Anda di halaman 1dari 22

PEMBAGIAN HADIST BERDASARKAN KUALITASNYA

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Perkuliahan Ulumul Hadist

Oleh

Fahri Fahrurrozi 210601071


Siti Rahayu Rizka Shofiana 210601083

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Pembagian Hadist Berdasarkan Kualitasnya ini tepat waktu. Serta
shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi perantara
kami menuju jalan yang lurus.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kami pada mata kuliah Ulumul Hadist. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang kita tentang pembagian hadist berdasarkan
kualitasnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H.Muh. Tamimi M.Ag
selaku Dosen mata kuliah Ulumul Hadist yang telah memberikan kami tugas ini
sehingga kami bisa menambah wawasan kami tentang pembagian hadist
berdasarkan kualitasnya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami meminta dan membutuhkan saran ataupun kritikan yang
membangun dari Bapak Dosen dan teman-teman yang lainnya demi kesempurnaan
makalah ini.

Mataram, 20 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusam Masalah ....................................................................................... 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

A. Hadist Maqbul dan Hadist Mardud ................................................................ 3

B. Hadist Shahih .................................................................................................. 4

C. Hadist Hasan ................................................................................................. 12

D. Hadist Dha’if .............................................................................................. 14

BAB III .................................................................................................................. iii

PENUTUP .............................................................................................................. iii

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ iv

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadist merupakan sumber ajaran Islam yang kedua telah dibukukan pada
masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khilafah kelima Bani Umayyah.
Sedangkan esbelumnya hadist-hadist Nabi Muhammad SAW masih terdengar
dalam ingatan para sahabat untuk kepentingan dan pegangan mereka sendiri.

Umat Islam didunia harus menyadari bahwa hadist Rasulullah SAW sebagai
pedoman hidup yang kedua setelah Al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak
ditegaskan ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat
Al-Qur’an secara mutlak dan secara jelas, hal ini membuat para muhadistin sadar
akan perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan al hadist.

Dalam meneliti kekuatan hadist serta kelemahan hadist serta kelemahan


hadist untuk dijadikan hujjah hukum, serta untuk mengamalkan hadist, perlu
dipahami hadist-hadist yang berkembang baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dalam makalah ini akan membahas ; hadist shahih, syarat, macam-macam, dan
contohnya. Kedua hadist hasan, syaratnya, macam-macam dan contohnya. Ketigas
hadist dhaif (dari sudut sandaran sanadnya), dhaif dari sudut perawinya serta
kehujjahan hadist shahih dan hadist hasan.

B. Rumusam Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hadist Maqbul dan Hadist Mardud?
2. Apa yang dimaksud dengan hadist Shahih, syarat-syaratnya, macam-
macamnya, dan seperti apa contohnya?
3. Apa yang dimaksud dengan hadist Hasan, syarat-syaratnya, macam-
macamnya, dan seperti apa contohnya?
4. Apa yang dimaksud dengan hadist Dhaif, syarat-syaratnya, macam-
macamnya, dan seperti apa contohnya?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hadist maqbul dan hadist mardud
2. Untuk mengetahui tentang hadist shahih beserta syarat, macam, dan
contohnya
3. Untuk mengetahui tentang hadist hasan beserta syarat, macam, dan
contohnya
4. Untuk mengetahui tentang hadist dhaif beserta syarat, macam, dan
contohnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist Maqbul dan Hadist Mardud


Sebagaimana penjelasan pemakalah sebelumnya bahwa hadist ditinjau dari
segi kuantitas jumlah perawi menjadi mutawattir dan ahad. Jika jumlah para perawi
pada setiap tingkat sanad mencapai jumlah maksimal yang tidak mungkin adanya
konsesnsus berdusta maka dinamakan hadist mutawattir. Dan jika tidak mencapai
jumlah maksimal disebut hadist ahad. Hadist ahad pun terbagi-bagi menjadi
beberapa bagian jika dilihat jumlah perawinya. Jika jumlah perawinya dalam satu
tingkatan (thabaqat) mencapai 3 orang keatas, tetapi tidak mencapai mutawattir,
disebut dengan hadist masyhur, jika hanya 2 orang perawinya pada sebagian
tingkatan sanad disebut hadist aziz, dan jika hanya seorang perawi saja disebut
hadist garib. Hadist mutawattir jelas kualitasnya, yaitu hadist yang paling shahih
dan wajib diterima.

Sekalipun ditinjau dari segi kuantitas, tetapi akan menjadi kualitas ketika
dilihat kuantitas para perawi yang banyak itu bermakna kualitas, yaitu tidak
mungkin terjadi kesepakatan berbohong diantara mereka. Sedangkan hadist ahad
dengan berbagai macamnya akan dilihat dari segi kualitas para perawi dalam sanad
dan matannya.

Hadist dilihat dari segi kualitasnya ada dua macam, yaitu hadist maqbul dan
hadist mardud. Hadist maqbul terbagi menjadi dua, yaitu mutawattir dan ahad, yang
shahih dan hasan, baik lidzatihi maupun lighayrihi, sedangkan hadist mardud ada
satu, yaitu hadist dhaif.

1. Hadist Maqbul
Dalam bahasa, kata maqbul artinya diterima. Hadist itu dapat diterima
sebagai hujjah dalam islam, karena sudah memenuhi beberapa kriteria
persyaratan, baik yang menyangkut sanad maupun matannya. Adapun
menurut istilah, hadist maqbul adalah:

3
ُ‫صد ُْق ال ُم ُخبِ ِر َعنُه‬
ِ ‫َوه َُو َما ت ََر َّج َح‬

Adalah hadist yang unggul pembenaran pemberitaannya

Keunggulan pembenaran berita itu mungkin pada proses awal adanya dua
dugaan antara benar dan salah. Kemudia, karena adanya bukti-bukti atau
alasan-alasan lain yang memeprkuat atau yang mendukung pada salah satu
dari dua dugaan tersebut, makai a menjadi unggul. Dalam hal ini hadist
maqbul adalah hadist yang mendapatkan dukungan bukti-bukti dan
membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran.

2. Hadist Mardud
Mardud dalam bahasa lawan dari maqbul yaitu ditolak atau tidak diterima.
Penolakan hadist ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria
persyaratan yang ditetapkan para ulama’ baik yang menyangkut sanad
seperti setiap perawi harus bertemu langsung dengan gurunya, maupun yang
menyangkut matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan lain-lain. Dalam istilah, hadist mardud adalah:

ِ ‫َوه َُو َما لَ ْم يَت ََر َّج ْح‬


ُ‫صد ُْق ال ُم ُخبِ ِر َعنُه‬
Adalah hadist yang tidak unggul pembenaran pemberitaannya
Hadist mardud tidak memiliki hadist pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadist tersebut. Hadist mardud tidak dapat
dijadikan hujjah dan tidak wajib diamalkan. Sedangkan hadist maqbul wajib
dijadikan hujjah dan wajib diamalkan. Secara umum hadist mardud adalah
hadist dhaif (lemah) dengan segala macamnya.

B. Hadist Shahih
1. Pengertian

Kata shahih dalam bahasa diartikan orang sehat, antonym dari kata as-saqim
yaitu orang yang sakit. Jadi, yang dimaksudkan hadist shahih adalah hadist sehat
dan benar, tidak terdapat penyakit ataupun cacat. Dalam istilah hadist shahih adalah

4
hadist yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan
dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan
(syadzdz), dan cacat (illat).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadist shahih mempunyai lima
kriteria, yaitu sebagai berikut:

َّ ‫صا ُل ال‬
1) Persambungan sanadnya ‫سنَ ِد‬ َ ‫ا ِِت‬
Artinya setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan
dari perawi sebelumnya, baik secara langsung ataupun secara hukum
dari awal sanad sampai akhir sanadnya. Pertemuan dan persambungan
sanad dalam periwayatan ada dua macam lambing yang digunakan oleh
para periwayat:
a) Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka
langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan.
Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa
yang dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung
seperti diatas pada umumnya menggunakan lambing ungkapan
ُ‫س ِم ْعت‬
َ = aku mendengar
َ َ‫ = َحدَّثَنِي ا َ ْخبَ َرنِي َحدَّثَنَا ا َ ْخب‬memberitakan kepadaku/kepadamu
‫لرنَا‬
‫ = َراَيْتُ فُالَنًا‬aku melihat si fulan, dan lain-lain
Jika dalam periwayatan sanad hadist menggunakan kalimat
tersebut, atau sesamanya maka berarti sanadnya muttashil.
b) Pertemuan secara hukum; seseorang meriwayatkan hadist dari
seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang
mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
‫ = قَا َل فُالَ ٌن َع ْن فُالَ ٍن فَعَ َل فُالَ ٌن‬si fulan berkata … /dari si fulan/ si fulan
melakukan begini.
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara
hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat
diketahui benar apakah ia bertemu dengan syaikhnya atau tidak.

5
Untuk mengetahui persambungan/pertemuan atau tidaknya suatu sanad
dapat diperiksa dengan dua teknik berikut:

a) Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat


sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa.
b) Keterangan seorang perawi atau imam hadist bahwa seseorang
perawi bertemu atau tidak bertemu, mendengar atau tidak
mendengar, melihat dengan orang yang menyampaikan
periwayatan atau tidak melihat. Keterangan seorang perawi ini
dapat dijadikan saksi kuat yang memperjelas keberadaan sanad
2) Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah)

Pengertian adil dalam bahasa arab adalah seimbang atau meletakkan sesuatu
pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan, orang yang adil
adalah orang yang konsisten (istiqomah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak
fasik, dan tidak melakukan cacat muru’ah.

Istiqomah dalam beragama artinya orang tersebut konsisten dalam


beragama, menjalankan segala perintah, dan menjauhkan segala dosa yang
menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama (al khuruj ‘an ath-
tha’ah), mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil secara kontinu.
Adapaun menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan sebagai seorang perawi,
menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang
tercela menurut umum dan tradisi. Misalnya, tidak membuka kepala dan tidak
melepas alas kaki ketika bepergian, tidak mengenakan baju lengan pendek, tidak
makan dipinggir jalan, dan lain sebagainya.

Dalam menilai keadilan seseorang tidak harus meneliti ke lapangan


langsung, dengan cara bertemu langsung. Hal ini sangat sulit dilakukan karena
mereka para perawi hadist hidup pada awal abad perkembangan islam. Kecuali bagi
mereka yang hidup bersamanya atau yang hidup sezaman. Oleh karena itu, dalam
menilai keadilan seorang periwayat, cukup dilakukan dengan salah satu teknik
berikut:

6
a) Keterangan seorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa
seseorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam
kitab-kitab al jarh wa at-ta’dil
b) Ketenaran seseorang bahwa ia bersifat adil, seperti imam empat
yaitu Hanafi, Maliki, Asy-syafi’I, dan Hambali
3) Para perawi bersifat dhabith (dhabth ar-ruwah)

Maksudnya para perawi itu memiliki daya ingat hapalan yang kuat dan
sempurna. Daya ingat dan hapalan kuat ini sangat diperlukan dalam rangka menjaga
otentisitas hadist, mengingat tidak seluruh hadist tercatat pada masa awal
perkembangan islam. Atau jika tercatat, catatan tulisannya harus selalu benar, tidak
terjadi kesalahan yang mencurigakan. Sifat dhabith ini ada dua macam, yaitu:

a) Dahbith dalam dada, artinya memiliki daya ingat dan hapalan


yang kuat sejak ia menerima hadist dari seorang syeikh atau
seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikannya
kepada orang lain, atau ia memiliki kemampuan untuk
menyampaikannya kapan saja diperlukan kepada orang lain.
b) Dhabith dalam tulisan, artinya tulisan hadistnya sejak
mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian,
dan kekurangan. Singkatnya, tidak terjadi kesalahan-kesalahan
tulis kemudian diubah dan diganti, karena hal demikian akan
mengundang keraguan atas ke-dhabith-an seseorang.

Untuk mengetahui ke-dhabith-an seseorang, dapat dilakukan dengan


diadakan komparasi dengan periwayatan orang-orang tsiqah lain atau dengan
keterangan seorang peneliti yang dapat dipertanggung jawabkan (mu’tabar).
Bandingkan sanad hadist periwayatan seorang dengan berbagai sanad yang
berbeda, jika periwayatan seseorang banyak yang sesuai dengan periwayatan
orang-orang tsiqah, berarti ia dhabith. Jika banyak bertentangan, berarti ia tidak
dhabith.

7
4) Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz)

Syadzdz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan.


Maksud syadzdz disini adalah periwayatan orang tsiqah (terpercaya adil dan
dhbaith) bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Dengan
demikian, jika disyaratkan hadist shahih harus tidak terjadi syadzdz, berarti hadis
tidak terjadi adanya periwayatan orang tsiqah bertentangan dengan periwayatan
orang yang lebih tsiqah. Pengertian syadzdz ini mengecualikan, jika periwayatan
seorang dha’if bertentangan periwayatan seorang tsiqah tidak dinamakan syadzdz,
tetapi nanti disebut hadist munkar yang tergolong hadist dha’if. Logikanya,
pertentangan periwayatan orang tsiqah terhadap yang lebih tsiqah saja sudah tidak
shahih, apalagi periwayatan orang dha’if terhadap orang tsiqah. Demikian juga
sebaliknya, periwayatan orang tsiqah bertentangan dengan periwayatan seorang
dha’if, disebut hadist ma’ruf. Hadist ini tidak termasuk syadzdz jika memenuhi
beberapa persyaratan lain, bisa jadi menjadi shahih.

Contoh syadzdz seperti hadist yang diriwayatkan oleh Muslim melalui jalan
ibn wahb sampai pada Abdullah bin zaid dalam memberikan sifat-sifat wudhu,
Rasulullah:

ْ َ‫س َح ِب َراْ ِس ِه ِب َماءٍ َغي ِْرف‬


‫ض ِل يَ ِد ِه‬ َ ‫اَنَّهُ َم‬

“bahwa beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan di


tangannya”

Sedangkan periwayatan Al-Baihaqi, melalui jalan sanad yang sama mengatakan:

ِ ‫ف ْال َم‬
‫اء الَّذِي ا َ َخذَ ِلنَ ْف ِس ِه‬ َ ‫اَنَّهُ ا َ َخذَ ِِلُذُنَي ِْن َما ًء ِخ َال‬

“bahwasanya beliau mengambil air untuk kedua telinganya selain air yang diambil
untuk kepalanya”

Periwayatan Al-Baihaqi syadzdz (janggal) dan tidak shahih, karena


periwayatan ibn wahb seorang tsiqah, menyalahi periwayatan jama’ah ulama dan
Muslim yang lebih tsiqah. Syadzdz bisa terjadi pada matan hadist dan sanad hadist.

8
Contoh diatas terjadi pada matan saja dikarenakan keterbatasan kondisi
pembahasan.

5) Tidak terjadinya ‘illat

Dari segi bahasa, ‘illat berarti penyakit, sebab, alasan , atau udzur.
Sedangkan arti ‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat
keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut. Misalnya,
sebuah hadis setelah diadakan penelitian, ternyata ada sebab yang membuat cacat
yang mengahalangi terkabulnya, seperti munqathi’, mawquf, atau perawi seorang
fasik, tidak bagus hapalannya, seorang ahli bid’ah, dan lain-lain.

Contoh hadist shahih:

“ Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ia berkata memberitakan


kepada kami musaddad, memberitakan kepada kami mu’tamir, ia berkata: Aku
mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi SAW
berdoa: YaAllah sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada Engkau dari sifat
lemah, Lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan dari engkau dari fitnah
hidup dan mati dan aku mohon perlindungan kepada engkau dari adzab kubur”

2. Macam-macam Hadist Shahih

a. Shahih lidzatihi (shahih dengan sendirinya), karena telah memenuhi 5


kriteria hadis shahih sebagaimana definisi, contoh, dan keterangan di
atas.
b. Shahih dighairihi (shahih karena yang lain), yaitu:

9
Hadist shahih lighairihi adalah hadist hasan lidzatihi ketika ada
periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat daripadanya.
Jadi, hadis shahih semestinya sedikit tidak memenuhi persyaratan hadis
shahih, ia baru sampai pada tingkat hadis hasan, karena dianatara perawi
ada yang kurang sedikit hafalannya dibandingkan dalam hadist shahih,
tetapi karena diperkuat dengan jalan/sanad lain, maka naik menjadi
hadist shahih lighairihi.

3. Kehujjahan hadist shahih

Hadist yang telah memenuhi persyaratan hadist shahih wajib diamalkan sebagai
hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadist dan sebagian ulama
fiqh dan ushul. Hadist shahih ligairihi lebih tinggi derajatnya disbanding hasan
lidzatihi, tetapi lebih rendah daripada shahih lidzatihi. Sekalipun demikian
ketiganya dapat dijadikan hujjah.

Ada beberapa ulama’ yang memperkuat kehujjahan hadist shahih ini, yaitu:

a. Hadis shahih memberi faedah qath’I jik aterdapat di dalam kitab


ashahihayn (al bukhari dan muslim) sebagaimana pendapat yang dipilih
ibnu ash-shalah
b. Wajib menerima hadist shahih sekalipun tidak ada seorangpun yang
mengamalkannya

4. Istilah-istilah yang digunakan dalam hadis shahih


َ ٌ َََ‫ َهَََذَا َحَََد ُِي‬Ini hadis shahih, artinya hadis tersebut telah
a. ‫صَََََََََ ِ َََ ْيَََ ٌح‬
memenuhi segala persyaratan hadis shahih baik sanad maupun
matannya
َ ‫ َهذَا َح ِد ُي ٌ َغي ُْر‬Ini hadis tidak shahih, artinya hadis tersebut
b. ‫صََََََ ِ ْي ٌح‬
tidak memenuhi persyaratan hadis shahih, baik sanad maupun matan

10
َ ٌ ُ‫ َهذَا َح ِدي‬Hadis ini shahih isnadnya, artinya hanya shahih
c. ‫ص ِ ْي ٌح ا ِِل ْسنَا ِد‬
dalam sanadnya saja, sedangkan matannya belum tentu shahih
mungkin terjadi kejanggalan (syadzdz) atau ada ‘illat
d. َ َ‫صََََََ َح اِل‬
‫سَََََََََ نِ ْيَََ ِد‬ َ َ ‫ا‬Sanad yang paling shahih, sanad hadist shahhih
memiliki tahap tingkatan yang berbeda, sesuai dengan ke-dhabit-an
dan keilmuan para perawi tersebut.
e. ‫ب‬
ِ ‫ْئ فِي ال َبا‬ َ َ ‫ َهذَا ا‬Ini adalah yang paling shahih dalam bab,
ٍ ‫صََََََ َح َ ََََََي‬
artinya hadist paling unggul dalam bab itu tidak pasti menunjukkan
hadis shahih, bisa jadi hadisnya lemah atau hanya satu hadist yang
memenuhi persyaratan shahih dalam bab tertentu
f. Para perawi pada sanad yang dinyatakan shahih sesuai dengan
persyaratan Al-Bukhari Muslim. Al bukhari dan Muslim juga tidak
menjelaskan persyaratan tertentu secara eksplisit dalam kedua
kitabnya
g. Muttafaq ‘alayh, maksudnya disepakati keshahihannya oleh kedua
syaikhaiyn Al Bukhari dan Muslim, bukan disepakati para ulama
semuanya.
5. Tingkatan shahih
Dari segi sanadnya yang dipandang paling shahih tingkatannya adalah:
a. Periwayatan sanad yang paling shahih adalah Imam Malik Bin Anas
dari Nafi’ mawla (mawla= budak yang telah dimerdekakan) dari
ibnu umar
b. Periwayatan sanad yang berada dibawah tingkat sanad pertama,
seperti hammad bin salamah dari tsabit dari anas
c. Seperti periwayatan Suhail bin abu shalih dari ayahnya dari abu
hurairah

Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7


tingkatan, yaitu:

a. Muttafaq alayh, yaitu disepakati keshahihannya oleh Al Bukhari dan


Muslim, atau akhrojahu/rowahu Al Bukhari wa muslim

11
b. Diriwayatkan oleh Al Bukhari saja
c. Diriwayatkan oleh Muslim saja
d. Hadist yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi
persyaratan Al Bukhari dan Muslim
e. Hadis yang diriwayatkan orang lain yang memenuhi persyaratan al
bukhari saja
f. Hadis yang diriwayatkan orang lain yang memenuhi persyaratan
Muslim saja
g. Hadist yang dinilai shahhih oleh ulama hadis selain Al Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya
6. Kitab-kitab Shahih
a. Shahih Al Bukhari (w. 250 H)
b. Shahih Muslim (w. 261 H)
c. Shahih ibnu Khuzaymah (w. 311 H)
d. Shahih ibnu Hibban (w. 354 H)
e. Mustadrak Al-Hakim (w.450 H)
f. Shahih ibnu As-sakan
g. Shahih al-albani

C. Hadist Hasan
1. Pengertian
Dari segi bahasa, hasan berasal dari kata al-husnu bermakna al-jamal =
keindahan. Menurut istilah, para ulama memberikan definisi hadis hasan
secara beragam. Kriteria hadis hasan hampir sama dengan hadis shahih.
Perbedaaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. Hadist shahih ke-
dhabit-an seluruh perawinya harus taam (sempurna), sedangkan dalam
hadist hasan, kurang sedikit ke-dhabit-annya jika dibandingkan dengan
hadis shahih.

12
2. Contoh hadish hasan
Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, ibnu majah, dan ibnu hibban dari
Hasan Bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah
dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

َّ ‫ار أ ُ َّمتِي َما بَيْنَ السِتِينَ إلَى ال‬


‫س ْبعِينَ َوأَقَلَ ُه ْم َم ْن يَ ُج ْو ُز ذَلِكَ رواه الترمذي‬ ُ ‫أ َ ْع َم‬
“usia umatku sekitar 60 sampai 70tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian”

3. Macam-macam Hadist Hasan


a. Hasan lidzatihi, hadis hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditentukan
b. Hasan lighairihi ada beberapa pendapat, seperti hadis hasan
lighairihi adalah dha’if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain
yang sama atau yang lebih kuat. Hadis hasan lighairihi adalah hadis
dha’if jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedha’ifan bukan
karena fasik atau dustanya perawi
4. Kehujjahan hadist hasan

Hadist hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadis


shahih. Semua fuqaha, sebagian muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya,
kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan
penerimaan hadis (musyaddiddin). Bahkan sebagian muhadditsin yang
mempermudah dalam persyaratan shahih memasukkannya ke dalam hadist shahih.

5. Istilah-istilah yang digunakan dalam hadis hasan


a. Diantara gelat ta’dil para perawi yang digunakan dalam hadist hasan
adalah:
a) Al ma’ruf = orang yang dikenal/ orang baik
b) Al-mahfuz = terpelihara
c) Al mujawwad = orang baik
d) Ats tsabitu = orang yang teguh/kuat

13
e) Al qowiyyu = orang kuat
f) Al musyabbah = serupa dengan shahih
g) As sholih = orang baik/bagus
b. Perkataan muhadditsin
Ini hadist hasan sanadnya. Maknanya hadist ini hanya hasan sanad-
nya saja, sedangkan matannya perlu penelitian lebih lanjut.
c. Ungkapan At-Tirmizi dan yang lain
Ini hadist hasan shahih. Makna ungkapan ini ada beberapa pendapat,
diantaranya:
a) Hadist tersebut memiliki dua sanad, yang shahih dan hasan
b) Terjadi perbedaan dalam penilain hadist, sebagian berpendapat
shahih dan golongan lain berpendapat hasan
c) Atau dinilai hasan lidzatihi dan shahih lighairihi

6. Kitab-Kitab Hadist Hasan

a. Jami’ at tirmidzi yang masyhur dikenal dengan sunan at-tirmidzi.


Kitab ini yang mencuatkan pertama kali istilah hadis hasan, karena
semula hadis dari segi kualitasnya hanya hadist shahih dan hadist
dha’if saja.
b. Sunan abi Dawud, didalamnya terdapat hadis shahih, hasan, dan
dhaif. Hadist yang tidak dijelaskan kedhaifannya dan tidak dinilai
keshahihannya oleh para ulama dinilai hasan oleh abu Dawud.
c. Sunan ad-Daruquthni

D. Hadist Dha’if
1. Pengertian

Hadis dha’if adalah bagian dari hadist mardud. Dari segi bahasa, dha’if
berarti lemah. Kelemahan hadist dha’if ini karena sanad dan matannya tidak
memenuhi kriteria hadis kuat yang diterima sebagai hujjah. Menurut istilah hadis
dha’if adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari
beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Jadi, hadis dha’if adalah hadis yang tidak

14
memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis hasan atau shahih, misalnya
sanadnya tidak bersambung, perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi
kejanggalan, baik dalam sanad atau matan, dan terjadinya cacat yang tersembunyi
pada sanad ataupun matannya.

2. Contoh Hadist Dha’if

‫َم ْن َأت َى َحائِضًا أ َ ْو ا ْم َرأَة ً ِم ْن دُب ٍُر أ ً ْو كَاهِنا ً فَقَدْ َكفَ َر ِب َما ا َ ْنزَ َل َعلَى ُم َ َّم ٍد‬

“ barangsiapa yang mendatangi pada seorang Wanita menstruasi (haid) atau pada
seorang Wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”

3. Hukum periwayatan Hadist Dhaif

Hadis dha’if tidak identic dengan hadis mawdhu’ (hadis palsu). Diantara hadis
dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya
hapalan yang kurang kuat, tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadis mawdhu’
perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif
sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu sebagai
berikut:

a. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah


b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan
haram

Dalam meriwayatkan hadis dhaif, jika tanpa sanad maka sebaiknya tidak
menggunakan kata aktif yang meyakinkan kebenarannya dari Rasulullah, tetapi
cukup menggunakan bentuk pasif yang meragukan, misalnya:
ruwiya=diriwayatkan, nukila=dipindahkan, fiima yurwi= pada sesuatu yang
diriwayatkan, jaa’a=datang.

15
4. Pengamalan Hadis Dhaif

Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadist dhaif. Perbedaan ini dapat
dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu:

a. Tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam keutamaan amal


atau dalam hukum
b. Dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau
hukum
c. Dapat diamamlkan dalam keutamaan amal, mau’izah, targhib (janji-
janji menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika
memenuhi persyaratan yang dipaparkan yaitu:

1) tidak terlalu dhaif, misalnya diantara perawinya pendusta, atau


dituduh dusta, daya ingat hapalannya kurang, berlaku fasik dan
bid’ah baik perkataan atau perbuatan

2) masuk ke dalam kategori hadist yang diamalkan seperti hadist


muhkam yang tidak terjadi pertentangan dengan hadist lain.

3) tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapi


karena berhati-hati semata atau ikhtiyath

5. Tingkatan Dhaif dan Kitab-Kitab Hadist Dhaif

Sebagai salah satu syarat hadis dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak
terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadis yang terlalu buruk
kedhaifannya tidak dapat diamalkan, sekalipun dalam keutamaan amal. Menurut
Ibnu Hajar, urutan hadist dhaif yang terburuj adalah mawdhu’, matruk, munkar,
mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib.

Kitab-kitab hadis dhaif yaitu:

a. Al marasil, karya abu Dawud


b. Al-ilal, karya Adh- dharuquthni

16
c. Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang dhaif
adalah adh-dhu’afa karya Ibnu Hibban, mizan Al-I’tidal karya Adz-
Dzahabi.

17
BAB III
PENUTUP

Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima sebagai hujah dalam islam,
karena sudah memenuhi kriteria persyaratan baik sanad maupun matarn. Kemudian,
hadis mardud adalah hadis yang ditolak dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
dalam islam, karena tidak memenuhi persyaratan.

Hadis shahih adalah hadis yang muttashil (bersambung sanadnya),


diriwayatkan oleh orang adil dan dhabith sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadzdz), dan cacat. Hadis shahih terbagi menjadi dua yakni hadis
shahih lidzatihi dan ligairihi.

Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh


orang adil, kurang sedikit ke dhabith annya, tidak ada kejanggalan, dan tidak ada
illat. Hadis hasan dan hadis shahih hampir sama, hanya berbeda pada tingkat
kedhabitan perawinya. Hadis hasan dibagi menjadi dua juga yaitu hadis hasan
lidzatihi dan hadis hasan ligairihi.

Hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua
persyaratan hadis hasan dan hadis shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung,
para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadinya kejanggalan, dan terjadinya
cacat yang tersembunyi.

iii
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. “ulumul hadis”. Paragonatama Jaya.


Jakarta. Cetakan kedua. Oktober 2013.

Dr. Idri, M.Ag. “studi hadis”. PRENADA MEDIA GROUP. Jakarta.


Oktober 2010

iv

Anda mungkin juga menyukai