Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH USHUL FIQIH

LAFADZ DARI SEGI SIGHAT TAKLIF


DAN
KAIDAH-KAIDAHNYA

Dosen Pengampu:

Dr.Anton Akbar,M.Ag

Disusun Oleh:

Taufik (2216040002)
Nadiva Jufri (2216040158)
Silvi Rahmadani (2216040178)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS NEGRI IMAM BONJOL PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita ucapkan puji syukur atas kehadiran Allah SWT atas rahmat
dan karunia-nya, penulis makalah ini yang berjudul “Lafadz dari Segi Sighat Taklif dan
Kaidah-Kaidahnya” dapat di selesaikan tepat waktu. Dengan semangat yang tinggi pula
merupakan modal untuk dapat menyelesaikan makalah ini
Penulis makalah ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan pengetahuan tentang
segi sighat taflif dan kaidah-kaidahnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang
banyak tidak hanya bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam penulisan ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah ikut
serta membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dan penulis
memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini masih terdapat kesalahan. Karena
sesungguhnya penulis menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan yang di miliki oleh
penulis dan tidak ada satupun yang sempurna di dunia ini kecuali Allah SWT.
Penulis juga dengan senang hati menerima kritikan ataupun sarana yang membangun
guna untuk memperbaiki setiap kekurangan dari makalah ini.

Padang, 25 Februari 2023

Penulis
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Amar.......................................................................................................................2
2.2 Pengertian Al-Amar Menurut Para Ahli..............................................................................3
2.3 Shighat-Shighat Amar..........................................................................................................5
2.4 Hakikat-HakikatAmar..........................................................................................................5
2.5 Pengertian an-Nahyu............................................................................................................6
2.6 Kaidah-Kaidah An-Nahyu....................................................................................................7

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………10


ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu ushul fiqih menyajikan berbargai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba
pesan-pesan yang terkandung dalam Al-qur’an dan sunnah rasulullah.Memahami redaksi Al-
qur’an dan Al-Hadits dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana
sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-qu’an dan al-hadits baik dari sudut
teks maupun dari aspek makna.
Hukum syar’i adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk tuntutan,pilihan dan ketentuan. Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk,
yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan
mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yang dituntut dalam hal ini adalah manusia
mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau
amar. Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut
larangan atau nahy. Makalah ini akan membahas mengenai lafadz dari segi shigat taklif yaitu
al-amar dan al-nahyu.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Amar


Dalam setiap kata amar mengandung tiga urusan, yaitu:
a. Yang mengucapakan kata amar atau yang disuruh
b. Yang dikenai kata amar atau yang disuruh
c. Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu
Menurut bahasa kata amar berarti suatu perintah. Disebut perintah karena biasanya
pembebanan kepada pihak lain.1 Maka bagi pihak yang perintahkan harus melaksanakan
sesuai perintah tersebut. Jika tidak terlaksana, ada konsekwuensi yang yang harus diterima
olehnya. Menurut istilah ushul fiqih, sebuah perintah yang bermuatan hukum syar’i adalah
nash-nash syariat yang menuntut suatu perbuatan pada diri seorang mukallaf.
Sebagian ulama ushul mensyaratkan isti’la’ agar amar bermakna perintah. Karena secara
umum, amar mengandung pengertian tuntutan (thalab). Dan sebuah tuntutan bisa bermakna
doa dan iltimas. Jika antara pihak yang menuntut dengan pihak yang dituntut memiliki
kedudukan yang setara, maka disebut iltimas. Dan jika pihak yang menuntut lebih rendah
kedudukannya maka disebut doa.2 Karena amar berasal dari Allah SWT sebagai syari dan
kedudukannya lebih tinggi dari pada hambanya yang diperintah, maka setiap perintah
disyaratkan isti’la. Diantara madzhab yang mensyaratkan isti’la tersebut adalah mu’tazilah,
Abu ishaq as-syairazi, dan mayoritas hanabilah. Mereka memandang agar subjek dan
objeknya, harus lebih tinggi kedudukan subjek dari pada objek.

2.2 Pengertian Al-Amar Menurut Para Ahli


Berkenaan dengan al-Amar. Al-Ghazali memberikan pengertian sebagai berikut:
Al- Amar itu ialah ucapan atau tuntutan yang secarasubtansial agar mematuhi perintah
dengan mewujudkan apa yang menjadi tuntutannya dalam perbuatan

1
Syauqi Dhafi, Mu’jam al-Wasith, ( Mesir : Majma’ al- Lughat al-Arabiyyat, T.th), hlm.26
2
Muhammad bin Shalih al-Usaimin, Syarh al-Ushul Min Ilm al-Ushul, (Manshurah: Maktabah al Aiman,
T.Th), Hlm.124

2
Pandanagan Al-Ghazali ini memberikan pemahaman bahwa al-amar merupakan perintah
yang menuntut untuk dipatuhi sesuai dengan apa yang menjadi kandungan dari perintah
tersebut.
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa amar adalah permintaan lisan untuk
melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukannya lebih rendah. 3 Perintah
menurut pengertian ini berbeda dari permohonan dan ajakan. Karena yang disebut pertama
merupakan permintaan dari orang yang kedudukannya lebih rendah kepada orang yang
kedudukannya lebih tinggi. Sementara ajakan permintaan diantara orang seterusnya sejajar.
Rahmat syafi’i dalam bukunya ilmu ushul fiqih, menyatakan bahwa amar adalah lafaz
yang menunjukan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu
pekerjaan. Definisi diatas tidak hanya ditujukan pada lafadz yang memakai sighat amar,
tetapi ditujukan pula pada semua kelimat yang mengandung perintah, karena setiap perintah
tersebut terkadang menggunakan kalimat majazi. Namun yang palingan penting amar adalah
bahwa kalimat tersebut mengandung unsur tuntutan untuk mengerjakan sesuatu.
Menurut mayoritas ahli ushul fiqih,amar adalah sesuatu tuntutan untuk melakukan sesuatu
dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
Amar dalam bentuk inilah yang dipersilihkan oleh ulama ushul:
1. Jumhur ulama berpendapat amar tersebut bukanlah bagi piha kedua untuk melakukan
perbuatan tersebut. Alasannya adalah sebagai berikut:
a) Kalau amar tersebut adalah amar bagi pihak kedua untuk melakukan shalat, berarti
suruhan dalam hadits nabi itu adalah perintah bagi anak-anak untuk melakukan shalat
langsung syari’(pembuatan hukum). Hal yang demikian tentu tidak tepat, karena berarti
syari’ menetapkan beban hukum kepada anak-anak, padahal anak-anak itu belum
mampu memahami khittab syari’
b) Kalau amar itu adalah bagi anak-anak untuk sholat tentu tidak lepas dari dua
kemungkinan: mungkin anak-anak itu telah mampu memahami dalil taklif, atau anak-
anak itu sama sekali tidak mampu memahami dalil taklif. Kalau anak-anak itu mampu
memahami dalil taklif tentu tidak perlu wali menyuruh mereka untuk shalat. Dan kalau
itu tidak mampu memahami dalil taklif tentu amar dan kitab disini tidak ada artinya.
Oleh karena itu,
jelaslah bahwa amar tersebut tidak menuntut yang demikian

3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Ridwan 1999), hlm. 168

3
2. Ridha mudhaffar dari syi’ah berpendapat bahwa amar berlaku bagi pihak kedua untuk
melakukan suatu perbuatan. Ia menjelaskan pendapatnya: bahwa amar untuk
menyuruh kepada pihak pertama yang kedudukannya bukan sebagai penyampai
suruhan, terjadi dalam dua bentuk:
a) Tujuan dari yang menyuruh berhubungan dengan perbuatan pihak yang disuruh
kedua. Suruhannya untuk menyuruh merupakan suatu cara agar sampai kepada
tujuannya dalam bentuk ini, maka amar untuk menyuruh itu adalah amar untuk
berbuat itu sendiri.
b) Tujuan dari yang menyuruh hanya semata-mata menyuruh pihak yang disuruh
pertama tanpa menghubungkan kepada pihak yang disuruh kedua, maka asal dari
keberadaan suruhan itu tidaklah ditunjukan kepada pihak kedua.

2.3 Shighat-Shighat Amar


Untuk menunjukan sebuah amar, ada beberapa shighat yang dipakai, yaitu:
a. Kata kerja bentuk perintah (fi’il amar), contoh firman Allah
artinya: Dirikanlah sholat (QS:2:78)
b. Fi’il mudhari’ yang disertai dengan lam amar (huruf lam yang
menunjukan perintah) contohnya firman Allah SWT:
artinya: hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya (QS:65:7)
c. Isim fi’il amar, contohnya firman Allah SWT:
artinya: jagalah dirimu tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk (QS:5:105)
d. Masdar pengganti fi’il yang menunjukan sesuatu perintah,
contoh perintah Allah SWT:
artinya:hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya (QS:17:23)
2.4 Hakikat-Hakikat Amar
Kata amar banyak terdapat dalam al-qur’an. Ada kata amar yang mengandung ucapan atau
perkataan.
4
Contohnya firman Allah dalam surat Thaha: 132
ْ‫ب رْ ُزقُ ۗكَ نَحْ نُ ِر ْزقً ۗا نَ ْسـَٔلُكَ اَل َعلَ ْيهَ ۗا اصْ طَبِرْ بِالص َّٰلو ِة اَ ْهلَكَ َوْأ ُمر‬
َ ِ‫لِلتَّ ْق ٰوى َو ْال َعاق‬
”Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami
tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang
baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.

Banyak pula kata amar yang tidak mengandung arti ucapan; diantaranya seperti arti untuk
“sesuatu” atau “urusan” atau “perbuatan”. Beberapa arti kata amar
dapat dilihat contoh ayat-ayat di bawah ini:
QS. Al-Syura: 38
‫بَ ْينَهُ ۖ ْم ُشوْ ٰرى َواَ ْم ُرهُ ْم‬
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.
KET : amar dalam ayat inimengandung arti “urusan”
QS. Ali Imran: 159
ِ ‫اَأْل ْم ِر فِي َو َش‬
‫اورْ هُ ْم‬
Dan bermusyawarahtlah dengan mereka dalam urusan itu.
KET : amar dalam ayat ini mengandung arti “sesuatu”
QS. Al-Thalaq: 9
َ‫ُخ ْسرًا اَ ْم ِرهَا عَاقِبَةُ َو َكان‬
Akibat dari perbuatan mereka adalah kerusakan.
KET : amar dalam ayat ini mengandung arti “perbuatan”

Karena ada beberapa arti dari pemakaian kata amar, maka menjadi perbincangan di kalangan
ulama tentang untuk apa sebenernya (hakikatnya) digunakana kata amar itu. Para ulama ushul
telah sepakat bahwa kata amar itu secara hakiki digunakan untuk “ucapan tertentu”, yaitu
kata yang se-wazan (setimbang) dengan kata “kerjakanlah” atau “hendaklah engkau
kerjakan”.4

2.5 Pengertian an-Nahyu


4

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jil. II, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 6, 2011), hlm. 170

5
1.Pengertian an-nahyu
Lafadzd nahi secara bahasa adalah yang berarti larangan. Sedangkan secara istilah
para ulama mendefenisikan nahi sebagai berikut :
Nahi adalah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih
tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.5
Khalid abdurrahman mengartikan bentuk nahi sebagai perkataan atau ucapan yang
menunjukkan permintaan berhenti dari suatu perbuatan, dari orang yang lebih tinggi kepada
orang yang lebih rendah. An-nahy menurut Sayyid Ahmad al-Hasyim, merupakan tuntutan
untuk mencegah berbuat sesuatu yang datang dari atas.6

2.6 Kaidah-Kaidah An-Nahyu


A. Kaidah Pertama
Pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang). Nahi
menghendaki atau menunjukan haram, segera untuk dilarangnya, kecuali ada qarinah-qarinah
tertentu yang tidak menghendaki hal tersebut.
Contoh: Dan janganlah kamu mendekati zina (QS. Al-isra:32)
Lafadz nahi selain menunjukkan haram sesuai dengan qarinahnya juga menunjukkan kepada
arti lain, seperti:
1.Doa () seperti: ‫اَ ْخطَْأنَا اَوْ نَّ ِس ْينَٓا اِ ْن تَُؤ ا ِخ ْذنَٓااَل َربَّنَا‬
“Wahai tuhan kami janganlah engkau menyiksa kami, jika kami lupa” (QS.al-baqarah:286)
2.Irsyad memberi petunjuk seperti:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkanmu (QS.al-maidah:101)
3.Tahqiq menghina seperti:
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup” (QS. Al-
hijr:88)
4.Ta’yis menunjukan putus asa seperti:
“Janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini(QS. At- tahrim:7)

5
Kamal Muchtar, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm.46

6
Ahmat Izzani, Studi Kaidah Tafsir al-Qur’an :Memilikin Keterkaitan Bahasa Tekstual dan Makna-Konstektual
Ayat, (Bandung : Humaniora: 2009), hlm.29

6
B. Kaidah Kedua
Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad (rusak)
Sebagaimana Rasulullah SAW. Bersabda: Setiap perkara yang tidak ada perintah kami,
maka ia tertolak.
Contoh: Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi (QS. Al-baqarah:11)

C. Kaidah Ketiga
Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya
Contoh:
َ ‫تُ ْفلِحُوْ نَ لَ َعلَّ ُك ْم فَاجْ تَنِبُوْ هُ ال َّشي ْٰط ِن َع َم ِل ِّم ْن ِرجْ سٌ َوااْل َ ْزاَل ُم َوااْل َ ْن‬
‫صابُ َو ْال َم ْي ِس ُر ْال َخ ْم ُر اِنَّ َما ٰا َمنُ ْٓوا الَّ ِذ ْينَ ٰيٓاَيُّهَا‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. al-
ma’idah:90).

D. Kaidah Keempat:
Pada dasarnya lapangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap
waktu. Contoh:
Dan janganlah kamu mendekati zina (QS. al-isra’ :32)
Apabila ada larangan yang tidak dihubungkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-
sebab lainnya, maka larangan tersebut menghendaki meninggalkan yang dilarang itu
selamanya. Namun bila larangan itu dihubungkan dengan
waktu, maka perintah larangan itu dihubungkan dengan waktu, maka perintah larangan itu
berlaku bila ada sebab, seperti (QS. an-nisa:43)
‫ارى َواَ ْنتُ ْم الص َّٰلوةَ تَ ْق َربُوا اَل ٰا َمنُوْ ا‬
ٰ ‫ُس َك‬
Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk(QS.an-nisa:43)
7

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum syar‟i adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf  dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Khitab dalam bentuktuntutan ada dua
bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untukmeninggalkan. Setiap tuntutan
mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yangdituntut; dalam hal ini adalah manusia
mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau
amar . Menurut mayoritas ahli ushul fiqh, amar adalah sesuatu tuntutan untukmelakukan
sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yanglebih rendah
tingkatannya. Secara umum, amar mengandung pengertian tuntutan (thalab). Dan sebuah
tuntutan bisa bermakna doa atau iltimas. Jika antara pihakyang menuntut dengan yang
dituntut memiliki kedudukan yang setara, makadisebut iltimas Dan jika pihak yang menuntut
lebih rendah kedudukannya makadisebut doa. Ada beberapa makna yang terkandung dalam
amar.. Salah satunya disebutmakna hakiki (sebenarnya) dan yang lain disebut
maknamajazi (kiasan). Jumhurulama berpendapat bahwaamar  menunjukkan secara hakikat
maknanya adalahwajib. Makna ini baru berubah ke makna yang lain jika ada indikasi
(qarinah)yang menunjukkan makna selain wajib. Selama tidak ada indikasi makna lain,maka
pada dasarnya seluruh sighat amar , maknanya adalah wajib
8

DAFTAR PUSTAKA
 
Al-Badakhsyi.(2001)..Manahij al-Uqul.Beirut: Dar-al-Fikr.

Badran, Ibnu. Madkhal Ila Madzahab Imam Ibn Hanbal . Mesir: ThabaahMuniriah, T.th

Biek, Muhammad al-Khudhori.(2007). Ushul Fiqh. terj. Faiz El-Muttaqien. Jakarta:Pustaka


Amani,Cet.

Dhaif, Syauqi. Mu‟jam al -Wasith. Mesir: Majma‟ al-Lughat al-Arabiyyat, T.th

Effendi. (2005).,Satria.Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.1.

Firdaus.(2004).Ushul Fiqh.Jakarta: Zikrul Hakim.

Al-Nasafi.Kasyf al-Asrār. (1986). Beirut: Dar al Kutub al-Islamiyah.

Romli.Muqaranah.(1999).Mazahib Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama.

al-Khudhari, Muhammad.Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah Taufiqiah, T.th

Al-Syanqity.Mudzakarah Fi Ilmi Ushul Al-Fiqh. Madinah: Maktabah Ulum wa al-Hikam,


T.th
Syarifuddin, Amir.(2006).Ushul Fiqh. Jil. II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Syafi‟i, Rahmat. (1999) Ilmu Ushul Fiqih.Pustaka Setia: Bandung.


9

Anda mungkin juga menyukai