Oleh:
Ahmad Zuhal Maulana Jauhari
M. Wildan Ihsani
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar
Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan
Masalah......................................................................................2
C. Tujuan Masalah.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Kesimpulan................................................................................................9
B. Saran..........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................10
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tahammul wa al ada’ ?
2. Apa syarat-syarat perowi dalam tahammul wa al ada’ ?
3. Apa shigot tahammul wa al ada’ dalam kajian hadis ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian tahammul wa al ada’
2. Mengetahui syarat-syarat perawi dalam tahammul wa al ada’
3. Mengetahui shigat tahammul wa al ada’ dalam kajian hadis
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Masyhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal.82.
2
Masyhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal.51.
3
Ibid, hal. 51.
4
Thannan, Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadits (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.t.), hal.157.
3
masing perawi. Dari kode-kode atau lafal-lafal itulah, tingkat akurasi
periwayatan hadis para perawi, juga ketersambungan sanad mereka, bisa
diketahui.5
B. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul wa al ada’ Hadis
Untuk dapat diterima hadis seorang periwayat, ia harus memenuhi
kriteria-kriteria tertentu. Dalam hal ini, Ulama hadis membedakan kriteria-
kriteria periwayat hadis ketika menerima dan menyampaikan hadis. Adapun
syarat-syarat perawi dalam tahammul wa al ada’ hadis antara lain sebagai
berikut:
1. Syarat-Syarat Perawi Dalam Tahammul Hadis (Menrima Hadis)
Dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah
ditetapkan oleh ulama ahli hadis. Berikut syarat-syarat bagi perawi
tahammul hadis:
a. Penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang kuat atau cerdas).
b. Berakal sempurna serta sehat fisik dan mental (tidak sah riwayatnya
seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak
sehat akalnya, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat
akalnya dan mentalnya juga, agar orang tersebut mampu memahami
dengan baik riwayat hadis yang diterimanya).
c. Tamyiz (pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan
menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Jika belum baligh
boleh menerima hadis asalkan tamyiz).
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh
bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas
usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, sebab anak pada usia
dapat mengingat sesuatu. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa
boleh bertahammul pada usia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal
mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in
menetapkan usia lima belas tahun.
2. Syarat-Syarat Perawi Dalam Al-Ada’ Hadis (Penyampai Hadis)
5
Masyhudi Ismail, Metodologi…, op.cit., hal. 80
4
Syarat-syarat orang yang diterima meriwayatkan hadis
(menyampaikan hadis) atau dikenal dengan istilah ada’ menurut ulama
ahlul hadis adalah:
a. Islam (jika yang meriwayatkan hadis orang kafir maka dianggap
tidak sah. Karena terhadap riwayat seorang muslim yang fasik saja
dimauqufkan, apalagi orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis
orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadis harus
dalam keadaan muslim).
b. Baligh (perawi cukup usia meriwayatkan hadis ketika ia berumur
lima belas tahun atau yang sudah keluar mani).
c. Adil (orang mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang
menyebabkan kefasikan).
d. Dlabit (ingatan seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat
hadis yang ia sampaikan tersebut. Bisa dikatakan cerdas dalam
menghafal dan mengingat).
Sedangkan untuk hadisnya sendiri harus Tsiqoh, maksudnya hadis
yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau
dengan Qur’an.6
3. Shigot Tahammul Wa Al Ada’
a. As-Sima’
Seorang perawi menerima hadis dari gurunya dengan cara
mendengar langsung. Hadis tersebut didiktekan (biasanya dalam
sebuah majelis hadis) oleh guru berdasarkan hafalannya atau
dokumennya.7 Cara ini, menurut para ulama, adalah metode
periwayatan yang kualitasnya paling tinggi.8
Ada beragam kode yang dipakai dalam cara as-sima’, di
antaranya:
6
Siti Rodiah, Makalah Studi Hadits Syarat-syarat Perawi Dan Transmisi (Bogor: Universitas
Djuanda Bogor, 2019), hal. 4-6.
7
Thannan, Taisir…,op.cit., hal.158.
8
Ajjaj, Ushul al-Hadits,Ulumuha wa Mushthalahuhu (Beirut: Maktabah al-Jami’ah Dar Ulum,
1981), hal. 234.
5
- َسِم ْع ُت (aku telah mendengar).9
9
Kode ini sebagai kode tingkatan yang tertinggi dari kode-kode lainnya.
10
Ajajj, Ushul..., op.cit.,hal.248
11
Thannan, Taisir..., op.cit.,hal.159, atau Ajjaj..., Ibid., hal. 248
12
As-Shuyuthi, Tadrib ar-Rawiy Syarkh Taqrib an-Nawawiy, (Mesir: Maktabah Dar al-Hadits,
2002), hal. 307.
13
Thannan, Taisir..., op.cit., hal. 160, atau Ajjaj, Ushul..., op.cit., hal. 249, danlhat penjabaran lebih
dalam as-Shuyuti, Tadrib..., Ibid., hal. 209-320.
14
as-Shuyuti, Tadrib..., Ibid., hal. 321.
15
as-Shuyuti, Tadrib..., Loc.cit.
6
3. Guru mengijazahkan hadis kepada mereka yang
mendengarkannya.
- َأَج ْز ُت اْلُم ْس ِلِم ْيَن
- َأَج اَز ِلي ُفَالٌن
- َح َّد َثَنا ِاَج اَز ًة
- َأْخ َبَر َنا ِاَج اَز ًة
d. Al-Munawalah
Seorang guru memberikan manuskrip hadis-hadis yang pernah
didengarnya kepada seseorang, disertai ijazah atau tanpa ijazah. 16
Menurut pendapat sohih mengatakan, hadis yang diperoleh
dengan disertai ijazah boleh diriwayatkan 17, sedangkan hadis yang
tanpa ijazah tidak boleh diriwayatkan18. Contoh:
- َناَو َلني
- َناَو َلني َو َأَج اَز ني
Dua kode ini dipandang lebih baik daripada kode berikut ini
meskipun diperbolehkan:
- َح َّد َثَنا ُم َنَو َلًة
- َأْخ َبَر َنا ُم َنَو َلًة َو ِاَج اَز ًة
e. Al-Kitabah atau al-Mukatabah
Seorang muhaddis (guru) menuliskan sebuah hadis, baik
dengan tangannya sendiri maupun oleh orang yang ia minta, lalu
memberikan catatan itu, atau mengirimkannya, kepada orang
tertentu.19
Metodenya ada dua macam:
Mukatabah (koresponden) dengan tidak disertai ijazah
Mukatabah yang disertai ijazah
16
Thannan, Taisir..., op.cit., hal. 161
17
Ajjaj, Ushul..., op.cit., hal. 238
18
Thannan, Taisir..., loc.cit.
19
Ajjaj, Ushul..., op.cit., hal. 239, Thannan, Ibid., hal. 163
7
Kode-kode yang digunakan:
َكَتَب ِاَلَّي ُفَالن
َح َّد َثِني ُفَالٌن ِكَتاَبًة
َاْخ َبَر ِني ُفَالٌن ِكَتاَبًة
f. A l-I’lam
Seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa
sebuah hadis tertentu merupakan riwayat darinya atau dari apa
yang didengar nya20.Contoh:
َأْع َلْمِني َش يِخْي ِبَك َذ ا
g. Al-Washiyyah
Seorang guru, ketika akan meninggal dunia atau bepergian,
mewasiatkan sebuah manuskrip hadis yang diriwayatkannya
kepada seseorang.
Cara ini, menurut pendapat yang sohih, tidak diperbolehkan.
Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
َاْو َص ي ِاَلَّي ُفَالٌن ِبَك َذ ا
h. Al-Wijadah
Seseorang mendapatkan hadis dengan cara menemukan
manuskrip hadis yang telah ditulis perawinya, dan ia tidak
pernah mendengar langsung hadis yang ada dimanuskrip itu dari
perawi tersebut.21
Para ulama mengategorikan hadis yang diperoleh dengan cara
ini sebagai hadis munqothi’ (terputus), meski terputus
kemungkinan ada persambungan sanad. Contoh:
َو َج ْد ُت ِبَخ ِّط ُفَالٍن
َقَر ْأُت ِبَخ ِّط ُفَالٍن َك َذ ا
20
Ibid., Ajjaj, Ushul..., op.cit., hal.242.
21
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah (Ulum al-Hadits), (Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-
Islamiyyah, t.t.), hal. 29.
8
Disamping kode-kode diatas, ada kata-kata (harf) yang sering
didapati dalam sanad, yakni َع ْنdan أْن, adalah hadis yang
sanadnya terputus. Tapi sebagian yang lain, menilai hadis
tersebut justru diperoleh melalui as-sima’,dengan catatan:
Dalam mata rantai sanadnya tidak terdapat
penyembunyian informasi yang dilakukan perawi.
Antara perawi dengan perawi terdekat yang menggunakan
harf َع ْنatau َأْنitu dimungkinkan terjadi pertemuan.
Malik bin Anas, Ibn ‘Abd al-Barr dan al-Iraqi
menambahkan satu syarat lagi, yakni para perawi itu
harus orang-orang terpercaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya dapat ditampilkan bahwa Tahammul adalah
proses menerima periwayatan hadis dari seorang guru dengan metode-
metode tertentu. Sedangkan al-ada’ adalah proses menyampaikan dan
meriwayatkan hadis. Syarat penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang
kuat atau memiliki dokumen yang valid), berakal, tamyiz. Adapun syarat-
syarat perawi dalam al-ada’ hadis yaitu islam, baligh, adil, dlabit. Sedangkan
metode (shigot) dalam tahammul wa al-alda’ yaitu: as-sima’, al-Qiro’ah, al-
Ijazah, munawalah, al-Mukatabah, al-I’lam al-Syaikh, al-Washiyyah, dan al-
Wijadalah.
B. Saran
Sebagai umat muslim sudah sepenuhnya kita mengetahui tentang
tahammul wa al-ada’. Dengan mempelajari tahammul wa al-alda’ kita dapat
mengetahui syarat-syarat perawi. Dan itu dapat membantu kita menemukan
9
hadis itu sohih atau tidak. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, kritikan dan saran sangat berguna bagi kami sebagai penulis untuk
melanjutkan karyanya selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajjaj, al-Khatibiy, Muhammad. 1981. Ushul al-Hadits, Ulumuha wa
Mushthalahuhu. Beirut: Maktaba’ah Dar al-Fikr.
As-Shuyutiy, Jalaludin Abdurrahman bin Abi Bakr. 2002. At-Tadrib ar-Rawy Syarkh
Taqrib an-Nawawiy. Mesir: Maktabah Dar al-Hadits.
Masyhudi Ismail. 1988. Kaidah Keshahihan Sanad Hadits; Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Masyhudi Ismail. 1992. Metodologi Penilitian Hadits. Jakarta: Bulan Binyang.
Siti Rodiah. 2019. Makalah Studi Hadits Syarat-syarat Perawi Dan Transmisi. Bogor:
Universitas Djuanda Bogor.
Thannan, Mahmud. T.t.. Taisir Mushthalah al-Hadits. Surabaya: Maktabah al-Hidayah.
10