Disusun Oleh:
KELOMPOK 1
1. M. AL FARUQ (30300119019)
2. NALWI (30300119049)
3. NUR FADILAH ANNISA (30300119054)
2021
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhana Wata‟ala yang telah memberikan kami
kemudahan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Kemudian shalawat serta salam semoga selalu kita haturkan kepada baginda
Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Uswatun hasanah bagi
seluruh makhluk.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
A. Kesimpulan .................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................. 16
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Slide presentasi Ilmu Ma‟anil Hadis, Tafsir Hadis STAI PERSIS Bandung, 2009
(SlideShare.net).
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dari pengertian di atas, ada dua variabel penting yang harus mendapatkan
perhatian utama. Pertama, keadaan lafal dan makna yang beriorientasi pada
penelusuran makna leksikal dari sebuah kata, gramatika, dan medan sematiknya.
2
Ibn Faris, Maqayis, h. 146-148.
3
Majd al-Din Muhammad ibn Ya‟qub al-Fairuz Abadiy, Al-Qamus al-Muhith, (Bairut:
Dar al-Jail, t.th), Juz 4, h. 291
5
Kedua, aspek sosio-historis, sabab al-wurud dimana lafal itu dilahirkan.4 Kedua
bagian ini tidak dapat dipisahkan dan harus mendapatkan porsi seimbang sehingga
meminimalkan kesalahan dalam memahami hadis demi mendapatkan pemahaman
yang komprehensif. Sekaligus dari sini pula dapat dibatasi bahwa objek pembahasan
ilmu ma„ani al-Hadis adalah matan hadis dan tidak melibatkan sanad hadis.5
4
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 6.
5
Ibid., hlm 7.
6
4. Untuk mengembangkan pemahaman hadis secara kontekstual dan progresif.
5. Untuk melengkapi kajian ilmu hadits riwayah, sebab kajian haditsri wayah saja
tidak cukup.
C. Latar Belakang Urgensi Ma’anil Hadis
Di lingkungan umat Islam kadang kala muncul pendapat yang eksklusif yang merasa
bahwa pemahaman mereka yang paling benar. Munculnya realitas sosial yang melanda
sebagian umat Islam bahwa mereka merasa paling benar tersebut timbul akibat adanya
perbedaan cara pandang atau pendekatan dalam memahami atau menjelaskan maksud
kandungan hadis dengan pemahaman yang dijalani oleh kelompok lainnya. Jika wacana
pendekatan dalam memahami hadis bisa disadari secara jernih, kemungkinan memandang
pemahaman dirinya paling benar akan bisa terhindarkan, karena masing-masing menyadari
perbedaan titik tolak menyebabkan hasil pemahaman yang juga berbeda.
Yang perlu digarisbawahi ketika kita berhadapan dengan teks hadis adalah minimal dua
hal. Pertama bahasa teks itu sendiri dan yang kedua konteks yang melingkupi teks tersebut.
Baik sebelum, saat ataupun jauh setelah teks itu keluar, bahkan masa yang akan datang. Untuk
itulah Ilmu Ma'anil Hadis sangat urgen kedudukannya dalam rangka memahami hadis agar
diperoleh pemahaman yang benar tentang sebuah hadis.
Dengan mempelajari Ilmu Ma‟anil Hadis, atau mengetahui ma‟ani sebuah hadis, maka
sikap merasa paling benar sebab memahami hadis dengan pemaknannya sendiri dan semata-
mata untuk kepentingannya akan tergantikan dengan sikap damai, toleransi antar kelompok,
dan kesadaran bahwa pemahaman dangkal akan sebuah hadislah yang membuat perdebatan
antar kelompok.
Selain itu, terdapat juga faktor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya ilmu ini, antara
lain:
1. Sebagian dari Hadis Nabi memuat kata-kata yang sulit (garib).
Hal seperti ini dapat dilihat dalam beberapa hadis Nabi sebagai berikut: suatu
ketika Nabi pernah bertanya kepada sahabat-sahabatnya tentang kata al-muflis
atau al-mu'sir6
Kata al muflis, secara harfiah berarti "bangkrut", tetapi yang dimaksud dalam
hadis ini bukanlah bangkrut dalam arti harfiah tersebut atau orang yang
6
Abu Husain Muslim bin Hajjaj (selanjutnya ditulis Muslim), Shahih Muslim, Juz. IV,
hlm. 197, Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, al-Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz. II. H. 303,334,
dan 371.
7
mengalami kejatuhan di bidang ekonomi sehingga tidak memiliki uang seperti
yang dipahami oleh sahabat-sahabat Nabi. Namun yang dimaksud al-muflis
menurut Nabi saw. ialah orang yang ibadahnya baik namun perilakunya tidak
terpuji. Dalam hal ini Nabi saw. menjelaskan di dalam hadisnya secara terperinci.7
2. Sebagian dari Hadis Nabi Memuat Pernyataan yang Musykil
Bila pada bagian di atas dijelaskan tentang munculnya kata yang sulit
dipahami (garib) pada matan hadis, maka pada bagian ini yang dimaksudkan itu
bukanlah dari segi kata perkata, melainkan rangkaian kata tersebut menjadi
sebuah pernyataan atau kalimat; dalam artian mungkin saja setiap kata yang
termaktub dalam kalimat itu memiliki makna yang jelas tetapi ketika kata tersebut
dirangkaikan menjadi sebuah kalimat, maka muncullah pernyataan yang samar
maknanya. Dan inilah yang dimaksudkan dengan musykil al-Hadis. Sebagai
contoh hadis yang menyatakan bahwa, "Allah Swt. akan turun pada dua pertiga
malam ..."8 Hadis ini, jika dipahami secara tekstual, maka dapat memberi kesan
bahwa Allah Swt. berada pada tempat yang tinggi di langit dan akan turun ke
tempat yang lebih rendah di bumi padahal Allah menurut doktrin teologi terlepas
dari ikatan ruang dan waktu. Karena itu, hadis ini harus ditakwilkan, sehingga
antara lain maknanya dapat dipahami bahwa Allah akan menurunkan rahmatnya
kepada orang yang beribadah pada dua pertiga malam.9
3. Adakalanya Sabda Nabi Berhubungan dengan kondisi Masyarakat Tertentu
Terkadang sebuah hadis sangat erat kaitannya dengan kondisi masyarakat
tertentu tetapi dalam hadis yang bersangkutan tidak dikemukakan secara ekplisit
hubungan tersebut. Munculnya hadis seperti ini sangat dimungkinkan terjadi pada
masa kenabian. Seumpamanya Rasulullah dalam suatu perjalanan bersama
sahabat menemukan sebuah kebiasaan, tradisi sebuah kelompok, masyarakat yang
berbeda dengan tradisi mereka sehingga Rasulullah mengomentarinya atau
7
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 7.
8
Muslim, Shahih, Juz. I. h. 521-522, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy,
al-Shahih, Juz. I., h. 200.
9
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 8.
8
didahului pertanyaan oleh sahabat akan pendapat Nabi akan hal itu atau
Rasulullah tetap berada di Madinah sedangkan ia melihat orang Madinah dari
kelompok yang berbeda atau dari penduduk Madinah sendiri melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan siaran Islam dan beliau mengomentari hal tersebut atau
Rasulullah mendengar berita atau informasi yang berasal dari daerah, wilayah
atau bangsa lain sehingga beliau mengomentari hal tersebut. Untuk kasus yang
terakhir ini dapat dilihat pada hadis Nabi tentang kepemimpinan seorang wanita;
"Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan - kepemimpinan -
mereka kepada seorang perempuan."10
Hadis ini menjelaskan secara harfiah bahwa masyarakat yang mengangkat
perempuan sebagai pemimpin mereka tidak akan mengalami kesuksesan. Dengan
memahami teks hadis tersebut, maka ulama Syafi'iyah mengharamkan perempuan
menjadi Hakim pengadilan pidana dan menjadi kepala negara. Abu Hanifah
membolehkan perempuan menjadi hakim pengadilan pidana, namun tidak
menjelaskan bagaimana perempuan menjadi kepala negara.11
Bagi ulama yang menghubungkan teks hadis tersebut dengan keadaan
sosial masyarakat pada zaman itu (dengan pendekatan sosio-historis), yakni
dengan memahami sabab al-wurud hadis tersebut, maka pengangkatan
perempuan menjadi pemimpin tidak salah sepanjang syarat-syarat kepemimpinan
terpenuhi. Menurut mereka, hadis tersebut diucapkan Nabi saw. setelah
mendengar peristiwa suksesi di Persia bahwa yang menggantikan Kisra di Persia
itu adalah seorang perempuan. Hal itu terjadi karena anak Kisra yang laki-laki
(putra mahkota) telah meninggal dunia akibat pertikaian perebutan kekuasaan
Kisra masih hidup.12
Ulama yang melihat hubungan hadis tersebut dengan kondisi masyarakat
pada zaman itu berpendapat bahwa hadis tersebut berlaku untuk masyarakat yang
belum menghargai kedudukan perempuan sejajar dengan laki-laki. Apabila suatu
saat perempuan telah menunjukkan kemampuan yang sama dengan kaum laki-
10
Bukhariy, al-Shahih, Juz. IV,h. 228, Ahmad, al-Musnad, Juz V. h. 38, 47.
11
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 9.
12
Ibid.
9
laki, maka kaum perempuan yang memenuhi syarat dapat saja diangkat sebagai
pemimpin masyarakatnya.13
Hadis seperti di atas barulah dapat dilakukan apabila hadis yang
bersangkutan dikaji hubungannya dengan sabab wurud-nya, baik sabab wurud itu
tercantum dalam teks matan yang bersangkutan maupun yang tidak tercantum
dalam teks.14
4. Adakalanya Petunjuk Sebuah Hadis Bersifat Umum dan Berhubungan Erat
dengan Keadaan Masyarakat Tatkala Hadis itu Terjadi.
Ada kecendrungan sekelompok umat Islam untuk menyamakan dan
mengidentikkan antara Islam dengan Arab dan mempertukarkan kedua istilah ini
secara bergantian pada tempat yang sama. Hal ini dimungkinkan karena wilayah
Arab adalah tempat lahir, tumbuh dan bersemayangnya agama Islam atau
sebaliknya. Sesuatu yang tidak terbantahkan bahwa Islam memang menjadi unsur
penting dan bahkan mungkin inti dari kebudayaan Arab. Kendati demikian Islam
dan Arab tidaklah identik. Arab adalah kebudayaan lokal dan partikular dibentuk
oleh ruang dan waktunya sedang Islam adalah ajaran yang diyakini bersifat
universal.15
Rasulullah adalah orang Arab, sehingga prilakunya sepenuhnya tidak
dapat dilepaskan dari sosio-historis ke-Arab-an yang melingkupinya. Atas dasar
itu dalam memahami sebuah hadis pemahaman atas hal ini menjadi suatu hal yang
sangat penting. Seperti salah contoh dari hadis Nabi berikut.
"Para pemimpin (harus) dari suku Quraisy ...."16
Secara harfiah, ulama memahami bahwa yang dapat diangkat sebagai
kepala Negara hanyalah orang dari suku Quraisy. Dalam sejarah Islam,
pandangan tersebut telah berlangsung berabad-abad. Pandangan-pandangan itu
13
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), hlm. 10.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ahmad, al-Musnad, Juz. III. H. 129, 183; Juz IV, hlm.422.
10
kemudian berubah setelah ulama menghubungkan sabda Nabi tersebut dengan
latar belakang masyarakat Quraisy di tengah-tengah masyarakat Arab.17
Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang mencoba memberikan
penafsiran lain dari hadis di atas. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan
hadis tersebut bukanlah etnis Quraisybsecara hakiki yang berhak menjadi kepala
negara melainkan kemampuan memimpin sebagaimana dimiliki oleh orang-orang
Quraisy terhadap masyarakat Arab, khususnya pada zaman Nabi saw. Jadi,
apabila di suatu saat masyarakat non-Quraisy memiliki kemampuan memimpin,
maka mereka dapat saja dipilih sebagai kepala negara.18
Sejalan dengan pendapat ibn Khaldun, beberapa abad yang silam ketika
terjadi fitnah al-Kubra (perang saudara), peristiwa kelam dalam sejarah
perjalanan umat Islam. Muncul sebuah aliran teologis yang bernama khawarij.
Kelompok ini dalam melihat persoalan kepemimpinan lebih demokratis dibanding
dengan aliran-aliran lainnya. Mereka berpendapat bahwa siapapun dapat saja
menjadi pemimpin - bukan hak proregatif Arab Quraisy- asalkan mampu
menjalankan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip syariat agama.19 Berbeda
dengan Khawarij, kelompok Syi'ah sangat ekstrim dan eksklusif dalam hal ini.
Mereka hanya mengakui kepemimpinan yang berasal dari ahl al-Ba'it, garis
keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah yang kemudian lebih populer dikenal
dalam konsep imamah20.
Berpandangan seperti ibn Khaldun dan Khawarij menjadikan hadis ini
tidak kehilangan makna dan akan tetap relevan untuk masa yang akan datang.
Bahkan sebenarnya, bila dilakukan kajian komprehensif (maudhuiy) terhadap
hadis dalam tema ini akan ditemukan sebuah hadis yang mendukung pendapat
Khawarij ataupun Ibn Khaldum yang berbunyi:
17
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 11.
18
Ibid., hlm. 12.
19
Lismanto, "Pemikiran Politik Sunni, Syiah, Khawarij dan Mu'tazilah" dalam
Kompasiana (11 Juli 2012).
20
Ibid.
11
“Keadilan dan kejujuran adalah ciri orang Quraisy sehingga bila hal itu hilang
dari mereka tidak ada ketaatan atasnya."21
5. Bahasa Memiliki Sejarah Perkembangannya.
Bahasa akan senantiasa berkembang seiring dengan budaya dan peradaban
dari penutur bahasa tersebut, merupakan sebuah pernyataan yang telah menjadi
kosensus pakar bahasa dan tak seorangpun menafikannya. Semakin maju sebuah
peradaban, semakin cepat pula perkembangan bahasa dari peradaban tersebut.
Sebuah masyarakat yang primitif dan terisolir umpamanya, tentu hanya mengenal
apa-apa saja yang ada disekitarnya walaupun di daerah yang lain terjadi
perkembangan pesat dalam berbagai sendi kehidupan manusia; ilmu pengetahuan,
tekhnologi, budaya, ekonomi, militer dan sebagainya. Namun hal itu tidak
memberikan dampak apapun bagi kehidupan mereka. Tetapi ketika mereka
membuka diri dan berinteraksi dengan peradaban tersebut, maka secara otomatis
mereka telah mengalami babakan baru perkembangan bahasa. Bahasa dan
peradaban bagaikan dua sisi mata uang logam yang memiliki sisi yang berbeda
namun sulit untuk dipisahkan.
Perkembangan bahasa seperti di atas berlaku pada semua bahasa tak
terkecuali bahasa Arab. Bila puluhan Abad yang silam, orang Arab akrab dengan
istilah-istilah sekitar gurun pasir, kering, pedalaman, watak keras dan lain
sebagainya. Itu disebabkan karena kondisi alam mereka yang membentuk dan
mempengaruhi kekayaan kosakata, sistem bahasa dan pemikiran mereka. Hal ini
senada dengan pandangan komunitas pakar bahasa yang menyatakan :
"Lingkungan bahasa dan budaya tempat seseorang dilahirkan akan menanamkan
prasangka-prasangka (given value) yang dengannya seseorang akan menafsirkan
pandangan dunianya. Di sini bahasa bukan hanya sekedar rentetan bunyi,
melainkan di dalamnya terkandung nilai dan tradisi yang terlembagakan yang
pada urutannya sangat berpengaruh bagi pembentukan visi dan ideologi seseorang
21
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz. II (Beirut: al-Maktabah al- Islami, 1978), h.
129, 183.
12
ataupun masyarakat. Jadi peristiwa kelahiran anak manusia sesungguhnya tidak
saja sebagai kelahiran biologis tetapi sekaligus juga sebuah kelahiran anak
kandung sebuah budaya, agama serta etnis."22
Sebuah kamus seperti Lisan al-Arab karya ibn Manzur yang hingga kini
masih diakui sebagai kamus terbesar, album dan bahkan ensiklopedia dengan
jumlah entri 80 ribu merupakan potret tentang kehidupan bangsa Arab puluhan
abad yang silam.23 Dan tentulah bila kamus ini menjadi acuan tanpa melakukan
analisis perkembangan makna kata- untuk memahami karya-karya ulama
kontemporer akan terjadi kesalahan dan reduksi, ataupun sebaliknya mencoba
mencari istilah modern dalam kamus itu, maka hal itupun sulit dilakukan.
Perkembangan bahasa berjalan seiring dengan perputaran roda kehidupan
manusia tidak hanya menghadirkan sesuatu yang positif tetapi juga menyisakan
berbagai permasalahan. Sebagaimana secara implisit tergambar di atas bahwa
ekspansi politik, budaya ekonomi dan sebagainya pada wilayah dan budaya yang
berbeda- sebagaimana terjadi pada periode Umar bin Khattab dan periode-periode
selanjutnya dan memcapai titik kulminasinya pada pemerintahan pada periode
Bani Abbasyiah (134-447 H), untuk yang terakhir ini khususnya dalam bidang
bahasa. Ketika terjadi alih ilmu pengetahuan oleh umat Islam non-Arab kemudian
diikuti ashr al-Tadwin; proyek pengkodifikasian secara massif berbagai disiplin
keilmuan, termasuk kamus-kamus bahasa Arab bercorak ilmu pengetahuan
mendahulukan makna aktual dari setiap kata, telah melahirkan generasi yang
tidak "mengakar" lose generation pada budaya dan peradabannya disatu sisi.
Sedangkan disisi yang lain bahasa agama; al-Quran dan al-Hadis tetap terpelihara
dalam penyeragaman dalam mushaf Usmani untuk yang pertama dan dalam kutub
al-Tis ah untuk yang kedua. Walaupun untuk yang kedua ini, pada masa takwin
al-Hadis lebih banyak diriwayatkan secara bi al-makna- sehingga terjadinya
22
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996), h.
23
Kutipan ini diambil percikan pemikiran beliau yang dikumpul oleh Ahmad Baso dalam
sebuah buku yang diberi judul: Post Tradisionalisme Islami (Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2000), h.
64.
13
kekaburan, kemusykilan, kegariban dan reduksi tidak terelakkan. Akhirnya, bila
seorang pengkaji tidak memahami secara baik bagian ini sejarah perkembangan
bahasa-, maka sangat dimungkinkan lahir pemahaman yang keliru.
Contoh kata "jihad" sebuah kata yang cukup popular dan sering digunakan
dewasa ini dalam makna sempit. Kata al-jihad senantiasa dikonotasikan pada
berbagai bentuk perlawanan umat Islam dengan aksi kekerasan dan anarkis
terhadap hal-hal yang dianggap bertentangan dan melecehkan Islam. Setiap kali
kata itu disebut gambaran pertama yang muncul dibenak orang adalah
peperangan. Padahal kata al-jihad bila ditelusuri penggunaannya dalam al-Quran
dan hadis dan berbagai kitab lainnya menyajikan makna yang variatif yang
semuanya bermuara pada makna adanya usaha keras, maximal dan sungguh-
sungguh oleh individu ataupun kelompok.
Menirukan kemudian mempresentasikan kembali suatu pernyataan yang keluar
dari mulut seseorang sesuai dengan ungkapan dan formasi setiap kata merupakan suatu
hal yang cukup sulit dilakukan. Hal ini dipengaruhi oleh sedikitnya tiga komponen
penting yang memiliki "dunia" masing-masing. Pertama, si Penutur, materi yang
dituturkan, dan yang terakhir si Pendengar. Ketiga komponen ini harus berada
pada satu titik kesamaan persepsi, kepaduan dan paralelisme. Bila salah satu dari
bagian ini tidak terpenuhi, maka hal itu sulit dilakukan.
Kondisi serupa juga terjadi pada hadis Nabi. Nabi sebagai penutur harus
memilih kata yang dikenal dan mudah dipahami. Begitu juga dengan materi hadis
yang disampaikan harus sedapat mungkin memilih bahasa efektif padat sehingga
tidak menyulitkan untuk merekam memiliki kecerdasan, keku untuk merekamnya.
Sedang si Pendengar harus memiliki kecerdasan, kekuatan hafalan dan
kemampuan bahasa Arab yang handal. Dalam sejarahnya, sebagian kecil hal ini
dapat terpenuhi dan sebagian besar yang lain tidak dapat terhindarkan seperti
sabda yang panjang, materi khutbah, tingkat kecerdasan dan kekuatan hafalan
sahabat yang bertingkat-tingkat dengan sistem kosa-kata bahasa Arab yang
menonjolkan sisi mutaradif (sinonim), menjadi sangat sulit untuk terjadi
keseragaman riwavat dan faktor yang lain karena diantara hadis Nabi terdiri dari
hadis- hadis fi'liyyah (akan dijelaskan secara rinci pada pembahasan selanjutnya).
14
Hadis Nabi tidak hanya diriwayatkan secara lafal tetapi juga secara makna.
Dengan mempelajari Ilmu Ma'ānī al-Hadis, maka kandungan petunjuk hadis akan
dapat dipahami sesuai dengan perkembangan sejarah Bahasa yang terdapat dalam
matan hadis.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kata ‘al-ma’ani adalah bentuk flural dari kata al-ma’n, berakar dari huruf-huruf
‘ayn, nun, dan harf mu’tal mengandung tiga arti: (1) maksud sesuatu; (2)
kerendahan dan kehinaan; dan (3) penampakan dan kemunculan sesuatu. Al-
Ma’na berarti suatu maksud yang muncul dan tampak pada sesuatu kata jika
diadakan pembahasan atasnya. Adapun kata al-Hadis, jamaknya al-Ahadis, al-
Hidsan dan al-Hudsan berakar dari buruf-huruf ha, dal, dan sa, memiliki banyak
arti, antara lain: (1) al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama); dan
(2) al-khabar (kabar atau berita).
2. Kegunaan Ilmu Ma‟anil Hadis: Mengetahui kemukjizatan Al-Qur‟an berupa segi
kebagusan penyampaian, keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, kefasihan
kalimat, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu.; Menguasai rahasia-rahasia
ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi‟ir maupun prosanya; bisa
membantu dalam memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami
hadis; untuk mengembangkan pemahaman hadis secara kontekstual dan progresif;
dan untuk melengkapi kajian ilmu hadits riwayah, sebab kajian haditsriwayah saja
tidak cukup.
3. Latar belakang pentingnya ma‟anil hadis: Sebagian dari hadis Nabi memuat kata-
kata yang sulit (garib); sebagian dari hadis Nabi memuat pernyataan yang
musykil; adakalanya sabda Nabi berhubungan dengan kondisi masyarakat
tertentu; adakalanya petunjuk sebuah hadis bersifat umum dan berhubungan erat
dengan keadaan masyarakat tatkala hadis itu terjadi; dan bahasa memiliki sejarah
perkembangannya.
B. Saran
Kami sadari bahwa makalah yang telah kami susun tentunya jauh dari kata
sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. Sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya kekeliruan ataupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Maka dari itu, kami selaku penulis mengharapkan agar sekiranya pembaca
16
berpartisipasi dalam memberikan gagasan, masukan ataupun kritik yang tentunya bias
menjadikan kami lebih baik lagi dalam penyusunan makalah.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad. 2013. Pengantar Ilmu Hadis. Surakarta:
Zadahaniva Publishing.
18
Tugas Kelompok
MAKALAH
Disusun oleh:
Kelompok 2
2019
KATA PENGANTAR
Penyusun,
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dr. Muhammad Ibnu ‘Alawi mendefinisikan ilmu ma’anil hadis sebagai ilmu
yang menjelaskan tentang upaya (menduga) kehendak/maksud hadis tersebut yang
pengurainya mendasarkan diri pada kaidah (linguistic) bahasa arab, prinsip-prinsip
stari’ah dan keserasian dengan hal ihwal Nabi Muhammad SAW.
Dengan pmbatasan tersebut maka ilmu ma’anil hadis menempatkan diri sebagai
perangkat (wasilah) untuk merumuskan makna (pengertian) yang langsung dapat
dipahami dari teks redaksi tersurat pada ungkapan hadis dan kehendak yang sebenarnya
dari ungkapan tersebut. Dan sesuai dengan definisi sebelumnya menjadi instrumen
dalam pengujian untuk mengontrol kedua variable makna tersebut (ma’na al-mafhum
dan ma’na al-murad).
2. Rumusan Masalah
1. Apa itu periwayatan hadis?
2. Apa dan bagaimana periwayatan hadis berdasarkan lafadz?
3. Apa dan bagaimana periwayatan hadis berdasarkan makna?
3. Tujuan
1. Untuk memahami maksud dari periwayatan hadis
2. Untuk memahami periwayatan hadis berdasarkan lafadz
3. Untuk memahami periwayatan hadis berdasarkan makna
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Periwayatan Hadis
Sebagai sebuah laporan atau kesaksian yang merekam segala sesuatu
yang berkenaan dengan diri Nabi saw, sebuah hadis harus melalui proses
kegiatan yang disebut periwayatan, yang merupakan kata serapan dari al-
riwayah atau riwayat al-hadis. Al-riwayah adalah masdar dari kata rawa yang
berarti penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas.
Sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti cerita. kisah dan berita.
(Noorhidayati: 2008, 13).
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan periwayatan hadis
adalah ‘kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis
itu kepada rangkaian periwayatnya dengan menggunakan istilah atau lambang
tertentu’.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan periwayatan hadis
adalah kegiatan menerima dan menyampaikan, seperti mempelajari dan
mengajarkan suatu hadis dengan rangkaian periwayat yang dipaparkan atau
jalur periwayatan yang disusun dengan bahasa dan bentuk tertentu.
Dalam mempelajari hadis kita mengenal 2 (dua) istilah yaitu sanad dan
matan. Untuk menetapkan shahih tidaknya suatu hadis dapat diketahui dengan
cara meneliti kedua hal tersebut di atas.
Sanad adalah rangkaian perawi yang dapat menghubungkan antara
matan suatu hadis dengan Nabi Saw. sedangkan matan adalah lafadz/ teks hadis
itu sendiri. Adapun seorang perasi menerima suatu hadis dari seseorang dan
menyampaikanny kepada orang lain dianamakn periwayatan.
Periwayatan sesuatu hadis dari seseorang dan menyampaikanya kepada
orang lain, terdiri dari dua hal, yaitu: periwayatan dalam bentuk lafadz dan
makna.1
الراوى حتمله الذي النحو على احلديث رواية فهي ابلفظ الرواية اما
او تقدمي او نقص او زايدة او تبديل او تغيري دون مسعه الذى وابلفظ
أتخري
“Adapun riwayat bi al-lafazhi adalah meriwayatkan hadisdengan
contoh yang dikemukakan oleh rawi dan dengan lafadz yang didengarnya
1
Burhanuddin Abd. Gani, “Periwayatan Hadis dengan Makna Menurut Muhadditsin”. Al-Mu’ashirah. Vol. 16
No. 1, Januari 2019, hal. 33.
5
tanpa peruhahan atau penggantian, penambahan atau pengurangan dan
(tanpa) mendahulukan atau mengakhirkan.” .
Golongan mutaqaddimin secara muthlak hanya membenarkan
periwayatan hadis dengan lafaz. Atau dengan kata lain, mereka tidak
membolehkan periwayatanhadis dengan makna. Di antara ulama yang
menekankan periwayatan hadis dengan lafaz dan menolak periwayatan
hadis dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan
Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadis kecuali
dengan lafaz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang
didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam
ejaannya. Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut
mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafaz yang Ekstrim”.Hadis Nabi yang
dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (ar-riwayah bi al-lafzh) oleh
sahabat Nabi sebagai saksi pertama, hanyalah hadis yang dalam bentuk
sabda (hadits qauliyyah), dan inipun sangat sulit dilakukan kecuali untuk
sabda-sabda tertentu. Selanjutnya ulama’ ahl al-hadits sepakat akan
keharusan periwayatan hadits secara lafaz untuk hadis –hadis berikut ini:
1. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutanpenyebutan nama-nama
Allah dan sifat-sifatn-Nya.Mereka memandangnya sebagai suatu hal
yang tauqifiydan tidak boleh diganti dengan atau kata lain walaupun
sepadan.
2. Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah
(ta’abbudiya) misalnya hadis-hadis do’a.
3. Hadis-hadis tentang jawami’ al-kalim, yakni ungkapanpendek sarat
makna yang mengandung nilai balaghohyang tinggi dan periwayatannya
secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan makna
hadis yang dimaksud.
4. Hadis-hadis yang berkaitan dengan lafaz-lafaz ibadah, misalnya hadis
tentang azan, iqamat, takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akad.
6
.(الرتمذي رواه
Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata:” Saya telah mendengar Nabi SAW
bersabda:” Semoga Allah Ta’ala menjadikan berseri-seri wajah seseorang
yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian dia menyampaikannya
sebagaimana yang dia dengarkan. Boleh jadi yang disampaikan lebih
memahami dari yang mendengar (langsung) “ (HR. Al-Tirmidzi)
Alasan lain adalah riwayat yang menyatakan bahwa nabi pernah
menegur Barra’ ibn ‘Azib ketika ia menukar lafaz رسولكdengan نبیكdalam
do’a tidur yang diajarkan nabi kepadanya. Selain itu, kelompok ini juga
mengajukan argumen aqli, antara lain :
1. Jika dibolehkan kepada perawi pertama menukar lafaz yang
didengarnya dengan lafaznya sendiri, maka perawi yang kedua tentu
juga boleh melakukan hal yang sama, dan demikian seterusnya pada
perawiperawi selanjutnya. Apabila hal ini dibolehkan, maka
kemungkinan hilangnya perkataan yang asli dari nabiakan lebih besar
terjadi, ataupun setidak-tidaknya akan terjadi kesenjangan dan
perbedaan yang luas antara ucapan yang diriwayatkan terakhir dengan
ucapan periwayat pertama.
2. Sering terjadi bahwa sebahagian dari ulama kontemporer menafsirkan
suatu ayat atau hadis yang sama sekali tidak cocok dengan penafsiran
yang dibuat oleh ulama terdahulu, jika riwayat hadis dengan ma’na
dibolehkan, maka hal serupa akan terjadi, yaitu tak terbendungnya
penyelewengan ucapan yang tidak disadari oleh perawi.2
2
Zailani, “Pengaruh Hadis Riwayat Bi Al-Na’na”. An-Nur. Vol. 4 No. 1, 2015, hal. 60.
3
Drs. M. Sayuthi Ali, M.Ag, “Periwayatn Hadis dengan Lafaz dan Makna”. Al-Qalam. No. 59/X/1996, hal. 22.
4
Zailani, “Pengaruh Hadis Riwayat Bi Al-Na’na”. An-Nur. Vol. 4 No. 1, 2015, hal. 63.
7
sahabat yang menyampaikan atau dalam artian redaksinya tidak sama persis
dengan apa yang disampaikan Rasulullah saw. tetapi, maksud dari hadis
tersebut sama saja.
5
Ibid.
6
Burhanuddin Abd. Gani, “Periwayatan Haditsdengan Makna menurut Muhadditsin”. Al-Mu’asirah. Vol. 16
No.1, Januari 2019, hal. 41.
8
sekali berdasarkan kepada Hadis Nabi sendiri, dan ada pula yang
membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu, dan ada lagi yang
membolehkannya hanya untuk periode tertentu saja. Tetapi yang jelas
bahwa periwayatan Hadis dengan makna telah berlangsung sejak masa
sahabat. Hal ini disebabkan oleb keterbatasan kemampuan manusia
dalam menghafal atau bila terjadi rentang waktu yang cukup panjang
antara waktu penerimaan Hadis dan waktu penyampaiannya.7
Adapun jumhur ulama yang memperbolehkan periwayatan hadis
berdasarkan makna dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Bahwa seorang perawi adalah orang yang mengetahui bahsa arab
dengan mendalam dan mengetahui pula arah tujuan semua ungkapan
dan seluk beluk Bahasa.
b. Bahwa seorang perawi mengetahui dengan benar lafadh yang dapat
merubah makna dan yang tidak.8
Bila kedua syarat tersebut di atas tidak ada maka periwayatan hadis
denganmakna tidak boleh.
Imam Asy Syafi’I menjelaskan tentang sifat perawi hadis, yaitu:
a. Hendaknya orang yang meriwayatkan hadis itu tsiqah dalam
agamanya
b. Ia terkenal benar atau jujur dalam pembicaraannya.
c. Mengetahui benar tentang hal – hal yang memalingkan makna dari
lafadh.
d. Hendaknya apa yang diriwayatkannya itu betul sebagaimana ia
mendenganya. Bila syarat-syarat tersebut ini tidak ada pada seorang
perawi maka dikhawatirkan ia akan dapat menghalalkan yang haram
atau sebaliknya.9
Pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan, selain
sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna, dengan
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Mengetahui pengetahuan bahasa Arab, agar terhindar dari
kekeliruan.
2. Periwayatannya terpaksa karena lupa susunan secara lafaz ataupun
harfiyah.
3. Yang diriwayatkan tersebut bukan bacaan yang sifatnya ta’abidi.
Seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadah serta berbentuk jawami
al-kalim.10
Alasan yang selalu dikemukakan oleh golongan yang membolehkan
periwayatan hadis bi al-ma’na adalah hadis yang diriwayatkan al-
Thabraniy yang berbunyi :
“Dari Sulaim bin Ukaimah al-Laitsi, ia berkata : saya bertanya kepada
Rasulullah Saw, ya Rasulullah sesungguhnya saya mendengar hadis
dari engkau, dan saya tidak sanggup menyampaikan sebagaimana yang
7
M. Sayuthi Ali, “Periwayatn Hadis dengan Lafaz dan Makna”. Al-Qalam. No. 59/X/1996, hal. 22.
8
Burhanuddin Abd. Gani, “Periwayatan Haditsdengan Makna menurut Muhadditsin”. Al-Mu’asirah. Vol. 16
No.1, Januari 2019, hal. 41.
9
Ibid.
10
Zailani, “Pengaruh Hadis Riwayat Bi Al-Na’na”. An-Nur. Vol. 4 No. 1, 2015, hal. 67.
9
aku dengar dari engkau, aku menambah satu huruf atau menguranginya
satu huruf, Rasulullah saw menjawab ; apabila tidak sampai
menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal, dan kamu
meriwayatkannya dengan makna, maka tidaklah mengapa.” (HR. Al-
Thabrani).
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya
diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun setelah
hadis-hadis terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu dalam
bentuk kitab mutun, maka tidak diperbolehkan merubahnya dengan
lafaz atau matan yang lain meskipun maknanya tetap.11
Yang berarti periwayatan hadis secara makna yang dimaksudkan
disini adalah terjadi sebelum masa pembukuan hadis. Sedangkan setelah
dibukukannya hadis, maka tidak boleh mengubah lafad dari hadis
tersebut.
Konsep riwayah bi al-ma’na, dikalangan umat Islam masih sering
dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa
setiap perbedaan redaksi pada hadis disebabkan oleh riwayah bi al-
ma’na. Sehingga menurut mereka, riwayah bil-ma’na itu mencakup
seluruh hadis yang membahas tema yang sama dengan menggunakan
redaksi yang berbeda. Maka, jika menemukan suatu hadis dengan
redaksi yang berbeda untuk satu tema, akan langsung dikatakan bahwa
hadis tersebut telah diriwayatkan secara makna.12
11
Ibid., 64.
12
Ibid., 65.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa,
1. Suatu kegiatan periwayatan hadis adalah kegiatan menerima dan menyampaikan,
seperti mempelajari dan mengajarkan suatu hadis dengan rangkaian periwayat yang
dipaparkan atau jalur periwayatan yang disusun dengan bahasa dan bentuk tertentu.
2. Periwayatan hadis berdasarkan lafaz hadis berarti meriwayatkan hadis persis dengan
apa yang sampaikan oleh Rasulullah SAW.. Ini adalah cara periwayatan yang paling
baik menurut mutaqaddim bahkan menolak periwayatan hadis secara maknawi.
3. Namun, pada beberapa pendapat masih membolehkan periwayatan hadis secara
maknawi. Sesuai namanya, periwayatan hadis secara maknawi berarti meriwayatkan
hadis sesuai dengan maknanya, sedangkan bahasa atau perkataannya tidak sama persis.
Periwayatan dengan cara seperti ini diperbolehkan oleh beberapa ulama, tetapi dengan
syarat-syarat tertentu seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
11
ILMU MA’ANIL HADIST
(DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEDUDUKAN
DAN FUNGSI HADIST TERHADAP AL-QUR’AN)
Bismillahirrahmanirrahim…
Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur atas kehadirat Allah swt. Yang telah
memberikan kita nikmat serta karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Ilmu Ma'ani al-Hadist dengan tema “Ilmu Ma'ani al-Hadist dalam hubungannya
dengan kedudukan dan fungsi hadist terhadap Al-Qur'an”. Dan tak lupa pula kita
kirimkan sholawat serta salam kepada junjungan kita Rasulullah Saw. Yang telah
menjadi Rahmatan lil ‘Alamin untuk kita semua.
Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu Ma'ani al-
hadist yang diberikan oleh dosen Dr. H. Mukhlis Mukhtar, DR., M. Ag. Serta
mengetahui lebih dalam penjelasan kedudukan hadist sebagai sumber hukum,
keteladanan, dan kerahmatan. Serta memahami lebih dalam fungsi hadist nabi sebagai
bayan tafsir, taqrir, dan tasyri'. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih dari
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
dapat membangun pekerjaan kami kedepannya. Kami juga berharap selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kelompok kami sendiri, khususnya
dalam memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan yang telah diterangkan Allah Swt.
Atas perhatian dosen yang bersangkutan kami mengucapkan terima kasih dan mohon
maaf sebesar-besarnya jika masih banyak kesalahan dalam makalah ini. Demikian yang
dapat kami sampaikan semoga bermanfaat bagi para pembaca dan dapat mengambil
pelajaran dari makalah ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penyusun,
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL………………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………... 1
A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………… 1
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN…...……………………………………………………. 3
A. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum, keteladan, dan
kerahmatan……………………………..……..…………………………… 3
B. Fungsi hadis nabi…………………………..……………………………… 4
1. Bayan tafsir………………………………………………………….. 4
2. Bayan taqrir………………………………………………………….. 5
3. Bayan tasyri’…………………………………………………………. 6
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hadits didefinisikan pada umunya oleh ulama seperti definisi Al-Sunnah yaitu
sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW, baik ucapan,
perbuatan maupun taqrir (ketetapan), Sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi
nabi atau sudah menjadi nabi. Ulama ushul fiqih membatasi pengertian hadits hanya
pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum";
sedangkan bila mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum,
maka ketiga hal ini mereka namai dengan sunnah. Pengertian hadits seperti yang
dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dan ketetapan-
ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang
kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Alquran merupakan
sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada
beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Alquran membicarakanya, atau Alquran
membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam
Alquran. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Alquran
tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits
sebagai tabyin atau penjelas dari Alquran atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder
atau kedua setelah Alquran
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hadist nabi sebagai sumber hukum, keteladanan, dan
kerahmatan?
2. Bagaimana fungsi hadist nabi sebagai bayan tafsir, taqrir, dan tasyri'?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis untuk menambah pengetahuan pembaca tentang Ilmu Ma'ani
al-Hadist dalam hubungannya dengan kedudukan hadist sebagai sumber hukum,
keteladanan, dan kerahmatan. Serta Makalah ini ditujukan untuk mengetahui dan
memahami lebih dalam fungsi hadist nabi sebagai bayan tafsir, taqrir, dan tasyri'.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
memerintahkan umat islam untuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya,
diantaranya dikemukakan sebagai berikut:
Ayat di atas di-taqrir oleh Sunnah riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah yang
berbunyi;
"Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-hanzaliy berkata dia telah
mengkhabarkan kepada kami 'Abdurrazaq berkata dia telah mengkhabarkan kepada
kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih bahwasannya dia telah mendengar Abu
Hurairah berkata: bersabda Rasul saw.; Tidak diterima salat seseorang yang berhadas
sebelum ia berwudu', berkata seseorang dari Hadramaut, apa itu hadas? Ya Abu
Hurairah, lalu beliau menjawab : buang angin (baik yang berbunyi atau tidak)". (H. R.
al-Bukhari).
Menurut sebagian ulama, bahwa bayan at-taqrir atau bayan at-ta 'kid ini disebut
juga dengan bayan al-muwafiq li nas al-Kitab al-Karim. Hal ini karena, munculnya
sunnah-sunnah itu sesuai dan untuk memperkokoh nas Alquran.
3. Bayan at-Tasyri’
5
At-Tasyri', artinya pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum.
Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri adalah penjelasan Sunnah yang berupa
mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-atauran syara'
yang tidak didapati nas-nya dalam Alquran. Rasul saw. dalam hal ini, berusaha
menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada
saat itu, dengan sabdanya sendiri.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Alquran. Alquran
akan sulit dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Alquran tanpa mengambil hadits
sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena
Alquran akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadist. Selain itu, sudah pasti bahwa
Allah swt telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah
yang berfungsi atau tugas antara lain menjelaskan Alquran, dipatuhi oleh orang-orang
yang beriman, menjadi uswah hasan ah, dan rahmat bagi sekalian alam. Oleh karena itu
jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan sumber ajaran Islam di samping al-
Qur'an.
7
DAFTAR PUSTAKA
8
ILMU MA‟ANI AL-HADIS
Disusun oleh :
AHMAD NUR AHMADI
30300116068
LENNY LESTARY INDAH
(30300119022)
SALFA ANGGELIA
(30300119004)
2021/2022
1
KATA PENGANTAR
ِ ِ ا َّرس ْس
وي ا َّرس ِ ِْسن تِ ِْسن
ف ألَ ْسًثِ َاء َّ ْسا ُوسْس َسلِ ْسيَ َعلَي َس ِّ ِدًَا ُه َح َّرود َ ْسا َح ْسو ُدهللِ َزبِّ ْسا َعااَ ِو ْسيَ ا َّر
ِ صالَجُ َّ ا َّر الَ ُم َعلَي أ ْسش َس
َّ َعلَي َاِ َِ َّأَ ْس َحاتِ َِ َ ْس َو ِع ْسي أَ َّرها تَ ْسع ُد
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah subhanahu wata‟ala, Tuhan Semesta Alam,
yang senantiasa dan tak pernah bosan mengurusi segala ciptaan-Nya. Dia-lah sang pemilik
segala urusan, pemberi rahmat dan karunia yang besar, serta pemilik adzab yang amat pedih
bagi hamba-hamba-Nya yang enggan tunduk dan patuh pada-Nya. Oleh karena itu, tak perlu
diragukan lagi bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah sementara. Maka dari itu, sudah
sepantasnya kita untuk mengoptimalkan waktu yang terbilang amat singkat tersebut, maka
marilah kita menanam benih-benih yang baik di ladang kehidupan yang fana ini agar kelak
Muhammad shallallahu „alaihi wasallam, penutup para Nabi dan Rasul, yang dimana atas
perjuangan beliau sehingga nikmat Iman dan Islam dapat kita rasakan hingga saat ini.
Melihat jejak rekaman sejarah yang dipenuhi jalan yang penuh dengan tanjakan dan berliku
ketika beliau berda‟wah menyebarkan Islam, tentunya menjadi generator semangat tersendiri
bagi setiap kaum muslimin dan muslimat untuk senantiasa berjuang dalam usaha pencapaian
kemaslahatan diri sendiri maupun kemaslahatan umat, sehingga tak mudah menyerah
ia tak boleh dilepaskan dari bimbingan Al-Qur‟an dan Hadis, serta sunah-sunnah Nabi.
Dalam menyelesaikan makalah ini, tentunya pemakalah tak terlepas dari arahan serta
2
yang senantiasa meningatkan kami untuk menuntut ilmu dengan cara yang baik dan benar.
Disamping itu, kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman yang telah
memberikan kami bantuan baik berupa perkataan maupun perbuatan yang membuat kami
Pemakalah menyadari bahwa makalah sederhana ini belum dan bahkan masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan sangat kami hargai
dan sangat diharapkan dalam rangka penyempurnaan makalah ini. Adapun kekurangan-
kekurangan yang ada pada makalah ini bukanlah karena unsur kesengajaan, namun
merupakan bukti keterbatasan ilmu yang pemakalah miliki. Hanya kepada Allah kita
mengharap ridha-Nya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Āmīn yā Rabb
al-‘ālamīn.
Pemakalah
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ 4
IRSYAD ......................................................................................................... 14
PENUTUP............................................................................................................... 15
KESIMPULAN .............................................................................................. 15
REFERENSI .................................................................................................. 16
4
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Al-Qur‟an dan Hadis Nabi merupakan sumber Agama Islam. Keduanya menggunakan
bahasa Arab dan keduanya hanya mengatur serta menyinggung hal-hal yang bersifat pokok,
tidak menyebutkan uraian teknis secara rinci. Padahal keduanya dimaksudkan mampu
menjadi rujukan semua persoalan kehidupan hingga akhir alam ini. Persoalan uraian teknis
secara rinci, diserahkan kepada para tokoh agama untuk mampu menjabarkannya.
Secara bahasa Ilmu Ma'ani Hadis terdiri dari tiga kata yaitu: ilmu ()علن, ma'ani
()هعاًىdan hadis () ديث. Ilmu berarti pengetahuan, Ma'ani adalah jamak dari makna yang
berarti arti. Jadi secara bahasa Ilmu Ma'ani Hadis ialah pengetahuan tentang arti hadis.
Sedangkan secara istilah Ilmu Ma'ani Hadis adalah ilmu yang berusaha memahami matan
hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya atau
Jika diteliti lebih lanjut Ilmu Ma'ani Hadis tidak termaktub dalam kitab-kitab ilmu
hadis. Karena sebenarnya Ilmu Ma'ani Hadis adalah bagian dari Ilmu Naqd al-Mutun (Ilmu
Kritik Matan), sehingga ilmu ini adalah sebuah bentuk terobosan baru dalam rangka
memahami hadis. Seandainya ada pertanyaan siapa tokoh yang pertama kali merumuskan
ilmu ini, maka jawabnya adalah tidak ada. Karena metode atau langkah-langkah yang ada
dalam ilmu ini sudah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu melalui syarah-syarah hadis.
RUMUSAN MASALAH
5
BAB II PEMBAHASAN
1. Akidah
ُ
ِ َس َ ْس َِس ُ َُ ِر ٍِ أل َّرهحُ َعلَى َالَ ٍث َّ َس ْسث ِع يَ ِسْس َحًة ُكلَُِّا ِ ْسي اٌَّر
از ِ َّر َّ ِ دَج
“Akan berpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya di Neraka
kecuali satu”
Kandungan :
Hanya satu golongan yang agamanya selamat dan manhajnya lurus serta aqidahnya
benar; karena mereka mengambilnya dari sumbernya yang suci dan mata airnya yang
tidak ada kekeruhan sama sekali. Mereka mengambilnya dari al-Qurân dan Sunnah
Nabinya Shallallahu „alaihi wa sallam, sehingga bagian yang mereka peroleh dalam
urusan aqidah dan seluruh urusan agamanya adalah keselamatan, ilmu, hikmah dan
kejayaan. Merekalah orang yang paling berhak dan pemilik hal-hal tersebut; karena
mereka mengambilnya dari sumbernya langsung yaitu kitab suci Rabb mereka dan
Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mereka, sehingga Allah Azza wa Jalla
syubhat tidak menerjang mereka. Mereka tidak cenderung untuk mengutamakan akal,
pemikiran, perasaan dan dan sejenisnya untuk mencari pengetahuan aqidah yang
benar. Mereka hanya bersandar kepada al-Qurân dan Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam.
6
2. Ibadah
. َّأَ ْسه يَ َد ْسي َ ِز ْسش َا يَا ْستيَ َآ َم! َ ُثَا ِع ْسدًِي، أَ ْسه َ َ ْسلثَ َ ِغ َّري، يَا ْستيَ َآ َم! َ َ َّرس ْس اِ ِعثِا َآ ِ ْسي: يَ ُْْس ُ َزتَّر ُ ْسن َثَا َز َ َّ َ َعااَى
Dari Ma‟qil bin Yasar Radhiyallahu „anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda “Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman,
„Wahai anak Adam!, fokuslah beribadah kepadaKu , niscaya Aku penuhi hatimu
dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!,
Jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi
Kandungan :
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang mulia, yang
berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun
lebih memenuhi janji daripadaNya, berapa dua jenis pahala bagi orang yang benar-
benar beribadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti memenuhi hatinya
dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki. Sebagaimana Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam juga memperingatkan akan ancaman Allah kepada orang yang
menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan
kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan. Dan semua mengetahui, siapa yang
hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati
oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki
oleh Yang Maha Memberi rizki dan Mahaperkasa, niscaya ia tidak akan pernah
merasa kekurangan. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh
membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Mahaperkasa dan Maha
7
3. Muamalah
ة َّ ْسا ِ َّر حُ تِ ْساا ِ َّر ِح َّ ْساثُسُّ تِ ْسااثُ ِّس َّ ا َّرل ِع ُس تِاا َّرل ِع ِس َّ ا َّر ْسو ُس تِاا َّر ْسو ِس َّ ْسا ِو ْسل ُ تِ ْساا ِو ْسل ِ ِه ْسالًة تِ ِو ْس ٍث
ِ َُا َّررَُةُ تِاا َّرر
يَ ًةد تِ َ ٍثد َ َو ْسي َش َآ أَ ِّ ْسس َ َص َآ َ َ ْسد أَزْس تَى ا ِآل ُر َّ ْسا ُو ْسع ِطى ِ َِ َس َْ ٌءء
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya‟ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya‟ir, kurma dijual dengan
kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus
sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan,
maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang
Kandungan :
Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi (emas, perak, gandum, sya‟ir,
kurma dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi.
Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan
memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama-misalnya kurma
dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum-, maka akad tersebut
penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi
dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan
akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Pembahasan ini akan masuk riba jenis
8
Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan
takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Jika dilebihkan, maka
terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka jual beli di atas
tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram.
4. Akhlak
ِ َّرى ِه ْسي أَ َ ثِّ ُ ْسن ِاَ َّري َّأَ ْس َستِ ُ ْسن ِهٌِّي َهجْس لِ ًةا يَْْس َم ا ِ َا َه ِح أَ َ ا ِسٌَ ُ ْسن أَ ْسآل َال ًةا
Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat
duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di
antara kalian.
Kandungan :
Termasuk di antara keindahan ajaran agama Islam adalah agama ini mendorong
umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang luhur. Dan sebaliknya,
agama ini melarang umatnya dari akhlak-akhlak yang buruk. Salah satu keutamaan
jika memiliki akhlak yang baik adalah dekat dengan Nabi. Dekat dengan nabi adalah
salah satu nikmat yang luar biasa. Sebab akan dijauhkan dari neraka.
9
KETETAPAN HUKUM
muncul dalam masyarakat kontemporer karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa
pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-
teks yang menjadi landasan ajaran Islam yakni al-Quran dan hadis. Para ulama mengakui
kedudukan hadis yang menempati posisi kedua setelah al-Quran karena beberapa argumen
sebagai berikut :
1) Al-Quran bersifat qath‟iyul wurud baik ayat per ayat maupun secara
keseluruhan, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadis yang statusnya
2) Hadis memiliki fungsi sebagai sebagai penjelas dan penjabar (bayan) terhadap
al-Quran. Hal ini berarti bahwa kedudukan al-mubayyan (al-Quran) tentu lebih
3) Sikap para sahabat yang merujuk kepada al-Quran terlebih dahulu apabila
mereka bermaksud mencari solusi atas sebuah masalah. Jika di dalam al-
4) Hadis Muaz bin Jabal secara gamblang dan tegas menegaskan urutan posisi al-
عل َ ّسلن ا لى ْث ٌح زس ا إى ان جد ي ك اب ا ي ت اب اء ا أ
10
menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau: “Bagaimana bila tidak
Sunnah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan
tidak akan mundur…”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam
hierarki sumber ajaran Islam. Kehujjahan hadis ini tidak dapat mengurangi
hakikatnya kedua sumber ini adalah seiring dan sejalan, bahkan dalam
beberapa ayat disebutkan kewajiban bersikap tunduk dan patuh terhadap Allah
dan Rasul-Nya dan kepatuhan kita kepada Rasul-Nya adalah bukti atas
kepatuhan kita kepada Allah. Hal inilah yang menjadi sebuah kewajiban
AL-TARGIB AL-TARHIB
A-Targib adalah hadis-hadis Nabi Muahmmad shallallahu alaihi wa sallam mengenai hal-hal
yang layak diperoleh dan diamalkan oleh seorang muslim serta konsekuensi baiknya.
Sedangkan Al-Tarhib adalah hadis-hadis Nabi yang menjelaskan hal-hal yang patut dijauhi
oleh seorang muslim serta konsekuensi tidak baiknya jika didekati atau dilakukan.
Akidah (Al-Tahrib)
11
dalam ash-Shahîhah 203
ُ
ِ َس َ ْس َِس ُ َُ ِر ٍِ أل َّرهحُ َعلَى َالَ ٍث َّ َس ْسث ِع يَ ِسْس َحًة ُكلَُِّا ِ ْسي اٌَّر
از ِ َّر َّ ِ دَج
Akan berpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya di Neraka
kecuali satu”
Hadis Al-Targib : Dari hadis tersebut Nabi shallallahu alaihi wassallam mengatakan
bahwa akan ada perpecahan kelompok umat dizaman setelahnya akan tetapi menjadi
berita kegembiraan untuk satu kelompok ummat yang berpegang teguh kepada al-
Qur‟an dan hadis. Bila ummat ingin selamat dunia akhirat, maka mereka wajib
mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
para shahabatnya.
Ibadah
. َّأَ ْسه يَ َد ْسي َ ِز ْسش َا يَا ْستيَ َآ َم! َ ُثَا ِع ْسدًِي، أَ ْسه َ َ ْسلثَ َ ِغ َّري، يَا ْستيَ َآ َم! َ َ َّرس ْس اِ ِعثِا َآ ِ ْسي: يَ ُْْس ُ َزتَّر ُ ْسن َثَا َز َ َّ َ َعااَى
Dari Ma‟qil bin Yasar Radhiyallahu „anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda “Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman,
„Wahai anak Adam!, fokuslah beribadah kepadaKu , niscaya Aku penuhi hatimu
dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!,
Jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi
Hadis Al-Targib wa Al-Tarhib : Ini adalah Hadis Dari Nabi Muhammad Shallallahu
keburukan yang akan menimpa seorang muslim jika berpaling dari Allah Ta‟ala.
12
Muamalah
ة َّ ْسا ِ َّر حُ تِ ْساا ِ َّر ِح َّ ْساثُسُّ تِ ْسااثُ ِّس َّ ا َّرل ِع ُس تِاا َّرل ِع ِس َّ ا َّر ْسو ُس تِاا َّر ْسو ِس َّ ْسا ِو ْسل ُ تِ ْساا ِو ْسل ِ ِه ْسالًة تِ ِو ْس ٍث
ِ َُا َّررَُةُ تِاا َّرر
يَ ًةد تِ َ ٍثد َ َو ْسي َش َآ أَ ِّ ْسس َ َص َآ َ َ ْسد أَزْس تَى ا ِآل ُر َّ ْسا ُو ْسع ِطى ِ َِ َس َْ ٌءء
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya‟ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya‟ir, kurma dijual dengan
kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus
sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan,
maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang
transaksi atau barter terkait komoditi ribawi. Barangsiapa menambah atau meminta
tambahan, maka ia telah berbuat riba. baik yang memberi ataupun yang menerima
sama-sama berdosa.
Akhlak
ِ َّرى ِه ْسي أَ َ ثِّ ُ ْسن ِاَ َّري َّأَ ْس َستِ ُ ْسن ِهٌِّي َهجْس لِ ًةا يَْْس َم ا ِ َا َه ِح أَ َ ا ِسٌَ ُ ْسن أَ ْسآل َال ًةا
Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat
duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di
antara kalian.
Hadis Al-Targib : Hadis ini tergolong hadis Al-Targib karna berisi berita gembira
dan pahala. Salah satu keutamaan berakhak yang baik adalah bisa dekat dengan
13
IRSYAD
pada bidang pendidikan Islam, berbeda dengan pondok pesantren yang menekankan
penghafalan, masalah teologi dan hukum, Al-Irsyad menggunakan sistem pendidikan dan
memahami ajaran Islam yang koprehensif dengan baik, seperti membaca hadis dari kitab asli
berbahasa Arab sehingga tahu bagaimana teks hadisnya, bagaimana status hadis tersebut,
siapa periwayatnya dan lain-lain sehingga apa yang dikerjakan tidak menyalahi sabda
rasulullah dan agar tidak menjadi pengikut taqlik buta atau memakan mentah-mentah tanpa
tahu kebenarannya. Segala bentuk aktivitas hidup dan kehidupan umat Islam selalu
berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Hadits yang penekanannya pada aqidah ketauhidan, guna
mewujudkan pribadi Muslim dan masyarakat Islam menuju keridhoan Allah Ta‟ala
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dapat disimpulkan
bahwa secara umum pendidikan Al-Irsyad merupakan sarana pembentukan watak, cita-cita
dan kemauan serta mengarahkannya kepada ajaran yang benar seperti yang digariskan dalam
14
PENUTUP
KESIMPULAN
Selain al-Qur‟an, hadis juga merupakan rujukan pokok bagi umat Islam, yang memuat
berbagai solusi kehidupan, baik masalah peribadatan, tauhid, akhlak, muamalah, dan
sebagainya. Dan untuk bisa memahaminya dengan baik, tentunya kita perlu untuk
mengetahui bahasa hadisnya, dan mengetahui status hadist tersebut shahih atau tidak. Hal ini
adalah salah satu sebab terpenting bagi kita untuk mengerti bahasa Arab yaitu bahasa hadis.
Dibandingkan mendengar dari seseorang, tentu kita akan lebih merasa yakin jika bisa
membaca sendiri kitabnya yang berbahasa Arab bukan hanya terjemahan. Oleh karena itu,
seiring dengan perkembangan teknologi yang ada pada masa sekarang, ada baiknya meneliti
hadis dengan keilmuan yang sedang berkembang, baik itu ilmu kealaman, ilmu social,
ekonomi, dan lain sebagainya. Hal ini akan mendapatkan dua keuntungan, yang pertama,
hadis akan semakin terbukti keotentikannya. Setelah diteliti dengan berbagai peralatan yang
berhubungan dengan „ulum al hadis, tenyata hadis juga sesuai dengan realitas yang ada
bahkan hingga sekarang. Hal ini merupakan sesuatu yang menakjubkan. Dan yang kedua,
bagi masyarakat pada umumnya, akan menambah keyakinan akan keakuratan hadis yang
dapat diterima sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga diharapkan hadis akan benar-
15
REFERENSI
https://muslim.or.id/40677-keutamaan-berhias-dengan-akhlak-mulia.html
carihadis.com
media.neliti.com
http://infokumpulbagi.blogspot.com/2015/12/makalah-al-targhib-dan-al-
tarhib.html?m=1#:~:text=Kitab%20At-Targhib%20wa%20At-
Tarhib%20adalah%20kitab%20yang%20membicarakan,orang%20yang%20tidak%20taat%2
0kepadanya
http://digilib.uin-suka.ac.id/4095/
http://napek-cahpesisir.blogspot.com/2009/12/ilmu-maani-hadis_7912.html?m=1
16
ILMU MA‟ANI AL-HADIS
2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah subhanahu wata‟ala, Tuhan Semesta Alam,
yang senantiasa dan tak pernah bosan mengurusi segala ciptaan-Nya. Dia-lah sang pemilik
segala urusan, pemberi rahmat dan karunia yang besar, serta pemilik adzab yang amat pedih
bagi hamba-hamba-Nya yang enggan tunduk dan patuh pada-Nya. Oleh karena itu, tak perlu
diragukan lagi bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah sementara. Maka dari itu, sudah
sepantasnya kita untuk mengoptimalkan waktu yang terbilang amat singkat tersebut, maka
marilah kita menanam benih-benih yang baik di ladang kehidupan yang fana ini agar kelak
Muhammad shallallahu „alaihi wasallam, penutup para Nabi dan Rasul, yang dimana atas
perjuangan beliau sehingga nikmat Iman dan Islam dapat kita rasakan hingga saat ini. Melihat
jejak rekaman sejarah yang dipenuhi jalan yang penuh dengan tanjakan dan berliku ketika
beliau berda‟wah menyebarkan Islam, tentunya menjadi generator semangat tersendiri bagi
setiap kaum muslimin dan muslimat untuk senantiasa berjuang dalam usaha pencapaian
kemaslahatan diri sendiri maupun kemaslahatan umat, sehingga tak mudah menyerah
ia tak boleh dilepaskan dari bimbingan Al-Qur‟an dan Hadis, serta sunah-sunnah Nabi.
Dalam menyelesaikan makalah ini, tentunya pemakalah tak terlepas dari arahan serta
nasehat-nasehat dosen pembimbing bapak DR.Mukhlis Mukhtar M.Ag, sehingga kami sebagai
senantiasa meningatkan kami untuk menuntut ilmu dengan cara yang baik dan benar.
Disamping itu, kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman yang telah
2
memberikan kami bantuan baik berupa perkataan maupun perbuatan yang membuat kami lebih
Pemakalah menyadari bahwa makalah sederhana ini belum dan bahkan masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan sangat kami hargai dan
yang ada pada makalah ini bukanlah karena unsur kesengajaan, namun merupakan bukti
keterbatasan ilmu yang pemakalah miliki. Hanya kepada Allah kita mengharap ridha-Nya,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Āmīn yā Rabb
al-‘ā lamīn.
Pemakalah
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 5
HADIS DILIHAT DARI KEJELASAN MAKNA ........ Error! Bookmark not defined.
HADIST DILIHAT DARI KEPADATAN MAKNA .... Error! Bookmark not defined.
4
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hadis Nabi merupakan salah satu sumber ajaran Agama Islam. yang menggunakan
bahasa Arab dan mengatur serta menyinggung hal-hal yang bersifat pokok, tidak menyebutkan
uraian teknis secara rinci. Hadist dan Al-Qur’an adalah rujukan semua persoalan kehidupan
hingga akhir alam ini. Persoalan uraian teknis secara rinci, diserahkan kepada para ulama untuk
mampu menjabarkannya.
Secara bahasa etimologi, ma‘anil merupakan bentuk jamak dari kata ma‘na yang
berarti makna, arti, maksud, atau petunjuk yang dikehendaki suatu lafal.Ilmu Ma‘ani al
Hadisth secara sederhana ialah ilmu yang membahas tentang makna atau maksud lafal hadis
Secara terminology, Ilmu Ma‘ani al Hadisth ialah ilmu yang membahas tentang
prinsip metodologi dalam memahami hadis Nabi sehingga hadis tersebut dapat dipahami
maksud dan kandungannya secara tepat dan proporsional. Ilmu Ma‘ani al Hadisth juga
dikenal dengan istilah Ilmu fiqh al-Hadisth atau Fahm al-Hadisth, yaitu ilmu yang
RUMUSAN MASALAH
5
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk memudahkan dan memperjelas makna yang dikandung oleh sabdanya, maka
Salah satu gaya bahasa yang biasa digunakan dalam menyampaikan pesan agar mudah
dipahami adalah dengan mengulang-ulang kata atau pernyataan yang dinilai penting dan
menjadi kata kunci atau repetisi. Pengulangan kata atau pernyataan tersebut sering kali
ditemuka dalam materi pidato dan khutbah. Salah satu momentum yang digunakan rosulullah
dalam menyampaikan pesan atau mengwurudkan haditsnya adalah melalui khutbah, pidato,
ceramah, dan semacamnya. Karena itu, gaya bahsa yang digunakan hadits Nabi saw, juga
Salah satu kata atau pernyataan yang temukan dalam hadits nabi adalah tatkala beliau
menyampaikan pidato pada haji wadah, beliau mengulang kata ittaqun nisaa. Demikian juga
6
Artinya :
Dari abu ali tsumamah bin syufayy bahwasannya dia telah mendengar, uqbah bin amir
berkata, saya telah mendengar rosulullah saw,di atas mibar berpidato ( menjelaskan qs. Al-
anfal:60: dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk mengahadapi mereka dengan
kekuatan yang kamu miliki. Ketahuilah bahwa al-quwwah (kekuatan) itu adalah kekuatan
Jukan mencermati kata al-ramyu pada masa nabi adalah alat yang digunakan sebagai senjata
untuk melawan musuh. Dengan demikian al-ramyu dapat diartikan sebagai kekuatan militer.
Ini umat islam harus mengutamakan kekuatan militer disamping kekuatan lain untuk mencapai
kemenangan.
Salah satu bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu agar mudah dipahami oleh
audiens adalah dengan mengguanakan bahasa perbandingan yang logis atu analogi. Yakni,
membandingkan sesuatu dengan yang lain secara logis. Gaya bahasa perbandingan, antara lain
digunakan untuk menjelaskan kasus atau peristiwa yang memiliki hubungan yang logis .
misalnya, kasus seorang bapak yang tidak mengakui anaknya karna kulitnya berbeda dengan
kulit anak yang dilahirkan istrinya , lalu nabi saw. Menjelaskan dengan memmbanding kan
dengan anak-anak unta yang tidak selamanya sama dengan kulit induknya. Hadits nabi saw.
Berbunyi:
Artinya;
7
Dari Abu Hurairah bahwasannya ada seorang laki-laki arab (dari bani fazarah) mengadu
kepada nabi. Dia berkata: “sesungguhnya istri saya telah mengandung seorang anak laki-
laki,kulitnya hitam saya menyangkalnya (karena kulitnya berbeda sekali dengan kulit
saya)lalu nabi saw,bertanya: apakah kamu mempunyai beberapa unta.? Orang itu
warnakulinya abu-abu…? Dia menjawab: sesungguhnya diantaranya ada unta yang berkulit
abu-abu,” beliau bersabda:.”maka sesungguhnya saya menduga juga (bahwa unta merah
milikmu itu) datang ( berasal) darinya ( unta yang bekulit abu-abu tersebut) orang itu berkata:
“ya rosulullah, keturunan ( unta merah ku itu) berasal darinya (unta yang berkulit abu-abu
tesebut).” Nabi lalu menyatakan masalah anakmu yang berkulit hitam itu) semoga berasal
juga dari keturunan ( nenek moyangnya); dan beliau tdak membiarkan orang itu mengingkari
Secara tekstual matan hadits dalam bentuk ungkapan analpgi tersebut menyatakan
bahwa ada kesamaan antara Ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjandinya
perbendaan kulit antara anak dan ayah dapat disebapkan oleh warna kulit yang berasal darai
nenek moyang bagi anak tersebut .ketentuan demikian itu, bersifat universal. Ungkapan
Dari contoh hadits nabi di atas, dapat dinyatakan bahwa pemahaman secara tekstual
terhadap hadits yang memuat gaya bahasa perbandingan atau analaogi dapat dipahami dengan
pendekatan filosofis karena memuat pernyataan yang sangat logis dan mudah dipahami.
c.) Tamtsil
8
Bahasa tamtsil atau gaya personifikasi juga digunakan dalam hadits nabi. Misalnya ,
Artinya:
Nu’man bin basyir berkata, rosulullah saw bersabda: prumpamaan bagi orang-orang yang
beriman dalam hal belas kasih, saling mencintai ,dan saling menyayangi antara mereka
adalah seperti tubuh. Apabila ada tubuh yang mengeluh karena sakit, seluruh tubuh akan
merasakan keluhan, sehingga tidak bisa tidur karena rasa deman.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Teks hadits tersebut berbentuk tamtsil yaitu menggambarkan sesuatu yang abstrak dengan
sesuatu yang kongkret sehingga pemahaman itu menjadi lebih dekat pada suatu realitas.
Hadits di atas mengandung ajaran islam yang menengkankan bahwa persaudaran antar murlim
terikat oleh kesamaan iman. Ajaran tersebut bersifat universal. Salah satu buktinya adalah
rasa perhatian yang ditunjukan oleh umat islam di indonesia dan di negara-negara lainnya atas
nasib buruk yang menimpah umat islam di bosnia Herzegovina. Walaupun mereka tidak satu
bangsa dan tanah air, namun penderitaan mereka sama-sama rasakan, karena mereka terikat
kesaan iman.
Artinya:
9
“sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara; dan karenanya, demikianlah antara kedua
Hadits nabi juga di atas di kuatkan oleh hadits nabi yang lain dengan menggunakan gaya
Artinya:
Abu musa al-asyari, katanya nabi saw telah bersabda: “orng mukmin terhadap orang
mukmin lainya ibaratkan bangunan,bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya
sambil bertelekan (menjalinkan jari-jari tangannya)” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Hadits nabi tersebut mengemukakan tamtsil bagi orang-orang yang beriman sebagai
bangunan. Tamtsil tersebut sangat logis dan berlaku tampa terikat oleh waktu dan tempat sebab
Demikian pula seharusnya orang-orang yang beriman yang satu memperkokoh bagian yang
lainnya dan yang satunya tidak berusaha untuk menjatuhka.perilaku umat islam yang
mengakibakan tercederanya persatuan dan atau tercerai berai menunjukkan bahwa perilaku
Hadits tersebut tidak menekankan bahwa umat islam harus menghindari kehidupan
polotik karena khawatir terpecah belah.tetapi, hadits tersebut menunjjukan arti yang bersifat
umum. Artinya umat islam atau beriman dalam konteks apapun harus tetap menjaga persatuan
10
d.) bahasa simbolik
sebagaimana halnya di dalam al-quran di dalam hadits nabi juga dikenal dengan
ungkapan yang berbentuk simbolik. Bahwa Penetapan suatu ayat ataupun suatu hadits
simbolik .sedangkan, bagi mereka yang menggunakan interpretasi intertekstual dan atau
Berikut ini ditemukan slah satu ungkapan hadits yang mengandung ungkapan yang simbolik,
Artinya:
Dari abdullah ibnu umar bertanya.: kaanya la-dajjal itu diperbincangkan di sisi rosulullah saw.
Kemudian beliau bersabda; “ sesungguhnya allah sudah sangat jelas bagi kalian (tidak ada
yang serupa dengan-nya) dan sesungguhnya allah tidak buta sebelah mata. Dan beliau
menunjuk matanya. Ketahuilah, sesungguhnya al- dajjal itu buta matanya sebelah kanan,
Didalam berbagai kitab syarah hadits dijelaskan bahwa dajjal adalah mahluk yang gambaran
fisiknya antara lain sebagaiman yang disebutkan oleh berbagai matan hadits nabi, buta sebelah
mata kanannya dan diantara dua matannya tertulis kata “kafir”. Pemahaman demikian
11
Menurut syuhudi ismail. Pernyataanya bahwa allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan
simbolik. Allah maha suci dari segala sifat yang menyamakannya dengan mahluk. Ungkapan
Demikian pula halnya, pernyataan bahwa dajjal itu buta matanya sebelah kanan merupakan
ungkapan simbolik. Bahkan, diri dajjal juga merupakan ungkapan simbolik. Yakni, keadaan
yang penuh ketimpangan para penguasa pada saat itu berikap alim, kaum du’afa tidak
diperhatikan, amanah dikhianati dan berbagai kemaksiatan lainya telah melanda titengah-
tengah masyrakat. Pemahaman yang digunakan syuhudi ismail adalah pemahamn dengan
Sejalan dengan syuhudi ismail, syekh muhammad al-gazhali memahami kata dajjal di
dalam hadits tersebut sebgai salah seorang pemimpin kaum yahudi, termasuk para ahli mereka
yang terbesar. Dalam dirinya termanifestasi jiwa kaum yahudi yang terputus hubungannya
menilai sosok dajjal itu dari kalangan yahudi, sementara syuhudi menilai berasal dari kalangan
Jika menghubungkan redaksi innallaha laisa bi a’wara “sesungguhnya allah tidak buta
sebelah matanya,” di dalam matan hadits di atas dengan firman allah swt. Qs.al-Syura/42:11
dan dia maha mendengar dan maha melihat,” maka dapat dinyatakan bahwa tidak patut
diserupan dengan mahluknya, termasuk dajjal. Tetapi, dia adalah maha mendenga dan maha
melihat sehingga dia adalah maha adhil. Berbeda dengan dajjal, dia disebutkan
Artinya; dajjal bukanlah mahluk yang maha melihat seperti allah swt. Sehingga dia berbuat
kejam, dan zhalim sangat tidak adhil. Dinyatakan demikian karena jika frase innallaha laisa
12
bi a’waru membutuhkan ta’wil maka harusnya sebagai sabda kenabian (sabda rosulullah
simbolik.
Dengan demikian hadits di atas merupakan salah satu bentuk atau gaya bahasa
simbolik yang digunakan oleh rosulullah saw,dalam berbagai sabdanya. Dengan memahami
hadits tersebut secara simbolik, bahwa allah maha adhil dan dajjal tidak maha adhil atau kejam
dan zhalim. Maka kandungan hadits tersebut sejalan dengan doa yang diajarkan oleh rosulullah
Artinya:
Nashr bin ali al-jahdhami,bin numayr,abu kurayb,dan juhar bin harb, telah menceritakan
kepada kami,semuanya menyatakan dari waki_kata abu kurayb, waki telah menceritakan
bahwa al-auza’I telah menceritak dari hasan bin’atyyah dari muhammadin bin aby aisyah dari
aby hurayrah ;dan dari yayah bin abi katsir dari abi salmah dari aby hurayrh berkata, rosulullah
saw,telah bersabda: “apabila kalian membaca tasyahhudmaka mintalah perlindungan dari allah
pada empat hal, lalu belau bersabda: “ ya allah aku berlindung kepadamu dari ajab
neraka jahannam ,dari ajab kubur,dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah
Seperti halnya dengan manusia lainnya,nabi saw ,juga hidup di tengah- tengah
masyarakat, karenanya cukup banyak matan hadits nabi yang berbentuk percakapan (dialog)
dengan anggota masyarakat . hadits nabi yang berisi dialog, antara lain sebagai berikut.
13
Hadits tentang amalan yang paling utama
Hadits nabi tentang hal itu memiliki matan yang berbeda-beda. yakni: Artinya:
Dari abdullah bin umar r,a., bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada rosulullah
saw,: amalan islam yang manakah yang lebih baik.? Nabi menjawab: “kamu memberi
makan dan menyebarkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”
Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah
satu ajaran islam yang bersifat uviersal .namun, dalam hal sebagai “ amalan yang lebih baik”,
maka hadits tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadits
lainya yang memberi petunjuk tentang amalan yang lebih baik, namun jawaban nabi berbeda-
beda . hadits-hadits yang dimaksud adalah sebagaimana yang dikutip berikut ini.
Artinya:
Dari abu musa r,a, katanya mereka (paran sahabat nabi) bertanya: “ya rosulullah, amalan islam
yang manakah yang lebih utama.?” Beliyau menjawab: “(yaitu) orang yang kaum muslimin
selamat dari (gagguan ) mulutnya dan tangannya “ (H.R.Jamaah kecuali Abu Dawud.)
Kata khairu dan afdolu memang berbeda maknanya, namun yang dimaksud dalam dialog
tersebut terdapat unsyur yang sama, yakni pertanyaan yang menanyakan amal yang paling
14
utama yang dianjurkan oleh islam.yaitu: belau menjawab: beriman kepada allah dan rosulnya,
berjuhad dijalan allah, dan haji yang mabrur. (h,r. bukhari ,muslim ,al-tirmidzi, al-darimi ,dan
ahmad.)
Dan amlam apakah yang disukai oleh allah, dan nabi menjawab. Yaitu: shalat tepat pada
waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad dijalan allah. (h.r. bukhari, muslim,al-
Dari keempat matan hdits yang dikutip diatas dapatlah dipahami bahwaamal yang
termasuk lebih utama tau lebih baik itu ternyata bermacam- macam. Hadits-hadits tersebut
dapat pula dipahami bahwa pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada) ternyata dapat saya
subtantif. Yang subtantif, ada dua kemungkinan ,yakni (a) relevensi antara keadaan orang
yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan. (b) relevensi antara keadaan kelompok
masyarakat tentu dengan materi jawabn yang diberikan. Dengan demikian , jawaban nabi atas
pertanyaan yang sama (senada) itu bersifat temporal, tepatnya kondisional dan bukan
universal.
pisikologi. Yakni, nabi saw, memberikan jawaban atas pertanyaan- pertanyaan amal yang
Salah satu gaya bahaa yang digunakan rosulullah saw. Di dalam menyampaikan
pesan-pesannya atau haditsnya agar lebih mudah dipahami adalah memperkuat pernyataan
belau dengan menggunakan contoh yang mudah dipahami, misalnya, hadits nabi berbunya:
15
Artinya:
Abu musa al-asyari, katanya, nabi saw telah bersabda:” orang mukmin dan orang mikmin
lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya sambil
Bagi orang yang beriman juga nabi saw. Menjelaskan hadits tersebut dengan mengikuti
contoh praktis. Yakni bangunan yang kokoh bagaikan kokohnya jari- jari yang dijalinkan.
Tamtsil tersebut sangat ligis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap
Demikian pula seharusnya orang- orang yang beriman yang satu memperkokoh yang lain dan
yang satu tidak saling menjatuhkan. Persaudaraan dan persaudaraan yang dikehendaki oleh
islam adalah persatuan yang saling mengokohkan satu dengan yang lainnya.
Kandungan makna hadits nabi saw terkadang menunjukkan makna yang padat, tetati
Artinya:
Bahwasannya abu hurairah telah berkata, saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
“(saya diutus oleh allah ) dengan ( kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan yang
16
Bedasarkan pernyataan nabi saw.tersebut, makalah tidak mengherannkan bila banyak
dijumpai banyak hadits berbentuk jawami al-kalim. Hal itu merupakan salah satu
keutamaan yang dimiliki oelh sabda-sabda nabi saw. Berikut ini beberapa macam matan
Yang dimaksud dengan jawami al-kalim adalah matan hadits yang memiliki
kanungan makna yang padat, tetapi dinyatakan dengan ungkapan yang pendek, misalnya
Artinya:
Dari jabir rasulullah bersabda: “perang itu siasat” (h.r. Jamaah kecuali AbuDawud.)
Kalangan ulama ,menyatakan bahwa kata khad’ah dapat dibaca dengan tiga bacaan, yakni
khad’ah dan inilah yang terbaik karena bacaan itu digunakan oleh nabi saw., khud’ah dan
khuda’ah ulama sepakat ble menerapkan siasat atau strategis dalam perang atas orang-orang
kafir. Hal ini didukung oleh hadits lain yang yang menyebutkan boleh berbohong dalam
perang.
Pemahaman terhadap petunjuk hadits sejalan dengan bunyi teksnya, bahwa setiap
perang memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu, trgas syuhudi, berlaku secara
universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu. Pearang yang dilakukan dengan cara alat
apa saja pastilah memerlukan siasat.perang tanpa siasat sama perang menyatakan tahluk
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua hadits yang dinyatakan dengan ungkapan
pendek adalah hadits dalam bentuk jawami al-kalim, tetapi mungkin dalam bentuk kata-kata
hikmah. Perbedaan dan persamaan antara jawamial-kalim dengan kata-kata hikmah, antara lain
17
Artinyaa:
Dari imran bin huseyi, katanya, nabi saw. Bersabda: “rasa malu tidak datang kecuali (dalam
hal )baik.” Busyair bin ka’ab berkata, “tertulis dalam hikmah (kitab taurat/injil) bahwa
sebagian dari rasa malu itu adalah kewibaan, dan sebagian dari rasa malu itu adalah
ketenangan.” Imran berkata kepadanya, “saya telah menyampaikan sesuatu dari rosulullah
saw. Dan engkau telah menyampaikan sesuatu dari kitab mu.” (H.R. Bukhari).
Secara harfiah hadits di atas menunjukkan bahwa tidak ada rasa malu, kecuali hanya
mencerminkan kapasitas rasa malunya. Rasa malu dapat menjadi pendorong terjadinya
perubahan sikap. Perubahan sikap mempunyai peranan penting dalam upaya mengubah
budaya masyarakat yang statis ke dinamis; dan pada giliran selanjutnya, rasa malu itu
yang sarat akan ungkapan yang tidak terlalu panjang hanya saja, penekanan dalam kata-kata
kemaslahatan, sementara hadits dalam bentuk jawami al-kalim menekankan pada ungkapan
yang pendek dan makna yang serat, dengan kata lain, kata hikmah lebih menekankan pada
18
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadist merupakan salah satu sumber hokum ummat islam atau bisa disebut sebagai dasar
hukum ummat islam setelah al qur’an, Adanya hadits berfungsi sebagai penjelasan ayat-ayat
al-Quran. Akan tetapi dari disampaikannya hadits-hadits yang disandarkan pada Rosulullah
SAW tidak semua disetujui oleh umat islam. Terdapat golongan yang mengakui akan tidak
standar(fushhah) dan pemilihan susunan kalimat dan kosa kata yang tepat.namun untuk
kondisi tertentu tatkala Ummat-nyaadalah bukan berasal dari kalangan arab quraisy,maka
beliau berusaha memilih dialek bahasa yang mudah dipahami oleh Ummat-nya.
19
DAFTAR PUSTAKA
http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/06/ilmu-maani-al-hadis.html?m=1
https://faizack-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/faizack.wordpress.com/2011/04/03/ilmu-maani-al-
hadis/amp/?amp_js_v=a3&_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh
=15855801553668&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari
%20%251%24s
20
Tugas Kelompok
Oleh:
Kelompok 6
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaah hirobbil „aalamiin, segala puji bagi Allah subhanahu wata‟ala, Tuhan
Semesta Alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sang
murabbi sejati kita, Nabiyullah Muhammad shallallahu „alaihi wasallam sebagai penutup para
Nabi dan Rasul, yang dimana atas perjuangan beliau sehingga nikmat Iman dan Islam dapat kita
rasakan hingga saat ini.
Adapun makalah dengan topik inti “Hadits Nabi dilihat dari segi bahasa yang
digunakan” ini, disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Ma‟ani Al-Hadits.
Dalam penyusunan makalah, kami melibatkan berbagai pihak baik dari Dosen, juga referensi
yang bersumber dari internet yang insyaa Allaah berasal dari sumber yang terpercaya. Oleh
karena itu, kami mengucapkan banyak terima kasih atas segala dukungan yang diberikan untuk
menyelesaikan makalah ini.
Meski telah disusun secara maksimal, akan tetapi kami sangat menyadari bahwa di dalam
makalah ini terdapat begitu banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Karenanya,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Besar harapan
kami makalah ini dapat menjadi sarana pembantu bagi masyarakat dalam menambah wawasan
mengenai Hadits Nabi, khususnya dari segi bahasa yang digunakan. Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah ini.
(Penulis)
2
DAFTAR ISI
JUDUL ....................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
A. Kesimpulan .................................................................................................... 16
B. Implikasi ........................................................................................................ 16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan petunjuk dan sumber hukum kedua bagi manusia setelah al-Qur‟an.
Sebagai sumber hukum setelah al-Qur‟an, hadits juga berfungsi untuk memperjelas isi
kandungan dari al-Qur‟an itu sendiri, selain itu hadits juga merupakan salah satu bentuk kongkrit
dari tingkah laku Nabi semasa hidupnya atau yang biasa disebut dengan Sunnah Nabi.
Dalam memahami teks keagamaan diperlukan kehati-hatian serta ketelitian, dalam hal ini
adalah pemahaman terhadap al-Qur‟an dan Hadits. Berbeda dengan kaidah penafsiran dan
pemahaman terhadap al-Qur‟an, dalam memahami Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam
kedua, dibutuhkan metode dan pendekatan yang cukup rumit. Selain serentetan metodologi yang
digunakan dalam penelitian sanad, juga diperlukan metodologi untuk meneliti kandungan matan.
Hadits Nabi lebih banyak disampaikan oleh periwayat satu kepada periwayat lain secara oral
(lisan) oleh karena itu hadits Nabi lebih banyak yang diriwayatkan secara makna. Selain itu tidak
semua hadits Nabi menunjuk kepada sebuah pengertian yang jelas, sehingga sebuah hadits
terkadang tidak dapat dipahami secara mudah dan sederhana.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadits Nabi jika dilihat dari segi logika bahasanya?
2. Apa yang dimaksud dengan kosa kata yang gharib?
3. Apa yang dimaksud dengan pernyataan yang musykil?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami hadis Nabi berdasarkan logika bahasa yang digunakan
2. Untuk mengetahui kosakata yang gharib pada hadis Nabi
3. Untuk mengetahui pernyataan yang musykil pada hadis Nabi
1
Uki Habib, “Kajian Al-Qur'an dan Hadis”, https://ukihabib.blogspot.com/2013/09/makalah-ilmu-maanil-
hadis.html?m=1 (Selasa, 9 Maret 2021, 23.00)
4
BAB II
PEMBAHASAN
Dilihat dari segi logika bahasanya, kandungan hadits-hadits Nabi menunjukkan jalinan
hubungan yang logis, misalnya hadits Nabi yang berbunyi:
ان اصدق ىهدى اىل الرب وان الرب ىهدى اىل اجلنو وان الرجل لىصدق حىت ىكتب عند هللا صد ىقا وان الكذب ىهدى اىل
الفجور وان الفجور ىهدى اىل النار وان الر جل لىكذب حىت ىكتب عند هللا كذااب
Artinya:
2
Ali Wafa, “Kejujuran Jembatan Menuju Surga (Jannah)”,
https://www.kompasiana.com/aliwafa11/550f4e33a33311a12dba844b/kejujuran-jembatan-menuju-surga-jannah
(Sabtu, 13 Maret 2021, 11.30)
5
Secara harfiah, hadits di atas menunjukkan bahwa kejujuran (al-shidq) mengantarkan kepada
kebaikan, dan kebaikan membuka jalan (masuk) surga. Sebaliknya, kebohongan mengantarkan
kepada keburukan, dan keburukan membuka jalan (masuk) neraka. Kandungan hadits tersebut
menunjukkan hubungan yang sangat logis.
Contoh yang lain juga terdapat pada hadis tentang Nabi Musa as. mencolok mata malaikat
maut saat hendak menjemputnya.3 Dari Abu Hurairah radhiyallaahu „anhu, beliau mengatakan,
Artinya:
“Malaikat maut diutus untuk mendatangi Musa „alaihis salam. Ketika sampai di tempatnya
Musa, beliau memukul malaikat itu, sampai lepas matanya. Kemudian Malaikat ini kembali
menemui Rabbnya. Beliau mengadu, “Engkau mengutusku untuk menemui hamba yang tidak
menghendaki kematian.” Kemudian Allah mengembalikan matanya, dan berfirman,
“Kembali temui Musa, sampaikan kepadanya, „Silahkan dia letakkan tangannya di
punggung sapi, maka usia Musa akan ditambahkan sejumlah bulu yang ditutupi tangannya,
setiap satu bulu dihitung satu tahun.‟ Musa bertanya, “Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa
yang terjadi?” Allah menjawab, “Setelah itu, mati.” Musa berkata, “Kalau begitu, sekarang
saja.” Lalu Musa memohon kepada Allah agar didekatkan ke tanah suci (Baitul Maqdis),
sejauh lemparan sebuah batu. [HR. Bukhari 1339, Muslim 6297, dan yang lainnya]
Hadis ini bertentangan dengan logika akal manusia, bagaimana mungkin manusia dapat
melukai malaikat, yang Allah muliakan. Ibnu Qutaibah mengatakan, malaikat adalah makhluk
3
Abdul Malik Ghozali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam Ta‟wil Mukhtalaf Al-
Hadis”, Kalam, Vol.8 No. 1 (Juni, 2014), hlm. 134.
6
ruhani yang Allah berikan kemampuan berubah wujud. Seperti yang dijelaskan dalam riwayat-
riwayat lain bahwa Nabi pernah bertemu dengan malaikat Jibril dalam bentuk seorang manusia.
Maka hadis tadi berkaitan dengan penampakan malaikat dalam wujud manusia, sehingga berlaku
hukum tubuh manusia, seperti dipukul, dicolok dan sebagainya. Artinya Nabi Musa mencolok
mata malaikat maut ketika menjelma manusia yang memiliki tubuh.4
“menjauhlah”. Dari makna ini, kata غَ ِريْبmengandung arti “ بَ ِعيْ ٌد َع ْن َوطَنِ ِوjauh dari negerinya”,
Makna yang tidak jauh berbeda dengan makna di atas juga bisa kita temukan dalam al-
َّ ب
Mu‟jam al-Wasît, namun dengan harakat „ain fi‟il kasrah dan dhammah, yaitu الش ْي ُئ َ غَ ِر
mengandung arti “ أيت ابلغريب البعيد عن الفهمdia mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas dan sulit
dipahami”.6
Dari kedua kamus tersebut terlihat makna yang hampir sama dan tidak terlalu jauh
berbeda untuk kata gharîb, yaitu “jauh”, “hitam”, “tidak jelas” dan “sulit dipahami”.
Kesemuanya bisa terwakili oleh makna “sesuatu yang asing” karena ia jauh dari yang biasa
sehingga sulit dipahami dan terlihat hitam-gelap sehingga menjadi tidak jelas.
Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam memaknai gharîb, yang secara
garis besar terbagi dalam kelompok ulama‟ klasik dan modern. Ulama‟ klasik sendiri terdiri
4
Ibid., hlm. 134-135.
5
Yetti Hasnah, “Problematika Gharîb dalam Bahasa Arab”, Alfaz: Arabic Literatures for Academic Zealots, Vol.2
No. 2, (Juli-Desember, 2014), hlm. 106.
6
Ibid., hlm. 106-107.
7
dari beberapa golongan sesuai dengan bidang keilmuan mereka, di antaranya adalah ahli
bahasa, ahli sastra, ahli balâghah, dan ahli ma„âni. Dari keragaman bidang ilmu yang mereka
tekuni dan perbedaan masa di mana mereka hidup, bisa kita pahami perbedaan pemahaman
mereka terhadap istilah ini.
- Menurut ahli bahasa, gharîb adalah lafaz yang tidak jelas maknanya yang digunakan oleh
mereka yang fasih berbahasa dan ulama‟ ahli bahasa yang piawai dalam bertutur.
- Menurut ahli sastra, gharîb adalah lafaz yang tidak jelas maknanya dan tidak bisa
dipahami oleh orang tertentu (khusus).
- Menurut ahli balâghah, mereka memahami gharîb sebagai isti‟ârah dan majâz. Gharîb
bukanlah kata yang asing secara leksikal terutama yang terkait dengan bahasa al-Qur„ân,
karena orang Arab sendiri adalah pemilik bahasa yang sudah sangat jelas memahami
bahasa tersebut.
- Menurut ahli m ’âni, mereka memahami gharîb sebagai kata yang tidak jelas maknanya
dan tidak biasa digunakan, baik di kalangan orang Arab asli yang masih murni maupun
orang Arab yang hidup di masa ini.7
b. Kriteria al-Hadits
Hadits merupakan berbagai hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam yang berfungsi sebagai petunjuk, baik berupa ucapan, perbuatan maupun
ketetapan, serta sifat fisik dan psikis (akhlak), termasuk juga sejarah kehidupannya, baik
sebelum beliau diutus sebagai Rasul maupun pasca pengutusannya tersebut. Namun tidak
semua hadits mencantumkan teks yang jelas atau mudah dipahami maksudnya, maka dari itu
muncul istilah yang namanya gharib hadits.
Gharib hadits ini bertujuan untuk menjelaskan hadits yang matannya terdapat lafadz yang
pelik dan susah dipahami, sehingga gharib al-hadits inilah yang membantu memahami dan
menjelaskan hadits tersebut. Sebenarnya para ulama sudah menyusun tentang gharib al-
hadits sejak abad kedua dan awal abad ketiga hijriyah bertepatan pada awal mula pembukuan
hadits. Orang yang pertama menyusun dalam gharib al-hadits ialah Abu Ubaidah Mu‟ammar
7
Ibid., hlm. 107-108.
8
bin al-Mutsanna at-Taimi.8 Setelah munculnya gharib al-hadits, maka pada perkembangan
selanjutnya para ulama mulai tergugah untuk menjelaskan kata-kata gharib dalam hadits
tersebut dengan cara mensyarahkannya. Bahkan ada ulama yang sengaja mensyarahkan
secara khusus tentang hadits yang terdapat kata-kata gharib. Jadi, gharib hadits yang
memiliki kata yang kabur dan rumit untuk dipahami inilah yang menyebabkan para ulama
untuk melakukan penjelasan terhadap hadits atau melakukan syarah hadits, dengan kata lain
sebenarnya cikal bakal syarah hadits ini sebelumnya didahului dengan adanya gharib al-
hadits.
Banyak pendapat yang menjelaskan tentang cara pemaknaan hadits. Setiap zaman, setiap
waktu dan setiap tempat memiliki perbedaan dalam menjelaskan gharib hadits maupun
hadits-hadits lain yang perlu di syarah. Pada masa awal munculnya cikal bakal syarah hadits
yaitu dari hadits gharib yang kemudian dibukukan dalam kitab gharib al-hadits yang
memiliki metode tersendiri dalam menafsirkan sebuah hadits. Untuk mensyarah sebuah
hadits maka diperlukan penjelasan kata dan bagian-bagian hadits yang masih kabur.
Kemudian dikaitkan dengan dalil lain yang ada persamaannya, lalu mengemukakan
pengertiannya secara menyeluruh.9 Sebenarnya ada beberapa cara yang digunakan ulama
terdahulu untuk menjelaskan atau mensyarah hadits khususnya gharib al-hadits, caranya
yaitu:
- Pertama, dengan hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang
mengandung lafadz gharib tersebut.
- Kedua, dengan penjelasan akan makna gharib dari para sahabat yang
meriwayatkan hadits dan paham makna gharib al-hadits ataupun sahabat lain yang
tidak meriwayatkan hadits namun paham dengan makna gharib al-hadits.
- Ketiga, penjelasan dari rawi selain sahabat.10
8
Nyayu Siti Zahrah, “Gharib al-Hadits sebagai Embriologi Syarah Hadits dan Transformasinya”, El-Afkar: Jurnal
Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol.9 No. 1, (Januari-Juni, 2020), hlm. 131.
9
Ibid., hlm. 133.
10
Ibid., hlm. 133-134.
9
matan. Problem pokok dalam metode ini ialah bagaimana cara mencari kejelasan makna
redaksi. Para ulama mengembangkan beberapa metode yang umumnya bersifat komparasi-
intertekstual. Mekanismenya berkisar pada penggunaan logika induksi dari makna suatu
sumber bahasa yang dianggap lebih jelas untuk kemudian diterapkan dalam kasus
kebahasaan yang sedang dihadapi.
Metode ini dimulai dengan menelaah otentisitas redaksi teks yang sedang dikaji seperti
dikembangkan oleh Abū „Ubayd al-Qāsim bin Sallām dan Ibn al-Athīr. Kemudian
dilanjutkan pada perujukan pada sumber-sumber yang dinilai otoritatif seperti teks Alquran,
hadis dan karya-karya sastra Arab (prosa maupun puisi).11
ألربِو ِ
َ كان النيب يُقبّل ويُباشر وىو صائم ولكنو كان ْأملَككم
Nabi shallallahu „alaihi wasallam mencium dan menyentuh saat berpuasa, tapi beliau lebih
kuat menahan hasratnya dibanding kalian.
Abū „Ubaid al-Qāsim bin Sallam mengartikan arabih sesuai dengan QS. An-Nur: 31
yang berarti hasrat (kebutuhan kepada perempuan).12
Penjelasan redaksi gharīb juga bisa dilakukan dengan menggunakan hadis lain. Semisal
penjelasan al-Khatthabi ketika menjelaskan hadis Abū Hurairah berikut ini,
دلا تويف رسول هللا صلى هللا عليو و سلم واستخلف أبو بكر بعده وكفر من كفر من العرب قال عمر: عن أيب ىريرة قال
بن اخلطاب أليب بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم أمرت أن أقاتل الناس حىت يقولوا ال إلو
إال هللا فمن قال ال إلو إال هللا فقد عصم مِن مالو ونفسو إال ِبقو وحسابو على هللا فقال أبو بكر وهللا ألقتلن من فرق بني
الصالة والزكاة فإن الزكاة حق ادلال وهللا لو منعوين عقاال كانوا يؤدونو إىل رسول هللا صلى هللا عليو و سلم لقاتلتهم على
منعو فقال عمر بن اخلطاب فوهللا ما ىو إال رأيت هللا عز و جل قد شرح صدر أيب بكر للقتال فعرفت أنو احلق
Redaksi matan yang dianggap gharib ialah „iqālan. Sebelum mengutarakan pendapatnya,
al-Khatthabi menuturkan banyak pandangan yang dikembangkan ulama-ulama sebelumnya.
Sebagian mengartikan „iqālan dengan zakat harta selama setahun (shadaqat „ām), jenis harta
11
M. Khoirul Huda, “Paradigma Metode Pemahaman Hadis Klasik dan Modern: Perspektif Analisis Wacana”,
Refleksi, Vol.15 No. 1, (April, 2016), hlm. 36-37.
12
Ibid., hlm. 37.
10
yang wajib dizakati seperti unta, sapi, kambing dan tumbuhan. Ada pula yang
mengartikannya dengan tali (pengikat ternak). Dari keseluruhan pandangan tersebut, al-
Khatthabi mendukung pendapat Muhammad bin Ibrahim bin Sa‟id al-Abadi yang
menyatakan bahwa arti „iqālan adalah tali. Maksudnya adalah tali pengikat ternak. Hal ini
merupakan kiasan bahwa mereka tidak mau membayar zakat sama sekali. Pengertian ini
selaras dengan riwayat lain yang menggunakan redaksi „anāqan dan jadyan (keduanya
berarti anak kambing) sebagai ganti kata „iqālan. Satu anak kambing pun mereka enggan
membayarkannya.13 Seperti dalam riwayat al-Bukhari berikut ini,
وهللا لو منعوين عناقا كانوا يؤدوهنا إىل رسول هللا صلى هللا عليو و سلم لقاتلتهم على منعها
Penyelesaian gharīb dapat dilakukan dengan menggunakan riwayat lain yang semakna.
Problem absurditas atau ketidakjelasan pengertian teks dalam konteks gharīb al-ḥadīth
diselesaikan dengan merujuk teks lain yang dinilai memiliki penunjukan makna yang lebih
terang. Di sini komparasi menjadi sebuah mekanisme yang wajib dilakukan dengan
mengabaikan konteks hadis dan terlebih niatan pengujarnya.
Kata al-Musykil secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu “syakala”. Ibnu Faris
Rahimahullah mengartikan kata ini sebagai “mumatsalah” yang artinya persamaan. Disebutkan
juga “hadza syaklu hadza” yang berarti “ini sama dengan ini”. Sedangkan dalam Lisân al-„Arab
disebutkan: “Asykala al-Amru” artinya : “Masalah ini ambigu (mempunyai lebih dari satu makna
sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).
Jadi dapat dipahami bahwa istilah musykil dalam bahasa Arab itu bermakna sesuatu yang
musytarak atau mempunyai makna lebih dari satu (ganda) atau karena sebab yang lain sehingga
menimbulkan kekaburan dan ketidakjelasan ketika membacanya. Oleh karena itu, istilah Musykil
13
Ibid.
11
al-Hadits juga digunakan untuk menunjukkan hadis yang maknanya tidak jelas, atau
menimbulkan multi tafsir seperti yang penulis sebutkan di awal.
Pada umumnya, penggunaan istilah ini tidak dipakai dan disebut dalam jenis-jenis Ilmu
Hadis. Namun, istilah yang sering disebut justru Ilmu Mukhtalif al-Hadits yang memiliki definisi
yaitu “Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang secara zahir saling bertentangan.” Para
Ulama pun berbeda pendapat mengenai hal tersebut sehingga menimbulkan kegaduhan di
dalamnya.14
Seperti pendapat dari Dr. Abu al-Layth yang mendefinisikan hadis musykil sebagai hadis
maqbul (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya
diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil
karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya. Ibn Furak
(w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuhu, berpendapat bahwa
hadis musykil adalah hadis yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan
lain, seperti hadis-hadis yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan zat
Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya
kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta‟wil terhadap hadis-hadis tersebut.15 Menurut penulis,
pendapat dari kedua ulama tersebut sudah sejalan dengan definisi musykil dalam kacamata istilah
bahasa Arab.
Namun, sepertinya ada perbedaan sedikit dari pendapat yang dikemukakan oleh Manna‟ al-
Qaththan tentang definisi ilmu musykil ini. Beliau berpendapat bahwa, ilmu musykil yaitu ilmu
yang menggabungkan dan memadukan antara hadis-hadis yang zahirnya bertentangan, atau ilmu
yang menerangkan ta‟wil hadis yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadis lain.
Penulis dapat memahami bahwa, Manna‟ al-Qaththan menggabungkan definisi ilmu musykil
dengan mukhtalif hadis. Meskipun menurut beliau, kajian tentang musykil hadis ini juga selalu
dikategorikan sebagai ilmu mukhtalaf hadis, tetapi jika dilihat dari segi definisinya keduanya
jelas berbeda karena musykil hadis lebih mengarah kepada sebuah hadis yang menimbulkan
14
Baca selengkapnya di http://repository.uin-suska.ac.id/20790/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf (Diakses pada
11 Maret 2021)
15
Nurdin, “Mukhtalifil Hadis”, Jurnal UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, (2020), hlm. 3-4.
12
multi tafsir karena ketidakjelasan maknanya sehingga bersifat jauh lebih umum ketimbang
mukhtalaf hadis yang memang hanya seputar hadis-hadis yang kontradiktif lahiriah saja.16
Hal ini nampaknya sejalan juga dengan pendapat Al-Thahawi. Menurut beliau, makna
musykil hadis dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori; yaitu mukhtalaf al-hadis dan hadis
yang mengandung makna samar. Hal ini senada dengan ungkapan Manna‟ al-Qaththan tadi.
Namun, Al-Thahawi tidak memberikan pengertian musykil hadis secara definitif. Dan jika dilihat
dari hadis yang dihimpunnya dalam kitab yang berjudul Syarh Musykil al-Atsar, di dalamnya
bukan hanya memuat tentang hadis-hadis yang kontradiktif dengan sesamanya saja atau dengan
yang lainnya, tetapi juga memuat hadis-hadis yang mengandung makna yang samar.17
Dari beberapa pendapat di atas, penulis bisa memahami bahwa terdapat adanya perbedaan
dari cara mendefinisikan kedua ilmu hadis tersebut. Namun, jika kita bandingkan kembali, ilmu
Mukhtalif al-Hadits itu merupakan kajian yang lebih khusus dan mendalam dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih spesifik juga, sedangkan Musykil al-Hadits
adalah kajian yang lebih umum, sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa seluruh hadis yang
bersifat mukhtalif itu masuk ke dalam kategori hadis musykil, namun tidak semua hadis musykil
termasuk ke dalam hadis mukhtalif.18
Adapun salah satu contoh dari hadis musykil yaitu sebagai berikut: Hadis yang menyatakan
bahwa, “Allah subhanahu wata‟ala akan turun pada dua pertiga malam …”
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
...ينزل ربنا تبارك وتعايل كل ليلة إيل السماء الدنيا حني يبقي ثلث اليل األخر
Artinya:
“Rabb kita akan turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam
terakhir” [HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808].
16
Mustahidin Malula, “Ma‟nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil (Telaah
Pemikiran dan Aplikasi Hermeneutika Sahiron Syamsuddin)”, Jurnal Ilmiah Citra Ilmu, Vol.15 No. 29, (April,
2019), hlm. 33-34.
17
Almunadi dan Adriansyah, “Metodologi Imam Al-Thahawi dalam Menyelesaikan Musykil al-Hadis dengan
Pendekatan Mubham al-Hadis”, El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol.6 No. 2 (Juli-
Desember 2017), hlm. 69.
18
Baca selengkapnya di http://repository.uin-suska.ac.id/20790/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf (Diakses pada
11 Maret 2021)
13
Hadis ini, jika dipahami secara tekstual, maka dapat memberi kesan bahwa Allah subhanahu
wata‟ala berada pada tempat yang tinggi di langit dan akan turun ke tempat yang lebih rendah di
bumi, padahal Allah menurut doktrin teologi terlepas dari ikatan ruang dan waktu. Karena itu,
hadis ini harus ditakwilkan, sehingga antara lain maknanya dapat dipahami bahwa Allah akan
menurunkan rahmatnya kepada orang yang beribadah pada dua pertiga malam.19
Dalam hadis di atas terdapat beberapa hal yang sulit dipahami secara logika maupun secara
ilmiah, antara lain:
1. Matahari terbenam
2. Matahari pergi dan berjalan/bergerak
3. Matahari bersujud di bawah 'Arsy
19
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma‟ani al-Hadis (Makassar: Alauddin University
Press, Cet. II, 2013), hlm. 8.
14
4. Matahari meminta izin
5. Matahari bergerak sehingga menetap di bawah 'Arsy, (sebagai tempat menetapnya)
6. Matahari terbit di tempat terbenamnya.
20
Abd Wahid, “Metode Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil”, Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin,
Vol.15, No. 2, (Oktober, 2013), hlm. 203-204.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits sebagai ucapan dan teks, sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta
gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar lebih bisa mendekati kebenaran
mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Jika tanpa memahami motif di balik
penyampaian sebuah hadits, suasana psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali
akan salah paham dalam membacanya. Dilihat dari segi logika bahasanya, kandungan hadits-
hadits Nabi menunjukkan jalinan hubungan yang logis.
Dalam Lisân al-„Arab kata gharîb ( )غَ ِريْبatau gharâbah ( )غَ َرابَةsecara bahasa berasal dari kata
Dari makna ini, kata غَ ِريْبmengandung arti “ بَ ِعيْ ٌد َع ْن َوطَنِ ِوjauh dari negerinya”, sedangkan yang
Istilah musykil dalam bahasa Arab itu bermakna sesuatu yang musytarak atau mempunyai
makna lebih dari satu (ganda) atau karena sebab yang lain sehingga menimbulkan kekaburan dan
ketidakjelasan ketika membacanya. Oleh karena itu, istilah Musykil al-Hadits juga digunakan
untuk menunjukkan hadits yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
B. Implikasi
Demikianlah makalah yang telah kelompok kami susun. Kami menyadari bahwasanya
makalah ini memiliki banyak kekurangan, maka dari itu kami meminta kesediaan pembaca untuk
memberikan kritik dan saran.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. 2013. Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma‟ani al-Hadis. Makassar:
Alauddin University Press.
Almunadi & Adriansyah. 2017. “Metodologi Imam Al-Thahawi dalam Menyelesaikan Musykil
al-Hadis dengan Pendekatan Mubham al-Hadis”. Dalam El-Afkar: Jurnal Pemikiran
Keislaman dan Tafsir Hadis (Online), Vol.6 (2), hlm. 65-74. Tersedia:
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/elafkar/article/view/2338 (Diunduh pada 11
Maret 2021).
Ghozali, A.M. 2014. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam Ta‟wil
Mukhtalaf Al-Hadis”. Dalam Kalam (Online), Vol.8 (1), hlm. 119-140. Tersedia:
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/173 (Diunduh pada 13
Maret 2021).
Habib, U. 2013. “Kajian Al-Qur'an dan Hadis”. (Online). Tersedia:
https://ukihabib.blogspot.com/2013/09/makalah-ilmu-maanil-hadis.html?m=1 (Diunduh
pada 9 Maret 2021).
Hasnah, Y. 2014. “Problematika Gharîb dalam Bahasa Arab”. Dalam Alfaz: Arabic Literatures
for Academic Zealots (Online), Vol.2 (2), hlm. 105-115. Tersedia:
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alfaz/article/view/608 (Diunduh pada 9 Maret
2021).
http://repository.uin-suska.ac.id/20790/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf (Diakses pada 11
Maret 2021)
Huda, M.K. 2016. “Paradigma Metode Pemahaman Hadis Klasik dan Modern: Perspektif
Analisis Wacana”. Dalam Refleksi (Online), Vol.15 (1), hlm. 29-62. Tersedia:
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/refleksi/article/view/9704 (Diunduh pada 9 Maret
2021).
Malula, M. 2019. “Ma‟nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil
(Telaah Pemikiran dan Aplikasi Hermeneutika Sahiron Syamsuddin)”. Dalam Jurnal
Ilmiah Citra Ilmu (Online), Vol.15 (29), hlm. 29-38. Tersedia:
http://ejournal.stainutmg.ac.id/index.php/JICI/article/view/65 (Diunduh pada 11 Maret
2021).
Nurdin. 2020. “Mukhtalifil Hadis”. Dalam Jurnal UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
(Online), hlm. 1-13. Tersedia:
file:///C:/Users/USER/Downloads/MUKHTALIFIL%20HADIST-dikonversi.pdf
(Diunduh pada 11 Maret 2021).
Wafa, A. 2015. “Kejujuran Jembatan Menuju Surga (Jannah)” (Online). Tersedia:
https://www.kompasiana.com/aliwafa11/550f4e33a33311a12dba844b/kejujuran-
jembatan-menuju-surga-jannah (Diunduh pada 13 Maret 2021).
17
Wahid, A. 2013. “Metode Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil”. Dalam Substantia: Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin (Online), Vol.15 (2), hlm. 190-205. Tersedia: https://jurnal.ar-
raniry.ac.id/index.php/substantia/article/view/4894 (Diunduh pada 11 Maret 2021).
Zahrah, N.S. 2020. “Gharib al-Hadits sebagai Embriologi Syarah Hadits dan Transformasinya”.
Dalam El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis (Online), Vol.9 (1), hlm.
127-141. Tersedia:
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/elafkar/article/view/2615 (Diunduh pada 9
Maret 2021).
18
Tugas Kelompok 7
MA’ANIL AL-HADIS
Di Susun oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang memberikan kita
berbagai nikmat kesehatan, kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tema yakni ASBAB WURUD AL-HADIS.
Shalawat serta salam semoga selalu kita curahkan kepada Nabi akhir zaman,
Nabi Muhammad ﷺyang telah membimbing kita ke arah yang benar.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag.. Selain itu, kami berharap dapat mengetahui lebih
mendalam lagi mengenai hal-hal tentang ASBAB WURUD AL-HADIS.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih sangat jauh dari
kata sempurna, berbagai kekurangan seperti kesalahan dalam penulisan, pemikiran,
penggunaan kata, dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari bapak/Ibu dosen dan rekan-rekan sekalian agar kami dapat
menjadikannya sebagai bahan untuk mengevaluasi makalah kami ini.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB 3 PENUTUP...................................................................................... 9
A. Kesimpulan .......................................................................................... 9
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hadis, sebagai sumber hukum yang kedua memiliki peranan penting dalam
ruang lingkup islam, terutama dalam bidang hukum. Dan di dalam memahami suatu
hadis, tidak cukup dengan hanya berpatokan pada teksnya saja. Perlu pemahaman
yang lebih mendalam terhadap konteks hadis itu seperti kepada siapa Nabi
Muhammad SAW menyampaikan hadis itu, dan yanh lainnya. Sebab tanpa
memperhatikan hal-hal yang seperti ini, akan membuat seseorang kesulitan atau
bahkan salah dalam menanggapi suatu hadis. Dan oleh karena itulah, asbabul wurud
ini menjadi salah satu bidang ilmu yang penting dalam memahami suatu.
B. Rumusan masalah
Tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul asbabul wurud ini tidak lain
adalah untuk memberikan informasi atau ilmu tentang asbabul wurud suatu hadist
yang dimana asbabul wurud ini merupakan salah satu ilmu yang paling penting
didalam memahami suatu hadist mengapa hadist tersebut dikeluarkan atau
disabdakan ole nabi Muhammad SAW.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
1
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 38-39
2
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, h.7
3
Jalal ad-Din al-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Luma’ fi Asbab al-Hadis, ditahqiq Yahya Isma’il
Ahmad (Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiya, 1984), h. 11
1
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطالق أو تقييد أونسخ أو
غير ذالك
Sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadis yang
bersifat umum, khusus, mutlak, muqayyad, dan untuk menentukan ada
tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadis” dan sejenisnya.
علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الديث والزمان الذي جاء به
4
Teungku Muhammaf Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 50
5
al-Suyuti yang ditahqiq oleh Yahya Isma’il Ahmad, al-Luma’ fi Asbab Wurud al-Hadis
(Cet. 1: Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1984 M.), h. 11
2
Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan asbab wurud al-hadis dengan
mengatakan:6
Hadis yang muncul karena membicarakan sesuatu yang terjadi pada saat
kemunculannya.
Mengetahui apa yang terjadi pada hadis pada saat penyusunan penjelasan
hukum saat terjadinya.
6
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Cet: III; Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M.), h.
334
7
Tarik As’ad Halimi al-As’ad, ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadis (Cet. I; Beirut: Dar Ibn Hazm:
1422H./2001 M.), h. 24
8
Said Sagil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, h. 7
3
َيا:َعلَى فَخِ ذَ ْي ِه َوقَال َ ي ِ صلى هللا عليه وسلم فَأ َ ْسنَدَ ُر ْك َبت َ ْي ِه ِإلَى ُر ْك َبت َ ْي ِه َو َو
َ ض َع َكفَّ ْي ِه ّ س ِإلَى النَّ ِب
َ ََحتَّى َجل
ُ(اإل ْسالَ ُم أ َ ْن تَ ْش َهدَ أ َ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هللا ُ فَقَا َل َر،اإل ْسالَم
ِ :سو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم َ ُم َح َّمدُ أ َ ْخبِ ْرنِي
ِ ع ِن
َ َ َوت َ ُح َّج البيْتَ ِإ ِن اِ ْست، َضان
طعتَ ِإل ْي ِه َ ص ْو َم َر َم َ َوتُؤْ ت،َ صالَة
َّ ِي
ُ َ َوت،َ الزكَاة َّ َوت ُ ِقي َْم ال،هللا ُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدَا ً َر
ِ س ْو ُل
،ِ أ َ ْن ت ُؤْ مِ نَ بِاهلل:َ قَال،ان ِ اإل ْي َم َ فَأ َ ْخبِ ْرنِ ْي:َ قَال،ُص ِدّقُه
ِ ع ِن َ ُ فَعَ ِج ْبنَا لَهُ يَ ْسأَلُهُ َوي. َصدَ ْقت َ :َ قَال.ًسبِ ْيال َ
ع ِن َ :َ َوتُؤْ مِ نَ ِبالقَدَ ِر َخي ِْر ِه َوش ِ َّر ِه قَال، َو ْال َي ْو ِم اآلَخِ ِر،ِس ِله
َ فَأ َ ْخ ِب ْرنِ ْي:َ قَال، َصدَ ْقت ُ َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر،َِو َمالئِ َكتِه
َما:َ قَال،ِعة َ فَأ َ ْخبِ ْرنِي:َ فَإِ ْن لَ ْم ت َ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ يَ َراكَ قَال،ُ أ َ ْن ت َ ْعبُدَ هللاَ َكأَنَّكَ ت ََراه:َ قَال،ان
َ ع ِن السَّا ِ سَ اإل ْح
ِ
َ َوأَ ْن ت ََرى ْال ُحفَاة، أ َ ْن ت َ ِلدَ األ َ َمةُ َربَّتَ َها:َ قَال،اراتِ َهاَ ع ْن أ َ َم َ ْال َمسئ ُ ُو ُل
َ فَأ َ ْخ ِب ْرنِ ْي:َع ْن َها ِبأ َ ْعلَ َم مِ نَ السَّائِ ِل قَال
ع َم ُر أتَد ِْري َم ِن السَّائِلُ؟ ُ يَا:َطلَقَ فَلَبِثْتُ َم ِليَّا ً ث ُ َّم قَال ِ َط َاولُ ْونَ فِي البُ ْني
َ ان ث ُ َّم ا ْن َ َ شاءِ يَت
َّ عا َء ال َ ْالعُ َراة َ ْالعَالَةَ ِر
ُ هللاُ َو َر: ُقُ ْلت
. َر َواهُ ُم ْس ِل ٌم. فَإِنَّهُ ِجب ِْر ْي ُل أَت َا ُك ْم يُ َع ِلّ ُم ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم:َ قَال،س ْولُهُ أ َ ْعلَ ُم
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu pula dia berkata; pada suatu hari ketika
kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datang seorang
laki-laki berpakaian sangat putih, dan rambutnya sangat hitam, tidak
terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tidak seorang pun dari
kami yang mengenalnya, kemudian ia duduk di hadapan Nabi ﷺdan
mendekatkan lututnya lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya,
seraya berkata: ‘Wahai Muhammad jelaskan kepadaku tentang Islam?’
Nabi ﷺmenjawab: ”Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya, engkau menegakkan shalat, menunaikan
zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah Al Haram jika engkau mampu
mengadakan perjalanan ke sana.” Laki-laki tersebut berkata: ‘Engkau
benar.’ Maka kami pun terheran-heran padanya, dia yang bertanya dan dia
sendiri yang membenarkan jawabannya. Dia berkata lagi: “Jelaskan
kepadaku tentang iman?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir
serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” Ia berkata: ‘Engkau
benar.’ Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi: ‘Jelaskan kepadaku
4
tentang ihsan?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Ihsan
adalah) Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-
Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sungguh
Diamelihatmu.” Dia berkata: “Beritahu kepadaku kapan terjadinya
kiamat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidaklah orang
yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.” Ia berkata: “Jelaskan
kepadaku tanda-tandanya!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya dan jika engkau
mendapati penggembala kambing yang tidak beralas
kaki dan tidak pakaian saling berlomba dalam meninggikan bangunan.”
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemudian laki-laki itu pergi, aku pun
terdiam sejenak.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadaku: “Wahai ‘Umar, tahukah engkau siapa orang tadi?” Aku pun
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan
agama ini kepada kalian.” (HR Muslim) Diriwayatkan oleh Muslim.
C. Hadis yang tidak memiliki asbabul wurud (yang tidak disertai peristiwa)
5
sebab adanya hadis itu, dengan kata lain, matan hadis itu muncul dengan
sendirinya9. Seperti dalam hadis berikut ini :
َارذَات
ِ صَ سلَّ َم قَا َل ِلأل َ ْن َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو ُ ع ْنهُ أ َ َّن َر
َ ِس ْو َل هللا َ ُضى هللا
ِ ارى َر
ِ صَ ع ْوفٍ اْأل َ ْن َ ع ْن
َ ع ْمرو ب ِْن َ
علَ ْي ُك ْم َ َولَ ِكنِّى أ َ ْخشَى أَ ْن ت ُ ْب، علَ ْي ُك ْم
َ س
َ ط الدُّ ْن َيـا َ هللا َما ْالفَ ْق ُر أ َ ْخشَى
ِ فَ َو، س ُّر ُك ْم ُ أَ ْبش ُِروا َوأ َ ِ ّمـلُوا َما َي:َي ْو ٍم
)ِعلَ ْيه َ ( ُمت َّفَ ٌق. فَت ُ ْه ِل ُك ُك ْم َك َما أَ ْهلَ َكتْ ُه ْم، سوهَا
ُ َسوا َك َما تَنَـاف ُ َ فَتَنَـاف، علَى َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم َ تْ ط َ َك َما بُ ِس
Artinya :
Dalam matan hadis di atas tidak terdapat asbabul wurud yang jika
ditinjau dari macam-macam asbabul wurud yakni sebab yang berupa al-
Qur’an, al-Hadis dan sebab yang berupa keterkaitan10 tidak terdapat dalam
hadis di atas.
D. Hadis Nabi dilihat dari asbab al-wurud-nya ( yang tidak disertai oleh
peristiwa tetapi berkaitan dengan hal-hal yang berkemban )
9
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-
hadits.html?m=1&zx=8d5c00ddb61d0ce6
10
Muhammad Ali, “Asbab Wurud al-Hadis”, TAHDIS, Volume 6 Nomor 2, Tahun 2015,
hal. 87-89,
6
Berdasarkan hadis yang ingin dibahas mengenai poin yang ketiga
ini, maka hadis yang diambil yakni hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah
mengenai Tawdih al-Musykil (memperjelas suatu yang musykil) yaitu :
Artinya :
“Dari Ayub dari „Abdillah bin Aby Mulaikah dari „Aisyah ia berkata:
Rasulullah ﷺbersabda: Barangsiapa yang dihisab pada hari Kiamat maka
ia akan diazab. Maka saya bertanya: Wahai Rasulullah ﷺ, bukankah Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman: Maka ia menghadapi hisab yang mudah?
al-Insyiqaq ayat 8. Rasulullah ﷺbersabda: Ayat itu bermaksud tidaklah ia
dihisab melainkan amalnya yang diperlihatkan, barangsiapa yang
diperdebatkan hisabnya pada hari kiamat maka ia akan mendapat azab”.
7
mansūkh, hadis yang memiliki „illat suatu hukum dan hadis yang
mempunyai kemusykilan.
8
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
9
DAFTAR PUSTAKA
https://haditsarbain.com/hadits/rukun-islam-iman-dan-ihsan/
http://journal.uinalauddin.ac.id/index.php/tahdis/article/download/7143/58
78
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al
hadist.html?m=1&zx=8d5c00ddb61d0ce6
repository.ar-raniry.ac.id › M...PDFmetode pemahaman hadis nabi dengan
mempertimbangkan asbᾱb al-wurūd
http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/07/asbabul-
wurud.html?m=1
Muhammad Ali, “Asbab Wurud al-Hadis”, TAHDIS, Volume 6 Nomor 2, Tahun
2015, hal. 87-89,
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-
hadits.html?m=1&zx=8d5c00ddb61d0ce6
10
MA’ANIL HADITS
“HADIST DILIHAT DARI SEGI KEDUDUKAN DAN FUNGSI NABI”
OLEH : KELOMPOK 8
Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-
Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah
berjudul Hadis Nabi dilihat dari kedudukan dan fungsinya. Tidak lupa shawalat serta salam
tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.
Adapun penulisan makalah berjudul “Hadis Nabi dilihat dari kedudukan dan fungsinya”
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Maanil al-Hadis. Penulis tidak hanya membahas
kududukan dan fungsinya tetapi disertai dengan dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta membantu penyelesaian
makalah. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekaligus
menumbuhkan rasa cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat
dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………… 4
A. Latar Belakang………………….…………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah…………….……………………………………….…………….. 4
C. Tujuan …………………………..…………………………………………………… 5
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….. 6
A. Kesimpulan……………………………………………………………………….…. 13
B. Saran ………………………………………………………………………………… 13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat
dari sudut periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan.
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, Hadits selalu menjadi
rujukan kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman.
Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad
SAW wafat. Maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits.
Sehingga hal tersebut memunculkan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari
akan kebenaran Hadits sebagai sumber hukum. Banyak al-qur’an dan hadits yang
memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum islam selain al-
qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk perintah, maupun larangan nya. Dan
Hadits merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al-Qur’an. yang karenanya, siapapun tidak
akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memehami dan menguasai Hadits. Begitu
pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an akan kehilangan arah, karena Al-
Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang berisi garis besar syariat Islam. Makalah
ini akan memaparkan tentang kedudukan hadis dan fungsinya.
B. Rumusan Masalah
4
C. Tujuan
Untuk mengetahui hadis nabi dilihat dari segi kedudukan dan fungsi Nabi
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nabi Sebagai Rasulullah saw.
Dalam memahami hadis Nabi saw. seorang pencinta hadis harus memahami dan
meneliti hadis Nabi tersebut, apakah hadis itu ketika diucapkan, beliau berkapasitas
sebagai Nabi atau Rasul?. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan tapi sangat dibutuhkan
dalam memahami hadis-hadis Rasulullah saw. Karena Nabi adalah manusia layaknya
manusia yang lain tentunya memiliki sifat sebagaimana manusia umumnya, yang terkadang
keliru dalam mengambil sebuah kebijakan mengangkut masalah keduniaan. Hal ini
tergambar dalam sabda beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
“bahwasanya Ummu Salamah ra., istri Nabi saw, memberitakan dari Rasulullah saw.
bahwasanya beliau mendangar pertengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau
keluar menemui mereka, kemudian beliau bersabda:
إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له
بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركه
فضلت على األنبياء بست أعطيت جوامع الكلم:عن أبي هريرة أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال
ونصرت بالرعب وأحلت لي الغنائم وجعلت لي األرض طهورا ومسجدا وأرسلت إلى ا لخلق كافة وختم
. بي النبيون
Artinya: Dari Abu hurairah R.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
6
“Aku diberikan keutamaan oleh Allah Swt di atas para Nabi lainnya dengan
enam hal: Aku dibekali jami’ al- kalim (kemampuan untuk berbicara singkat namun
mengandung makna yang padat/luas). Aku ditolong oleh Allah Swt dengan rasa takut,
cemas dan gelisah di hati musuh- musuhku. Ganimah (harta rampasan perang) dijadikan
halal untukku. Bumi dijadikan masjid bagiku, dan tanahnya suci untuk bersuci. Aku diutus
kepada semua makhluk (jin dan manusia) pada umumnya. Dan aku dijadikan sebagai
penutup/ pengakhir para Nabi.
Hadis lain;
أن النبي صلى هللا عليه و سلم قال )أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي نصرت:أخبرنا جابر بن عبد هللا
بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي األرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من أمتي أدركته الصالة
فليصلوأحلت لي المغانم ولم تحل ألحد قبلي وأعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت
إلى
)الناس عامة
Artinya : Jabir bin Abdullah telah menceritakan bahwasanya Rasulullah saw.
Bersabda : “Saya dikaruniai (oleh Allah) lima hal,yang belum pernah
dikaruniakan kepada selain saya. Saya ditolong (dalam peperangan,sehingga ) perasaaan
musuh (dalam peperangan) menjadi gentar (menghadapi saya) dalam masa peperangan
yang memakan waktu sekitar sebulan; bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi
saya dan karenanya, siapa saja dari ummatku yang mendapatkan waktu shalat,maka
hendaklah dia shalat (di bumi mana saja dia berada); dihalalkan bagi saya harta rampasan
perang, sedang sebelum saya harta tersebut diharamkan; saya dikaruniai kemampuan
memberi syafa`ah; dan Nabi (sebelum saya) dibangkit untuk kaum (bangsa) tertentu,
sedangkan saya dibangkit untuk manusia secara umum (seluruhnya).
Secara tekstual kedua hadis tersebut memberi informasi tentang keutamaan Nabi
Muhammad saw. dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan itu bersifat
universal. Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan itu berada dalam
kapisitasnya sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin
didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata didasarkan atas petunjuk wahyu
Allah. Pertimbangan yang demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi
saw.sebagai rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sakali. Dengan demikian,
7
salah satu indikator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh Nabi Saw. Dalam kapasitasnya
sebagai Rasulullah adalah hadis bersangkutan tidak mungkin atau sulit didasarkan atas
pertimbangan rasio, tetapi semata-mata atas petunjuk wahyu Allah.
حدثنا الحميدي حدثنا سفيان حدثنا األعمش عن مسلم قال كنا مع مسروق في دار يسار بن نمير فرأى فيصفته
سمعت النبي صلى هللا عليه و سلم يقول )إن أشد الناس عذابا عند هللا:تماثيل فقال سمعت عبد هللا قال
Artinya :“(Hadis riwayat) dari Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah saw. telah
bersabda : “sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat
Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Berbagai hadis Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk
bernyawa itu dinyatakan dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah. Dikatakan demikian ,
tegasnya , karena dalam hadis itu dikemukakan berita tentang nasib masa depan para
pelukis di hari kiamat kelak. Dengan demikian, hadis yang mengandung berita masa depan
di hari kiamat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator sebuah hadis dinyatakan oleh
Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah.
Dalam realitas kehidupan sekarang ini banyak ditemukan rumah-rumah yang dihiasi
dengan lukisan dan patung yang bernyawa baik di dalam maupun di halaman rumah bahkan
di bangunan kota dan fasilitas umum lainnya. Keadaan seperti ini menjadikan seni lukis
sebagai kebutuhan hidup di era modern yang tidak bisa terhindarkan. Pada Ilmu
Kedokteran, Georafi, Biologi, Fisika dan lain-lain sangat diperlukan. Ketika merespon
hadis Nabi tersebut mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok
yang melarang lukisan secara mutlak. Kelompok kedua, kelompok yang membolehkan
lukisan secara mutlak. Kelompok pertama memahami hadis tersebut secara tekstual.
Sedangkan kelompok kedua memahami hadis tersebut Musykil di era modern ini serta
bertentangan dengan rasio dan nalar karena tidak akomodatif terhadap perkembangan
zaman padahal ajaran Islam cocok untuk semua zaman dan tempat.
8
Hadis tersebut sangat terkait dengan pratek keagamaan masyarakat pada saat hadis itu
disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum terlepas dari kepercayaan Animisme dan
Politeisme (mensyerikatkan Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan semacamnya.
Dalam kapasitas Nabi sebagai Rasul, Nabi berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas
dari kemusyrikan atau pratek keagamaan yang menyesatkan itu. Salah satu yang ditempuh
adalah mengeluarkan larangan memprodusi dan memajang lukisan atau patung makhluk
yang bernyawa. Jika tidak dikeluarkan larangan seperti itu, maka akan sulit melepaskan
kepercayaan lama. Jadi, hadis ini sebenarnya secara antropologis disabdakan dalam kondisi
masyarakat transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme kepercayaan monoteisme,
dari watsaniyyah ke tauhid,sehingga perlu adanya larangan secara keras terhadap pratek
yang sangat potensial dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.
Kalau ‘illat al-hukum-nya demikian , maka pada saat umat Islam tidak lagi
dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan , khususnya dalam bentuk penyembahan
dalam lukisan , membuat dan memajang lukisan diperbolehkan .
Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illatnya, bila ‘illatnya ada, maka
hukumnya tetap ; dan bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun berubah.
َل يزال هذا األمر في قريش ما بقي: عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال:عن ابن عمر رضي هللا عنهما
. منهم اثنان
Artinya: Dari Abdullah bin Umar , Rasulullah SAW . bersabda :”Dalam urusan
(beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi
pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja. (HR.Bukhari,
Muslim,dan Ahmad).
9
لهم
َ س َ عل ْيََ ِه َوَ َُصلهى هالل َ َف َجا َء رسول هللا، ار ِ ص ْ
َ ََاألن َت َر ُج ٍل مِ ن ِ َْبيَ ُكنها فِي: ع ْن أن ٍَسََ َقا َل
َ
َو َل، عل ْيََ ُك ْم َح ٌّق َ ئ همِ ةُ مِ ْن
َ َولهََُ ْم، قرَُ ي ٍْش َ األ: فقَ ََ ا َل، ب ِ ضادتَي ِ ْال َبا ِ ، َف فَأخَََ ذ
َ َِ بع َ ََحتهى َوق
ْ َما ِإذا َ اس، َُك ْم مِ ثْ ُل ذ ِلََ ك
، ْترَُ حِ ُموا َرحِ ُموا
ِ َو ْال َمالئَكِ ََ ة، ِع ْل ذ ِلََ كَ مِ ْن ُه ْم ف َعََ ل ْيََ ِه ل ْعََ نَةُ هللا َ فمََ ْن لَ ْم
َ َْيف َ ، فهوا
ْ َدوا َو َ َ َوإِذا، عدلَ ُوا
ُ ع اه َ َوإِذا َ َح َك ُموا
. َالنهاس أجََْ َمعِين
ِ َو،
Artinya: Anas berkata: kami berada di rumah salah seorang sahabat Anshar,
Nabi saw datang dan berhenti kemudian memegang tiang pintu lalu bersabda: “ para
pemimpin itu adalah dari suku Quraisy, mereka memiliki hak atas kamu dan kamu memiliki
hak yang sama. Ketika kamu meminta belas kasih, mereka (memberi) belas kasih. Ketika
mereka memerintah, mereka adil, dan ketika mereka berjanji, mereka menepati.
Barangsiapa dari mereka yang tidak berbuat demikian maka laknat Allah dan Malaikat serta
seluruh manusia. (HR. Ahmad).
Adakalanya suatu hadis dinyatakan Nabi saw dalam kapasitas beliau sebagai hakim
atau manusia layaknya manusia yang lain. Sebagai contoh adalah hadis Nabi tentang
keterbatasan pengetahuan hakim, berbunyi:
إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له
بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركها
10
Artinya: Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya).
Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja
sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargumen) daripada
yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar, lalu saya
putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya
dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah
potongan bara api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya. (HR.
Jama’ah).
Hadis tersebut memberi petunjuk atas pengakuan Nabi saw sebagai manusia layaknya
manusia umumnya dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, Nabi
mengaku memiliki kekurangan, mungkin saja dapat dikelabuhi oleh kepintaran pihak yang
berperkara dalam mengemukakan argumentargumennya untuk memenangkan perkara.
Walaupun, sesungguhnya apa yang dia katakan itu tidak benar. Dalam mengadili perkara,
pengetahuan Nabi terbatas pada apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang berperkara
berdasarkan bukti-bukti yang mereka ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai
akibat dari kepintaran dari pihak yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak
yang berhasil mengelabuhi Nabi tersebut.
Apa yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh Nabi saw. tersebut
bersifat universal. Akan tetapi, keputusan yang ditetapkan oleh hakim disuatu segi mungkin
bersifat universal, temporal, ataupun lokal, sedangkan di segi yang lain, keputusan hakim
itu mungkin benar dan mungkin tidak benar. Dengan demikian, hadis Nabi tersebut
dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai hakim.
Dalam kapasitas beliau sebagai manusia layaknya manusia yang lain, banyak pernyataan
Nabi saw, yang berkaitan dengan beliau ketika beliau menyabdakan hadis tersebut layaknya
manusia umumnya. Contoh;
أنه رأى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه:عن عباد بن تميم عن عمه
. على األخرى
11
Artinya: Dari Ubad bin Tamin dari pamannya (Abdullah bin Zaid) bahwasanya
dia telah melihat Rasulullah saw. Berbaring dalam mesjid sambil meletakkan kaki yang
satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari,Muslim, dan Ahmad).
Secara tekstual, hadis di atas menunjukkan bahwa cara Nabi Saw. Berbaring
dalam posisi meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Pada saat itu tampaknya
Nabi sedang merasa nyaman dengan berbaring dalam posisi seperti yang digambarkan oleh
hadis di atas, meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain.Perbuatan itu dilakukan oleh
Nabi Saw. Dalam kapasitas beliau sebagai pribadi.
Menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis
itu terjadi, selain dimungkinkan juga sangat membantu untuk memahami kandungan
petunjuk hadis Nabi secara benar. Hanya saja, usaha yang demikian itu tidak mudah
dilakukan dan tidak mudah disepakati oleh ulama. Pada sisi lain, menghubungkan
kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi menunjukkan
bahwa tidak semua hadis Nabi dapat dipahami secara tekstual, tetapi kadang menghendaki
pemahaman kontekstual. Itu berarti bahwa kandungan hadis Nabi ada yang bersifat
universal, temporal, atau lokal.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Klasifikasi hadis Nabi menurut kedudukan dan fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis
itu di memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan. Kedudukan hadis Nabi dapat
senatiasa dipahami Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya
sebagai Rasulullah, ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya. Untuk
hadis yang dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai seorang kepala Negara
dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana
baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi
ketentuan syariat yang bersifat umum.
B. Saran
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan
dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah
diatas.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://www.tongkronganislami.net/diskursus-kedudukan-hadis-sebagai-
sumberajaran-islam/
https://tahdits.wordpress.com/2013/01/09/memahami-kandungan-hadis-dihubungkan-
dengan-fungsi-nabi-muhammad-saw/
14
1
DISUSUN OLEH:
ZULFIKAR
30300119008
NUR WAHYUNITA
30300119016
ALFIAN NOOR
30300119038
KATA PENGANTAR
Penulis
(kelompok IX)
3
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
A. Latar belakang ......................................................................................................4
B. Rumusan masalah..................................................................................................4
C. Tujuan ..................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................6
A. Perbedaan latar belakang budaya yang dihadapi ....................................................6
B. Perbedaan Keyakinan/Iman.................................................................... ....7
C. Perbedaan kapasitas Intelektual ..............................................................................9
D. Perbedaan kondisi psikologis ...............................................................................10
BAB III PENUTUUP ...................................................................................................14
A. Kesimpulan..........................................................................................................14
B. Implikasi..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................15
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah untuk semua umat manusia,
didalam diri beliau terdapat suri tauladan yang baik bagi umatnya. Allah
juga telah menerangkan didalam kitab-Nya bahwa Nabi Muhammad diutus
tidak lain adalah sebagai Rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana yang
tertulis didalam
QS. Al-Anbiya :107
َس ْل ٰنكَ ا اَِّل َر ْح َمةً ِللْ ٰعلَ ِميْن
َ َو َما ٓ ا َ ْر
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam”1
B. Rumusan masalah
a. Bagaimana penyampaian hadits dengan perbedaan latar belakang?
b. Bagaimana menyampaikan hadits dengan perbedaan kafasitas iman?
c. Bagaimana penyampaian hadits dengan perbedaan kapasitas intelektual?
d. Bagaimana penyampaian hadits dengan perbedaan kondisi kejiwaan?
C. Tujuan
a. Dapat mengetahui bagaimana penyampaian hadits Nabi dengan perbedaan
latar belakang pihak yang dihadapi
1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al -Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT.Bumi Restu,
1977), h.508
5
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa‟ad dari ayahnya dari
Humaid bin „Abd al-Rahman dari „Abdullah bin „Amar ra. Berkata;
Rasulullah saw. Bersabda: ‛sesungguhnya termasuk dosa besar adalah
seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri, beliau ditanya; kenapa
hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?‛ beliau menjawab: ‚seseorang
mencela (melaknat) ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas
mencela ayah dan ibu orang yang pertama”
Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Abu al-
Yaman, telah menggambarkan kepada kami Syu’aib dari al-Zuhri
berkata, telah menggambarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah
bun ‘Utbah bin Mas’ud bahwa Abu Hurairah berkata, ‚seorang arab
badwi berdiri dan kencing di masjid, lalu orang-orang ingin
mengusirnya. Maka Nabi saw. Pun bersabda kepada mereka:
‚biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimbah air,
atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk
memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.2
2
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013), Hal. 135-137
8
Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Adam telah
menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami
Amar bin Murrah berkata: ‚suatu hari Sahal bin Hunaif dan Qais bin
Sa’ad sedang duduk di Qadisiyah, lalu lewatlah jenazah dihadapan
keduanya, maka keduanya berdiri. Kemudian dikatakan kepada
keduanya bahwa jenaza itu adalah dari penduduk asli, atau dari Ahlu
dzimmah. Maka keduanya berkata : ‚Nabi saw. Pernah jenazah lewat
dihadapan beliau lalu beliau berdiri. Kemudian dikatakan kepada
beliau bahwa itu adalah jenazah orang Yahudi. Maka Beliau
bersabda: bukankah ia juga memiliki nyawa?
3
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013), Hal 139
9
Artinya:
Muslim berkata: telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb
telah menceritakan kepada kami Umar bin Yunus al-Hanafi telah
menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Abu Thalhah telah menceritakan kepada kami
Anas bin Malik yaitu pamannya Ishaq dia berkata, ketika kami berada
di masjid bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang Badui
yang kemudian berdiri dan kencing di masjid. Maka para sahabat
Rasulullah saw. Berkata: cukup,cukup. Anas berkata,Rasulullah
Saw. Lantas bersabda:‛ janganlah kalian menghentikan kencingnya
biarkanlah dia hingga dia selesai kencing‛ Kemudian Rasulullah
memanggilnya seraya berkata kepadanya: ‚sesungguhnya masjid ini
tidak layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Ia
hanya
untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur’an‛.
Atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Saw. Anas melanjutkan
ucapannya,lalu beliau memerintahkan seorang laki-laki dari para
sahabat (mengambil air), lalu dia membawa air satu ember dan
mengguyurnya.
Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Abd al-Aziz bin
Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin sa’ad dari al-Zuhri
dari sa’id bin al-Muzayyab dari Abu Hurairah ra. Berkata: ditanyakan
kepada Nabi Saw: amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab:
iman kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian ditanya lagi ‚kemudian
apa? Beliau menjawab: al-jihad fi sabilillah. Kemudian ditanya lagi:
kemudian apa lagi?beliau menjawab: Haji Mabrur.
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Saw. ketiak ditanya amal
terbaik maka Rasulullah menjawab bahwa amal terbaik adalah beriman kepada
Allah SWT., kemudian jihad dan haji mabrur. Artinya Rasulullah lebih
memilih mendahulukan beriman kepada Allah SWT sebagai amal
terbaik,padahal dalam riwayat Ibn Mas‟ud Rasulullah tidak memasukkan
beriman kepada Allah SWT sebagai amal terbaik. Misalnya hadits:
4
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013), hal 139-140
10
11
Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepadaku Sulaiman telah
mencerutakan kepada kami Syu’ban dari al-walid (dalam jalur lain
disebutkan) telah menceritakan kepadku Abbas bin Ya’kub al-
Asadi telah menggambarkan kepada kami Abbas bin al-Awwam dari
al- syaibani dari al-Walid bin al-Aizar dari Abu Amr al-Syaibani dan
Ibn Mas’ud ra. Bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi
saw. amalan apa yang paling utama? Nabi menjawab: ‚shalat tepat
pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad fi sabilillah
berbeda bahwa amal terbaik adalah memberi makan dan memberi salam
kepada siapapun,
misalnya:
Artinya: Ahmad berkata: telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Abu alNadar
keduanya berkata, berkata, telah menceritakan kepada kami Lais telah menceritakan
kepadaku yazid bin Abi Habib dari Abu al-Khairndari Abdullah bin Amar bahwa
ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw.: ‚amalan apakah yang paling baik?‛
Beliau menjawab: memberikan makan dan memberi salam kepada orang yang kamu kenal
dan yang tidak kamu kenal.5
Pada kesempatan lain, tatkala Abu Musa al-Giffari bertanya tentang amal
kebajikan yang utama, maka jawaban Nabi adalah hadits Nabi berbunyi:
5
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013),Hal 141
12
13
Artinya:
Al-Bukhari berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin
Musa dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Abu Murawih dari Abu
Dzarr ra. berkata: aku bertanya kepada Nabi Saw. ‚amal apakah yang
paling utama? Beliau menjawab: Iman kepada Allah dan jihad di
jalan-Nya,Kemudian aku bertanya lagi: ‚pembebasan budak manakah
yang paling utama?. Beliau menjawab: yang paling tinggi harganya
dan yang paling berharga hati tuannya>. Aku berkata :bagaimana jika
aku tidak dapat mengerjakannya?. Beliau berkata: ‚ kamu membantu
orang yang terlantar atau orang bodoh yang tidak mempunyai
keterampilan. Aku berkata lagi: ‚ bagaimana jika aku tidak dapat
mengerjakannya?. Beliau berkata: kamu hindari manusia dari
keburukan karena yang demikian berarti shadaqah yang kamu lakukan
untuk dirimu sendiri
Dari petunjuk hadits Nabi itu dapat dipahami bahwa islam menekankan
pentingnya sikap kepedulian sosial, di samping menghargai keterampilan
(teknologi) dan berbagai kegiatan kreatif dalam upaya meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Bentuk kepedulian itu adalah memberi makan orang yang kelaparan
atau fakir; membantu orang yang memiliki keterampilan agar dia dapat
mengembangkan keterampilannya; dan bila orang yang perlu bantuan itu tidak
memiliki keterampilan, maka hendaklah menciptakan kegiatan, agar orang yang
tidak mampu itu dapat memanfaatkannya (untuk mengatasi kesulitan hidupnya).
13
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan latar belakang budaya yang dihadapi, bagaimana Rasullah
menghadapi badwi yang identik dengan orang primitif tentu dengan budaya
primitif pula, sedangkan sahabat Nabi saw Mengahadapinya dengan budaya
yang sudah maju, yakni budaya yang sudah mengenal etika modern.
Perbedaan agama misalnya tidak menghalangi Nabi Saw. Untuk tetap
berbuat baik dan menghormatinya. Seperti menetapkan orang-orang non muslim
sebagai pekerja atau memberikan pekerjaan kepada mereka.
Dari petunjuk hadits Nabi itu dapat dipahami bahwa islam menekankan
pentingnya sikap kepedulian sosial. Bentuk kepedulian itu contohnya adalah
memberi makan orang yang kelaparan atau fakir; membantu orang yang
memiliki keterampilan agar dia dapat mengembangkan keterampilannya; dan
bila orang yang perlu bantuan itu tidak memiliki keterampilan, maka hendaklah
menciptakan kegiatan, agar orang yang tidak mampu itu dapat
memanfaatkannya (untuk mengatasi kesulitan hidupnya).
Dengan memahami hadits-hadits yang kelihatannya berbeda dan
berlawanan dapat terselesaikan tanpa harus mengabaikan salah satu dari sekian
hadits-hadits Rasulullah Saw. terlebih lagi mempertentangkannya hingga harus
ada yang diamalkan dan ada yang ditinggalkan.
B. Implikasi
Mungkin inilah yang bisa kami sampaikan pada penulisan makalah
Meskipun penulisan ini jauh dari kata sempurna minimal kita dapat mengambil
manfaat dan ilmu dari tulisan ini. Masih banyak kesalahan dari penulisan yang
kami lakukan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran/kritikan agar
bisa menjadi motivasi kedepannya agar lebih baik lagi
14
15
DAFTAR PUSTAKA
15
TUGAS KELOMPOK
MAKALAH
“PENGAPLIKASIAN SABDA NABI SECARA UNIVERSAl DAN LOKAL”
Dosen Pembimbing
Dr. H. Mukhlis Mukhtar, M.Ag.
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini yang berjudul "Menyeru kebaikan" tepat pada waktunya. Dan tidak
lupa pula kita sanjung pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah
membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Muslim telah sepakat, bahwa Hadis Nabi merupakan sumber hukum
kedua umat islam setelah Al-Qur'an. Sebagaimana kita tahu bahwa salah saru fungsi
Hadis yakni sebagai penjelas daripada Al-Qur'an itu sendiri. Hadis Nabi merupakan
segala bentuk ucapan (qaul), perbuatan, serta taqrir dari Rasulullah saw.
Sebagaimana kita tahu bahwa hadis ini telah ada pada zaman dahulu, maka kami
akan menjelaskan mengenai bagaimana cara untuk menempatkan hadis pada zaman
universal seperti sekarang ini, karena kita tahu bahwa hadis juga mencakup dari
rangkaian rujukan bagi setiap umat muslim dalam menjalankan keagamaan ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1) Untuk melihat cara pandang hadis bersifat universal?
2) Untuk mengetahui sabda Nabi yang bersifat universal
3) Untuk mengetahui sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu tertentu (lokal)
1
BAB II
PEMBAHASAN
Segala sesuatu butuh cara untuk mengetahui maksud tertentu, begitupula dnrgan
hadis nabi, butuh metode pemahaman agat hadis itu mampu dipahami dan diketahui
serta dimengerti. Maka dari itu kita mesti melihat dari segi matan hadis dan juga
cakupannya.
a. Jami' Al-kalim, yakni ungkapan yang singkat tapi padat maknanya dan
pemahaman Hadis Nabi yang dapat dimengerti sejalan dengan pengertiannya.
أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال ) بعثت بجوامع الكلم: عن أبي هريرة رضي هللا عنه
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Saya
diutus (oleh Allah) dengan (kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan
yang singkat, namun padat makna….” (H.R. Jamaah).
2
Contoh hadis dikategorikan jawami' al-kalim:
رضى هللا عنه- َع ْن أَبِى ه َُري َْرة َ َّللا أَ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر
َ ع ْن هَ َّم ِام ب ِْن ُمنَبِ ٍه َ َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَص َْر َم أَ ْخبَ َرنَا-
ِ َّ ُع ْبد
1
عة َ ْ ْال َحر- صلى هللا عليه وسلم- ى
َ ْب ُخد ُّ ِقَا َل َس َّمى النَّب
Artinya: Abu Bakar bin Ashram telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah telah
mengkabarkan kepada kami, Ma’mar telah mengkabarkan kepada kami dari
Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata:”Perang
itu adalah siasat".
b. Bahasa tamsil
Tamsil dalam kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti persamaan
dengan umpama (missal). Tamsil diambil dari fi’il madhi matsala, artinya
perumpamaan. Yang dimaksud dengan ungkapan tamstil ialah uangkapan
yang berisi penjelasan suatu obyek lain karena memiliki kesamaan arti. 3
Hadis tamsil tentang Persaudaraan atas dasar iman, hadis Nabi SAW berbunyi:
1
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃ’ȋl al-Bukhȃriy, Op. Cit., h. 579. Kitab: Al-Jihȃd, Bab: al-
Harb Khad’ah, Hadis no. 3029
2 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani al-Hadits tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h.
11.
3
Nuruddin, M. Ag, Qawaid Syarah Hadis, (Nora Media: Kudus, 2010), hlm.8
3
ضهُ بَ ْعضا ُ َان ي
ُ شدُّ بَ ْع ِ ْ «إِنَّ ال ُمؤْ مِنَ ل ِْل ُمؤ:َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَال
ِ َمِن كَالبُ ْني َ ُصلَّى هللا
َ ِ ع ِن النَّبِي ْ ِع ْن أَب
َ ي ُم ْو َسى َ «
َ ََو َشبَّكَ أ
رواه البخاري ومسلم.ُصابِعَه
Artinya: Dari Abu Musa r.a., dari Nabi SAW telah bersabda, “Orang mukmin
terhadap orang mukmin lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh
terhadap bagian lainnya sambil bertelekan (menjalinkan jari-jari tangannya).”
(H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
c. Ungkapan simbolik
Hadis tentang dajjal yang berbunyi:
4
Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, matanya seperti buah anggur yang timbul.”
(H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Pernyataan bahwa Allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan simbolik. Allah
Maha Suci dari segala sifat yang menyamakan-Nya dengan makhluk. Ungkapan
tersebut dapat diartikan sebagai kekuasaan. Jadi maksud ungkapan tersebut adalah
kekuasaan yang sempurna.
Dilihat dari arti simbolik diatas, dapat kita pahami bahwa dajjal dalam hal ini juga
memeliki pengertian sebagaimana arti dari hadis itu yang bersifat simbolik. Dimana
Rasulullah saw. Sendiri menyebutkan bahwa ciri-ciri dajjal ialah buta matanya satu,
disini dimaksud bukan hanya matanya tetapi juga sifat-sifatnya yang tercela yang
membuat dia menjadi seburuk-buruk fitnah dunia
d. Ungkapan Analogi/Percakapan
5
diturunkan karena akar keturunan.' Nabi bersabda: "warna anakmu bisa jadi
juga karena akar keturunan." (HR.Bukhari No.6341)4
4
https://www.hadits.id/hadits/bukhari/6341
6
jagung, maka zakat fitrah dapat dibayar dengan menggunakan makanan pokok
tersebut.
ِ ب َواَ ْعفُو
الل َحي )رواه البخارى ومسلم وغييرهما عن ابن عمر َ اِ ْن َهكُوا ال َّش َو ِار
Perintah Nabi tersebut memang relevan untuk orang-orang Arab, Pakistan dan
lain-lain yang secara alamiah mereka dikaruniani rambut yang subur, termasuk
dibagian kumis dan jenggot. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut-rambut orang
Indonesia tidak sama dengan milik orang-orang Arab tersebut. Banyak orang
Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang.
Atas kenyataan itu, maka hadis diatas harus dipahami secara kontekstual.
Kandungan hadis tersebut bersifat lokal. 5
5
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1994), h. 68-69
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti yang telah kita bahas dalam makalah ini, bahwa mengetahui matan hadis
itu termasuk penting untui mengetahui persoalan hadis itu sendiri. Juga ada banyak
macam-macam hadis yang dapat kita lihat dan bersifat universal, diantarnya jami'
Al-kalim, Bahasa tamsil hinggal metode Analogi.
Sebagaimana yang kita juga tahu bahwa hadis ialah segala yang disandarkan pada
diri Rasulullah saw. Maka kita dapat melihat contoh-contoh kandungan hadis yang
dihubungkan dengan Rasulullah saw. Dimana kita tahu Rasulullah saw. Bukan
hanya sebagai nabi dan rasul, tetapi juga menjadi pimpinan Negara, suami, bahkan
masyarakat layaknya masyarakat pada umumnya
Kami selaku Penulis dari makalah ini, tentunya masih menyadari jika makalah
diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka kami
sebagai selaku Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
8
pada banyak sumber serta pentingnya kritik yang membangun dari para pembaca
sekalian.
Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
http://Jurnal.iain-bone.ac.id
http://khaliqullah.blogspot.com/2018/05/memahami-hadis-nabi-
denganbahasa.html?m=1
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani
alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), h. 11.
https://karaengmattawang.wordpress.com/2011/06/12/pemahaman-hadis-
dilihatdari-segi-bentuknya/
https://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=231
https://www.republika.co.id/berita/qk2s1e320/2-sifat-rasulullah-saw-yang-
jugabisa-dimiliki-umat-islam
9
https://khusnulweb.wordpress.com/2016/06/18/perbedaan-antara-makna-
universal-temporal-dan-lokal/
http://khaliqullah.blogspot.com/2018/05/memahami-hadis-nabi-dengan-
bahasa.html?m=1
http://echie-d.blogspot.com/2014/04/pemahaman-hadis-secara-tekstual-
dan.html?m=1
10
MAKALAH
2021
KATA PENGANTAR
Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua yang membacanya.
(Penulis)
2
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ...................................................................................19
B. Implikasi .......................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber ajaran Islam yang pokok adalah al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan
yang sangat penting dalam kehudupan ummat Islam. Walaupun terdapat perbedaan dari segi
penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya harus dijadikan
rukukan. Dari keduanya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman utama, oleh karena itu
kajuan-kajian diantaranya tidak pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring
dengan kebutuhan ummat Islam.
Akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar antara al-Qur’an dan Hadis. Untuk al-Qur’an,
semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk Hadis
sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dansebagian berlangsung secara
ahad.1
Memahami hadis dengan langkah Ma’ᾱnil al-Ḥadiṡ merupakan langkah awal dalam
menyikapi wacana-wacana keislaman yang merujuk pada hadis-hadis Nabi yang tersebar
diberbagai literatur Islam, yang selalu dikutip tanpa mempertimbangkan makna matan hadis.
Pemahaman seseorang dari generasi satu ke generasi berikutnya selalu mengalami banyak
perubahan dari segi sosio-kultural, sehingga menuntut untuk melakukan penafsiran ulang
terhadap teks-teks hadis sesuai dengan realitas yang ada saat ini. Dari sini akan
memberikanpemahaman apakah hadis-hadis tersebut relevan untuk dilaksanakan atau tidak
sebagaimana makalah yang akan dibahas mengenai sabda Nabi dilihat dari aplikasinya, baik
sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu (temporal), maupun sabda Nabi yang tampak
bertentangan dan cata memahaninya.
1
Syuhudi Ismail, Perkembangan Pemikiran Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1994), h.3
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hadis?
2. Bagaimana kedudukan hadis?
3. Apa saja sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu?
4. Apa saja sabda Nabi yang yang tampak bertentangan dan cara memahaminya?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis untuk menambah pengetahuan pembaca seputar sabda Nabi dilihat dari
aplikasinya, yang terbagi dua subtema, yaitu sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu atau
temporal dan sabda Nabi yang tampak bertentangan dan cara memahaminya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
Sebelum kita melangkah lebih jauh tentang pembahasan hadis Nabi dari aplikasinya,
maka terlebih dahulu kita harus memahami apa hadis itu. Jadi, hadis menurut bahasa yaitu
sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga
berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari
seorang kepada orang lain. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari
Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah
penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam
berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh
Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu
adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap
perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan
suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi,
Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi
diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi.
6
B. Kedudukan Hadis
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum
Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang
untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil
yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan
perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan
Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh
karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat
Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada asul
sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat
an-Nisa 59.2
سو ِل إِن
ُ ٱلر
ٱَّلل َو ه َ سو َل َوأ ُ ۟ولِى ْٱْل َ ْم ِر مِ ن ُك ْم ۖ فَإِن ت َ َٰنَزَ ْعت ُ ْم فِى
ِ ش ْىءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى ه ُ ٱلروا ه ۟ ُٱَّلل َوأَطِ يع ۟ َُٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلهذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا أَطِ يع
َ وا ه
يل َ ٱل َءاخِ ِر ۚ َٰ َذلِكَ َخ ْي ٌر َوأ َ ْح
ً س ُن ت َأ ْ ِو ْ ٱَّلل َو ْٱليَ ْو ِم
ِ ُكنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ بِ ه
Terjemah Arti: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
2
https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-hadits.html. Diakses pada tanggal
10 Maret 2021
7
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.3
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-
apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bila wahyu mempunyai
kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk
dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari
segi kebenaran materinya dan kedua dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang
terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad sebagaimana dijelaskan
diatas.4
3
https://almanhaj.or.id/4099-renungan-tentang-waktu.html diakses pada tanggal 10 Maret 2021.
4
Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Perkataan ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul- Iman,
dari Abud Darda’ Radhiyallahu anhu.
8
Di dalam surat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan
masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa
terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan kesusahan,
sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang menyian-nyiakan
umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan belaka, kemudian ia
bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima, maka ia akan
mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam surga
selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling
berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan
anugerah Allâh Ta’ala, tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika
tidak memanfaatkannya.
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada
keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933].
Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang
besar dari Allâh Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan kerugian
terhadap nikmat ini. Di antara bentuk kerugian ini adalah:
1. Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna.
Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama,
padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.
9
2. Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang
memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah
dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
3. Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling
tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu
dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan
waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Allâh di
dunia dan di akhirat.
5
Kitab Rabi’ul-Abrar, hlm. 305.
6
Disebutkan dalam kitab Taqrib Zuhd Ibnul-Mubarok, 1/28.
10
“Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah
pada malam dan siang itu”.7
“Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan
menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu
malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang”. [Riwayat Ibnu Abi
Syaibah, no. 37056].
7
Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.
11
sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi
Salaf lebih mahal dari pada uang. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
“Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk
dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.”
8
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-220-hadits-hadits-yang-saling-bertentangan.htmldiakses pada tanggal 10 Mei
2021
12
غ ٌّد لَكَ فَ ُك ْن فِي غ ٍَد َك َما ُك ْنتَ فِ ْي ْال َي ْو َم
َ ْف فَإِنهكَ ِب َي ْومِ كَ َولَسْتَ ِبغ ٍَد فَإِ ْن َي ُك ْن
َ اِبْنَ آ َد َم ِإيهاكَ َوالت ه ْس ِوي
طتَ ِف ْي ْال َي ْو ِم
ْ علَى َما فَ هرَ َو ِإ هَّل َي ُك ْن لَكَ لَ ْم ت َ ْن َد ْم
9
Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.
13
atsar dimana ada dua hadits atau atsar yang berkaitan dengan suatu masalah, namun
keduanya mempunyai kontradiksi makna secara lahir (dzahir), atau dalam ilmu
hadits dikenal dengan istilah mukhtalif al-ahadits atau musykil al-atsar.
Namun sebelumnya, perlu kita garis bawahi bahwa hadits yang merupakan sabda
Nabi Muhammad SAW dan menjadi salah satu sumber hukum (mashdar al-tasyri’)
dalam agama islam, tidak mungkin terjadi kontradiksi di dalamnya. Karena kita
tahu bahwa apa yang beliau sabdakan semata-mata adalah wahyu dari Allah SWT
seperti yang tertera dalam al-Qur'an surah an-Najm ayat 3 dan 4. Adapun
kontradiksi yang dimaksud disini adalah kontradiksi makna jika dilihat secara
lahirnya saja. Namun jika diteliti lebih dalam maka kontradiksi itu akan hilang
dengan sendirinya.
Ibnu Khuzaimah pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui ada dua hadits
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, dengan sanad yang sama-sama
shahih namun maknanya saling bertentangan. Maka jika ada orang yang
mengetahuinya, berikanlah kepadaku niscaya akan aku padukan keduanya.”
Oleh karena itu, praktek pengolahan input seperti ini (mukhtalif al-ahadits) tidak
bisa dilakukan oleh sembarang orang. Paling tidak orang yang hendak
melakukannya harus menguasai minimal dua bidang ilmu sekaligus yaitu ilmu
hadits dan ilmu fiqih. Mengingat kedua disiplin ilmu tersebut mempunyai kaitan
yang sangat erat satu sama lain. Al-A’masy salah seorang muhaddits (ahli hadits)
dari kalangan tabi’in pernah berkata di tengah perbincangannya dengan Imam Abu
Hanifah untuk menggambarkan kaitan antara kedua ilmu ini, “Wahai para ahli
fiqih! kalian adalah dokter dan kami (ahli hadits) adalah apoteker.”
Dalam ilmu mukhtalaf al-hadits sendiri para ulama telah merumuskan beberapa
cara atau solusi dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan tersebut. Antara
lain adalah dengan al-jam’u (memadukan/mencari titik temu), al-tarjih (mencari
yang paling kuat/dominan), dan ma’rifah an-nasikh wal mansukh (mengetahui
mana yang menasakh dan mana yang dimansukh).
Namun permasalahannya tidak berhenti sebatas dengan mengetahui cara-cara di
atas. permasalahan lain yang sering muncul adalah timbulnya perbedaan pandangan
di antara para ulama dalam mempertimbangkan cara yang paling tepat untuk
14
diprioritaskan dan yang lebih mungkin untuk diaplikasikan dalam menyikapi
hadits-hadits yang bertentangan itu.Yang pada akhirnya akan menimbulkan
perbedaan dalam pengambilan kesimpulan hukum sesuai cara yang ditempuh oleh
masing-masing ulama. Dan hal itu membuat perbedaan-perbedaan hukum dalam
satu masalah dalam koridor masail fiqhiyyah menjadi sangat wajar adanya.
Di sini penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan
mukhtalaf al-hadits, yaitu mengenai hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hadits yang akan menjadi pokok bahasan
kita di sini. Yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abullah bin al-
Muzani :
ًسنهة ُ قَا َل فِي الثها ِلث َ ِة ِل َم ْن شَا َء ك ََرا ِهيَةَ أ َ ْن يَتهخِ ذَهَا النه،ب
ُ اس َ صلُّوا قَ ْب َل
ِ صلَةِ ال َم ْغ ِر َ
Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :
سله َم
َ علَ ْي ِه َو ُ صلهى ه
َ َّللا ِ سو ِل ه
َ َّللا ُ ع ْه ِد َر ِ الر ْك َعتَي ِْن قَ ْب َل ْال َم ْغ ِر
َ ب فَقَا َل َما َرأَيْتُ أ َ َحدًا
َ علَى ع ِن ه
َ ع َم َر
ُ سئل بن
ص ِرْ َالر ْكعَتَي ِْن بَ ْع َد ْالع
ص فِي ه َ صلِي ِه َما َو َر هخ
َ ُي
Artinya:“Ibnu Umar ditanya tentang dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia
berkata aku tidak pernah melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan
shalat tersebut namun Beliau memberikan keringanan pada dua rakaat setelah
ashar”
Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang
pertama menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang
kedua manafyikan kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para
ulama menyikapi kedua hadits di atas.
15
1. Al-Jam’u
Sebagian ulama hanafiyah menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi
kedua hadits di atas sebagaimana disebutkan oleh Badruddin al-‘Aini dalam
kitabnya ‘Umdah al-Qori Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasannya adalah
sebagai berikut.
Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal
kemunculan islam, untuk menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang
untuk shalat dengan terbenamnya matahari sehingga rasulullah SAW
menganjurkan untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib sebagai
pertanda bahwa waktu tersebut sudah diperbolehkan untuk melakukan
shalat, baik itu shalat sunnah atau shalat fardu.
2. At-Tarjih
Cara yang kedua adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits
yang dianggap lebih kuat atau dominan. Penjelasannya adalah sebagai
berikut :
Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-
Muzani adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain
itu hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadits yang
termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam Ahmad,
Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-
Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro karya Imam al-
16
Baihaqi.Selain itu, hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga
merupakan hadits shahih. yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas bin
Malik :
Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia
tidak melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang melakukan shalat dua
rakaat sebelum maghrib, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-
Baihaqi.
Dari sisi lain, metode tarjih juga bisa dilakukan dengan cara memandang
dari sisi itsbat dan nafyi-nya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang
17
menetapkan atau meng-itsbat (mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat
sebelum maghrib.
Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi)
kebolehannya. Maka jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu
nafi, yang didahulukan adalah hadits yang mutsbit. Karena boleh jadi yang
menafyikan kesunnahan shalat tersebut tidak mengetahui apa yang
diketahui oleh yang meng-itsbat (menetapkan) kesunnahannya.
3. An-Naskh
Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin
al-Muzani, dinasakh oleh hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
dan hadits yang diriwayatkan oleh abdullah bin Buraidah berikut :
Artinya: “sesungguhnya di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua
rakaat, kecuali shalat maghrib”
10
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-220-hadits-hadits-yang-saling-bertentangan.htmldiakses pada tanggal 10 Mei
2021
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa: Kata "Hadits" atau al-hadits menurut
bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama).
Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-hadist.
Hadits ataupun Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam hadits yaitu hadits qauli, hadits
fi’il dan hadits taqriri. Sedangkan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an dalam hukum
islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai
sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama,
dan logika akal sehat (ma`qul).
Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an adalah Al-Qur’an menekankan bahwa Rasulullah SAW
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan
tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta
fungsinya.
19
B. Implikasi
Demikianlah makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa makalah kami terdapat
banyak kekurangan oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Dan mudah-mudahan apa yang kami sajikan pada makalah ini dapat memberi manfaat dan
menambah wawasan bagi para pembaca.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
KITAB-KITAB YANG MENGEMUKAKAN MA’ANIL HADITS
(Kitab-kitab Gharib al-Hadits & Kitab-kitab Jawami al-Kalim)
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Ta‟ala, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam tetap tercurah kepada sang murabbi sejati kita Nabiullah
Muhammad Shallallahu „alayhi wa sallam sebagai suri teladan bagi seluruh umat hingga akhir
zaman.
Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen pembimbing
matakuliah “Ma‟anil Hadis” yakni ayahanda al-Ustadz Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag karena atas
bimbingan beliau, kami semua khususnya kelompok kami, mampu untuk menyelesaikan tugas
Ma‟anil Hadis dengan judul materi Kitab-Kitab yang mengemukakan Ma’anil Hadits (Kitab-
Mohon maaf apabila makalah ini terdapat banyak kekurangan, namun penulis mengharapkan
makalah ini dapat menjadi sumber atau referensi bagi kita semua dalam memahami konsep
2
DAFTAR ISI
SIMPUL ………………………………………………………………………………… 1
C. Tujuan …………………………………………………………………………5
B. Saran………………………………………………………………………….20
C. Daftar Pustaka………………………………………………………………..21
3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Posisi Assunnah atau hadis terhadap al-Qur‟an sangat penting, dikarenakan dalam
Assunnah terungkap berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah saw. Tradisi-tradisi
yang hidup pada masa kenabian mengacu pada kepribadian Rasulullah saw. Yang didalamnya
banyak ajaran islam yang bisa dirasakan hingga saat ini. Dengan adanya keberlanjutan tradisi
itulah sehingga umat manusia zaman sekarang bisa memahami, merekam,dan melaksanakan
tuntunan ajaran islam. Nabi Muhammad saw. Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur‟an dan
musyarri menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Sebagaimana pendapat Imam
Ahmad, bahwasanya sennah (hadis) adalah menafsirkan dan menjelaskan al-Qur‟an. Tingkah
laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara
mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk ayat yang mutlak dalam al-Qur‟an maka
hendaklah mencari penyelesaiannya dalam hadis. Serta terdapat pula hadis-hadis yang memiliki
bahasa yang asing yang perlu dipahami pemaknaannya selain itu ada juga hadis-hadis yang
sangat singkat dan mudah dipahami, sehingga sebagai penulis yang mempunyai rasa ingin tahu
yang tinggi maka penulis berusaha mengkaji permasalahan tentang kitab Gharib-al-Hadits dan
Jawami al-Kalim.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Gharib al-Hadits & Jawami al-Kalim dalam
Ma‟anil Hadits?
Ma‟anil Hadits?
4
C. Tujuan Masalah
Hadits.
5
BAB II PEMBAHASAN
Sebagai sumber hukum Islam ke-dua setelah al-Quran, hadis memang harus dipelihara,
dijaga, dan tentunya diamalkan. Posisi hadis yang sangat esensial sangat dipahami oleh generasi
sepanjang masa. Itulah sebabnya berbagai cara dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini.
Tak sedikit dari mereka yang rela melakukan perjalanan (rihlah) jauh hanya untuk mendengar
satu hadis saja. Dan karena posisinya yang esensial ini lah, maka amatlah mesti adanya
pemahaman yang menyeluruh terhadap setiap lafadz atau kalimat dalam hadis, sehingga
didapatkan pemahaman yang utuh dan tidak parsial atau setengahsetengah. Ini pula sepertinya,
yang di satu sisi membuktikan bahwa hadis adalah juga wahyu dari Allah Swt melalui lisan Nabi
Muhammad Saw. karena nyatanya banyak lafad yang asing (Gharib), yang tidak langsung bisa
dipahami begitu saja. Serupa dengan yang terjadi terhadap lafad-afad alQuran.
Kita tentu pernah mendengar bagaimana seorang sahabat; mufassir yang mempunyai
gelar turjumanul quran seperti Ibn Abbas pada awalnya tidak tahu makna dari ( فطرfathara)
sampai ia mendengar perselisihan dua orang Arab mengenai kepemilikan sebuah sumur, hingga
akhirnya setelah tanpa sengaja memperhatikan percakapan orang Arab tersebut, barulah Ibn
Abbas memahami bahwa arti dari ( فظ رfathara) adalah yang pertama kali menciptakan. Ibn
Abbas mengetahuinya dari katakata yang digunakan orang Arab tersebut dalam percakapannya.
Hal yang demikian terjadi dalam hadis. Ada lafad-lafad yang tidak bisa langsung dipahami
maknanya oleh para ahli hadis, sehingga lahirlah dalam ilmu hadis, satu cabang ilmu yang
6
Sedangkan menurut istilah, makna غرٌةdalam konteks ilmu hadis adalah sebagaimana
Pertama, Ibn Katsir dalam kitabnya al-Ba‟its al-Hatsits mengenalkan bahwa gharib al-
hadits adalah : ال تّعر ج نٕا ج االضٕا, ٗاٌعُ ي تٚ ٍُاٌعٚ ُ اٌحدي زّٙا خ اٌّرعٍك ج تفٌِّٙٓ ا
Hal-hal penting yang berkaitan dengan pemahaman, ilmu dan pengaplikasian suatu hadis.
Bukan mengenai pengenalan struktur dan hal-hal yang berkaitan dengan sanad.1
اٌٙ ِرٓ اٌحدٌس ِٓ ٌفع ج غاِض ج تعٍدج ِٓ اٌفٗ َ ٌمً ج اضرعّا لعٚ ِا.
Apa-apa yang ada dalam matan hadis dari lafad samar yang jauh dari pemahaman,
Gharib al-hadits ini adalah cabang ilmu yang penting, bergelut dalam ilmu ini adalah sulit
sehingga mengharuskan panjang lebar pembicaraannya, karena kita tidak boleh menafsirkan
ُٙاٌف.
Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada dalam matan hadis-hadis dari lafadz-lafadz
samar yang jauh dari pemahaman.4 Keempat, Abu Zahrah dalam al-Hadits wa al-Muhadditsuun.
ُ ٌمً ج اضرعّاٙا غرٌة اٌحدي ز ِا ٌمع فٍٗ ِٓ وٍّاخ غاِض ج تعٍدج ِٓ اٌفٌٙ.
7
Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada di dalam hadis, kalimat-kalimat samar yang
Demikian pengertian Gharib al-Hadits menurut para pakar yang secara esensial sama,
hanya sedikit berbeda dalam redaksinya saja. Dari definisidefinisi di atas pula dapat dengan
mudah kita simpulkan bahwa objek yang menjadi kajian ilmu ini adalah terfokus kepada matan
hadis bukan sanadnya. Mencakup kalimat-kalimat asing yang artinya tidak diketahui karena
memang jarang digunakan dalam percakapan, juga mencakup susunan kalimatnya yang sukar.
Sehingga dengan ilmu ini bisa megurangi kecenderungan untuk menafsirkan perkataan Nabi Saw
Terdapat beberapa hadis shahih yang menegaskan keistimewaan berupa Jawami‟ al-
Kalim. Diantaranya hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Nabi ﷺbersabda,
ة ِ َُٔٚ ُِِ ٍاِِ َع ْاٌ َىَٛ ِد أُعْطِ ٍدُ َج
ُّ ِص ْرخُ ت
ِ اٌر ْع َ ُض ٍْد
ٍّ ّ عٍَى األ َ ْٔثٍَِاءِ تِط ّ ِ ُف..
“Aku diberi kelebihan dibandingkan nabi-nabi sebelumku dengan 6 hal: aku diberi
Jawami‟ al-Kalim, aku ditolong dengan rasa takut yang disematkan di hati para
Dalam riwayat lain, juga dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Nabi ﷺbersabda,
8
Jawami’ al-Kalim adalah kalimat ringkas yang padat makna.
ًٔ اٌىصٍر اٌّعا، اٌمًٍٍ اٌٍفع،جسٌّٛي اٛ أٔٗ واْ ﷺ ٌرىٍُ تاٌم:ٖ ِعٕا:لاي اٌس٘ري
Az-Zuhri mengatakan, „Makna Jawami‟ al-Kalim adalah bahwa Nabi ﷺberbicara dengan
Pendapat kedua didukung oleh hadis dari Abu Musa radhiyallahu „anhu, beliau bercerita,
Rasulullah ﷺpernah mengutusku ke Yaman bersama Muadz bin Jabal radhiyallahu „anhu.
Beliau berpesan,
Dakwahi masyarakat, berikan gabar gembira dan jangan buat mereka lari. Mudahkan
dan jangan dipersulit. Kemudian Abu Musa bertanya kepada beliau mengenai beberapa jenis
minuman hasil fermentasi madu yang disebut al-Bita‟ dan hasil fermentasi gandum yang disebut
َ ىَٙ ْٔ َ أ
ع ْٓ ُو ًِّ ُِ ْطى ٍِّر
Dari keterangan Abu Musa menunjukkan bahwa makna Jawami‟ al-Kalim adalah sabda beliau
Dan pendapat ini juga yang disampaikan al-Munawi dalam Faidhul Qadir,
ٗا عٍى إٌجاز اٌٍفع ِع ضعح اٌّعٕى تٕظُ ٌطٍف ال ذعمٍد فٍٗ ٌعصر اٌفىر فً طٍثٙاِع اٌىٍُ أي ٍِىح ألردر تٛج
Jawami‟ al-Kalim maksudnya adalah kemampuan dimana dengan itu beliau mampu
menyampaikan kalimat ringkas namun maknanya luas, dengan susunan yang bagus, tidak
9
menyulitkan yang membuat pikiran bisa meleset dalam memahaminya dan tidak pula… (Faidhul
Qadir, 1/719
Rasulullah Saw adalah orang Arab yang paling fasih lisannya, sehingga ketika beliau
berbicara kepada delegasi-delegasi orang Arab dari berbagai kabilah dengan perbedaan lisan-
lisannya, mereka dapat memahami apa yang beliau katakan. Begitupun para sahabat, mereka
adalah orang-orang yang paling memahami apa yang beliau katakan, kalaupun ada yang tidak
mereka mengerti, niscaya mereka menanyakannya kepada beliau. Sehingga segala urusan dapat
Pada masa sahabat, sebelum adanya berbagai penaklukan negri-negri, lisan orang Arab
sangatlah baik. Namun setelah banyaknya orang „azam luar Arab yang masuk Islam, maka
mulailah banyak terjadi percampuran, hingga berkembang jaman baru di mana lisan orang Arab
bercampur dengan orangorang „azam luar Arab. Pada masa Tabi‟in, bahasa Arab terus
bercampur sedikit demi sedikit. Sehingga ketika masa tabi‟in berlalu, lisan orang Arab berubah,
Hal ini terus berlangsung sampai Allah Swt mengilhamkan kepada para aimmatuddin
untuk mengobati penyakit ini. Maka para Imam mutaakhkhirin dari atba‟ at-tabi‟in seperti Malik
bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, dan Syu‟bah bin Hajjaj mulai sibuk membicarakan keghariban
Begitu pun banyak dari ulama setelah mereka, yang sangat memperhatikan ilmu ini.
Suatu saat Imam Ahmad pernah ditanya tentang satu huruf yang gharib maka ia berkata,
10
“Tanyakanlah kepada orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tersebut, karena aku tidak
suka berbicara mengenai perkataan Rasulullah Saw dengan prasangka semata dan kemudian aku
salah.
Dari sinilah mulai disusun berbagai kitab mengenai gharib al-hadits yang Insya Allah
akan penulis sebutkan beberapa di antaranya pada pembahasan selanjutnya. Secara umum, yang
dimaksud dengan kitab Gharib adalah kitab-kitab yang mengumpulkan kalimat-kalimat gharib
dan sukar maknanya baik itu dari al-Quran maupun hadis. Ada sedikit perbedaan pendapat
mengenai siapa orang yang pertama menyusun kitab Gharib al-Hadits, ada yang berkata yang
pertama kali adalah Abu „Ubaidah Ma‟mar bin al-Mutsanna at-Tamimi (W.210 H), ada pula
yang berpendapat bahwa yang pertama kali adalah Abu Hasan an-Nadhri bin Syamil al-Mazini
Gharibul-Hadits yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan menjelaskan
satu hadits yang dalam matannya terdapat lafadh yang pelik dan susah dipahami, karena jarang
dipakai. Sehingga keberadaan ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
Sejak dimulainya pembukuan (secara sistematis) hadits pada akhir abad kedua dan awal
abad ketiga, para ulama sudah menyusun buku-buku tentang gharibul-hadits. Orang yang
pertama kali menyusun dalam masalah gharibul-hadits adalah Abu „Ubaidah Mu‟ammar bin Al-
(wafat 203 H), salah satu guru Ishaq bin Rahawaih, guru Imam Bukhari.
11
3. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu „Ubaid Al-Qasim bin Salam (wafat 224 H).
5. Kitab Gharibul-Hadits, karya Qasim bin Tsabit bin Hazm Sirqisthi (wafat 302 H).
6. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu Bakar Muhammad bin Al- Qasim Al-Anbari
7. Kitab Gharibul-Qur‟an wal- Hadits, karya Abu „Ubaid Al- Harawi Ahmad bin
10. Kitab Al-Fa‟iq fii Gharibil- Hadits, karya Abul-Qasim Jarullah Mahmud bin „Umar
11. Kitab Al-Mughits fii Gharibil- Qur‟an wal-Hadits, karya Abu Musa Muhammad
12. Kitab An-Nihayah fii Gharibil- Hadits wal-Atsar, karya Imam Majdudin Abu
Sa‟adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul- Atsir (wafat 606 H).
Upaya baik para ulama dalam pembukuan dan penjelasan gharibul-hadits ini berakhir
pada Ibnul-Atsir. Dalam menyusun buku, dia berpedoman pada kitab Gharibul-Qur‟an wal-
Hadits karya Al-Harawi dan kitab Al- Mughits fii Ghariibil-Qur‟an wal- Hadits karya Abu Musa
12
Dan belum diketahui ada orang yang melakukan upaya penyusunan gharibul-hadits
setelah ibnul-Atsir kecuali Ibnu Hajib (wafat 646 H). Setelah itu, upaya para ulama hanya
sebatas pada memberi lampiran dan ikhtishar, atau meringkas terhadap kitan An-Nihayah.
Di antara ulama yang memberi lampiran pada kitab tersebut adalah Shafiyyuddin
Mahmud bin Abi Bakar Al-Armawi (wafat 723 H). Dan diantara yang melakukan ikhtishar
adalah : Syaikh Ali bin Husamuddin Al-Hindi, yang dikenal dengan nama Al-Muttaqi (wafat 975
H), „Isa bin Muhammad Ash- Shafawi (wafat 953 H) kira-kira mendekati setengah ukuran kitab,
dan Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) yang mukhtasharnya dinamakan Ad- Durrun-Natsir
Pada mulanya kitab Ad-Durrun- Natsir dicetak sebagai hamisy atau catatan pinggir pada
kitab An-Nihayah. Namun kemudian As- Suyuthi mempunyai inisiatif untuk memisahkan
tambahan terhadap kitab tersebut, dan diberi nama At-Tadzyil a‟laa Nihayah Al- Gharib.
Kitab Nihayah juga disusun dalam bentuk syair oleh Imaduddin Abul-Fida‟ Isma‟il bin
Muhammad Al-Ba‟labaki Al-Hanbali (wafat 785 H) dengan nama Al-Kifayah fii Nudhum An-
Nihayah.
Ibnul-Atsir telah mengatur kitabnya An-Nihayah berdasarkan urutan huruf hijaiyyah, dan
dicetak terakhir kalinya dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir Ahmad Az- Zawi danMahmud
Muhammad Ath-Thanahi sebanyak lima jilid, dan diterbitkan oleh Pustaka Daar Ihya Al-Kutub
Ibnul-Atsir menyusun kitabnya An-Nihayah berpedoman pada kitab Al-Harawi dan Abu
Musa Al- Madini, yaitu dengan memberi tanda atau rumus (ha‟) jika mengambil dari kitab Al-
Harawi, dan tanda atau rumus huruf (sin) jika mengambil dari kitab Abu Musa. Adapun selain
13
dari kedua kitab tersebut dibiarkan tanpa tanda apapun, untuk membedakan mana yang dari
kedua kitab tersebut dan mana yang dari kitab yang lain.
Kitab jawami al-kalim merupakan kumpulan dari hadits-hadits yang memiliki matan
hadits singkat tapi padat artinya matan hadits yang relative singkat dan pendek namun
mengandung makna ajaran yang sangat padat, luas dan dalam. Seperti pada kitab KH. Ali
Manqulah min ahadits al-jami‟ as-shaghir” yang berisi kumpulan hadis-hadis Nabi SAW
yang dinukil dari kitab hadis “Al-Jami‟us Shoghir” susunan Imam Jalaluddin Abdurrahman bin
Abu Bakr al-Suyuthi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Suyuthi.6 Selanjutnya kita
Kitab al-Jāmi‟ al-S{agīr merupakan kitab yang disusun berdasarkan huruf mu‟jam
(secara alfabetis) dengan tujuan supaya para pembaca lebih mudah dalam mencari dan membaca
hadith-hadith Nabi Muhammad. Kitab tersebut ditulis secara singkat, yakni dengan hanya
mencantumkan matan hadith yang sesuai dengan huruf huruf mu‟jam. Dalam bahasa al-Suyūtī{
disebut dengan tark al-qisyr wa akhdh al-lubāb” (meninggalkan kulit dan mengambil isi
pokoknya). Kitab ini diberi nama oleh al-Suyūtī{ dengan judul al-Jāmi‟ al-Sagīr fī Ah{ādīth al-
Bashīr al-Nadhīr.7 Kitab tersebut selesai ditulis pada hari senin, 18 Rabī‟ul Awwal 907 H,8
sekitar kurang lebih dua tahun sebelum meninggal dunia. Mengenai sejak kapan ditulis, tidak
14
atau belum ditemukan data karena tidak disebutkan dalam muqaddimah ataupun dalam
muqaddimah pentahqiq kitab tersebut. Pada abad XI H, Abd al-Raūf al-Mannāwī (w. 1031 H)
mensyarahkan kitab tersebut dengan judul Faid al-Qadīr fī Sharh{ al-Jāmi‟ alSagīr fī Ah{ādīth
al-Bashīr al-Nadhīr.
Pada awalnya, al-Suyūtī{ menulis kitab Jam‟u al-Jawāmi‟ yang merupakan ensiklopedi
kitab hadith paling besar. Tujuan disusunnya kitab tersebut untuk menghimpun semua hadith,
tetapi tidak terealisasi karena memang hadith itu sangat banyak jumlahnya. Dari kitab Jam‟u al-
Jawāmi‟ inilah al-Suyūtī{ memilih hadith-hadith terkait dengan ungkapan (al-aqwāl) Nabi
Muhammad, bukan perbuatannya (al-af‟āl). Kemudian disusun secara alpabetis yang diberi nama
al-Jāmi‟ al-S{agīr fī Ah{ādīth al-Bashīr al-Nadhīr. Setelah diteliti ulang ternyata banyak
ditemukan kekurangan, barulah al-Suyūtī{ menulis sebuah kita untuk menambah kekurangan
tersebut yang diberi nama al-Ziyādah alā al-Jāmi‟ al-S{aghīr. . Melihat kitab ini terpisah
sehingga terkesan tidak koheren maka Syaikh Yūsuf al-Nabhānī menggabungkan kedua kitab
tersebut menjadi satu kitab, yang diberi nama al-Fath{ al-Kabīr fī Dammi alZiyādah ilā al-Jāmi‟
al-S{aghīr. Kitab juga ditambah hadith-hadithnya oleh Syaikh Ahmad Abd al-Jawwād dari al-
Jāmi‟ al-Kabīr karya al-Suyūtī{ juga, dan al-Jāmi‟ al-Azhar karya al-Mannāwī. Kumpulan hadith
dari dua kitab inilah yang disebut Jāmi‟ al-Ah{ādīth telah diterbitkan dalam sembilan jilid.
Kumpulan kitab karya dari al-Suyūtī{, Yūsuf al-Nabhānī, dan Muh{ammad Nāsir al-Dīn
al-Albānī kemudian disusun sesuai dengan bab-bab fikih oleh Aunī Na‟īm al-Syarīf. Lafaz-lafaz
yang sulit dipahami atau garīb9 dijelaskan oleh Alī Hasan Alī Abd al-Hamīd. Kitab ini terdiri
dari empat jilid, diterbitkan oleh Maktabah al-Ma‟ārif, Riyād, Arab Saudi, pada tahun 1407
H/1987 M. Perlu diketahui bahwa menurut al-Mannāwī, kitab Jam‟u al-Jawāmi‟ dtulis oleh al-
15
Suyūtī{ belum sempurna sampai beliau wafat.10 Sehingga wajar jika dalam kitab tersebut banyak
Kitab al-Jāmi‟ al-Sagīr wa Ziyādatuhu merupakan kitab besar yang menghimpun banyak
hadith, memiliki banyak kelebihan, dan tersebar di kalangan para pengkaji hadith. Susunan
hadith dalam kitab ini sangat umum sehingga tidak diketahui klasifikasinya secara jelas.
Misalnya hadith tentang wahyu, iman, ilmu, tafsir, bersuci (Tahārah) salat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya. Ditinjau dari segi kritik sanad dan matan hadith, ada ribuan hadith yang dianggap
palsu oleh sebagian peneliti. Selain itu untuk memudahkan pencarian hadith maka ulama
belakangan menyusunnya dalam bentuk kitab fikih. Muh{ammad Nāsir al-Dīn al-Albānī telah
Kitab al-Jāmi‟ al-Sagīr fī Ah{ādīth al-Bashīr al-Nadhīr bersumber dari beberapa kitab
hadith primer yang dalam pencantuman tersebut al-Suyūtī{ langsung memberikan rumus sebagai
rujukannya. Tentu ini dimaksudkan supaya para pembaca bisa merujuk langsung kepada kitab
induk atau primer tersebut. Adapun rumus-rumus atau simbol yang merupakan tanda sebagai
sumber pengambilan hadith tersebut digunakan huruf-huruf hijaiyah. = ذدkitab al-Adab al-
Mufrad karya Muh{ammad bin Ismāīl al-Bukhārī, = ذدKitab alTārīkh karya al-Bukhārī, = حة
Sahih Ibn Hibbān, = خal-Jāmi‟ al-Sahih karya al-Bukhārī, َ = Sahih Muslim, =قSahih al-
Bukharī dan Muslim, = Sunan Abī Dāwud, =خSunan al-Tirmiżī, ْ= Sunan al-Nasā‟ī, ٖ =
Sunan Ibn Mājah, ٤= Sunan Abī Dāwud, al-Nasā‟ī, al-Tirmiżī dan Ibn Mājah, ٣= Sunan Abī
Dāwud, al-Nasā‟ī dan al-Tirmiżī, َ = حMusnad Ahmad, َ = Abdullāh bin Ahmad dalam
Zawā‟id Musnad ayahnya (Ahmad), = نal-Mustadrak alā al-Sahihain karya alHākim (w. 405 H).
Jika tidak diambil dalam al-Mustadrak, al-Suyūtī{ langsung menjelaskankannya, , طص طغ, = طة
16
al-Mu‟jam al-Kabīr, al-Mu‟jam al-Ausat, dan al-Mu‟jam al-Sagīr karya al-Tabarānī (w. 360 H),
=صSa‟īd bin Mansūr dalam kitab Sunan-nya, = ظMusannaf Ibn Abī Syaibah, = عةKitab al-
Jāmi‟ karya Abdur Razzāq al-San‟ānī (w. 211 H), = Kitab Musnad karya Abū Ya‟lā al-Mausilī,
= لظKitab Sunan al-Dāraqutnī. Jika tidak terdapat dalam kitab Sunan ini, al-Suyûtî langsung
Nu‟aim al-Al-As{bahānī, = ٘ةSyuab al-Īmān al-Baihaqī, = ٘كKitab al-Sunan al-Kubrā karya al-
Baihaqī, = عدal-Kāmil fī Duafā‟ al-Rijāl karya Ibn Adī, = عكKitab al-Dhu‟afā‟ karya alUqailī,
= ذظTārīkh Bagdād karya al-Khatīb al-Bagdādī. Jika mengutip selain dari kitab ini, al-Suyūtī{
akan menjelaskannya,11 dan kitab-kitab lainnya yang tidak tercantum dalam rumus-rumus ini.
Dari literatur-literatur tersebut jelas sekali bahwa al-Suyūtī{ tidak hanya merujuk kepada kitab-
kitab hadith tetapi juga kitab sejarah, rijāl, dan al-jarh wa al-ta‟dīl.
Contoh Al Jawami‟ul Kalim adalah hadist yang terdapat di dalam kitab Rassyul Barrod
Syarh Adabul Mufrad lil Imam Bukhari karya Syaikh Muhammad Luqman As Salafy. Pada bab
ke 375, yaitu bab kunyah untuk anak kecil, hadist nomor 847.
ٌٗ ب شأٔٗ إٌٍغر ٌّْا:ا ْوا: ْ أْ ش لا ي ضى تٓ إضّاعًٍ ح شٕا حُ ا ب ْ ضٍُ ج عٓ شاب خِٛ ح شٕا
, فرآٖ أتا حسٌٕاعٍّر: ْ نغٍرضً ٌّهٚ ًٌٍٍٗ أخ عٌٍٛفّاخ ضً َ فدذً آٌ ب ٌدذً عٍٍٕانٍى اٚ ٍٍٗع, ٗ؟نٍىٍٍعة اٌٍث
ْواٌٛفما
Dari Musa bin Isma‟il, dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit dari Anas bin Malik,
beliau berkata, “Nabi shallallahu „alaihi wa sallam berkunjung ke rumahku, dan aku punya
17
saudara yang masih kecil yang diberi kunyah Abu Umair. Dia punya burung kecil yang dia suka
bermain dengannya. Tetapi burung tersebut mati. Maka Nabi menemui anak kecil tersebut,
beliau shallallahu „alaihi wa sallam melihatnya sedang bersedih. Maka beliau shallallahu „alaihi
peliharaannya mati”. Lalu beliau shallallahu „alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu ‘Umair,
Maka dalam sepotong kalimat dari hadist diatas dapat diambil beberapa faidah, antara lain :
b) Bolehnya seorang yang belum menikah – bahkan – anak kecil memiliki kunyah.
[Catatan : pemberian kunyah tersebut tidaklah termasuk dusta, tetapi bermakna harapan
kebutuhannya.
18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Ditinjau dari segi bahasa, ( غرٌةGharib) diambil dari akar kata غربyang berarti ٓتعٍد ع
ٕٗطٚ (Ba‟idun „an wathanihi) yakni jauh dari rumah atau tempat tinggal. Orang yang tidak sedang
Sulaiman al-Khattabi berkata: “asing dalam perkataan adalah jauh dari pemahaman
seperti jauhnya seseorang dari rumah atau tempat tinggalnya, Sederhananya Dr. Mahmud
Inilah makna غرٌةsecara bahasa. Sedangkan menurut istilah, makna غرٌةdalam konteks ilmu
dari lafad samar yang jauh dari pemahaman, dikarenakan sedikit penggunaannya.
Sedangkan Jawami‟ul kalim adalah sebuah kalimat yang ringkas, tapi mempunyai makna
yang luas, seperti pada saat beliau sangat fasih di dalam menyampaikan sesuatu. Kefasihan
ketika menyampaikan kalimat sangat berpengaruh bagi orang yang diajak bicara. Semakin fasih
Berikut kitab-kitab tentang Gharib al-Hadits yang telah disusun oleh para ulama:
i) Gharib al-Hadits karya Abu Ubaid al-Qasim in Salam (W. 224 H). Sudah dicetak
dalam 4 jilid.
j) Gharib al-Hadits karya Muhammad bin Ziyad yang lebih dikenal dengan nama
Qutaibah (W. 276 H). Kitab ini adalah catatan tambahan dan perbaikan atas kitab Abu
19
l) Gharib al-Hadits karya Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (W. 285 H).
o) Al-Faiq fii Gharib al-hadits karya Abu Qasim JaaralLahu Mahmud bin
p) Gharib al-Hadits karya Abu al-Farj Ibn al-Jauzi (W. 597 H).
An-Nihayah fii Gharib al-Hadits karya Majiuddin al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari
yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Atsir (W. 606 H).
Serta Kitab jawami al-kalim merupakan kumpulan dari hadits-hadits yang memiliki
matan hadits singkat tapi padat artinya matan hadits yang relative singkat dan pendek namun
Seperti pada kitab KH. Ali Maksum yang berjudul “Jawami‟ul Kalim: Manqulah min ahadits al-
Nabi SAW yang dinukil dari kitab hadis “Al-Jami‟us Shoghir” susunan Imam Jalaluddin
B. Saran
Kami sadari bahwa makalah yang telah kami susun tentunya jauh dari kata sempurna,
karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya
kekeliruan ataupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu, kami selaku penulis
20
mengharapkan agar sekiranya pembaca berpartisipasi dalam memberikan gagasan, masukan
ataupun kritik yang tentunya bias menjadikan kami lebih baik lagi dalam penyusunan makalah.
Daftar Pustaka
„Itr Nuruddun, Manhaj an-Naqd fii Ulum al-Hadits, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 3,thn.
1997.
Abu Zahrah Muhammad, al-Hadits wa al-Muhadditsun: Inayah al-Ummah alIslamiyyah
bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab al-„Arabi, cetakan pertama, thn. 1984.
Ahmad, Arifuddin. 2012. Metodologi Pemahaman Hadis. Makassar: Alauddin
University Press.
Al-Khatib Muhammad „Ajjaj, Ushul al-Hadits: „Ulumuhu wa Musthalahuhu Damaskus,
Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1989.
As-Suyuthi Jalaluddin, Tadrib ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi, Kairo, Maktabah Dar
at-Turats, cet. 3, thn. 2005.
Az-Zahrani Muhammad, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy‟atuhu wa
Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi‟ al-Hijri, Riyadh, Dar al-
Hijrah, cetakan pertama, thn. 1996.
Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad. 2013. Pengantar Ilmu Hadis. Surakarta:
Zadahaniva Publishing.
Katsir Ibn, al-Ba‟its al-Hatsits: Syarh „Ulum al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan
pertama, thn. 2005.
https://tahdits.wordpress.com/2013/01/08/ilmu-gharib-al-hadist/
21
22
Kitab-Kitab Yang Membahas dan megemukakan Ma’ani al-Hadis
Ma’ani al-Hadis
Disusun oleh:
30300118093
30300118098
ACHMAD FAUZAN
30300118106
Dosen Pembimbing;
Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
dalam Assunnah terungkap berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah
saw. Tradisi-tradisi yang hidup pada masa kenabian mengacu pada kepribadian
Rasulullah saw. Yang didalamnya banyak ajaran islam yang bisa dirasakan hingga
saat ini. Dengan adanya keberlanjutan tradisi itulah sehingga umat manusia zaman
menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Sebagaimana pendapat Imam Ahmad,
mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk ayat yang mutlak dalam al-Qur‟an
1
Al-Khatib al-Bagdadi dalam Kitabnya mengutip riwayat al-Auza‟I dari Makhul, bahwa
sesungguhnya al-Qur‟an lebih membutuhkan Sunnah daripada kebutuhan Sunnah terhadap al-Quran.
Begitu juga Ibn Abi Kasir juga menyatakan bahwa al-Sunnah merupakan pemberi keputusan atas al- Qur‟an,
dan tidaklah al-Qur‟an pemberi keputusan bagi al-Sunnah. Dengan demikian dapatt kita
simpulkan bahwa hadis dangat berkaitan erat dengan al-Qur‟an karena ia merupakan tafsir atas al-
Qur‟an. Lihat Kholila Mukaromah. "Kajian Syarah Hadis Sabul al-Salam" Perspektif Historis. Tesisi
yang diajukan kepada Paca Sarjana UIN Sunan Kalijaga , 2015, hlm. 1.
2
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbah al-Zalam Syarh
Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam)”, Tesis yang disajikan dalam Siding Tesis Tertutup Program
Magister Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019 Hlm. 1
1
Tanpa mengunakan hadis, syariat Islam tidak mungkin dapat dipahami dan
dilakukan secara utuh, misalnya, perintah shalat yang terdapat dalam al-Qur‟an tidak
terdapat penjelasan mengenai jumlah rakaat, tata cara pelaksanaannya ataupun waktu
Upaya peletarian kebenaran hadis pada masa sahabat dengan menggunakan metode
konfirmasi. Bukanya mereka tidak percaya yang dikatakan oleh pembawa berita,
namun semata mata itu dilakukan untuk meyakinkan diri mereka bahwa hadis yang
Pada masa itu para sahabat mengajarkan hadis secara lisan, karena mereka
Bukhari meriwayatkan bahwa Umar Bin Abdul al-Aziz mengirim suarat kepada Abu
Bakar bin Hazm yang berisi: “Perhatikanlah hadis-hadis Rasulullah Saw. Yang kamu
jumpai dan tulislah, karena aku sangat khawatir akan terpisahnya ilmu, sejalan dengan
hilangnya ulama.3 Dengan adanya perintah untuk menulis kitab-kitab hadis sehingga lambat
laun bermunculanlah berbagai bentuk penyusunan kitab hadis. Salahsatunya yang menjadi
3
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016) hlm. 192.
3
atau basa disebut dengan kitab Jawami. Kitab-kitab Syarah, dan kitab Ulum al-Hadis.
Faktor ini membuat sebagian pengkaji ilmu keislaman kurang tepat dalam
bereferensi terhadap kitab-kitab hadits. Oleh karena itu, perlu terdapat kajian
maupun mereferensi pada setiap hadits yang diambil. Tulisan ini tidak mencakup
seluruh kitab hadits, namun memfokuskan pada beberapa macam kitab hadits, seperti kitab-
kitab Jami‟ , kitabkitab syarh, dan kitab-kitab Ulum al-Hadis.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
1. Kitab-kitab Jami’
Kitab Jami‟ menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan bab dan mencakup hadis hadis berbagai sendi ajaran Islam dan sub-
subnya yang secara garis besar terdiri dari delapan bab, yaitu akidah, hukum, perilaku
para tokoh agama, adab, tafsir, fitan, tanda-tanda kiamat, dan manaqib.4
Kitab Jami‟ adalah ragam pembukuan hadis yang paling lengkap, karena ia
masalah saja. Segala aspek agama dan segala aspek kehidupan manusia dimuat dalam
kitab tersebut. Kelebihan kitab ini adalah sangat jelas, karena memiliki daya tampung
yang sangat luas terhadap berbagai topik. Hadis dapat dicari berdasarkan tema yang
melingkupinya. Misalnya jika ingin mencari hadis tentang shalat, tinggal membuka
bab shalat.
Dalam jawami‟ (jamak dari jami‟) hadis, urutan penulisan hadis didasarkan
kepada topik-topiknya, bukan seperti kitab-kitab musnad dan mu‟jam yang mendasarkan
kepada para perawi. Kitab Jami‟ yang hadir pada Abad Ke-4 sampai ke-
7 hijriah yaitu masa pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifa Al- Mu‟tasim,
4
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016) hlm. 192.
4
5
keruntuhan pada pertengahan abad ke-7 hijriah akibat serangan Halagu Khan, cucu
dari Jengis Khan, kegiatan para Ulama Hadis dalam rangka memelihara dan
mengembangkan hadis tetap berlangsung. Hanya saja pada saat itu hadis-hadis yang
dihimpun tidaklah sebanyak yang dihimpun sebelum sebelumnya. Salah satu kitab
hadis yang dihimpun pada saat itu adalah Al-Mukhtarah oleh Muhammad ibn Abd al-
Wahid al Maqdisi.5
bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad- sanad-
nya. Juga menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan, dan
menghimpun semua sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat
secara terpisah dalam kitab kitab yang telah ada tersebut.
Kitab Jami‟ itu sendiri menghimpun hadis-hadis yang telah ada, yaitu seperti,
H),
H),
5
Nawir Yuslem Ulumul Hadis, (Ciputat: Mutiara Sumber Widya, 1997) hlm. 138-139.
6
Al-Jami‟ al-Shahih karya Bukhari dan Muslim termasuk kitab Jami‟ yang termasyhur dan
juga kitab Al-Jami‟ karya Imam al-Turmudzi. Dimana kitab ini biasa disebut dengan Sunan al-
Turmudzi karena ia lebih menonjolkan hadis-hadis hukum. Lihat Nawir Yuslem Ulumul Hadis, hlm.
140-141. Lihat juga Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 192.
Yang menghimpun hadis-hadis dari Al-Kutub al-Sittah:
a. Tarjih al-Shihah, oleh Razim Mu‟awiyah, yang disempurnakan oleh Ibn al-
a. Mushabih al-Sunan, oleh Al-Baghawi (516 H), dan selanjutnya disaring oleh Al-
Khatib al-Tabizi dengan judul Misykat al-Mashabih,
b. Jami‟ al-Masanid wa al-Alqab, Oleh „Abd al-Rahman ibn Ali al-Jauzi (597
Selain kitab-kitab diatas yang termasuk kedalam kitab Jami‟, Dijumpai juga
jenis kitab yang menghimpun hadis hadis yang mengenai masalah-masalah tertentu
dari kitab-kitab hadis yang ada, Seperti,7 Yang menghimpun hadi-hadis ahkam:
a. Mantaqa al-Akhba, Oleh Majd al-Din „Abd al-Salam ibn „Abd Allah (652),
7
Nawir Yuslem Ulumul Hadis, hlm. 141-142
7
2. Kitab-kitab Syarah
berarti uraian terhadap materi-materi tertentu, lengkap dengan unsurunsur dan segala
syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan. Dalam tradisi para penulis kitab
bahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan memberi komentar kepada
naskah atau matan suau kitab. Sehingga dapat dikatakan bahwa, istilah syarah tidak
hanya uraian dan penjelasan terhadap naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan
juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi, sebagaimana terlihat dalam kitab-
kitab syarah secara umum, baik syarah terhadap kitab hadis maupun kitab lainnya.9
Kitab Syarah merupakan kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan
hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-
berakibat pula pada perbendaharaan bahasa Arab yang makin menipis. Bahasa nabi
yang lugas serta memiliki sastra yang tinggi, membuatnya sulit untuk dipahami oleh
8
Lihat Badang pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, kbbi V 0.2.1 Beta (21)
(ofline)
9
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbah al-Zalam Syarh
Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam)”, hlm. 15-16
10
Nawir Yuslem Ulumul Hadis, hlm. 144.
generasi yang hidup jauh setelah era kenabian. Oleh karenanya, merujuk kepada kitab
syarh dalam mengkaji Hadits seperti menjadi ritual wajib dan tidak terelakkan.11
al-Hawalik karya Abd al-Rahman ibn Abî Bakar al-Suyûthî (849-911 H). Kitab ini
menjelaskan mufradat pada matn yang dianggap sulit dipahami, di dalamnya penulis
sesekali menjelaskan tentang kondisi sanad dan berusaha untuk mengkomparasikan
Muwattha‟min al-Ma`ani wa al-Masanid karya Abu Umar bin Abd al-Basr, Syarh al-
Ta`liq al-Mumajjad „ala al-Muwattha‟ karya al-Laknawi al-Hindi, dan lain-lain sampai
Syarah Shahih al-Bukhari, dari sekian kitab Hadits yang ada, kitab ini adalah yang
terbanyak di-syarh oleh para ulama‟. Jumlahnya menurut pengarang kitab Kasyf al-
Zhunun ada 82 syarh.27 Di antara kitab syarh Shahih al-Bukhari adalah Syarh al- Bukhari
li Ibn al-Baththal karya Ibn al-Baththal, `Umdat al-Qari Syarh Shahîh al- Bukhari,
karya Badr al-Din al-Ayni al-Hanafî dan yang paling populer dari syarh al- Bukhari karya
Ibn Hajar al-Asqalani Fath al-Bari. Dapat dikatakan Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-
„Asqalani merupakan salah satu yang paling menonjol di antara syarh- syarh tersebut.
Banyak hal yang dijelaskan Ibn Hajar dalam syarah-nya, dimulai dari penjelasan lafazh,
11
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 9.
12
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 9.
9
mawquf.13
karya Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H). Dalam syarh-nya,
Hadis, adab, zuhud, kaidahkaidah syara`, makna lafazh, rawi yang menggunakan
nama alias, kaidah-kaidah ilmu Hadits dan berusaha mencari titik temu antara dua
Hadits yang secara zhahir kelihatan bertentangan. Kemudian, al-Dabaj Syarh Shahih
Muslim bin al-Hajjaj, karya Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, dan lain-lain.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa seluruh kitab Hadits yang mu`tamad telah
ada syarah-nya bahkan terkadang memiliki syarah lebih dari satu, di antara kitab-
kitab syarh bagi empat sunan yang menonjol, ialah „Awn al-Ma‟bud karya Muhammad
Syams al-Haq al-„Azhim Abadzo yang merupakan Syarh Sunan Abu Dawud, Tuhfah al-
Ahwadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi karya Muhammad bin „Abd al- Rahman ibn Abd al-
Rahim al-Mubarakfuri (1283-1353 H), Syarh Sunan al-Nasa‟i karya Imam al-Sandiy,
sahabat, sejarah kodifikasi hadis pada masa khalifah Umar bin „Abd al-„Aziz, sampai
13
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 10.
14
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 10.
munculnya kitab-kitab kodifikasi hadis standar pada abad ke-3 Hijriyah dan kitab- kitab
Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan jami‟. Di antara periodesasi tersebut,
disebutkan adanya „asru syaraẖ atau masa pensyarahan. Pensyarahan yang dimaksudkan
di dalam periodesasi tersebut adalah masa-masa penulisan kitab-kitab syarah.15
Syarah hadis telah mengalami proses transformasi dari bentuk syarah hadis
secara lisan yang dikenal dengan Fiqh al-Hadis kepada bentuk syarah hadis secara
tertulis (terbukukan). Oleh karena itu, pembicaraan tentang syara hadis pada maasa
awal ini bukanlah periode ketujuh yang dikatakan oleh Hasbi al-Shieddiqy atau asru
syarh (masa hadis tertulis), melainkan syarah hadis yang belum tertulis (masih secara
lisan)16
Pada periode Rasulullah saw., yang disebut sebagai syarah hadis tidak secara
tegas berdiri sendiri di luar matan hadis Nabi saw. mengingat pejelasan Rasulullah
saw. Terhadap sunnahnya pun dituliskan sebagai matan hadis yang berdiri sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa syarah hadis itu sendiri atau merupakan hadis
yang lain yang berdiri sendiri, maka pada masa Rasulullah saw. Ini pula syarah hadis
yang berdiri sendiri hamper dinyatakan ada, mengingat seluruh rekaman sahabat dari
ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan Rasulullah saw. merupakan hadis dan tidak
disebut sebagai syarah hadis sebagaimana term yang kita kenal sekarang ini.17
15
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis”, 2019 Hlm. 18.
16
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 19.
17
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 19-21.
11
Pada masa selanjutnya, yaitu masa Khalafa al-Rasyidin, hadis Nabi saw.
tetap dipelihara melalui hafalan dan ada beberapa ulama yang menuliskannya bahkan
dalam diri sahabat terdapat suatu komitmen untuk senantiasa mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini pula yang menjadikan apa yang datang dari sahabat
yang notabene bersumber dari Rasulullah saw. turut menjadi pegangan bagi generasi
berikutnya yang disebut atsar. Pada masa ini syarah hadis belum mempunyai bentuk
sendiri, artinya apa yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis Nabi saw. belum
dinamai syarah melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah (penjelasan) para
sahabat dan tabi‟in adalah apa yang disandarkan pada Rasulullah saw. juga, hanya
saja umumnya ulama menyebut hadis yang bersandar kepada sahabat ini disebut
dengan hadis mauquf atau banyak yang menyebutnya dengan atsar sebagaimana telah
dikemukakan di atas.18
Namun demikian pada era ini bukannya tidak ada syarah yang berdiri sendiri,
sebab sudah ada matan hadis yang mendapatkan catatan para sahabat dan dibukukan
ulama modern sebagai keterangan tambahan mereka terhadap teks aslinya, namun ada
pula yang telah bercampur baur sehingga muncul dalam ilmu hadis ada istilah hadis
mudraj (hadis yang terdapat sisipan di dalamnya baik pada matan maupun pada
sanadnya).19
Pada masa Khalifah ini pula (setelah wafatnya Rasulullah saw. Khususnya
pada akhir kekuasaan „Utsman bin „Affan, kekuatan politik mulai memasuki lapangan
18
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 22.
19
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 22.
masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pemicu bagi ulama hadis yang berkomitmen
untuk melakukan pemeliharaan sunnah Nabi saw. Melalui hadis-hadis Nabi saw.
tersebut para sahabat mulai mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadis Nabi saw.
dan menyebarluaskannya melalui sebuah periwayatan serta berusaha keras
hadis ke berbagai kota Islam yang telah dikuasainya yaitu dengan mendirikan lembaga-
lembaga hadis di sana (Madâris al-ẖadîts). Selanjutnya pada masa pembukuan, atas
desakan Khalifah „Umar bin „Abdu al-„Aziz para ulama berlomba- lomba mencari,
mengumpulkan dan menuliskan hadis dalam sebuah kitab, hal ini bukan berarti
penulisan hadis pada masa-masa sebelumnya belum pernah ada sama sekali, akan tetapi
masa ini pada umumnya disepakati oleh para ulama hadis sebagai masa resmi perintah
penulisan hadis dalam sebuah kitab sebagai sebuah tuntutan perkembangan Islam yang
semakin luas, sementara ulama penghafal hadis semakin berkurang dari sisi kuantitas
akibat gugur dalam peperangan maupun penurunan kualitas daya hafalan. Hal inilah yang
„Abdu al-Aziz untuk menjaga hadis dari kepunahan dengan cara membukukannya.21
Kitab hadis yang masyhur pada saat ini dan dianggap kitab pertama hadis
adalah kitab hadis yang disusun oleh al-Zuhri dan diikuti oleh ulama sesudahnya seperti
Mâlik, al-Syafi‟I dan lainnya. Namun yang sampai kepada generasi sekarang sedikit
sekali, seperti al-Muwaṯṯa‟ karya Imam Mâlik, al-Musnad karya al-Syafi‟i dan
20
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 23.
21
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 23.
13
al-Atsar karya al-Syaibani. Dari ketiga kitab ini yang paling masyhur adalah al-
Muwaṯṯa‟.22
Seiring dengan pembukuan kitab hadis ini pula, syarah hadis yang
hadis kepada muridnya mulai mengambil bentuk sebagai syarah hadis secara tertulis,
yaitu mensyarahi hadis-hadis dalam suatu kitab himpunan hadis yang telah ada pada
masa ini. Sekalipun gerakan penulisan syarah hadis ini belum banyak dikenal, namun
terdapat sebuah data yang mengemukakan adanya syarah terhadap kitab al- Muwaṯṯa‟
karya Imam Mâlik (yang dianggap sebagai kitab hadis pertama yang masih ada
hingga saat ini), salah satu kitab syarah hadis tersebut adalah buah karya „Abdullâh bin
Nâfi‟ yang berjulukan Abu Muhammad (w. 186 H) dengan karyanya Tafsir ila al-
Muwaṯṯa‟.23
Namun demikian, masa ini belum disebut sebagai „asyru al-syarḫ, karena kegiatan
syarah hadis pada saat itu masih sedikit dan sulit dilacak naskah aslinya dan tidak sampai
kepada kita. Di samping itu, kegiatan sebagian besar ulama hadis masa ini adalah
kiranya dinyatakan bahwa sejak adanya penulisan resmi dan dibukukannya hadis ini,
22
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 23-24.
23
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 24.
24
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 24.
b. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis
tampak bahwa perkembangan syarah hadis pada era awal ini belum memiliki
spesifikasi khusus, mengingat syarah (penjelasan) Nabi saw. pun belum berdiri
sendiri melainkan menjadi satu kesatuan teks (matan) hadis Nabi saw. tersebut,
sebagaimana hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. Namun
demikian, dapat dikatakan bahwa embrio syarah hadis telah muncul pada era ini
walaupun belum memiliki format yang terbakukan (menjadi sebuah ilmu yang dapat
dipelajari kaidah-kaidahnya).25
Seiring dengan masa pembukuan hadis (abad ke-2 H) yang masih bersifat
akomodatif ini ulama pada umumnya hanya sekedar mengumpulkan, kemudian
menuliskannya dalam sebuah kitab, tanpa adanya kritik atau penelitian secara detail.
Di samping itu, hadis Nabi saw. masih bercampur pula dengan perkataan sahabat dan
fatwa-fatwa tabi‟in.26
Pada masa berikutnya (abad ke-3 H), para ulama berupaya menyusun kembali
kitab hadis dengan spesifikasi yang lebih sistematis dan lebih kritis dari upaya
pengumpulan hadis pada kitab-kitab sebelumnya. Sejak masa pembukuan hadis Nabi
saw. hingga masa berikutnya (pada abad ke-3 H) perkembangan syarah hadis Nabi
saw. bukan berarti kosong sama sekali, terbukti di sela-sela para ulama sibuk dalam
25
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 26.
26
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 26.
15
aktifitas pemilihan dan penyusunan kitab hadis Nabi saw. yang sistematis, juga
sebagai buah karya ulama pada masa ini yaitu pada abad ke- 2 dan abad ke- 3 di
antaranya: „Alam al-Sunan syarah terhadap al-Jami‟ al-Sahih karya Abu Sulaiman
Aḫmad bin Ibraahim bin al-Khattabi al-Busṯi (w. 388 H.) dan Ma‟alim al-Sunan
Kitab-kitab syarah hadis Nabi saw. tersebut membuktikan bahwa tetap adanya
aktifitas penulisan syarah hadis Nabi saw. Pada masa itu, namun era tersebut belum
dikenal dan dijuluki sebagai “masa pensyarahan” (Asyru al-Syarḫ) sebab sebagian
konsentrasi ulama masih dalam rangka pemilahan dan penyusunan hadis-hadis Nabi
Demikian pula dengan masa berikutnya yaitu (masa penelitian, penerbitan dan
sebagian besar hadis-hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab hadis yang telah
dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. sebelumnya seperti kitab hadis Nabi
saw. yang mengumpulkan dua kitab sahih (Saḫihayni; yaitu kitab al-Bukhârî dan Muslim)
Karya Ibn al-Furât (w. 414 H.) kitab hadis Nabi saw. yang menghimpun dua kitab sahih
(Saḫihayni; karya al-Bukhârî dan Muslim) karya Muhammad bin Nash al- Ḫamidi al-
Andalusi (w. 488 H) dan lain-lain. Kemudian ada pula kitab hadis yang
27
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 27.
28
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 27.
29
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 28.
mengumpulkan hadis Nabi saw. yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab
hadis seperti, Kutub al-Sittah (Saḫiḫ al-Bukhari, Saḫiḫ Muslim, Sunan al-Turmuẕi, Sunan Abi
Daud, Sunan al-Nasa‟i dan Sunan Ibn Majah) di antaranya karya Aḫmad bin Razin
bin Mu‟awiyah al-Abdari al-Sarqiṯi (w. 535 H.) dan beberapa kitab lainnya.30
Pada era inipun penulisan syarah hadis telah muncul seperti al-Muqtabis karya al-
Baṯalyusî (w. 521 H.), dan beberapa syarah hadis lainnya. Namun demikian,
penulisan syarah hadis Nabi saw. masih belum begitu marak atau belum menjadi
konsentrasi umumnya para ulama hadis. Lain halnya dengan era berikutnya, yaitu era
pensyarahan hadis yang dimulai sejak tahun 656 H. sampai era-era berikutnya.31
Dalam era pensyarahan inilah benar-benar penulisan kitab syarah hadis Nabi
saw. begitu banyak dan tak terbilang jumlahnya, apalagi objek kitab hadis Nabi saw.
yang disyarahi juga banyak jumlahnya. Ulama pada umumnya tidak lagi disibukkan
hadis dalam suatu kitab, melainkan pada masa ini mereka berupaya menjelaskan
hadis Nabi saw. yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. tersebut
dengan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan agar hadis Nabi saw. dapat dipahami
dan diamalkan.32
Di antara kitab syarah hadis pada masa ke-7 H hingga pada masa berikutnya antara
30
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 28.
31
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 28-29.
32
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 29
17
bin Abî al-Qâsim al-Farḫûnî al-Ya‟murî al-Tûnisî (w. 763 H), Syarḫ al-Muwaṯṯa‟
karya Abû al-Majd „Uqaiylî bin „Aṯiyyah al-Quḏâ‟î (w. 1229 H). Kemudian kitab-
kitab syarah terhadap Kutub al-Tis‟ah. Kitab-kitab syarah lainnya yang muncul pada
era ini hingga sekarang antara lain Fatẖ al-„allâm bi Syarẖ al-„I‟lâm bi al-ẖadîts al-
Aḫkâm karya Abû Yahyâ Zakariyyâ al-Ansâri al-Syâfi‟î al-Khazrâjî (825-925 H),
Ibânah al-Aḫkâm bi Syarḫ Bulûgh al-Marâm karya „Alwi „Abbâs al-Mâlikî wa Ḫasan
Sulaimân al-Nawawî, Naiyl al-Auṯâr min al-Ḫadîts Sayyîd al-Akhyâr Syarḫ Muntaqâ
al-Akhbâr karya Muḫammad bin „Alî ibn Muḫammad al-Syaukânî (1172-1255 H), Subul
al-Salâm Syarḫ Bulûgh al-Marâm karya al-Amîr al-Sun‟ânî (w. 1099-1182 H) dan
Abad ke-11 H merupakan awal periode kemunduran bagi kegiatan syarah hadis yang
ditandai dengan sedikitnya upaya pemahaman hadis yang merujuk kepada kitab-kitab
hadis, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Agaknya, keadaan ini
dipengaruhi oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang sedang mengalami
kelesuan intelektual, dan diperparah oleh serangan bangsa Mongol yang telah
33
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 29.
34
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 29-30.
terhadap hadis (kitâb furû„ „an al-sunnah). Perhatian yang diberikan kepada hadis terbatas
pada hadis-hadis akhlâq, mawâ‟iḏ, adab, raqâ‟iq, atau sekedar mencari berkah
Dalam pandangan Hasbi, suasana umum di atas telah dimulai semenjak abad ke-
4 H. Kalau sebelumnya yang menjadi sumber fiqh dan sumber hukum adalah hadis,
maka semenjak abad ini mulailah umat Islam mengikuti perkataan-perkataan fuqaha‟.
dalam suatu masalah kadang menyalahi hadis. Bahkan menurut Syekh Abû al-Hasan „Alî
al-Hasanî al-Nadwî -seperti yang dikutip oleh Hedhri Nadhiran- banyaknya kitab syarah
kitab syarah, biasanya akan diikuti oleh penganut mazhab lain dengan merujuk kepada
kitab hadis yang sama. Seperti yang terjadi antara „Umdat al-Qârî karya Badr al-Dîn
al-„Aynî (w. 855 H), seorang ulama Hanafiyah, dengan Fath al-Bârî karya Ibn Hajar
al-„Asqalânî (w. 852 H) seorang ulama Syâfi„iyah. Tak jarang, seorang syârih
mencocok-cocokkan antara hadis dengan pendapat mazhabnya, seperti yang dilakukan
oleh Abû Ja„far al-Ṯahâwî dengan syarahnya Ma„anî al-Atsâr. Walaupun demikian, ia
membawa faedah yang besar bagi perkembangan ilmu dan intelektual di dunia Islam karena
para ulama syâriẖ dalam berhujjah tetap merujuk kepada Alquran dan hadis.36
35
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 30.
36
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 30.
19
Memasuki abad ke-12 H, langkah yang ditempuh para ulama ini tidak lagi
lagi sumber pendapatnya. Telaah terhadap kitab hadis terbatas pada kitab
Akibat langsung dari pengabaian hadis seperti yang terjadi di atas adalah
semakin dilupakannya metode pemahaman hadis (metode syarah hadis) yang pernah
dikembangkan oleh ulama hadis pada masa keemasan, yang telah melahirkan
berbagai cabang ilmu hadis dalam upaya pemahamannya. Bahkan jika pada abad-
abad sebelumnya syarah yang berkembang mengambil bentuk uraian yang panjang (al-
syarh al-wâfî), maka selama periode kemunduran ini syarah yang dihasilkan umumnya
hanya bersifat ta„lîq (komentar singkat). Ini disebabkan oleh sifat peringkasan itu
sendiri yang tidak lagi mementingkan aspek penelitian sanad, sementara pemahaman
terhadap matan lebih bersifat memperkuat pendapat ulama mazhab yang telah mensyarah
hadis.38
Daerah Islam yang paling menonjol dalam kegiatan ini adalah India, dengan
37
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 31.
38
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 31.
memahami (ẖurriyat fi al-fahm) dan memperhatikan kondisi sanad dari tiap hadis yang
diteliti. Di antara mereka yang termasyhur adalah Syah Wali Allah al- Dahlawî(1114 H –
1176 H) dengan syarahnya Hujjat Allah al-Bâlighah dan al- Musawwâ Syarh Muwatta‟
Malik, Shiddiq Hasan Khan (1248 H – 1307 H) pengarang Fath al-„Allam
Syarh Bulugh al-Maram, al-Saharanfuri (w. 1346 H) dengan kitabnya yang berjudul
Badhl al-Majhud fî Hall Abi Dawud, dan al- Kandahlawi (1315 H – 1389 H) dengan
Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat
Hijriah. Abad ketiga merupakan masa pembukuan hadis dan merupakan zaman
keemasan Sunah, sebab dalam abad inilah Sunah dan ilmu-ilmunya dibukukan
dengan sempurna. Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan
hadis Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk
dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadis-
39
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 31-32.
40
. Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 52-53.
.
21
hadis sahih secara khusus dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah
dicari dan dipahami hadis-hadisnya. Kitab yang disusunnya diberi nama al- Jami‟ al-
Shahih. berikutnya datanglah enam imam lainnya yang tiada lain adalah murid-
bab fikih dengan hadis-hadis yang mereka pilih secara selektif, meskipun para penulis
mencakup pembukuan riwayah dan ulum al-Hadis. Kemudian, kedua syaikhan (al-
Bukhari dan Muslim) dalam mengkhususkan pembukuan hadis sahih diikuti oleh
Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan Ibnu Hibban (w. 354 H). Dalam tahap ini setiap
cabang ilmu hadis telah berdiri sebagai suatu ilmu tersendiri, seperti ilmu hadis sahih,
ilmu hadis mursal, ilmu al-Asma' wa 'al-kuna, dan sebagainya. Para ulama pun telah
Yahya bin Mu'in (w. 234 H) menyusun kitab tentang biogmli para rawi.
Muhammad bin Sa'd (w. 230 H) menyusun kitab tentang thabaqat para rawi dan
kitabnya merupakan kitab yang paling baik. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) menyusun
yang sangat mahir dalam menyusun dan menulis kitab. yaitu Ali bin Abdullah bin Al-
Madini (w. 234 H) guru al-Bnkhari. menyusun kitab tentang banyak hal yang
41
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.
42
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.
mencapai dua ratus judul. Kebanyakan kitab yang disusunnya senantiasa menjadi
perintis dalam bidangnya, sehingga para ulama memalukan bahwa tiada cabang ilmu
hadis yang luput dari bahasannya dan tidak tersentuh dalam tulisannya.43
Kemudian penulisan kitab merupakan suatu bagian yang integral dari seorang
imam hadis. Semua penyusun kitab Enam telah menvusun banyak kitab tentang ilmu
hadis. Demikian juga penyusun yang lain. Mereka menyusun kitab ilmu hadis dengan
Judul yang sesuai dengan cabang ilmu hadis yang dibahas, Oleh karena itu, kitab
yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis diberi judul "Uhun al-Hadits, )
sebagaimana kitab yang mnencakup fikih, talsir, dan ilmu tauhid diberi judul 'Ulum al-
Islam.44
Para ulama telah mempelajari dan meneliti seluruh matan dan sanad hadis
dengan sempurna. Istilah-istilah sekitar hadis telah menjadi masyhur dan baku di
kalangan ulama hadis, sebagaimana terlihat dalam kitab at-Turmudzi dan lainnya kan
tetapi, dalam tahap ini belum dijumpai suatu tulisan yang pembahasannya mencakup
seluruh kaidah cabang-cabang ilmu hadis dengan batasan istilah-istilahnya, karena
mereka masih mengandalkan hafalan dan penguasaannya terhadap semua itu kecuali
kitab kecil yang berjudul al-llal al-Shaghir karya Imam at-Turmudzi (w. 279 H).
Meskipun kitab yang kecil ini hanya merupakan penutup kitab Jani-nya, tetapi
diajarkan kepada para muridnya secara terpisah dan para ulama mempelajari kitab
tersebut dari at-Turmudzi secara terpisah pula. Karena kitab tersebut mengandung
banyak ilmu yang berfaedah. Membahas masalah-masalah penting dari al-jarh wa al-
43
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.
44
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.
23
ta dil, peringkat para rawi, tata tertib penerimaan dan periwayatan hadis, periwayatan
hadis dengan makna, hadis mursal, defenisi hadis hasan, hadis gharib, dan
penjelasannya.45
Tahap ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal
abad ketujuh. Para ulama perode ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah
disustun oleh para ilmuan Sebeumnya yang notabene perintis dalam pembukuan
Oleh karena itu, dalam periode ini dijumpai kitab-kitab yang menjadi rujukan
para ulama dalam menyusun kitab-kitab sejenis pada periode berikutnya. Di antara kitab-
kitab tersebut adalah sebagai berikut.
Kitab ini merupakan kitab terbesar dalam bidangnya sampai saat itu.
45
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53-54
Pembahasannya mencakup lata tertib rawi dan muhaddits, teknik penerimaan dan
penyampaian hadis, kesungguhan para ulama dalam mengemban ilmu ini, dan
hal- hal lain yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadis. Sebenarnya kitab ini
termasuk kitab Ulum al-Hadis dalam pengertian ilmu tertentu yang telah dikenal.
mazhab para ulama dalam masalah yang mereka perselisihkan. Hingga sekarang
c. Al-Ilm‟ Fi „Ulum ar-Riwayat Wa as-Sima‟, Karya Qadhi „Iyadh bin Musa al-
Kitab-kitab induk Ulum al-Hadis dan sejumlah lain dari cabang ilmu hadis yang
disusun dalam periode ini nenjadı sumber asli bagi disiplin ini pada peiode
berikutmya. Para ulama yang datang kemudian menyusun kitab-kitabnya
Dalam tahap ini banyak ulama yang menyusun kitab-kitab vang mencakup
seluruh jenis hadis, sehingga penyusunan kitab tentang Ulum al-Hadis pun
berkembang pesat. Di antara kitab yang terpenting ialah kitab-kitab berikut ini.
a. Marifat Ulm al-Hadits, karya al-Hakim Abu Abdillah an- Naissaburi (w. 405
H). Kitab ini membahas 52 cabang ilmu hadis, dan telah dicetak di Mesir pada
tahun 1937 M.
25
b. Al-Mustakhraj, karya Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah al-Ishfahani (w. 430
H). Kitab ini membahas hal-hal yang tidak terbahas dalam kitab al-Hakim dan
karenanya dinamai al-Mustakhraj. Namun kedua kitab ini belum membahas
Abdul Majid (w. 580 H), sebuah kitab yang sangat ringkas.
Beliau adalah salah satu dari tokoh-tokoh yang paling menonjol dalam
merintis berdirinya Ulum al-Hadits pada tahap ini dan menjadi panutan pada periode
al Hakim sendiri adalah tokoh pembuka jalan bagi orang-orang setelahnva dengan
kitab yang disusunnya itu. Ibnu Khaldun berkata, Di antara tokoh ulama Ulum al-
Hadits adalah Abu Abdillah al-Hakim. Karyanya tentang Ulum al-Hadis sangat
ini. Syekh Thahir al-Jaza'iri berkata, “Dalam kitab ini terkandung banyak
pengetahuan penting yang berharga dan tidak layak diabaikan oleh orang yang
yang tersendiri yang komplet dan khusus untuk setiap cabang ilmu hadis, sehingga
setiap karyanya menjadi santapan lezat bagi para imam di bidang ini. Sebagaimana
dikatakan oleh al-Hafizh Abu Bakar bin Nuqthah, “Setiap orang yang objektif akan
46
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 56-57.
mengakui bahwa para muhaddits setelah al-Khathib sangat bergantung pada kitab-
kitabnya.47
ulama hadis yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya, dan untuk setiap kumpulan
sanggahan saja yang tidak mereka beri judul. Sebenarnya al-Hakim bermaksud untuk
mencatat seluruh kaidah, tetapi ada dua hal yang tidak sempat dilakukannya, seperti
yang dikatakan oleh para ulama. Pertama, membahas seluruh jenis hadis, dan kedua,
Tahap ini bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abab kesepuluh.
dengan ditulisnya sejumlah kitab mencapai tingkat seluruh cabang ilmu hadis.
masalah dengan mendetail. Pam penyusun kitab itu adalah para imam besar yang
hafal semua hadis dan mampu menyamai pengetahuan dan penalaran para imam
47
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 57.
48
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 57.
27
Pelopor pembaruan dalam pembukuan ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits al-
Faqih al-Hafiz al-Ushuli Abu „Amr Utsman bin ash-Shalah (w. 643H)92) dengan kitab
'Ulum al-Hadits-nya yang sangat masyhur itu. Kitab tersebut mencakup keterangan-
keterangan yang terdapat di berbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang
ilmu hadis. Di samping itu, kitab tersebut. memiliki sejumlah keistimewaan sebagai
berikut.
penyusunnya.
dan merupakan perintis pembukuan ilmu ini dengan sistematika baru. Ia sangat
dihargai oleh para ulama; sehingga cepat dikenal di berbagai penjuru dunia. Pujian
dengan sebutan Shahibu Kitab 'Ulum Al-Hadits (penyusun kitab 'Ulum al-Hadits).
Kitab tersebut merupakan pelopor yang dapat ditiru dan merupakan rujukan
bentuk syair, dan sebagian yang lain mensyarahinya dan melengkapinya dengan
catatan kaki. Akan tetapi para penyusun pada tahap ini adalah para imam besar,
sehingga mereka tidak mengikutinya dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiah,
Di antara kitab-kitab penting yang disusun pada tahap ini setelah 'Ulum al-
a. Al-Irsyad, karya Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi (W. 676 H). Kitab ini
Nadzir.
b. Al-Tabshirah wa al-Tadzlatah, kitab yang disusun dalam bentuk syair
sebanyak seribu bait, karya al-Hafizh Abdurrahman bin al-Husain al-Traqi (w.
806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab 'Ulum al-Hadits dengan
Shalah yang dikenal pula dengan nama an-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki
d. Al-Ifshah 'Ala Nukat lbnu ash-Shalah kitab syarah 'Ulum al-Hadis, disusun
oleh' al-Hafizh Ahmad bin „Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini
49
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 58.
50
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 58-59
29
sampai sekarang masih dalam bentuk naskah tulisan tangan dan terdapat di
India.
e. Fath al-Mughits Syarh Al Fiyah al-Iraqi fi Ilm al-Hadis karya al-Hafizh
terdapat dalam kitab-kitab Sunah dan 'Ulum al-Hadits. Kitab ini telah dicetak
Abdurahman as-Suyuthi (w. 911 H). Kitab ini tampak sangat komplet
meskipun tidak luput dari hal-hal yang perlu dikritik di sanaasini.
Ibnu Hajar.
Dan kitab-kitab lainnya yang sangat banyak jumlahnya dan sangat banyak
yang berkiblat kepada kitab 'Ulum al-Hadis karya Ibn ash-Shalah. Al-Hafizh Ibnu
Hajar berkata, “Begitu besar perhatian umat terhadapnya dan mengikuti langkahnya,
Sehingga ketika ia membahas suatu hal yang berkaitan dengan sanad - umpamanya – tiba-
tiba beralih kepada pembahasan pada hal-hal yang berkaitan dengan matan atau yang
berkaitan dengan keduanya. Hal ini terjadi, sebagaimana dijelaskan oleh al-
51
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 60
Biqa'i, karena Ibnu Shalah mendiktekan kitabnya itu kepada penulisnya sehingga
hasil tulisannya tidak sistematis, dan apabila terasa oleh beliau ada sistematika lain
yang lebih baik, maka beliau mempertahankan tulisannya dan tidak meralatnya.52
telah menjadi panutan dalam disiplin ilmu hadis ini. Kecuali kitab Nukhbat al-Fikaar
dan syarahnya yang disusun oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, karena dalam bentuk yang
demikian ringkasnya kedua kitab ini membahas persoalan yang cukup luas yang
keistimewaan dari sistematikanya, karena kitab ini disusun dengan sistematika baru
52
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 60-61.
53
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 61.
3
1
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kitab Jami' merupakan kitab hadis yang disusun berdasarkan bab dan
mencakup hadis-hadis berbagai sendi ajaran Islam yang terdiri dari delapan sub bab.
Contoh dari kitab Jami‟ adalah Al-Jami‟ bayn al-Shahihaini, oleh Ibn al-Furat (Ibn
Muhammad/w. 414 H), Al-Jami‟ bayn al-Shahihaini, oleh Muhammad ibn Nashr al-
Humaidi (488 H), Kitab Jami‟ yang hadir pada Abad Ke-4 sampai ke-7 hijriah yaitu
masa pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifa Al-Mu‟tasim, pada saat itu
abad ke-7 hijriah akibat serangan Halagu Khan, cucu dari Jengis Khan, kegiatan para
berlangsung. Hanya saja pada saat itu hadis-hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak
yang dihimpun sebelum sebelumnya. Salah satu kitab hadis yang dihimpun pada saat
Kitab syarah merupakan kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan
hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-
kitab syarah hadis tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah dan perkembangan
hadis itu sendiri. Sejak masa Nabi saw. dan sahabat, sejarah kodifikasi hadis pada
masa khalifah Umar bin „Abd al-„Aziz, sampai munculnya kitab-kitab kodifikasi
hadis standar pada abad ke-3 Hijriyah dan kitab-kitab Atraf, Mustakhraj, Mustadrak,
31
dan jami‟. Di antara periodesasi tersebut, disebutkan adanya „asru syaraẖ atau masa
pensyarahan. Pensyarahan yang dimaksudkan di dalam periodesasi tersebut adalah masa-
masa penulisan kitab-kitab syarah. Contoh kitab syarah : Hujjat Allah al- Bâlighah dan
al-Musawwâ Syarh Muwatta‟ Malik, Fath al-„Allam Syarh Bulugh al- Maram, Badhl
Kitab Ulum al-Hadis merupakan kitab yang mencakup macam macam ilmu
hadis. Dimana kitab kitab Ulum al-Hadis pada awalnya dibukukan secara terpisah
namun pada akhirnya mencapai kesempurnaan. Contoh kitab Ulum al-Hadis Marifat
Ulm al-Hadits, karya al-Hakim Abu Abdillah an- Naissaburi Al-Mustakhraj, karya
Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah al-Ishfahani Ma La Yasa'tu al-Muhaddis Jahluhu,
Daftar Pustaka
Badang pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, kbbi V 0.2.1 Beta
(21) (ofline)
Ubaidah, Hani Hilyati "Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbah al-Zalam
Syarh Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam, Tesis yang disajikan dalam
Siding Tesis Tertutup Program Magister Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019
Wahyudi, Arif , “Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-