STUDI HADIST
DOSEN PENGAMPU :
DiSusun Oleh :
Alfu Iskandar (
Riwan Diki (
EKONOMI SYARIAH
2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Dha’if
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam pembuatan hadits dha'if supaya kita mengerti bagaimana pengertian hadits dha'if.
Disini dijelaskan bahwa hadits dha'if adalah hadits yang lemah, disebabkan karna gugurnya rawi,
cacat pada rawi dan matannya, dalam pembahasan ini kita dapat mengetahui bagaimana hadits
Hadits dha'if ini banyak macam ragamnya oleh karena itu kita harus lebih memahami
tentang hadits dha'ifnya. Kemudian tentang kehujahan hadits dha'if ini dapat diamalkan secara
mutlak yang berkaitan dengan masalah halal dan haram, kewajiban dengan syarat tidak ada
hadits lain, kemudian dipandang baik mengamalkan hal-hal yang dianjurkan dan meninggalkan
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan
iii
BAB II
PEMBAHASAN
Kata dha'if menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat).
Sebagai lawan kata dari sahih, kata dha'if juga berarti sagini (yang sakit). Maka, sebutan hadis
dha'if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, dan yang tidak kuat. Secara
terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang beragam, meskipun maksud
dan kandungannya sama. Al-Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha'if dengan:
َم ا َلْم ُيْو َج ْد ِفيِه ُش ُروُط الِّص َّح ِة َو َال ُش ُروُط اْلَح َس ِن
“Hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat- syarat hadis
hasan".1
Secara umum, hadis da'if didefinisikan sebagai hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadis sahih dan hadisn hasan. Secara khusus, hadis da'ifadalah hadis yang terputus sanadnya.
Atau di antara periwayatnya ada yang cacat,atau matannya bertentangan dengan akal sehat, dalil
yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu riwayat-riwayat mutawatir, tujuan pokok ajaran Islam dan
fakta sejarah yang telah tegas, atau redaksinya tidak menggambarkan sabda kenabian.2
1
Muhyi al-Din Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib li al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits (Kairo; Abd’al-
Rahman Muhammad,tth.),hlm.19 dan Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun
Musihalah al-Hadits,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1979M), hlm. 108
2
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),127
4
B. Kriteria Hadis Dha’if
Pada definisi di atas terlihat bahwa hadis dha'if tidak memenuhi salah satu dari kriteria
hadis sahih atau hadis hasan. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, kriteria-kriteria
1. sanadnya bersambung
2. periwayat 'adil
Berhubung hadis dha'if tidak memenuhi salah satu dari beberap kriteria di atas, maka
kriteria-kriteria hadis dha 'if adalah: (1) sanadnya terputus; (2) periwayatnya tidak 'edil; (3)
periwayatnya tidak dhabith; (4) mengandung syadz; dan (5) mengandung illat. Penjelasan
tentang kriteria-kriteria ini selanjutnya dapat dilihat pada penjelasan tentang macam-macam
5
Berdasarkan sebab-sebab di atas, maka macam-macam hadis dha'il ini dikelompokkan
sebagai berikut.
a.Pada Sanad
Hadits Munqathi
ما سقط ِم ْن َس نِدِه َر اٍر َو اِح ٍد ِفي َم ْو ِض يِع َأْو َأْك َتر او
Ini adalah definisi yang masyhur di kalangan ulama hadis. Akan tetapi gugurnya sanad
tersebut dibatasi jumlahnya yaitu hanya satu atau dua tapi tidak secara berurutan. Al-Suyuthi
menambahkan bahwa tempat gugurnya tersebut sebelum sahabat atau pada thabaqat pertama.
Cara mengetahui hadis mungathi' ini adalah dengan jalan (a) diketahuinya tidak ada
persambungan sanad hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian karena masa hidup
perawi tidak sezaman; (b) diketahui dari sudut pandang perawi hadis yang lain yang juga
meriwayatkan hadis yang sama, dan; (c) diketahui ada kesamaran dalam tata urutan sanad
tersebut. Dan terakhir ini biasanya hanya diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
Hadits Mu'allaq
4
Ajjaj Al-Khathib menyusun definisi hadis mungathi’ ini dengan mengolah perbedaan berbagai definisi
hadis yang diberikan oleh para ulama hadits yang hidup pada masa sebelumnya.Lih. Ajjaj Al-Khathib,op.cit,.hlm.
339
6
هَُو اَّلِذ ي َم ا ُخ ِذ َف ِم ْن ُأوِل ِإْسَناِدِه َو اِحٍد َفَأْكَثَر َع َلى
التوالي
"Yaitu hadis yang rawinya digugurkan seorang atau lebih diawal sanadnya secara
berturut-turut".5
Sebagai contoh hadis mu'allaq adalah Bukhari me riwayatkan hadis dari Bahz ibn
a. Al-Maudhu'
Hadis Maudhu' yaitu hadis yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan
ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta. baik sengaja maupun tidak.
"Hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang
اْلَحِد يُث اَّلِذ ي َيْر ِو يِه الَّض ِع يُف ُم َخ اِلًفا ِرَو اَيَة الَّثَقِة
5
Ajjaj Al-Khathib.op.cit,.hlm.357
6
Subhi Al-Shalih,op. cit. hlm. 206-207
7
“Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dha'if), yang bertentangan
a. Mudraj
"Hadis yang menampilkan (redaksi) tambahan. pada- hal bukan (bagian dari) hadis."8
Redaksi tersebut bisa saja milik orang lain baik itu dari sahabat maupun tabiin, atau
komentar dari perawi sendiri dalam rangka menerangkan suatu makna/maksud suatu hadis.
Tambahan itu bisa saja terjadi di matan dan juga sanad. Tambahan dalam matan bisa di awal,
tengah atau akhir. Sementara idraj dalam sanad bisa terjadi seorang rawi memasukkan suatu
sanad padahal bukan termasuk sanad dari hadis tersebut, atau seorang rawi memasukkan matan
Cara mengetahui idraj tersebut, adalah dengan (a) stu- di perbandingan dengan hadis
yang diriwayatkan oleh perawi lain; (b) ada pernyataan dari perawi secara jelas. (misalnya)
bahwasanya ini adalah penjelasan tambahan. ini adalah tafsir, dan lain-lain, dan; (c) Ahli telaah
b. Hadits Maqlub
"Hadis yang lafaz matannya tertukar pada oleh salah seorang perawi, atau seseorang
8
belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan. atau dengan
Tertukarnya hadis di sini, bisa terjadi pada matan (maqlûb fi al-matn). dan bisa terjadi pada
a. Hadis Syadz
َم اَر َو اُه َلَم ْقُبوُل ُم َخاِلًفا ِلرَو اَيٍة َم ْن أولى ِم ْنُه
"Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan
Dengan pengertian ini, periwayatan yang hanya dilakukan melalui satu jalan sanad,
tidak bisa dikatakan syadz, meskipun sanad tersebut lemah. Periwayatan baru bisa dikatakan
syadz, apabila matannya terjadi pertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Maka jika ada hadis
yang diriwayatkan melalui satu jalan sanad, hadis yang diriwayatkan dengan satu jalan sanad
b. Hadits Mu’allal
9
Subhi Al-Shalih,op.cit., hlm. 191.
10
Ibid.,hlm. 130-131. Lihat juga Subhi Al-Shalih, op. cit., hlm. 196 dan Al-Asqalani, Syarh Nuhbat Al-
Fikr,op. cit., hlm.14
9
“Yaitu hadis yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan
Dengan kata lain hadis muallal ini adalah hadis yang pada lahirnya tampak selamat
(sahih) tapi setelah dilakukan penelitian yang mendalam ada kecacatan yang sangat parah. Illat
Hadis dha'if ada kalanya tidak bisa ditolelir (la yujbaru) kedhaifannya-misalnya karena
ke-maudhu'an-nya, ada juga yang bisa tertutupi (yujbaru) kedhaifannya (karena ada faktor
lainnya). Untuk yang pertama tersebut, berdasarkan kesepa- katan para ulama hadis, tidak
ul-a'mal.
Sementara untuk jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak, baik
untuk penetapan hukum, akidah maupun fadha'il al-a'mal, dengan alasan karena hadis dhaif ini
tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Di antara yang berpendapat seperti ini
adalah Imam Bukhari, Imam Mus- lim, dan Abu Bakr ibn Al-'Araby12
Hadits dhoifsecara bahasaberarti lemah artinya bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits
yang tidak kuat. Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
11
Referensi utama adalah Ibnu Al-Shalih,op.cit.,hlm. 114, Al-Suyuthi,op.cit., hlm 252 ‘Ajjaj Al-Khathib,
op.cit., hlm. 343, Fatchurrahman, op.cit., hlm. 160
12
Nama lengkapnya Muhammad ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Ab- dillah ibn Ahmad. Julukannya Abu Bakr dan
nama populernya adalah Ibn Al- Araby Al-Mu'afiri. la lahir pada tahun 468 H di Sevilla Spanyol dan wafat pada tahun 543 H di
Marrakach Maroko. Lihat biografinya dalam Ibn Al-'Araby, Ahkam Al-Qur'an, tahqiq: Ali Muhammad Al-Bajawi. (Beirut : Dar
Al-Makrifat, tt.), Vol.1, hlm. 5.
10
mendefinisikan hadits dhoif ini akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda.
Beberapa definisi,diantaranya adalah sebagai berikut: Hadits yang di dalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadits shohihdan syarat-syarat hadits hasan, Hadits yang hilang salah
satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohihatau yang hasan). dan Pada
definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalahhadits yang jika
satu syaratnya hilang.Adapun kriteria haditsdhoifadalah dimana ada salah satu syarat dari
hadits shohih dan hadits hasan yang tidak terdaoat padanya,yaitu sebagai berikut sebagai
berikut:Sanadnyatidak bersambung, Kurang adilnyaperawi, Kurang dhobithnyaperawi, Ada
syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah
dibandingkan dengan dirinyadan Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang
menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara dhohirterlihat bebas dari cacat.
Ulama Hadis yang Berpendapat; Pendapat ini disandarkan kepada beberapa Imam
yang agung, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris
al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud Sulaimanbin al-Asy’ats al-Sijistani,
Kamaluddin bin al-Hamam, Muhammad al-Ma’in bin Muhammad al-Amin. Ibnu Mandah
meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa’d al-Bawardi berkata bahwa di
antara pendirian al-Nasā’ī adalah mengeluarkan hadis dari setiap rawiyang tidak disepakati
11
untuk ditinggalkan. Selain itu, Abu Dawud al-Sijistani pun mengambil hadis yang sama
sebagaimana yang diambil oleh al-Nasā’ī dan mencantumkan sanad yang dha’īf jika tidak
ditemukan hadis lain pada bab tersebut. Karena menurutnya hadis yang demikian lebih kuat
daripada pendapat ulama“.
Pendapat ini akhirnya dipatahkan oleh ucapan Abu Dawud yang bertentangan dengan
pendapat tersebut. Abu dawud menyebutkan bahwa sesungguhnya sebagian sanad hadis yang
terdapat dalam kitab sunan-nya ada yang tidak bersambung, yaitu hadis mursal dan mudallas.
Abu Dawud juga menyebutkan bahwa hal ini hanya akan terjadi ketika tidak ditemukan hadis-
hadis. Seperti hadis dari al-Hasan dari Jabir, al-Hasan dariAbu Hurairah, dan al-Hakam dari
Miqsam dari Ibnu Abbas.
Beberapa penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa Abu Dawud menjadikan hadis-
hadis yang tidak muttashil sebagai hadis yang patut diamalkan ketika tidak ditemukan hadis
yang sahih. Telah maklum bahwa hadis munqathi’atau terputus sanadnya itu merupakan salah
satu jenis hadis yang dhoifdan bukan hadis hasan. Penjelasan hadis dhoif pun
memiliki pembahasan yang khusus dan jelas tidak sama dengan hadis yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada
keganjilan dan tidak ada ‘illat.
12
Golongan ini berpendapat bahwa Agama Islam diambil dari kitab sunnah yang benar.
Hadis dhoifbukanlah sunnah yang dapat diakui kebenarannya. Maka, saat berpegang
kepadanya, berarti menambah agama dengan tidak berdasar kepada keterangan yang kuat.
Pendapat ini pun dinisbahkan kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabia juga pendapat al-
Syihab al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawani. Pendapat ini mengemukakan bahwa fadha’il
a’malitu seperti fardu dan haram, karena semuanya adalah syara’. Selain itu, pada hadis-
hadis shahih dan hadis-hadis hasan pun masih terdapat jalan lain selain hadis dhoif.
Pendapat ini merupakan madzhab imam-imam besar hadis, seperti Imam al-Imam
Muhammad bin Ismail al-Bukhari (l. 194 H-w. 256 H), al-Imam Muslim bin al-Hajaj al-Qusyairi
(l. 204 H-w. 271 H), Yahya bin Ma’in22(l. 158 H-w. 233 H), al-Hafidz Abu Zakariya al-
Naisaburi, Abu Zur’ah Ar-Razi, (w. 264 H) Abu Hatim ar-Razi (w. 227 H), Ibn Abi Hatim ar-
Razi, Ibn Hibban (w. 342 H), al-Imam Abu Sulaiman al-Khathabi, Abu Muhammad
bin Hazm, al-Qadhi Abu Bakr bin Abi al-‘Arabi (w. 543 H) , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (l.
661 H-w. 728 H), Abu Syamahal-Maqdisi, Jalaluddin al-Diwani, Muhammad bin Ali al-
Syaukani (l. 172 H-w. 250 H), Shadiq Hasan Khon (l.1248 H-w. 1307 H), Ahmad Muhammad
Syakir (l. 1309 H-w. 1377 H), Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), dan Subhi as-
Shalih.
Beberapa ulama yang telah disebutkan di atas memiliki argumen bahwa hadis-hadis
targhibdan tarhib, fadhail a’mal, adalah sama dengan hadis-hadis hukum. Imam Muslim (w.
264 H) sendiri dalam muqaddimah Shahih-nya dengan tegas mengkritik mereka yang berpegang
pada hadis-hadis dhoif.Ia mengatakan bahwa meskipun yang digunakan adalah hadis targhibdan
tarhibsekalipun, alangkah baiknya jika diriwayatkan hanya dari mereka yang diterima
riwayatnya dalam hadis-hadis hukum. Hal ini juga diungkapkan oleh al-Bukhari (w. 256 H),
Yahya bin Ma’in (l. 158 H-w. 233 H), al-Qadhi dari madzhab Maliki (w. 543 H) dan Abu
Syamah dari madzhab Syafi’i.
Pendapat serupa diungkapkan pula oleh ulama-ulama kontemporer. Diantara ulama tersebut
adalah Asy-Syaikh Muhammad Syakir (l.1309 H-w. 1377 H) yang dikutip oleh Yusuf
Qardhawi:“Menurut hemat saya, penjelasan tentang ke-dhoif-an suatu hadis yang dhoifadalah
hal yang wajib dilakukan. Sebab, tanpa adanya penjelasan seperti itu, akan membuat orang yang
membacanya, mengira hadis tersebut adalah sahih. Terutama jika yang membawakan adalah
seorang yang ahli hadis yang dipercayai memiliki wewenang seperti itu. Tentang hal ini, tak
ada bedanya, apakah hadis tersebut berkaitan dengan hukum, ataukah dengan fadhail a’maldan
13
sebagainya. Dalam semuanya itu, tetap tak dibenarkan menggunakan hadis-hadis yang
dhoif. Bahkan tak ada hujjah bagi siapa pun kecuali dengan hadis Rasul yang sahih dan
hasan. Adapun ucapan Ahmad bin Hanbal, Ibn Mahdi dan Ibn Mubarak yang berbunyi
“...Apabila merawikan hadis tentang fadhail a’mal dan sebagainya, kami bisa mudahkan ... dan
seterusnya “, maka yang mereka maksudkan –menurut pemahaman saya, wallahu a’lam -adalah
sehubungan dengan hadis-hadis hasan yang tidak mencapai derajat sahih. Sebab, istilah-istilah
yang membedakan antara yang sahih dan hasan pada masa mereka belumlah begitu jelas dan
mapan. Bahkan sebagian besar orang-orang terdahulu, tidak memberi predikat suatu hadis
kecuali dengan keterangan “sahih” atau “hasan” saja.
Pendapat Asy-Syaikh Muhammad Syakir (l. 1309 H-w. 1377 H) di atas juga diungkapkan
oleh Ibnu Taimiyah (l. 661 H-w. 728 H), Ibnu Qayyim dan Asy-Syaikh al-Albani (w.
1420 H). Semuanya tersebut menjelaskan hal yang sama bahwa yang dimaksud dengan “hadis
dhoif” oleh Imam Ahmad (l.164 H-w. 241 H) adalah hadis hasan. Ulama lainnya yang juga
tidak menerima hadis dhoifdalam fadha’il a’mal, meskipun memenuhi semua syarat yang
diajukan adalah Subhi as-Shalih. Ia menyebutkan bahwa riwayat yang dhoiftidak
mungkin menjadi sumber hukum agama atau sumber keutamaan akhlak. Hal ini karena
keutamaan-keutamaan termasuk tiang-tiang penyangga agama yang pokok, sehingga tidak boleh
bangunan tiang-tiang ini rapuh.
Pendapat selanjutnya berbeda dengan pendapat pertama dan kedua. Pendapat ketiga ini
adalah pendapat-pendapat dari jumhur ulama. Mereka mengemukakan pendapat yang menengahi
kedua pendapat sebelumnya. Mereka menerima hadis dhoifdalamfadha’il a’mal, Targhib
danTarhib serta menolaknya jika dalam urusanhukum halal dan haram. Dan pendapat ini pun
merupakan pendapat yang muncul dari sebagian fuqaha dan ahli hadis.
Salah satu ulama yangbermadzhab demikian adalah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami.
Beliau membenarkan penggunaan dalil hadis dhoifdalam fadha’il a’mal.Pandangan beliau
adalah karena jika hadis dhaif itu hakikatnya sahih, maka sudah seharusnya ia diamalkan,
dan jika ternyata hadis dhaif tersebut memang dhoif, maka pengamalan terhadapnya itu tidak
14
mengakibatkan kerusakan berupa menghalalkan hal yang haram ataupun mengharamkan hal
yang halal, dan menyia-nyiakan hak orang lain.
Syarat menggunakan hadis dhoif dalam fadha’il a’malmemiliki enam syarat. Syarat
tersebut adalah sebagai berikut.29a).Hadis dhoifyang dapat diamalkan yaitu hadis dhoif yang
tidak terlalu dhoif. Sehingga jika ada hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau
dituduh dusta atau orang yang banyak salah, maka hadisnya tidah dapat digunakan. b).Hadis
dhoiftersebut berada di bawah satu dalil yang umum. Sehingga hadis dhoifyang sama sekali tidak
memiliki dalil pokok tidak bisa diamalkan. c). Hadis dhoifyang diamalkan tersebut tidak
disertai dengan keyakinan atas kepastiannya, untuk menghindari penyandaran pada Nabi
saw. sesuatu yang tidak beliau katakan. d). Hadis dhoiftersebut hanya membahas tentang
fadha’il a’mal. e). Tidak ditemukannya hadis sahihlain yang membahas tema yang sama.
f).Tidak ada keyakinan kesunahan suatu dalil padanya.
Sedangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani (l. 773 H-w. 852 H) yang dikutip
Hasby Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa syarat yang ditetapkan oleh ulama ahli hadis
dalam mempergunakan hadis dhoifada tiga syarat, yaitu:30a). Kelemahan hadis dhoiftersebut
tidak seberapa. Maksudnya adalah jika ada hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang
pendusta atau dituduh dusta maka hadisnya tidak dapat digunakan. b). Memegang atau
menggunakan hadis tersebut tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang telah
dibenarkan. c). Jangan diyakini pada saat memeganginya bahwa hadis itu benar dari Nabi
saw. Akan tetapi, memeganginya hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat
yang tidak berdasarkan nash sama sekali.
Pendapat ketiga ini diriwayatkan oleh jumhur ulama dan lainnya. Diantara ulama-
ulama yang memiliki pendapat demikian adalah Sufyan ats-Tsauri (l. 97 H-w. 191 H),
Abdullah bin al-Mubarok (l. 118 H-w. 181 H),Abdurrahman bin Mahdi (l. 135 H-w. 198 H),
Sufyan bin Uyainah (l. 107 H-w. 198 H), Abu Zakariya, Abdul Umar bin Abdul Bar, Muwafiq
al-Dīn Ibn Qidamah (l. 541 H-w. 629 H), Abu Zakariya An-Nawawi (l. 631 H-w. 676 H), al-
Ḫafidz Isma’il Ibn Katsir (l. 701 H-w. 774 H), Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin al-
15
Suyuthi(l. 849 H-w. 911 H), al-Khatib asy-Syarbini, Taqiyuddin al-Fatwahi, al-Mala ‘Ali al-
Qari, Muhammad bin Abdul Hayy al-Kanwi, dan Dr. Nuruddin ‘Itr.13
13
Moh. Muafi Bin Thohir,"Pendapat Muhadditsin Terhadap Hadits DhoifUntuk Fadhail ‘AmalDan
Pengaruhnya Terhadap Pengamalan Ibadah",al-Thiqah, Vol. 2, No. 2 (Agustus 2019 ) 16.
16