam Syafi’i sebagai orang pertama
menyusun kitab ushul fiqh dengan nama ar-Risalah.
Klaim Hanafiyah dibantah Ali Abdul Raziq, bahwa Abu Yusuf dan asy-
Syabani menyusun ushul fiqh sangat cenderung untuk mendukung
metode istihsan gurunya yang sangat ditentang ahli hadis.
Orang yang menyusun ilmu ushul fiqh secara lengkap dan komprehensif dan
tidak sektarian adalah Imam Syafi’i dengan karya ar-Risalah.
Klaim Malikiyah wajar, namun harus dicatat, bahwa pembahasan ushul fiqh
dengan metodologi ushul juga sudah terjadi di masa sahabat dan tabi’in, Jadi
bukan Imam Malik yang pertama membicarakan ushul fiqh.
Imam Syafi’i dianggap sebagai ulama pertama menyusun ilmu ushul fiqh,
karena beliau secara komprehensif telah merumuskan kaidah-kaidah fiqiyyah bagi
setiap bab dalam bab-bab fiqh, menganalisisnya serta mengaplikasikan kaedah-
kaedah itu atas masalah furu’.
Imam Syafi’i dalam ar-Risalah berhasil merumuskan kaidah-kaidah yang
dapat menolong ulama untuk mengistimbath hukum dari sumber-sumber syar’i,
tanpa terikat pendapat seorang faqih (ulama) tertentu, sehingga ushul fiqhnya
betul-betul independen dan sempurna.
Jalaluddin al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafi’i adalah peletak
batu pertama ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama
yang menulis ilmunya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha hanya
menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan
Muhammad Hasan Syaibani.

14
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Munculnya mazhab-mazhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri,
bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh
para orientalis. Munculnya mazhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih
dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul mazhab-mazhab fiqih pada periode ini.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah
perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya
berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara’. Untuk itu
para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah
terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri
mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, namun Jalaluddin al-Suyuthi
berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama ilmu ushul
fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya
secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha hanya menunjukkan sebagian
kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Syaibani.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini
masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan
baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami
mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di
kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami
makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai salah satu
periodisasi yang ada dalam sejarah tasyri’.

15
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Mansur, Asep Saifuddin, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam,     


Jakarta: Pustaka Al-Hhsna, 1984.
A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam, Islamabat: Risalah Bush, 1995.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Khallaf, Abdul Wahhab, Tarikh Tasyri’ Islam, Solo: Ramadhani, 1991.
Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember: GBI Pasuruan, 1991.
Philip, Ameanah Bilah, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh. Bandung: Nusa          
Media, 2005.
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo 
Persada, 1996.
Syafi’i, Rahmat, Usul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.

16

Anda mungkin juga menyukai