Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
Jusnaedi
Nur Hidayat
Abdul Gafur
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir?
2. Bagaimana dasar hukum kaidah Al-masyaqqah Tajlib al-
Taisir?
3. Apa saja kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib al-
Taisir.
2. Untuk mengetahui dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib
al-Taisir.
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib
al-Taisir.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya :
2
Adapun secara istilah para ulama’, maka kaidah ini berarti :
Hukum-Hukum syar’i yang dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan
kepayahan serta kerumitan bagi seorang mukallaf (orang-orang yang di
beri beban syar’i), maka syariat islam meringankannya agar bisa di
lakukan dengan mudah dan ringan.1
Asal-usul kaedah ini adalah firman Allah SWT dalam surah Al-
Baqarah/ 2 : 185 yakni:
Artinya :
Artinya :
3
akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena
bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan
barang orang lain karena dipaksa.
4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada
waktu berpuasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, dalam hal
ini bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam
karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka
dia tidak dikenai sanksi. Seorang tidak tahu bahwa yang mewakilkan
kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak hukum, maka tindakan
hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang mewakilkan
kepadanya dalam keadaan mahjur ‘alaih (dilarang melakukan tindakan
hukum oleh hakim).
6. Umum al-Balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu,
barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada yang bukan
mahramnya demi untuk mengobati, sekadar yang dibutuhkan dalam
pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk
shalat.
7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Maisalnya, anak
kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum,
yang berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pemaaf, termasuk
di dalamnya keadaan terpaksa atau dipaksa.3
3
Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d
Al-Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.
4
dalam masyaqqah tersebut akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan
ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia di dalam
melaksanakan ibadah.4 Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa
kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan
tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi
masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:
4
‘Izzuddin, Juz II, hlm. 7.
5
Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d
Al-Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.
6
Muhammad al-Ruki, hlm. 2001.
5
1. Takhfif isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti
tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Atau
seperti tidak diwajibkannya haji bagi yang tidak mampu.
2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat
qashar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
3. Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu atau
mandi diganti dengan tayamum, atau berdiri pada waktu shalat wajib
diganti dengan duduk karena sakit.7
4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti
mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’
taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah
dalam perjalanannya.
5. Takfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, qadha puasa
Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang
dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan
minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak,
bisa membawa kematian.
7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang
dilakukan, seperti dalam keadaan perang boleh merubah tatacara
pelaksanaan shalat yang disebut shalat khauf.
7
Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d
Al-Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.
6
...اَل يُ َكلِّفُ هّٰللا ُ نَ ْفسًا اِاَّل ُو ْس َعهَا
هّٰللا
ٍ َما ي ُِر ْي ُد ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر...
...ج
7
صالَ ٍة ِ ق على أُ ًّمتِي أَل َ َمرْ تُهُ ْم بِا ال َّس َو
َ اك ِع ْن َد ُك ِّل َّ لَوْ الَ اَ ْن أ ُش
1.
ق األَ ْم ُر اِلتَّ َس َع َ اِ َذا
َ ضا
9
https://rumaysho.com/2988-kaedah-fikih-5-kesulitan-mendatangkan-kemudahan.html
10
Al-Suyuthi, hlm. 91.
8
tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan
puasa itu kembali pula. Oleh karena itu, muncul pula kaidah kedua:
2.
9
dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan
harganya. Demikian juga halnya dengan orang yang meminjam suatu
benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya
buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti
dengan harga buku tersebut dengan harga di pasaran.
3.
4.
10
halal), kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan
kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
5.
"Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.
Contohnya: seseorang berkata: “saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
Pak Bambang”. Padahal semua tahu bahwa anak Pak Bambang sudah
lama meninggal, yang ada hanyalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata
anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata
sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang
sudah meninggal dunia.
6.
7.
يُ ْغتَفَ ُرفِى ال َّد َو ِام َما الَ يُ ْغتَفَ ُر فِى ا ِال ْبتِدَا ِء
11
https://bahan-tugas-kita.blogspot.com/2017/05/cabang-kaidah-masyaqqah-tajlibu-al.html?
m=1
11
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan
pada permulaannya”.
8.
يُ ْغتَف ُر فِى ا ِال ْبتِدَا ِء َما الَ يُ ْغتَفَ ُر فِى ال َّد َو ِام
9.
يُ ْغتَفَ ُر فِى التَ َوابِ ِع َما الَ يُ ْغتَفَ ُر فِي َغي ِْرهَا
Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak tidak dimaafkan
pada yang lainnya”.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah ini juga dilandasi dengan dasar hukum Al-Quran dan Al-
Hadis, serta beberapa metode-metode atau cabang-cabang kaidah fiqhi
yang membuat ringan kesulitan kita. Maka, kita tidak bisa lagi mencari
alasan untuk tidak beribadah kepada Allah SWT. Karena semua ibadah
yang diperintahkan oleh Allah adalah ibadah ringan yang tidak
memberatkan. Semua ibadah yang Allah perintahkan sesuai dengan fitrah
dan kemampuan pada diri manusia.
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
https://rumaysho.com/2988-kaedah-fikih-5-kesulitan-mendatangkan-
kemudahan.html
https://bahan-tugas-kita.blogspot.com/2017/05/cabang-kaidah-masyaqqah-tajlibu-
al.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/alitaekar.wordpress.com/2010/06/22/a-pengertian-
al-masyaqqah-tajlibut-taysir/amp/
i
ii