Anda di halaman 1dari 17

LANDASAN BERLAKUNYA SYARIAT

ISLAM DI ACEH

Di
S
U
S
U
N

Oleh:
NAMA KELOMPOK
NURUL FAIZA
RISKA

Dosen Pembimbing: BONITA IZWANI, MA

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


PERGURUAN TINGGI ISLAM
AL-HILAL SIGLI
2020
KATA PENGANTAR

1
Alhamdulillahhirabbila’lamin, puji syukur diucapkan kehadiran
Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia serta nikmat-
Nya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Karya ilmiah ini yang
berjudul “Landasan Berlakunya Syariat Islam Di Aceh” .Tak lupa
shalawat serta salam kami ucapkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat sahabat, dan para pengikut beliau
hingga akhir zaman. Kami sebagai penulis menyadari dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan
dalam penulisan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang besifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Demikianlah kata pengantar dari penulis, akhirnya besar


harapan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan diterima bagi sebagai perwujudan penulis dalam dunia
pendidikan dan dapat dugunakan sebagaimana mestinya, semoga
kita semua mendapat faedah dan diterangi hatinya dalam setiap
menuntut ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

Kembang Tanjong, April


2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................  2
DAFTAR ISI.................................................................  3

BAB I PENDAHULUAN..................................................  4
A. Latar Belakang Masalah....................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................ 5
C. Tujuan Pembahasan...................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN...................................................  6
A. Landasan Historis Dalam Berlakunya Syari’at Di Aceh....................... 6
B. Landasan Filosofis Dalam Berlakunya Syari’at Di Aceh...................... 7
C. Landasan Yuridis Dalam Berlakunya Syari’at Islam Di Aceh................ 9
D. Eksitensi Syariat Islam Di Aceh.................................................................. 11
E. Esensi Syariat Islam Di Aceh....................................................................... 12
F. Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh............................................................. 12

BAB III PENUTUP.........................................................  15


A. Kesimpulan..........................................................................  15
B. Saran.................................................................................... 16

Daftar Pustaka........................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Aceh terletak di ujung sebelah utara pulau sumatera, merupakan bagian paling
utara dan paling barat dari kepulauan Indonesia. Disebelah baratnya terbentang
lautan Hindia, sedangkan di sebelah utara dan di sebelah timurnya terletak Selat
Malaka. Sejak zaman kuno Selat Malaka dijadikan jalan perniagaan yang ramai,
yang banyak dilalui kapal-kapal dagang dari berbagai negeri Asia. Para pendatang
dari berbagai negeri lain melakukan banyak berinteraksi dengan penduduk setempat.
Dari sinilah berawalnya proses Asimilasi. Sehingga, terjadilah Akulturasi budaya,
dan Agama yang dihasilkan dari perkawinan dan perdagangan pada masa itu. Salah
satu agama yang melekat pada diri masyarakat Aceh sampai sekarang adalah agama
Islam.1 Hingga sekarang masih terasa bahwa nilai-nilai islami yang masih terkandung
dalam berbagai segi pola hidup masyarakat Aceh termasuk salah satunya adalah
pengimplementasian atau berlakunya syari’at islam di bumi Serambi Mekkah ini.
Di masa dewasa ini, masyarakat Aceh tidak berperang melawan para penjajah-
penjajah seperti masa perjuangannya dulu. Tetapi maksiat dan perbuatan
mungkarlah  yang menjadi musuh terbesar masyarakat Aceh saat ini. Ini merupakan
tugas mulia sekaligus berat yang dipikul oleh Pemda NAD. Khususnya Dinas
Syari’at Islam yang membantu dalam proses pemulusan pengimplementasiaan
syariat islam secara Kaffah di propinsi paling barat Indonesia ini. Pemberantasan
Budaya pacaran dan hubungan seks diluar nikah yang digemari oleh para pemuda-
pemudi Aceh dalam pergaulannya saat ini merupakan sekelumit contoh-contoh yang
bisa diangkat untuk menggambarkan betapa beratnya tugas menjalankan syari’at
islam secara sempurna (kaffah).karena hal ini berkenaan dengan proses bagaimana
mengubah cara pendang dunia (World View) seseorang. Beranjak dari pemikiran

1 Zakaria Ahmad, Sejarah Perlawanan Aceh Terhadap Kolonialisme dan Imperalisme , (Banda


Aceh: Yayasan PENA, 2008), hlm. 7.

4
tersebut maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya implementasi syari’at islam
secara kaffah memang tidak bisa dilaksanakan dengan secara instan.2
Ada berbagai macam Landasan-landasan dalam menerapkan syari’at islam di
tanah rencong ini. Landasan-landasan ini pula yang yang akan berpengaruh terhadap
perkembangan dan proses pemberian nilai-nilai islam yang positif dalam pribadi
masyarakat Aceh itu sendiri. Oleh karena itu, landasan-landasan tersebut sangat
penting dipelajari agar terciptanya rasa peduli terhadap agamanya sendiri yang telah
dijunjung tinggi dan diperjuangkannya selama ini.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari landasan historis dan bagaimakah landasan historis
dalam berlakunya syari’at islam di Aceh?
2. Apa  pengertian dari landasan filosofis dan bagaimakah landasan filosofis
dalam berlakunya syari’at islam di Aceh?
3. Apa pengertian dari landasan yuridis dan bagaimakah landasan yuridis dalam
berlakunya syari’at islam di Aceh?
4. Jelaskan Esensi Syariat Islam Di Aceh?
5. Jelaskan Eksitensi Syariat Islam Di Aceh?
6. Jelaskan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh?

C. Tujuan Pembahasan
Yang menjadi tujuan dari pembahasan makalah ini adalah
1. Untuk memahami pengertian dari landasan historis dan bagaimakah landasan
historis dalam berlakunya syari’at islam di Aceh.
2. Untuk memahami pengertian dari landasan filosofis dan bagaimakah
landasan filosofis dalam berlakunya syari’at islam di Aceh.
3. Untuk memahami pengertian dari landasan yuridis dan bagaimakah landasan
yuridis dalam berlakunya syari’at islam di Aceh.
4. Untuk mengetahui Esensi Syariat Islam Di Aceh

2 Anton Widyanto, Menyorot Nanggroe, (Banda Aceh: Yayasan PENA dan Ar-Raniry Press, 2007),
hlm. 4

5
5. Untuk mengetahui Eksitensi Syariat Islam Di Aceh?
6. Untuk mengetahui Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Historis Dalam Berlakunya Syari’at Di Aceh


Secara bahasa, landasan Historis terdiri atas dua suku kata
yaitu Landasan dan Historis. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia kata
Landasan berasal dari kata landas yang berakhiran an yang berarti alas, dasar, paron,
besi yang menempa, bukti (keterangan) untuk menguatkan suatu keterangan.3 
Sedangkan kata Historis diambil dari kata plural (jamak) bahasa inggris History yang
berarti segala hal yang berkenaan dengan sejarah dan masa lalu. 4 Jadi, dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa landasan historis adalah segala bukti sejarah yang
bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu
permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan historis ini adalah
pelaksaan Syari’at Islam di Aceh.
Sejarah ajaran Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah melalui Aceh oleh
Kesultanan Samudera Pasai atau dikenal juga dengan nama Samudera Darussalam
yang hancur pada abad ke-16. Syariat Islam sebenarnya bukan hal baru bagi daerah
penghasil gas alam cair di ujung pulau Sumatera ini. Beberapa literatur sejarah
menginformasikan tentang berlakunya Syariat Islam dalam kehidupan sosial dan
pemerintahan ketika Aceh masih diperintah raja-raja setempat. Menurut Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), empat kerajaan besar di Aceh yaitu
Peureulak, Pasai, Pedir dan Daya telah berasaskan Islam sebelum bersatu dan
membentuk kerajaan Islam Bandar Aceh Darussalam yang dibentuk oleh Sultan
Johan Syah pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 Hijriyah atau 22 April 1205 Masehi.
Bahkan kerajaan Islam ini juga memiliki kitab rujukan yang bernama Qanun Al-Asyi
(Adat Meukuta Alam) sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Islam Darussalam.
Dari latar belakang sejarah tersebut, ajaran Islam telah mengakar dalam kebudayaan
3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), hlm.658.
4 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Ed. II, (Jakarta: Modern English
Press, 1986), , hlm. 879.

6
dan adat-istiadat masyarakat Aceh, Islam dijadikan sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, Islam telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Mereka amat tunduk kepada ajaran Islam dan sangat memperhatikan fatwa-fatwa
dari para ulama karena mereka menganggap ulama adalah ahli waris dari nabi. 5 inilah
bukti kenapa para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal
memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk
menetapkan suatu kebijakan.6
Sebagaimana diketahui Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah
seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat
lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat
Islam secara kaffah. Aceh dalam sejarahnya yang panjang, juga memiliki pasang
surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri Aceh, menurut komentar-
komentar pengkaji, memiliki masyarakat yang unik, misalnya disebutkan heroic,
berani, ulet, tanpa mengenal menyerah dan malah ada yang menyebutkan dengannya
dengan sebutan Moorden. Julukan yang terakhir bermakna kegilaan, yang disebutkan
oleh seorang jurnalis Belanda, RA. Kern. Masyarakat aceh menurutnya memilliki
sifat-sifat kegilaan, suka membuang nyawa atau suka mati atau suka mati dengan
melakukan penyerangan terhadap orang-orang belanda yang siaga dengan
persenjataan mereka yang lengkap demi membela agama 7 mereka dan tanah airnya,
padahal mereka tidak memiliki senjata yang berarti untuk mengimbangi senjata
lawan (Belanda). Nilai-nilai Islami memang telah mendarah-daging dalam
masyarakat Aceh. Karenanya, meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap
proklamasi yang dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam
negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata
pemerintahannya tetap bersendikan pada syariat Islam. 8

B. Landasan Filosofis Dalam Berlakunya Syari’at Di Aceh

5 Abu Ishaq, Sekilas Sejarah Di Balik Aceh, (Banda Aceh: Al Ba’dawi, 2004),  hal. 12.
6 Taufik Zakaria, Politik Syariat Islam,  Dari Indonesia Hingga Nigeria, Cet.I, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2004), hlm. 15.
7 Misri A. Muchsin, Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007),
hlm. 1.
8 Muhammad Asy Syiddiq, Islam dan Masyarakat Aceh, (Banda Aceh: PENA, 2009), hlm. 14

7
Secara Bahasa, Kata filsafat berasal dari kata dalam bahasa Yunani Filosofia,
yang berasal dari kata kerja Filosofien yang berarti mencintai kebijaksaan. Kata
tersebut juga berasal dari kata dalam bahasa Yunani Philosophis yang berasal dari
kata Philein yang berarti mencintai, atau Philia yang berarti cinta, dan
kata Sophia yang berarti kearifan atau kebijaksaan. Dari kata tersebut lahirlah kata
inggris Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Menurut Al
Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segalanya
yang ada (al ilm bil maujudat bi ma hiya al maujudat). 9 Jadi, dapat disimpulkan
bahwa  landasan filosofis adalah segala bukti filosofis yang bersifat mendukung dan
dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan. Yang menjadi
permasalahan dari landasan filosofis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di Aceh.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma dasar
Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena dari
Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam Sebagai
Asas Pembentukan Qanun di Aceh. Karena setiap Negara didirikan atas dasar
falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.10
Keberadaan Pancasila dalam Qanun Aceh nerupakan pelaksanaan Pancasila yang
terdapat isi Qanun tersebut, karena sila pertama tersebut mengandung sisi mutlak,
bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada tempat bagi
pertentangan dalam hal ketuhanan atau keagamaan, karena di Indonesia tidak hanya
memiliki satu agama saja yaitu agama Islam, melainkan banyak agama yang ada di
Indonesia, oleh karena itu setiap manusia yang ada di Indonesia diberikan
kesempatan untuk memeluk agamanya masing-masing, dalm hal ini, pemeluk agama
Islam, bagaimana yang ditafsirkan dalam sila pertama Pancasila bahwasanya dijamin
untuk melakukan pelaksanaan syari‘at yang diajarkan oleh agama Islam, yang
diistilahkan dengan nilai adil dan beradab. Kata wajib dalam pelaksanaan Syari‘at
yang diajarkan oleh Islam Pancasila menafsirkan bahwasanya kewajiban religius dan
9 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Ed. 1, Cet. 5, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 1.
10 Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang, (Jakarta: Sinar Grafinda,
2011), hlm. 17.

8
kewajiban moril tertanam dan meresap pada sanubari setiap orang, sesuai dengan
keadilan dan keadaban sebagaimana yang diajarkan oleh Negara Indonesia.11
Landasan ini adalah dasar filsafat atu pandangan, atau ide yang menjadi dasar
cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu
rencana atau draf peraturan Negara. Falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa
tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Hal ini bertujuan
supaya nilai filosofi bangsa tersebut tidak bertentangan dengan kaidah hukum dan
norma yang ada dalam bangsa tersebut. Bahwasanya kedudukan Pancasila
dalam Qanun Aceh merupakan sebagai sumber hukum yang menjadi Filosofi Qanun
Aceh yang sebagai upaya pengharmonisasian antara Peraturan nasional
dengan Qanun Aceh yang berlaku hanya di Aceh.
Kedudukan Pancasila sebagai landasan filosofi dalam Qanun Aceh merupakan
norma hukum yang di cita-citakan oleh masyarakat. Qanun dapat dijadikan sebagai
keinginan kolektif masyarakat Aceh dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari,
dengan melalui pelaksanaan Qanun diharapkan masyarakat Aceh bisa merasakan
hukum yang dicita-citakan selama ini. Adapun dasar pembentukan Qanun Aceh
adalah berdasarkan filosofi yaitu keberadaan masyarakat Aceh yang meyakini
keberadaan bumi ini tidak terlepas dari aturan-aturan (hukum) yang ditetapkan oleh
Allah SWT. Dalam tatanan hidup bernegara di Indonesia hal ini dengan  jelas diatur
dalam Pancasila yang sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pada itu,
keberadaan Qanun Aceh di Negara Kesatuan Indonesia adalah merupakan kesadaran
masyarakat Aceh sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang telah
disebutkan dalam sila pertama Pancasila, dan oleh karena itu pula adanya pengakuan
terhadap Qanun Aceh sebagai peraturan dalam melaksanakan Syari‘at Islam.12

C. Landasan Yuridis Dalam Berlakunya Syari’at Islam Di Aceh


Menurut bahasa, Yuridis dapat juga diartikan Rechtens yang berarti segala hal
yang berdasarkan hukum, menurut hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan
yuridis adalah segala bukti yang yuridis atau berdasarkan hukum yang bersifat
mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan. Yang

11 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada2005), hlm.
70.
12 Notonagoro, Pantjasila Setjara Ilmiah Populer, (Jakarta: Pantujuran Tudjuh, 1971), hlm. 73.

9
menjadi permasalahan dari landasan Yuridis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di
Aceh itu sendiri. UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar
yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh
melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga
dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat.
Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya hampir sama
sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun
1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan
hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan
hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat formalisasi
syariát Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah berbagai
aturan syariát Islam dapat ditegakkan dalam kehiupan bermasyarakat dan berbangsa.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah merumuskan materi Qanun yang sesuai
dengan semangat sosiologis yang dikandung syariát.13
Dari beberapa Qanun yang pernah dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam
kelihatannya belum seluruhnya mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka
kontekstual. Klausul yang dirumuskan dalam Qanun masih sangat normatif
sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh klasik dan kering dengan nuansa
sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa
pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi pemikiran hukum Islam di
Aceh hari ini.
Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariát
Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan bahwa orang Islam yang
melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh. Ancaman pidana yang
dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara komprehensif melihat konteks
sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariátkan. Akibatnya, Qanun No 11 Tahun
2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama di

13 Fairus M.,Nur Lbr, Syariat di Wilayah Syariat Pernik-Pernik Islam di Nanggroe Aceh


Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2002), hlm. 29.

10
Aceh. Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata hukuman bunuh bagi orang
Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan peristiwa orang Islam yang
keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh (desertir). Jadi, ancaman bunuh
bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari Islam, akan tetapi karena ada unsur
desertirnya. Al-Qurán mengakui adanya kebebasan beragama, dan menghargai orang
yang berbeda agama.
Dalam perjalanan perumusan materi Qanun NAD kadang-kadang terasa masih
ada keinginan untuk mengadopsi aturan fiqh tanpa memperhatikan aspek-aspek
sosial dan humanistis. Padahal Qanun ini akan diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Padangan yang menginginkan adopsi aturan fiqih tanpa filter, ternyata
telah melahirkan Qanun yang kurang memiliki daya ikat sosial yang tinggi.14

D. Eksitensi Syariat Islam Di Aceh


Eksistensi Syariat Islam di Aceh dikarenakan dalam sejarahnya yang cukup
panjang, masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam
telah menjadi bagian dari kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta
memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi.
Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya   Aceh yang
tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut lahir dari renungan para ulama,
kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan dalam kehidupan
masyarakat (hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat), yang kemudian
diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak
Syiah Kuala Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”, yang
artinya “Hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan
ulama”.Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syariat Islam dalam
praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Kemudian Aceh dikenal sebagai
Serambih Mekkah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum muslimin dari
wilayah lain di Nusantara berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun
Islam yang kelima. Untuk itu, maka perlu dibentuknya suatu dinas yang bertugas

14 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm. 31.

11
melaksanakan penyelenggaraan Syariat Islam dalam suatu susunan organisasi dan
tata kerja Dinas Syariat Islam.

E. Esensi Syariat Islam Di Aceh


syariat Islam bukanlah hal baru, karena sejatinya masyarakat Aceh telah
menerapkan syariat Islam sejak Islam pertama sekali masuk dan berkembang di
Aceh. Syariat Islam sudah diterapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan.
Dalam penerapannya Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa
harus meminta persetujuan dari penguasa.. Masyarakat Aceh sangat menjunjung
tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat menjalankan Syariat Islam.
Penerapan  Syariat Islam tersebut berlandaskan pada hukum Al-Qur’an dan Hadist
yang telah mengatur segala aspek dari hal-hal yang telah diwajibkan dan dilarang
Allah SWT. seperti kewajiban dalam aspek beribadah, beraqidah, berakhlaktul-
karimah, membela Islam jika terdapat individu atau sekelompok individu
melecehkan agama Islam. Adapun larangannya seperti berzina, berjudi, membunuh,
minum-minuman keras, mencuri, yang bagi pelanggarnya mendapatkan hukuman
sesuai dengan perbuatannya atau di denda seperti hukuman rajam bagi pelaku zina
dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan.        
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang
bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan
polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap
pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.

F. Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh


1. Pilar Pelaksanaan Syariat Islam
Untuk mempercepat pelaksanaan syariat Islam Prof.Dr.Al-yasa Abu Bakar,M.A
sebagai kepala dinas Syariat Islam pertama bersama Kabag Litbang dan program
Dinas Syariat Islam yaitu Drs.M.Saleh Suhaidi (Alm) membuat program Lima
sasaran utama pelaksanaan syariat islam di Aceh.Lima Pilar Pelaksanaan Syariat
Islam adalah :
a. Menghidupkan meunasah
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan pilar
budaya,terdapat satu lembaga yang di namakan dengan meunasah,sebagai simbol

12
masyarakat Aceh. pada setiap kampung  atau lingkungan yang berdekatan senantiasa
dijumpai uatu bangunan meunasah yang bentuknya sama dengan rumah kediaman
biasa. Namun tanpa dilengkapi dengan jendela,lorong,atau sekatan-sekatan. Bentuk
dan kondisi meunasah semacam itu pada kurun sekarang ini mungkin sudah sedikit
dan kondisi sudah jauh berbeda mengikuti arus kemajuan zaman.
b. Pemberdayaan zakat
Wujud dari  pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul mal pada tingkat
Kampung,Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat kampung di
fokuskan pada hasil pertanian kampung dan usaha-usaha pada tingkat kampung,
sedang sumber zakat Baitul mal Kabupaten adalah dari hasil perdagangan dan usaha
pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk sumber zakat Baitul mal Provinsi adalah
dari perusahaan  yang bergerak pada level provinsi.

c. Lingkungan kantor dan sekolah yang islami


semenjak adanya program ini setiap kantor atau sekolah sudah memiliki tempat
shalat zuhur berjamaah. Program yang berhubungan dengan kantor dan sekolah ini,
termasuk pada kewajiban memakai pakaian islami. Sehingga dikatakan dalam
qanun : setiap kepala kantor atau pemimpin bertanggung jawab terhadap pakaian
yang di gunakan pegawainya. Demikian juga halnya dengan sekolah, setiap orang
yang terlibat dalam proses belajar mengajar berkewajiban memakai pakaian
islami,mungkin juga bisa kita katakan bahwa adanya ‘’ kantin kejujuran’’ pada saat
ini sekolah-sekolah adalah dalam rangka menciptakan sekolah yang islami.
Implementasi beberapa qanun yang telah ditetapkan mengarah pada perubahan
di nyatakan secara tertulis atau tidak tertulis di antaranya yaitu :      
a. Budaya Shalat Berjamaah
b. Budaya berpakaian islami
c. Budaya menggalakkan syari’at islam
d. Budaya baca doa dan surat-surat pendek
e. Budaya shalat sunat khusuf dan kusuf
f. Budayashalat sunah istisqa’
g. Budaya shalat sunah tasbih
h. Budaya sujud syukur dan sujud tilawah (sujud sajadah)

13
i. Budaya salam dan berjabat tangan
j. Budaya libur sekolah

d. Pengawasan pelaksanaan syariat islam


Di bentuknya lembaga Wilayatul Hisbah (WH) yang berfungsi untuk
mensosialisasikan dan mengawasi pelaksanaan syariat islam. Pada awalnya lembaga
ini berada di bawah Dinas Syariat Islam,tetapi sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun
2006 tentang pemerintahan Aceh Wilayatul Hisbah bergabung dengan lembaga
Satpol PP,kedua lembaga yang sekarang sudah bergabung menjadi satu dan
mempunyai kewenangan yang berbeda.
Wilayatul Hisbah (WH) berwenang mengawasi pelaksanaan qanun-qanun
Syariat Islam, Satpol PP berwenang mengawasi perda atau qanun non Syariat.

e. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah


     Berlakunya syariat islam di Aceh di tandai dengan perubahan nama Peradilan
Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah. Perubahan nama itu turut memperluas
kewenangannya,yang selama ini hanya berhubungan dengan pelaksanaan hukum
keluarga tetapi sekarang menjadi lebih luas dengan cakupan hukum jinayah dan juga
mu’amalah. Dalam tatanan hukum di Indonesia perubahan ini sangat luar biasa
karena perubahannya berkaitan dengan perluasan kewenangan mahkamah
syar’iyah,berarti membatasi kewenangan  Pengadilan Negeri.

2. Fungsi pilar pelaksanaan syari’at islam di Aceh


a. Sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur diri dan
masyarakat
b. Alat penyeimbang antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat
dalam diri manusia.
c. Alat mendidik manusia menjadi suci lahir bathin.sayriat turun menuntun dan
membimbing manusia untuk membersihkan diri agar ia mampu membaca arti
sebuah kehidupan. Karena itulah,kebahagiaan abadi hanya dapat di gapai oleh
manusia yang bersih.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa, landasan Historis terdiri atas dua suku kata
yaitu Landasan dan Historis. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia kata
Landasan berasal dari kata landas yang berakhiran an yang berarti alas, dasar, paron,
besi yang menempa, bukti (keterangan) untuk menguatkan suatu keterangan. 15
Sedangkan kata Historis diambil dari kata plural (jamak) bahasa inggris History yang
berarti segala hal yang berkenaan dengan sejarah dan masa lalu. 16 Jadi, dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa landasan historis adalah segala bukti
sejarah yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu
permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan historis ini adalah
pelaksaan Syari’at Islam di Aceh.
Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah
disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya
lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Nilai-
nilai Islami memang telah mendarahdaging dalam masyarakat Aceh. Karenanya,
meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang
dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam negara Kesatuan
Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya tetap
bersendikan pada syariat Islam.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma dasar
Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena dari
Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam Sebagai
Asas Pembentukan Qanun di Aceh. Karena setiap Negara didirikan atas dasar
falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.
15 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), hlm.658.
16 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Ed. II, (Jakarta: Modern English
Press, 1986), , hlm. 879.

15
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat
bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh
melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga
dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat.
Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya hampir sama
sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun
1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan
hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan
hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

B. Saran
Dalam makalah ini penulis sarankan kepada para pembaca untuk mempelajari
landasan dalam berlakunya syari’at Islam dengan begitu dapat menambah wawasan
kita dalam mengetahui agama Islam di Aceh sehingga dapat menambah rasa bangga
kepada agama Islam yang kita anut ini.

DAFTAR PUSTAKA

16
Ahmad, Zakaria. 2008. Sejarah Perlawanan Aceh Terhadap Kolonialisme dan
Imperalisme, Banda Aceh: Yayasan PENA.

Widyanto, Anton. 2007. Menyorot Nanggroe. Banda Aceh: Yayasan PENA dan Ar-
Raniry Press.

Poerwadarminta, W.J.S. 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III,


Jakarta: Balai Pustaka.

Salim, Peter. 1986. The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Ed. II,


Jakarta: Modern English Press.

Ishaq, Abu. 2004. Sekilas Sejarah Di Balik Aceh. Banda Aceh: Al Ba’dawi.

Zakaria, Taufik. 2004. Politik Syariat Islam, Dari Indonesia Hingga Nigeria, Cet.I.


Jakarta: Pustaka Alvabet.

A. Muchsin, Misri. 2007. Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah. Banda Aceh: Ar-
Raniry Press..

Asy Syiddiq, Muhammad. 2009. Islam dan Masyarakat Aceh. Banda Aceh: PENA.

Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum, Ed. 1, Cet. 5. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Syamsuddin, Aziz. 2011. Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang. Jakarta:


Sinar Grafinda.

Huda, Ni‟matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Notonagoro. 1971. Pantjasila Setjarah Ilmiah Populer. Jakarta: Pantujuran Tudjuh.

M. Nur , Fairus. 2002.Syariat di Wilayah Syariat Pernik-Pernik Islam di Nanggroe


Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam.       

Ka’bah, Rifyal. 2004. Penegakan Syariat islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan.

17

Anda mungkin juga menyukai