Dosen Pengampu:
Dr.Anton Akbar,M.Ag
Disusun Oleh:
Taufik (2216040002)
Nadiva Jufri (2216040158)
Silvi Rahmadani (2216040178)
Pertama-tama marilah kita ucapkan puji syukur atas kehadiran Allah SWT atas rahmat
dan karunia-nya, penulis makalah ini yang berjudul “Lafadz dari Segi Sighat Taklif dan
Kaidah-Kaidahnya” dapat di selesaikan tepat waktu. Dengan semangat yang tinggi pula
merupakan modal untuk dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis makalah ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan pengetahuan tentang
segi sighat taflif dan kaidah-kaidahnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang
banyak tidak hanya bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam penulisan ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah ikut
serta membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dan penulis
memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini masih terdapat kesalahan. Karena
sesungguhnya penulis menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan yang di miliki oleh
penulis dan tidak ada satupun yang sempurna di dunia ini kecuali Allah SWT.
Penulis juga dengan senang hati menerima kritikan ataupun sarana yang membangun
guna untuk memperbaiki setiap kekurangan dari makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Amar.......................................................................................................................2
2.2 Pengertian Al-Amar Menurut Para Ahli..............................................................................3
2.3 Shighat-Shighat Amar..........................................................................................................5
2.4 Hakikat-HakikatAmar..........................................................................................................5
2.5 Pengertian an-Nahyu............................................................................................................6
2.6 Kaidah-Kaidah An-Nahyu....................................................................................................7
Ilmu ushul fiqih menyajikan berbargai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba
pesan-pesan yang terkandung dalam Al-qur’an dan sunnah rasulullah.Memahami redaksi Al-
qur’an dan Al-Hadits dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana
sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-qu’an dan al-hadits baik dari sudut
teks maupun dari aspek makna.
Hukum syar’i adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk tuntutan,pilihan dan ketentuan. Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk,
yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan
mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yang dituntut dalam hal ini adalah manusia
mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau
amar. Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut
larangan atau nahy. Makalah ini akan membahas mengenai lafadz dari segi shigat taklif yaitu
al-amar dan al-nahyu.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Syauqi Dhafi, Mu’jam al-Wasith, ( Mesir : Majma’ al- Lughat al-Arabiyyat, T.th), hlm.26
2
Muhammad bin Shalih al-Usaimin, Syarh al-Ushul Min Ilm al-Ushul, (Manshurah: Maktabah al Aiman,
T.Th), Hlm.124
2
Pandanagan Al-Ghazali ini memberikan pemahaman bahwa al-amar merupakan perintah
yang menuntut untuk dipatuhi sesuai dengan apa yang menjadi kandungan dari perintah
tersebut.
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa amar adalah permintaan lisan untuk
melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya lebih rendah. 3 Perintah
menurut pengertian ini berbeda dari permohonan dan ajakan. Karena yang disebut pertama
merupakan permintaan dari orang yang kedudukannya lebih rendah kepada orang yang
kedudukannya lebih tinggi. Sementara ajakan permintaan diantara orang seterusnya sejajar.
Rahmat syafi’i dalam bukunya ilmu ushul fiqih, menyatakan bahwa amar adalah lafaz
yang menunjukan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu
pekerjaan. Definisi diatas tidak hanya ditujukan pada lafadz yang memakai sighat amar,
tetapi ditujukan pula pada semua kelimat yang mengandung perintah, karena setiap perintah
tersebut terkadang menggunakan kalimat majazi. Namun yang palingan penting amar adalah
bahwa kalimat tersebut mengandung unsur tuntutan untuk mengerjakan sesuatu.
Menurut mayoritas ahli ushul fiqih,amar adalah sesuatu tuntutan untuk melakukan sesuatu
dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
Amar dalam bentuk inilah yang dipersilihkan oleh ulama ushul:
1. Jumhur ulama berpendapat amar tersebut bukanlah bagi piha kedua untuk melakukan
perbuatan tersebut. Alasannya adalah sebagai berikut:
a) Kalau amar tersebut adalah amar bagi pihak kedua untuk melakukan shalat, berarti
suruhan dalam hadits nabi itu adalah perintah bagi anak-anak untuk melakukan shalat
langsung syari’(pembuatan hukum). Hal yang demikian tentu tidak tepat, karena berarti
syari’ menetapkan beban hukum kepada anak-anak, padahal anak-anak itu belum
mampu memahami khittab syari’
b) Kalau amar itu adalah bagi anak-anak untuk sholat tentu tidak lepas dari dua
kemungkinan: mungkin anak-anak itu telah mampu memahami dalil taklif, atau anak-
anak itu sama sekali tidak mampu memahami dalil taklif. Kalau anak-anak itu mampu
memahami dalil taklif tentu tidak perlu wali menyuruh mereka untuk shalat. Dan kalau
itu tidak mampu memahami dalil taklif tentu amar dan kitab disini tidak ada artinya.
Oleh karena itu,
jelaslah bahwa amar tersebut tidak menuntut yang demikian
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Ridwan 1999), hlm. 168
3
2. Ridha mudhaffar dari syi’ah berpendapat bahwa amar berlaku bagi pihak kedua untuk
melakukan suatu perbuatan. Ia menjelaskan pendapatnya: bahwa amar untuk
menyuruh kepada pihak pertama yang kedudukannya bukan sebagai penyampai
suruhan, terjadi dalam dua bentuk:
a) Tujuan dari yang menyuruh berhubungan dengan perbuatan pihak yang disuruh
kedua. Suruhannya untuk menyuruh merupakan suatu cara agar sampai kepada
tujuannya dalam bentuk ini, maka amar untuk menyuruh itu adalah amar untuk
berbuat itu sendiri.
b) Tujuan dari yang menyuruh hanya semata-mata menyuruh pihak yang disuruh
pertama tanpa menghubungkan kepada pihak yang disuruh kedua, maka asal dari
keberadaan suruhan itu tidaklah ditunjukan kepada pihak kedua.
Banyak pula kata amar yang tidak mengandung arti ucapan; diantaranya seperti arti untuk
“sesuatu” atau “urusan” atau “perbuatan”. Beberapa arti kata amar
dapat dilihat contoh ayat-ayat di bawah ini:
QS. Al-Syura: 38
بَ ْينَهُ ۖ ْم ُشوْ ٰرى َواَ ْم ُرهُ ْم
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.
KET : amar dalam ayat inimengandung arti “urusan”
QS. Ali Imran: 159
ِ اَأْل ْم ِر فِي َو َش
اورْ هُ ْم
Dan bermusyawarahtlah dengan mereka dalam urusan itu.
KET : amar dalam ayat ini mengandung arti “sesuatu”
QS. Al-Thalaq: 9
َُخ ْسرًا اَ ْم ِرهَا عَاقِبَةُ َو َكان
Akibat dari perbuatan mereka adalah kerusakan.
KET : amar dalam ayat ini mengandung arti “perbuatan”
Karena ada beberapa arti dari pemakaian kata amar, maka menjadi perbincangan di kalangan
ulama tentang untuk apa sebenernya (hakikatnya) digunakana kata amar itu. Para ulama ushul
telah sepakat bahwa kata amar itu secara hakiki digunakan untuk “ucapan tertentu”, yaitu
kata yang se-wazan (setimbang) dengan kata “kerjakanlah” atau “hendaklah engkau
kerjakan”.4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jil. II, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 6, 2011), hlm. 170
5
1.Pengertian an-nahyu
Lafadzd nahi secara bahasa adalah yang berarti larangan. Sedangkan secara istilah
para ulama mendefenisikan nahi sebagai berikut :
Nahi adalah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih
tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.5
Khalid abdurrahman mengartikan bentuk nahi sebagai perkataan atau ucapan yang
menunjukkan permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari orang yang lebih tinggi kepada
orang yang lebih rendah. An-nahy menurut Sayyid Ahmad al-Hasyim, merupakan tuntutan
untuk mencegah berbuat sesuatu yang datang dari atas.6
5
Kamal Muchtar, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm.46
6
Ahmat Izzani, Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an :Memilikin Keterkaitan Bahasa Tekstual dan Makna-Konstektual
Ayat, (Bandung : Humaniora: 2009), hlm.29
6
B. Kaidah Kedua
Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad (rusak)
Sebagaimana Rasulullah SAW. Bersabda: Setiap perkara yang tidak ada perintah kami,
maka ia tertolak.
Contoh: Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi (QS. Al-baqarah:11)
C. Kaidah Ketiga
Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya
Contoh:
َ تُ ْفلِحُوْ نَ لَ َعلَّ ُك ْم فَاجْ تَنِبُوْ هُ ال َّشي ْٰط ِن َع َم ِل ِّم ْن ِرجْ سٌ َوااْل َ ْزاَل ُم َوااْل َ ْن
صابُ َو ْال َم ْي ِس ُر ْال َخ ْم ُر اِنَّ َما ٰا َمنُ ْٓوا الَّ ِذ ْينَ ٰيٓاَيُّهَا
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. al-
ma’idah:90).
D. Kaidah Keempat:
Pada dasarnya lapangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap
waktu. Contoh:
Dan janganlah kamu mendekati zina (QS. al-isra’ :32)
Apabila ada larangan yang tidak dihubungkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-
sebab lainnya, maka larangan tersebut menghendaki meninggalkan yang dilarang itu
selamanya. Namun bila larangan itu dihubungkan dengan
waktu, maka perintah larangan itu dihubungkan dengan waktu, maka perintah larangan itu
berlaku bila ada sebab, seperti (QS. an-nisa:43)
ارى َواَ ْنتُ ْم الص َّٰلوةَ تَ ْق َربُوا اَل ٰا َمنُوْ ا
ٰ ُس َك
Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk(QS.an-nisa:43)
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum syar‟i adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Khitab dalam bentuktuntutan ada dua
bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untukmeninggalkan. Setiap tuntutan
mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yangdituntut; dalam hal ini adalah manusia
mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau
amar . Menurut mayoritas ahli ushul fiqh, amar adalah sesuatu tuntutan untukmelakukan
sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yanglebih rendah
tingkatannya. Secara umum, amar mengandung pengertian tuntutan (thalab). Dan sebuah
tuntutan bisa bermakna doa atau iltimas. Jika antara pihakyang menuntut dengan yang
dituntut memiliki kedudukan yang setara, makadisebut iltimas Dan jika pihak yang menuntut
lebih rendah kedudukannya makadisebut doa. Ada beberapa makna yang terkandung dalam
amar.. Salah satunya disebutmakna hakiki (sebenarnya) dan yang lain disebut
maknamajazi (kiasan). Jumhurulama berpendapat bahwaamar menunjukkan secara hakikat
maknanya adalahwajib. Makna ini baru berubah ke makna yang lain jika ada indikasi
(qarinah)yang menunjukkan makna selain wajib. Selama tidak ada indikasi makna lain,maka
pada dasarnya seluruh sighat amar , maknanya adalah wajib
8
DAFTAR PUSTAKA
Al-Badakhsyi.(2001)..Manahij al-Uqul.Beirut: Dar-al-Fikr.