Anda di halaman 1dari 15

KECEKAPAN DALAM MENERIMA HADIS, SYARAT ORANG YANG

MENERIMA HADIS, USIA YANG DIANJURKAN MENERIMA HADIS


MULAI DARI MENDENGAR HADIS, CARA PENERIMAAN HADIS

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadis

Dosen Pengampu: Ibu Dewi Maharani M.A

Disusun Oleh:

Syifa Fauziah (20312345)


Syahidah Quraini (20312344)
Suwaibah Aslamiah (20312343)

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AL-QURAN JAKARTA


TAHUN AKADEMIK 2020/2021 M

KATA PENGHANTAR

‫بسماهلل الرحمن الرحيم‬

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah Swt., kami panjatkan atas limpahan
Rahmat, Hidayah serta Inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan karya Ilmiyah berupa
makalah yang singkat dan sederhana ini. Sholawat serta salam mudah mudahan tetap
tercurah kepada junjungan kita Nabi akhir jaman, penolong umat, yaitu Baginda
Muhammad Saw yang telah menunjukkan kita kepada jalan hidup lurus yang di
ridhoi oleh Allah Swt, dengan ajarannya agama Islam.

Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas dari Ibu Dosen Mata
Kuliah Ulumul Hadis dengan judul “ Kecekapan Dalam menerima Hadis” , Fakultas
Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Ilmu Al-Qur‟an
(IIQ) Jakarta. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dosen Pengampu Ibu Dewi Maharani M.A. yang selalu
kami harapkan keberkahannya dan semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini masih belum sempurna, untuk itu perlu masukan dari semua
pihak terutama Ibu Syahidah Rena, M.Ed. dan teman-teman Mahasiswi lainnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun
sendiri umumnya para pembaca makalah ini, apabila ada kekurangan dalam penulisan
makalah ini Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih.

Tangerang, 22 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR ..................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................

A. Latar Belakang ..................................................................................


B. Rumusan Masalah ..................................................................................
C. Tujuan Masalah ..................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................

A. Kecekapan Dalam Menerima Hadist...........................................................


B. Syarat Orang Yang Menerima Hadist.........................................................
C. Usia Yang Dianjurkan Mulai Mendengarkan Hadist..................................
D. Cara-cara Penerimaan Hadist......................................................................

BAB III PENUTUP ..................................................................................

A. Kesimpulan ..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

a) LATAR BELAKANG
Hadis adalah sumber ajaran Islamyang kedua disamping Alqur’an.
Dimanakeduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan
perbuatanmanusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai
kedudukansebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan Hadis
Nabibelum dapatdipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau
tidak.Namun demikian Hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat
Alqur’anyang turun tang bersifat Muhkamat maupun Mutasabiat. Sehingga Hadis ini
sangan perluuntuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti
ajaran Islam.
Tetapi dalam kondisi faktualnya kadang manusia terbentur dengan adanya
hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu
atau lebihdikenal dengan istilahHadis-Hadis lemah atau tertolak, baik dari segi
Sanad maupunMatannya. Padahal kedua aspak tersebut sangat menentukan apakah
Hadis itu dapatditerima atau tidak.Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang
menerima maupun periwayatkanHadis Rasulullah.
Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraveri dari semuakalangan,
kritik dan protes terus bermunculan karena berbagai analisis atas kesahihansebuah
Hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan.Dari
uraian diatas maka perlu diketahui Tahnik Periwayatan Hadis dari Nabiterhadap
sahabat serta cara sahabat meriwayatkan Hadis, sehingga kita
dapatmembedakan mana hadis Sahih dan mana yang tertolak.
b) Rumusan Masalah
1. Apa penjelasan tentang kecekapan dalam menerima hadis?
2. Apa sajakah syarat orang yang menerima hadis?
3. Pada usia berapakah dianjurkan mulai mendengar hadis?
4. Bagaimanakah cara-cara penerimaan hadis?

c) Tujuan Masalah
1. Mengetahui kecekapan dalam menerima hadis
2. Mengetahui syarat-syarat orang yang menerima hadis
3. Mengetahui pada usia berapa dianjurkannya mendengarkan hadis
4. Dan mngetahui cara-cara penerimaan hadis
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kecekapan Dalam Menerima Hadis

Periwayatan (riwayat) Hadisadalah proses penerimaan Hadis oleh seorang Rawi


dari seoranggurunya dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan,
ditulisdandisampaikankepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber
pemberitaan riwayat tersebut.

Dalam bahasa indonesia kata riwayat yang berasal dari bahasa arab tersebu
tmempunyai arti antara lain: cerita, sejarah, dan tambo. Sedangkan menurut Ilmu
Hadis yang dimaksud dari riwayat kegiatan penerimaan dan penyampaian Hadis,
serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatan dengan bentuk-bentuk
tertentu, orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak
menyampaikan hadis itu pada orang lain maka dia disebut periwayat, sekiranya orang
tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya oleh orang lain, tetapi ketika
menyampaikan Hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya maka
orang tersebut juga tidak dapat dikatakan sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan Hadis.1

Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadis yakni:

a. Kegiatan menerima Hadis dari periwayat Hadis.

b. Kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain dan

c. Ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan Cara


periwayatan

memperolehdanmenyampaikanHadispadazamanNabitidaklahsamadenganzamansahab
atNabi. Demikian pula

1
Watt, Montgomery, W. Muhammad Propet and Statemen.Diterjemahkanoleh M. Syuhudi Ismail:
KaedahKeshahihanSanadHadisTelaahKritisdanTinjauandenganPendekatanIlmuSejarah. Cet. II; Jakarta:
BulanBuntang, 1995
periwayatanpadazamansahabattidaksamadenganperiwayatanpadazamansesudahnya.
Cara periwayatanHadis-HadispadazamanNabilebihterbatasdarisyarat-
syarattertentubiladibandingkandenganperiwayatanpadazamansesudahnya.Hal
inidisebabkankarenapadazamanNabiselaintidakadabukti yang
pastitentangtelahterjadinyapemalsuanHadis.Jugakarenapadazamanituseseorangakanlebihmud
ahmelakukanpemeriksaan. SekiranyaadaHadis yang diragukankesahihannya.Makin
jauhjarakwaktudanMasahidupNabi, makinsulitpengujiankebenaransuatuHadis

B. Syarat Orang Yang Menerima Hadis


Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-ada' Adalah orang yang
menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain.oleh karenanya ia
mempunyai peranan Yang sangat penting Dan sidang barang tentu menurut
pertanggung jawaban yang sangat berat, sebab sahnya atau tidak nya suatu hadist
juga tergantung padanya . mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadist, Ahli
ushul dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan Hadist seperti
yang disebutkan berikut ini:
I. ISLAM Pada waktu meriwayatkan hadist, maka seorang perawi harus muslim,
dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya Perawinya seorang
yang fasik saja, kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir.
Kaitannya dengan masalah ini kita bisa membandingkan dengan firman Allah
SWT : “ hai orang orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui suatu
keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuataanmu itu ( QS. Al-Hujrat
Ayat 6 ).
II. Baligh Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadist, walaupun penerimaan nya sebelum baligh hal ini sesuai
dengan hadist rasulullah SAW yang artinya “ hilang kewajiban menjalankan
syari'at islam dari tiga golongan yaitu orang gila sampai dia sembuh, Orang
yang tidur sampai dia bangun dan anak anak sampai ia mimpi. Para ulama
tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena Anak kecil belum menyadari
akibat berdusta dan syar'a tidak Membenarkan anak kecil menjadi wali hadap
diri nya dalam Urusan keakhiratan tentulah lebih utama lagi.
III. Adil Yang dimaksud dengan adil disini yaitu suatu sifat yang melekat pada
jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut,tetap
taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenaran
nya, dan menjauhkan diri dari hal hal yang mubah yang merusak muru'ahnya
seperti makan sambil jalan, bercanda dijalan besar, menggauli orang orang
rendah pekerti atau terlalu suka bergurau.
IV. Dhabith adalah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman
suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu ia menerima hingga
menyampaikan. Jalannya mengetahui ke dhabittan perawi dengan jalan i'tibar
terhadap berita beritanya yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang
mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas,
antara perawi satu dengan perawi yang lain harus bersambung, hadist yang
disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadist-
hadist yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur'an. 2

C. Usia Yang Mulai Dianjurkan Mulai Mendengar Hadis

Para ulama klasik, mengingat ilmu hadis cukup klasik terkait matan dan
sanad, Sebagaiman dicatat oleh Syekh Mustafa Al Azami dalam Studies in Hadith
Methodology and Literatur. Mempelajarinya perlu ilmu-ilmu keislaman dasar seperti
Al-Quran dan bahasa Arab. Syekh Azami, mengutip keterangan Imam ar-
Ramahurmuzi dalam kitab al Muhaddits al Fashil bayna ar Rawi wal Wa’i, para
ulama kebanyakan baru join belajar hadits sekitar usia 20-an. Salah satu ulama hadits
terkemuka bernama Sufyan bin ‘Uyaynah, disebutkan belajar hadits mulai usia 15
tahun. Sufyan ats-Tsauri, mulai belajar hadits pada usia 20 tahun, dan pendiri mazhab
Hanbali, Ahmad bin Hanbal, mulai belajar dan menghafal hadits di usia 16 tahun. 
2
Prof.Dr.H.M. Syuhudi Ismail, kaedah kesanadan hadist, 1995, pt bulan bintang : Jakarta,
hal.23-24.
Tidak ada kesimpulan tertentu mengenai batasan umur minimal seorang anak
boleh belajar hadits. Usia Imam Ahmad bin Hanbal yang belasan tahun – kita dapat
nilai sebagai orang yang beranjak dewasa – dengan kecerdasannya yang luar biasa,
kemudian Imam Syafii misalnya, yang belajar Al-Muwaththa’ kepada Imam Malik
bin Anas pada usia remaja bisa menjadi catatan.  Usia belasan atau dewasa muda itu
menunjukkan bahwa pada usia itu mereka belajar hadits secara fokus sebagai sebuah
ilmu, setelah mapan dengan ilmu-ilmu lain seperti Al-Qur’an, kaidah bahasa Arab,
dan persoalan-persoalan fiqih yang pelik. Ulama dengan penilaian hadits yang
cenderung ketat menyatakan bahwa orang yang meriwayatkan hadits ketika masih
anak-anak, riwayatnya bisa dinilai dla’if (lemah).

Namun ada juga yang mengomentari bahwa jika seorang anak sudah mampu
membedakan sapi dan keledai, maka ia sudah diperkenankan belajar dan
meriwayatkan hadits. Bahkan salah satu murid Imam Abdur Razzaq al Shan’ani,
salah satu ulama pendahulu yang membukukan hadits, disebutkan masih berusia 7
tahun. Tapi seiring masa, meriwayatkan hadits dari ulama, meski hanya membacakan
atau mendengarkan saja demi suatu sanad, menjadi hal yang istimewa. Para ulama
klasik , barangkali juga tetap dilestarikan di masa sekarang, kerap membawa anak-
anaknya, bahkan yang masih bayi, ke majelis-majelis ijazah dan semaan hadits.
Mencari berkah toh tak ada salahnya.  Tapi bagaimana kaitannya dengan tradisi
belajar hadits? Saat anak sudah mampu membaca teks hadits, maka di masa yang
akan datang, setidaknya mereka dipandang memiliki legitimasi untuk
meriwayatkannya kepada orang lain.

 Ada yang berpendapat, sejak usia tiga puluh tahun dianjurkan untuk
mendengar hadits, Pendapat ini dianut oleh penduduk Syam. Ada yang berpendapat,
sejak usia dua puluh tahun, Ini dianut oleh penduduk Kufah. Ada pula yang
berpendapat sejak usia sepuluh tahun, Ini adalah pendapat penduduk Basrah.
Pendapat yang benar pada masa terakhir adalah, sejak usia belia tatkala bisa
mendengar hadits dengan benar, karena hadits-hadits terdapat di dalam berbagai
kitab. Sebagian ulama telah menentukan usia sejak lima tahun, Ini yang banyak
diterapkan oleh para ahli hadits. Namun sebagian mereka juga berpendapat, yang
benar adalah usia mumayyiz. Jika seorang anak mengerti suatu seruan dan bisa
menjawabnya, berarti ia sudah mumayyiz dan dibenarkan untuk mendengarkan
hadits. Jika hal itu tidak dijumpai pada seorang anak, maka tidak diperkenankan
mendengar hadits. Demikianlah, dalam tradisi periwayatan hadits dengan ijazah,
murid tidak dituntut paham atau menjelaskan konten hadits yang didapatnya.
Legitimasi, atau ijazah sanad hadits bagi anak-anak, oleh para ulama dinilai akan
merawat kualitas sanad sehingga bisa lebih dekat kepada Nabi (isnad ‘ali), yang
menambah keistimewaan suatu hadits.

Ijazah dalam periwayatan sanad, juga berfungsi untuk menjaga otoritas


tersambungnya riwayat sampai Kanjeng Nabi. Dari keterangan di atas, setidaknya
berikut bisa kita simpulkan. Pertama, untuk mengenal hadits, seorang anak yang
sudah bisa mengenal bahasa Arab bisa diperkenankan untuk itu. Mungkin tidak ada
salahnya memperkenalkan ajaran Nabi Muhammad dalam bentuk teksnya sedari
dini.  Karena itu, hemat penulis, hadits-hadits yang sesuai untuk mereka adalah yang
mudah diingat, dan terkait tata krama sehari-hari. Jelas bukan kompetensi yang pantas
untuk mereka tahu hadits-hadits seputar hukum, apalagi yang redaksinya panjang.
Selain itu, di masa sekarang, mengajak anak ke majelis semaan hadits untuk ngalap
berkah juga bisa menjadi bentuk pengenalan hadits yang baik.  Kedua, jika tujuannya
adalah fokus pembelajaran hadits, terlebih soal ilmu hadits dan sanad, serta fiqih atau
akidah, tentu perlu usia dan penguasaan ilmu yang lebih mapan. Hal ini berkaitan erat
dengan kebijaksanaan guru, atau orang tua yang memahami kepentingan belajar
hadits sebagai dasar hukum Islam.  Usia remaja atau beranjak dewasa tentu lebih
pantas karena dinilai mapan secara penguasaan diri. Di samping itu, jika disertai
pemahaman kaidah bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman dasar lain, menjadikannya
pantas untuk mulai belajar hadits dengan tujuan untuk memperdalam ajaran Islam.

Hadits adalah ilmu dan khazanah keislaman yang kini mudah ditemukan
dalam keseharian kita. Namun belajar Islam tentu tidak terbatas pada hadits yang
terbatas. Banyak sekali riwayat hadits, keterangan ulama, serta cara memahami hadits
yang menjadikan perkenalan dan pembelajaran kita akan hadits sejalan dengan tujuan
untuk mengenal sosok Nabi yang welas asih.  Melihat kondisi tersebut, perkenalan
dan belajar hadits untuk anak, tentu adalah tantangan tersendiri. Persoalannya bukan
masalah boleh tidaknya anak-anak belajar hadits. Tapi untuk anak-anak yang
memiliki dunianya sendiri, persoalannya adalah mereka sudah mampu dan sesuai atau
belum untuk hal itu.

D. Cara-cara Penerimaan Hadis


Cara penerimaan hadist terbagi menjadi delapan macam:
I. Al-Sama'
Suatu cara penerimaan hadist dengan cara mendengarkan sendiri dari
perkataan gurunya dengan cara didekatkan, baik dari hafalannya maupun dari
tulisannya, sehingga yang menghadiri nya mendengar apa yang disampaikan
nya tersebut. Menurut jumhur ahli hadist, ini yang paling tinggi tingkatannya.
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa Al-Sama' yang dibarengi
dengan AlKitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat karena
terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan
caracara lainnya, disamping para sahabat juga menerima hadist nabi Saw
dengan cara seperti ini.
II. Al-Qira'ah ‘ala al-syaikh atau ‘aradh al-qira'ah
Yakni suatu cara penerimaan hadist dengan cara seseorang membacakan
hadist dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang
lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sangat guru
hafal maupun tidak, tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya
atau tergolong tsiqah.
III. Al-Munawalah
Seorang guru memberi suatu hadist atau beberapa hadist atau sebuah kitab
kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengentengkan bahwa
Al-Munawalah adalah seorang guru memberi seorang murid kitab asli yang
didengar dari guru memberi kepada seorang murid, kitab asli yang didengar
dari guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “
inilah hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang maka
riwayatkanlah hadist itu dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk
diriwayatkan “. Al-Munawalah terbagi 2 bentuk :
1. Al-Munawalah yang dibarengi ijazah, misalnya setelah yang guru
menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan .
2. Al-Munawalah Yang tidak dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan
guru kepada muridnya” ini hadist saya” dan tidak menyuruh muridnya
untuk meriwayatkan kepada orang lain.
IV. Al-Ijazah
Seorang guru memberi izin kepada muridnya untuk Meriwayatkan hadist
atau kirab kepada seseorang atau orangorang tertentu, sekalipun murid tidak
membacakan kepadaa gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya .
seperti : saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku .
V. Al-Mukatabah
Seorang guru menuliskan atau menyuruh orang lain untuk menuliskan
sebagian hadistnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau
yang dipercaya untuk memyampaikannya. Al-Mukatabah terbagi 2 macam
yaitu:
1. Al-Mukatabah yang dibarengi dengan ijazah yaitu, sewaktu Sang guru
menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada Muridnya disertai
dengan katakata “ini adalah hasil periwayatan Ku maka riwayatkanlah.
2. Al-Mukatabah Yang tidak dibarengi dengan ijazah yakni, guru
menuliskan hadist untuk diberikan kepada muridnya tanpa menuliskan
hadist untuk meriwayatkan atau mengijazahkan.
VI. Al-I'lam
Pemberitahuan seorang guru kepada seorang murid nya bahwa kitab atau
hadist yang diriwayatkan dia terima dari seorang guru, dengan tanpa
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan atau menyuruhnya.
Contohnya seorang telah memberi tahu kepadaku ”telah memberitahu kepada
kami.....”.
VII. Al-Wasiyah
Seorang guru ketika akan meninggalkan pesan kepada orang Lain untuk
meriwayatkan hadist atau kitabnya, ketika setelah Sang guru meninggal atau
bepergian.periwayatan hadist Dengan cara ini oleh jujur dianggap lemah,
sementara ibnu sirin Membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkan
oleh Hadist atas jalan wasiat ini.
VIII. Al-Wijadah
Yakni seseorang memperoleh hadist orang lain dengan Mempelajari kitab-
kitab hadist dengan tidak melalui cara Al-Sama, Al-Ijazah, atau Al-
Munawalah. Para ulama berselisih pendapat tentang cara ini, imam syafi'i dan
segolongan pengikut nya mengakui Cara ini, ibnu Al-Shahalah mengatakan
bahwa sebagian ulama muhaqiqin mewajibkan menganalkannya bila diyakini
kebenaran nya.3

BAB III
3
Prof.Dr.H.M.Erfan Soebahar.M.AG.2012, periwayatan dan penulisan Hadist Nabi. Fakultas
Tarbiyah IAIN Wali songo semarang, hal 21.
PENTUP

a. Kesimpulan
Periwayatan hadits adalah kgiatan penerimaan dan penyampaian hadits,
dalam hal periwayatan hadits ada beberapa syarat untuk meriwayatkannya yaitu
islam, baligh, ‘adalah, Dhabith, bersambung dan tidak syadz.
Pada usia yang dianjurkan untuk mulai mendengarkan hadis, pendapat
yang benar pada masa terakhir adalah, sejak usia belia tatkala bisa mendengar
hadits dengan benar, karena hadits-hadits terdapat di dalam berbagai kitab.
Sebagian ulama telah menentukan usia sejak lima tahun, Ini yang banyak
diterapkan oleh para ahli hadits. Namun sebagian mereka juga berpendapat, yang
benar adalah usia mumayyiz. Jika seorang anak mengerti suatu seruan dan bisa
menjawabnya, berarti ia sudah mumayyiz dan dibenarkan untuk mendengarkan
hadits.
Dan cara-cara untu meriwayatkan hadits ada 8 yaitu Al-Sama’, Al-
Qira’ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al-Mukatabah, Al-I’lam, Al-Wasiyah, dan
Al-Wijadah.

DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H.M. Syuhudi Ismail, kaedah kesanadan hadist, 1995, pt bulan bintang : Jakarta,
hal.23-24.

Prof.Dr.H.M.Erfan Soebahar.M.AG.2012, periwayatan dan penulisan Hadist Nabi. Fakultas


Tarbiyah IAIN Wali songo semarang, hal 21.

Watt, Montgomery, W. Muhammad Propet and Statemen. Diterjemahkan oleh M. Syuhudi


Ismail: Kaedah Keshahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah. Cet. II; Jakarta: BulanBuntang, 1995

Anda mungkin juga menyukai