HADIS DHO’IF
OLEH KELOMPOK :
Firmansyah - 2022050101071
Nurhaenah - 2022050101072
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Sulaemang L M. Th.I
i
ii
KATA PENGANTAR
Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1....................................................................... Latar Belakang Masalah
............................................................................................................1
1.2................................................................................. Rumusan Masalah
............................................................................................................1
1.3................................................................................................... Tujuan
............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1....................................................................... Pengertian Hadis Dho’if
............................................................................................................3
2.2................................... Kedudukan Hadis Dho’if Dalam Hukum Islam
............................................................................................................5
2.3........................ Pendapat Ulama Mengenai Penggunaan Hadis Dho’if
............................................................................................................5
2.4.................................................................... Jenis – Jenis Hadis Dho’if
............................................................................................................7
BAB III PENUTUP
3.1........................................................................................... Kesimpulan
............................................................................................................8
3.2..................................................................................................... Saran
............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
secara mendalam.
pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As
Dari latar belakang tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan
1
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003)
hlm 175
1
1. Apa itu hadits dho’if?
1.3. Tujuan
dho’if.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media
Group, 2007), hlm 133
3
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
4
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1,
(Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm 220
3
Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu
syarat saja (dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti
hadits itu dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu
sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya
kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits
dho’if yang sangat lemah.5
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.
“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat
hadits shahih atau hadits hasan”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if
5
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
4
2.2. Kedudukan Hadits Dho’if Dalam Hukum Islam
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan dasar hukum islam
yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga,
yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dho’if.
Berdasarkan dari pendapat DR. Subhi As-Shalih pada sub-materi
sebelumnya, hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits.
Oleh karena itu, bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits
dho’if, apabila suatu hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan
hadits hasan sementara hal tersebut ditemukan pada hadits dho’if, maka yang
digunakan adalah hadits dho’if karena hadits dho’if mempunyai derajat yang
lebih tinggi dari pendapat seorang ulama.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi
kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan
tetapi mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.
5
Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad
bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa'i adalah
bahwa beliau menyebutkan setiap hadits yang tidak ada kesepakatan – dari
para ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan,
"Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau
menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dho’if) jika tidak ditemukan hadits lain
dalam suatu bab karena hadits tersebut dianggapnya lebih kuat daripada
pendapat murni seseorang".
Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: "hadits
dho’if lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang", karena beliau
tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak
ada nash.
Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan
mengatakan bahwa yang dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah hadits-
hadits dho’if menurut istilah Ilmu Hadits melainkan yang dimaksud adalah
hadits hasan, karena hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan
hadits shahih.
Akan tetapi, takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam
Abu Dawud: "ada beberapa hadits dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya
tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan
tidak adanya hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits secara umum
yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir,
Al- Hasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…".
Imam Abu Dawud menganggap hadits yang tidak tersambung (sanadnya)
boleh diamalkan ketika tidak ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana
diketahui bahwasannya hadits munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah
satu jenis hadits dho’if.
Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara
mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat
tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.
6
Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk
fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat
tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu
(palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal
tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk
menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits
shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah
tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan
haram.
7
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang
berarti lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna
bahasa ini, maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti
hadits yang lemah atau tidak kuat Secara terminologi, terdapat perbedaan
rumusan di antara para ulama dalam mendefinisikan hadits dho’if ini.
Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama.
2. kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi kualitasnya walaupun berada
setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi mempunyai derajat
yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.
3. Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga
mazhab, yaitu : (a) Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadits
dho’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram,
fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab
tersebut. (b) Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang
dho’if untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun
yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke
derajat maudhu (palsu). (c) Mazhab ketiga mengatakan bahwa
mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam
masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4. (a) Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal,
Hadits Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas. (b)
Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits Munkar,
8
Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits
Mushoffaf, dan Hadits Syadz.
3.2. Saran
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah :
1. Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits
lainnya.
2. Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca
dapat mencari lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.
9
DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar;
Yogyakarta.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT
Bulan Bintang; Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group;
Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-
tentang-mengamalkan-hadits-dho’iflemah/
Sby, Sariono; http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-
dho’if.html
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.
Wicaksono, Danang Kuncoro;
http://moslemz.multiply.com/journal/item/6? &show_interstitial=1&u=
%2Fjournal%2Fitem
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.
10