Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

STUDI HADIST

HADITS DHA'IF

DOSEN PENGAMPU: Dr. AHMAD MUZAYYIN, M.A

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 8

 RIDHO RAKYADI
 RITA AMI SUGARI
 SYIFA'ATUL KUBRO

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NWDI PANCOR

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


1
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah wasyukurilah segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala yang dengan
rahmatnya sehingga tugas makalah ini dapat kami selesaikan.Tidak lupa selawat serta salam
kami haturkan kepada nabi besar Muhammad SAW manusia sempurna pemilik mukjizat
yang begitu indah dan mulia yaitu al qur’anul karim sebagai petunjuk dan tuntunan hidup kita
di dunia.

Tak lupa pula kami ucapkan kepada dosen pengampu yang telah memberikan kami
arahan dalam mengarjakan tugas kami. Yang denganya kami bisa belajar dan mendapatkan
pengetahuan dalam belajar sehingga kita tau dan bisa menyelesaikan tugas kami, dan
Alhamdulilah berkat kerja sama dari kelompok kami sehingga membuahkan hasil yang
mungkin tidak sempurna tapi bisa membantu kita dalam belajar.

Makalah ini di susun guna untuk melengkapi tugas Studi Hadits, dalam penyusunan
makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk
dapat memberikan serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin sesuai dengan harapan,
walaupun di dalam pembuatanya kami menghadapi berbagai kesulitan karena keterbatasan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki.

Pancor, 22 Oktober 2022

Penyususn

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................

A. Latar Belakang ...................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..............................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................

A. Pengertian Hadits Dha'if ....................................................................................4


B. Kriteria Hadits Dha'if .........................................................................................6
C. Pembagian Hadits Dha'if ...................................................................................7
D. Kehujjahan Hadits Dha'if ..................................................................................13

BAB III PENUTUP .................................................................................................

A. Kesimpulan .......................................................................................................15
B. Saran..................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................16

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan


persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam.Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-
Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Para ahli hadits membagi hadits menjadi banyak bagian dengan istilah yang
berbeda-beda.Namun, semua itu tujuannya pada pokoknya kembali kepada tiga
objek pembahasan, yaitu dari segi matan, sanad, serta matan dan sanad-sanad secara
bersama-sama.Dan kebanyakan mereka mengklasifikasikan hadits secara
keseluruhan menjadi tiga kategori yaitu shahih, hasan, dan dhaif. Ada banyak ulama
periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh
ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi,
Imam Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hadits dha’if ?
2. Apa kriteria hadits dha’if ?
3. Berapa pembagian hadits dha’if ?
4. Apa kehujjahan hadits dha’if
C. Tujuan Pembelajaran
1. Dapat mengetahui pengertian hadits dha’if
2. Mengetahui kriteria hadits dha’if
3. Mengetahui bagian dari haits dha’if
4. Mengetahui kehujjahan hadits dha’if

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Dha'if

Hadits Dhaif, menurut bahasa berarti hadits yang lemah artinya hadit yang tidak
kuat. Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadits dhaif ini akan tetapi pada dasarnya, isi, dan maksudnya tidak
berbeda. Beberapa definisi, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan


syarat-syarat hadits hasan.
2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits
maqbul(hadits shahih atau yang hasan)
3. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas, bahwa Hadits dhaif
adalah hadits yang salah satu syaratnya hilang.
Para ulama’ memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu :

‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح و ال صفات الحديث‬
Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits.

Adapun menurut Muhaditsin, mendefinisikan:


‫ وقال اكثر العلماء هو ما لم يجمع صفتالصحيح و الحسن‬.‫هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات القبول‬.
Hadis dhoif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis
yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhoif adalah yang
tidak terkumpul padanya sifat hadis shohih dan hasan.

Adapun pengertian lain yaitu:


‫َم اَفِقَد َشْر طًا ِم ْن ُش ُرْو ِط اْلَحِد ْيِث اْلَم ْقُبْو ِل‬
Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat
diterima).

4
Selain itu, penyebab dhaifnya sebuah hadits adalah keterputusan sanadnya, atau
kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi dari para perawinya seperti lemahnya
daya ingat, sering ragu ataupun tersalah dalam menyampaikan sesuatu. Sedangkan
hadits maudhu adalah hadits yang tidak bersumber sama sekali dari Nabi Muhammad
SAW. Kemudian hadits dhaif boleh diriwayatkan secara ijmak, sedangkan hadits
maudhu tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan menjelaskan
kepalsuannya. Selanjutnya, hadits dhaif tetap diamalkan berdasarkan ijmak ulama
dalam hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan (fadhail), anjuran kebaikan, dan
larangan keburukan.Sedangkan hadits maudhu haram diamalkan. Serta hadits dhaif
akan naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi ketika ada sanad lain yang memperkuat
kebenarannya. Sedangkan hadits palsu tidak akan mengalami kenaikan status
sekalipun mempunyai puluhan ataupun bahkan ratusan hadits pendukung dari jalur
yang berbeda-beda.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Ad-Durrul Mandhud sebagaimana yang dikutip
juga oleh Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza
fi Sya’ban menyebutkan sebagai berikut.

‫وقد اتفق األئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في‬
‫ ال في األحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف‬،‫الفضائل والترغيب والترهيب‬.

Artinya, “Para imam dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih telah sepakat,
sebagaimana yang disebutkan juga oleh Imam An-Nawawi dan lainnya, tentang
kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal fadhail (keutamaan-keutamaan),
anjuran kebaikan dan ancaman keburukan.Tidak dalam perkara yang berkaitan
dengan hukum halal dan haram, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah.”

5
B. Kriteria Hadits Dha'if

Para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu:

‫َاْلَحِد ْيُث الَضِع ْيِف ُهَو اْلَحِد ْيُث اَلِذ ْى َلْم ُيْج َم ْع ِص َفا ُت اْلَحِد ْيِث الَص ِح ْيِح َو َال َص َفا ِت اْلَحِد ْيِث‬
Artinya: “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadits shahih dan hasan.Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan.Para
hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk
menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka
menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang cukup
untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif.Padahal tidak adanya
petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan
atau kedustaan dalam periwayatan hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan
rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan
suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak
memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud,
bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup
kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang
dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits
yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak
diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang
dhaif, maka boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka
boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para
muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu
sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat
diterimanya suatu hadits.Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan
ilmiah.

6
C. PEMBAGIAN HADITS DHA’IF

Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits
dhaif dikarenakan dua hal, yaitu gugurnya rawi dalam sanadnya dan ada cacat
pada rawi atau matan. Hadits dhaif karena gugurnya rawi adalah tidak adanya
satu, dua atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para
pemulaan sanad, pertengahan ataupun akhirnya.
1. Hadis Dha’if Karena Gugurnya ar-Râwiy (Periwayat)
Yang dimaksud dengan gugurnya ar-râwiy adalah tidak adanya satu atau
beberapa ar-râwiy, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan
sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis
dha’if yang disebabkan karena gugurnya ar-râwiy, antara lain yaitu :
a. Hadits mursal
Hadits mursal, menurut bahasa berarti hadits yang terlepas, para ulama
memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir
sanad, yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi pada tingkatan
sahabat. Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
‫ َبْيَنَنا َو َبْيَن اْلُم َنا ِفِقْيَن ُش ُهْو ُد اْلِع َش اِء َو اْلُصْبِح َاَل ْيْسَتِط ْيُعْو َن‬: ‫م‬.‫َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا ص‬.
Artinya:”Rasulullah bersabda: “Antara kita dengan kaum munafik, ada
batasan yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh mereka tidak sanggup
menghadirinya.” (HR. Malik).
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik dari Abdurrahman dai Haudalah,
dari Said bin Mutsayyab. Siapa sahabat nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada
Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad diatas.
Kebanyakan ulama memandang hadits mursal sebagai hadits dhaif dan tidak
diterima sebagai hujjah, tetapi sebagian kecil ulama, termasuk Abu Hanifah,
Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal dapat menerima hadits mursal menjadi
hujjah bin rawinya adil.
b. Hadits munqati

7
Menurut bahasa, hadits munqati berarti hadits yang terputus. Para ulama
memberi balasan munqati’ adalah hadits yang gugur satu atau dua rawi tanpa
beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat
nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in, jadi hadits munqati’
bukanlah rawi ditingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.
Contoh hadits munqati:
‫ بْس ِم ِهللا والْس َالُم َعلى َر ُسْو ِل هللا الَلُهَم اْغ ِفْر ِلى ُذ ُنو ِبى‬: ‫م اَذ ا َد َخ َل اْلَم ْس ِج ِد َقاَل‬.‫َك اَن َر ُسْو ُل ِهللا ص‬
)‫َو اْفَتْح ِلى َاْبَو اَب َر ْح َم ِتَك (رواه ابن ماجه‬
Artinya: “Rasulullah SAW. Bila masuk ke dalam mesjid, membaca : Dengan
nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku
dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatmu.” (HR. Ibnu Majah).
c. Hadits mudal
Menurut bahasa, hadits mudal berarti hadits yang sulit dipahami. Para ulama
member batasan hadits mudal adalah yang gugur dua orang rawinya atau lebih
secara beriringan dalam sanadnya. Contohnya: Hadits mudal adalah hadits Imam
Malik, hak hamba dalam kitab al-Muwata’. Dalam kitab tersebut, Imam Malik
berkata:”Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda:
)‫ (رواه ما لك‬. ‫ِلْلُم ُلْو ِك َطَع ا ُم ُه َوِكْس َو ُتُه ِبا ْلَم ْع ُرْو ِف‬
Artinya: “Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik.” (HR.
Malik).
Imam Malik, dalam kitabnya itu, tidak menyebut dua orang rawi yang
beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Dua orang rawi yang gugur itu
diketahui melalui riwayat Imam Malik diluar kitab al-Muwata’. Malik
meriwayatkan hadits yang sama, yaitu ”Dari Muhammad bin Ajlan, dari ayahnya,
dari Abu Hurairah, dari Rasulullah”. Dua rawi yang secara beriringan adalah
Muha d. Hadits muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa, berarti hadits yang tergantung. Dari segi
istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad.
Juga termasuk hadits muallaq, bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh hadits muallaq:
Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari abu Salamah, dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah bersabda:
)‫َال َتَفا َض ُلْو ا َبْيَن اَل َنِبَياِء (رواة الجا رى‬
8
Artinya: “Janganlah kamu lebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”.
(HR. Bukhari)mmad bin Ajlan dan ayahnya.
2. Hadis Dha’if Karena Cacat pada Matn (Matan/Teks) atau ar-Râwiy
(Periwayat)
Banyak macam cacat yang dapat menimpa ar-râwiy (periwayat) ataupun
matan. Seperti pendusta, fâsiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-
masing dapat menghilangkan sifat ‘adil pada ar-râwiy(periwayat). Sering keliru,
banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya,
dan menyalahiar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan
sifat dhabith pada ar-râwiy (periwayat). Adapun cacat pada matan, misalnya
terdapat sisipan di tengah-tengah lafazh hadis atau diputarbalikkan sehingga
memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafazh yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadis dha’if karena cacat pada matn (matan/teks) atau ar-râwiy
(periwayat):
a. Hadis Maudhu’
Menurut bahasa, hadis ini memiliki pengertian hadis palsu atau dibuat-buat.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadis yang bukan
berasal dari Rasulullah s.a.w.. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-
golongan pembuat hadis palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-
abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang
munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, madzhabnya,
atau kebangsaannya .
Hadis maudhû’ merupakan seburuk-buruk hadis dha’if. Peringatan Rasulullah
s.a.w. terhadap orang yang berdusta dengan hadis dha’if serta menjadikan
Rasululullah s.a.w. sebagai sandarannya.
‫ْأ‬
‫َم ْن َك َذ َب َع َلَّي ُم َتَعِّم ًدا َفْلَيَتَبَّو َم ْقَع َد ُه ِم َن الَّناِر‬
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadis maudhu’:
1) Hadis yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakan
bahwa hadis itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari
Rasulullah s.a.w.. berbunyi: “Sesungguhnya bahtera Nuh berthawaf mengelilingi
ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat”. (Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Irwâ’ al-Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîts Manâr as-Sabîl, Juz V,
9
Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1985, h. 222)[2]Makna hadis tersebut tidak masuk
akal”.
2) Adapun hadis lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”.
(Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah wa al-
Maudhû’ah wa Atsaruhâ as-Sayyi’ fi al-Ummah, Juz I, Riyadh: Dar al-Ma’arif,
1992, h. 447)[3] Hadis tersebut bertentangan dengan al-Quran. ” Pemikul dosa itu
tidaklah memikul dosa yang lain”. (QS al-An’âm/6: 164 )
3) “Siapa yang memeroleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia
dan anaknya itu masuk surga”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi
al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 97)[4] “Orang
yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku (Muhammad), Jibril, dan
Muawiyah”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-
Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 282)[5]
Demikianlah sedikit uraian mengenai hadis maudhu’. Masih banyak hadis-
hadis lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan
pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-
Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa hadis tentang keutamaan al-
Quran dan 70 buah hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim,
seorang ’zindiq’, sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadis dan
mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadis; aku halalkan barang yang haram
dan aku haramkan barang yang halal”.

b. Hadis matrûk atau hadis mathrûh


Hadis ini, menurut bahasa berarti hadis yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis matrûk adalah hadis yang diriwayatkan oleh
”orang-orang yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadis ataupun
mengenai urusan lain), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau
banyakwahamnya”.
Contoh hadis matrûk:
‫أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدهللا بن محمد ذكر عبدالرحمن بن صالح األزدى نا عمرو بن‬

‫هاشم الجنى عن جوبير عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال َع َلْيُك ْم ِباْص َطَناِع‬
‫الَم ْعُروِف َفِإَّنُه َيْم َنُع َم َص اِرَع الُّسوِء َو َع َلْيُك ْم ِبَص َد َقِة الِّسِّر َفِإَّنَها ُتْطِفىُء َغ َضَب الَّرِّب َع َّز َو َج َّل‬
)٦ ‫ رقم‬، ٢٥ ‫أخرجه ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص‬

10
“Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang
buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah
tersembunyi akan memadamkan murka Allah SWT”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di
dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-
Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan
(matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “ ‫( َال َبْأَس ِبِه‬Ia tidak ada apa-apanya)”, menurut Ibnu
Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya), ini berarti ia “ ‫( اْلُم َّتَهُم ِباْلَك ِذِب‬tertuduh
berdusta)”.
c. Hadis Munkar
Hadis munkar, secara bahasa berarti hadis yang diingkari atau tidak dikenal.
Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadis munkar ialah: hadis yang
diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang lemah dan menyalahi ar-râwiy
(periwayat) yang kuat, contoh:
‫ َأَّن‬، ‫ َع ِن اْلَع ْيَزاِر ْبِن ُح َر ْيٍث‬، ‫ َع ْن َأِبي ِإْس َح اَق‬، ‫ نا َم ْع َم ٌر‬، ‫ نا َع ْبُد الَّر َّز اِق‬، ‫َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن َع ْبِد اْلَم ِلِك‬
‫ ” َم ْن َأَقاَم الَّص اَل َة َو آَتى الَّز َكاَة َو َح َّج اْلَبْيَت َو َقَر ى الَّضْيَف َد َخ َل اْلَج َّنَة‬: ‫ َفَقاَل‬, ‫ َأَتاُه اَأْلْع َر اُب‬، ‫* “ اْبَن َعَّباٍس‬
“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji
dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.” (HR Abu Ishaq dari Abdullah bin
Abbas)”
Hadis di atas memiliki ar-ruwât (para periwayat) yang lemah dan matannya
pun berlainan dengan matan-matan hadis yang lebih kuat.

d. Hadis Mu’allal
Menurut bahasa, hadis mu’allal berarti hadis yang terkena ‘illat . Para ulama
memberi batasan bahwa hadis ini adalah hadis yang mengandung sebab-sebab
tersembunyi, dan ‘illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan,
ataupun keduanya.
Contoh:
‫اْلَبِّيَع اِن ِباْلِخَياِر َم ا َلْم َيَتَفَّر َقا‬
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama
mereka belum berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan
ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis ini

11
sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki
‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.

e. Hadis Mudraj
Hadis ini memiliki pengertian hadis yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya
bukan bagian dari hadis itu.
Contoh:
‫… َأَنا َز ِع يٌم َو الَّز ِع يُم اْلَحِم يُل ِلَم ْن آَم َن ِبي َو َأْس َلَم َو َهاَجَر ِبَبْيٍت ِفي َرَبِض اْلَج َّنِة‬
“Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang
beriman kepadaku, dan berhijrah, dengan tempat tinggal di taman surga …” (HR
Al-Bazzar dari Fadhalah bin ‘Ubaid)
Kalimat akhir dari hadis tersebut ( ‫ )ِبَبْيٍت ِفي َرَبِض اْلَج َّنِة‬adalah sisipan, karena
tidak termasuk sabda Rasulullah s.a.w..

f. Hadis Maqlûb
Menurut bahasa, berarti hadis yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan
bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama ar-râwiy
(periwayat) dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:
‫َفَم ا َأَم ْر ُتُك ْم ِبِه ِم ْن َش ْي ٍء َفْأُتْو ا ِم ْنُه َم ا اْسَتَطْع ُتْم َو َم ا َنَهْيُتُك ْم َفاْنَتُهْو ا‬
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan
sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka
jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu”. (Hadis Riwayat ath-Thabrani dari al-
Mughirah)
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah, semestinya hadis tersebut berbunyi, Rasulullah s.a.w. bersabda:
‫َم ا َنَهْيُتُك ْم َع ْنُه َفاْج َتِنُبوُه َو َم ا َأَم ْر ُتُك ْم ِبِه َفاْفَع ُلوا ِم ْنُه َم ا اْسَتَطْع ُتْم‬
“Apa yang aku larang kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh
kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
g. Hadis Syadz
Secara bahasa, hadis ini berarti hadis yang ganjil. Batasan yang diberikan para
ulama, hadis syadzadalah hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang
dipercaya, tapi hadis itu berlainan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah ar-râwiy (periwayat) yang juga dipercaya. Hadisnya mengandung
12
keganjilan dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang kuat. Keganjilan itu bisa
pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
‫َأْخ َبَر َنا َع ْبُد ِهللا ْبُن ُمَحَّمِد ْبِن ِإْس َح اَق اْلَفاِكِه ُّي ِبَم َّك َة َثَنا َأُبو َيْح َيى ْبُن َأِبي َم ْيَسَر َة َثَنا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن َيِز يَد‬
‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى‬: ‫ َقاَل‬، ‫اْلُم ْقِر ُّي َثَنا ُم وَس ى ْبُن ُع َلِّى ْبِن َرَباٍح َع ْن َأِبْيِه َع ْن ُع ْقَبَة ْبِن َعاِم ٍر َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُه‬
‫ َيْو ُم َع َر َفَة َو َيْو ُم الَّنْح ِر َو َأَّياُم الَتْش ِرْيِق ِع ْيُدَنا َأْهُل اِإْل ْس اَل ِم َو ُهَّن َأَّياُم َأْك ٍل َو ُش ْر ٍب‬: ‫ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
(Rasulullah bersabda): “Hari ‘Arafah, hari Nahr dan hari-hari Tasyriq adalah
hari raya bagi umat Islam, dan hari-hari itu adalah hari-hari makan dan minum.”
(HR al-Hakim dari Musa bin Ali bin Rabah)
Hadis di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang
terdiri dari serentetan ar-ruwât(para periwayat) yang dipercaya, namun matn
(matan/teks) hadis tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadis-hadis
lain yang diriwayatkan oleh ar-ruwât (para periwayat) yang juga dipercaya. Pada
hadis-hadis lain tidak dijumpai ungkapan tersebut. Keganjilan hadis di atas
terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadis
syadz pada matn(matan/teks)-nya. Lawan dari hadis ini adalah hadismahfûzh.

D. KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF

Ada dua pendapat ulama yang berbicara mengenai kehujahan hadits dha’if
yang bukan hadits maudhu sebagaimana diungkapkan oleh Fatchur
Rahman,yaitu:Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dha’if,
baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama.

Membolehkan meskipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa


menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan
keutamaan amal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukun-hukum syariat,
seperti halal dan haram dan bukan untuk menetapkan akidah.

Sementara Hasbi Ash-Shidieqy menyebutkan tiga pendapat ulama hadits


dalam menyikapi kehujjahan hadits dha’if ini, yaitu: Pertama, hadits dha’if sama
sekali tidak boleh diamalkan baik dalam soal hukum maupun dalam soal targhib.
Pendapat ini dianut oleh Imam Bukhari dan Muslim.Kedua, boleh dipergunakan untuk
menerangkan soal-soal fadhilah.Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abd
al-Bar.Ketiga, boleh dipergunakan dengan syarat apabila dalam satu masalah tidak

13
diketemukan hadits shahih dan hasan.Pendapat ini dianut oleh Imam Abu daud dan
Imam Ahmad.

Sementara itu, Ibnu Hajar al-Asqalani memandang boleh berhujjah dengan


hadits dha’if untuk alasan fadhail a'mal (hadits yang berbicara tentang keutamaan-
keutamaan dalam beramal). Akan tetapi, untuk itu beliau memberikan syarat-syarat
seperti:Hadits dha’if itu tidak keterlaluan, dalam arti hadits itu tidak diriwayatkan oleh
rawi yang pendusta, tertuduh dusta serta banyak salah.

Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dha’if tersebut masih dibawah suatu
dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).Contoh
hadits "Siapa yang menghapal empat puluh hadits sampai mau menyampaikan kepada
umat, aku bersedia menjadi pemberi syafaat dan saksi padanya, dihari kiamat kelak".
Hadits ini memiliki muttabi hadits shahih: "Raulullah bersabda: Hendaknya diantara
kamu yang menyaksikan, menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan".

Dalam mengamalkannya tidak mengi'tikadkan bahwa hadits tersebut benar-


benar bersumber kepada Nabi.Tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata
ntuk ihtiyat belaka.

Dalam hal ini penulis lebih condong pada pendapat yang kedua, dengan
sebuah argumen bahwa masih banyak hadits shahih yang lebih kuat dasar hukumnya
yang masih bisa kita jadikan sandaran hukum.

14
Bab III

PENUTUP

B. Kesimpulan

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan


persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam.Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-
Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kemudia hadits memiliki banyak jenis salah
satunya adalah hadits dhaif.

Hadits Dhaif, menurut bahasa berarti hadits yang lemah artinya hadit yang tidak
kuat. Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadits dhaif ini akan tetapi pada dasarnya, isi, dan maksudnya tidak
berbeda. Beberapa definisi, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan


syarat-syarat hadits hasan.
2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits
maqbul(hadits shahih atau yang hasan)

3. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas, bahwa Hadits dhaif
adalah hadits yang salah satu syaratnya hilang.

Ulama sepakat bahwa mengamalkan hadits dhaif dibolehkan,selama tidak


berkaitan dengan hukum halal dan haram,akidah melainkan hanya sebatas fadha’il
amal. Dengan demikian, menyampaikan hadits dhaif , mengutif dari kitab,
menyampaikan dalam pengajian taupun majlis taklim diperbolehkan. Namun tiidak
diperbolehkan menjadikannya hujjah dalam melakukan ibadah ibadah wajib.

B. Kritik dan Saran

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan

15
kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati
demi kesempurnaan makalah selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shhalih, Subhi. 2017 Ilmu-Ilmu Hadits Jakarta: Pustaka Firdaus.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2011. Kitab Bulughul Maram. Bandung : Sygma Publising

https:/islam. Nur.or.id/ilmu-hadits/macam-macam-hadits-dha’if-1-LMnL0

Fatchtur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,(Bandung: Al-Ma’rif, 1974)hlm.229

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009)hlm.174

16
17

Anda mungkin juga menyukai