Anda di halaman 1dari 15

HADITS DLA’IF

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hadits


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda

Oleh :
KELOMPOK 3
Helda Yusfarina Anggraini NIM. 2220200008
Mosy R. Arrahmah NIM. 2220200005

Dosen Pengampu :
Dr. Mukhtar, Lc., MA

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR

‫ِبْســــــــــــــــــِم ِهللا الَّرْح َمِن الَّر ِح ْيِم‬

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Makalah ini disusun
berdasarkan pengetahuan yang penulis dapatkan dari beberapa sumber. Makalah
“Hadits Dla’if” ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas matakuliah Studi Hadits
yang diampu oleh Bapak Dr. Mukhtar, Lc., MA. Harapan kami semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan tersusun dengan baik
tanpa adanya bantuan dari pihak-pihak terkait. Dengan ini penulis telah berusaha
semaksimal mungkin agar dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya,
karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini berguna bagi kita semua. Dan apabila ada
kesalahan atau kata-kata yang kurang berkenan, kami selaku penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Samarinda, 7 September 2022


11 Safar 1444 H

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................


B. Rumusan Masalah.........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................

A. Definisi Hadits Dla’if...................................................................................................

B. Jenis-Jenis Hadits Dla’if...............................................................................................

C. Kedudukan Hadits Dla’if dalam Hukum Islam............................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................

A Kesimpulan..................................................................................................................

B. Saran ..........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam yang pokok banyak
mengandung ayat-ayat bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits
berfungsi sebagai penjelas dari ayat-ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits
umat islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum
yang terkandung di dalam Al-Qur’an secara mendalam.
Hadits nabi merupakan sumber ajaran Islam. Di samping al-Quran,
hadits nabi merupakan penafsiran al-Quran dalam praktek atau aktualisasi
ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi
Rasulullah SAW merupakan manifestasi dari al-Quran yang ditafsirkan untuk
manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ahli akal dan naql dalam Islam, telah bersepakat bahwa hadits merupakan
dasar hukum Islam. Umat Islam diwajibkan untuk mengikutinya sebagaimana
kewajiban yang mengikuti al-Quran, karena antara keduanya tidak terdapat
perbedaan dalam garis besarnya1.
Sebagai teks normatif kedua, hadits merupakan pedoman hidup (way
of live) bagi umat Islam dan sebagai doktrin dalam ajaran Islam. Sejak zaman
dulu umat Islam sepakat untuk menerima hadits dan menjadikannya sebagai
sumber hukum Islam yang wajib dipatuhi. Karena dengan adanya hadits
ajaran Islam menjadi jelas, rinci, spesifik dan aplikatif2.
Ketetapan hadits sebagai sumber hukum kedua dalam ajaran Islam
berdasarkan pada Firman Allah swt Qs. al-Hasyr [59]: 7 yang berbunyi:

1
Misbakhul Khaq, Skripsi: Studi Kritik Kualitas Hadits Dalam Kitab Al Nurul Al Burhani
Fi Tarjamati Al Lujaini Al Dhani Juz Ii Karya Kh. Mushlih Bin Abdurrahman Mranggen
(Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, 2015), 1
2
Kusnadi, “Kehujjahan Hadits Daif Dalam Permasalahan Hukum Menurut Pendapat Abu
Hanifah”, Jurnal Ulumul Syar'i, No.2, Vol.7, 2018, 1

1
‫َم ٓا َاَفۤا َء ُهّٰللا َع ٰل ى َر ُسْو ِلٖه ِم ْن َاْهِل اْلُق ٰر ى َفِلّٰل ِه َو ِللَّرُس ْو ِل َوِل ِذ ى اْلُق ْر ٰب ى َو اْلَيٰت ٰم ى َو اْلَم ٰس ِكْيِن َو اْبِن الَّس ِبْيِۙل َك ْي اَل‬
‫َيُك ْو َن ُد ْو َلًةۢ َبْيَن اَاْلْغ ِنَيۤا ِء ِم ْنُك ْۗم َو َم ٓا ٰا ٰت ىُك ُم الَّرُسْو ُل َفُخ ُذ ْو ُه َو َم ا َنٰه ىُك ْم َع ْنُه َفاْنَتُهْو ۚا َو اَّتُقوا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َش ِد ْيُد اْلِع َقاِۘب‬
Artinya : “Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan
Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah,
Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam
perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa
yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”
Seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul.
Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Para
ahli hadîts sendiri sepakat untuk membuat klasifikasi, hadits mana yang dapat
dikatakan maqbûl (diterima) dan hadîts mana yang dapat dikatakan mardûd
(ditolak).
Jika ditinjau dari sisi diterima dan ditolaknya maka ada tiga hadits yakni
hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dla’if . Dalam makalah ini penulis hanya
akan membahas hadits dla’if yang merupakan hadits lemah diantara hadits yang
lainnya, karena hadits ini kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits shahih atau hadits hasan. Hadits dla’if juga memiliki banyak macam
ragamnya atau mempunyai perbedaan derajat satu sama lain dan diklasifikasikan
berdasarkan dla’if dari segi sanad dan dla’if dari segi matan.
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa hadits dla’if adalah
hadits yang lemah atau hadits yang tidak memiliki syarat-syarat hadits shahih dan
hadits hasan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dla’if ini dapat digunakan
sebagai hujjah. Dengan adanya perbedaan pendapat diantara para ulama maka
sangat perlu kita sebagai umat muslim untuk mengetahui jenis-jenis hadits dla’if
dan bagaimana kedudukannya dalam hukum islam agar kita dapat bersikap saat
menghadapi hadits dla’if tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan
aqidah dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.

B. Rumusan Masalah

2
Dari pembahasan materi tentang hadits dla’if ini, ada beberapa rumusan
masalah yang harus diselesaikan diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan hadits dla’if ?
2. Apa saja jenis-jenis hadits dla’if ?
3. Bagaimana kedudukan hadits dla’if dalam hukum islam ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang didapatkan yakni sebagai berikut :
1. Memberikan pengetahuan terkait hadits dla’if
2. Memberikan pengetahuan terkait jenis-jenis hadits dla’if
3. Memberikan pengetahuan terkait kedudukan hadits dla’if dalam hukum
islam

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits Dla’if


Secara bahasa hadits artinya baru, tidak lama, ucapan pembicaraan,
cerita. Hadits merupakan sinonim dari sunah yaitu setiap suatu yang
diriwayatkan atau dinisbahkan kepada diri Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, dan penetapan, sifat atau perjalanan nabi baik sebelum
atau sesudah diutus menjadi rasul3.
Hadits dla’if adalah hadits mardud, yaitu hadits yang ditolak atau
tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum 4.
Dla’if secara bahasa merupakan lawan kata dari qawi’ yang berarti kuat5.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Shalah hadits dla’if adalah hadits yang
tidak berkumpul di dalamnya sifat-sifat hadits shahih dan hadits hasan6.
Secara terminologi, para ulama berpendapat bahwa hadits dla’if ialah
hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak
pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”. Jadi, jika suatu hadits tidak
memenuhi satu saja syarat dari syarat hadits yang maqbul maka disebut
sebagai hadits yang dla’if7. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat
dipahami bahwa pada dasarnya para ulama sependapat bahwa hadits dla’if
adalah hadits yang didapati adanya sesuatu yang menyebabkan ia lemah.
Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat Hadits Sahih dan Hasan.
Setiap hadits yang tingkatannya di bawah hadits hasan maka disebut
dengan hadits dla’if. Dan Hadits dla’if ini ragamnya banyak.
Apabila syarat yang lima tidak terpenuhi atau salah satu darinya tidak

3
Moh. Abdul Hafidz, Al-Qur’an Hadits (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2020), 11
4
Nawir Yuslem, ‘Ulūmul Hadīs (Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 1997), 236
5
Tajul Arifin, Ulūmul Hadīs (Bandung: Gunung Djati Press, 2014), 138
6
Muhammad Yahya, Ulumul Hadits (Sebuah Pengantar dan Aplikasinya) (Sulawesi Selatan:
Syahadah, 2016), 196
7
Syaifullah Amin, Al-Qur’an Hadits (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2019), 147

4
lengkap, maka hadits itu dianggap sebagai hadits lemah (dla’if). Misalnya ada
suatu hadits sanadnya bersambung, perawinya adil, tidak terdapat syad dan
illat, akan tetapi kualitas kedhobitan perawinya lemah, maka hadits tersebut
dari derajat sahih turun menjadi hadits dla’if 8.
Kriteria hadits dla’if yakni; (1) Sanadnya tidak bersambung (inqitha’
as-sanad); (2) Perawinya tidak adil; (3) Perawi kurang dabit; (4) Terdapat
syaḍ (janggal/anomaly), yakni masih menyelisihi dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang lebih ṡiqah dibandingkan dengan dirinya; dan
(5) Terdapat illat, yaitu ada penyebab samar dan tersembunyi yang
menyebabkan tercemarnya suatu hadits shahih meski secara lahiriah terlihat
bebas dari cacat9.

B. Jenis-jenis Hadits Dla’if


Hadits dla’if terbagi menjadi dua, yaitu dla’if dari segi sanad dan
dla’if dari segi matan.
a. Dla’if dari Segi Sanad
Hadits yang daif dari sisi sanad secara umum dapat dibagi dua.
Pertama, karena sanadnya tidak bersambung atau ada perawi yang
terputus, kedua, karena terdapat cacat pada diri perawi hadits. Adapun
hadits daif disebabkan sanadnya tidak bersambung dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Hadits Muallaq
Muallaq secara bahasa adalah isim maf’ūl yang berarti terkait
dan tergantung. Sanad seperti ini disebut muallaq karena hanya
terikat dan tersambung pada bagian atasnya saja, sementara bagian
bawahnya terputus, sehingga menjadi seperti sesuatu yang
tergantung pada atap dan yang semisalnya 10.

8
Abul Hasan Musthafā bin Ismaīl , Al-Jawāhir As-sulaimāniah Syarah Mandhumah al-
Baiqūniah, (Riadh: Dār al-Kayyān, 1426 H/2006 M), 103-104
9
Kusnadi, Kehujjahan Hadits..., 8-9
10
Abdul Karim bin Abdullah Khadir, Al- Hadīṣ Ḍaif wa Hukmu al-Ihtijaj Bihi (Riad:
Darul Muslim, 1417 H./1997 M), 64

5
Secara istilah hadits muallaq adalah hadits yang rawinya
digugurkan seorang atau lebih di awal sanadnya secara berturut-
turut. Apabila dari awal sanad dihilangkan seorang perawi atau lebih
dan seterusnya sampai akhir sanad. Diantara bentuknya adalah bila
semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian dikatakan:
“Rasulullah bersabda begini…” atau dengan menggugurkan semua
sanad kecuali sahabat, atau seorang sahabat dan tabiin11.
2. Hadits Mursal
Mursal secara etimologi adalah isim maf’ul dari arsala, yang
berarti aṭlaqa, yaitu melepaskan, membebaskan atau terputus. Dalam
hal ini adalah melepaskan isnad dan tidak menghubungkannya
dengan seorang perawi yang dikenal. Dengan demikian maka hadits
mursal dapat dipahami sebagai hadits yang terputus sanadnya di
akhir setelah tabi’in 12.
3. Hadits Mu’dal
Mu’dal yaitu hadits yang gugur dua nama sanad atau lebih
secara berurutan dan bukan pada awal sanad. Hadits mu’dal
merupakan hadits dla’if yang terendah nilainya dibandingkan dengan
hadits mursal dan munqati’ karena banyaknya hilang perawi dari
sanadnya. Karena itu hukum hadits mu’dal tidak dapat dijadikan
hujjah dan dipandang mardud 13.
4. Hadits Munqati’
Secara bahasa lafal munqati’ adalah isim maf’ul dari masdar
al-Inqitha’ yang berarti terputus, lawan dari bersambung (muttasil).
Sedangkan menurut istilah munqhati’ adalah Hadits yang tidak
bersambung sanadnya dari berbagai sisi. Hadits munqaṭi’ meliputi
hadits, muallaq, mu’dhal dan mursal. Apabila sanad hadits terputus

11
Ibnu Shalah, Ulum al-Hadīṣ, (Dar al-Fikr, 1406 H/1986 M), ) 69
12
Mohammad Maulana Nur Kholis, “Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif dalam Fadhail
A’mal: Studi Teoritis dan Praktis”, Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal, No.2, Vol.1,
2016, 32
13
Alfiah, dkk, Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Kreasi Edukasi, 2016), 126

6
di awal sanad, maka ia dikatakan hadits muallaq. Apabila yang
terputus terdapat di tengah sanad, maka ia dikategorikan sebagai
hadits mu’dhal. Dan jika sanad hadits yang terputus di akhir, maka
hadits itu dikatakan sebagai hadits mursal 14.

b. Dla’if dari Segi Matan


Ada beberapa hadits dari segi matan memiliki kecacatan. Ulama
menetapkan kaidah-kaidah Hadits yang terdapat cacat pada matan sebagai
berikut :
1. Hadits Syaż
Secara bahasa kata syaż adalah kata benda yang berbentuk
isim fa’il yang berarti menyimpang atau menyendiri. Menurut
jumhur ulama, kata syaz bermakna yang menyendiri. Sedangkan
secara istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar, syaz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang terpercaya (ṡiqah)
tetapi menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang
lain yang lebih kuat dari padanya, karena lebih teliti atau lebih
banyak jumlahnya atau sebab adanya kelebihan-kelebihan lain 15.
Imam syafi’i memberikan dua syarat untuk
mengklasifikasikan syaz pada hadits; Pertama, fakta penyendirian
(at-tafarrud). Apabila perawi yang tsiqoh itu meriwayatkan hadits
sendirian dan tidak menyelisihi orang-orang yang sederajat, yang
periwayatannya maqbūl, maka haditsnya tergolong sahih, tidak syaz;
kedua, bukti perbedaan (al-mukhalafah). Apabila format
pemberitaan matan ketika diperbandingkan dengan sejumlah matan
hadits yang setingkat sanad-nya atau lebih berkualitas, ternyata
matan itu menyelisihi, maka matan hadits itu tergolong syaz 16.
2. Hadits Mudraj

14
Kusnadi, Kehujjahan Hadits..., 11
15
Kusnadi, Kehujjahan Hadits..., 12
16
Ibid, 12

7
Secara bahasa madraj adalah memasukkan, yang dimaksud
disini adalah mudraj matan. Ibn Shalah mengatakan, mudraj matan
adalah seorang perawi memasukkan sebagian ucapannya pada hadits
Rasulullah saw Seperti ucapan sahabat atau orang sesudahnya, lalu
perawi yang menerima hadits itu meriwayatkan dengan tambahan
lafal tanpa ada pemisahan, maka bercampurlah antara hadits rasul
dengan ucapan perawi dalam satu redaksi hadits. Orang yang
mendengarnya mengira tambahan lafal tersebut bagian dari hadits itu
sendiri (marfu’)17.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dipahami bahwa hadits
mudraj ialah matan (redaksi haditsnya) dirubah atau disisipi lafat
lain. Ada kalanya tambahan lafal (mudraj) itu di awal, di tengah, dan
di akhir matan hadits18.
3. Hadits Maqlūb
Secara bahasa maqlūb artinya terbalik. Sedangkan maqlūb
dalam istilah ilmu hadits adalah hadits yang terbalik sebagian
matannya atau nama perawi pada sanadnya19. Secara sederhana,
hadits maqlub dapat dipahami sebagai hadits yang sanad atau
matannya diganti dari awal ke akhir atau sebaliknya.
4. Hadits Ma’lūl
Hadits ma’lūl adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang
ṡiqah, tetapi setelah diselidiki secara cermat, terdapat suatu cacat
yang memburukkan. Secara sederhana, hadits ma’lul dapat dipahami
sebagai hadits yang terdapat cacat yang signifikan (illah qodihah),
yang dapat menghilangkan keshohihan hadits20.

5. Hadits Muṣahhaf

17
Kusnadi, Kehujjahan Hadits..., 14
18
Mohammad Maulana Nur Kholis, Hukum Mengamalkan Hadits..., 32
19
Kusnadi, Kehujjahan Hadits..., 12
20
Ibid, 12

8
Mushahhaf secara bahasa adalah perubahan lafal yang
menyebabkan perubahannya makna yang dikehendaki. Sedangkan
arti secara terminologi mushahhaf adalah perubahan lafal dalam
suatu Hadits dari suatu bentuk kepada lafal yang lain21.
6. Hadits Mudṭarib
Hadits mudṭarib adalah hadits yang berlawanan dalam
periwayatannya dalam berbagai aspek yang tidak bisa disatukan dan
ditarjih dengan lainnya.
7. Hadits Munkar
Kata munkar merupakan isim maf’ūl dari kata al-inkār, lawan
dari kata al-iqrār, yang berarti mengingkari atau tidak mengakui.
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat mengenai
definisi hadits munkar yakni sebagai berikut22 :
a. Hadits yang didalam sanadnya terdapat rawi yang kekeliruannya
parah, atau banyak lupa, atau menampakkan kefasikannya. Inilah
definisi yang disinggung oleh Al- Hafiz Ibnu Hajar. Definisi ini
juga digunakan oleh Al-Baiquni dalam Mandhumat.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang daif, yang bertentangan
dengan rawi tsiqah. Definisi ini juga disebut-sebut oleh Al-Haifzh
dan dijadikannya sebagai sandaran.

C. Kedudukan Hadits Dla’id dalam Hukum Islam


Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber
ajaran Islam. la menempati kedudukan setelah al-Qur’an. Keharusan
mengikuti hadits bagi umat Islam, baik berupa perintah maupun larangan
sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an.
Hadits dapat dilihat dari segi diterima dan ditolaknya suatu hadits
sehingga terbagi menjadi tiga bagian yakni hadits shahih, hadits hasan dan

21
Nuruddin ‘Atar, Majmaj al-Naqd fî ‘Ulum al-Hadīṣ, (Damasykus: Dar al-Fikr, 1979), 444.
22
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Prgresif, 1997), 704

9
23
hadits dla’if . Dalam hal tersebut, dapat diketahui bahwa hadits dla’if
menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Oleh karenanya, bagi
ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits dla’if apabila suatu
hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan hadits hasan sementara
hal tersebut ditemukan pada hadits dla’if , maka yang digunakan adalah
hadits dla’if karena hadits dla’if mempunyai derajat yang lebih tinggi dari
pendapat seorang ulama.
Berdasarkan pernyataan diatas, maka dapat dipahami bahwa
kedudukan hadits dla’if dilihat dari segi kualitasnya walaupun berada setelah
hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi mempunyai derajat yang lebih
tinggi dari pendapat para ulama.

23
Mohammad Maulana Nur Kholis, Hukum Mengamalkan Hadits..., 29

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits dla’if adalah hadits yang didapati adanya sesuatu yang
menyebabkan ia lemah. Hal ini dikarenakan hadits ini kehilangan satu syarat
atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits
dla’if juga memiliki banyak macam ragamnya dan diklasifikasikan
berdasarkan dla’if dari segi sanad dan dla’if dari segi matan.
Hadits dla’if dari segi sanad terbagi menjadi hadits muallaq, hadits
mursal, hadits mu’dal, dan hadits munqati’. Sedangkan hadits dari segi matan
terbagi menjadi hadits syaz, hadits mudraj, hadits maqlub, hadits ma’lul,
hadits musahhaf, hadits mudtarib, dan hadits munkar. Adapun kedudukan
hadits dla’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Ulama
memperbolehkan menggunakan hadits dla’if apabila suatu hal tertentu tidak
ditemukan pada hadits shahih dan hadits hasan sementara hal tersebut
ditemukan pada hadits dla’if , maka yang digunakan adalah hadits dla’if
karena hadits dla’if mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat
seorang ulama.

B. Saran
Sebagai umat islam yang baik, diharapkan dapat membedakan hadits
dla’if dengan hadits lainnya, sebelum kita mengamalkan sebuah hadits untuk
dijadikan sebuah hujjah, perlu kita pahami dan ketahui apakah hadits tersebut
dapat dijadikan hujjah atau tidak. Salah satunya dengan memperhatikan
kriteria-kriteria maupun syarat hadits yang shahih maupun hadits yang dla’if
dan mardud.

11
DAFTAR PUSTAKA

‘Atar, Nuruddin. 1979. Majmaj al-Naqd fî ‘Ulum al-Hadīṣ. Damasykus: Dar al-
Fikr

Alfiah, dkk. 2016. Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Kreasi Edukasi

Amin, Syaifullah. 2019. Al-Qur’an Hadits. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah

Arifin, Tajul. 2014. Ulūmul Hadīs. Bandung: Gunung Djati Press

Hafidz, Moh. Abdul. 2020. Al-Qur’an Hadits. Jakarta: Direktorat KSKK


Madrasah

Khadir, Abdul Karim bin Abdullah. 1997. Al- Hadīṣ Ḍaif wa Hukmu al-Ihtijaj
Bihi. Riad: Darul Muslim

Khaq, Misbakhul. 2015. Skripsi: Studi Kritik Kualitas Hadits Dalam Kitab Al
Nurul Al Burhani Fi Tarjamati Al Lujaini Al Dhani Juz Ii Karya Kh.
Mushlih Bin Abdurrahman Mranggen. Jurusan Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin : UIN Walisongo Semarang

Kholis, Mohammad Maulana Nur. 2016. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif


dalam Fadhail A’mal: Studi Teoritis dan Praktis. Al-Tsiqoh: Islamic
Economy and Da’wa Journal, No.2, Vol. 1

Kusnadi. 2018. Kehujjahan Hadits Daif Dalam Permasalahan Hukum Menurut


Pendapat Abu Hanifah. Jurnal Ulumul Syar'i, No.2, Vol.7

Munawwir, Ahmad Warson.1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia.


Surabaya: Pustaka Prgresif

Musthafā bin Ismaīl, Abul Hasan. 2006. Al-Jawāhir As-sulaimāniah Syarah


Mandhumah al-Baiqūniah. Riadh: Dār al-Kayyān

Shalah, Ibnu. 1986.‘Ulūmul Hadīs. Damaskus: Dar al-Fikr

Yahya, Muhammad.2016. Ulumul Hadits (Sebuah Pengantar dan Aplikasinya).


Sulawesi Selatan: Syahadah

Yuslem, Nawir.1997. ‘Ulūmul Hadīs. Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya

12

Anda mungkin juga menyukai