”MAKALAH”
“Hadis Dhai’f dan Hadis Maudhu”
Disusun oleh :
KELOMPOK 11
Dosen Pengampu :
Mustapa, S.Th., M.Hum.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Pengertian Al-Qur’an....................................................................................2
B. Pengertian Nuzul Qur’an..............................................................................3
C. Sejarah Turunnya Al-Qur’an........................................................................4
D.................................. Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur
8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12
3
A. Pendahuluan
Upaya pelestarian keotentikan hadis Nabi saw telah dilakukan sejak masa
sahabat dengan menggunakan metode kompirmasi. Setelah Nabi saw wafat,
kegiatan kompirmatif ini tentu tidak lagi dilakukan oleh sahabat. Tetapi
selanjutnya, para sahabat menanya-kan kepada orang lain yang ikut hadir
mendengar dan menyaksikan hadis itu terjadi. Kegiatan penghimpunan hadis secara
resmi dan massal, barulah dilakukan dipenghujung abad I H, atas inisiatif dan
kebijakan Khalifah Umar bin Abd. Aziz.1 Pada masa yang cukup panjang itu
setelah wafatnya Rasul, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang dilakukan
oleh beberapa golongan dengan tujuan tertentu. Atas kenyataan inilah, ulama hadis
berupaya menghimpun hadis Nabi. Selain harus melakukan perlawatan untuk
menghubungi para periwayat hadis yang tersebar di berbagai daerah, juga
mengadakan penelitian identitas periwayat dan menyeleksi semua hadis yang
mereka himpun.
- Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, bahwa hadis daif adalah hadis yang yang tidak
memenuhi syarat-syarat bisa diterima.4
- Fatchur Rahman berpendapat bahwa hadis daif adalah : 5ما فقد شرطا أو أكثر من شروط الصحيح أو
الحسن
2 ‘Ajjāj al-Khathīb, Ushul al-Hadīś, diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul
alHadīś (cet.I; Jakarta : Gaya Media, 1998), h. 271.
5
Diponegoro, 1987) h. 91
Hadis daif termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat
satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadis sahih atau
hasan yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadis daif yang karena tidak bersambung
sanadnya dan tidak adil periwayatnya, adalah lebih daif daripada hadis daif yang
hanya keguguran satu syarat untuk diterima sebagai hadis hasan, atau dengan kata
lain hadis daif yang keguguran tiga syarat lebih daif daripada hadis daif yang hanya
keguguran dua syarat.
Fatchur Rahman mengutip pendapat al-‘Iraqi, bahwa hadis adaif bisa
dibagi menjadi 42 bagian dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis adaif terdiri
atas 129 macam, bahkan bisa lebih dari itu.7
Dalam makalah ini penulis hanya akan mengemukakan sebagian hadis daif
menurut Ajjaj al-Khatib, sebagai berikut:8
6
ان:عن مالك عن عبد هللا بن أبي بكرى بن حزم أن في الكتاب الذي كتبه رسول هللا لعمر و بن حزم
Abdullah bin Abi Bakr pada hadis di atas merupakan seorang Tabi’i,
sedangkan seorang tabi’i tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi Saw. Akan
b. Hadis Munqathi’
Hadits munqathi yaitu dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu
tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari
segi gugurnya seorang perawi ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja, kalu hadis
mursal gugurnya perawi dibatasi oelh tingkatan sahabat, sementara dalam hadits
munqathi seperti itu. Jadi setiap hadits yang sanadnya gugur satu orang perawi baik
awal, ditengah ataupun diakhir- disebut munqathi. Adapun contohnya sebagai
berikut:
Berkata Ahmad bin Syu’ib; telah mengabarkan kepada kami. Qutaibah
bin Sa’id, telah ceritakan kepada kami. Abu ‘Awanah, telah
menceritakan kepada kami, Hisyam bin Urwah, dari Fatimah binti
Mundzir, dari Ummi Salamah , ummil Mu’minin, ia berkata; telah
bersabda Rasul Saw:
يحرم من الرضاع اال ما فتق األمعاء في الثدي وكان قبل الفطام
Pada hadis tersebut di atas Fatimah tidak mendengar hadis tersebut dari Ummu
Salamah, waktu Ummu salamah meninggal Fatimah ketika itu masih kecil dan
tidak bertemu dengannya.4
c. Hadis Mu’dhal
yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-
turut.hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi. Sama dari segi
keburukan kualitasnya, bila munqathi’annya lebih dari satu tempat. Contohnya
sebagai berikut: kata Syafi’I; telah mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim,
dari Ibnu Juraij, bahwa:
d. Hadis Mudallas
Kata “tadlis” secara etimologis berasal dari akar kata “ad-Dalas” yang berarti
“adz-Dzhulman” (kedzaliman). Tadlis dalam jual-beli berarti menyembunyikan aib
barang adri pembelinya. Dari sinilah disinilah diambil dalam pengertian dalam
sanad. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan
sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkan.
Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu tadlis al- Isnad dan tadlis asy-syuyukh.
(1). Tadlis al- isnad yaitu seseorang perawi (mengatakan) meriwiyatkan
sesuatu dari sesamanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau
pernah bertemu tetapi diriwiyatkannya itu tidak didengar dari orang tersebut,
dengan cara menimbulkan dugaan mendengar langsung.
Diriwayatkan oleh an-Nu’man oleh an-Nu’man bin Rasyid, dari Zuhri, dari
‘Urwah, dari Aisyah, bahwa: . أن رسول هللا لم يضرب أمرأة قط والخادما اال أن يجاهد
في سبيل هللا
Imam Abu Khatim berkata bahwa: Zuhri tidak pernah mendengar hadis ini
dari Urwah, ini berarti ada seorang yang tidak disebutkan oleh zuhri.
Sehingga menjadi samar.
(2). Tadlis asy- syuyukh jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad.
Karena perawi tidak sengaja mengugurkan salah seorang dari sanad dan tidak
sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan
5 h. 94
Ibid,
9
Dalam sanad tersebut ada seorang rawi bernama ‘Abdullah bin Musa.
Namanya yang sebenarnya dan yang masyhur adalah ‘Umar bin Musa ar-
Rahibi. Maksudnya agar riwayatnya dapat diterima, karena jika disebut Umar
bin Musa maka tentu orang tidak akan menerima karena dia seorang pemalsu
hadis. 6
b. Hadis Mudhtharib
6 h. 99-100
Ibid,
10
Ibid,
11
c. Hadis Maqlub
Yaitu hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri perawi,
kadangkadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama
seorang perawi. Msialnya Murrah ibn Ka’b dan Ka’b bin Murrah.
d. Hadis Syadz
Imam Syafi’ilah yang mula-mula memperkenalkan hadis syadz ini
menurutnya bila diantara perawi tziqat ada diantara mereka yang
menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelahnya sepakat
bahwa hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbul
dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
e. Hadis Munkar
Hadis munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi daif yang
banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya.
Oleh karena itu kriteria hadis munkar adalah penyendirian perawinya
daif dan mukhalafah.
b. Hadis daif bisa diamalkan secara mutlak, karena hadis daif lebih kuat daripada
ra’y (pendapat) perseorangan;
c. Hadis daif bisa diamalkan dalam masalah fadail al-‘amal bila memenuhi syarat.
Ibn Hajar mengemukakan syarat-syarat tersebut, yaitu :
1). Ke-daif-annya tidak terlalu lemah. Misalnya tidak terdapat periwayat
pendusta atau tertuduh berdusta serta tidak terlalu sering melakukan
kesalahan;
2). Hadis daif itu masuk dalam cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan;
3). Ketika mengamalkannya tidak diyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi
sekedar berhati-hati.
Kedua, M.Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa ada dua pendapat tentang
boleh tidaknya diamalkan atau dijadikan hujjah hadis daif, yaitu :
a. Imam al-Bukhari, Muslim, Ibn Hazm dan Ab- Bakr ibn al-‘Arabi, menyatakan
bahwa hadis daif sama sekali tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah,
baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk
keutamaan amal;
b. Imam Ahmad bin Hanbal, ‘Abd al-Rahman dan Ibn Hajar al-‘Asqalani,
menyatakan bahwa hadis daif dapat dijadikan hujjah atau diamalkan hanya
untuk dasar keutamaan amal dengan syarat :
1). Para periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut tidak terlalu lemah;
13
2). Masalah yang dikemukakan oleh hadis itu mempunyai dasar pokok yang
ditetapkan oleh Alquran dan hadis sahih;
3). Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.15
Dengan demikian, bahwa yang dimaksud dengan fadaiI’ al-‘amal dalam hal
ini adalah bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hukum, akan tetapi
Tahiriy berpendapat bahwa hadis dhaif tidak dapat diamalkan, meski untuk
yang berasal dari Nabi, padahal perkataan atau perbuatan tersebut tidak berasal dari
Nabi saw17.
Kedua, dalil yang terkandung dalam hadis itu tidak bertentangan dengan nas
Menurut ulama kedhaifahn sanad hadis, bilamana sanad tersebut tidak bersambung,
Watampone PC.
Agun FS th. 2001) h.72
illat.8 Sedangkan kedhaifan pada matan hadis pada umumnya disebabkan terdapat
kejanggalan dan ia catat.9
Lebih lanjut M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa untuk mengetahui
kedhaifan matan hadis, maka tolok ukur yang digunakan adalah berpijak pada
kaidah kesahihan matan. Atau dengan kata lain, bilamana matan tersebut tidak
mencakup dalam kategori shahih, praktis ia berkualitas dhaif. Tolak ukur yang
dimaksud adalah
8 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 65
9 Ibid.
15
Ibn Ahmad Al-Adlabi, Mabhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Hadīś al-
20
Nabawī, diterjemahkan oleh H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul
Metodologi Kritik Matan
Hadis. (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 210
21
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Masnū’ah fi al-Ahadis al-Mawdhu’ah (Mesir: Maktabah
al-
Islamiyah, 1352 H). h. 278-284
tersisah sekitar 3.000 (tigaribu) hadis dhaif dan atau hadis palsu yang belum dilacak
oleh al-Bany.
yang bersangkutan. Misalnya, hadis ini adalah batil ( ديث باطل77ذا الح77 )هatau dalam
redaksi lain, hadis ini munkar ( ) هذا الحديث منكارdan semacamnya. Setelah itu, al-
Artinya :
17
Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya
Menurut al-Bany, hadis tersebut adalah batil. Diriwayatkan oleh Imam alNasi dari
Malik Basyir bin Ghalib. Kemudian ia lebih lebih lanjut berkata “hadis ini adalah
batil munkar”. Kelemahan hadis tersebut terlatak pada seorang sanadnya yang
bernama Bisyir. Dia ini majhul (asing/tidak dikenal).10
Misalnya juga tentang hadis palsu oleh sebagian pengikut Muawiyah adalah:
Sebagian orang saleh dan zahid yang melihat kesibukan masyarakat atas dunia dan
meninggalkan akhirat. Lalu mereka membuat hadis-hadis palsu berkenaan dengan
tahrib dan targhib, dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Diantara
hadis palsu yang dibuat oleh mereka tentang keutamaan surat demi surat dalam
Alquran, sebagian masalah perdukunan dan lain-lain. Ditanya kepada salah seorang
diantara mereka: “dari mana engkau mendapatkan hadis-hadis ini, siapa yang
membaca begini, ia menjawab “aku memalsukannya agar manusia menyukainya”
e). Perbedaan madzhab dan teologi
Disamping pemalsuan yang dilakukan oleh oleh para pengikut aliran politik
tertentu demi memperkuat pendapat golongan mereka, ada juga pemalsuan yang
dilakukan oleh para pengikut madzhab fikih dan teologi. Misalnya:
أقوام من أمتي يقولون،كل من في السماوات و االرض وما بينهما فهو مخلوق غير القرآن وسيحي
القرآن مخلوق فمن قاله منهم فقد كفر باهلل و طلقت أمرأته من ساعته
“Semua yang ada di langit dan yang ada di atara keduanya adalah mahluk,
kecuali Alquran. Dan akan ada orang-orang dari umatku yang mengatakan,
Alquran adalah mahluk. Siapa yang diantara mereka yang mengatakan hal
itu, maka ialah kafir kepada Allah yang maha Agung, dan isterinya tercerai
saat itu juga”.13
Walaupun masih ada sebab-sebab yang lain terjadinya pemalsuan hadis, namun
menurut penulis inilah hal yang sangat mendasar terjadinya pemalsuan terhadap
hadis Nabi.
3. Tanda-tanda hadis maudhu’
Sesungguhnya untuk mengetahui dan mengidentifikasi hadis palsu maka perlu
dilakukan penelitian hadis secara seksama dan mendalam baik terhadap sanad
maupu matan hadis. Namun Ada beberapa hal yang bisa menjadi indikasi
sederhana terhadap hadis palsu ialah sebagai berikut:
a). Hadis tersebut mengandung susunan yang kacau (tidak karuan), yang mana tidak
mungkin disabdakan oleh Nabi.
b). Hadis tersebut memiliki kandungan yang berhak mendapatkan celaan.
c). Isinya bertentang dengan ketetapan agama yang kuat dan jelas.
d). Ada beberapa pengakuan yang sah yang menunjukkan kepalsuannya.
e). Bertentang dengan Alquran
f). Isinya bertentangan dengan akal,
g). Pengakuan yang dilakukan oleh si pemalsu hadis bahwa dialah yang
mengadaadakan hadis tersebut, dll.14
4. Tokoh-tokoh pemalsu hadis
Diantara nama-nama pelaku pemalsuan hadis nabi ialah berikut ini:
a). Ahmad bin Abdillah al-Juwaibari
b). ‘Abbas bin Dlahhak
c). Abu Dawud an-Nakhi, namanya Sulaiman bin Amr
d). Ali bin Urwah ad-Damsyiqi
e). Al-Mughirah bin Syu’bah al-Kufi
f). Al-Waiqidi, namanya Muhamad bin ‘Umar bin Waqid
g). Giats bin Ibrahim an-Nakhi
h). Hammad bin ‘Amr an-Nashibi
i). Ibnu Jah-dlam
j). Ishaq bin Najih
k). Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya
l). Maisarah bin ‘Abdi Rabbiah al-Farisi,
m). Muhammad bin Saib al-kalbi,
n). Muhammad bin Sai’d as-Syami al-Mashlub
o). Ma’mun bin Ahmad al-Harawi
p). Muhammad bin ‘Ukasyah al-Karmani
q). Muhammad bin Qasim ath-Thaikani
r). Muhammad bin Tamim al-Fariyabi
s). ‘Umar bin Rasyid al-Madani
t). ‘Umar bin Shabih al-Khurasani,
14 A. Qadir Hasan , op. cit, 121. Lihat juga Ajjaj al-Khatib , op.cit, h. 369
21
27 Ibid, h. 135
28 Ajjaj al-Khatib, op.cit, h, 371
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Hadis daif adalah hadis yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan
ia lemah. Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat hadis Sahih dan
Hasan. Sebab-sebab kedaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok
yaitu: (1). Ketidakmuttashilan sanad, dan (2) Selain ketidakmuttashilan
sanad
2. Untuk hal yang berkenaan dengan akidah, sebagian ulama berpendapat
bahwa hadis ahād tidak dapat dijadikan hujjah, dan sebagian yang lain
berpendapat bahwa hadis ahād yang sahih dapat dijadikan hujjah.
Sedangkan untuk hal yang tidak berkaitan dengan akidah, hadis sahih
disepakati oleh ulama sebagai hujjah dan wajib diamalkan. Untuk hadis
hasan, ulama berbeda pendapat; sebagian pendapat menerima dan sebagian
lagi menolak. Tetapi pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai
hujjah. Hadis hasan dengan kedua pembagiannya dapat dijadikan hujjah
sebagaimana hadis sahih dan dapat diamalkan, meskipun kekuatannya lebih
rendah di bawah hadis sahih.
23
3. Hadis maudhu’ ialah sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara
mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan, dan
beliau taqrirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyūthīy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin Abī Bakr. Tadrīb al-Rāwīy fī
Syarh Taqrīb al-Nawawīy. Cet. II; al-Madīnah al-Munawwarah:
alMaktabah al-‘Ilmiyyah, 1972.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, cet.I; Jakarta :
PT.Tiara Wacana Yogya, 1997
25