ISLAM DI ACEH
Di
S
U
S
U
N
Oleh:
NAMA KELOMPOK
NURUL FAIZA
RISKA
1
Alhamdulillahhirabbila’lamin, puji syukur diucapkan kehadiran
Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia serta nikmat-
Nya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Karya ilmiah ini yang
berjudul “Landasan Berlakunya Syariat Islam Di Aceh” .Tak lupa
shalawat serta salam kami ucapkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat sahabat, dan para pengikut beliau
hingga akhir zaman. Kami sebagai penulis menyadari dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan
dalam penulisan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang besifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................. 4
A. Latar Belakang Masalah....................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................ 5
C. Tujuan Pembahasan...................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN................................................... 6
A. Landasan Historis Dalam Berlakunya Syari’at Di Aceh....................... 6
B. Landasan Filosofis Dalam Berlakunya Syari’at Di Aceh...................... 7
C. Landasan Yuridis Dalam Berlakunya Syari’at Islam Di Aceh................ 9
D. Eksitensi Syariat Islam Di Aceh.................................................................. 11
E. Esensi Syariat Islam Di Aceh....................................................................... 12
F. Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh............................................................. 12
Daftar Pustaka........................................................... 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
tersebut maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya implementasi syari’at islam
secara kaffah memang tidak bisa dilaksanakan dengan secara instan.2
Ada berbagai macam Landasan-landasan dalam menerapkan syari’at islam di
tanah rencong ini. Landasan-landasan ini pula yang yang akan berpengaruh terhadap
perkembangan dan proses pemberian nilai-nilai islam yang positif dalam pribadi
masyarakat Aceh itu sendiri. Oleh karena itu, landasan-landasan tersebut sangat
penting dipelajari agar terciptanya rasa peduli terhadap agamanya sendiri yang telah
dijunjung tinggi dan diperjuangkannya selama ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari landasan historis dan bagaimakah landasan historis
dalam berlakunya syari’at islam di Aceh?
2. Apa pengertian dari landasan filosofis dan bagaimakah landasan filosofis
dalam berlakunya syari’at islam di Aceh?
3. Apa pengertian dari landasan yuridis dan bagaimakah landasan yuridis dalam
berlakunya syari’at islam di Aceh?
4. Jelaskan Esensi Syariat Islam Di Aceh?
5. Jelaskan Eksitensi Syariat Islam Di Aceh?
6. Jelaskan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh?
C. Tujuan Pembahasan
Yang menjadi tujuan dari pembahasan makalah ini adalah
1. Untuk memahami pengertian dari landasan historis dan bagaimakah landasan
historis dalam berlakunya syari’at islam di Aceh.
2. Untuk memahami pengertian dari landasan filosofis dan bagaimakah
landasan filosofis dalam berlakunya syari’at islam di Aceh.
3. Untuk memahami pengertian dari landasan yuridis dan bagaimakah landasan
yuridis dalam berlakunya syari’at islam di Aceh.
4. Untuk mengetahui Esensi Syariat Islam Di Aceh
2 Anton Widyanto, Menyorot Nanggroe, (Banda Aceh: Yayasan PENA dan Ar-Raniry Press, 2007),
hlm. 4
5
5. Untuk mengetahui Eksitensi Syariat Islam Di Aceh?
6. Untuk mengetahui Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh?
BAB II
PEMBAHASAN
6
dan adat-istiadat masyarakat Aceh, Islam dijadikan sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, Islam telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Mereka amat tunduk kepada ajaran Islam dan sangat memperhatikan fatwa-fatwa
dari para ulama karena mereka menganggap ulama adalah ahli waris dari nabi. 5 inilah
bukti kenapa para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal
memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk
menetapkan suatu kebijakan.6
Sebagaimana diketahui Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah
seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat
lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat
Islam secara kaffah. Aceh dalam sejarahnya yang panjang, juga memiliki pasang
surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri Aceh, menurut komentar-
komentar pengkaji, memiliki masyarakat yang unik, misalnya disebutkan heroic,
berani, ulet, tanpa mengenal menyerah dan malah ada yang menyebutkan dengannya
dengan sebutan Moorden. Julukan yang terakhir bermakna kegilaan, yang disebutkan
oleh seorang jurnalis Belanda, RA. Kern. Masyarakat aceh menurutnya memilliki
sifat-sifat kegilaan, suka membuang nyawa atau suka mati atau suka mati dengan
melakukan penyerangan terhadap orang-orang belanda yang siaga dengan
persenjataan mereka yang lengkap demi membela agama 7 mereka dan tanah airnya,
padahal mereka tidak memiliki senjata yang berarti untuk mengimbangi senjata
lawan (Belanda). Nilai-nilai Islami memang telah mendarah-daging dalam
masyarakat Aceh. Karenanya, meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap
proklamasi yang dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam
negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata
pemerintahannya tetap bersendikan pada syariat Islam. 8
5 Abu Ishaq, Sekilas Sejarah Di Balik Aceh, (Banda Aceh: Al Ba’dawi, 2004), hal. 12.
6 Taufik Zakaria, Politik Syariat Islam, Dari Indonesia Hingga Nigeria, Cet.I, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2004), hlm. 15.
7 Misri A. Muchsin, Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007),
hlm. 1.
8 Muhammad Asy Syiddiq, Islam dan Masyarakat Aceh, (Banda Aceh: PENA, 2009), hlm. 14
7
Secara Bahasa, Kata filsafat berasal dari kata dalam bahasa Yunani Filosofia,
yang berasal dari kata kerja Filosofien yang berarti mencintai kebijaksaan. Kata
tersebut juga berasal dari kata dalam bahasa Yunani Philosophis yang berasal dari
kata Philein yang berarti mencintai, atau Philia yang berarti cinta, dan
kata Sophia yang berarti kearifan atau kebijaksaan. Dari kata tersebut lahirlah kata
inggris Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Menurut Al
Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segalanya
yang ada (al ilm bil maujudat bi ma hiya al maujudat). 9 Jadi, dapat disimpulkan
bahwa landasan filosofis adalah segala bukti filosofis yang bersifat mendukung dan
dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan. Yang menjadi
permasalahan dari landasan filosofis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di Aceh.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma dasar
Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena dari
Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam Sebagai
Asas Pembentukan Qanun di Aceh. Karena setiap Negara didirikan atas dasar
falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.10
Keberadaan Pancasila dalam Qanun Aceh nerupakan pelaksanaan Pancasila yang
terdapat isi Qanun tersebut, karena sila pertama tersebut mengandung sisi mutlak,
bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada tempat bagi
pertentangan dalam hal ketuhanan atau keagamaan, karena di Indonesia tidak hanya
memiliki satu agama saja yaitu agama Islam, melainkan banyak agama yang ada di
Indonesia, oleh karena itu setiap manusia yang ada di Indonesia diberikan
kesempatan untuk memeluk agamanya masing-masing, dalm hal ini, pemeluk agama
Islam, bagaimana yang ditafsirkan dalam sila pertama Pancasila bahwasanya dijamin
untuk melakukan pelaksanaan syari‘at yang diajarkan oleh agama Islam, yang
diistilahkan dengan nilai adil dan beradab. Kata wajib dalam pelaksanaan Syari‘at
yang diajarkan oleh Islam Pancasila menafsirkan bahwasanya kewajiban religius dan
9 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Ed. 1, Cet. 5, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 1.
10 Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang, (Jakarta: Sinar Grafinda,
2011), hlm. 17.
8
kewajiban moril tertanam dan meresap pada sanubari setiap orang, sesuai dengan
keadilan dan keadaban sebagaimana yang diajarkan oleh Negara Indonesia.11
Landasan ini adalah dasar filsafat atu pandangan, atau ide yang menjadi dasar
cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu
rencana atau draf peraturan Negara. Falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa
tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Hal ini bertujuan
supaya nilai filosofi bangsa tersebut tidak bertentangan dengan kaidah hukum dan
norma yang ada dalam bangsa tersebut. Bahwasanya kedudukan Pancasila
dalam Qanun Aceh merupakan sebagai sumber hukum yang menjadi Filosofi Qanun
Aceh yang sebagai upaya pengharmonisasian antara Peraturan nasional
dengan Qanun Aceh yang berlaku hanya di Aceh.
Kedudukan Pancasila sebagai landasan filosofi dalam Qanun Aceh merupakan
norma hukum yang di cita-citakan oleh masyarakat. Qanun dapat dijadikan sebagai
keinginan kolektif masyarakat Aceh dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari,
dengan melalui pelaksanaan Qanun diharapkan masyarakat Aceh bisa merasakan
hukum yang dicita-citakan selama ini. Adapun dasar pembentukan Qanun Aceh
adalah berdasarkan filosofi yaitu keberadaan masyarakat Aceh yang meyakini
keberadaan bumi ini tidak terlepas dari aturan-aturan (hukum) yang ditetapkan oleh
Allah SWT. Dalam tatanan hidup bernegara di Indonesia hal ini dengan jelas diatur
dalam Pancasila yang sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pada itu,
keberadaan Qanun Aceh di Negara Kesatuan Indonesia adalah merupakan kesadaran
masyarakat Aceh sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang telah
disebutkan dalam sila pertama Pancasila, dan oleh karena itu pula adanya pengakuan
terhadap Qanun Aceh sebagai peraturan dalam melaksanakan Syari‘at Islam.12
11 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada2005), hlm.
70.
12 Notonagoro, Pantjasila Setjara Ilmiah Populer, (Jakarta: Pantujuran Tudjuh, 1971), hlm. 73.
9
menjadi permasalahan dari landasan Yuridis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di
Aceh itu sendiri. UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar
yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh
melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga
dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat.
Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya hampir sama
sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun
1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan
hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan
hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat formalisasi
syariát Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah berbagai
aturan syariát Islam dapat ditegakkan dalam kehiupan bermasyarakat dan berbangsa.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah merumuskan materi Qanun yang sesuai
dengan semangat sosiologis yang dikandung syariát.13
Dari beberapa Qanun yang pernah dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam
kelihatannya belum seluruhnya mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka
kontekstual. Klausul yang dirumuskan dalam Qanun masih sangat normatif
sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh klasik dan kering dengan nuansa
sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa
pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi pemikiran hukum Islam di
Aceh hari ini.
Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariát
Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan bahwa orang Islam yang
melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh. Ancaman pidana yang
dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara komprehensif melihat konteks
sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariátkan. Akibatnya, Qanun No 11 Tahun
2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama di
10
Aceh. Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata hukuman bunuh bagi orang
Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan peristiwa orang Islam yang
keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh (desertir). Jadi, ancaman bunuh
bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari Islam, akan tetapi karena ada unsur
desertirnya. Al-Qurán mengakui adanya kebebasan beragama, dan menghargai orang
yang berbeda agama.
Dalam perjalanan perumusan materi Qanun NAD kadang-kadang terasa masih
ada keinginan untuk mengadopsi aturan fiqh tanpa memperhatikan aspek-aspek
sosial dan humanistis. Padahal Qanun ini akan diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Padangan yang menginginkan adopsi aturan fiqih tanpa filter, ternyata
telah melahirkan Qanun yang kurang memiliki daya ikat sosial yang tinggi.14
14 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm. 31.
11
melaksanakan penyelenggaraan Syariat Islam dalam suatu susunan organisasi dan
tata kerja Dinas Syariat Islam.
12
masyarakat Aceh. pada setiap kampung atau lingkungan yang berdekatan senantiasa
dijumpai uatu bangunan meunasah yang bentuknya sama dengan rumah kediaman
biasa. Namun tanpa dilengkapi dengan jendela,lorong,atau sekatan-sekatan. Bentuk
dan kondisi meunasah semacam itu pada kurun sekarang ini mungkin sudah sedikit
dan kondisi sudah jauh berbeda mengikuti arus kemajuan zaman.
b. Pemberdayaan zakat
Wujud dari pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul mal pada tingkat
Kampung,Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat kampung di
fokuskan pada hasil pertanian kampung dan usaha-usaha pada tingkat kampung,
sedang sumber zakat Baitul mal Kabupaten adalah dari hasil perdagangan dan usaha
pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk sumber zakat Baitul mal Provinsi adalah
dari perusahaan yang bergerak pada level provinsi.
13
i. Budaya salam dan berjabat tangan
j. Budaya libur sekolah
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa, landasan Historis terdiri atas dua suku kata
yaitu Landasan dan Historis. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia kata
Landasan berasal dari kata landas yang berakhiran an yang berarti alas, dasar, paron,
besi yang menempa, bukti (keterangan) untuk menguatkan suatu keterangan. 15
Sedangkan kata Historis diambil dari kata plural (jamak) bahasa inggris History yang
berarti segala hal yang berkenaan dengan sejarah dan masa lalu. 16 Jadi, dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa landasan historis adalah segala bukti
sejarah yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu
permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan historis ini adalah
pelaksaan Syari’at Islam di Aceh.
Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah
disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya
lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Nilai-
nilai Islami memang telah mendarahdaging dalam masyarakat Aceh. Karenanya,
meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang
dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam negara Kesatuan
Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya tetap
bersendikan pada syariat Islam.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma dasar
Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena dari
Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam Sebagai
Asas Pembentukan Qanun di Aceh. Karena setiap Negara didirikan atas dasar
falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.
15 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), hlm.658.
16 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Ed. II, (Jakarta: Modern English
Press, 1986), , hlm. 879.
15
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat
bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh
melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga
dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat.
Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya hampir sama
sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun
1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan
hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan
hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
B. Saran
Dalam makalah ini penulis sarankan kepada para pembaca untuk mempelajari
landasan dalam berlakunya syari’at Islam dengan begitu dapat menambah wawasan
kita dalam mengetahui agama Islam di Aceh sehingga dapat menambah rasa bangga
kepada agama Islam yang kita anut ini.
DAFTAR PUSTAKA
16
Ahmad, Zakaria. 2008. Sejarah Perlawanan Aceh Terhadap Kolonialisme dan
Imperalisme, Banda Aceh: Yayasan PENA.
Widyanto, Anton. 2007. Menyorot Nanggroe. Banda Aceh: Yayasan PENA dan Ar-
Raniry Press.
A. Muchsin, Misri. 2007. Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah. Banda Aceh: Ar-
Raniry Press..
Huda, Ni‟matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
17