Anda di halaman 1dari 25

i

”MAKALAH”
“Hadis Dhai’f dan Hadis Maudhu”

Disusun oleh :
KELOMPOK 11

FATHIA SHOLIHAH 2216040134


SILVI APRILIANI 2216040141
TIARA UMMUL AZZAHRA 2216040157
NADIVA JUFRI. 2216040158

Dosen Pengampu :
Mustapa, S.Th., M.Hum.

PRODI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN IMAM BONJOL PADANG
TAHUN AJARAN 2022/2023
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Pengertian Al-Qur’an....................................................................................2
B. Pengertian Nuzul Qur’an..............................................................................3
C. Sejarah Turunnya Al-Qur’an........................................................................4
D.................................. Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur
8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12
3

HADITS DHAIF & MAUDHU’

A. Pendahuluan

Upaya pelestarian keotentikan hadis Nabi saw telah dilakukan sejak masa
sahabat dengan menggunakan metode kompirmasi. Setelah Nabi saw wafat,
kegiatan kompirmatif ini tentu tidak lagi dilakukan oleh sahabat. Tetapi
selanjutnya, para sahabat menanya-kan kepada orang lain yang ikut hadir
mendengar dan menyaksikan hadis itu terjadi. Kegiatan penghimpunan hadis secara
resmi dan massal, barulah dilakukan dipenghujung abad I H, atas inisiatif dan
kebijakan Khalifah Umar bin Abd. Aziz.1 Pada masa yang cukup panjang itu
setelah wafatnya Rasul, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang dilakukan
oleh beberapa golongan dengan tujuan tertentu. Atas kenyataan inilah, ulama hadis
berupaya menghimpun hadis Nabi. Selain harus melakukan perlawatan untuk
menghubungi para periwayat hadis yang tersebar di berbagai daerah, juga
mengadakan penelitian identitas periwayat dan menyeleksi semua hadis yang
mereka himpun.

1 Muhammad Abu Zahw, al-Hadīś wa al-Muhaddizūn (Mesir: Mathba’at al-Misriyah, t.th.), h.


245.
4

Pada perkembangan selanjutnya para ulama hadits berusaha melakukan


klasifikasi terhadap hadis baik berdasarkan kuantitas maupun berdasarkan kualitas
hadis. Hadis jika ditinjau dari segi kuantitas perawinya, maka akan di dapatkan dua
bagian terbesar yaitu, hadis mutawatir, masyhur dan hadis ahad, sedangkan hadis
jika ditinjau dari segi kualitas perawinya, maka dapat diklasifikasi pada tiga bagian
yaitu: hadis shahih, hasan dan hadis da’if.2
Penulis di dalam makalah akan membahas masalah hadis hadis da’if,
kemudian akan diulas juga masalah hadis maudu’ Sebagai upaya menambah dan
merivew kembali pemahaman kita akan hadis Rasulullah Saw.

B. Hadis Dhaif dan Permasalahannya


1. Pengertian Hadis Daif

Kata daif , berasal dari bahasa Arab (‫ضيْف‬


َ ) yang berarti “lemah”. Adapun

pengertian menurut istilah, beberapa ulama hadis berpendapat sebagai berikut :

- T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, hadis daif adalah : 3


‫ما لم يجمع صفات الحديث الصحيح‬
‫وال صفات الحديث الحسن‬

- Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, bahwa hadis daif adalah hadis yang yang tidak
memenuhi syarat-syarat bisa diterima.4

- Fatchur Rahman berpendapat bahwa hadis daif adalah : 5‫ما فقد شرطا أو أكثر من شروط الصحيح أو‬

‫الحسن‬

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa pada


dasarnya mereka sependapat bahwa hadis daif adalah hadis yang didapati padanya

2 ‘Ajjāj al-Khathīb, Ushul al-Hadīś, diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul
alHadīś (cet.I; Jakarta : Gaya Media, 1998), h. 271.
5

sesuatu yang menyebabkan ia lemah. Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat


hadis Sahih dan Hasan.
Sebab-sebab kedaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok yaitu:
(1). Ketidakmuttashilan sanad, dan (2) Selain ketidakmuttashilan sanad seperti;
cacatnya seorang atau beberapa rawi.6 Sehingga pembagian hadis daif bisa
didasarkan pada hal tersebut.

2. Pembagian Hadis Daif

T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, 3 Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (cet.VII;


Jakarta : Bulan Bintang, 1987), Jilid I, h. 220.
‘Ajjaj al-Khatib, 4op.cit h. 104.
Fathur Rahman, 5 Ikhstisar Mushthalahul Hadits. (cet.VIII; Bandung :
PT.Almaarif, 1995), h. 140.
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadits. (cet. III; Bandung: CV.
6

Diponegoro, 1987) h. 91
Hadis daif termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat
satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadis sahih atau
hasan yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadis daif yang karena tidak bersambung
sanadnya dan tidak adil periwayatnya, adalah lebih daif daripada hadis daif yang
hanya keguguran satu syarat untuk diterima sebagai hadis hasan, atau dengan kata
lain hadis daif yang keguguran tiga syarat lebih daif daripada hadis daif yang hanya
keguguran dua syarat.
Fatchur Rahman mengutip pendapat al-‘Iraqi, bahwa hadis adaif bisa
dibagi menjadi 42 bagian dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis adaif terdiri
atas 129 macam, bahkan bisa lebih dari itu.7
Dalam makalah ini penulis hanya akan mengemukakan sebagian hadis daif
menurut Ajjaj al-Khatib, sebagai berikut:8
6

1). Hadis-hadis daif karena ketidakmuttashilan sanad:


a. Hadis Mursal
Hadits mursal yaitu: hadits yang dimarfu’kan oleh seoarng tabi’iy kepada
rasul SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, dengan tidak
menyebutkan orang yang menceritakan kepadanya: contoh hadis berikut ini:

‫ ان‬:‫عن مالك عن عبد هللا بن أبي بكرى بن حزم أن في الكتاب الذي كتبه رسول هللا لعمر و بن حزم‬

‫ال يمس القرآن إال طاهر‬

Abdullah bin Abi Bakr pada hadis di atas merupakan seorang Tabi’i,
sedangkan seorang tabi’i tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi Saw. Akan

Fathur Rahman, 7 loc.cit.,


8
Ajjaj al-Khatib, op.cit, h,304-310
7

tetapi di tidak menyebutkan orang yang mengabarkan kepadanya sehingga


dinamakan
mursal.3

b. Hadis Munqathi’
Hadits munqathi yaitu dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu
tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari
segi gugurnya seorang perawi ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja, kalu hadis
mursal gugurnya perawi dibatasi oelh tingkatan sahabat, sementara dalam hadits
munqathi seperti itu. Jadi setiap hadits yang sanadnya gugur satu orang perawi baik
awal, ditengah ataupun diakhir- disebut munqathi. Adapun contohnya sebagai
berikut:
Berkata Ahmad bin Syu’ib; telah mengabarkan kepada kami. Qutaibah
bin Sa’id, telah ceritakan kepada kami. Abu ‘Awanah, telah
menceritakan kepada kami, Hisyam bin Urwah, dari Fatimah binti
Mundzir, dari Ummi Salamah , ummil Mu’minin, ia berkata; telah
bersabda Rasul Saw:
‫يحرم من الرضاع اال ما فتق األمعاء في الثدي وكان قبل الفطام‬

Pada hadis tersebut di atas Fatimah tidak mendengar hadis tersebut dari Ummu
Salamah, waktu Ummu salamah meninggal Fatimah ketika itu masih kecil dan
tidak bertemu dengannya.4

c. Hadis Mu’dhal
yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-
turut.hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi. Sama dari segi
keburukan kualitasnya, bila munqathi’annya lebih dari satu tempat. Contohnya
sebagai berikut: kata Syafi’I; telah mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim,
dari Ibnu Juraij, bahwa:

3 A. Qadir Hasan, op.cit, h. 108


4 h. 95
Ibid,
8

8 ‫أن رسول هللا كان أذا رأى البيت رفع يديه‬


Ibnu Juraij pada hadis tersebut tidak sesaman dengan Nabi, bahkan masanya
itu di bawah tabi’in, jadi antara dia dengan Rasul Saw diantarai oleh dua perantara
yaitu tabi’in dengan sahabat.5

d. Hadis Mudallas
Kata “tadlis” secara etimologis berasal dari akar kata “ad-Dalas” yang berarti
“adz-Dzhulman” (kedzaliman). Tadlis dalam jual-beli berarti menyembunyikan aib
barang adri pembelinya. Dari sinilah disinilah diambil dalam pengertian dalam
sanad. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan
sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkan.
Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu tadlis al- Isnad dan tadlis asy-syuyukh.
(1). Tadlis al- isnad yaitu seseorang perawi (mengatakan) meriwiyatkan
sesuatu dari sesamanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau
pernah bertemu tetapi diriwiyatkannya itu tidak didengar dari orang tersebut,
dengan cara menimbulkan dugaan mendengar langsung.

Diriwayatkan oleh an-Nu’man oleh an-Nu’man bin Rasyid, dari Zuhri, dari
‘Urwah, dari Aisyah, bahwa: . ‫أن رسول هللا لم يضرب أمرأة قط والخادما اال أن يجاهد‬
‫في سبيل هللا‬

Imam Abu Khatim berkata bahwa: Zuhri tidak pernah mendengar hadis ini
dari Urwah, ini berarti ada seorang yang tidak disebutkan oleh zuhri.
Sehingga menjadi samar.
(2). Tadlis asy- syuyukh jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad.
Karena perawi tidak sengaja mengugurkan salah seorang dari sanad dan tidak
sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan

5 h. 94
Ibid,
9

yang menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya,


memberi kun-ya atau memberikan nisbat ataupun memberikan sifat yang
tidak lazim dikenal. Contohnya:
Berkata Ibnu Adi; telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abi
Nashr al-Humaidi, telah mengabarkan kepada kami, Abdurrahim bin Ahmad
anNajjari, telah megabarkan kepada kami, Abdul Ghani bin Sa’id al-Hafish,
telah menceritakan kepada kami, Abu Hasan Ali bin Abdillah bin Fadil
atTamimi, telah meceritakan kepada kami, Abdullah bin Zaidan, telah
menceritakan kepada kami, Harun bin Abi Burdah, telah menceritakan
kepada ku, Saudaraku Husain, dari Yahya bin Ya’la, dari Abdullah bin
Musa, dari Zuhri dari Sa-ib bin Yazid , Nabi bersabda:

‫ال يحل لمسلم أن يرى تجردي أو عورتي اال علي‬

Dalam sanad tersebut ada seorang rawi bernama ‘Abdullah bin Musa.
Namanya yang sebenarnya dan yang masyhur adalah ‘Umar bin Musa ar-
Rahibi. Maksudnya agar riwayatnya dapat diterima, karena jika disebut Umar
bin Musa maka tentu orang tidak akan menerima karena dia seorang pemalsu
hadis. 6

2). Hadis-hadis daif karena sebab selain ketidakmuttashilan sanad:


a. Hadis Mudha’af
Yaitu hadis yang tidak disepakati kedaifannya. Sebagian ahli hadis
menilainya mengandung kedaifan, baik di dalam sanad maupun matan,
dan sebagian lainnya menilainya kuat. Akan tetapi penilaian daif itu lebih
kuat.

b. Hadis Mudhtharib

6 h. 99-100
Ibid,
10

Yaitu hadis yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling


berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas bagian yang
lainnya. Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadis, karena
menunjukkan ketidakdhabitan.

Ibid,
11

c. Hadis Maqlub
Yaitu hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri perawi,
kadangkadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama
seorang perawi. Msialnya Murrah ibn Ka’b dan Ka’b bin Murrah.

d. Hadis Syadz
Imam Syafi’ilah yang mula-mula memperkenalkan hadis syadz ini
menurutnya bila diantara perawi tziqat ada diantara mereka yang
menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelahnya sepakat
bahwa hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbul
dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.

e. Hadis Munkar
Hadis munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi daif yang
banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya.
Oleh karena itu kriteria hadis munkar adalah penyendirian perawinya
daif dan mukhalafah.

f. Hadis Matruk dan Mathruh


Hadis matruk ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh
berdusta dalam hadis nabawiy, atau sering bersdusta dalam
pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan
maupun kata-katanya. Atau yang sering sekali salah dan lupa. Misalnya
hadis-hadis Amr ibn Syamr dari Jabir al-Ja’fiy. Sedangkan hadis mathruh
ialah hadis yang terlempar hadisnya karena cacatnya perawinya.7

7 Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 311-315


14
Ibid., h. 315-316.
12

3. Kehujjaan Hadis Daif


Terkait dengan pengamalan hadis daif, terdapat beberapa pendapat
Pertama, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengemukakan bahwa ada tiga pendapat
mengenai pengamalan hadis daif,14 yaitu :
a. Hadis daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadail al-‘amal
maupun dalam menetapkan hukum;

b. Hadis daif bisa diamalkan secara mutlak, karena hadis daif lebih kuat daripada
ra’y (pendapat) perseorangan;

c. Hadis daif bisa diamalkan dalam masalah fadail al-‘amal bila memenuhi syarat.
Ibn Hajar mengemukakan syarat-syarat tersebut, yaitu :
1). Ke-daif-annya tidak terlalu lemah. Misalnya tidak terdapat periwayat
pendusta atau tertuduh berdusta serta tidak terlalu sering melakukan
kesalahan;
2). Hadis daif itu masuk dalam cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan;
3). Ketika mengamalkannya tidak diyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi
sekedar berhati-hati.
Kedua, M.Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa ada dua pendapat tentang
boleh tidaknya diamalkan atau dijadikan hujjah hadis daif, yaitu :

a. Imam al-Bukhari, Muslim, Ibn Hazm dan Ab- Bakr ibn al-‘Arabi, menyatakan
bahwa hadis daif sama sekali tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah,
baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk
keutamaan amal;

b. Imam Ahmad bin Hanbal, ‘Abd al-Rahman dan Ibn Hajar al-‘Asqalani,
menyatakan bahwa hadis daif dapat dijadikan hujjah atau diamalkan hanya
untuk dasar keutamaan amal dengan syarat :
1). Para periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut tidak terlalu lemah;
13

2). Masalah yang dikemukakan oleh hadis itu mempunyai dasar pokok yang
ditetapkan oleh Alquran dan hadis sahih;
3). Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.15
Dengan demikian, bahwa yang dimaksud dengan fadaiI’ al-‘amal dalam hal
ini adalah bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hukum, akan tetapi

M. Syuhudi Ismail, 15Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Angkasa, 1991), h.


187.
dimaksudkan untuk menjelaskan faedah atau kegunaan dari suatu amal.16 Artinya
tidak ada hujjah bagi apapun kecuali dengan hadis Rasulullah SAW yang sahih,
minimal hasan.

Namun demikian, al-Bukhariy, Muslim, Ibn al-'Arabiy, dan Dawud al-

Tahiriy berpendapat bahwa hadis dhaif tidak dapat diamalkan, meski untuk

keutamaan beramal, supaya tidak membahasakan suatu perkataan atau perbuatan

yang berasal dari Nabi, padahal perkataan atau perbuatan tersebut tidak berasal dari

Nabi saw17.

Dalam kaitan ini, al-Syawkaniy berpendapat bahwa hadis daif boleh

diamalkan untuk keutamaan amal dengan tiga syarat, yaitu:

Pertama, kelemahan hadis tersebut tidak parah, misalnya tidak diriwayatkan

oleh seorang pendusta.

Kedua, dalil yang terkandung dalam hadis itu tidak bertentangan dengan nas

yang lebih kuat.


14

Ketiga, ketika mengamalkan hadis tersebut tidak meyakininya sebagai hadis

yang berasal dari Nabi saw.

Menurut ulama kedhaifahn sanad hadis, bilamana sanad tersebut tidak bersambung,

periwayatnya tidak adil dan dhabit, padanya terdapat syadz dan

Hasbi Ash-Shiddieqy, 16op.cit., h. 232.

Rahmatunnair, Tinjauan dalam Pemakaian Hadits Daif,( Jurnal STAIN


17

Watampone PC.
Agun FS th. 2001) h.72
illat.8 Sedangkan kedhaifan pada matan hadis pada umumnya disebabkan terdapat
kejanggalan dan ia catat.9
Lebih lanjut M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa untuk mengetahui
kedhaifan matan hadis, maka tolok ukur yang digunakan adalah berpijak pada
kaidah kesahihan matan. Atau dengan kata lain, bilamana matan tersebut tidak
mencakup dalam kategori shahih, praktis ia berkualitas dhaif. Tolak ukur yang
dimaksud adalah

1) Susunan bahasanya rancu. Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa


Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas, mustahil menyabadakan
pernyataan yang rancu tersebut.

8 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 65

9 Ibid.
15

2) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan


sangat sulit diiterpretasikan secara rasional.

3) Kandungan pernyatannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran islam;


misalnya saja berisi ajakan untuk berbuat maksiat.

4) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan sunnatullah (hukum


alam)

5) Kandungan pernyatannya bertentagan dengan fakta sejarah

6) Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun


hadis mutawātir yang telah mengandung petunjuk secara pasti.
7) Kandungan pernyataannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk

umum ajaran Islam.20


Tolok ukur di atas, dijadikan sebagai pedoman dalam menilai
kriteria hadis, dan para ulama hadis tak terkecuali al-Bany juga berpegang
pada tolak ukur tersebut.
Berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa hadis-hadis dhaif dan
hadis-hadis mawdhu’ yang terdapat dalam buku al-Bany berjumlah kurang
lebih 1.000 (seribu) buah hadis, dengan klasifikasi, masing-masing jilid,
yakni jilid I dan jilid II terdiri atas kurang lebih 500 (lima ratus) buah hadis.
Penulis tidak merinci lebih lanjut mengenai berapa jumlah hadis-
hadis dhaid dan berapa jumlah hadis-hadis palsu, namun dengan adanya
klasifikasi seperti yang disebutkan di atas, mem-berikan dugaan kuat bahwa
hadis dhaif berjumlah kurang lebih 500 buah, dan hadis mawdhu’ juga
berjumlah kurang 500 buah.
Jumlah hadis-hadis dhaif dan mawdhu, sebanyak yang disebutkan di
atas memang sangat memungkinkan karena menurut al-Suyuti sesuai
16

penelitiannya bahwa hadis-hadis dhaif dan mawdhuf yang beredar di tengah-


tengah masyarakat kurang lebih 4.000 (empatribu) hadis.21
Selanjutnya, jika jumlah hadis-hadis dhaif dan mawdhui yang
dikemukakan al-Suyuti di atas, dijadikan sebagai jumlah standar, maka jelas
bahwa al-Bany hanya memaktubkan sebagiannya saja. Dalam hal ini, masih
ada

Ibn Ahmad Al-Adlabi, Mabhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Hadīś al-
20

Nabawī, diterjemahkan oleh H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul
Metodologi Kritik Matan
Hadis. (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 210

21
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Masnū’ah fi al-Ahadis al-Mawdhu’ah (Mesir: Maktabah
al-
Islamiyah, 1352 H). h. 278-284
tersisah sekitar 3.000 (tigaribu) hadis dhaif dan atau hadis palsu yang belum dilacak

oleh al-Bany.

Selanjutnya, al-Bany dalam mengutip hadis-hadis dalam bukunya tersebut,

disertai keterangan mengenai status kedhaifan dan atau kemawdhu’an hadis-hadis

yang bersangkutan. Misalnya, hadis ini adalah batil ( ‫ديث باطل‬77‫ذا الح‬77‫ )ه‬atau dalam

redaksi lain, hadis ini munkar (‫ ) هذا الحديث منكار‬dan semacamnya. Setelah itu, al-

Bany menyebutkan periwayatnya dan sebab-sebab kedhaifan dan


atau kemawdhu’an hadis tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini di-
kemukakan sampel, yakni ; ‫الدين هو العقل ومن الدين له ال عقلل له‬

Artinya :
17

Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya
Menurut al-Bany, hadis tersebut adalah batil. Diriwayatkan oleh Imam alNasi dari
Malik Basyir bin Ghalib. Kemudian ia lebih lebih lanjut berkata “hadis ini adalah
batil munkar”. Kelemahan hadis tersebut terlatak pada seorang sanadnya yang
bernama Bisyir. Dia ini majhul (asing/tidak dikenal).10

C. Masalah Hadis Maudhu’

1. Pengertian Hadis Maudhu’


Hadis maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim maf’ul dari , J yang

bermakna yang disusun, dusta yang diada-adakan, dan yang diletakkan.11

Sedangkan dari segi terminologi ulama hadis:


. ‫هو ما نسب الي الرسول هللا أختالفا وكذها مما لم يقله أو يفعله أو يقرد‬.
Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara mengada-ada
dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan, dan beliau
taqrirkan.12

2. Sebab-Sebab pemalsuan Hadis


Ketika melakukan penelusuran dan pengkajian sebab-sebab terjadinya
pemalsuan terhadap hadis nabi, maka ditemukan sebab-sebab sebagai berikut:
a). Golongan-golongan politik
Sesaat setelah fitnah pada masa Ali ra. Maka terjadilah pertarungan kepentingan
kelompok politik dalam Islam, khsusnya antara Syiah dan Kelompok Muawiyah,
kemudian bermunculan kelompok-kelompok lain setelahnya. Kemudian untuk
mempertahankan kepentingan kelompok tertentu maka bermunculanlah hadishadis
palsu sebagai jalan untuk meligitimasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu;
misalnya tentang pengukuhan wasiat Rasul Saw kepada Ali ra. Untuk memegang
khalifah setelah beliau wafat, sehingga mereka membuat hadis palsu diantaranya:
‫ووصي و موقع سري في أهلي وخير من أخلف بعدي علي‬
10 Lihat al-Bany, op. cit., h. 35
11 A. Qadir Hasan,op.Cit. h. 120
12 Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 352
18

“Orang-orang yang saya wasiati, tumpuan hatiku, penggantiku dalam


keluargaku dan orang yang terbaik yang memegang khalifah sesudahku
adalah Ali”.

Misalnya juga tentang hadis palsu oleh sebagian pengikut Muawiyah adalah:

‫األمناء عند هللا ثالثة أنا وجبريل ومعاوية‬


“Orang-orang yang terpercaya di sisi Allah ada tiga: Aku, Jibril dan
Muawiyah”

b). Perbedaan ras dan fanagtisme suku, negara dan iman.


Sebagian penguasa Banu Umayyah dalam menjalankan roda pemerintahan dan
memudahkannya bertumpu pada bangsa Arab pada khususnya. Sebagian mereka
sangat fanatik kesukuan. Memandang rendah suku-suku non Arab. Misalnya:

‫ان كالم الذين حول العرش بالفارس ية‬


“Sesungguhnya percakapan mereka yang ada di sekitar ‘Arsy adalah dengan
bahasa Parsi”

Lalu penantangnya juga membuat hadis:

‫أبغضالكالم الي هللا الفارس وكالم أهل الجنة العربية‬


“Percakapan yang paling dibenci oleh Allah adalah dengan bahasa Persi.
Dan percakapan para penghuni surga adalah dengan bahasa Arab”

c). Para tukang cerita


sebagian tukang cerita ketika melakukan pemalsuan terhadap hadis nabi tidak lain
bertujuan untuk menarik dan mengumpulkan banyak orang. Dan sebagian mereka
bertujuan untuk mendapatkan hadiah dari pendengarnya. Diantara hadis palsu
tersebut: ‫من قال ال اله اال هللا خلق هللا من كل كلمات طيرا منقاره من ذهب وريشه من مرجان‬
“Barang siapa mengucapkan La Ilaha Illallah, maka Allah akan menciptkan
satu burung dari setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari
marjan”
d). Senang kebaikan tanpa pengetahuan agama yang cukup
19

Sebagian orang saleh dan zahid yang melihat kesibukan masyarakat atas dunia dan
meninggalkan akhirat. Lalu mereka membuat hadis-hadis palsu berkenaan dengan
tahrib dan targhib, dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Diantara
hadis palsu yang dibuat oleh mereka tentang keutamaan surat demi surat dalam
Alquran, sebagian masalah perdukunan dan lain-lain. Ditanya kepada salah seorang
diantara mereka: “dari mana engkau mendapatkan hadis-hadis ini, siapa yang
membaca begini, ia menjawab “aku memalsukannya agar manusia menyukainya”
e). Perbedaan madzhab dan teologi
Disamping pemalsuan yang dilakukan oleh oleh para pengikut aliran politik
tertentu demi memperkuat pendapat golongan mereka, ada juga pemalsuan yang
dilakukan oleh para pengikut madzhab fikih dan teologi. Misalnya:

‫من يرفع يده في الركوع فال صالة له‬


“Barang siapa yang mengangkat tangannya ketika ruku’ maka tiadalah
shalat baginya”

Dan tentang teologi:

‫ أقوام من أمتي يقولون‬،‫كل من في السماوات و االرض وما بينهما فهو مخلوق غير القرآن وسيحي‬
‫القرآن مخلوق فمن قاله منهم فقد كفر باهلل و طلقت أمرأته من ساعته‬
“Semua yang ada di langit dan yang ada di atara keduanya adalah mahluk,
kecuali Alquran. Dan akan ada orang-orang dari umatku yang mengatakan,
Alquran adalah mahluk. Siapa yang diantara mereka yang mengatakan hal
itu, maka ialah kafir kepada Allah yang maha Agung, dan isterinya tercerai
saat itu juga”.13
Walaupun masih ada sebab-sebab yang lain terjadinya pemalsuan hadis, namun
menurut penulis inilah hal yang sangat mendasar terjadinya pemalsuan terhadap
hadis Nabi.
3. Tanda-tanda hadis maudhu’
Sesungguhnya untuk mengetahui dan mengidentifikasi hadis palsu maka perlu
dilakukan penelitian hadis secara seksama dan mendalam baik terhadap sanad

13 Ibid, h. 352- 368


20

maupu matan hadis. Namun Ada beberapa hal yang bisa menjadi indikasi
sederhana terhadap hadis palsu ialah sebagai berikut:
a). Hadis tersebut mengandung susunan yang kacau (tidak karuan), yang mana tidak
mungkin disabdakan oleh Nabi.
b). Hadis tersebut memiliki kandungan yang berhak mendapatkan celaan.
c). Isinya bertentang dengan ketetapan agama yang kuat dan jelas.
d). Ada beberapa pengakuan yang sah yang menunjukkan kepalsuannya.
e). Bertentang dengan Alquran
f). Isinya bertentangan dengan akal,
g). Pengakuan yang dilakukan oleh si pemalsu hadis bahwa dialah yang
mengadaadakan hadis tersebut, dll.14
4. Tokoh-tokoh pemalsu hadis
Diantara nama-nama pelaku pemalsuan hadis nabi ialah berikut ini:
a). Ahmad bin Abdillah al-Juwaibari
b). ‘Abbas bin Dlahhak
c). Abu Dawud an-Nakhi, namanya Sulaiman bin Amr
d). Ali bin Urwah ad-Damsyiqi
e). Al-Mughirah bin Syu’bah al-Kufi
f). Al-Waiqidi, namanya Muhamad bin ‘Umar bin Waqid
g). Giats bin Ibrahim an-Nakhi
h). Hammad bin ‘Amr an-Nashibi
i). Ibnu Jah-dlam
j). Ishaq bin Najih
k). Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya
l). Maisarah bin ‘Abdi Rabbiah al-Farisi,
m). Muhammad bin Saib al-kalbi,
n). Muhammad bin Sai’d as-Syami al-Mashlub
o). Ma’mun bin Ahmad al-Harawi
p). Muhammad bin ‘Ukasyah al-Karmani
q). Muhammad bin Qasim ath-Thaikani
r). Muhammad bin Tamim al-Fariyabi
s). ‘Umar bin Rasyid al-Madani
t). ‘Umar bin Shabih al-Khurasani,
14 A. Qadir Hasan , op. cit, 121. Lihat juga Ajjaj al-Khatib , op.cit, h. 369
21

u). Wahb bin Wahb al-Qadli Abul Bukhtari,


v). Zaid bin Rifa’ al-Hasyimi.

Kebanyakan hadis maudhu’ terdapat dalam kitab-kitab tafsir, tarikh, dan


sebagainya, seperti: Tafsir Baidlawi, Tafsir Kalbi, Muqatil, Kitab Muhammad bin
Is-
Haq tentang peperangan dan beberapa kitab al-Waqidi.27
Upaya ulama di dalam menjaga hadis dari pemalsuan tampak dalam beberapa
karya, diantaranya: Tadzikraj al-Maudhu’at oleh Abu al-Fadhl Muhammad Ibnu
Thahir al-Maqdisiy, Al-Maudhu’at al-Kubru oleh al-Faras Abdurrahman Ibn
alJauziy, al-Fawaid al-Maj’mu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’at oleh al-Qadhy
Abdillah
Muhammad Abn Ali Asy-Syaukaniy, al-La’aliy al-Mashnu’ah fi al-Ahadits
alMaudhu’at oleh al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthy.28
22

27 Ibid, h. 135
28 Ajjaj al-Khatib, op.cit, h, 371

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Hadis daif adalah hadis yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan
ia lemah. Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat hadis Sahih dan
Hasan. Sebab-sebab kedaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok
yaitu: (1). Ketidakmuttashilan sanad, dan (2) Selain ketidakmuttashilan
sanad
2. Untuk hal yang berkenaan dengan akidah, sebagian ulama berpendapat
bahwa hadis ahād tidak dapat dijadikan hujjah, dan sebagian yang lain
berpendapat bahwa hadis ahād yang sahih dapat dijadikan hujjah.
Sedangkan untuk hal yang tidak berkaitan dengan akidah, hadis sahih
disepakati oleh ulama sebagai hujjah dan wajib diamalkan. Untuk hadis
hasan, ulama berbeda pendapat; sebagian pendapat menerima dan sebagian
lagi menolak. Tetapi pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai
hujjah. Hadis hasan dengan kedua pembagiannya dapat dijadikan hujjah
sebagaimana hadis sahih dan dapat diamalkan, meskipun kekuatannya lebih
rendah di bawah hadis sahih.
23

3. Hadis maudhu’ ialah sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara
mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan, dan
beliau taqrirkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahw, Muhammad. al-Hadīś wa al-Muhaddizūn Mesir: Mathba’at


alMisriyah, t.th.

Al-Adlabi, Ibn Ahmad, Mabhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Hadīś


alNabawī, diterjemahkan oleh H. M. Qadirun Nur dan Ahmad
Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik Matan Hadis. Cet. I;
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004

Hasan, A. Qadir. Ilmu Mushthalaha al-Hadits. cet. III; Bandung: CV.


Diponegoro, 1987
24

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II; Bandung: Angkasa,


1991.

__________Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Cet


I.; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

‘Itr, Nūr al-Dīn. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadīs. Diterjemahkan oleh


Mujiyo dengan judul ‘Ulūm al-Hadis 2. Cet. II; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1997.

Al-Khathīb, ‘Ajjāj. Ushūl al-Hadīs; ‘Ulūmuh wa Mushthalahuh.


diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul al-Hadīś, cet.I;
Jakarta : Gaya Media, 1998.

Rahman, Fathur. Ikhstisar Mushthalahul Hadits. cet.VIII; Bandung :


PT.Almaarif, 1995

Rahmatunnair, Tinjauan dalam Pemakaian Hadits Daif, Jurnal STAIN


Watampone PC. Agun FS th. 2001

Al-Shālih, Subhi. ‘Ulūm al-Hadīs wa Mushthalahuhu. Diterjemahkan oleh


Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Cet.
II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Al-Suyūthīy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin Abī Bakr. Tadrīb al-Rāwīy fī
Syarh Taqrīb al-Nawawīy. Cet. II; al-Madīnah al-Munawwarah:
alMaktabah al-‘Ilmiyyah, 1972.

---------------, al-Masnū’ah fi al-Ahadis al-Mawdhu’ah, Mesir: Maktabah


al-Islamiyah, 1352 H

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet.VII;


Jakarta : Bulan Bintang, 1987

Ibrāhīm Khithāb Thāhūn, Ratībah. Al-Wajīz fī ‘Ilm Mushthalah al-Hadīs


Cet. I; Kairo: al-Salām, 1993

Zuhri, Muh. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, cet.I; Jakarta :
PT.Tiara Wacana Yogya, 1997
25

Anda mungkin juga menyukai