Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ULUMUL HADIST

HADIS DHO’IF

OLEH KELOMPOK :

 Firmansyah - 2022050101071
 Nurhaenah - 2022050101072

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Sulaemang L M. Th.I

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KENDARI
2022

i
ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat


rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul ‘Hadis Dho’if’ dapat
selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah
ULUMUL HADIS. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang jenis – jenis hadis dho’if.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Sulaemang
L M. Th.I selaku dosen dari Mata Kuliah Ulumul Hadis. Berkat tugas yang
diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang
diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih
melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas
kesalahan dan ketaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini.
Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila
menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Kendari, 28 Agustus 2022

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1....................................................................... Latar Belakang Masalah
............................................................................................................1
1.2................................................................................. Rumusan Masalah
............................................................................................................1
1.3................................................................................................... Tujuan
............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1....................................................................... Pengertian Hadis Dho’if
............................................................................................................3
2.2................................... Kedudukan Hadis Dho’if Dalam Hukum Islam
............................................................................................................5
2.3........................ Pendapat Ulama Mengenai Penggunaan Hadis Dho’if
............................................................................................................5
2.4.................................................................... Jenis – Jenis Hadis Dho’if
............................................................................................................7
BAB III PENUTUP
3.1........................................................................................... Kesimpulan
............................................................................................................8
3.2..................................................................................................... Saran
............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak

mengandung ayat-ayat yang bersifat global. Oleh karena itu kehadiran

hadits berfungsi sebagi penjelas dari ayat ayat tersebut. Tanpa

kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan

merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran

secara mendalam.

Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun

hadits tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis

pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As

Shidiq. Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa

khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2). 1


Dengan seiring

perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul.

Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian

hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan

dho’if. Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhoif.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan

masalah yang harus diselesaikan diantaranya:

1
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003)
hlm 175

1
1. Apa itu hadits dho’if?

2. Bagaimana kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam ?

3. Bagaimana pendapat ulama mengenai peng gunaan hadits dho’if?

4. Apa saja jenis - jenis hadits dho’if?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

dalam penulisan makalah ini sebagai berikut :

1. Untuk Mengetahui pengertian hadits dho’if.

2. Untuk Mengetahui kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam.

3. Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai peng gunaan hadits

dho’if.

4. Untuk mengetahui jenis - jenis hadits dho’if

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hadits Dho’if


Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang
berarti lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna
bahasa ini, maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits
yang lemah atau tidak kuat.2
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama
dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan
maksudnya adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di
bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan :
Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat- syarat hadits hasan.”

Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :


Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.” 3
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang
diterima, yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.4

Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :


Artinya :
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul
(hadits yang shahih atau hadits yang hasan).”

2
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media
Group, 2007), hlm 133
3
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
4
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1,
(Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm 220

3
Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu
syarat saja (dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti
hadits itu dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu
sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya
kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits
dho’if yang sangat lemah.5
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat


yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”


Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah
barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:

“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat
hadits shahih atau hadits hasan”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if

“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits


shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits
yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau
hasan, maka hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits
dho’if.

5
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157

4
2.2. Kedudukan Hadits Dho’if Dalam Hukum Islam
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan dasar hukum islam
yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga,
yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dho’if.
Berdasarkan dari pendapat DR. Subhi As-Shalih pada sub-materi
sebelumnya, hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits.
Oleh karena itu, bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits
dho’if, apabila suatu hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan
hadits hasan sementara hal tersebut ditemukan pada hadits dho’if, maka yang
digunakan adalah hadits dho’if karena hadits dho’if mempunyai derajat yang
lebih tinggi dari pendapat seorang ulama.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi
kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan
tetapi mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.

2.3. Pendapat Ulama Mengenai Penggunaan Hadits Dho’if


Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga
mazhab, yaitu :
Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadits dho’if boleh
diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun
wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut. Pendapat
ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-
lain. Yang dimaksud dengan hadits dho’if di sini adalah hadits yang kadar
kedho’ifannya tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadits yang
keadaannya demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada
hadits lain yang menyelisihinya.
Adanya kemungkinan bahwa hadits yang dinilai dho’if tersebut
mengandung kebenaran sementara tak ada hadits lain yang menyelisihinya,
maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadits tersebut memiliki
kemungkinan shahih sehingga boleh diamalkan.

5
Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad
bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa'i adalah
bahwa beliau menyebutkan setiap hadits yang tidak ada kesepakatan – dari
para ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan,
"Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau
menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dho’if) jika tidak ditemukan hadits lain
dalam suatu bab karena hadits tersebut dianggapnya lebih kuat daripada
pendapat murni seseorang".
Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: "hadits
dho’if lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang", karena beliau
tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak
ada nash.
Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan
mengatakan bahwa yang dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah hadits-
hadits dho’if menurut istilah Ilmu Hadits melainkan yang dimaksud adalah
hadits hasan, karena hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan
hadits shahih.
Akan tetapi, takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam
Abu Dawud: "ada beberapa hadits dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya
tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan
tidak adanya hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits secara umum
yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir,
Al- Hasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…".
Imam Abu Dawud menganggap hadits yang tidak tersambung (sanadnya)
boleh diamalkan ketika tidak ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana
diketahui bahwasannya hadits munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah
satu jenis hadits dho’if.
Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara
mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat
tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.

6
Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk
fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat
tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu
(palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal
tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk
menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits
shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah
tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan
haram.

2.4. Jenis – Jenis Hadits Dho’if


a. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal, Hadits
Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas.
b. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits Munkar,
Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits
Mushoffaf, dan Hadits Syadz.

7
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang
berarti lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna
bahasa ini, maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti
hadits yang lemah atau tidak kuat Secara terminologi, terdapat perbedaan
rumusan di antara para ulama dalam mendefinisikan hadits dho’if ini.
Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama.
2. kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi kualitasnya walaupun berada
setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi mempunyai derajat
yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.
3. Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga
mazhab, yaitu : (a) Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadits
dho’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram,
fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab
tersebut. (b) Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang
dho’if untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun
yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke
derajat maudhu (palsu). (c) Mazhab ketiga mengatakan bahwa
mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam
masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4. (a) Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal,
Hadits Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas. (b)
Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits Munkar,

8
Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits
Mushoffaf, dan Hadits Syadz.

3.2. Saran
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah :
1. Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits
lainnya.
2. Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca
dapat mencari lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.

9
DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar;
Yogyakarta.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT
Bulan Bintang; Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group;
Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-
tentang-mengamalkan-hadits-dho’iflemah/
Sby, Sariono; http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-
dho’if.html
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.
Wicaksono, Danang Kuncoro;
http://moslemz.multiply.com/journal/item/6? &show_interstitial=1&u=
%2Fjournal%2Fitem
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai