PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung ayat-ayat
yang bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits berfungsi sebagi penjelas dari ayat
ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan
merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran secara mendalam.
Hadits merupakan kitab yang berisi berita tentang sabda, sikap dan perilaku Nabi
Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat sewaktu para sahabat bersama Nabi.
Kemudian berita tersebut disampaikan kepada para sahabat yang lain yang tidak
mengetahui.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak seperti Al-
Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa
khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa
khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2).1
Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul.
Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui
bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if. Pada makalah ini akan
dibahas tentang hadits dhoif.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadist dhaif ?
2. Sebutkan kriteria hadist dhaif ?
3. Sebutkan macam-macam hadist dhaif ?
4. Bagaimana kehujjahannya hadist dhaif ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui hadist dhaif
2. Untuk mengetahui kriteria hadist dhaif
3. Untuk mengetaui macam-macam hadist dhaif
4. Untuk mengetahui kehujjahan hadist dhaif
1
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Hadist Dhaif
Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah,
lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang
dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat.2
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama’
secara istilah ada beberapa definisi hadits dha’if yang dikemukakan oleh para ulama,
seperti :
Dalam hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif sebagai:
َﻣﺎﻟﻢﻳﻮﺟﺪﻓﻴﻪﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺼﺤﺔﻭﻻﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺴﻦ
“ Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat
hadits hasan”
Sementara Ajjaj al-khatib mendefinisikan hadits dha’if sebagai berikut:
ﻛﻞﺣﺪﻳﺚﻟﻢﻳﺠﺘﻤﻊﻓﻴﻪﺻﻔﺎﺕﺍﻟﻘﺒﻮﻝ
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.”3
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang diterima, yaitu
sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.4
Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :
ﻣﺎﻓﻘﺪﺷﺮﻁﺎﻣﻦﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﻤﻘﺒﻮﻝ
Artinya :
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang
shahih atau hadits yang hasan).”
Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari
persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu dinyatakan sebagai
hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti
perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat
dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat lemah.5
2
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133
3
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
4
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm
220
5
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
2
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات الحديث
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam
pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak
terdapat ciri-ciri hadits shahih atau hasan.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang
kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka hadits
tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if.6
B. Kriteria Hadist Dhaif
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu:
ت ْال َح ِد
ِ صفَا
َ َْح َوال
ِ ص ِحي ِ ت ْال َح ِد ْي
َ ث ال ُ ْف هُ َو ْال َح ِدي
ِ ْث الَ ِذىْ لَ ْم يُجْ َم ْع
ُ صفَا ِ الض ِعي
َ ْثُ اَ ْل َح ِدي
ِ ْي
ث
Artinya: “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
6
Sariono sby, http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html
3
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits
shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat
hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan. Para hadits dhaif
terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits
tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka
menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang cukup untuk
menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk
atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan
dalam periwayatan hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal
rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal
sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah
pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan
tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk
menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits yang
demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui
sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh
jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia
melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin
menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu
pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits.
Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.7
C. Macam-macam Hadist Dhaif
Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits bisa terjadi
pada tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi hadits. Dari bagi ketiga ini,
lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dho’if.
7
Dhuha, Syamsu. 2012. Makalah Macam-Macam Hadits Dhaif. http://armayant.blogspot.com/2012/06/makalah-
macam-macam-hadits-dhaif.html. Diakses 3 Oktober 2022.
4
Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in pada
Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya, tabi’in yang
di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.
Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut
karena kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya
suatu hadits, yaitu persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya tentang
keadaan perawi yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang
dihilangkan tersebut adalah bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian,
maka ada kemungkinan hadits tersebut adalah dho’if.
b. Hadits Munqothi’
Hadits munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi atau
pada sanad tersebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya. Tetapi kebanyakan
ulama hadits menggunakan istilah Munqothi’ secara umum, meliputi setiap hadits
yang terputus sanadnya seperti hadits mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.
c. Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara
berturut-turut. Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadits mu’dhal
berbeda dengan hadits munqothi’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi
terjadi secara berturut-turut. Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang
perawi, terjadi secara terpisah ( tidak berturut-turut).8
d. Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi
atau lebih secara berturut-turut.
Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya
salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah
dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan
perawi yang di hapuskan tersebut tidak diketahui.
e. Hadits mudallas
Kata “Mudallas” secara etimologi diambil dari kata “dals” yang berarti
“bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu digunakan untuk menyebut sebuah
hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur kesamaan dengan unsur-unsur
yang dikandung oleh makna kata tersebut. Sedang pengertian hadits mudallas
menurut terminologi ialah hadits yang disamarkan oleh rawi dengan berbagai
macam penyamaran.
8
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157
5
Hadits mudallas ada dua macam yaitu:
- Tadlisu Al Sanad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang satu masa
dengannya, namun disebutkan seolah-olah dia benar-benar mendengar darinya,
agar hadits tersebut dipandang baik.
- Tadlisu Al Syuyuukhi
Yaitu meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru, namun dia
menyebut nama gurunya itu dengan menggunakan sebutan yang tidak populer
misalnya dengan menggunakan nama kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya
dengan pertimbangan agar tidak di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang
lemah, sehingga tertutupi kelemahannya.9
10
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-146
11
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm 278
7
dengan penetapan hukum, demikian prof. Hasbi menjelaskan, para ulama hadits
sepakat tidak membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau
dalilnya.
3. Dokter Muhammad Ajjaj Al-Khattib menyatakan, bahwa golongan yang menolak
hadits dha’if sebagai hujjah adalah golongan yang lebih selamat. Diantara alasannya,
bahwa baik soal fadla’ilul’amal, maupun soal maqrimul ahlaq, merupakan bagian
dari tiang agama, sebagaimana halnya masalah huku, karena itu, hadits yang dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkannya, haruslah hadits yang berkualitas shahih atau
hasan dan yang bukan berkualitas Dha’if.
Dengan pendapat para ulama tersebut dapat disimpulkan, bahwa memang sangat perlu
untuk mengetahui kualitas suatu hadits agar terhindar dari pengalaman agama atau
pengungkapan dalil agama berdasarkan hadits dha’if.12
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
1. Hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan,
maka hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if.
12
https://www.kampusdunia.com/2020/02/makalah-kriteria-hadits-dhaif. di akses pada tanggal 3 Oktober 2022
8
2. Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits
shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-
syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan. Para
hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk
menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
3. Macam-macam hadis Dhaif ada 2 yaitu Hadist Dho’if ditinjau dari segi
persambungan sanad dan Hadist Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi.
4. Kehujjahan hadist dhaif yitu kualitas suatu hadits agar terhindar dari pengalaman
agama atau pengungkapan dalil agama berdasarkan hadits dha’if
DAFTAR PUSTAKA
9
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan
Bintang, 1987
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999)
Sariono sby, http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html
Dhuha, Syamsu. 2012. Makalah Macam-Macam Hadits Dhaif.
http://armayant.blogspot.com/2012/06/makalah-macam-macam-hadits-dhaif.html.
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157
Muhammad Alawi Al Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007)
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001)
https://www.kampusdunia.com/2020/02/makalah-kriteria-hadits-dhaif.
10