Anda di halaman 1dari 18

Makalah Ulumul Quran dan Hadist

( Hadits Dhaif dan Hadits Maudhu’)


Disusun Oleh:
YUNASAR
(190702028)

Dosen Pembimbing:
Hj. Dr. Nurjannah Ismail, M.Ag.

PRODI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
U N I V E R S I T A S I S L A M N EG E R I A R-R A N I R Y
BANDA ACEH
KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah untuk tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
dan Hadits yang berjudul “Hadits Dhaif dan Hadits Maudhu’” tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu
memotivasi dan memberi masukan-masukan yang bermanfaat sehingga Penulis dapat membuat
makalah ini dengan baik. Khususnya, Penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Hj Nurjannah
Ismail selaku dosen mata kuliah Ulumul Qur’an dan Hadits yang telah memberi tugas makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca khususnya serta rekan-rekan mahasiswa pada
umumnya.

Banda Aceh, 15 Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................2

DAFTAR ISI................................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................................4

A.    Latar Belakang...........................................................................................................4

B.     Rumusan Masalah......................................................................................................4

C.   Tujuan  ........................................................................................................................4

BAB 2 PEMBAHASAN..............................................................................................................5

A.    Hadits Dhaif...............................................................................................................5

1. Pengertian Hadits Dhaif............................................................................................5

2. Sebab-sebab Hadits Dhaif.........................................................................................6

3. Klasifikasi Hadits Dhaif............................................................................................6

B. Hadits Maudhu’...........................................................................................................13

1. Pengertian Hadits Maudhu’.....................................................................................13

2. Kriteria Hadits Maudhu’.........................................................................................14

BAB 3 PENUTUP......................................................................................................................17

KESIMPULAN..........................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits, oleh umat Islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah Al-Qur’an.
Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan
menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits
merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak
menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita
harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan
memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua, yaitu hadits Maqbul (hadits
yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits
Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam
hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if yang di dalamnya terdapat hadits Maudhu’.
Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama hadits-
hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini, maka
kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat dijadikan hujjah
syar’iyyah atau tidak.

B. Rumusan Masalah
Adapun dalam tugas ini akan dibahas beberapa masalah, diantaranya:
1.      Apa pengertian hadits Dhaif dan Maudhu’?
2.      Apa faktor-faktor penyebab hadits Dhaif dan Maudhu’?
3.      Apa saja macam-macam hadits Dhaif?
4.      Apa saja kriteria hadits Maudhu’?

C. Tujuan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu
pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits mengenai hadits Dhaif dan
Maudhu’.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Dhaif
1.      Pengertian Hadits Dhaif
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Sedangkan secara
istilah yaitu:
.‫ بِفَ ْق ِد شَرْ ِط ِم ْن ُشرُوْ ِط ِه‬,‫صفَةُ ْال َح َس ِن‬
ِ ‫َمالَ ْم يَجْ َم ْع‬
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercakup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu
syarat dari syarat-syarat hadits hasan.”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak
shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits
tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhaif yang sangat lemah. Oleh karena itu, sebagian
ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.
Adapun menurut Muhaditsin,
.‫ْح َو ْال َح َس ِن‬ ِ ‫ َو قَا َل أَ ْكثَ ُر ْال ُعلَ َما ِء هُ َو َمالَ ْم يَجْ َم ْع‬.‫ات ْالقَبُوْ ِل‬
ِ ‫صفَةَ الص‬
ِ ‫َّحي‬ ُ َ‫صف‬ ٍ ‫ه َُو ُكلُّ َح ِد ْي‬
ِ ‫ث لَ ْم تَجْ تَ ِم ْع فِ ْي ِه‬

“Hadits dhaif adalah semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits
yang diterima menurut pendapat kebanyakan ulama; hadits dhaif adalah yang tidak terkumpul
padanya sifat hadits shahih dan hasan”.
Contoh hadits dhaif adalah sebagai berikut:
ْ‫ " َم ْن أَتَي َحائِضًا أَو‬:‫"ح ِكي ِْم األَ ْث َر ِم" ع َْن أَبِي تَ ِم ْي َم ِة الهُ َج ْي ِم ْي ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ ع َِن النَّبِ ِّي ص م قَا َل‬َ ‫ْق‬ ِ ‫َما أَ ْخ َر َجهُ التِّرْ ِم ْي ِذيْ ِم ْن طَ ِري‬
".‫اِ ْم َراةً فِي ُد بُوْ ِرهَا أَوْ َكاهُنَا فَقَ ْد َكفَ َربِ َما أَ ْن َز َل َعلَى ُم َح َّم ٍد‬

“Apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari jalur hakim Al-Atsrami dari Abi Tamimah
Al-Hujaimi dari Abi Hurairah dari Nabi Saw ia berkata: barang siapa yang menggauli wanita
haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari
dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw”.
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini: “kami tidak mengetahui
hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim Al-Atsrami, kemudian hadits ini didhaifkan oleh
Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim Al-Atsrami sebab
didhaifkan pula oleh para ulama hadits”.

5
Berkata Ibnu Hajar mengenai hadits ini di dalam kitab “Taqribut Tahdzib”: Hakim Al-
Atsrami pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
2.      Sebab-sebab Hadits Dhaif
Adapun penyebab kedhaifannya karena beberapa hal:
1)      Sebab terputusnya sanad
Ketidakbersambungnya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan
atau saling tidak bertemu satu sama lain.
2)      Sebab penyakit pada rawi
Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya
(hafalan). Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-annya rawi itu ada sepuluh macam, yaitu
sebagai berikut.
b.      Tertuduh dusta
c.       Fasik
d.      a.       Dusta
Banyak salah
e.       Lengah dalam menghafal
f.        Menyalahi riwayat orang kepercayaan
g.      Banyak waham (purbasangka)
h.      Tidak diketahui identitasnya
i.        Penganut bid’ah
j.        Tidak baik hafalannya

3.      Klasifikasi Hadits Dhaif


a.       Dhaif karena tidak bersambung sanadnya
1)      Hadits Mu’allaq
Mu’allaq, menurut bahasa adalah isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung.
Sanad seperti ini disebut mu’allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja,
sementara bagian bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada
atap dan yang semacamnya. Sementara itu, menurut istilah, hadits mu’allaq adalah hadits
yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
Di antara bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian
dikatakan, “Rasulullah bersabda…” atau dengan menggugurkan semua sanad, kecuali seorang
sahabat, atau seorang sahabat tabiin.

6
Contohnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw bersabda:
.‫اضلُوْ ا بَ ْينَ اأْل َ ْنبِيَا ِء‬
ِ َ‫اَل تُف‬
Janganlah kalian melebih-lebihkan di antara para nabi.
Pada hadits ini, Bukhari tidak pernah bertemu Al-Majisyun.
2)      Hadits Mu’dhal
Mu’dhal secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Disebut demikian,
mungkin karena para ulama hadits dibuat lelah dan letih untuk mengetahuinya karena
beratnya ketidakjelasan dalam hadits itu. Adapun menurut istilah muhaditsin, hadits mu’dhal
adalah hadits yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan.
Contohnya diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ma’rifat Ulum Al-Hadits dengan
sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwa dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah
berkata, “Rasulullah bersabda,
.ُ‫ف َواَل يُ َكلِّفُ ِمنَ ْال َع َم ِل إِاَّل َما يُ ِط ْيق‬
ِ ْ‫ص َعا ُمهُ َو ِك ْس َوتُهُ بِ ْال َم ْعرُو‬ ِ ْ‫لِ ْل َم ْملُو‬
َ ‫ك‬
Seorang hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya
dengan baik dan tidak dibebani pekerjaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.
Al-Hakim berkata, “Hadits ini mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatha’.”
Hadits ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha’,
diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu
Hurairah. Letak ke-mu’dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu
Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.
3)      Hadits Mursal
Mursal, menurut bahasa, isim maf’ul, yang berarti ‘yang dilepaskan’. Adapun hadits
mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin
besar maupun tabiin kecil. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir
tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul
Saw. Seperti bila seorang tabiin mengatakan, “Rasulullah Saw bersabda begini atau berbuat
seperti ini.”
Contoh hadits mursal, Dari Malik, dari ‘Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm, bahwa surat
yang Rasulullah saw. tulis kepada ‘Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak menyentuh
Qur’an melainkan orang yang bersih”.
Seperti telah kita ketahui bahwa dalam hadits mursal itu, yang digugurkan adalah
sahabat yang langsung menerima berita dari Rasulullah Saw, sedangkan yang menggugurkan

7
dapat juga seorang tabiin atau sahabat kecil. Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang
menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadits, hadits mursal terbagi menjadi tiga,
yaitu sebagai berikut.
1.      Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) jelas sekali,
dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman
dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2.      Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, Karena
pada saat Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam.
Hadits mursal shahabi ini dianggap shahih karena pada galib-nya ia tiada meriwayatkan
selain dari para sahabat, sedangkan para sahabat itu seluruhnya adil.
3.      Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan tabiin, di mana tabiin yang meriwayatkan
hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun
darinya.
4)      Hadits Munqathi
Hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu
tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut. Atau pada
sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazak dari ats-Tsauri dari Abi Ishak dari Zaid bin
Yutsai’i dari Hudzaifah secara marfu’: “Apabila kalian menyerahkan perkara itu kepada Abu
Bakar, maka ia adalah orang yang kuat lagi terpercaya.”
Dalam hadits ini terdapat satu orang sanad yang gugur dan terletak di pertengahan
sanad. Ia adalah Syurik, yang gugur (dan letaknya) antara ats-Tsauri dan Abi Ishak. Ats-
Tsauri tidak mendengar secara langsung haditsnya dari Abu Ishak, melainkan mendengarnya
dari Syurik. Syurik mendengar haditsnya dari Abu Ishak.
Macam- macam pengguguran (inqitha’) sebagai berikut.
1.      Inqitha’ dilakukan dengan jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadits dapat
diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadits padanya atau ia hidup
sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan
haditsnya.
2.      Inqitha’ dilakukan dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang
mempunyai keahlian saja.

8
3.      Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam
hadits riwayat orang lain.
5)      Hadits Mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan
bahwa hadits itu tidak bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadits yang
diriwayatkan oleh mudallis disebut hadits mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.
 Hadits yang dikeluarkan Imam Ahmad (4/289), Abu Daud (5212) dan Tirmidzi
(2727) dan Ibnu Majah (3703) dari jalan periwayatan:  Abu Ishaq as-Sabi’ie dari Baro’ bin
Azib, dia berkata: Rasulullah bersabda:
.‫صافَ َحا ِن اِاَّل ُغفِ َرلَهُ َما قَ ْب َل أَ ْن يَتَفَ َّرقَا‬ ِ َ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ َمي ِْن يَ ْلتَقِي‬
َ َ‫ان فَيَت‬
Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian mereka berjabat tangan, kecuali
mereka telah diampuni dosa mereka sebelum berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’ie adalah Amr bin Abdullah, dia adalah rawi yang tsiqah dan
banyak meriwayatkan hadits, hanya saja dia melakukan tadlis. Dia banyak mendengar hadits-
hadits dari Baro bin Azib radiyallahu 'anhu, namun hadits yang ia riwayatkan dari Baro ini ia
riwayatkan dengan lafadz yang muhtamal (berkemungkinan mendengar atau tidak), dan dia
tidak mendengar langsung dari Baro bin Azib. Dia hanya mendengar dari Abu Daud al-A’ma,
yaitu namanya Nufa’i bin Harits, dia adalah rawi yang tidak dipakai dan tertuduh dusta. 
Diantara yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa  Ibnu Abi Dunya
mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab “al-Ikhwan” (hal: 172) dari jalan Abu Bakr Iyasy
dari Abu Ishaq dari Abu Daud yang mendengar dari baro bin Azib dan 
Imam Ahmad mengeluarkan hadits tersebut dalam Musnadnya (4/289) dari jalan: Malik bin
Migwal dari Abu Daud dari Baro bin Azib. Maka hadits Abu Ishaq dari Baro bin Azib adalah
hadits mudallas. 
Macam-macam tadlis sebagai berikut.
1.      Tadlis Isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang
pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadits darinya.
Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan
lafadzh menyampaikan hadits dengan ‘an fulanin (dari si Fulan) atau anna fulanan
yaqulu (bahwa si Fulan berkata).
2.      Tadlis Syuyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarkan
dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunannya, atau
menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.

9
3.      Tadlis Taswiyah (Tajwid), yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadits dari gurunya
yang tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang
lemah ini menerima dari seorang guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan
tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafadzh yang
mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.
b.      Dhaif karena tiadanya keadilan
1)      Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’ adalah,
.ً‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم ُزوْ رًا َو بُ ْهتَانًا َس َوا ٌء َكانَ َذلِكَ َع ْمدًا أَ ْم خَ طَأ‬
َ ِ‫ع ْال َم ْنسُوْ بُ إِلَى َرسُوْ ِل هللا‬
ُ ْ‫ه َُو ْال ُم ْختَلَ ُع ْال َمصْ نُو‬

Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu
dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak.
2)      Hadits Matruk
Hadits matruk adalah,
ِ ‫ْث الَّ ِذيْ فِى إِ ْسنَا ِد ِه َرا ٍو ُمتَّهَ ٌم بِا ْل َك ِذ‬
.‫ب‬ ُ ‫ه َُو ْال َح ِد ي‬

Hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.                    
Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan
sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam
membuat hadits. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertaubat dengan sungguh-
sungguh, dapat diterima periwayatan haditsnya.
Contoh hadits matruk, “Telah datang kepadamu suku Adzi, orang-orang yang paling
bagus wajahnya, paling manis mulutnya, dan paling sungguh-sungguh dalam perjumpaan.”
3)      Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek
kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya. Lawannya
dinamakan ma’ruf. Hadits munkar juga merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
lemah (perawi yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih
terpercaya.
Contoh hadits munkar, “Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya
adalah ampunan dan terakhirnya adalah pembebasan dari (siksa) neraka.”

10
c.       Dha’if karena tiadanya dhabit
1)      Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan
(bagian dari) hadits.
Contoh hadits mudraj pada awal matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-
Khathib Al-Baghdadi dengan sanadnya dari Abu Hurairah:
.‫اسبغوا الوضوء ويل لالعقاب من النار‬
Pada hadits tersebut kalimat asbighu al-wudhu’a adalah kalimat Abu Hurairah sendiri.
2)      Hadits Maqlub
Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik
berupa sanad  (silsilah) maupun matan (isi).
Contoh hadits maqlub ini yang di matannya adalah hadits riwayat Muslim, sebagai
berikut:
.‫ ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى التعلم يمينه ما تنفق شمال‬. . .
    Padahal seharusnya ‫حتى ال تعلم شمله ماتنفق‬ sebagaimana terdapat dalam shahih
Bukhari, Muwatha’ dan selain keduanya.
3)      Hadits Mudhtharib
Hadits Mudhtharib menurut As-Suyuthi yaitu: hadits yang diriwayatkan dengan
bentuk yang berbeda-beda padahal dari satu perawi, dua atau lebih, atau dari dua perawi atau
lebih yang berdekatan (dan tidak bisa ditarjih).

4)      Hadits Mushahhaf
Hadits Mushahhaf yaitu terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya.
Contoh tashif al-matan ini adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshary: Bahwasanya Nabi
Saw bersabda: “Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari pada
bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa”.
Perkataan sittan yang artinya enam oleh Abu Bakr Al-Shauly dirubah menjadi syaian
yang berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah maknanya.
Adapun tashif pada sanad misalnya saja nama sanad yang sesungguhnya Ibnu Al-
Badzar diubah dengan Ibnu Al-Nadzar.

11
5)      Hadits Muharraf
Yaitu hadits yang perbedaanya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata
dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
                                                   :Contoh pada makna  ‫ان النبي (ص) صلى الى العنزة‬
Bahwa Rasulullah Saw sembahyang pada anazah.
Abu Musa Muhammad Ibn Al-Mutsanna menyangka, bahwa makna Al-‘Anazah
tersebut adalah salah satu suku masyhur Di Arab.

d.      Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan


1)      Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, akan
tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
Contoh hadits  syadz ini adalah “Kata abu Daud telah menceritakan kepada kami,
Ibnu-Sarah, telah menceritakan kepada kami,  ibnu Wahb, telah mengabarkan kepada kami,
Yunus dari Ibnu Syihab, dari Amrah binti Abdirrahman, telah mengabarkan dari Aisyah istri
Nabi Saw, bahwa Rasulullah Saw berkurban untuk keluarga Muhammad (istri-istrinya) pada
haji wada’ seekor sapi betina.
2)      Hadits Mu’allal
Hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang di dalamnya terdapat cacat yang
tersembunyi.
Contoh hadits mua’allal ini adalah hadits Ya’la bin ‘Ubaid: “Dari Sufyan Al-Tsauri,
dari ‘Amr Ibn Dinar dari Ibn Umar dari Nabi Saw ia bersabda,
.‫البيعان بالخيار مالم يتفرقا‬
Si penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan.
‘Illat ini terdapat pada ‘Amr Ibn Dinar. Seharusnya bukan ia yang meriwayatkan,
melainkan ‘Abdullah Ibn Dinar. Hal ini diketahui dari riwayat-riwayat lain yang juga melalui
sanad tersebut.

e.       Dha’if dari segi matan


Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dha’if dari sudut
persandarannya ini adalah hadits yang mauquf dan yang maqthu’.
1)      Hadits Mauquf

12
Hadits mauquf ialah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik bersambung atau tidak.
Dikatakan mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian
tidak dikatakan marfu’, karena hadits ini tidak dirafa’kan atau disandarkan kepada Rasulullah
Saw.
Ibnu Shalah membagi hadits mauquf kepada dua bagian:
(a)   Mauquf al-maushul
(b)   Mauquf ghair al-maushul.
2)      Hadits Maqthu’
Hadits maqhtu’ yaitu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan
kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya”. 

B.     Hadits Maudhu’
1.      Pengertian Hadits Maudhu’
    Hadits maudhu’ secara etimologis merupakan bentuk isim maf’ul dari ‫ض ُع‬ َ َ‫ي‬-‫ض َع‬َ ‫َو‬
Kata ’‫ض َع‬
َ ‫’و‬
َ             memiliki beberapa makna, antara lain ‘menggugurkan’. Juga bermakna    ‫ك‬ ُ ْ‫الَتَّر‬
  Selain itu, juga bermakna .)meninggalkan( ‫ق‬ ُ ‫اَإْل ِ ْفتِ َرا ُء َو اإْل ْختِاَل‬   .)mengada-ada dan membuat-buat(
Menurut istilah, hadits maudhu’ adalah pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian
dinisbahkan kepada Rasulullah Saw secara palsu dan dusta baik dengan sengaja atau tidak,
dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.
Adapun pengertian hadits maudhu’ menurut istilah para muhaditsin adalah:
.ُ‫إختِاَل قًا َو ِك ْذ بًا ِم َّمالَ ْم يَقُ ْلهُ أَوْ يَ ْغ َع ْلهُ أَوْ يُقِ َّره‬
ْ ‫صلَّى اهللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ب إلَى َرسُوْ ِل هللا‬
َ ‫ه َُو َما نُ ِس‬
Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara mengada-ada dan dusta, yang
tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.

Dengan pengertian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perbuatan, perkataan
maupun taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam,
hadits maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.
Kata-kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’ adalah al-mukhtalaqu, al-
muhtala’u, al-mashnu, dan al-makdzub. Kata tersebut memiliki arti yang hampir sama.

13
Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa hadits semacam ini
semata-mata dusta atas nama Rasul Saw.
Ulama berbeda pendapat tentang sengaja atau tidaknya pembuatan hadits itu. Umar ibn
Hasan, Utsman Fallatah dan Mahmud Abu Rayyah menyatakan bahwa hadits maudhu’ itu dibuat
baik dengan sengaja ataupun tidak. Abu Bakar Abd al-Shamad Abid, dan Ibn Taymiyyah seperti
dikutip Umar ibn Hasan Utsman Fallatah mengemukakan bahwa hadits maudhu’ adalah hadits
yang dibuat dengan sengaja dan kalau tidak, bukan palsu.
2.      Kriteria Hadits Maudhu’
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan
matan.
a.       Ciri-ciri yang terdapat pada sanad
Terdapat banyak ciri-ciri ke-maudhu’-an hadits yang terdapat pada sanad, diantaranya:
1)      Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) yang tidak ada seorang rawi yang
terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
Contohnya, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam seorang yang terkenal suka berbohong dan
mengada-ada. Dia pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perahu Nabi Nuh
mengitari Baitullah dan melakukan shalat dua rakaat di belakang makam Ibrahim.”
2)      Pengakuan dari si pembuat sendiri.
Contohnya, pengakuan dari ibn Abdu Robbi al-Farisi yang telah memalsukan hadits-hadits
keutamaan al-Qur’an.
3)      Ungkapan perawi yang secara tidak langsung bermakna pengakuan.
Misalnya seorang perawi mengatakan telah mendengar hadits dari seseorang padahal
keduanya tidak hidup sezaman, dan dia mengklaim bahwa hadits tersebut telah diambil dari
orang tersebut.
Ketika Ma’mun Ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam Ibn
Amr kepada Ibn Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?”
Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H.” Mendengar itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam
meninggal dunia pada tahun 245 H.”
4)      Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’. Misalnya
seperti yang dilakukan Ghiyats bin Ibrahim seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

14
b.    Ciri-ciri yang terdapat pada matan
Terdapat banyak pula ciri-ciri hadits maudhu’ yang terdapat dalam matan, di
antaranya sebagai berikut.
1)      Keburukan susunan lafazhnya.
Jika terdapat kejanggalan dalam redaksi, ini adalah hal yang mustahil keluar dari orang yang
paling fasih, yakni Nabi Muhammad SAW. Kaidah ini mudah dimengerti oleh orang-orang
yang menggeluti bidangnya. Karena, sebuah hadis, sebagaimana diaktakan oleh Ar-Rabi’ bin
Jutsaim “terang bagaikan terangnya siang, bila anda mengenalnya. Tetapi, kelam bagai gelap
malam, bila anda tidak mengenalnya”.
Maksudnya, ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu Bayan. Dengan mendalami
ilmu Bayan, kita akan merasakan susunan kata, mana yang mungkin keluar dari mulut Nabi
Saw, dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi Saw.
2)      Kerusakan maknanya.
(1)   Bertentangan dengan akal sehat.
Seperti hadits: “Pakailah cincin akik, karena bercincin akik dapat menghindarkan dari
kekafiran.” Semua orang akan bertanya, apa hubungannya antara kekafiran dan cincin
akik?
Atau hadits, “Jika seseorang sedang berbicara lalu ia bersin, maka ketahuilah bahwa
ucapannya itu benar.” Apa hubungannya antara bersin dan kebenaran ucapan seseorang?
(2)   Berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan
.ٌ‫اَل يُوْ لَ ُد بَ ْع َد ْال ِمائَ ِة َموْ لُوْ ٌد هّلِلا ِ فِ ْي ِه َحا َجة‬
Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi
Allah.

(3)   Bertentangan dengan ilmu kedokteran.


.‫اَ ْلبَا ِذ ْن َجانُ ِشفَا ٌء ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء‬
Buah terong itu penawar bagi segala penyakit.
(4)   Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits,
.‫ك ْاألَ ْبيَضُ َحبِ ْيبِ ْي َو َحبِيْبُ َحبِ ْيبِ ْي‬
ُ ‫اَل ِّد ْي‬
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril.

15
(5)   Bertentangan dengan keterangan Al-Quran atau hadits shahih serta ijma’.
Contoh hadits maudhu’ yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran adalah hadits,
.‫َولَ ُد ال ِّزنَا اَل يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ إلَى َس ْب َع ِة أَ ْبنَا ٍء‬
Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6] ayat 164, yaitu:
) ١٦٤ :‫ (األنعام‬.‫از َرةٌ ِو ْز َر أُ ْخ َراى‬
ِ ‫َواَل ت َِز ُر َو‬
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang yang lain. (Q.S. Al-An’am
[6]: 164)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang
lain. Seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
(6)   Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat
kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.
Seperti hadits, “Barang siapa makan bawang pada malam jum’at maka ia akan dilempar
ke neraka hingga kedalaman tujuh puluh tahun perjalanan.”
Atau, “Barang siapa puasa sunnah sehari maka ia akan diberi pahala seperti melakukan
seribu kali haji, seribu umrah, dan mendapat pahala Nabi Ayub.”

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hadits dhaif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhaif ini memiliki penyebab mengapa bisa tertolak,
di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan. Kriteria hadits dhaif
adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung, kurang adilnya perawi, kurang dhobitnya
perawi dan ada syadz dalam hadits tersebut.
Hadits maudhu’ merupakan buatan pendusta yang dinisbahkan pada Nabi Saw, padahal
tidak berasal darinya, maka pada hakikatnya bukan hadits tetapi pernyataan selain Allah. Hadits
maudhu’ merupakan hadits palsu sehingga tidak baik / cocok untuk dijadikan sebuah landasan /
pegangan dalam kehidupan sehari-hari untuk menentukan suatu hukum.

17
DAFTAR PUSTAKA

Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia

http://sulfiana22.blogspot.com/2014/04/hadis-dhoif-beserta-contoh-contohnya.html

http://nhuroelkmuetz.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-maudhu.html

http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif-serta-
contohnya.html

18

Anda mungkin juga menyukai