(Mutawatir, Mashyur, Ahad, Aziz, dan Gharib) dan (Shahih, Hasan, Mu’allaq, Mursal,
Mu’dhal, serta Munqati’)
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi
Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan judul “Makalah Hadits Ditinjau dari Kuantitas dan Kualitas serta
Kehujjahannya”.
Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak M. Imamuddin M.A, selaku dosen mata kuliah Studi
Al-Qur’an dan Al-Hadist yang telah membantu dan membimbing kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu, serta menambah wawasan dan
pengetahuan pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat membantu teman-teman semua serta menambah
wawasan mengenai hadits ditinjau dari kuantitas dan kualitas serta kehujjahannya. Banyak sekali
kekurangan penulisan dari makalah ini. Kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca
agar kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi.
Penyusun
DAFTAR ISI
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian dari hadits.
2) Mengetahui dan memahami pembagian hadits ditinjau dari kuantitasnya.
3) Mengetahui dan memahami pembagian hadits ditinjau dari kualitas dan kehujjahannya.
BAB II PEMBAHASAN
Unsur-unsur hadits
1. Sanad secara bahasa diartikan sebagai ُ ا َ ْل ُم ْعت َ َمد, yang dijadikan sandaran. Secara istilah
merupakan rangkaian para perawi yang menyampaikan matan.
2. Matan secara lughowi berarti tanah yang keras. Secara terminologi berarti perkataan yang
datang setelah habisnya sanad. Matan merupakan isi hadits.
3. Rawi yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits. Mudawwin merupakan orang yang
mengumpulkan hadits dan membukukan hadits. Rawi pertama suatu hadits adalah
Rasulullah. Rawi terakhir adalah orang yang menulis dan mengumpulkannya, seperti Al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Mas'ud, Ustman bin Affan, Salman Al-Farisi,
Tirmidzi.
Syarat-syarat Rawi
a. Adil (mengetahui sifat-sifat hadits)
• Muslim
• Baligh
• Berakal
• Memiliki sifat sempurna
• Jauh dari perbuatan dosa
• Menempatkan sesuatu pada tempatnya
b. Dhabit, yaitu orang yang memiliki kekuatan dan kemmapuan lebih. Dhabit dibagi
menjadi dua, yaitu Dhabit Shadran dan Dhabit Kitaban.
i. Dhabit Sadran, orang yang kuat dan luas hafalan, serta daya ingatnya, tidak pelupa.
ii. Dhabit Kitaban, orang yang teliti dan hati-hati dalam hal penulisan.
Macam-Macam Hadits
1) Qauliyah, yaitu perkataan yang pernah Nabi SAW ucapkan dalam hal hukum, akhlaq,
aqidah, dan lain sebagainya.
2) Fi’liyah, yaitu perbuatan Nabi SAW yang merupakan penjelasan terhadap peraturan
syari’at yang belum jelas tata cara pelaksaannya.
3) Taqrir, yaitu diamnya Nabi SAW tidak menyanggah ataupun menyetujui apa yang telah
dilakukan dan dikatakan para sahabat di hadapan beliau.
4) Sifat dan keadaan Rasulullah SAW serta himmah (keinginan) beliau, sifat-sifat beliau
diketahui dari para sahabat, ahli sirah mengenai kelahiran beliau dan perjalanan hidupnya.
Himmah adalah keinginan beliau yang belum sempat diselesaikan, misalnya wasiat beliau
untuk berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah (hari tasu’ah).
2.2 Hadits Ditinjau dari Kuantitasnya
Beberapa ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ini, di antara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits Mutawatir, Masyhur dan Ahad, serta ada
juga yang membaginya menjadi dua, yaitu hadits Mutawatir dan Ahad, yang membagi hadits
menjadi dua ini, memasukkan hadist Masyhur ke dalam hadits Ahad yang diikuti kebanyakan
ulama kalam. Menurut mereka, hadits Masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri,
akan tetapi bagian dari hadis Ahad.
Artinya: “Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat
bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta”.
Imam Nawawi mengemukakan definisi dari hadist mutawatir, yaitu “Hadits shahih yang
sejumlah besar orang menurut akal dan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta,
sejak awal sanad, tengah dan akhirnya”.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwasa hadits mutawatir adalah
hadist yang memiliki sanad yang pada tingkatannya terdiri atas perawi dengan jumlah
yang banyak yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk
melakukan kebohongan terhadap hadits yang sudah mereka riwayatkan.
Hadist Ahad secara garis besar oleh ulama-ulama hadits dibagi menjadi dua macam,
yaitu hadist masyhur dan hadist ghairu masyhur. Ghairu masyhur terbagi lagi menjadi
dua bagian, yaitu hadist aziz dan hadist gharib.
1) Hadits Masyhur
Menurut bahasa muntasyir yang berarti sesuatu yang sudah tersebar dan sudah
popular. Hadits ini dinamakan masyhur karena popularitasnya di masyarakat,
walaupun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik berstatus shahih ataupun
dikatakan dha’if.
Ada pun dijelaskan oleh istilah ilmu hadits, yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh tiga
orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada
tingkat mutawatir”.
Hadits Maqbul merupakan hadits yang diterima atau hadits yang memenuhi syarat-
syarat qabul, yaitu syarat untuk dapat diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum
atau untuk beramal dengannnya. Hadits jenis ini bisa berupa Shahih atau Hasan.
Masing-masingnya terbagi menjadi Shahih Lidzatihi dan Shahih Lighairihi, serta Hasan
Lidzatihi dan Hasan Lighairihi.
Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang tsiqat (terpercaya), tidak ada syadz (kejanggalan) dan illat (cacat). Terdapat lima
syarat hadits shahih, yaitu
a. Rawinya adil, yaitu jika memenuhi empat syarat, antara lain selalu memelihara
ketaatan dan menjauhi maksiat; menjauhi dosa-dosa kecil; tidak melakukan perkara-
perkara yang mengakibatkan gugurnya Iman; tidak mengikuti madzab yang
bertentangan dengan syariat.
b. Dhabit, yaitu kuat ingatannya, tidak pelupa, terjaga hafalannya, dan menguasai apa
yang diriwayatkannya.
c. Sanadnya bersambung dengan kata lain tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima
langsung dari guru yang memberinya.
d. Tidak ada illat, yaitu suatu penyakit yang samar-samar, dapat menodai keshahihan
suatu hadits, misalnya meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadap
hadits mursal (gugur) seorang sahabat yang meriwayatkannya. Illat juga bisa terdapat
pada matan hadits.
e. Tidak ada syadz, yaitu kejanggalan suatu hadits yang terletak pada adanya
ketidaksesuaian antara hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan rawi
yang lebih rajih (kuat) disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan
dalam dhabitnya Rawi
Hadits shahih terbagi menjadi 2 macam, yaitu Shahih Lidzatih dan Shahih Lighairihi.
1) Shahih Lidzatihi
وال شاذ، غير مع ّل، بسند متّصل، تا ّم الضسط،ما رواه عدل
“Hadits yang diriwayatkan oleh perawi adil dhabitnya sempurna, dengan sanad
muttashil, serta tidak ada illat dan tidak syadz”
Ta'rif atau pengertian di atas meliputi lima syarat penjelasannya sebagai berikut
a. Hendaknya diriwayatkan oleh perawi yang adil. Perawi adil adalah seorang
muslim, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan, serta perkara
yang mengurangi kehormatan.
b. Hendaknya perawinya mempunyai dhabit yang sempurna. Dhabit yang sempurna
adalah hafalan. Hafalan ini terdapat di dalam dada, setidaknya Ia bisa
mengeluarkan hadits tersebut kapan pun saat diminta. Hafalan bisa berbentuk
tulisan dalam buku. Ia harus menjaga tulisan ini sejak mendengarnya hingga
menyampaikan kepada orang lain.
c. Sanad yang mutthasil atau bersambung, maksudnya setiap perawi mengambil
hadits dari orang sebelumnya dengan tahamul (jalan pengambilan) hadits yang
benar.
d. Tidak ada illat atau suatu sebab yang tersembunyi yang merusak keshahihan
hadits.
e. Tidak ada syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi Maqbul tetapi
riwayatnya menyalahi perawi yang lebih hebat darinya, baik dari sisi kepandaian
atau banyaknya hafalan. Maksud dari perawi Maqbul adalah perawi tsiqah yang
adil dan dhabitnya sempurna.
2) Shahih Lighairihi
هوا الحديث الحسن الذته إذا تعدّدت طرقه
“Yaitu hadits Hasan Lidzatihi ketika mempunyai jalur periwayatan yang banyak”
Shahih Lighairihi adalah hadits yang tidak sempurna karena perawi hadits kurang
dhabit atau lemahnya hafalan mereka, menjadi hadits shahih karena ada hadits lain
yang menguatkan hadits tersebut dengan makna sama dan datang dari jalur
periwayat lain yang lebih kuat. Jika tidak ada hadits lain yang menguatkan, maka
menjadi hadits hasan bukan shahih.1
Hadits Hasan
“Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi adil,
yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat”.2
Hadits hasan adalah hadis yang sudah memenuhi syarat sebagai hadis shahih, tetapi dari
salah satu perawi atau beberapa orang dalam sanad yang kualitas kedhabithannya
1
M. Ma'shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2014), hlm 113-114
2
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), hlm 266
dibawah kualitas perawi hadis shahih. Tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa hadis
tersebut dilarang untuk dijadikan hujjah, hanya karena dinilai perawinya kurang dhabith.
Perawi hadis hasan biasa disebut dengan istilah shaduq (jujur), laa ba‟sa bih (tidak apa-
apa), tsiqah yukhthi‟ (terpercaya tetapi banyak kesalahan, atau shaduq lau awham (jujur
tetapi diragukan).
Pertama sanad bersambung dan perawi adil. Ke dua perawi dhabit, tetapi tingkat
dhabitnya berada di bawah kedhabitan perawi hadis shahih. Ke tiga tidak adanya
kejanggalan pada matan. Dan ke empat tidak ada kecacatan. Jika dijadikan sebagai
hukum, menurut para fuqaha dan kebanyakan ulama muhadditsin dan ahli ushul
menyatakan hadits hasan boleh dijadikan hujjah dan diamalkan, karena alasan mereka
adalah secara keseluruhan para perawi sudah terkenal dan diketahui kejujurannya
sampai keselamatannya dalam sanad.
Para ulama tidak membukukan hadits hasan secara khusus seperti hadits shahih pada
umumnya yang terkumpul dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Namun, terdapat
beberapa kitab-kitab hadits yang banyak memuat hadits hasan, seperti
o Jami‟ al-Tirmidzi yang dikenal dengan Sunan al-Tirmidzi, dalam kitab ini paling
banyak memuat hadits-hadits hasan
o Kitab Sunan Abu Daud
o Kitab Sunan al-Dar al-Quthni
Hadits hasan terbagi menjadi 2 macam, yaitu Hasan Lidzatihi dan Hasan Lighairihi
1) Hasan Lidzatihi
“Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi dhabitnya ringan dengan
sanad mutthasil, tanpa illat maupun syadz”.
2) Hasan Lighairihi
هوا الحديث الضّعيف إذا تعدّدت طرقه على وجه يجبر بعضها
“Yaitu hadits dhaif ketika mempunyai jalur periwayatan yang banyak, sekitarnya satu
sama lain saling menguatkan”
Hadits Mardud merupakan hadits yang ditolak atau yang tidak memenuhi syarat qabul.3
jenis ini bisa berupa dhaif atau maudhu’. Secara umum hadits dhaif terbagi menjadi 2
bagian, yaitu dhaif ringan yang dapat naik derajat menuju hasan lighairih, serta dhaif
3
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.376.
parah yang tidak mungkin naik derajat. Untuk maudhu’ atau hadits palsu merupakan
hadits dhaif yang paling buruk.
Hadits Dhaif
Dhaif menurut bahasa berasal dari kata Adh-Dhaif yang berarti lemah, lawan dari Al-
Quwwah yang berarti kuat sedangkan menurut istilah dhaif adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan, seperti
sanadnya tidak bersambung, perawinya tidak adil, tidak dhabit, adanya kejanggalan
baik dalam sanad maupun dalam matan hadits, serta adanya kecacatan yang tersembunyi
pada sanad dan matan4. Hadits dhaif hukumnya ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Macam-macam hadits dhaif jika dilihat dari sebab kedhaifan yang beraneka ragam
dibagi menjadi dua, yaitu
a. Jika kedhaifannya karena gugurnya perawi pada sanad, jenis ini mempunyai banyak
macam, seperti Mursal, Muallaq, Mu’dhal, dan Munqathi’.
i. Hadits Mursal
Menurut bahasa berasal dari kata Al-Mutlaq, berarti yang dilepaskan sedangkan
menurut istilah hadits Mursal adalah hadits yang disandarkan seorang tabi'in
kepada Nabi SAW tanpa perantara. Alasan mengapa hadits Mursal termasuk
dhaif adalah karena tidak diketahui tabi'in tersebut meriwayatkan hadits dari
siapa, apakah Ia mengambilnya dari orang yang tsiqah atau tidak.
ii. Hadits Muallaq
Secara bahasa berasal dari Isim Maf'ul dari kata القyang memiliki arti
menggantungkan. Menurut istilah hadits Muallaq adalah hadits yang pada
permukaan sanad terbuang oleh satu orang perawi. Alasan hadits ini disebut
dhaif adalah karena tidak diketahui keadaan perantaranya, yaitu perawi terbuang
yang disampaikan hadits. Hadits Muallaq ditolak karena sanadnya tidak
bersambung.
iii. Hadits Mu’dhal
Secara bahasa merupakan Isim Maf'ul dari اعضلyang memiliki arti sempit.
Secara istilah hadits Mu'dhal adalah hadits yang pada sanadnya terdapat dua
orang perawi atau lebih yang gugur secara berurutan. Gambaran hadits Mu'dhal
ini jika tabi'ut tabi'in (pengikut tabi'in) meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi
SAW padahal tidak pernah berjumpa dengan beliau. Alasan hadits ini tergolong
hadits dhaif adalah karena tidak diketahui keadaan perantara yang
menyampaikan hadits, yaitu para perawi yang dibuang dari sanad.
iv. Hadits Munqathi’
Secara bahasa memiliki arti terputus sedangkan secara istilah hadits Munqathi'
adalah hadits yang pada sanadnya gugur seorang perawi baik suatu tempat atau
lebih. Alasan hadits ini dihukumi dhaif karena tidak diketahui perantara yang
4
Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis, (Bandung: Tafakur, 2014), hlm 103
menyampaikan hadits kepada kita, yaitu perawi yang gugur atau terbuang dari
sanad.
Perbedaan antara Munqathi' dengan Maqthu':
Hadits Maqthu' masuk kedalam bagian hadits jika dilihat dari sumber asalnya.
Maqthu' diucapkan oleh tabiin bukan dari Nabi SAW. Lalu, hadits Munqathi'
termasuk kedalam bagian hadits dhaif karena gugurnya perawi pada sanad.
b. Jika kedhaifannya karena aib perawi. Aib perawi terkadang terletak pada
keadilannya, seperti dituduh pernah berbohong atau lain sebagainya. Terkadang
terletak pada kedhabitan perawi, seperti kesalahan yang parah, hafalan yang buruk,
atau menyalahi orang-orang yang tsiqah.
Macam-macam kedhaifan karena aib perawi:
i. Syadz
Secara bahasa syadz memiliki arti seseorang yang keluar dari jamaah. Ada pun
secara istilah diartikan sebagai hadits yang diriwayatkan oleh perawi Maqbul,
tetapi menyalahi perawi lain yang lebih rajih darinya.
ii. Ziyadah Ats-Tsiqah
Yaitu apabaila sebuah jamaah (banyak perawi) meriwayatkan satu hadits dengan
satu sanad dan satu matan, kemudian terdapat satu orang perawi dari mereka
memberi tambahan pada hadits tersebut yang tidak disebutkan para perawi
lainnya.
iii. Hadits Mu’all
Yaitu hadits yang di dalamnya terdapat illat (cacat) yang merusak keshahihan
hadits, padahal secara lahir terlihat sehat dari cacat. Alasan hadits ini dijadikan
dhaif karena terdapat wahm (keraguan atau khayalan) yang muncul dari sebagian
perawi. Hal itu menunjukkan tidak adanya kedhabitan pada perawi meskipun Ia
seseorang yang tsiqah. Karena walaupun tsiqah terkadang juga mengalami
kesalahan.
Hadits Maudhu’
Secara bahasa hadits maudhu’ dalam bentuk isim maf’ul memiliki makna meninggalkan,
menggugurkan, dan mengada-ada. Secara istilah menurut ulama muhadditsin hadits
maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan atau dinisbatkan kepada Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan secara mengada-ada serta dusta. Karena
sebenarnya Nabi tidak pernah mengatakan hal tersebut. Jadi, hadits maudhu’ bukanlah
hadits Nabi SAW. Hadits maudhu’ disebut juga hadits palsu yang sengaja dibuat oleh
pendusta.
Ada beberapa cara untuk mengetahui suatu hadits tersebut termasuk hadits maudhu’
atau bukan melalui sanad hadits, seperti
1) Pengakuan dari pemalsu hadits itu sendiri, seperti pengakuan ‘Ishmah Nuh bin Abi
Maryam yang memalsukan hadits tentang keutamaan surat dalam Al-Qur’an dan
hadits riwayatnya tersebut Ia sandarkan kepada Ibn ‘Abbas.
2) Meneliti setiap biografi yang meriwayatkan hadits.
3) Seorang perawi wajib bersifat objektif, tidak boleh membuat hadits menurut
ideologinya sendiri sehingga lafadz dan makna hadits tersebut seakan mendukung
hubungan ideologi, politik, serta pendapat tertentu demi kepentingannya sendiri.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Seperti yang sudah diklasifikasikan oleh ulama untuk selalu menjaga keasliannya, sudah
sepatutnya kita harus memahami serta mempelajarinya. Kita sebagai umat muslim yang
menyadarkan perilaku-perilaku yang sopan dan santun atau baik kepada Rasulullah SAW,
maka dari itu kita harus banyak-banyak mempelajari hadits kemudian untuk kita amalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Zein, M. Ma'shum. (2014). Ilmu Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. (1977). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang.
Muzaqqi, Ahmad Khuzaini, 2010. "Eksistensi Kualitas dan Kehujjahan Hadis dalam
Perspektif Tokoh Orientalis Nabia Abbot". Skripsi. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Zainuddin, dkk. (2011). Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.