Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENGANTAR STUDI QUR’AN HADITS


Tentang
MEMAHAMI HADITS DHA’IF, HADITS MAUDHU’ DAN INKAR AL-SUNNAH
SECARA MENDALAM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 12

1. MUHAMMAD KELVIN (2014010055)


2. YUNI WULAN DARI (2014010069)
3. ZAKIA FITRI NABILA (2014010073)

DOSEN PENGAMPU
Dr. Rosniati Hakim, M. Ag

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1442H/2020M
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dengan
ini kami ucapkan puji atas Kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmatnya-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Pengantar Studi Qur’an Hadits yang berjudul
“Memahami Hadits Dhaif, Hadits Maudhu’ dan Inkar Al-Sunnah Secara Mendalam”.

Adapun makalah Pengantar Studi Qur’an Hadits tentang “Memahami Hadits Dhaif, Hadits
Maudhu’ dan Inkar Al-Sunnah Secara Mendalam” ini telah kami usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan
makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Pengantar Studi Hukum Islam
Qur’an Hadits tentang “Memahami Hadits Dhaif, Hadits Maudhu’ dan Inkar Al-Sunnah Secara
Mendalam” ini dapat memberikan inspirasi terhadap membaca. Selain itu, kritik dan saran dari
Ibu Dr. Rosniati Hakim, M. Ag. selaku dosen pengampu dan para pembaca. kami tunggu untuk
perbaikan makalah ini nantinya.

Padang, Desember 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................................
C. Tujuan Masalah....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................
A. Hadits Dha’if.........................................................................................................
1. Pengertian Hadits Dha’if.................................................................................
2. Kehujjahan Hadits Dha’if................................................................................
3. Macam-Macam Hadits Dha’if........................................................................
B. Hadits maudhu’.....................................................................................................
1. Pengertian Hadits Maudhu’.............................................................................
2. Awal Mundulnya Hadits Maudhu’..................................................................
3. Tanda-Tanda Kepalsuan Hadits......................................................................
C. Inkar Al-Sunnah....................................................................................................
1. Pengertian Inkar Al-Sunnah............................................................................
2. Bentuk-Bentuk Inkar Al-Sunnah.....................................................................
3. Bantahan Ulama Tentang Inkar Al-Sunnnah..................................................

BAB III PENUTUP...............................................................................................................


A. Kesimpulan..........................................................................................................
B. Saran.....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun pada kasus ini, tidak semua
hadits yang disandarkan kepada Nabi adalah benar. Kadang adanya sebuah penambahan pada
matan, kecacatan pada rawi, terputusnya sanad dan berbagai bentuk ketidakbenaran lainnya. Dari
kasus  seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau pembukuan hadits secara rinci yang
membagi tingkatan-tingkatan hadits dari keshahihannya sampai kedhaifannya.

Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhaif. Di mana hadits dhaif ini adalah salah
satu tingkatan hadits yang menjadi sasaran penting untuk dipelajari dalam disiplin ilmu hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadits dha’if?
2. Apa saja kehujjahan hadits dha’if?
3. Apa saja macam-macam hadits dha’if?
4. Apa pengertian hadits maudhu’?
5. Bagaimana awal munculnya hadits maudhu’?

6. Apa saja tanda-tanda kepalsuan hadits?


7. Apa pengertian inkar al-sunnah?
8. Apa saja bentuk-bentuk inkar al-sunnah?
9. Bagaimana bantahan ulama terhadap inkar al-sunnah?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian hadits dha’if
2. Menjelaskan kejujjahan hadits dha’if
3. Menjelaskan macam-macam hadits dha’if
4. Menjelaskan pengertian hadits maudhu’
5. Menjelaskan awal munculnya hadits maudhu’
6. Menjelaskan tanda-tanda kepalsuan hadits
7. Menjelaskan pengertian inkar al-sunnah
8. Mendeskripsikan bentuk-bentuk inkar al-sunnah
9. Memaparkan bantahan ulama terhadap inkar al-sunnah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadist Dha’if
1. Pengertian Hadits Dha’if
Menurut bahasa berarti hadits yang lemah artinya hadit yang tidak kuat. Sedangkan
secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhaif
ini akan tetapi pada dasarnya, isi, dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat
hadits hasan.
b. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits
shahih atau yang hasan)
c. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas, bahwa Hadits dhaif adalah
hadits yang salah satu syaratnya hilang.

Para ulama’ memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu :

‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح و ال صفات الحديث‬

Adapun menurut Muhaditsin, mendefinisikan:

‫ وقال اكثر العلماء هو ما لم يجمع صفتالصحيح و الحسن‬.‫هو كل حديث لم تجتمع فيه صفات القبول‬
“Hadis dhoif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis
yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhoif adalah yang tidak
terkumpul padanya sifat hadis shohih dan hasanHadits dhaif adalah hadits yang tidak
menghimpun sifat-sifat hadits.”

Adapun pengertian lain yaitu:


‫ث ْال َم ْقبُوْ ِل‬
ِ ‫َمافَقِ َد شَرْ طا ً ِم ْن ُشرُوْ ِط ْال َح ِد ْي‬
“Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat
diterima)”

Adapun syarat-syarat hadits maqbul ada enam, yaitu:


a. Rawinya adil
b. Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna.
c. Sanadnya bersambung.
d. Padanya tidak terdapat suatu kerancuan.
e. Padanya tidak terdapat ‘illat yang merusak.
Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan (tidak
mencelakakan). Demikian, al-Biqa’i dan al-Suyuthi serta yang lainnya menghitung
syarat-syarat diterimanya hadits tersebut. Akan tetapi sehubungan dengan kriteria yang
kedua mereka tidak menambahkan kata-kata “meskipun tidak sempurna”. Ini adalah
suatu masalah, sebab bila seorang rawi tidak sempurna ke-dhabith-annya, maka haditsnya
adalah hadits hasan, bukan dha’if. Oleh karena itu ungkapan untuk kriteria yang kedua ini
adalah dengan “menambahkan kata-kata “meskipun tidak sempurna”.

Alasan pemberian predikat dha’if kepada hadits yang tidak memenuhi salah satu
syarat diterimanya sebuah hadits adalah apabila pada suatu hadits telah terpenuhi syarat-
syarat di atas, maka hal itu menunjukan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan sesuai
dengan keadaan semula; dan sebaliknya bila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi,
maka tidak ada yang menunjukan demikian.

2. Kehujjahan Hadist Dha’if


Cacat yang terdapat pada hadits dha’if berbeda-beda. Hal ini berimbas pada tingkatan
(martabat) hadits-hadits dha’if juga mengalami perbedaan. Dari hadits yang mengandung
cacat pada rawi (sanad) atau matannya, yang paling rendah martabatnya adalah hadits
maudhu’, kemudian hadits matruk, hadits munkar, hadits muallal, hadits mudraj dan
hadits maqlub. Sedangkan untuk hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya yang
paling lemah adalah hadits muallaq, hadits mu’dhal, hadits munqathi’ dan hadits mursal.

Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam hal kebolehannya (kehujjahan) hadits
dha’if untuk diamalkan terdapat beberapa pendapat:

Pendapat pertama : hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni
baik yang berkenaan dengan masalah halal dan haram, maupun yang berkaitan dengan
kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini
disampaikan oleh beberapa imam, seperti imam Ahmad bin Hambal, Abu Dawud dan
sebagainya. Pendapat ini tentunya berkenaan dengan hadits yang tidak terlalu dha’if,
karena hadits yang dha’if itu ditinggalkan para ulama’. Disamping itu pula hadits dha’if
itu tidak boleh bertentangan dengan hadits yang lain.

Pendapat kedua : dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadaitul amal,
baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun dilarang. Segolongan ulama’
yang dipimpin oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi menyatakan : sudah menjadi
kesepakatan ulama akan diperbolehkannya menggunakan hadits dha’if sebagai dalil
untuk fadaitul amal. Ibnu Daqiq al’Id memberikan syarat dibolehkannya penggunaan
hadits dha’if dalam fadaitul amal :

a. Hadits dha’if itu harus benar-benar ada berdasarkan sumber yang asli. Artinya
bukan rekayasa seseorang.
b. Tidak menganggapnya sebagai hadits shahih ketika mengamalkannya, tetapi
menganggapnya sebagai langkah antisipatif saja.
c. Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if.
d. Hadits dha’if yang bersangkutan berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga
tidak memiliki dalil pokok

Pendapat yang ketiga, hadits dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang
berkaitan dengan fadaitul amal maupun yang berkaitan dengan halal-haram.

3. Macam-macam Hadist Dha’if


a. Hadits Berdasarkan Gugurnya Rawi
1) Hadis mu’allaq

Hadis yang kelihatanya tidak mengandung cacat, tapi setelah diteliti ternyata
mengandung cacat (sanad, matan, atau keduanya)

2) Hadis munqathi’.
Adalah hadis yang sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan, baik
di ujung maupun di pangkal.
Macam-macam munqothi’ sebagai berikut :
a) Inqitho’ dilakukan dengan jelas. Bahwa si rawi meriwayatkan hadis
dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis
padanya tadi.
b) Inqitha’ dilakukan dengan samar-samar. Hanya dapat diketahaui oleh
orang-orang yang mempunyai keahlian saja.
c) Diketahui dari pihak lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau
lebih dalam hadis riwayat orang lain.
3) Hadis mu’dhal.

Menurut bahasa mu’dhal berarti sesuatu yang di buat lemah atau lebih.
Adapun menurut istilah Muhadditsin, hadis mu’dhal adalah hadis yang putus
sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.

4) Hadis mursal.

Menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang mempunyai arti “yang


dilepaskan”. Sedangkan menurut istilahnya adalah hadis yang gugur rawi dari
sanadnya setelah tabi’in. Baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil.

Ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan, hadis mursal terbagi menjadi
mursal jail, mursalshahabi, dan mursal khafi.
1. Mursal Khafi, pengguguran yang dilakukan oleh para tabi’in jelas sekali,
bahwa orang yang menggugurkan tidak hidup sezaman dengan orang
yang digugurkan.
2. Mursal Shahabi, pemberitaan sahabat yang disandarkan pada Nabi
Muhammad SAW, tetapi tidak mendengar atau menyaksikan sendiri.
Karena ketika Rasulullah hidup, ia masih kecil tau sebagai orang yang
terakhir masuk islam.

3. Mursal Khafi, diriwayatkan oleh tabi’in, di mana tabi’in tersebut hidup


pada zaman sahabat, tetapi tidak pernah mendengar satu hadis pun dari
sahabat.

5) Hadits Munqathi
Adalah hadis yang sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan, baik
di ujung maupun di pangkal.

Macam-macam munqothi’ sebagai berikut :

1. Inqitho’ dilakukan dengan jelas. Bahwa si rawi meriwayatkan hadis


dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis
padanya tadi.
2. Inqitha’ dilakukan dengan samar-samar. Hanya dapat diketahaui oleh
orang-orang yang mempunyai keahlian saja.
3. Diketahui dari pihak lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau
lebih dalam hadis riwayat orang lain.

6) Hadits Mudhallas

Hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis tidak
bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadis yang
diriwayatkanya disebut mudallas, dan perbuatanya disebut tadlis.

b. Hadits Dha’if Berdasarkan Cacat Pada Keadilannya dan Kedhabitan Rawinya


1) Hadis mawdhu’.
‫هو المختلع المصنوع المنسوب الي رسول هللا ص م زورا وبهتان سواء كان ذالك عمدا امخطآ‬

Hadis yang dicipta serta dibuat oleh seorang (pendusta), yang ciptaan itu
dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik di sengaja
maupun tidak. Ciri-ciri hadis maudhu’ terdapat pada sanad dan matan hadis.

Ciri-ciri pada sanad hadis yaitu, adanya pengakuan dari si pembuat sendiri,
qarinah yang memperkuat adanya pengakuan dari si pembuat hadis maudhu’,
qarinah yang berpautan dengan tingkah laku.
Adapun ciri pada matan hadis ditinjau dari segi lafadz dan ma’na. Dari segi
lafadz yaitu, bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih. Sedangkan dari
segi ma’na yaitu, ketika hadis bertentangan dengan Alquran, hadis mutawattir,
ijma’, dan logika yang sehat.

Para Muhaddistin mengumpulkan hadis maudhu’ dalam sejumlah karya, di


antaranya;
 Al-Maudhu’at, karya Ibn Al-Jauzi
 Al-La’ali Al-Mashnu’ah Al-Marfu’ah ‘an Al-Hadist As-Syani’ah Al-
Maudhu’ah, karya Ibnu ‘iraq Al’Kittani

 Silsilah Al-Hadist Adh-Dha’ifah, karya Al-Albani.

2) Hadis matruk.
Hadis Matruk adalah;
‫هو الحديث الذي في اسناده راو متهم بالكذب‬.

Hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta

3) Hadis munkar

Yaitu hadis yang sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahanya, banyak
kelengahan dan tampak kefasikanya. Lawanya dinamakan Ma’ruf.

4) Hadits Syadzdz
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul (menyalahi
riwayat yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya yang lebih banyak atau
daya hapalnya yang lebih tinggi).

c. Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi


1) Hadits Marfu’
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir
(penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ =
marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik
sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).

2) Hadits Mauquf

Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqf yang berarti berhenti.
Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat. Mauquf menurut
pengertian istilah ulama hadis adalah:

ِ َّ‫ص َحابِ ْي ِمنْ قَ ْو ٍل أَ ْو ِف ْع ٍل أَ ْو نَ ْح ٍو ُمت‬


‫صاًل َكانَ ُم ْنقَ ِط ًعا‬ َ ‫ضيْفَ إِلَي ال‬
ِ ُ‫َما ا‬
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan,
atau taqrir, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”

Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik perkataan,
perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut
dengan hadis mauquf. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak
sampai kepada Rasulullah saw.

3) Hadits Maqthu’
ْ َ‫ ) ق‬yang
Menurut bahasa kata maqthu’ berasal dari akar kata ( ‫طعًا يُقَطِّ ُع قَطَّ َع‬
berarti terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung.
Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya
sampai kepada tabi’in saja.

Menurut istilah hadis maqthu‟ adalah

ِ ُ‫َما ا‬
‫ض ْيفَ إِلَيالتابعي أو من دونه من قول أو فعل‬

“Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi‟in dan orang setelahnya


daripada Tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan
atau perbuatan dan sesamanya.

B. Hadits Maudhu’
1. Pengertian Hadits Maudhu’

Secara etimologi, hadits Maudhu’ berasal dari ism ma’ful yang dari kata wadha’a
yang berarti menggugurkan, meninggalkan dan membuat-buat. Sedangkan secara
terminologi, hadits maudhu’ menurut Ibn Al-Shalah berarti sesuatu yang dibuat dan
diciptakan atas nama Rasulullah. Oleh karena itu, hadits maudhu’ disebut sebagai hadits
yang paling buruk diantara hadits dha’if lainnya. Karena itu, hadits ini tidak dibenarkan
bahkan diharamkan hukumnya untuk meriwayatkannya dengan alasan apapun kecuali
disertai dengan penjelasan lainnya.

2. Awal Munculnya Hadits Maudhu’

Pada dasarnya hadis maudu' (hadis palsu) bukanlah hadis karena tidak berasal dari
Rasululllah SAW, tetapi ia sengaja dibuat oleh seorang atau sekelompok orang dengan
maksud-maksud tertentu dan kemudian disandarkan kepada Rasulullah secara dusta. Isi
matan hadis palsu sanadnya mereka buat sedemikian rupa, sehingga nampak seolah-
olah berasal dari Nabi. Pada zaman Rasulullah dan sahabat besar belum pernah terjadi
pemalsuan hadis meskipun pada saat itu hadis Nabi belum dibukukan dalam kitab-kitab
hadis tersendiri dan periwayatan hadis masih disandarkan kepada ingatan para sahabat.

Pembuatan hadis palsu mulai kelihatan gejalanya pada zaman tabi'in besar, yaitu
para tabi‟in yang pada zaman sahabat mereka sudah berusia dewasa. Pemalsuan hadis
pada saat itu masih jarang sekali karena mereka masih menghayati wibawa Rasulullah,
mereka masih lebih taat dan taqwa, sehingga dengan mudah mereka dapat memisahkan
mana yang benar dan mana yang palsu, dan disamping itu perpecahan dan perbedaan
politik belum tajam. Pada akhirnya pemerintahan khalifah Usman bin Affan dan
permulaan khalifah Ali bin Abi Thalib timbullah pertentangan yang sifatnya politis
antara kaum Muslimin. Disatu pihak ada segolongan kaum Muslimin yang menentang
kebijakan khalifah Usman yang mengangkat keluarga dekatnya untuk menduduki
jabatan jabatan penting dalam pemerintahan meskipun tidak ahlinya, dipihak lain ada
segolongan kaum Muslimin yang tetap setia pada kepemimpinan Usman. Pertentangan
ini akhirnya menyebabkan huru-hara yang mengakibatkan khalifah Usman terbunuh

Di tengah-tengah situasi yang kacau seperti itulah Ali dipilih rakyat menjadi
khalifah keempat pada tahun 35 H/656 M. Atas terbunuhnya Usman itu, Aisyah
menuntut agar Ali cepat mengambil tindakan tegas terhadap orang-orang yang terlibat
dalam aksi huru-hara. Bahkan Mu'awiyyah, yang saat itu menjadi gubernur di
Damaskus, mengajukan tuntutan keras kepada Ali, agar perang yang membunuh Usman
harus segera ditangkap dan dipidana mati. Namun demikian, kerana Ali dianggap terlalu
lamban, maka akhimya mereka mengangkat senjata menentang Ali. Pertama, meletuslah
perang jamal, yakni perang antara Aisyah dengan Ali, yang berakhir dengan
kemenangan Mu'awiyyah setelah terjadi tahkim.

Setelah terjadi berbagai peperangan seperti tersebut di atas, maka terpecahlah


pengikut Ali menjadi tiga golongan, pertama, golongan yang semakin fanatik
mengkultuskan Ali. Golongan ini berpendapat bahwa segala kebijaksanaan Ali dalam
mengendalikan pemerintahan, termasuk menerima tahkim, semuanya benar. Golongan
ini disebut golongan syi'ah. Kedua golongan yang ikut berbai'at kepada Ali ketika Ali
diangkat menjadi khalifah keempat. Tetapi golongan ini tidak mau melibatkan diri
dalam urusan politik, termasuk dalam persengketaan senjata, mereka ingin netral.
Golongan ini kemudian dikenal dengan golongan Murjiah. Ketiga. golongan yang sudah
kehilangan kepercayaan baik kepada Ali maupun kepada Mu'awiyyah bin Abi Sufyan.
Oleh karena itu mereka akhirnya memusuhi dan melawan Ali maupun Mu'awyyah.
Perpecahan pasca perang Siffin yang dari bidang politik sudah merebut kedalam bidang
keagamaan, teologi dan hukum, mendorong sebagian. dari umat Islam untuk membuat
hadis-hadis palsu. Lahirnya pembuatan hadis-hadis palsu, menurut sejarah, terjadi pada
tahun 41 H.

3. Tanda-Tanda Kepalsuan Hadits


a. Adapun Ciri-Ciri Hadis Maudhu' dari Segi Sanad
1) Adanya pengakuan perawi hadis itu sendiri tentang kedustaannya dalam
meriwayatkan hadis. Hal ini seperti dilakukan oleh Abd al-Karim, Abu Ismah
Nuh bin Abi Maryam Abd al-Karim bin Abi al-Auja' mengaku membuat hadis
palsu sebanyak 4000 buah tentang hukum halal dan haram. Sedangkan Ismah
mengaku telah memalsukan hadis tentang keutamaan surat-surat al-Qur'an.
2) Adanya petunjuk yang dapat disamakan dengan pengakuannya berbuat dusta.
Jika faktual seorang perawi tidak pernah bertemu dengan seorang guru (syaikh)
atau tidak pernah pergi kesuatu tempat tetapi mengaku pernah bertemu dengan
guru itu tidak tau pernah pergi kesuatu tempat itu, maka pada hakekatnya ia
telah membohongi dirinya sendiri atau mengaku berbuat dusta.

3) Rawi itu terkenal pendusta. Tidak ada seorang tsiqqah yang meriwayatkan
hadisnya kecuali dirinya sendiri. Dalam kitab Rijal al-Hadis banyak disebutkan
siapa-siapa yang termasuk rawi pendusta.

b. Sedangkan Ciri-Ciri dari Segi Matan


1) Buruk Susunan kata-katanya, struktur kalimat dan kata-katanya yang digunakan
tidak baik. Oleh karena susunan kata-katanya tidak baik tentu saja
mengakibatkan maknanya tidak baik.
2) Jelek atau rusak maknanya :
- Makna Hadis bertentangan dengan akal sehat dan isinya tidak dapat
ditakwilkan.
- Makna hadis tampak bertentangan dengan ilmu kedokteran.
- Makna hadis itu bertentangan dengan akal sehat dan mengandung dongeng.
- Makna hadis bertentangan dengan al-Qur'an, hadis mutawatir dan ijma' yang
qath'i.
- Makna hadis bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada zaman
sahabat.
- Makna Hadis bertentangan dengan kenyataan umum, di mana pada zaman
sahabat tidak diketahui karena hanya diriwayatkan oleh seorang rawi dari
golongan Syi'ah.
- Makna hadis memuat tentang pahala besar bagi perbuatan kecil, atau siksa
besar bagi perbuatan kecil.

C. Inkar Al-Sunnah
1. Pengertian Inkar Sunnah
Kata” Ingkar sunah “ terdiri dari dua kata yaitu “ Ingkar dan sunah”. Kata “Ingkar”
berasal dari akar kata arab ‫اَ ْن َك َر يُ ْنك ُر ا ْن َك َر‬   yang mempunyai beberapa arti diantaranya “tidak
mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui
sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati.
Menerut pendapat lain, Secara bahasa inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar
dan sunnah. Menurut bahasa inkar berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal,
tidak membenarkan atau tidak mengakui dan orangnya disebut dengan
mungkir”. Menurut Ragif al Isfahani, inkar berarti “penolakan hati terhadap hal-hal yang
tidak tergambar olehnya, baik berupa penolakan dengan lidah sebagai ungkapan hati
( kebodohan ), maupun penolakan dengan lidah sedangkan hati mengakui.”

Berarti orang yang melakukan inkar sunnah ia tidak mengakui, dan menolak Sunnah
rosul, baik sebagian maupun seluruhnya. Orang yang mengingkari sunnah rosul walaupun
hanya sebagiannya saja itu tetep dikatakan mengingkari Sunnah.

Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah,


“jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai
sunnah, meskipun tidak baik. Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi
perbedaan dikalangan para ulama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang
membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin,
yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sunnah merupakan
sumber ajaran Islam yang ke-2 setelah Al-Qur'an 

Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah secara terminology antara lain disebut
dalam Ensiklopedi Islam yaitu  “orang-orang yang menolak sunnah atau hadits
Rasulullah SAW sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan
diamalkan.”

Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah adalah paham yang menolak sunnah atau
hadits sebagai ajaran Islam di samping al-Qur`an. Pendapat lain, dikemukakan oleh Edi
Safri bahwa inkar al-sunnah adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak
otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau sumber ajaran agama yang wajib ditaati dan
diamalkan”.

Menurut Mustafa al- Siba`i yang dimaksud inkar al-sunnah ialah pengingkaran
karena adanya keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut
kemungkinan bahwa para perawi melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari
kalangan para pemalsu dan pembohong.

Sementara itu Lukmanul Hakim  mendefenisikan bahwa ingkar al-sunnah adalah


gerakan dari kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah
sebagai hukum atau sumber ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan diamalkan.

Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa inkar al-sunnah adalah aliran,
golongan dan paham yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam  atau
hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan umat Islam.  Maksudnya keraguan  yang lahir
menjadi penolakan terhadap keberadaan sunnah atau hadits sebagai sumber hukum kedua
setelah Al- Qur`an.

2. Awal Munculnya Inkar Al-Sunnah


a. Periode Klasik
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika
Imran bin Hushain sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak
perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja.
Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa
membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya
kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut,orang itu
menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap penampikan atau
pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen
pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa
Abbasiyah.

Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah. Menurut imam


Syafi’I ada tiga kelompok ingkar as-sunnah seperti telah dijelaskan di atas. Antara
lain :
- Khawarij dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari
kata kharij yang berarti sesuatu yang keluar. Sementara menurut pengertian
terminologis khawarij adalah kelompok atau golongan yang pertama keluar
dan tidak loyal terhadap pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan
khawarij disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a. Ada sumber yang mengatakan
bahwahadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelumterjadinya
fitnah yang mengakibatkan terjadinya perangsaudara. Yaitu perang jamal
(antara sahabat Ali r.a dengan Aisyah) dan perang Siffin (antara sahabat
Ali r.a dengan Mu’awiyah r.a). Dengan alasan bahwa sebelum kejadian
tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang
sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga
martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij
menilai mayoritas sahabat Nabi saw sudah keluar dari Islam. Akibatnya,
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat setelah kejadian tersebut
mereka tolak. Seluruh kitab-kitab tulisan orang-orang khawarij sudahpunah
seiring dengan punahnya mazhab khawarij ini, kecuali kelompok Ibadhiyah
yang masih termasuk golongn khawarij. Dari sumber (kitab-kitab)yang
ditulis oleh golongan ini ditemukan Hadits nabi saw yang diriwayatkan oleh
atau berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan
lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh golongan
khawarij menolak Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Nabi saw, baik
sebelum maupun sesudah peristiwa tahkim adalah tidak benar.

- Syi’ah. Kata syi’ah berarti ‘para pengikut’ atau para pendukung. Sementara
menurut istilah ,syi’ah adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib
lebih utama dari pada khalifah yang sebelumnya, dan berpendapat bahwa ahlul
al-bait lebih berhak menjadi khalifah dari pada yang lain. Golongan syiah
terdiri dari berbagai kelompok dan tiap kelompok menilai kelompok yang
lain sudah keluar dari Islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga
sekarang adalah kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerima hadits
nabawi sebagai salah satu syari’at Islam. Hanya saja ada perbedaan mendasar
antara kelompok syi’ah ini dengan golongan sunnah (golongan mayoritas
umat islam), yaitu dalam hal penetapan hadits. Golongan syi’ah menganggap
bahwa sepeninggal Nabi saw mayoritas para sahabat sudah murtad kecuali
beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu,
golongan syiah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas para
sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh ahli baiat saja.

- Mu’tazilah. Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adalah sesuatu yang


mengasingkan diri’. Sementara yang dimaksud disini adalah golongan yang
mengasingkan diri mayoritas umat Islam karena berpendapat bahwa seorang
muslim yang fasiq tidak dapat disebut mukmin atau kafir. Imam Syafi’I
menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau
tidak menelaskan siapa orang yang menolak sunah itu. Sementara sumber-
sumber yang menerangkan sikap mu’tazilah terhadap sunnah masih terdapat
kerancuan, apakah mu’tazilah menerima sunnah keseluruhan, menolak
keseluruhan, atauhnya menerima sebagian sunnah saja. Kelompok mutazilah
menerima sunnah seperti halnya umat Islam, tetapi mungkin ada beberapa
hadits yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan pemikiran
mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadits secara
keseluruhan, melainkan hanya menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah klasik yaitu,
bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat
perseorangan dan hal itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi
dan kedudukan hadist. Karena itu, setelah diberitahu tentang urgensi sunnah,
mereka akhirnya menerimanya kembali. Sementara lokasi ingkar as-sunnah
klasik berada di Irak, Basrah.10Secara garisbesar Muhammad Abu zahrah
berkesimpulan bahwa terdapat tiga kelompok pengingkar sunnah yang
berhadapan dengan Asy-Syafi’i, yaitu : (1) Golongan yang menolak seluruh
Sunnah Nabi saw. (2) Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah
memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an. (3) Mereka yang menolak
Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus
Mutawatir. Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan
pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para ahli
hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah Argumen
kelompok yang menolak sunnah secara totalitas. Banyak alasan yang
dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan
mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio.

b. Periode Modern
Tokoh-tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20)
yang terkenal adalah Ghulam Ahmad Parvez dari India dan Taufik Sidqi (w. 1920)
dari Mesir, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan
Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah
tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang
mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada
periode klasik. Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia antara lain
adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan
Unilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan
Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang Panjang). Sebagai mana kelompok
ingkar sunnah klasik yang menggunakan argument baik dalil naqli maupun aqli
untuk menguatkan pendapat mereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia.
Antara sebab utama ingkar sunnah modern adalah akibat pengaruh kolonialisme yang
semakin dahsyat pada awal abad ke-19 di dunia Islam. Para kolonialis memperdaya
dan melemahkan Islam melalui penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan
faham dasar Islam.

3. Bentuk Inkar Al-Sunah


a. Inkaru As Sunnah Secara Mutlaq
Aliran ini menolak seluruhnya yang menyangkut as sunnah sebagai dasar dan
sumber hukum artinya mereka hanya menggunakan hujjah dari wahyu ilahi (Al-
Qur'an) dan hujjah dari dalil aqli. Secara ringkas dasar dan pokok-pokok pikiran
inkaru as sunnah secara mutlaq adalah sebagai berikut:
1) Taat kepada Allah, Allah itu ghaib, taat pada rasul, rasulpun telah wafat. Jadi
tidak ada jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti yang
sesungguhnya.
2) Allah telah mengajarkan Al-Qur'an kepada rasul. Rasul telah mengajarkan
kepada manusia. Al-Qur'an itulah satu-satunya yang masih ada. Allah dan
Rasul-Nya menunggal di dalam ajaran agama.
3) Al-Qur'an adalah omongan Allah dan omongan Rasul. Mentaati Al-Qur'an
berarti mentaati Allah dan Rasul. Itulah artinya taat kepada Allah dan kepada
Rasul.
4) Tugas Rasul hanya menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur'an kepada
manusia, bukan menerangkan yang akan menimbulkan pengertian hukum
baru, seperti yang dikenal dengan sebutan as sunnah dan al hadits.
5) Keterangan Al-Qur'an itu ada di dalam Al-Qur'an itu sendiri. Jadi tidak perlu
dengan keterangan yang disebut as sunnah atau al hadits.
6) Semua keterangan yang datang dari luar Al-Qur'an adalah hawa, jadi hadits
Nabi pun termasuk hawa, karena itu tidak dapat diterima sebagai hujjah
dalam agama.
7) Apa yang disebut hadits-hadits Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng
tentang Nabi yang didapat dari mulut ke mulut.
8) Rasul tidak ada hal mengenai urusan perintah agama, olehnya dibawakan
ayat yang artinya sebagai berikut: “Tidak ada (haq) wewenang bagi kamu
tentang urusan (perintah) sedikitpun” (QS. Ali Imran ayat 128).
9) Perbedaan Muhammad sebagai rasul dan Muhammad sebagai manusia biasa,
dinyatakan:
a. Apabila Muhammad menyampaikan, membaca, mengajarkan Al-Qur'an
dan hikmah di saat itu Muhammad sebagai Rasul.
b. Sedang apabila tidak demikian, dalam arti Muhammad sedang
melakukan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan segala
fi’il qaulnya, di saat itu Muhammad sebagai manusia biasa.
10) Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat wahyu, termasuk
Muhammad Saw. Dalil yang dikemukakan adalah ayat yang artinya sebagai
berikut “Dan ingatlah kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan
kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya benar-benar
orang tersesat”. (QS. Al-Baqarah: 198).
11) Di dalam agama perbuatan lahiriyah merupakan pelengkap batiniyah atau
iman.

12) Shalat itu cukup dengan dzikir, jadi tidak mesti dengan rukuk, sujud, baca
fatihah, tasyahud, salam dan lain-lain.

Pendapat yang dimunculkan oleh aliran inkaru as sunnah secara mutlaq ini bila
kita cermati merupakan kecerobohan dan kadangkala berpikir misalnya:
a. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an mereka menafsirkannya hanya
sebagian-sebagian.
b. Pendapat-pendapatnya yang dikemukakan menurut pengertian dan
kemampuan mereka sendiri tanpa menggunakan perangkat-perangkat yang lain
untuk memahami suatu permasalahan.
c. Mengaburkan pengertian Islam yang mengarah kepada penghancuran
Islam dari dalam.

b. Inkaru Ba’dli (Sebagian) As Sunnah


Inkaru as sunnah adalah suatu paham yang hanya mengakui hadits-hadits yang
mutawatir saja, mereka tidak melaksanakan (beramal) ataupun berhujjah dengan
menggunakan hadits selain hadits yang mutawatir. Dan mereka juga tidak mau
percaya dan berpegang kepada as sunnah terhadap berita-berita ghaib yang
disampaikan Rasulullah, yang dirasakan tidak masuk akal. Seperti perjalanan
Rasulullah dalam Isra’ dan Mi’raj dengan segala pengkabaran kejadian yang
dilihatnya. Semuanya itu dan yang seumpamanya ditolak dan diingkari.

Kita tidak dan belum tahu dalil mana yang dijadikan hujjah oleh mereka
sehingga mereka berani menggunakan dasar dan acuan dalam beramal. Dengan
demikian mereka menggunakan dalil aqli sebagai landasan dalam bertindak dan
beramal.
c. Inkaru As Sunnah Bighairi Thariqi Manqul
Apa yang disebut inkaru as sunnah secara mutlaq dan inkaru ba’di as sunnah
tersebut, adalah inkaru as sunnah bi dzat, artinya keinkarang itu keinkaran terhadap
dzat atau materi as sunnah itu. Maksudnya, as sunnah itu tidak dapat dijadikan dalil
atau dasar hukum dalam kehidupan sebagai muslim.

Sedangkan inkaru as sunnah bighairi thariqi manqul yang diinkari bukan dzat as
sunnah itu, tetapi thariqatnya. Yaitu jalan sampainya as sunnah itu dari Nabi kepada
seseorang. Adakah sampainya hadits itu kepada seseorang telah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan? Antara lain, sudahkah hadits itu sampainya kepada seseorang
melalui imamnya? Bersambungkah penyadaran hadits itu sejak dari Nabi sampai
kepada dan pengamal hadits itu?

Jadi sesuatu hadits akan dapat diterima, apabila pengambilan hadits atau
pemindahannya menurut ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Tetapi tidak
akan diterima apabila hadits tersebut jalan pengambilan dan pemindahannya tidak
menurut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh imam, sekalipun matan atau
materi hadits tersebut benar-benar dari Nabi dan rawi-rawi yang dijadikan sandaran
dalam sanad mukharrij (pencatat hadits) itu pun juga sampai kepada Nabi.

4. Bantahan Inkar Al-Sunnah


a. Argumentasi Inkar As-Sunnah
1) Agama Bersifat Kongkret dan Pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti.
Apabila kita memanggil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak
pasti. Al-Qu’ranyang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti, seperti
dituturkan dalam ayat-ayat berikut :
           
Artinya: Alif laam miin, Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS.Al-Baqarah ayat 1-2)

        


        

Artinya: Dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al
Qur’an) Itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha mengetahui lagi Maha melihat (keadaan)
hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Fatir ayat 31):

Sementara apabila agama Islam itu bersumber dari hadits, ia tidak akan
memiliki kepastian sebab keberadaan hadits –khususnya hadits ahad- bersifat
dhanni (dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada paringkat pasti. Karena itu,
apabila agama Islam berlandaskan hadits –disamping Al-Qur’an- Islam.
2) Al-Qu’ran Sudah Lengkap
Dalam syariat Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Quran. Allah SWT
berfirman:QS. Al-An’aam ayat 38:
        ..........  ........
Artinya: Tidaklah Kami Alfakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)

Jika kita berpendapat Al-Qu’ran masih memerlukan penjelasan, berarti kita


secara tegas mendustakan Al-Qu’ran dan kedudukan Al-Qu’ran yang membahas
segala hal secara tutas. Padahal, ayat diatas membantah Al-Qu’ran masih
mengandung kekurangan. Oleh karena itu, dalam syari’at Allah di ambil pegangan
lain, kecuali Al-Quran. Argumen ini dipakai oleh Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.

3) Al-Qur’an Tidak Memerlukan Penjelas


Al-Qu’ran tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Qu’ran
merupakan penjelasan terhadap segala hal. Allah berfirman, QS. An-Nahl 89:
          ....
        
Artinya: (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap
umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

          
        
     
Artinya: Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal
dialah yang Telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci?
orang-orang yang Telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka
mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya.
Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. Al-An’am
114)

Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar Sunnah, baik dulu maupun
kini. Mereka menganggap Al-Qu’ran sudah cukup karena memberikan penjelasan
terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-orang yang menolak hadits secara
keseluruhan, seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.

b. Bantahan Ulama terhadap Ingkar Sunnah


1) Bantahan terhadap Argumen Pertama
Alasan mereka bahwa sunnah itu dhanni ( dugaan kuat ) sedang kita di
haruskan mengikuti yang pasti ( yakin ), masalahnya tidak demikain. Sebab , Al-
qur’an sendiri meskipun kebenarannya sudah di yakini sebagai Kalamullah- tidak
semua ayat memberikan petunjuk hukum yang pasti sebab banyak ayat yang
pengertiannya masih Dzanni ( Ad-dalalah ). Bahkan, orang yang memakai
pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat menyakinkan bahwa pengertian itu
bersifat pasti ( yakin ). Dengan demikian, berarti Ia jga tetap mengikuti pengertian
ayat yang masih bersifat dugaan kuat( dzanni Ad-dalala).

Adapun firman Allah swt ;

             
     

Artinya : Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
( Q.S.Yunus: 36)

Yang di maksud dengan kebenaran ( Al-haq) di sini adalah masalah yang


sudah tetap dan pasti. Jadi, maksud ayat ini selengkapnya adalah,bahwa dzanni
tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap denagn pasti, sedangkan dalam
halmenerima hadits, masalahnya tidak demikian.

Untuk membantah orang-orang yang menolak hadits ahad, abu Al- husain al-
basri Al mu’tazili mengatakan,”dalam menerima hadits- hadits ahad, sebenarnya
kita memakai dali-dali pasti yang mengharuskan untunmenerima hadits itu” jadi,
sebenarnya kita tidakmemakai dzanni yang bertentangan dengan haq, tetapi kita
mengikuti atau memakai dzann yang memegang perintah Allah.

2) Bantahan terhadap Argumen kedua dan ketiga


Kelompok pengingkar sunnah, baik pada masa lalu maupun belakangan,
umumnya ‘kekurangan waktu’ dalam mempelajari Al- Qur’an. Hal itu di karena
merka kebanyakan hanya memakai dalil Ayat 89 surat An- nahl:

Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk


menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.( Q.S. An-nahl: 89 )

Berdasarkan teks Al-qur’an, rasulullah saw. Sajalah yang di beri tugas untuk
menjelaskan kandungan Al-qur’an, sedangkan kita diwajibkan untuk menerima
dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau, baik berupa perintah maupun
larangan. Semua ini bersumber dari Al-qur’an. Kita tidak memasukkan unsur lain
ke dalam Al-qur’an sehingga masih di Anggap memiliki kekurangan. Hal ini tak
ubahnya seperti orang yang di beri istana yang megah yang lengkap dengan
segala fasilitasnya. Akan tetapi, ia tidakmau memakai lampu sehingga pada
malam hari, istana itu gelap.sebab, menurut dia, istana itu sudah paling lengkap
dan tidak perlu hal-hal lain. Apabila istana itu di pasang lampu-lampu dan lain-
lain,berrarti iamasih memelurkan masalah lain, sebab kabel-kabel lampu mesti di
sambung dengan pembangkit tenaga listrik di luar. Akhirnya ia menganggap
bahwa gelap yang terdapat dalam istana itu sebenarnya sudah merupakan cahaya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun ada beberapa
hal yang menjadikan sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa diterima, yaitu dikarenakan
hadits tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang ringan seperti mu’allaq, munqathi’,
mu’dhal mursal dan yang sejenisnya. Hadits dha’if yang tertolak adalah hadits dha’if berat
seperti hadits maudhu’, munkar, matruk dan sejenisnya.

Hadits Maudhu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi


wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal
beliau tidak mengatakan, tidak melakukan dan tidak mentaqrirkannya. Hadits Maudhu’ bisa
berupa perkataan dari seorang pemalsu, baik itu dari golongan orang biasa yang sengaja
membuatnya demi kepentingan tetentu, atau para ahli hikmah, orang zuhud, bahkan
Isra’iliyyat. Selain itu bisa juga merupakan kesalahan rawi dalam periwayatan dengan syarat
dia mengetahui kesalahan itu namun dia membiarkannya.

Kemunculan hadits-hadits palsu berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam.
Dimulai dengan terbunuhnya para khalifah sebelum ‘Ali bin Abi Thaalib
rodliyallahu’anhum, dilanjutkan dengan perseteruan yang semakin memuncak antara
kelompok  ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Sehingga terpecahlah islam
menjadi beberapa golongan, yang mana sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin
menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-
Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan
pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al-Hadits pada saat itu,
akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing.

Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para ‘ulama hadits sebagai dasar memeriksa benar
tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang maudhu’
secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu dilihat dari sudut pandang matan dan sanad.
Oleh karena itu para ulama hadits tidak mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits
saja, bahkan juga mereka memperhatikan matannya

inkar al-sunnah adalah aliran, golongan dan paham yang menolak eksistensi sunnah
sebagai sumber hukum Islam  atau hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan umat
Islam.  Maksudnya keraguan  yang lahir menjadi penolakan terhadap keberadaan sunnah
atau hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.
1. Secara garis besar inkar al-sunnah dibagi menjadi 3 yaitu Inkaru as sunnah secara
mutlaq, Inkaru ba’dli (sebagian) as sunnah dan Inkaru as sunnah bighairi thariqi
manqul.
2. Bantahan ulama terhadap inkar al-sunnah yaitu
a. Untuk membantah orang-orang yang menolak hadits ahad, abu Al- husain al- basri
Al mu’tazili mengatakan,”dalam menerima hadits- hadits ahad, sebenarnya kita
memakai dali-dali pasti yang mengharuskan untunmenerima hadits itu” jadi,
sebenarnya kita tidakmemakai dzanni yang bertentangan dengan haq, tetapi kita
mengikuti atau memakai dzann yang memegang perintah Allah.
b. Kelompok pengingkar sunnah, baik pada masa lalu maupun belakangan, umumnya
‘kekurangan waktu’ dalam mempelajari Al- Qur’an. Berdasarkan teks Al-qur’an,
rasulullah saw. Sajalah yang di beri tugas untuk menjelaskan kandungan Al-
qur’an, sedangkan kita diwajibkan untuk menerima dan mematuhi penjelasan-
penjelasan beliau, baik berupa perintah maupun larangan.

B. Saran
Dari apa yang telah dibahas dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya masih terdapat
keurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada
dosen pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis
makalah ini juga kepada saudara-saudara yang sedang mendalami disiplin ilmu ulumul hadits
ini.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Solihin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2008

Alfiah, Fitriadi, Suja’i. Studi Ilmu Hadits. Riau: Kreasi Edukasi. 2016

Anonim. 2013. Makalah Ilmu Hadits : Inkar al-Sunnah. Sumber Online :


https://ikanteri89.blogspot.com/2014/07/makalah-ilmu-hadis-inkar-al-sunnah.html

Bani (al), Muhammad Nashiruddin. Silsilah Hadits Dha`if dan Maudhu’. Jakarta: Gema Insani
Press. 2012.

Maliki (al), Muhammad Alawy. al-Manha al-Lathif fi Usul al-Hadith al-Sharfi. Terj. Adnan
Qahar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.

Muamal. 2006. Modul : Ulumul Hadits: untuk Fakultas Tarbiyah. Muhammad Ahmad,
Mudzakir. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000.

Sanusi, Anwar dan Hadi Pranata. 2019. Makalah Ulumul Hadits tentang Inkar Sunnah. Sumber
Online : http://juniskaefendi.blogspot.com/2019/11/makalah-ulumul-hadits-tentang-ingkar.html?
m=0

Suhandi. 2015. Jurnal : INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits).
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. 2001

Anda mungkin juga menyukai