Dosen pengampu:
Anita Andriya Ningsih, M.Pd.
Disusun oleh:
1. Alfira Izza Aulia (200606110111)
2. M. Mukhholadun Kafafah (200606110112)
3. Rosidatul Faqiyah (200606110113)
Kelas B
Puji syukur penulis kepada Allah SWT, yang telah memberikan karunia kesehatan dan
kemampuan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah berjudul “Sudut Pandang Kualitas
Rawi Hadist yang Ditolak dari Segi Cacatnya Perawi (Maudhu, Munkar, dan Mudraj)”.
Penulisan makalah ini berkaitan dengan mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadist yang
diasuh oleh Ibu Anita Andriya Ningsih, M.Pd., dalam perkuliahan semester ganjil T.A
2021/2022 program S.1 Teknik Arsitektur UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Anita Andriya Ningsih, M.Pd., selaku dosen
pengampu mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadist yang telah memberikan bimbingan,
arahan, sekaligus pencerahan khususnya selama proses perkuliahan dan berguna, serta dapat
penulis aplikasikan dalam penulisan makalah ini, yang mana telah membuka pikiran penulis
tentang begitu banyaknya ilmu-ilmu yang harus dipelajari, dipahami, dimaknai dalam
kehidupan ini, dan menurut penulis pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadist, sangatlah penting
yang mana dapat digunakan dalam setiap sendi-sendi kehidupan.
Penulis menyadari, hasil dari tulisan ini masih jauh dari kata sempurna yang antara lain
sebab yaitu keterbatasan waktu, keterbatasan literatur, maupun keterbatasan telaah dari penulis
sendiri. Untuk itu dengan hati terbuka dan ikhlas penulis menerima kritikan dan masukan yang
sifatnya konstruktif dari pembaca dan pemerhati yang berkaitan dengan tulisan ini. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat, terutama kepada para pembaca dalam kajian-kajian al-Qur’an dan
al-Hadist. Demikian, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
i
BAB I
PENDAHULUAN
Hadist merupakan salah satu sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh para
ulama dan tokoh-tokoh umat Islam. Keberadaan hadits berada di posisi kedua tepat setelah
al-Qur’an. Pedoman hidup umat Islam harus bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist. Jika
terjadi permasalahan di tengah masyarakat, penyelesaiannya tentu harus berpedoman pada
al-Qur’an dan al-Hadist. Karena itu, al-Qur’an dan al-Hadist mengatur setiap gerak dan
aktivitas umat sesuai petunjuk di dalamnya.
Keberadaan Hadits telah melalui periwayatan yang panjang dan diturunkan dari
zaman ke zaman melalui lisan ke lisan sehingga sangat memungkinkan terjadinya
perubahan ataupun penambahan makna dalam sanad hadits. Kemunculan hadis yang
menyimpang ini bisa disengaja maupun tidak. Bahkan, kemunculannya ada yang sengaja
dibuat-buat dan disebarkan di tengah-tengah masyarakat dengan tujuan tertentu yang
beragam.
Dari segi kualitas hadis, hadis terbagi menjadi tiga bagian; pertama, hadist shahih,
hadist hasan, dan hadits dha'îf. Keberadaan al-Hadist yang menyimpang ini, bisa
dikategorikan sebagai hadis dhaif, yaitu hadits yang tidak memenuhi beberapa persyaratan
dari hadits shahih maupun hasan. Hadits dhaif sendiri terbagi berdasarkan 2 hal, yaitu
sebab gugur sanad dan sebab cacat perawi. Makalah ini akan membahas lebih lanjut
mengenai Sudut Pandang Kualitas Rawi Hadis yang Ditolak dari Segi Cacatnya Perawi
(Maudhu, Munkar, dan Mudraj).
1
6. Apa pengertian dan faktor penyebab munculnya hadist Mudraj?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian Hadist.
2. Mengetahui bagaimana pembagian hadist dari segi kualitas hadist.
3. Mengetahui pengertian dan faktor penyebab munculnya hadist Dhaif.
4. Mengetahui pengertian dan faktor penyebab munculnya hadist Maudhu’.
5. Mengetahui pengertian dan faktor penyebab munculnya hadist Munkar.
6. Mengetahui pengertian dan faktor penyebab munculnya hadist Mudraj.
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Hadist Shahih
Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan
wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang
sah dan yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari
kata saqim (sakit). Maka hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yang sah, hadits
yang sehat atau hadits yang selamat. Hadist shahih ditandai dengan para perawinya
yang memiliki hafalan kuat (dhabh ar-ruwah), adil dan sudah sangat terkenal.
Persyaratan dari hadist shahih, yaitu:
1. Bersambungnya sanad (ittişâl as-sanad)
2. Perawi bersifat adil ('adâlah ar-ruwâh)
3
3. Perawi bersifat kuat hafalannya (ḏhabth ar -ruwâh)
4. Tidak ada kejanggalan pada perawi ('adam al -syâdzdz)
5. Tidak adanya penyakit t ('adam al -'illat)
b. Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh
orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan
tidak ganjil. Hadist Hasan merupakan hadist yang berbilangan jumlah sanadnya dan
tidak terdapat seorang perawi hadist yang berbohong dan ganjil. Tingkat Hadist hasan
berada di bawah Hadist shahih dan di atas hadist Dhaif.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan
sebagai hadist hasan, yaitu:
1. Para perawinya yang adil
2. Kedhabithan perawinya dibawah perawi Hadist shahih
3. Sanad-sanadnya bersambung
4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
5. Tidak mengandung illat.
c. Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang
kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist yang
lemah, yang sakit atau yang tidak kuat. Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan
secara berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama,
Pendapat An-Nawawi: “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist
Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan”. Hadist dhaif merupakan hadist yang tidak
memenuhi beberapa persyaratan dari hadist shahih. Hadist dhaif adalah keterbalikan
dari hadist shahih dimana perawinya tertuduh berdust ataupun tidak bagus dalam
hafalannya.
2.3 Pengertian dan Sebab-sebab cacat yang terjadi pada Hadist Dhaif
Hadist dhaif dikatakan juga sebagai hadist lemah. Sebagaimana kita sudah ketahui
bersama-sama, hadis lemah (ḍa'îf) adalah hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan
dari hadis sahih, seperti:
1. Tidak adanya kesinambungan sanad perawi ḥadîs hingga ke Nabi Muhammad Saw
(a'dam al-ittişhâl).
4
2. Tidak adanya sikap yang adil dalam diri seorang perawi ḥadîs (a'dam a'dl).
3. Kurang kuat daya hafalan seorang perawi ḥadîs dalam menjaga jalur-jalur seluruh
sanad hadisnya (a'dam ḏhâbith ar-ruwâh).
4. Adanya keganjilan dalam redaksi sanad hadis ataupun redaksi matan hadis.
5. Ditemukan adanya cacat yang tersembunyi dalam redaksi sanad hadis maupun
redaksi matan hadis.
Dengan demikian, sebab-sebab cacat pada Hadist Dhaif disebabkan oleh 2 hal, yaitu:
a. Berhubungan dengan sanad hadist
Hadis lemah (ḍa'îf) yang berhubungan dengan sanad hadis, bisa jadi karena perawi
hadis tidak bertemu secara langsung dengan seorang guru sebagai pembawa hadis,
ketidakadilan dan tidak ḏhâbith, adanya keganjilan (syâdz) dan cacat pada sanad
(i'llat).
b. Berhubungan dengan matan hadist
Cacat yang berhubungan dengan matan hadis adalah karena ditemukan adanya
keganjilan (syâdz) dan cacat (i'llat) dalam redaksi matan hadis.
Hadist Dhaif berdasarkan sebab gugurnya sanad Hadist secara garis besar terbagi
menjadi 2, yaitu:
5
4) Hadist Maqlub
5) Hadist Mudtarib
6) Hadist Muharraf
7) Hadist Mushahaf
6
dan keutamaan dari amalan tertentu tanpa dasar yang benar melalui hadist targhib
yang mereka buat sendiri
4) Fanatisme yang keliru
Sikap sebagian penguasa Bani Umayah yang cenderung fanatisme dan rasialis,
telah ikut mendorong kalangan Mawali untuk membuat hadits-hadits palsu
sebagai upaya untuk mempersamakan mereka dengan orang-orang Arab.
{Hadist ini dianggap maudhu' sebab perawinya yang bernama Abu 'Atikah Tharif
bin Sulaiman dikenal sebagai pemalsu hadist.}
7
Artinya : “Barangsiapa berpuasa di waktu pagi pada hari ‘Idul Fithri, dia
bagaikan puasa sepanjang waktu”
{Hadits ini dianggap maudhu' sebab menyalahi aqidah Islam dimana
seharusnya pada hari idul fithri sangat diharamkan untuk berpuasa. Gadits ini
diriwayatkan dari Ibnu al-Bailami yang dikenal telah membuat hadits maudhu'
kurang lebih sebanyak 200 hadits.}
Pertama : yaitu sebuah hadits dengan perawi tunggal yang banyak kesalahan atau
kelalaiannya, atau nampak kefasiqannya atau lemah ke-tsiqahannya.
Contohnya:
Diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan Ibnu Majah dari riwayat Abi Zakir Yahya bin
Muhammad bin Qais, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya, dari ‘Aisyah secara
marfu': “Makanlah balah (kurma mentah) dengan tamr (kurma matang), karena
syaithan akan marah jika anak Adam memakannya”.
Kedua : yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah dan
8
bertentangan dengan riwayat perawi yang tsiqah.
Pada intinya, Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha'if yang
berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya).
Hadits Mungkar termasuk hadits yang dha’if. Tapi hadits mungkar ini masih lumayan
baik. Bila dibandingkan Hadits Maudhu’ dan Hadits Matruk.
Jadi urutan hadits yang paling dha’if adalah Hadits Maudhu’. Setelah itu Hadits Matruk.
Kemudian Hadits Mungkar.
Tapi sebenarnya hadits maudhu’ itu bukan merupakan hadits. Ibaratnya seperti
seseorang yang ikut kuliah. Tapi tidak pernah mendaftar kuliah. Lalu dia mengaku
sebagai mahasiswa.
Adapun hadits matruk dan mungkar ini masih hadits. Namun sangat dha’if. Ibaratnya
seperti seseorang yang sudah mendaftar sebagai mahasiswa. Tapi kemudian dia
melanggar sebuah tata tertib kampus. Sehingga dia harus dikeluarkan, alias drop out.
• Kedua; Sebagian ahli hadits menyatakan tentang munkarnya hadits gharib, lalu
mengatakan “Ini adalah hadits gharib, maksudnya adalah hadits munkar,
sedangkan kata munkar digunakan untuk mengistilahkan hadits maudhu’
• Ketiga; kemunkaran itu tidak hanya berada pada sanad saja, tetapi juga terjadi
pada matan. Bentuknya, rijal yang siqah meriwayatkan suatu hadits dengan
9
teks tertentu, dan ada rijal dha’if yang meriwayatkan hadits dengan teks yang
lainnya, seperti telah dicontohkan pada hadits dari an-Nadhr bin Syaiban
(contoh 1)
َّ صلَّى
َّللا َ ي ً س ِم ْعتُ أ َ َن
ُّ سا َيقُو ُل َكانَ ال َّن ِب َ :َ قَال،ب
ٍ ص َه ْي ِ ع ْبد ِْالعَ ِز
ُ يز ب ِْن َ ع ْن
َ
ِ ث َو ْال َخ َبا ِئ
ث ِ ُعوذُ ِبكَ ِمنَ ْال ُخب
ُ َ اللَّ ُه َّم إِ ِِّني أ:َسلَّ َم إِذَا دَ َخ َل ْالخ ََال َء قَال
َ علَ ْي ِه َو
َ
Artinya: dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ra, ia berkata; Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila memasuki wc berkata, Ya Allah
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina
Tetapi di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/11) dengan
jalan dari Abu Ma’syar –najih bin Abdurrahman- an-Sindi, ia dha’if haditsnya,
dari Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas ra, ia berkata Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam apabila memasuki wc membaca do’a,
Hadits ini teksnya sama dengan yang diriwayatkan dari rijal yang siqah, hanya
saja terdapat perbedaan pada basmalah ketika akan masuk wc, maka tambahan
ini munkar.
10
• Keempat, Bahwa rawi yang siqah kadang-kadang haditsnya
dinilai munkar apabila ia meriwayatkan seorang diri dari rawi yang dha’if,
seperti hadits Ma’mar dari Qatadah. Ma’mar bin Rasyid siqah hafidh hanya saja
riwayat dari Qatadah lemah karena ia mendengar darinya ketika masih sangat
kecil sehingga sanadnya tidak terjaga, maka apabila ia meriwayatkan hadits
seorang diri dari Qatadah, tidak ada tabi’ (hadits yang menguatkan)
dari rijal yang siqah, maka periwayatannya seorang diri itu dinilai munkar.
• Kelima, Bahwa rawi yang shaduq, dia di bawah derajat siqah dalam
hal dhabth sehingga haditsnya dinilai hasan, kadang-kadang haditsnya
dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama, Apabila ia meriwayatkan
seorang diri dengan matan yang munkar tanpa diikuti dengan tabi’ dari
periwayat yang lain, atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat
dari rawi yang siqah. Contohnya, hadits yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad
(2/423 dan 510), Abu Dawud (2350) dengan jalan dari Hammad bin Salamah.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Muhammad bin Amr,
dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, bersabda; Apaila salah seorang di antara kalian mendengar adzan
sedangkan piring ada di tangannya, maka janganlah diletakkan sehingga selesai
memakannya.
Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah shaduq, haditsnya hasan dalam
riwayat yang tidak diriwayatkan seorang diri dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah. Dia telah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits Abu
Salamah. Ibnu Ma’in berkata, “Ia meriwayatkan hadits dari Abu Salamah sekali
dengan riwayatnya, kemudian meriwayatkan hadits itu sekali lagi dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah”
Ia meriwayatkan hadits ini seorang diri dari Abu Salamah, dan tak ada tabi’ dari
seorang pun. Demikian juga matan hadits ini munkar, jika dibandingkan
11
dengan matan hadits dari Aisyah ra, yang tersebut di
dalam shahihain secara marfu’;
12
secara istilah al-Mudraj adalah sesuatu yang telah dirubah dari siyak isnadnya, atau
sesuatu yang telah dimasukkan ke dalam matannya sesuatu yang bukan
merupakan bagian darinya tanpa adanya pemisah.
• Mudraj Matan
Pengertian mudraj matan sebagaimana dalam Kitab Minhatul Mughits Bab Hadits
Mudraj adalah sebagai berikut ini :
َ َ ْ ف ٰاخره َف ُي َت َو َّه ُم َم ْن َل ْم َي ْعر
ف َح ِق ْيقة ِ ْ ف َا ْث َن ِائ ِه َا ْو
ْ ف َا َّو ِل ْال َح ِد ْي ِث َا ْو َّ َك ََل ٌم َي ْذ ُك ُر ُه
ْ الراوى
ِ ِِ ِي ِي ِ ِي
13
ْ َ ْال َحال َا َّن ُه ِم َن ْال َح ِد ْي ِث َو ْال َو ِاق ُع َا َّن ُه َل ْي
س ِم َن ال َح ِد ْيث ِ
Artinya: "Yaitu perkataan yang disebutkan oleh seorang rawi di dalam awal,
tengah, atau akhirnya, lalu orang yang tidak mengetahui hakikat keadaannya
َو َس َل َْم َع َليهْ ٰ ُاّللْ َص َ ّْل ٰاّللْ َر ُسولْ َعنْ َعن ُْه ٰ ُاّللْ َر ِ َضْ ُه َري َرَْة َا ِ ْب َع ْن: ْا َّلنارْ م َنْ ل َْلع َقابْ َويلْ ا ْل ُو ُضو َْء َاسب ُغوا
"Dari Sahabat Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW: "Sempurnakanlah wudlu,
celaka bagi orang yang tumit-tumitnya tidak terkena air akan masuk neraka"/
Contoh lainnya :
ُ ُ َ َ َ ْ ُ َ َ ُ َ َ َ ُ َّ َ َْ ْ َ َّ ُ َب ِّك
ْصَلةْال َعْصْحبطْع َمل ْهْفإنهْمنْفاتته،ْفْال َيومْالغيم
ِ ةَلالص اْبور
14
ُ َ ُ َّ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ٰ َ َ ُّ َّ َ َ َ َ ُ ٰ َ َ َ َ َ َ
ْ ْفْغ ٍارْح َر ٍاء َْو
ْه َو ِ ْكانْالن ِبْصّلْاّللْعليهْوسلمْيتحنث:ْْاّلل َْع َنهاضِ َ َ شةْر عنْعائ
ْ َ َ َ ُ ُ َ َّ
الْذواتْالعد ْد ِ التعبدْاللي
"Dari Siti Aisyah ra, Nabi SAW menyepi di dalam Gua Hira', Beliau beribadah
selama beberapa malam"
ُ َ ْ َ َ
ْ،ْ لوَلْ الجهادْ ِفْ َسبيلْ هللا،سْ ب َيده ف
َ
ن ْي ذ
َ َ
الو ْ، ان
ر َ ل ْل َعبدْ ْال َمم ُلوكْ ْال ُمصلحْ َأج
ِ
ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َ ِ ُ ُّ َ ُّ َ ْ َ
وك
ْ اْممل َْلحببتْأنْأموتْوأن،ْوبرْأ ِّم،والحج
"Untuk hamba sahaya yang shalih baginya dua pahala. Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, kalaulah bukan karena (keutamaan) jihad di
jalan Allah, haji dan berbuat baik kepada ibuku tentu aku lebih meyukai mati
sedangkan aku sebagai seorang budak" (HR. Bukhari No. 2362).
" (Demi Dzat yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya ... dan seterusnya) adalah
perkataan Sahabat Abu Hurairah, bukan qauliyah Nabi SAW.
Bahkan Abu Thahir yang merupakan salah satu rawi hadits tersebut
mengatakan bahwa Sahabat Abu Hurairah ra tidak melakukan haji kecuali
setelah ibunya meninggal dunia, karena dia harus menemani ibunya, lihat pada
Hadits Muslim No. 3144.
15
• Mudraj Sanad
Dalam Kitab Minhatul Mughits Bab Hadits Mudraj, hadits mudraj sanad terbagi
menjadi 4 bentuk:
1. Seorang golongan ahli hadits yang meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad-
sanad yang berbeda, namun seorang rawi meriwayatkan dari golongan tersebut
dengan salah satu sanad tanpa menjelaskan adanya perbedaan sanad dalam hadits
tersebut
2. Seorang rawi yang meriwayatkan hadits secara sempurna dengan sanad-sanadnya,
kecuali satu arah sanad saja, padahal satu arah sanad tersebut diriwayatkan dengan
sanad yang lain. Lalu, rawi lain meriwayatkan hadits tersebut secara sempurna
darinya dengan sanad yang pertama
3. Seorang rawi yang meriwayatkan 2 hadits berbeda dengan 2 sanad, lalu rawi lain
meriwayatkan kedua hadits itu darinya dengan salah satu sanad saja, atau rawi lain
tersebut meriwayatkan salah satu hadits dengan sanad khusus dan menambahi
matan lain di dalamnya, di mana matan itu bukan merupakan sanad dari hadits
tersebut.
4. Seorang rawi meriwayatkan sanad, lalu rawi lain mengatakan perkataan yang
berasal dari dirinya sendiri, lalu rawi tersebut meriwayatkan perkataan itu (dari
rawi lain) dengan mencampurkan pada hadits itu.
Contoh Hadist:
ًّ َ ُّ َّ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ه َ َ َ ْ َ ْ َ َ ه
ّٰلل ِندا
ِ ِ اّٰلل قال أن تجعل
ِ أي الذن ِب أعظم ِعند
"Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah ?" Rasulullah SAW menjawab: "Kamu
membuat tandingan bagi Allah (syirik)""(HR. Muslim No. 124, HR. Bukhari No. 4117
dan No. 4389).
Namun dalam salah satu sanadnya yaitu riwayat Washil bin Hayyan merupakan
mudraj, yang bertentangan dengan riwayat Al-A'masy dan Manshur bin Mu'tamir. Hal
ini dikarenakan Abi Wa'il mendapatkan riwayat dari Abi Maisarah, bukan langsung
dari Sahabat Abdullah bin Mas'ud RA.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadist secara terminologi memiliki makna segala sesuatu yang dinukilkan dari
Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kemakhlukkan, akhlak
maupun sejarah hidupnya yang terjadi sebelum atau sesudah ia dinobatkan sebagai Rasul.
Dalam konteks ini alangkah kita baiknya kita sedikit memahami tentang akurasi
Hadist menurut Perawi masing-masing, karena hal semacam ini akan sangat berpengaruh
dalam pengaplikasian kehidupan kita sebagai seorang Muslim yang taat kepada Allah SWT
juga mencegah terjadinya kesalahkapraan dalam penerapan hukum-hukum islam dalam
bersosial. Merupakan hal yang sangat penting bisa memahami hadist karena hadist merupakan
Sumber Hukum Islam yang ke-2 setelah Al-Qur an Al- Karim.
3.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,
tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini
disebabkan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk
kedepannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Akif Fatwal. 2007. Signifikasi Hadist Mudraj. Semarang: Institut Agama Islam Negeri
Walisongo
Aslamiah, Rabiatul. 2016. Hadist maudhu dan Akibatnya. Jurnal Alhiwar, Jurnal Ilmu dan
Teknik Dakwah. 4(7):24-34
Muhammad Alwi Al-Maliki, Prof. Dr., Ilmu Ushulul Hadits, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
Cet. I, 2006.
Muhammad Ismail Yusanto, Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Hadits,
Khairul Bayan, Jakarta Selatan, cet. I, 2002.
M. Syhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta, t.th.
Muhammad Farid Wahdi, Dairah Ma’arif al-Qarn al-‘Isyrin, Dar-al-Ma’arif, Beirut:
Libanon, Cet. III, 1971.
18