Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIKIH MUAMALAH KONTEMPORER

Tentang

“ISTIHSAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM EKONOMI


SYARIAH DAN KEUANGAN KONTEMPORER”

Dosen Pengampu :

Ust. SUHADI, S.E.I

DISUSUN:

Nama : M. SAIFUL FALAH

NIMKO : (2018 21 0007 )

Prodi : Hukum Ekonomi Syariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )


AS-SHIDDIQIYAH
TAHUN AKADEMIK 2019
JL. Lintas Timur Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sum-Sel
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih, lagi maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, karena atas hidayah
dan innayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Istihsan”
ini.
Makalah ini telah kami tulis dengan maksimal berdasarkan sumber referensi
yang kami dapatkan. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kamidapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Lempuing Jaya, Oktober 2019
Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi dan Dasar Istihsan........................................................................ 3
B. Klasifikasi Istihsan sebagai Metode Ijtihad .............................................. 5
C. Pandangan Fukaha tentang Otoritas Istihsan ............................................ 6
D. Aplikasi Istihsan dalam Masalah Ekonomi dan Keuangan Syariah ....... 7

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................. 11
B. Saran............................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sumber hukum islam yang disepakati ulama adalah al Qur’an, Hadits, Ijma,
Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian
masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas
dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu
pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang
terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar
demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada
kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan
sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak
heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro
konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi
terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang
merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat,
tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-
permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum
yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan karena
tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan
pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya
memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada
masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ek onomi,
budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak
bertentangan dengan syariat agama.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal
itu terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak
ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan

1
sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan
kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu
dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan
dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui
permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan
sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak
menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah
ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-
perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada
ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan
Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya
dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama
lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode berijtihad oleh para
ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan
berijtihad dengan Istihsan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi dari istihsan?
2. Ada berapakah klasifikasi istihsan sebagai metode ijtihad?
3. Bagaimana pandangan fukaha tentang otoritas istihsan?
4. Apa saja aplikasi istihsan dalam masalah ekonomi dan keuangan
syariah?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI DAN DASAR ISTIHSAN


Istihsan dari segi bahasa ialah: berasal dari kata kerja bahasa Arab ‫استحسان‬.
yang berarti memperhitungkan dan meyakini sesuatu itu baik, atau mengikuti
sesuatu yang baik menurut perasaan dan fikiran.

َ ‫سنًا َوهُ ََو ُمشتَقَ ِمنَ َح‬


“ََ‫سن‬ َ ‫عدَالشَي ََء َح‬
َ ”
Artinya: “Sesuatu yang dianggap baik, istihsan itu berasal dari kata
“hasana” yang berarti baik atau indah.
Secara etimologis, istihsan mengandung arti “mencari yang lebih baik”.
Adapun pengertian istihsan menurut terninologis dapat analisis dari definisi
yang dikemukakan para ahli ushul berikut:
Menurut al-Syarakhsi dari Mazhab Hanafiyah:
 Istihsan adalah berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi
sesuatu masalah yang diperintahkan untuk dilaksanakan.
 Istihsan adalah meninggalkan qiyas dan menggunakan yang lebih kuat
dari padanya, karena adanya dalil yang menghendaki dan lebih sesuai
untuk merealisasikan kemaslahatan manusia.
Menurut Ibnu Subki dari Mazhab Syafi’iyah:
 Istihsan adalah beralihnya dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang
lebih kuat daripadamya (qiyas pertama).
 Istihsan adalah beralihnya suatu dalil kepada adat kebiasaan karena
suatu kemaslahatan.
Menurut al-Syatibi dari Mazhab Malikiyyah:
 Ihtisan adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’I sebagai
pengganti dalil yang bersifat kulli.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf dari ulama kontemporer:
 Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas
jali (jelas) kepada ketentuan qiyas khafi (samar), atau dari ketentuan
yang umum (kulli) kepada ketentuan hukum yang sifatnya khusus

3
(juz’i), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil yang lebih
kuat yang menghendaki perpindahan dimaksud.
Berdasarkan definisi diatas, bahwa istihsan berkisar pada dua hal: pertama,
bahwa istihsan merupakan perpindahan atau meninggalkan ketentuan qiyas yang
jelas kepada ketentuan qiyas yang samar-samar (tersembunyi) karena ada alasan
kuat yang menghendakinya. Kedua, bahwa istihsan juga meninggalkan ketentuan
kulliy dan mengamalkan ketentuan yang juz’i (khusus) sebagai pengecualian dari
ketentuan kulliy, atau mengkhususkan qiyas karena ada alasan dalil yang lebih
kuat.
Dari rumusan definisi tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa
istihsan, yaitu adanya dua pilihan atas salah satu dari dua ‘illat yang tingkat
kekuatannya tidaksama. Tingkat kekuatan yang dimaksud di sini yaitu ada yang
jelas dan ada yang tersembunyi. Sebagian ulama memilih ‘illat yang tersembunyi,
karena pertimbangan khusus. Ulama Hanafiah menanamkan istihsan semacam ini
dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi, sementara ulama-ulama pendukung
Mazhab Malikiyah menanamkannya mashalih al-mursalah.
Dasar yang dijadikan sandaran istihsan adalah dalil dari Al-Qur’an dan
sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti firman allah SWT dalam QS.al-Zumar [39]: 18.
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.

Ayat lain, artinya:


Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. (QS.az-Zumar [39]: 55).

Selain ayat, juga bersumber dari hadis yang artinya: “Apa yang dipandang
kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan
apa-apayang dipandang sesuatu yang buruk, maka di sisi Allah adalah buruk
pula”.

4
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan, di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan pemerintah ini dari hukum wajib.maka ini menunjukkan bahwa
istihsan adalah hujjah. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun
demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan ke-hujjah-an istihsan.

B. KLASIFIKASI ISTIHSAN SEBAGAI METODE IJTIHAD


Sebagai mana dijelaskan bahwa istihsan merupakan metode ijtihad yang
dipegangi oleh kalangan Mazhab Hanafiyah. Istihsan sebagai metode ijtihad dapat
dibagi menjadi enam bagian sebagai berikut:
1. Istihsan bi an-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadis). Yaitu
peralihan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada
ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan
berdasarkan teks Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya, tentang jual beli
salam (pesanan) dan masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat
itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang
berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak bercakap lagi, yaitu
setelah ia wafat.
2. Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan kepada ijma’) yaitu
meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan
karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu
peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang
ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa
yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-
dasar pokok yang telah ditetapkan. Misalnya,dalam kasus pemandian
umum.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum
qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi
keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan. Misalnya,
dalam waqaf lahan pertanian.

5
4. Istishan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses
pengobatan.
5. Istihsan bi al-‘urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum). Yaitu peralihan hukum yang berlawanan dengan ketentuan
qiyas, karena adanya ‘urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal
dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita
untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan,minum,
dan pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan kondisi darurat). Yaitu
seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas
sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan
mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk
memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudaratan. Misalnya,
dalam kasus sumur yang kemasukan najis.

C. PANDANGAN FUKAHA TENTANG OTORITAS ISTIHSAN


Para fukaha yang menggunakan istihsan adalah imam Abu Hanifah, Imam
Malik dan sebagian pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Argumentasi mereka
adalah penelitian terhadap beberapa peristiwa hukum dan ketentuan hukumnya
yang membuktikan bahwa terus-menerusnya berlaku ketetapan qiyas,
berkelanjutannya ketetapan umum dan menyeluruhnya ketetapan kulli, kadang-
kadang membawa hilangnya maslahat dan sebaliknya akan membawa mafsadat.
Menurut al-Syatibi, istihsan yang telah dipakai oleh imam mazhab bukanlah
semata-mata didasarkan pada logika murni dan mengikuti hawa nafsu, tetapi
sebenarnya semuanya dikembalikan kepada maksud syara’ yang umum dalam
peristiwa-peristiwa yang dikemukakan yang sifatnya kontekstual demi
terwujudnya maqashid syari’ah. Sebagai contoh dibolehkannya memeriksa aurat
tubuh untuk kesehatan. Ini merupakan pengecualian dari kaidah umum yang
mengharamkannya.
Husain Hamid Hassan menjelaskan, bahwa dasar pemakaian istihsan
menurut imam Malik, kembali kepada teks dari dua segi: pertama, kaidah istihsan

6
merupakan kaidah yang diambil dari dalil syara’ dengan cara induksi yang
memberi faedah qath’i, bukan mengemukakan pendapat akal atau mengikuti hawa
nafsu semata. Kedua, kaedah istihsan, mujtahid kembali kepada dalil syara’ yang
diambil dari induksi nash-nash syariat. Ijma’ dan ‘’urf telah diakui ke-hujjah-
annya oleh nash syariat. Adapun maslahah mursalah bila dihapkan dengan qiyas
berarti beramal dengan nash-nash yang mendukung maslahat daripada qiyas.
Demikian pula Mazhab Hanafi memberi penjelasan tentang istihsan tidak
berbeda dengan Mazhab Malik. Al-Taftazani mengemukakan bahwa istihsan
merupakan suatu dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama karena istihsan
didasarkan kepada nash, ijma’ darurat, atau kepada qiyas khafi. Apabila
diperhatikan dari sandaran-sandaran istihsan, maka tampak jelas bahwa istihsan
yang sandarannya qiyas khafi sesungguhnya termasuk juga turuk istinbat dengan
qiyas. Oleh karena itu, di sini istihsan hanya mentarjih satu qiyas atau qiyas
lainnya. Dalam hal ini qiyas khafi memang diperlukan untuk menghindarkan diri
dari kejanggalan-kejanggalan hukum yang timbul akibat menerapkan qiyas jali
secara mutlak. Adapun qiyas yang sandarannya darurat dan raf’ul kharaj pada
hakikatnya aturan-aturan tersebut berkaitan erat dengan kemaslahatan. Dengan
demikian, hanya tinggal dua sandaran istihsan yaitu istihsan yang sandarannya al-
‘adah al-sahihah dan istihsan yang sandarannya kemaslahatan.

D. APLIKASI ISTIHSAN DALAM MASALAH EKONOMI DAN


KEUANGAN SYARIAH
Dalam pengembangan hukum ekonomi syariah istihsan sangat strategis
perannya. Hal ini karena metode ini memiliki daya kepekaan yang tinggi terhadap
perubahan sosial masyarakat dalam kehidupan yang serba cepat dan canggih.
Berikut ini aplikasi metode istihsan dalam merespon perkembangan transaksi
bisnis dan keuangan syariah kontemporer.
1. Pembiayaan Salam Paralel
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan
dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah.
Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada

7
kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana.
Berdasarkan undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998.

Salam secara etimologis artinya pendahuluan, dan secara muamalah


adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai
persyaratan jual beli dan barang yang dibeli masih dalam tangguhan
penjual, di mana syaratnya ialah mendahulukan pembayaran pada
waktu akad. Secara terminologis, jual beli salam ialah menjual suatu
barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang
ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal
terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.
Barang pesanan harus jelas spesifikasinya. Spesifikasi barang pesanan
harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika barang
pesanan yang dikirim tidak sesuai dengan spesifik dalam akad. Maka
bank syariah akan mengembalikannya kepada penjual.

Akad salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi salam yaitu


antara pemesanan pembeli dan penjual serta antara penjual dengan
pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya. Hal ini terjadi ketika
penjual tidak memiliki barang pesanan dan memesan kepada pihak
lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut.

2. Jual Beli Via Vending Machine


Seperti yang diketahui bersama, bahwa di Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, di Departemen Store,, Supermarket, Café, Halte Bus,
sudanh banyak dilengkapi fasilitas Vending Machine sebagai alat atau
mesin untuk menjual barang secara otomatis.

Vending Machine sebagai alat menjual barang secara otomatis sangat


praktis. Karena mesin tersebut tidak membutuhkan tenaga operator
untuk menjual barang tersebut. Sementara pembeli dapat membelinya
sesuai dengan keinginannya dengan memasukkan sejumlah uang

8
sesuai harga barang yang ditetapkan, lalu menekan tombol pada
barang yang diinginkan, maka secara otomatis barang itu akan keluar
dengan sendirinya. Bahkan, jika uang yang membutuhkan uang
kembalian, mesin secara otomatis juga akan memberikan kembalian
secara otomatis pula.

Jual beli semacam ini, tidak membutuhkan ijab Kabul seperti akad
jual beli seperti biasanya. Akan tetapi, transaksi ini sudah
menunjukkan perelaan kedua pihak (pembeli/penjual). Untuk
melakukan transaksi tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan istihsan,
transaksi semacam ini dibolehkan berdasarkan kebiasaan (‘urf) yang
berkembang di masyarakat.

3. Jual Beli Istisna pada Bank Syariah


Istisna’ atau pemesanan secara bahasa berarti meminta dibuatkan.
Transaksi jual beli al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara
pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli.

Produk istisna menyerupai produk salam tetapi dalam istisna


pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali
pembayaran.

4. Istihsan Jual Beli Kredit (Bai’ Taqsith)


Bai’Taqsith sama dengan jual beli kredit atau disebut juga sebagai al-
bai’ bitsamanil ajil atau al-bai’ila ajal. Adapun definisinya adalah jual
beli secara cicilan dalam jangka waktu tertentu dimana harga kredit
lebih tinggi (bertambah) dari harga cash (naqd). Harga kredit 1 tahun
berbeda dengan harga 2 tahun, dan seterusnya.

9
5. Tawwaruq Muktiguna untuk Pembiayaan Produktif
Pembiayaan multiguna dapat menggunakan skim Tawarruq emas atau
bai’ al-wafa wal ijarah yang disebut dengan bai’ istighlal (lihat qanun
al-Majjalah al-ahkam al-adliyah). Mayoritas ulama menyetujui bai’
tawarruq, namun umar bin abdul aziz,ibnu Taymiyah dan ibnu
Qayyim memakruhkannya.
Kalau berpegang pada pendapat mayoritas ulama, maka penerapan
tawwaruq,tidak bermasalah. Namun jika berpegang pada pendapat
umar bin abdul aziz ibnu Taymiyah dan ibnu Qayyim, yang
kemakhrukannya, maka hal itu dapat dihilangkan dengan metode
istihsan.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum
yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
2. Sebagai metode ijtihad, istishan diklasifikasikan menjadi 6 bagian,
yaitu : berdasarkan ayat atau hadis, berdasarkan ijma’, berdasarkan
qiyas yang tersembunyi, berdasarkan kemaslahatan, berdasarkan adat
kebiasaan, dan berdasarkan kondisi darurat.
3. Pandangan fukaha tentang istishan dapat terbagi menjadi:
 Kelompok yang menerima istihsan (Mazhab Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah). Mereka berpandangan bahwa
istishan merupakan metode ijtihad yang dapat diterima dan
diaplikasikan dalam pengembangan hukum islam.
 Kelompok yang menolak istishan (Mazhab Syafi’iyah dan
Zahiriyah) mereka berpandangan bahwa istishan tidak
diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
4. Berikut ini aplikasi metode istishan dalam masalah ekonomi dan
keuangan syariah :
 Pembiayaan Salam Paralel
 Jual Beli Via Vending Machine
 Jual Beli Istisna pada Bank Syariah
 Jual Beli Kredit (Bai’ Taqsith)
 Tawarruq Multiguna untuk Pembiayaan Produktif.

B. SARAN
Diharapkan hukum-hukum fiqih islam terutama yang telah ditetapkan
melalui metode-metode istihsan alangkah baiknya diterapkan kedalam kehidupan
sehari-hari, agar memperoleh ridho dari Allah SWT. Namun sebelum
melakukannya kita juga harus melihat permasalahannya apakah sesuai dengan
syariat islam atau tidak.

11
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli H. A., Ilmu Fiqih,Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.

Mufid, Mohammad. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta:


Prenadamedia Group, 2016.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012.
Wahab Kalaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka
Amani, 2003.

https://islam.nu.or.id/post/read/99312/istihsan-dalam-konsep-ekonomi-syariah
Diakses Pada Tanggal 05 Oktober 2019 Pukul 19.00 WIB

https://kingilmu.blogspot.com/2015/08/fiqih-iqtishodi-istihsan-dalam-
ekonomi.html?m=1 Diakses Pada Tanggal 05 Oktober 2019 Pukul 19.45
WIB

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1184226231 Diakses Pada Tanggal 05


Oktober 2019 Pukul 20.00 WIB

12

Anda mungkin juga menyukai