DI
S
U
S
U
N
OLEH:
Kelompok 3
Nama : Riska
Rina Autma Masty
Silmi Windari
Unit :I
Semester : IV
DOSEN PEMBIMBING
Hasan Sazali, MA
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, pemberi petunjuk pada kebenaran dan jalan yang lurus.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar Shallalahu Alaihi wa
Sallam. Syukur Alhamdulillah kami masih diberi kesempatan untuk dapat
menyelesaikan dan menghadirkan makalah Fiqh Jinayah dengan tema “Jarimah
Hudud, Jarimah Qishas dan Jarimah Ta’zir”
Maka dari itu, kami maengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat
membangun agar dapat menjadi bahan evaluasi kami dalam menyusun makalah
sehingga dikemudian hari dapat tercipta makalah yang lebih baik lagi.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat penulis rumuskan agar pembahasan dalam
makalah ini dapat tersusun secara lebih sistematis dan terarah adalah sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan jarimah hudud?
2. Bagaimana pembagian jarimah hudud?
3. Apa yang dimaksud dengan jarimah qishas?
4. Bagaimana pembagian jarimah qishas?
5. Apakah yang dimaksud dengan ta’zir?
6. Bagaimana pembagian jarimah ta’zir?
4
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan jarimah hudud.
2. Untuk mengetahui pembagian jarimah hudud
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan jarimah qishas.
4. Untuk mengetahui bagaimana pembagian jarimah qishas.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ta’zir.
6. Untuk mengetahui bagaimana pembagian jarimah ta’zir.
5
BAB II
PENUTUP
A. Jarimah Hudud
1. Pengertian Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, Pengertian
hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan menjadi hak
Allah (hak masyarakat).1 Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu sebagai
berikut;
Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah
ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol.
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah di sini
adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang
yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh
negara.
1
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana
Islam), Jakarta: Anggota IKAPI, 2004, hlm. 164.
6
tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktian nya itu hanya berupa
saksi semata-mata dab tidak ada bukti-bukti yang lain. Dasarnya adalah sebagai
berikut:2
Surah An-Nisa’ ayat 15
“Perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.
Surah An-Nur ayat 4 ;
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik- baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah m ereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.
Surah An-Nur ayat 13
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi
atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka
mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta”.
Adapun syarat – syarat Umum saksi yakni:
1. Baligh
2. Berakal
3. Kuat ingatan
4. Dapat Berbicara
5. Dapat Melihat
6. Adil
7. Islam
b) Dengan pengakuan
Pengakuan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk jarimah zina, dengan
syarat-syarat sebagai berikut :3
2
Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1947). Hlm. 54
3
7
Pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat kali, dengan mengiaskan
kepada empat orang saksi.
Pengakuan harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan,
sehingga dapat menghilangkan syubhat (ketidak jelasan) dalam perbuatan
zina tersebut.
Pengakuan harus sah atau benar.
Pengakuan harus dinyatakan dalam sidang pengadilan.
c) Dengan Qarinah
Qarinah atau tanda yang di anggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah
zina ialah timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau
tidak diketahui suaminya.
8
15. “dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji [275],
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).
kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai
Allah memberi jalan lain kepadanya”[276]
16. “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu,
Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
2) Qadzaf
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu syain berarti melempar sesuatu.
Sedangkan menurut istilah syara’ adalah melempar tuduhan (wath’i) zina kepada
orang lain yang karenanya mewajibkan hukuman had bagi tertuduh (makdzuf).6
Pengertian qadzaf yang diancam dengan hukuman had adalah menuduh orang
yang muhsan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang
menghilangkan nasabnya.
5
Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1947). Hlm.
6
9
Dalam qadzaf akan hukuman pokok yaitu berupa dera (jilid) delapan puluh
kali dan hukuman tambahan berupa tidak diterimanya kasaksian yang
bersangkutan selama seumur hidup. Hal ini berdasarkan firman Allah:
ُ ت ثُم لَ ْم يَأْتُوا ِبأَرْ بَ َع ِة
شهَ َدآ َء فَٱجْ لِدُوهُ ْم ثَ َّٰ َمنِينَ َج ْلدَة َو َل ِ َص َّٰن
َ َْوٱل ِذينَ يَرْ ُمونَ ْٱل ُمح
ٓ
َتَ ْقبَلُوا لَهُ ْم َش َّٰهَدَة أَبَدا ۖ َوأُو َّٰلَئِكَ هُ ُم ْٱل َّٰفَ ِسقُون
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu delapan pulah kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya” (QS.An-Nuur : 4)
3) Sariqah (Pencurian)
Jarimah sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi
– sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan
barang atau harta kekayaan tersebut.
a. Unsur Jarimah Pencurian
a) Mengambil harta secara diam-diam
Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-diam adalah mengambil
barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya, seperti
mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur.
Pengambilan harta itu dapat dianggap sempurna, jika:
Pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya
Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan dari pemiliknya
Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ke tangan si pencuri
Bila salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka pengambilan tersebut tidak
sempurna. Dengan demikian hukumannya bukan had, melainkan ta’zir.
b) Barang yang dicuri berupa harta
Disyaratkan yang dicuri itu berupa harta:
Yang bergerak, karena pencurian mempunyai makna perpindahan harta
yang dicuri dari pemilik kepada pencuri.
10
Berharga, maksudnya adalah bahwa barang tersebut berharga bagi
pemiliknya, bukan dalam pandangan pencurinya.
memiliki tempat penyimpanan yang layak
sampai nisab.
c) Harta yang dicuri itu milik orang lain
Disyaratkan dalam pidana pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu merupakan
milik orang lain. Yang dimaksud dengan milik orang lain adalah bahwa harta itu
ketika terjadinya pencurian adalah milik orang lain dan yang dimaksud dengan
waktu pencurian memindahkan harta dari tempat penyimpanannya. Atas dasar ini,
maka tidak ada hukuman had dalam pencurian terhadap harta yang status
pemilikannya bersifat syubhat.
d) Ada itikad tidak baik
Adanya itikad tidak baik seorang pencuri terbukti bila ia mengetahui bahwa
hukum mencuri itu adalah haram dan dengan perbuatannya itu ia bermaksud
memiliki barang yang dicurinya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.
11
c. Sanksi Jarimah Pencurian
Dengan demikian, sesungguhnya para ulama sepakat bahwa bila harta yang
dicuri itu masih ada di tangan pencuri, maka ia harus mengembalikannya. Hanya
mereka berbeda pendapat bila harta yang dicuri itu telah tidak ada ditangan
pencuri. Apakah pencuri itu hanya dikenai had saja, ataupun disertai dengan
kewajiban membayar ganti rugi? Adapun dasar hukum potong tangan terdapat
firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 38
“Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Hukuman potong tangan ini tidak dapat dimaafkan, jika perkaranya sudah
diserahkan dan ditangani oleh Ulul Amri. Berkenaan dengan anggota badan yang
dipotong dan batas pemotongannya, para ulama berbeda pendapat.
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat pada pencurian pertama
yang dipotong adalah tangan kanan, pada pencurian kedua yang
dipotong adalah kaki kiri, pada pencurian yang ketiga yang dipotong
adalah tangan kiri, pada pencurian ke empat yang dipotong adalah
tangan kanan. Jika pencuri masih mencuri yang kelima kalinya maka
dipenjara sampai dia bertobat.
Atha berpendapat bahwa pencurian yang pertama dipotong
tangannya, dan mencuri yang kedua kalinya dihukum ta’zir.
Mazhab Zhahiri berpendapat bahwa pada pencurian pertama dipotong
tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong tangan kirinya,
pada pencurian ketiga dikenai hukuman ta’zir.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pada pencurian pertama
pencuri dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong
kaki kirinya, pencurian ketiga dipenjara sampai tobat.
Salah satu hal yang disepakati oleh para ulama adalah bahwa
kewajiban potong tangan itu dihapus, jika tangan yang akan dipotong
itu telah hilang sesudah pencurian terjadi.
12
Batas pemotongan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Ahmad dan Zahiri adalah dari pergelangan tangan ke
bawah, begitupula bila yang dipotong kakinya. Alasannya adalah batas
minimal anggota yang disebut tangan dan kaki adalah telapak tangan
atau kaki dengan jari-jarinya. Selain itu Rasulullah melakukan
pemotngan tangan pada pergelangan tangan pencuri.
d. Cara Pembuktian dan Pelaksanaan Hukuman Jarimah Pencurian
Cara pembuktian pencurian yaitu:
a) Dengan saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian minimal
dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila saksi
kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman.
b) Dengan dengan pengakuan
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana pencurian.
Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Zhahiriyah
pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Akan tetapi
menurut pendapat Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syiah Zaidiyah bahwa
pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
c. Dengan sumpah
Dikalangan Syafi’iyah berkembang suatu pendapat bahwa pencurian bisa juga
dibuktikan dengan sumpah yang dikembalikan. Apabila dalam suatu peristiwa
pencurian tidak ada saksi atau tersangka tersebut tidak mau bersumpah mengakui
perbuatannya, maka sumpah bisa dikembalikan kepada si penuntut (pemilik
barang). Dan jika si penuntut mau disumpah maka si pencuri yang tidak mau
disumpah tadi akan dikenai hukuman had.
4) Hirabah (Perampokan)
Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuli dalam bukunya yang berjudul Fiqh Jinayah,
hirabah adalah suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara terang – terangan dan
disertai dengan kekerasan. Para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan
jarimah perampokan diantaranya:
13
1) Pendapat Syafi’iyyah : mengambil harta/ membunuh/ menakut – nakuti
yang dilakukan dengan sengaja di tempat yang jauh dari pertolongan.
2) Pendapat Malikiyah : mengambil harta dengan cara penipuan baik
menggunakan kekuatan maupun tidak.
3) Pendapat Hanafiyah : perbuatan mengambil harta secara terang – terangan
dari orang yang melintasi jalan dengan syarat memiliki kekuatan.
Jadi, Hirabah adalah suatu tindakan kejahatan ataupun pengerusakan dengan
menggunakan senjata / alat yang dilakukan oleh manusia secara terang – terangan
dimana saja baik dilakukan satu orang atau berkelompok tanpa
mempertimmbangkan dan memikirkan siapa korbannya disertai dengan tindak
kekerasan.
14
Keempat kemungkinan diatas semuanya termasuk perampokan selama yang
bersangkutan berniat untuk mengambil harta dengan terang-terangan.
3. Syarat Perampokan
Adapun syarat harta yang diambil dalam perampokan adalah sama dengan
syarat harta yang diambil dalam pencurian. Imam Abu Hanifah mensyaratkan
tempat perampokan itu harus di Negara Isam. Hal ini berkaitan dengan
teorinya yang menyatakan bahwa penerapan hukum islam itu hanya mungkin
terjadi di Negara muslim. Perampokan itu harus di luar kota dan jauh dari
keramaian, karena di tempat yang ramai biasanya tidak terjadi perampokan.
Imam Malik dan Imam Syafi’I tidak membedakan antara perampokan di
tempat yang ramai dengan perampokan di tempat yang sunyi, hanya Imam
Syafi’I mensyaratkan bahwa perampokan itu terjadi di tempat yang sulit bagi
korban untuk minta tolong.
4. Sanksi Perampokan
a. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad berbeda-
beda sanksi perampokan berdasarkan perbuatannya. Bila ia hanya
mengintimidasi, tanpa mengambul harta dengan kekerasan, namun tidak
membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan kakinya secara silang.
Bila hanya membunuh tanpa mengambil harta maka sanksinya adalah hukum
mati. Menurut Imam Malik sanksi perampokan diserahkan kepada imam
untuk memilih salah satu hukuman yang akan dijatuhkan pada pelaku
perampokan.
b. Sanksi kedua bagi perampok adalah dipotong tangan dan kakinya antara
bersilang, yaitu tangan kanan dan kaki kiri. Sanksi tersebut diancamkan pada
perampok yang mengambil harta dengan paksa namun tidak membunuh.
c. Sanksi ketiga dihukum mati, yaitu bila seorang perampok membunuh tapi
tidak mengambil harta.
d. Sanksi ke empat yaitu di hukum mati lalu disalip, sanksi ini diancamkan
terhadap perampom yang membunuh dan mengambil harta.
15
Adapun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ganti rugi dan teori al
–tadakhul, pendapat para ulama dalam hal ini sama dengan dalam kasus
pencurian.
5. Cara Pembuktian dan Pelaksanaan Hukuman
Cara pembuktian permpokan:
a. Dengan saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana perampokan sama
halnya dengan jumlah saksi pada jarimah sariqah, yaitu minimal dua orang
laki-laki atau seoranglaki-laki dan dua orang perempuan. Apabila saksi kurang
dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman. Saksi bisa diambil dari
para korban atau orang-orang yang terlibat langsung dalam
kejadianperampokan.
b. Dengan dengan pengakuan
Pengakuan seorang perampok merupakan salah satu alat bukti untuk tindak
pidana perampokan. Menurut Jumhur Ulama pengakuan cukup dinyatakan
satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Akan tetapi menurut pendapat Imam
Abu Yusuf dan Hanabilah bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua
kali.
Hukuman terdapat dalam surat al maidah ayat 33
Sewaktu menjelaskan sebab-sebab turunya asbab al-nuzul ayat ini Imam
Bukhari meriwayatkan bahwa beberapa orang dari suku Ukul datang
menghadap Nabi SAW di madinah.
4) Syirbul Khamr
Ada beberapa nama yang diberikan para ulama berkenaan dengan jarimah ini.
Al-Bukhari memberikan nama syaribul khamr, Abu Dawud menamakannya
al-haddu fil khamr. Ibnu Majah menyebutnya dengan haddus sakran, Imam
Syafi’I haddul khamr, dan Imam Hanafi menamainya dengan hadus syurb.
Asyirbah adalah bentuk jama’ dari kata syurbun. Yang dimaksud asyirbah atau
minum minuman keras adalah minuman yang bisa membuat mabuk, apapun
asalnya. Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad seperti dikutip H.A.
16
Djazuli, berpendapat bahwa yang dimaksud khamr adalah minuman yang
memabukkan, baik disebut khamr atau dengan nama lain. Adapun Abu
Hanifah membedakan antara khamr dan mabuk. Khamr diharamkan
meminumnya, baik sedikit maupun banyak, dan keharamannya terletak pada
dzatnya. Minuman lain yang bukan khamr tetapi memabukkan, keharamannya
tidak terletak pada minuman itu sendiri (dzatnya), tetapi pada minuman
terakhir yang menyebabkan mabuk. Jadi, menurut Abu Hanifah, minum
minuman memabukkan selain khamr, sebelum minum terakhir tidak
diharamkan.[2]
1. Ayat-ayat Al-quran
a. Surah Al-Baqarah ayat 219
َااس َو َمنَافِ ُع َكبِير إِ ْثم فِي ِه َما قُلْ َو ْال َمي ِْس ِر ْال َخ ْم ِر ع َِن يَسْأَلُونَك
ِ وإِ ْث ُمهُ َما لِلن...
َ
17
3. Unsur-unsur Jarimah Minuman Khamr
Unsur-unsur jarimah minuman khamr ada dua macam, yaitu:
1. Asy-Syurbu (meminum)
Sesuai pengertian asy-syurbu (minuman) sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa unsur ini (Asy-Syurbu) terpenuhi apabila pelaku
meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini tidak diperhatikan nama
dari minuman itu dan dari bahan apa minuman itu diproduksi. Dengan
demikian, tidak ada perbedaan apakah yang diminum itu dibuat dari perasan
buah anggur, gandum, kurma, tebu, maupun bahan-bahan yang lainnya.
Demikian pula tidak diperhatikan kadar kekuatan memabukkannya, baik
sedikit maupun banyak, hukumannya tetap haram.
dianggap meminum apabila barang yang diminumnya telah sampai ke
tenggorokan. Apabila minuman tersebut tidak sampai ke tenggorokan maka
tidak dianggap meminum, seperti berkumur-kumur. Demikian pula termasuk
kepada perbuatan meminum, apabila meminum minuman khamr tersebut
dimaksudkan untuk menghilangkan haus, padahal ada air yang dapat
diminumnya. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan karena terpaksa (darurat)
atau dipaksa, pelaku tidak dikenai hukuman.
Apabila seseorang meminum khamr untuk obat maka para fuqaha berbeda
pendapat mengenai status hukumnya. Menurut pendapat yang rajah dalam
madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali, berobat dengan meggunakan
(minuman)
Yang bergerak, karena pencurian mempunyai makna perpindahan harta
yang dicuri dari pemilik kepada pencuri.
Berharga, maksudnya adalah bahwa barang tersebut berharga bagi
pemiliknya, bukan dalam pandangan pencurinya.
memiliki tempat penyimpanan yang layak
sampai nisab.
18
Disyaratkan dalam pidana pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu merupakan
milik orang lain. Yang dimaksud dengan milik orang lain adalah bahwa harta itu
ketika terjadinya pencurian adalah milik orang lain dan yang dimaksud dengan
waktu pencurian memindahkan harta dari tempat penyimpanannya. Atas dasar ini,
maka tidak ada hukuman had dalam pencurian terhadap harta yang status
pemilikannya bersifat syubhat.
d) Ada itikad tidak baik
Adanya itikad tidak baik seorang pencuri terbukti bila ia mengetahui bahwa
hukum mencuri itu adalah haram dan dengan perbuatannya itu ia bermaksud
memiliki barang yang dicurinya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya
B. Jarimah Qishas
Jarimah qisas yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qishas.
Qishas adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak
mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan,
dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat. Dan apabila
dimaafkan, maka hukuman tersebut dihapuskan. 7
Jarimah qishas adalah tindak pidana yang diancam dengan
hukuman qishas yaitu hukuman setimpal dengan pidana yang
dilakukan. Yang termaksud dalam kategori jarimah qiyas-diyat adalah
:
1) Pembunuhan Sengaja (al-qatl al-amd)
2) Pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd)
3) Pembunuhan keliru (al qatl al-khata’)
4) Penganiyaan sengaja (al-jarh al-amd)
5) Penganiyaan salah (al-jarh al-khata’)
7
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Hal. 8
19
C. Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir yaitu ketentuan jarimah yang berdasarkan
kesepakatan dan ketentuan masyarakat muslim;
Belum diatur atau tidak diatur dalam nash
Tidak bertentangan dengan Ajaran Nash
Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih
hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah ta’zir
serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman jarimah ta’zir tidak
memiliki batas tertentu.8
Dilihat dari berubah tidaknya sifat jarimah dan jenis hukuman,
para fuqaha membagi jarimah ta’zir ke dalam dua bentuk, yaitu :
1) Jarimah Ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti
mu’amalah dengan cara riba, memicu timbangan, mengkhianati
amanat, korupsi, menyuap, manipulasi, nepotisme, dan berbuat
curang. Perbuatan tersebut semua dilarang, akan tetapi sanksinya
sepenuhnya diserahkan kepada penguasa.
2) Jarimah Ta’zir yang ditentukan oleh pihak penguasa atau
pemerintah.
8
Ibid. hal 8
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jinayah dan Jarimah adalah dua istilah yang memiliki kesamaan dan
perbedaannya secara etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal,
mempunyai arti yang sama serta ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi
negative, salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian,
arah pembicaraan, serta dalam rangkaian apa kedua kata itu digunakan.
Adapun unsur-unsur jarimah adalah :
1. Unsur Formal
2. Unsur Moriel
3. Unsur Material
Jarimah Terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
A. Dilihat dari berat-ringannya hukuman :
a. Jarimah Hudud
1) Jarimah Zina
2) Jarimah Qadzaf
b. Jarimah Qisas Diyat
c. Jarimah Ta’zir
B. Dilihat dari niat si pelaku
a. Jarimah sengaja
b. Jarimah tidak sengaja
C. Dilihat dari segi mengerjakannya
a. Jarimah Positif
b. Jarimah Negatif
D. Dilihat dari orang yang menjadi korban atas perbuatannya
a. Jarimah perseorangan
b. Jarimah Masyarakat
21
B. Saran-saran
Sebagai mahasiswa perguruan tinggi Agama Islam, maka sepantasnyalah
kita menggali lebih dalam lagi tentang berbagai ilmu pengetahuan tentang
agama dan tidak pernah merasa cukup apalagi puas dengan hasil yang
diperoleh, juga tidak berhenti hanya setelah berhasil menggali, tapi berusaha
mendakwahkannya dan membimbing umat ke arah kemajuan dan kebenaran
hakiki. Sebab, masa kini adalah masa dimana umat Islam mengalami
kemunduran di bidang ilmu pengetahuan, bahkan umat Islam sendiri
mengalami pengikisan keilmuan tentang agama mereka sendiri, dan parahnya
lagi kemerosotan tersebut diindikasi sudah merambat ke berbagai sisi
kehidupan umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemerosotan akhlak,
penurunan tensi kegiatan-kegiatan keagamaan di berbagai tempat, beralih
fungsinya tujuan ibadah menjadi tujuan duniawi, dan sebagainya. Maka kita
menjadi tonggak yang harusnya paling kuat dalam menahan arus kemunduran
umat ini. Tentu tidak bisa berdiam diri dengan berkutat dengan
ketidakpedulian terhadap kondisi umat.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kharisma Ilmu,
2007).
Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1947).
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005).
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fiqih
Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
http://www.ziddu.com/doownload/14636310/01.fiqhjinayah.docx.html. diakses
tanggal 22 desember 2013
23