Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“AL-MASYAQQAH TAJLIBU AL-TAISIR”

Makalah ini diseminarkan sebagai mata kuliah Qawaidul


Fiqhiyah

Semester V Tahun Akademik 2020/2021

Dosen Pembimbing :

Dr. Tarmidzi Tahir, M.H.I

Disusun Oleh :

Jusnaedi

Nur Hidayat

Abdul Gafur

Ma’had Aly As’adiyah Sengkang

Tahun Akademik 2020/2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai


peristiwa yang menyebabkannya merasa senang, susah, gembira, sedih,
aman, tenang, khawatir, dan lain sebagainya. Sebagai agama yang
rohmatallil ‘alamin, Islam memberikan perhatian besar pada unsur-unsur
kesulitan yang dialami umatnya.

Syari’at Islam menjaga sebuah prinsip menghilangkan kesukaran


dan subjek hukum dalam keseluruhan hukum syar’i yang diatur dengan
kaidah-kaidah baku dan dasar-dasar permanen yang dapat dijadikan
sebagai media penyimpulan hukum (istinbath) ketika tidak ditemukan dalil
syar’i atau ketika Asy-syaari’ (pembuat hukum syara’) berdiam diri
mengenai status perkara tertentu.

Prinsip kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat


banyak, namun penulis mencukupkan diri dengan membahas kaidah-
kaidah cabang dari kaidah “Kesulitan mendatangkan kemudahan” sebagai
perincian dari kaidah ketiga dalam pembahasan qawaid fiqhiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir?
2. Bagaimana dasar hukum kaidah Al-masyaqqah Tajlib al-
Taisir?
3. Apa saja kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib al-
Taisir.
2. Untuk mengetahui dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib
al-Taisir.
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib
al-Taisir.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir


Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab. Yang
berarti kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-
taysir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan, seperti di dalam hadis
Rasulullah saw disebutkan:
‫إِنَّ ال ِّدي َْن يُسْ ٌر‬

Artinya :

“Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kaidah kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya, kesukaran


menyebabkan adanya kemudahan. Hukum-Hukum yang di praktiknya
menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran,
maka syariat memudahkannya sehigga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesukaran. Hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf
(subjek hukum), maka syariat memudahkannya, sehingga mukallaf
mampu melaksanakannya tanpa kesukaran dan kesulitan.

Dari kalimat ‫ المشقة تجلب التيسير‬dapat di ambil dua kata di dalamnya,


yakni kata ‫ المشقة‬berarti kepayahan, kesulitan, dan kerepotan. Masyaqqot
adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat)
tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi
manusia. Sedangkan kata yang kedua adalah ‫ير‬EEE‫ التيس‬yang berarti
kemudahan dan keringanan. Dari kedua kata tersebut dapat di tarik
kesimpulan bahwa secara kaedah ini mempunyai pengertian bahwa sebuah
kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.

2
Adapun secara istilah para ulama’, maka kaidah ini berarti :
Hukum-Hukum syar’i yang dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan
kepayahan serta kerumitan bagi seorang mukallaf (orang-orang yang di
beri beban syar’i), maka syariat islam meringankannya agar bisa di
lakukan dengan mudah dan ringan.1

Asal-usul kaedah ini adalah firman Allah SWT dalam surah Al-
Baqarah/ 2 : 185 yakni:

...‫ي ُِر ْي ُد هّٰللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬...

Artinya :

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu”

Allah SWT juga berfiman dalam surah Al-hajj/ 22 : 78 yakni:

ٍ ‫ َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ال ِّد ْي ِن ِم ْن َح َر‬...


...‫ج‬

Artinya :

“Dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama”2

Dalam ilmu fiqhi, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu


setidaknya ada tujuh macam, yaitu:

1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh mengqasar shalat


ketika sedang menempuh perjalanan yang jauh, buka puasa, dan
meninggalkan shalat Jumat.
2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayammum ketika sulit memakai air,
shalat fardhu sambil duduk, ditundanya pelaksanaan had sampai
terpidana sembuh, dan wanita yang sedang menstruasi.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan
hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka
1
Al-Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-wajiz fi Idhah al-Qawai’d al-
Fiqhiyah, cet. I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hlm. 129.
2
Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d Al-
Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.

3
akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena
bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan
barang orang lain karena dipaksa.
4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum pada
waktu berpuasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, dalam hal
ini bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam
karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka
dia tidak dikenai sanksi. Seorang tidak tahu bahwa yang mewakilkan
kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak hukum, maka tindakan
hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang mewakilkan
kepadanya dalam keadaan mahjur ‘alaih (dilarang melakukan tindakan
hukum oleh hakim).
6. Umum al-Balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu,
barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada yang bukan
mahramnya demi untuk mengobati, sekadar yang dibutuhkan dalam
pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk
shalat.
7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Maisalnya, anak
kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum,
yang berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pemaaf, termasuk
di dalamnya keadaan terpaksa atau dipaksa.3

Al-Masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin


masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada
standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak
menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat
wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat saum pada musim
panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah
dan dalam ketaatan kepada Allah. Sebab, apabila di bolehkan keringanan

3
Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d
Al-Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.

4
dalam masyaqqah tersebut akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan
ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia di dalam
melaksanakan ibadah.4 Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa
kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan
tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi
masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti


kekhawatiran akan hilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan.
Hilangnya jiwa atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa
melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini
membawa keringanan.5
2. Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak
sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus
dipertimbangkan, apabila lebih dekat pada masyaqqah yang sangat
berat, maka ada kemudahan di situ. Dan apabila lebih dekat pada
masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ. Inilah
yang penulis maksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.
3. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar
waktu puasa, terasa cape waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu
rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa
ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam
melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat
yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah
yang ringan ini.6

Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah


setidaknya ada tujuh macam, yaitu:

4
‘Izzuddin, Juz II, hlm. 7.
5
Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d
Al-Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.
6
Muhammad al-Ruki, hlm. 2001.

5
1. Takhfif isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti
tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Atau
seperti tidak diwajibkannya haji bagi yang tidak mampu.
2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat
qashar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
3. Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu atau
mandi diganti dengan tayamum, atau berdiri pada waktu shalat wajib
diganti dengan duduk karena sakit.7
4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti
mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’
taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah
dalam perjalanannya.
5. Takfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, qadha puasa
Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang
dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan
minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak,
bisa membawa kematian.
7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang
dilakukan, seperti dalam keadaan perang boleh merubah tatacara
pelaksanaan shalat yang disebut shalat khauf.

B. Dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlibu al-Taisir

Apabila kaidah-kaidah ini dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-


Hadis, ternyata banyak ayat dan hadis nabi yang menunjukkan akurasi
kaidah “al-masyaqqah tajlibu al-taisir”, di antaranya:

...‫ي ُِر ْي ُد هّٰللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬...

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki


kesulitan bagimu” (QS. Al-Baqarah/ 2 : 185)

7
Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d
Al-Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.

6
...‫اَل يُ َكلِّفُ هّٰللا ُ نَ ْفسًا اِاَّل ُو ْس َعهَا‬

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan


kemampuannya” (QS. Al-Baqarah/ 2 : 286)

َ ِ‫ي ُِر ْي ُد هّٰللا ُ اَ ْن يُّ َخفِّفَ َع ْن ُك ْم ۚ َو ُخل‬


َ ُ‫ق ااْل ِ ْن َسان‬
‫ض ِع ْيفًا‬

“Allah tidak memberi keringanan kepadamu karena manusia diciptakan


bersifat lemah” (QS. Al-Nisa’/ 4 : 28)

ٍ ‫ َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ال ِّد ْي ِن ِم ْن َح َر‬...


...‫ج‬

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu


kesempitan” (QS. Al-Hajj/ 22 : 78)

‫هّٰللا‬
ٍ ‫ َما ي ُِر ْي ُد ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح َر‬...
...‫ج‬

“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan


kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu..,” (QS. Al-Maidah/ 5 : 6)

Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa, bahwa


syariah Islam selamanya menghilangkan kesulitan dari manusia dan tidak
ada hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan karena di luar kemampuan
manusia yang memang sifatnya lemah. Demikianlah makna umum yang
bisa di tarik dari ayat-ayat di atas.8

Sedangkan hadis-hadis yang menguatkan kaidah di atas antara lain:

ُ‫اِ َّن ال ِد ْينَ ِع ْن َد هللا ال َحنَفِيَةُ ال َّس ْم َحة‬

“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah yang ringan dan mudah”.


(HR. Al-Bukhari). Ada juga yang mengartikan al-hanafiyah al-samhah
dengan arti cenderung kepada kebenaran dan mudah.

‫يَ َّسرُوا وال تُ َع ِّسرُوا وبَ ِّشرُوا وال تُنَفِّرُوا‬

“Mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah


dan jangan menyebabkan mereka lari.” (HR. Al-Bukhari).
8
http://064labib.blogspot.com/2019/07/makalah-al-masyaqqah-tajlib-at-
taisir.html?m=1

7
‫صالَ ٍة‬ ِ ‫ق على أُ ًّمتِي أَل َ َمرْ تُهُ ْم بِا ال َّس َو‬
َ ‫اك ِع ْن َد ُك ِّل‬ َّ ‫لَوْ الَ اَ ْن أ ُش‬

“Seandainya tidak memberatkan ummatku, pasti aku perintahkan kepada


mereka bersiwak (sikat gigi) setiap akan shalat.”

ِ ‫اِنَّ َما بُ ْعثِتُ ْم ُميَ ِّسي ِْرينَ َولَ ْم تَ ْب َعثُوا ُم َعس‬


َ‫ِّرين‬

“Kalian diutus untuk memberikan kemudahan (manusia) bukan untuk


menyulitkan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

‫يَ َّسرُوا وال تُ َع َّسرُوا‬

“Buatlah mudah, jangan mempersulit” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).9

Dari akumulasi ayat dan hadis di atas, maka tercetuslah sebuah


kaidah “Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir” yang oleh Ali Haidar dijelaskan
bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi penyebab adanya
kemudahan dan keringanan, yang pada intinya menekankan besarnya
apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.10

C. Kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlibu al-Taisir

Dari kaidah asasi tersebut di atas, (“al-masyaqqah tajlib al-taisir”)


kemudian dimunculkan kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit
karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, di antaranya:

1.
‫ق األَ ْم ُر اِلتَّ َس َع‬ َ ‫اِ َذا‬
َ ‫ضا‬

“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”

Kaidah ini sesungguhnya yang tepat merupakan kaidah dari “al-


masyaqqah tajlib al-taisir”, sebab al-masyaqqah itu adalah kesempitan
atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karena
sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu
kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan

9
https://rumaysho.com/2988-kaedah-fikih-5-kesulitan-mendatangkan-kemudahan.html
10
Al-Suyuthi, hlm. 91.

8
tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan
puasa itu kembali pula. Oleh karena itu, muncul pula kaidah kedua:

‫ق‬ َ ‫اِ َذا اِتَّ َس َع‬


َ ‫ضا‬

“Apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”

Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah


ringan. Oleh karena itu, kaidah ini digabungkan menjadi satu, yaitu:

‫ق‬ َ ‫ق األَ ْم ُر اِتَّ َس َع واِ َذا اِتَّ َس َع‬


َ ‫ضا‬ َ َ ‫ضا‬
َ ‫اِ َذا‬

“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan


apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”

Kaidah ini juga menujukkan fleksibilitas hukum islam yang bisa


diterapkan secara tepat pada setiap keadaan.

Semakna dengan kaidah di atas adalah kaidah:

‫َما َجا َز لِع ُْذ ٍر بَطَ َل بِ َز َوالِ ِه‬

“Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak di


bolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi”.

Contohnya: seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan


puasa. Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti.
Kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan puasa ramadhan kembali lagi
dan boleh lagi melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.

2.

َ ُ‫اِ َذا تَ َع َّذ َر األَصْ ُل ي‬


‫صا ُر اِلَى البَد َِل‬

“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah pada


penggantinya”.

Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang


menggasab harta orang lain, maka wajib mengembalikan harta aslinya.
Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin

9
dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan
harganya. Demikian juga halnya dengan orang yang meminjam suatu
benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya
buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti
dengan harga buku tersebut dengan harga di pasaran.

3.

ُ‫َما الَ يُ ْم ِك ْن التَ َحر ُْز ِم ْنهُ َم ْعفُو َع ْنه‬

“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu


dimaafkan”.

Contohnya: pada waktu sedang puasa, kita berkumur-kumur, maka tidak


mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Contoh
lain seperti darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan
mencucinya.

4.

ِ ‫ص الَ تَنَاطُ بِا ل َم َعا‬


‫صى‬ َ ‫الرُّ ْخ‬

“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan


di dalam hukum tidak di salah gunakan untuk melakukan maksiat
(kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan
maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau
berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang seperti ini tidak
boleh menggunakan keringanan-keringanan dalam hukum Islam.
Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan
kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang
sebagai orang yang menggunakan keringanan, tetapi tetap berdosa dengan
makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian
dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk kasbu al-halal (usaha yang

10
halal), kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan
kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.

5.

ِ ‫صا ُر اِلَى ال َم َج‬


‫از‬ ْ ‫اِ َذا تَ َع َّذ َر‬
َ ُ‫ت ال َحقِ ْيقَةُ ي‬

"Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.

Contohnya: seseorang berkata: “saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
Pak Bambang”. Padahal semua tahu bahwa anak Pak Bambang sudah
lama meninggal, yang ada hanyalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata
anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata
sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang
sudah meninggal dunia.

6.

‫اِ َذا تَ َع َّذ َر اِ ْع َما ُل ال َكالَ ِم يُحْ َم ُل‬

“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut


ditinggalkan”.

Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia


adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta
kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang
diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan
dalam arti tidak diakui perkataannya.11

7.

‫يُ ْغتَفَ ُرفِى ال َّد َو ِام َما الَ يُ ْغتَفَ ُر فِى ا ِال ْبتِدَا ِء‬

11
https://bahan-tugas-kita.blogspot.com/2017/05/cabang-kaidah-masyaqqah-tajlibu-al.html?
m=1

11
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan
pada permulaannya”.

Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang


muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan
dan dia ingin memperbarui dalam arti melanjutkan sewaannya, maka ia
tidak perlu membayar uang muka lagi.

8.

‫يُ ْغتَف ُر فِى ا ِال ْبتِدَا ِء َما الَ يُ ْغتَفَ ُر فِى ال َّد َو ِام‬

“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.

Contohnya: seseorang yang baru masuk Islam minum minuman keras


karena kebiasaanya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman
semacam itu dilarang (haram). Maka orang tersebut diamaafkan pada
permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu
bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan
perbuatan haram tersebut.

9.

‫يُ ْغتَفَ ُر فِى التَ َوابِ ِع َما الَ يُ ْغتَفَ ُر فِي َغي ِْرهَا‬

Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak tidak dimaafkan
pada yang lainnya”.

Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras,


karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh
mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman
mengikuti tanah yang diwakafkan.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir ini membahas tentang


kesulitan yang menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah
bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan
dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), sehingga syari’ah
meringankannya agar mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan
dan kesukaran.

Kaidah ini juga dilandasi dengan dasar hukum Al-Quran dan Al-
Hadis, serta beberapa metode-metode atau cabang-cabang kaidah fiqhi
yang membuat ringan kesulitan kita. Maka, kita tidak bisa lagi mencari
alasan untuk tidak beribadah kepada Allah SWT. Karena semua ibadah
yang diperintahkan oleh Allah adalah ibadah ringan yang tidak
memberatkan. Semua ibadah yang Allah perintahkan sesuai dengan fitrah
dan kemampuan pada diri manusia.

B. Saran

Setelah penyusun memaparkan penelitiannya, penyusun berharap


agar sekiranya teman-teman dapat memahami apa yang telah penyusun
paparkan tentang kaidah “Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir” ini. Penyusun
juga menyarankan agar teman-teman dapat meneliti atau membaca kaidah-
kaidah fiqhi yang lainnya. Karena kaidah-kaidah fiqhi itu dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul pada kehidupan manusia
dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.

Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih kepada teman-


teman sekalian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dan
mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan terjemahan Kementrian Agama RI

Al-Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-wajiz fi Idhah al-Qawai’d al-


Fiqhiyah, cet. I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hlm. 129.

Asy-Syaikh Abdullah Bin Said Muhammad Abbadi Lil-Hajji, Idhah Al-Qawai’d


Al-Fiqhiyyah, Surabaya : Dar Ar-Rahmah Al-Islamiyyah, H.11.

‘Izzuddin, Juz II, hlm. 7.

Muhammad al-Ruki, hlm. 2001.

https://rumaysho.com/2988-kaedah-fikih-5-kesulitan-mendatangkan-
kemudahan.html

Al-Suyuthi, hlm. 91.

https://bahan-tugas-kita.blogspot.com/2017/05/cabang-kaidah-masyaqqah-tajlibu-
al.html?m=1

https://www.google.com/amp/s/alitaekar.wordpress.com/2010/06/22/a-pengertian-
al-masyaqqah-tajlibut-taysir/amp/

i
ii

Anda mungkin juga menyukai