Anda di halaman 1dari 228

Tugas Kelompok

Dosen Pengampu: Dr. Mukhlis Mukhtar, M.Ag.

ILMU MA’ANI AL-HADIS

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1

1. M. AL FARUQ (30300119019)
2. NALWI (30300119049)
3. NUR FADILAH ANNISA (30300119054)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021

1
KATA PENGANTAR

‫ميحرلا نمحرلا هللا‬ ‫بسم‬

Segala puji bagi Allah Subhana Wata‟ala yang telah memberikan kami
kemudahan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Kemudian shalawat serta salam semoga selalu kita haturkan kepada baginda
Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Uswatun hasanah bagi
seluruh makhluk.

Dengan mengucap syukur alhamdulillah atas nikmat kesehatan dan kesempatan


dari-Nya sehingga kita bisa menyusun makalah yang membahas topik tentang “Ilmu
Ma’ani al-Hadis” ini dengan lancar. Oleh karena itu, kami berharap semoga makalah ini
bisa menjadi titik terang untuk para pembaca tentang pentingnya memahami berbagai
disiplin ilmu, terutapa pada kajian ilmu yang berhubungan dengan hadis sebagai
pedoman kedua umat Islam.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Takalar, 05 Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 5

A. Pengertian Ma‟anil Hadis .............................................................................. 5


B. Kegunaan Ilmu Ma‟anil Hadis ...................................................................... 6
C. Latar Belakang Pentingnya Ilmu Ma‟anil Hadis ........................................... 7

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 16

A. Kesimpulan .................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pemahaman terhadap hadis terbagi pada beberapa pemahaman-pemahaman yang
berangkat dari pandangan seseorang terhadap sebuah hadis. Ada yang
memandang hadis sebagai dogma dan produk jadi, sehingga harus dipahami
sacara tekstual, ada yang melihat hadis sebagai produk dan respon sosial, dengan
demikian harus dipahami secara kontektual, dan ada yang memadukan dua
pandangan tersebut, olehnya hadis-hadis Nabi saw. mesti dikritisi secara selektif
dengan seluruh perangkat pemaknaannya. Pada faktanyapun, tidak semua hadis
Nabi saw. menunjukkan pengertian yang jelas dan pasti. Sebab, terdapat lafal-
lafal hadis pasca sahabat Nabi saw. yang dibaca oleh orang-orang yang tidak
mengalami nuansa ideologi, politik, sosial, ekonomi budaya dan keagamaan
ketika lafal-lafal itu diucapkan, sehingga memungkinkan terjadinya kekeliruan
memahami maksud lafal.1 Olehnya, eksistensi Ilmu Ma‟anil Hadis menjadi sangat
penting mengingat betapa minimnya pengetahuan kita terhadap sebuah hadis jika
tidak mengkaji lebih kritis lagi makna-maknanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ma‟anil Hadis?
2. Apa kegunaan dari Ilmu Ma‟anil Hadis?
3. Apa latar belakang dari pentingnya Ilmu Ma‟anil Hadis?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian Ma‟anil Hadis
2. Memahami kegunaan Ilmu Ma‟anil Hadis
3. Memahami latar belakang pentingnya Ma‟anil Hadis

1
Slide presentasi Ilmu Ma‟anil Hadis, Tafsir Hadis STAI PERSIS Bandung, 2009
(SlideShare.net).

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ma’ani al-Hadis


1. Ma„ani
Kata ma‘ani adalah bentuk plural dari kata ma„nai. berakar dari huruf ‘ain, nun,
dan harf mu‘tal mengandung tiga arti yaitu maksud sesuatu, kerendahan dan
kehinaan, dan penampakan dan kemunculan sesuatu.2 Al-ma‘na berarti suatu maksud
yang muncul dan tampak pada sesuatu (kata) jika diadakan pembahasan atasnya.
Dalam ilmu Balagah dinyatakan bahwa ‘Ilm al-Ma‘ani berarti ilmu yang
mempelajari tentang hal ihwal kata Arab, sesuai dengan keadannya, sehingga terjadi
perbedaan pandangan tentang suatu kalimat karena perbedaan keadaan.
2. Hadis
Kata hadis secara literatur berarti informasi atau komunikasi yang bersifat umum.
Ini sesuai dengan ungkapan Ibn Manzur bahwa kata hadis berasal dari -‫ يحدث‬- ‫حدث‬
‫ حدثا‬yang berarti kabar atau berita yang banyak atau yang sedikit.3 Sedangkan secara
terminologi hadis adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, bentuk fisik, sifat, serta
sejarah hidup yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik setelah diutus maupun
sebelumnya.
3. Ma‟ani al-Hadis
Ma„ani al-Hadis berarti maksud atau pemunculan sesuatu isi yang terdapat dalam
ucapan Nabi saw. Dengan demikian ma„ani hadis dapat dikatakan sebagai suatu ilmu
atau alat untuk mempelajari tentang hal ihwal lafal dan makna yang terdapat di
dalam berbagai matan hadis sesuai dengan tuntutan kondisinya.

Dari pengertian di atas, ada dua variabel penting yang harus mendapatkan
perhatian utama. Pertama, keadaan lafal dan makna yang beriorientasi pada
penelusuran makna leksikal dari sebuah kata, gramatika, dan medan sematiknya.

2
Ibn Faris, Maqayis, h. 146-148.
3
Majd al-Din Muhammad ibn Ya‟qub al-Fairuz Abadiy, Al-Qamus al-Muhith, (Bairut:
Dar al-Jail, t.th), Juz 4, h. 291

5
Kedua, aspek sosio-historis, sabab al-wurud dimana lafal itu dilahirkan.4 Kedua
bagian ini tidak dapat dipisahkan dan harus mendapatkan porsi seimbang sehingga
meminimalkan kesalahan dalam memahami hadis demi mendapatkan pemahaman
yang komprehensif. Sekaligus dari sini pula dapat dibatasi bahwa objek pembahasan
ilmu ma„ani al-Hadis adalah matan hadis dan tidak melibatkan sanad hadis.5

B. Kegunaan Ilmu Ma’anil Hadis


Muatan berbagai kaidah dalam ilmu Ma‟anil Hadis berfungsi sebagai media
pembantu bagi usaha pemaknaan/pemaknaan uangkapan hadis. Kegunaan ini ialah
mengetahui maksud ungkapan hadis dengan pemaknaan yang benar dan pemaknaan
yang memadai. Dengan pemaknaan dan pemahaman tersebut kita berharap agar
semakin mengetahui inti ajaran syariat (spesifik legalistik) yang tertuang dalam
ungkapan hadis, menjadikan semakin terbuka peluang untuk mengambil nilai
keteladanan dari peri-kehidupan Nabi Muhammad saw. dan tuntunan sempurna
(uswah hasanah) yang melekat pada otoritas kerasulan Nabi Muhammad saw.
Ilmu ma‟âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah)
bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita
bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhâthab sesuai dengan situasi
dan kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat memberi
manfaat sebagai berikut:
1. Mengetahui kemukjizatan Al-Qur‟an berupa segi kebagusan penyampaian,
keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, kefasihan kalimat, dan penyatuan antara
sentuhan dan qalbu.
2. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi‟ir
maupun prosanya. Dengan mempelajari ilmu ma‟âni bisa dibedakan mana
ungkapan yang benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang
teratur dan yang tidak
3. Bisa membantu dalam memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami
hadis.

4
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 6.
5
Ibid., hlm 7.

6
4. Untuk mengembangkan pemahaman hadis secara kontekstual dan progresif.
5. Untuk melengkapi kajian ilmu hadits riwayah, sebab kajian haditsri wayah saja
tidak cukup.
C. Latar Belakang Urgensi Ma’anil Hadis
Di lingkungan umat Islam kadang kala muncul pendapat yang eksklusif yang merasa
bahwa pemahaman mereka yang paling benar. Munculnya realitas sosial yang melanda
sebagian umat Islam bahwa mereka merasa paling benar tersebut timbul akibat adanya
perbedaan cara pandang atau pendekatan dalam memahami atau menjelaskan maksud
kandungan hadis dengan pemahaman yang dijalani oleh kelompok lainnya. Jika wacana
pendekatan dalam memahami hadis bisa disadari secara jernih, kemungkinan memandang
pemahaman dirinya paling benar akan bisa terhindarkan, karena masing-masing menyadari
perbedaan titik tolak menyebabkan hasil pemahaman yang juga berbeda.
Yang perlu digarisbawahi ketika kita berhadapan dengan teks hadis adalah minimal dua
hal. Pertama bahasa teks itu sendiri dan yang kedua konteks yang melingkupi teks tersebut.
Baik sebelum, saat ataupun jauh setelah teks itu keluar, bahkan masa yang akan datang. Untuk
itulah Ilmu Ma'anil Hadis sangat urgen kedudukannya dalam rangka memahami hadis agar
diperoleh pemahaman yang benar tentang sebuah hadis.
Dengan mempelajari Ilmu Ma‟anil Hadis, atau mengetahui ma‟ani sebuah hadis, maka
sikap merasa paling benar sebab memahami hadis dengan pemaknannya sendiri dan semata-
mata untuk kepentingannya akan tergantikan dengan sikap damai, toleransi antar kelompok,
dan kesadaran bahwa pemahaman dangkal akan sebuah hadislah yang membuat perdebatan
antar kelompok.
Selain itu, terdapat juga faktor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya ilmu ini, antara
lain:
1. Sebagian dari Hadis Nabi memuat kata-kata yang sulit (garib).
Hal seperti ini dapat dilihat dalam beberapa hadis Nabi sebagai berikut: suatu
ketika Nabi pernah bertanya kepada sahabat-sahabatnya tentang kata al-muflis
atau al-mu'sir6
Kata al muflis, secara harfiah berarti "bangkrut", tetapi yang dimaksud dalam
hadis ini bukanlah bangkrut dalam arti harfiah tersebut atau orang yang

6
Abu Husain Muslim bin Hajjaj (selanjutnya ditulis Muslim), Shahih Muslim, Juz. IV,
hlm. 197, Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, al-Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz. II. H. 303,334,
dan 371.

7
mengalami kejatuhan di bidang ekonomi sehingga tidak memiliki uang seperti
yang dipahami oleh sahabat-sahabat Nabi. Namun yang dimaksud al-muflis
menurut Nabi saw. ialah orang yang ibadahnya baik namun perilakunya tidak
terpuji. Dalam hal ini Nabi saw. menjelaskan di dalam hadisnya secara terperinci.7
2. Sebagian dari Hadis Nabi Memuat Pernyataan yang Musykil
Bila pada bagian di atas dijelaskan tentang munculnya kata yang sulit
dipahami (garib) pada matan hadis, maka pada bagian ini yang dimaksudkan itu
bukanlah dari segi kata perkata, melainkan rangkaian kata tersebut menjadi
sebuah pernyataan atau kalimat; dalam artian mungkin saja setiap kata yang
termaktub dalam kalimat itu memiliki makna yang jelas tetapi ketika kata tersebut
dirangkaikan menjadi sebuah kalimat, maka muncullah pernyataan yang samar
maknanya. Dan inilah yang dimaksudkan dengan musykil al-Hadis. Sebagai
contoh hadis yang menyatakan bahwa, "Allah Swt. akan turun pada dua pertiga
malam ..."8 Hadis ini, jika dipahami secara tekstual, maka dapat memberi kesan
bahwa Allah Swt. berada pada tempat yang tinggi di langit dan akan turun ke
tempat yang lebih rendah di bumi padahal Allah menurut doktrin teologi terlepas
dari ikatan ruang dan waktu. Karena itu, hadis ini harus ditakwilkan, sehingga
antara lain maknanya dapat dipahami bahwa Allah akan menurunkan rahmatnya
kepada orang yang beribadah pada dua pertiga malam.9
3. Adakalanya Sabda Nabi Berhubungan dengan kondisi Masyarakat Tertentu
Terkadang sebuah hadis sangat erat kaitannya dengan kondisi masyarakat
tertentu tetapi dalam hadis yang bersangkutan tidak dikemukakan secara ekplisit
hubungan tersebut. Munculnya hadis seperti ini sangat dimungkinkan terjadi pada
masa kenabian. Seumpamanya Rasulullah dalam suatu perjalanan bersama
sahabat menemukan sebuah kebiasaan, tradisi sebuah kelompok, masyarakat yang
berbeda dengan tradisi mereka sehingga Rasulullah mengomentarinya atau

7
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 7.
8
Muslim, Shahih, Juz. I. h. 521-522, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy,
al-Shahih, Juz. I., h. 200.
9
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 8.

8
didahului pertanyaan oleh sahabat akan pendapat Nabi akan hal itu atau
Rasulullah tetap berada di Madinah sedangkan ia melihat orang Madinah dari
kelompok yang berbeda atau dari penduduk Madinah sendiri melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan siaran Islam dan beliau mengomentari hal tersebut atau
Rasulullah mendengar berita atau informasi yang berasal dari daerah, wilayah
atau bangsa lain sehingga beliau mengomentari hal tersebut. Untuk kasus yang
terakhir ini dapat dilihat pada hadis Nabi tentang kepemimpinan seorang wanita;
"Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan - kepemimpinan -
mereka kepada seorang perempuan."10
Hadis ini menjelaskan secara harfiah bahwa masyarakat yang mengangkat
perempuan sebagai pemimpin mereka tidak akan mengalami kesuksesan. Dengan
memahami teks hadis tersebut, maka ulama Syafi'iyah mengharamkan perempuan
menjadi Hakim pengadilan pidana dan menjadi kepala negara. Abu Hanifah
membolehkan perempuan menjadi hakim pengadilan pidana, namun tidak
menjelaskan bagaimana perempuan menjadi kepala negara.11
Bagi ulama yang menghubungkan teks hadis tersebut dengan keadaan
sosial masyarakat pada zaman itu (dengan pendekatan sosio-historis), yakni
dengan memahami sabab al-wurud hadis tersebut, maka pengangkatan
perempuan menjadi pemimpin tidak salah sepanjang syarat-syarat kepemimpinan
terpenuhi. Menurut mereka, hadis tersebut diucapkan Nabi saw. setelah
mendengar peristiwa suksesi di Persia bahwa yang menggantikan Kisra di Persia
itu adalah seorang perempuan. Hal itu terjadi karena anak Kisra yang laki-laki
(putra mahkota) telah meninggal dunia akibat pertikaian perebutan kekuasaan
Kisra masih hidup.12
Ulama yang melihat hubungan hadis tersebut dengan kondisi masyarakat
pada zaman itu berpendapat bahwa hadis tersebut berlaku untuk masyarakat yang
belum menghargai kedudukan perempuan sejajar dengan laki-laki. Apabila suatu
saat perempuan telah menunjukkan kemampuan yang sama dengan kaum laki-
10
Bukhariy, al-Shahih, Juz. IV,h. 228, Ahmad, al-Musnad, Juz V. h. 38, 47.
11
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 9.
12
Ibid.

9
laki, maka kaum perempuan yang memenuhi syarat dapat saja diangkat sebagai
pemimpin masyarakatnya.13
Hadis seperti di atas barulah dapat dilakukan apabila hadis yang
bersangkutan dikaji hubungannya dengan sabab wurud-nya, baik sabab wurud itu
tercantum dalam teks matan yang bersangkutan maupun yang tidak tercantum
dalam teks.14
4. Adakalanya Petunjuk Sebuah Hadis Bersifat Umum dan Berhubungan Erat
dengan Keadaan Masyarakat Tatkala Hadis itu Terjadi.
Ada kecendrungan sekelompok umat Islam untuk menyamakan dan
mengidentikkan antara Islam dengan Arab dan mempertukarkan kedua istilah ini
secara bergantian pada tempat yang sama. Hal ini dimungkinkan karena wilayah
Arab adalah tempat lahir, tumbuh dan bersemayangnya agama Islam atau
sebaliknya. Sesuatu yang tidak terbantahkan bahwa Islam memang menjadi unsur
penting dan bahkan mungkin inti dari kebudayaan Arab. Kendati demikian Islam
dan Arab tidaklah identik. Arab adalah kebudayaan lokal dan partikular dibentuk
oleh ruang dan waktunya sedang Islam adalah ajaran yang diyakini bersifat
universal.15
Rasulullah adalah orang Arab, sehingga prilakunya sepenuhnya tidak
dapat dilepaskan dari sosio-historis ke-Arab-an yang melingkupinya. Atas dasar
itu dalam memahami sebuah hadis pemahaman atas hal ini menjadi suatu hal yang
sangat penting. Seperti salah contoh dari hadis Nabi berikut.
"Para pemimpin (harus) dari suku Quraisy ...."16
Secara harfiah, ulama memahami bahwa yang dapat diangkat sebagai
kepala Negara hanyalah orang dari suku Quraisy. Dalam sejarah Islam,
pandangan tersebut telah berlangsung berabad-abad. Pandangan-pandangan itu

13
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), hlm. 10.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ahmad, al-Musnad, Juz. III. H. 129, 183; Juz IV, hlm.422.

10
kemudian berubah setelah ulama menghubungkan sabda Nabi tersebut dengan
latar belakang masyarakat Quraisy di tengah-tengah masyarakat Arab.17
Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang mencoba memberikan
penafsiran lain dari hadis di atas. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan
hadis tersebut bukanlah etnis Quraisybsecara hakiki yang berhak menjadi kepala
negara melainkan kemampuan memimpin sebagaimana dimiliki oleh orang-orang
Quraisy terhadap masyarakat Arab, khususnya pada zaman Nabi saw. Jadi,
apabila di suatu saat masyarakat non-Quraisy memiliki kemampuan memimpin,
maka mereka dapat saja dipilih sebagai kepala negara.18
Sejalan dengan pendapat ibn Khaldun, beberapa abad yang silam ketika
terjadi fitnah al-Kubra (perang saudara), peristiwa kelam dalam sejarah
perjalanan umat Islam. Muncul sebuah aliran teologis yang bernama khawarij.
Kelompok ini dalam melihat persoalan kepemimpinan lebih demokratis dibanding
dengan aliran-aliran lainnya. Mereka berpendapat bahwa siapapun dapat saja
menjadi pemimpin - bukan hak proregatif Arab Quraisy- asalkan mampu
menjalankan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip syariat agama.19 Berbeda
dengan Khawarij, kelompok Syi'ah sangat ekstrim dan eksklusif dalam hal ini.
Mereka hanya mengakui kepemimpinan yang berasal dari ahl al-Ba'it, garis
keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah yang kemudian lebih populer dikenal
dalam konsep imamah20.
Berpandangan seperti ibn Khaldun dan Khawarij menjadikan hadis ini
tidak kehilangan makna dan akan tetap relevan untuk masa yang akan datang.
Bahkan sebenarnya, bila dilakukan kajian komprehensif (maudhuiy) terhadap
hadis dalam tema ini akan ditemukan sebuah hadis yang mendukung pendapat
Khawarij ataupun Ibn Khaldum yang berbunyi:

17
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, (Makassar: Alauddin University
Press, 2012), h. 11.
18
Ibid., hlm. 12.
19
Lismanto, "Pemikiran Politik Sunni, Syiah, Khawarij dan Mu'tazilah" dalam
Kompasiana (11 Juli 2012).
20
Ibid.

11
“Keadilan dan kejujuran adalah ciri orang Quraisy sehingga bila hal itu hilang
dari mereka tidak ada ketaatan atasnya."21
5. Bahasa Memiliki Sejarah Perkembangannya.
Bahasa akan senantiasa berkembang seiring dengan budaya dan peradaban
dari penutur bahasa tersebut, merupakan sebuah pernyataan yang telah menjadi
kosensus pakar bahasa dan tak seorangpun menafikannya. Semakin maju sebuah
peradaban, semakin cepat pula perkembangan bahasa dari peradaban tersebut.
Sebuah masyarakat yang primitif dan terisolir umpamanya, tentu hanya mengenal
apa-apa saja yang ada disekitarnya walaupun di daerah yang lain terjadi
perkembangan pesat dalam berbagai sendi kehidupan manusia; ilmu pengetahuan,
tekhnologi, budaya, ekonomi, militer dan sebagainya. Namun hal itu tidak
memberikan dampak apapun bagi kehidupan mereka. Tetapi ketika mereka
membuka diri dan berinteraksi dengan peradaban tersebut, maka secara otomatis
mereka telah mengalami babakan baru perkembangan bahasa. Bahasa dan
peradaban bagaikan dua sisi mata uang logam yang memiliki sisi yang berbeda
namun sulit untuk dipisahkan.
Perkembangan bahasa seperti di atas berlaku pada semua bahasa tak
terkecuali bahasa Arab. Bila puluhan Abad yang silam, orang Arab akrab dengan
istilah-istilah sekitar gurun pasir, kering, pedalaman, watak keras dan lain
sebagainya. Itu disebabkan karena kondisi alam mereka yang membentuk dan
mempengaruhi kekayaan kosakata, sistem bahasa dan pemikiran mereka. Hal ini
senada dengan pandangan komunitas pakar bahasa yang menyatakan :
"Lingkungan bahasa dan budaya tempat seseorang dilahirkan akan menanamkan
prasangka-prasangka (given value) yang dengannya seseorang akan menafsirkan
pandangan dunianya. Di sini bahasa bukan hanya sekedar rentetan bunyi,
melainkan di dalamnya terkandung nilai dan tradisi yang terlembagakan yang
pada urutannya sangat berpengaruh bagi pembentukan visi dan ideologi seseorang

21
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz. II (Beirut: al-Maktabah al- Islami, 1978), h.
129, 183.

12
ataupun masyarakat. Jadi peristiwa kelahiran anak manusia sesungguhnya tidak
saja sebagai kelahiran biologis tetapi sekaligus juga sebuah kelahiran anak
kandung sebuah budaya, agama serta etnis."22
Sebuah kamus seperti Lisan al-Arab karya ibn Manzur yang hingga kini
masih diakui sebagai kamus terbesar, album dan bahkan ensiklopedia dengan
jumlah entri 80 ribu merupakan potret tentang kehidupan bangsa Arab puluhan
abad yang silam.23 Dan tentulah bila kamus ini menjadi acuan tanpa melakukan
analisis perkembangan makna kata- untuk memahami karya-karya ulama
kontemporer akan terjadi kesalahan dan reduksi, ataupun sebaliknya mencoba
mencari istilah modern dalam kamus itu, maka hal itupun sulit dilakukan.
Perkembangan bahasa berjalan seiring dengan perputaran roda kehidupan
manusia tidak hanya menghadirkan sesuatu yang positif tetapi juga menyisakan
berbagai permasalahan. Sebagaimana secara implisit tergambar di atas bahwa
ekspansi politik, budaya ekonomi dan sebagainya pada wilayah dan budaya yang
berbeda- sebagaimana terjadi pada periode Umar bin Khattab dan periode-periode
selanjutnya dan memcapai titik kulminasinya pada pemerintahan pada periode
Bani Abbasyiah (134-447 H), untuk yang terakhir ini khususnya dalam bidang
bahasa. Ketika terjadi alih ilmu pengetahuan oleh umat Islam non-Arab kemudian
diikuti ashr al-Tadwin; proyek pengkodifikasian secara massif berbagai disiplin
keilmuan, termasuk kamus-kamus bahasa Arab bercorak ilmu pengetahuan
mendahulukan makna aktual dari setiap kata, telah melahirkan generasi yang
tidak "mengakar" lose generation pada budaya dan peradabannya disatu sisi.
Sedangkan disisi yang lain bahasa agama; al-Quran dan al-Hadis tetap terpelihara
dalam penyeragaman dalam mushaf Usmani untuk yang pertama dan dalam kutub
al-Tis ah untuk yang kedua. Walaupun untuk yang kedua ini, pada masa takwin
al-Hadis lebih banyak diriwayatkan secara bi al-makna- sehingga terjadinya

22
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996), h.
23
Kutipan ini diambil percikan pemikiran beliau yang dikumpul oleh Ahmad Baso dalam
sebuah buku yang diberi judul: Post Tradisionalisme Islami (Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2000), h.
64.

13
kekaburan, kemusykilan, kegariban dan reduksi tidak terelakkan. Akhirnya, bila
seorang pengkaji tidak memahami secara baik bagian ini sejarah perkembangan
bahasa-, maka sangat dimungkinkan lahir pemahaman yang keliru.
Contoh kata "jihad" sebuah kata yang cukup popular dan sering digunakan
dewasa ini dalam makna sempit. Kata al-jihad senantiasa dikonotasikan pada
berbagai bentuk perlawanan umat Islam dengan aksi kekerasan dan anarkis
terhadap hal-hal yang dianggap bertentangan dan melecehkan Islam. Setiap kali
kata itu disebut gambaran pertama yang muncul dibenak orang adalah
peperangan. Padahal kata al-jihad bila ditelusuri penggunaannya dalam al-Quran
dan hadis dan berbagai kitab lainnya menyajikan makna yang variatif yang
semuanya bermuara pada makna adanya usaha keras, maximal dan sungguh-
sungguh oleh individu ataupun kelompok.
Menirukan kemudian mempresentasikan kembali suatu pernyataan yang keluar
dari mulut seseorang sesuai dengan ungkapan dan formasi setiap kata merupakan suatu
hal yang cukup sulit dilakukan. Hal ini dipengaruhi oleh sedikitnya tiga komponen
penting yang memiliki "dunia" masing-masing. Pertama, si Penutur, materi yang
dituturkan, dan yang terakhir si Pendengar. Ketiga komponen ini harus berada
pada satu titik kesamaan persepsi, kepaduan dan paralelisme. Bila salah satu dari
bagian ini tidak terpenuhi, maka hal itu sulit dilakukan.
Kondisi serupa juga terjadi pada hadis Nabi. Nabi sebagai penutur harus
memilih kata yang dikenal dan mudah dipahami. Begitu juga dengan materi hadis
yang disampaikan harus sedapat mungkin memilih bahasa efektif padat sehingga
tidak menyulitkan untuk merekam memiliki kecerdasan, keku untuk merekamnya.
Sedang si Pendengar harus memiliki kecerdasan, kekuatan hafalan dan
kemampuan bahasa Arab yang handal. Dalam sejarahnya, sebagian kecil hal ini
dapat terpenuhi dan sebagian besar yang lain tidak dapat terhindarkan seperti
sabda yang panjang, materi khutbah, tingkat kecerdasan dan kekuatan hafalan
sahabat yang bertingkat-tingkat dengan sistem kosa-kata bahasa Arab yang
menonjolkan sisi mutaradif (sinonim), menjadi sangat sulit untuk terjadi
keseragaman riwavat dan faktor yang lain karena diantara hadis Nabi terdiri dari
hadis- hadis fi'liyyah (akan dijelaskan secara rinci pada pembahasan selanjutnya).

14
Hadis Nabi tidak hanya diriwayatkan secara lafal tetapi juga secara makna.
Dengan mempelajari Ilmu Ma'ānī al-Hadis, maka kandungan petunjuk hadis akan
dapat dipahami sesuai dengan perkembangan sejarah Bahasa yang terdapat dalam
matan hadis.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kata ‘al-ma’ani adalah bentuk flural dari kata al-ma’n, berakar dari huruf-huruf
‘ayn, nun, dan harf mu’tal mengandung tiga arti: (1) maksud sesuatu; (2)
kerendahan dan kehinaan; dan (3) penampakan dan kemunculan sesuatu. Al-
Ma’na berarti suatu maksud yang muncul dan tampak pada sesuatu kata jika
diadakan pembahasan atasnya. Adapun kata al-Hadis, jamaknya al-Ahadis, al-
Hidsan dan al-Hudsan berakar dari buruf-huruf ha, dal, dan sa, memiliki banyak
arti, antara lain: (1) al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama); dan
(2) al-khabar (kabar atau berita).
2. Kegunaan Ilmu Ma‟anil Hadis: Mengetahui kemukjizatan Al-Qur‟an berupa segi
kebagusan penyampaian, keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, kefasihan
kalimat, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu.; Menguasai rahasia-rahasia
ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi‟ir maupun prosanya; bisa
membantu dalam memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami
hadis; untuk mengembangkan pemahaman hadis secara kontekstual dan progresif;
dan untuk melengkapi kajian ilmu hadits riwayah, sebab kajian haditsriwayah saja
tidak cukup.
3. Latar belakang pentingnya ma‟anil hadis: Sebagian dari hadis Nabi memuat kata-
kata yang sulit (garib); sebagian dari hadis Nabi memuat pernyataan yang
musykil; adakalanya sabda Nabi berhubungan dengan kondisi masyarakat
tertentu; adakalanya petunjuk sebuah hadis bersifat umum dan berhubungan erat
dengan keadaan masyarakat tatkala hadis itu terjadi; dan bahasa memiliki sejarah
perkembangannya.

B. Saran

Kami sadari bahwa makalah yang telah kami susun tentunya jauh dari kata
sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. Sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya kekeliruan ataupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Maka dari itu, kami selaku penulis mengharapkan agar sekiranya pembaca

16
berpartisipasi dalam memberikan gagasan, masukan ataupun kritik yang tentunya bias
menjadikan kami lebih baik lagi dalam penyusunan makalah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arifuddin. 2012. Metodologi Pemahaman Hadis. Makassar: Alauddin


University Press.

Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad. 2013. Pengantar Ilmu Hadis. Surakarta:
Zadahaniva Publishing.

Muhlis, Ibrahim. http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/06/24/ilmu-maani-al-hadis/


“Ilmu Ma‟ani al-Hadis” (Senin, 15 Maret 2021, 19.15)

Mulus, Sigit. http://el-syaid.blogspot.com/2016/06/16/pengertian-ilmu-maani-objek-kajian-


dan-manfaatnya/ (Senin, 15 Maret 2021, 21.03)

Cahpesisir. napek-cahpesisir.blogspot.com/2009/12/25/ilmu-ma‟ani-hadis/ (Senin,


15 Maret 2021, 22.44)

18
Tugas Kelompok

Dr. H. Mukhlis Mukhtar M.Ag

MAKALAH

ILMU MA’ANIL HADITS

Periwayatan Hadits Berdasarkan Lafadz dan Makna

Disusun oleh:

Kelompok 2

1. Siti Nur Afiqah (30300119007)


2. Nurhalija (30300119015)
3. Syinta.M (30300119040)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah ‫ﷻ‬., yang telah melimpahkan
rahmat, taufik serta hidayahnya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Ilmu Ma’anil Hadits : Peiwayatan Hadits
Berdasarkan Lafadz dan Makna”.
Dan tak lupa sholawat serta salam tetap kami curahkan kepada junjungan
kami, Nabi besar Muhammad ‫ﷺ‬., yang telah membawa kita dari alam kegelapan
menuju alam yang terang benderang yakni agama Islam.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh
Al-Ustadz Dr. H. Mukhlis Mukhtar M.Ag. Selain itu, agar kami dapat
mendalami lagi ayat-ayat Allah khususnya perkara sholat.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna dan tentu masih banyak kesalahan didalamnya baik dari segi penulisan,
penggunaan kata dan lain sebagai. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari Ustadz dan para pembaca sekiranya dapat meluruskan kesalahan-
kesalahan kami sebagai bahan evaluasi bagi kami kedepan agar menjadi lebih
baik lagi.

Gowa, 9 Maret 2021

Penyusun,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
1. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
2. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
3. Tujuan ............................................................................................................................. 4
BAB II ....................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 5
1. Periwayatan Hadis ........................................................................................................ 5
1. Periwayatan Hadis Berdasarkan Lafadz ................................................................... 5
2. Periwayatan Hadis Berdasarkan Makna .................................................................. 7
BAB III .................................................................................................................................... 11
PENUTUP................................................................................................................................ 11
Kesimpulan ......................................................................................................................... 11

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dr. Muhammad Ibnu ‘Alawi mendefinisikan ilmu ma’anil hadis sebagai ilmu
yang menjelaskan tentang upaya (menduga) kehendak/maksud hadis tersebut yang
pengurainya mendasarkan diri pada kaidah (linguistic) bahasa arab, prinsip-prinsip
stari’ah dan keserasian dengan hal ihwal Nabi Muhammad SAW.

Dengan pmbatasan tersebut maka ilmu ma’anil hadis menempatkan diri sebagai
perangkat (wasilah) untuk merumuskan makna (pengertian) yang langsung dapat
dipahami dari teks redaksi tersurat pada ungkapan hadis dan kehendak yang sebenarnya
dari ungkapan tersebut. Dan sesuai dengan definisi sebelumnya menjadi instrumen
dalam pengujian untuk mengontrol kedua variable makna tersebut (ma’na al-mafhum
dan ma’na al-murad).

Untuk menerapkan praktiknya dalam hadis, maka perlu dipahami terlebih


dahulu mengenai penjelasan teoritis dari hal tersebut.

2. Rumusan Masalah
1. Apa itu periwayatan hadis?
2. Apa dan bagaimana periwayatan hadis berdasarkan lafadz?
3. Apa dan bagaimana periwayatan hadis berdasarkan makna?

3. Tujuan
1. Untuk memahami maksud dari periwayatan hadis
2. Untuk memahami periwayatan hadis berdasarkan lafadz
3. Untuk memahami periwayatan hadis berdasarkan makna

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Periwayatan Hadis
Sebagai sebuah laporan atau kesaksian yang merekam segala sesuatu
yang berkenaan dengan diri Nabi saw, sebuah hadis harus melalui proses
kegiatan yang disebut periwayatan, yang merupakan kata serapan dari al-
riwayah atau riwayat al-hadis. Al-riwayah adalah masdar dari kata rawa yang
berarti penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas.
Sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti cerita. kisah dan berita.
(Noorhidayati: 2008, 13).
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan periwayatan hadis
adalah ‘kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis
itu kepada rangkaian periwayatnya dengan menggunakan istilah atau lambang
tertentu’.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan periwayatan hadis
adalah kegiatan menerima dan menyampaikan, seperti mempelajari dan
mengajarkan suatu hadis dengan rangkaian periwayat yang dipaparkan atau
jalur periwayatan yang disusun dengan bahasa dan bentuk tertentu.
Dalam mempelajari hadis kita mengenal 2 (dua) istilah yaitu sanad dan
matan. Untuk menetapkan shahih tidaknya suatu hadis dapat diketahui dengan
cara meneliti kedua hal tersebut di atas.
Sanad adalah rangkaian perawi yang dapat menghubungkan antara
matan suatu hadis dengan Nabi Saw. sedangkan matan adalah lafadz/ teks hadis
itu sendiri. Adapun seorang perasi menerima suatu hadis dari seseorang dan
menyampaikanny kepada orang lain dianamakn periwayatan.
Periwayatan sesuatu hadis dari seseorang dan menyampaikanya kepada
orang lain, terdiri dari dua hal, yaitu: periwayatan dalam bentuk lafadz dan
makna.1

1. Periwayatan Hadis Berdasarkan Lafadz

Periwayatan hadits secara lafaz (al-riwayah bi allafzhi) ialah “ seorang


perawi menyampaikan hadits secara leterlek yaitu dengan lafal yang di
terimanya, tanpa ada perubahan, penggantian, penambahan maupun
pengurangan sedikitpun.

‫الراوى حتمله الذي النحو على احلديث رواية فهي ابلفظ الرواية اما‬
‫او تقدمي او نقص او زايدة او تبديل او تغيري دون مسعه الذى وابلفظ‬
‫أتخري‬
“Adapun riwayat bi al-lafazhi adalah meriwayatkan hadisdengan
contoh yang dikemukakan oleh rawi dan dengan lafadz yang didengarnya

1
Burhanuddin Abd. Gani, “Periwayatan Hadis dengan Makna Menurut Muhadditsin”. Al-Mu’ashirah. Vol. 16
No. 1, Januari 2019, hal. 33.

5
tanpa peruhahan atau penggantian, penambahan atau pengurangan dan
(tanpa) mendahulukan atau mengakhirkan.” .
Golongan mutaqaddimin secara muthlak hanya membenarkan
periwayatan hadis dengan lafaz. Atau dengan kata lain, mereka tidak
membolehkan periwayatanhadis dengan makna. Di antara ulama yang
menekankan periwayatan hadis dengan lafaz dan menolak periwayatan
hadis dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan
Raja’ ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadis kecuali
dengan lafaz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang
didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam
ejaannya. Ibn Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut
mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafaz yang Ekstrim”.Hadis Nabi yang
dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (ar-riwayah bi al-lafzh) oleh
sahabat Nabi sebagai saksi pertama, hanyalah hadis yang dalam bentuk
sabda (hadits qauliyyah), dan inipun sangat sulit dilakukan kecuali untuk
sabda-sabda tertentu. Selanjutnya ulama’ ahl al-hadits sepakat akan
keharusan periwayatan hadits secara lafaz untuk hadis –hadis berikut ini:
1. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutanpenyebutan nama-nama
Allah dan sifat-sifatn-Nya.Mereka memandangnya sebagai suatu hal
yang tauqifiydan tidak boleh diganti dengan atau kata lain walaupun
sepadan.
2. Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah
(ta’abbudiya) misalnya hadis-hadis do’a.
3. Hadis-hadis tentang jawami’ al-kalim, yakni ungkapanpendek sarat
makna yang mengandung nilai balaghohyang tinggi dan periwayatannya
secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan makna
hadis yang dimaksud.
4. Hadis-hadis yang berkaitan dengan lafaz-lafaz ibadah, misalnya hadis
tentang azan, iqamat, takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akad.

Perlu ditegaskan pula, ulama’ ahli hadis sepakatbahwa menjaga lafaz


hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafaz yang diterima dan
didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama
daripada periwayatannya secara makna. Hal ini karena sabda Nabi adalah
perkataan yang mengandung fashahah dan balaghah yang tidak ada
bandingannya. Dan periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan
perbedaan redaksi (dari redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda).
Bahkan redaksi hadis ini ada yang menyebabkan perbedaan makna atau
maksud hadis. Alasan populer yang dikemukakan oleh golongan yang tidak
membolehkan periwayatan hadis dengan makna adalah sabda Rasulullah
SAW:

َْ ْ‫ت قَالَْ َمسعُودْ بن‬


ْ‫اّلل َعبدْ َعن‬ ُْ ‫َب سم ََع‬ َْ ‫صلَى الن‬ َْ ْ‫يق َُولُْ َو َسلَ َْم َْعلَيه‬
َ ُ‫اّلل‬ َ
‫َر‬ َْ ْ‫ع ام َرأ‬
َْ ‫اّللُ نَض‬ َْ ََ ‫ع َك َما فَ بَ لَغَْهُ َشي ئا منَا سم‬
َْ ََ ‫ب سم‬ َْ ‫ب فَ ُر‬
َْ ‫َسامعْ منْ أَو َعى لغْ ُم‬

6
.(‫الرتمذي رواه‬

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata:” Saya telah mendengar Nabi SAW
bersabda:” Semoga Allah Ta’ala menjadikan berseri-seri wajah seseorang
yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian dia menyampaikannya
sebagaimana yang dia dengarkan. Boleh jadi yang disampaikan lebih
memahami dari yang mendengar (langsung) “ (HR. Al-Tirmidzi)
Alasan lain adalah riwayat yang menyatakan bahwa nabi pernah
menegur Barra’ ibn ‘Azib ketika ia menukar lafaz ‫ رسولك‬dengan ‫ نبیك‬dalam
do’a tidur yang diajarkan nabi kepadanya. Selain itu, kelompok ini juga
mengajukan argumen aqli, antara lain :
1. Jika dibolehkan kepada perawi pertama menukar lafaz yang
didengarnya dengan lafaznya sendiri, maka perawi yang kedua tentu
juga boleh melakukan hal yang sama, dan demikian seterusnya pada
perawiperawi selanjutnya. Apabila hal ini dibolehkan, maka
kemungkinan hilangnya perkataan yang asli dari nabiakan lebih besar
terjadi, ataupun setidak-tidaknya akan terjadi kesenjangan dan
perbedaan yang luas antara ucapan yang diriwayatkan terakhir dengan
ucapan periwayat pertama.
2. Sering terjadi bahwa sebahagian dari ulama kontemporer menafsirkan
suatu ayat atau hadis yang sama sekali tidak cocok dengan penafsiran
yang dibuat oleh ulama terdahulu, jika riwayat hadis dengan ma’na
dibolehkan, maka hal serupa akan terjadi, yaitu tak terbendungnya
penyelewengan ucapan yang tidak disadari oleh perawi.2

2. Periwayatan Hadis Berdasarkan Makna

Periwayatan Hadis dengan makna adalah suatu cara di mana Hadis


diriwayatkan dengan menggunakan redaksi periwayat sendiri atau berbeda
dari redaksi yang diterima dari perawi, namun kandungan dan maksud atau
makna dari Hadis tersebut tetap sama.3
Menurut Ahmad Umar Hasyim dalam mendefinisikan riwayat hadis
dengan makna maksudnya adalah penyampaian hadis dan periwayatannya
dengan ma’nanya baik seluruh lafaznya dari rawi atau sebagian dengan
syarat ia memelihari ma’nanya.
Sedangkan menurut Luwis Ma’luf, periwayatan dengan makna adalah
proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah saw. dengan mengemukakan
ma’na atau maksud yang dikandung oleh lafaz, karena kata makna
mengandung arti maksud dari sesuatu.4
Kesimpulannya, periwayatan hadis dengan makna adalah
menyampaikan hadis dengan hanya menggarisbawahi inti hadis atau makna
hadis sedangkan susunan katanya atau lafaznya disusun sendiri oleh para

2
Zailani, “Pengaruh Hadis Riwayat Bi Al-Na’na”. An-Nur. Vol. 4 No. 1, 2015, hal. 60.
3
Drs. M. Sayuthi Ali, M.Ag, “Periwayatn Hadis dengan Lafaz dan Makna”. Al-Qalam. No. 59/X/1996, hal. 22.
4
Zailani, “Pengaruh Hadis Riwayat Bi Al-Na’na”. An-Nur. Vol. 4 No. 1, 2015, hal. 63.

7
sahabat yang menyampaikan atau dalam artian redaksinya tidak sama persis
dengan apa yang disampaikan Rasulullah saw. tetapi, maksud dari hadis
tersebut sama saja.

a. Latar Belakang Periwayatan Hadis Berdasarkan Makna


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada zaman Rasulullah saw
hadis tidak boleh ditulis karena takut akan tercampur dengan ayat al-
Qur’an. Rasulullah saw hanya memperbolehkan penulis hadis yang
hafalannya lemah dan melarang yang kuat hafalannya untuk menulis
hadis, karena khawatir akan tergantung pada tulisan tersebut.xxvii
Lamanya masa pelarangan tersebut menjadikan perbedaan para sahabat
dalam meriwayatkan hadits. Ada yang meriwayatkan hadis dengan lafaz
persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan maknanya
saja. Terjadinya periwayatan secara makna disebabkan beberapa faktor
sebagai berikut:
1. Adanya hadis-hadis yang ragu dan tidak mungkin diriwayatkan
secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari Nabi
Muhammad saw., seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis
mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah
secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
2. Adanya larangan Nabi untuk menuliskan selain al-Qur’an. Larangan
ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di
samping larangan, ada pemberitahuan dari Nabi tentang kebolehan
menulis hadis.
3. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan,
menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah daripada
mengingat susunan kata-katanya.5

b. Pendapat Ulama Mengenai Periwayatan Hadis berdasarkan Makna


Seseorang perawi dalam mentahammulkan hadis kepada orang lain
mempunyai cara-cara tersendiri, sebagaimana yang telah ditetapkan
oleh para ahli; seperti kewajiban harus mendengar dan mengerti,
memahami an lain-lain. Perawi hadis adalah salah satu dari manusia
yang tidak terlepas dari rasa lupa dana tau kekurangan lainnya. Maka
diantara perawi dalam menyampaikan hadis kepada rang lain adalah
dengan lafadh aslinya tanpa menggantikan atau dan menambahkan teks-
teks kalimat hadis sebagaimana ia mendengarkannya dari Rasulullah
saw. adakalanya meriwayatkan sesuatu hadis kepada orang lain dengan
maknanya. Asal tidak menyimpang dari pengertian sesuatu hadis
disebabkan penambahan dana atau menggantikan sebahagian kalimat
dari sesuatu hadis dengan kalimat yang lain.6
Periwayatan Hadis dengan makna menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Ada ulama yang tidak membolehkan sama

5
Ibid.
6
Burhanuddin Abd. Gani, “Periwayatan Haditsdengan Makna menurut Muhadditsin”. Al-Mu’asirah. Vol. 16
No.1, Januari 2019, hal. 41.

8
sekali berdasarkan kepada Hadis Nabi sendiri, dan ada pula yang
membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu, dan ada lagi yang
membolehkannya hanya untuk periode tertentu saja. Tetapi yang jelas
bahwa periwayatan Hadis dengan makna telah berlangsung sejak masa
sahabat. Hal ini disebabkan oleb keterbatasan kemampuan manusia
dalam menghafal atau bila terjadi rentang waktu yang cukup panjang
antara waktu penerimaan Hadis dan waktu penyampaiannya.7
Adapun jumhur ulama yang memperbolehkan periwayatan hadis
berdasarkan makna dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Bahwa seorang perawi adalah orang yang mengetahui bahsa arab
dengan mendalam dan mengetahui pula arah tujuan semua ungkapan
dan seluk beluk Bahasa.
b. Bahwa seorang perawi mengetahui dengan benar lafadh yang dapat
merubah makna dan yang tidak.8
Bila kedua syarat tersebut di atas tidak ada maka periwayatan hadis
denganmakna tidak boleh.
Imam Asy Syafi’I menjelaskan tentang sifat perawi hadis, yaitu:
a. Hendaknya orang yang meriwayatkan hadis itu tsiqah dalam
agamanya
b. Ia terkenal benar atau jujur dalam pembicaraannya.
c. Mengetahui benar tentang hal – hal yang memalingkan makna dari
lafadh.
d. Hendaknya apa yang diriwayatkannya itu betul sebagaimana ia
mendenganya. Bila syarat-syarat tersebut ini tidak ada pada seorang
perawi maka dikhawatirkan ia akan dapat menghalalkan yang haram
atau sebaliknya.9
Pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan, selain
sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna, dengan
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Mengetahui pengetahuan bahasa Arab, agar terhindar dari
kekeliruan.
2. Periwayatannya terpaksa karena lupa susunan secara lafaz ataupun
harfiyah.
3. Yang diriwayatkan tersebut bukan bacaan yang sifatnya ta’abidi.
Seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadah serta berbentuk jawami
al-kalim.10
Alasan yang selalu dikemukakan oleh golongan yang membolehkan
periwayatan hadis bi al-ma’na adalah hadis yang diriwayatkan al-
Thabraniy yang berbunyi :
“Dari Sulaim bin Ukaimah al-Laitsi, ia berkata : saya bertanya kepada
Rasulullah Saw, ya Rasulullah sesungguhnya saya mendengar hadis
dari engkau, dan saya tidak sanggup menyampaikan sebagaimana yang

7
M. Sayuthi Ali, “Periwayatn Hadis dengan Lafaz dan Makna”. Al-Qalam. No. 59/X/1996, hal. 22.
8
Burhanuddin Abd. Gani, “Periwayatan Haditsdengan Makna menurut Muhadditsin”. Al-Mu’asirah. Vol. 16
No.1, Januari 2019, hal. 41.
9
Ibid.
10
Zailani, “Pengaruh Hadis Riwayat Bi Al-Na’na”. An-Nur. Vol. 4 No. 1, 2015, hal. 67.

9
aku dengar dari engkau, aku menambah satu huruf atau menguranginya
satu huruf, Rasulullah saw menjawab ; apabila tidak sampai
menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal, dan kamu
meriwayatkannya dengan makna, maka tidaklah mengapa.” (HR. Al-
Thabrani).
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya
diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun setelah
hadis-hadis terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu dalam
bentuk kitab mutun, maka tidak diperbolehkan merubahnya dengan
lafaz atau matan yang lain meskipun maknanya tetap.11
Yang berarti periwayatan hadis secara makna yang dimaksudkan
disini adalah terjadi sebelum masa pembukuan hadis. Sedangkan setelah
dibukukannya hadis, maka tidak boleh mengubah lafad dari hadis
tersebut.
Konsep riwayah bi al-ma’na, dikalangan umat Islam masih sering
dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa
setiap perbedaan redaksi pada hadis disebabkan oleh riwayah bi al-
ma’na. Sehingga menurut mereka, riwayah bil-ma’na itu mencakup
seluruh hadis yang membahas tema yang sama dengan menggunakan
redaksi yang berbeda. Maka, jika menemukan suatu hadis dengan
redaksi yang berbeda untuk satu tema, akan langsung dikatakan bahwa
hadis tersebut telah diriwayatkan secara makna.12

11
Ibid., 64.
12
Ibid., 65.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa,
1. Suatu kegiatan periwayatan hadis adalah kegiatan menerima dan menyampaikan,
seperti mempelajari dan mengajarkan suatu hadis dengan rangkaian periwayat yang
dipaparkan atau jalur periwayatan yang disusun dengan bahasa dan bentuk tertentu.
2. Periwayatan hadis berdasarkan lafaz hadis berarti meriwayatkan hadis persis dengan
apa yang sampaikan oleh Rasulullah SAW.. Ini adalah cara periwayatan yang paling
baik menurut mutaqaddim bahkan menolak periwayatan hadis secara maknawi.
3. Namun, pada beberapa pendapat masih membolehkan periwayatan hadis secara
maknawi. Sesuai namanya, periwayatan hadis secara maknawi berarti meriwayatkan
hadis sesuai dengan maknanya, sedangkan bahasa atau perkataannya tidak sama persis.
Periwayatan dengan cara seperti ini diperbolehkan oleh beberapa ulama, tetapi dengan
syarat-syarat tertentu seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.

11
ILMU MA’ANIL HADIST
(DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEDUDUKAN
DAN FUNGSI HADIST TERHADAP AL-QUR’AN)

Dosen pengampu: Dr. H. Mukhlis Mukhtar, DR., M. Ag


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Ma’anil Hadist

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

1. FIRDA AYU JULIYANTI (30300119011)


2. SAINAL PRIOGO (30300119047)
3. FIRMANULLAH (30300118096 )

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT, DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2021-2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim…
Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur atas kehadirat Allah swt. Yang telah
memberikan kita nikmat serta karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Ilmu Ma'ani al-Hadist dengan tema “Ilmu Ma'ani al-Hadist dalam hubungannya
dengan kedudukan dan fungsi hadist terhadap Al-Qur'an”. Dan tak lupa pula kita
kirimkan sholawat serta salam kepada junjungan kita Rasulullah Saw. Yang telah
menjadi Rahmatan lil ‘Alamin untuk kita semua.
Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu Ma'ani al-
hadist yang diberikan oleh dosen Dr. H. Mukhlis Mukhtar, DR., M. Ag. Serta
mengetahui lebih dalam penjelasan kedudukan hadist sebagai sumber hukum,
keteladanan, dan kerahmatan. Serta memahami lebih dalam fungsi hadist nabi sebagai
bayan tafsir, taqrir, dan tasyri'. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih dari
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
dapat membangun pekerjaan kami kedepannya. Kami juga berharap selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kelompok kami sendiri, khususnya
dalam memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan yang telah diterangkan Allah Swt.
Atas perhatian dosen yang bersangkutan kami mengucapkan terima kasih dan mohon
maaf sebesar-besarnya jika masih banyak kesalahan dalam makalah ini. Demikian yang
dapat kami sampaikan semoga bermanfaat bagi para pembaca dan dapat mengambil
pelajaran dari makalah ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar , 14 Maret 2021

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL………………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………... 1
A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………… 1
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN…...……………………………………………………. 3
A. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum, keteladan, dan
kerahmatan……………………………..……..…………………………… 3
B. Fungsi hadis nabi…………………………..……………………………… 4
1. Bayan tafsir………………………………………………………….. 4
2. Bayan taqrir………………………………………………………….. 5
3. Bayan tasyri’…………………………………………………………. 6

BAB 3 III PENUTUP……………………………………………………………. 7


A. Kesimpulan………………………………………………………………... 7
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Hadits didefinisikan pada umunya oleh ulama seperti definisi Al-Sunnah yaitu
sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW, baik ucapan,
perbuatan maupun taqrir (ketetapan), Sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi
nabi atau sudah menjadi nabi. Ulama ushul fiqih membatasi pengertian hadits hanya
pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum";
sedangkan bila mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum,
maka ketiga hal ini mereka namai dengan sunnah. Pengertian hadits seperti yang
dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dan ketetapan-
ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang
kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Alquran merupakan
sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada
beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Alquran membicarakanya, atau Alquran
membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam
Alquran. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Alquran
tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits
sebagai tabyin atau penjelas dari Alquran atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder
atau kedua setelah Alquran

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan hadist nabi sebagai sumber hukum, keteladanan, dan
kerahmatan?
2. Bagaimana fungsi hadist nabi sebagai bayan tafsir, taqrir, dan tasyri'?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis untuk menambah pengetahuan pembaca tentang Ilmu Ma'ani
al-Hadist dalam hubungannya dengan kedudukan hadist sebagai sumber hukum,
keteladanan, dan kerahmatan. Serta Makalah ini ditujukan untuk mengetahui dan
memahami lebih dalam fungsi hadist nabi sebagai bayan tafsir, taqrir, dan tasyri'.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum, keteladanan, dan kerahmatan


Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadits
merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Alquran. Alquran akan sulit
dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Alquran tanpa mengambil hadits sebagai
landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Alquran
akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadits. Kaitannya dengan kedudukan hadits di
samping Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-Qur'an merupakan sumber
pertama, sedangkan hadits merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara
Al-Qur'an dan hadits karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al-Qur'an merupakan
wahyu matlu (wahyu yang dibacakan oleh Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya,
kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa arab) dan hadits wahyu
ghoiru matlu ( wahyu yang tidak dibacakan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
secara langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi Muhammad
SAW.
Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur'an lebih
tinggi satu tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur'an mempunyai kualitas qath'i
baik secara global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkulitas qath'i secara global
dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia
yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW
tidak lebih hanya penyampai Al-Qur'an kepada manusia.
Kemudian, Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang
kedua, telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan
Sunni tapi juga di kalangan Syi'ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak
diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa
tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan
dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat islam dalam kehidupan
sehari-hari. Terlebih- lebih jika diyakini bahwa Nabi selalu mendapat tuntunan wahyu
sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti membawa jaminan teologis. Bila
menyimak ayat-ayat al-Qur'an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat yang secara tegas

2
memerintahkan umat islam untuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya,
diantaranya dikemukakan sebagai berikut:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


َ ‫س ْو ُل فَ ُخذُ ْوهُ َو َما نَهٰ ٮ ُك ْم‬
‫ع ْنهُ فَا ْنت َ ُه ْوا‬ َّ ‫َو َم ۤا ٰا ٰتٮ ُك ُم‬
ُ ‫الر‬
Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa
yang dilarangnya maka tinggalkanlah.
Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua
perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang- orang yang
beriman. Dengan demikian ayat ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran
islam. Oleh karena itu kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis
logis dari keimanan seseorang. Dalam surat al-Nisa' ayat 80 juga dikemukakan : Allah
Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
َ‫ّللا‬
ٰ ‫ع‬ َ َ ‫س ْو َل فَقَدْ ا‬
َ ‫طا‬ َّ ِ‫َم ْن يُّطِ ع‬
ُ ‫الر‬
Artinya: Barang siapa yang mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah.
Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah
merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah. Hanya saja perlu
dipertegas bahwa indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah
yang wajib ditaati dan larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh
beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah. Pada ayat lain dikemukakan bahwa
kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi anutan yang baik bagi umat islam seperti
dalam surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan :
ٌ‫سنَة‬
َ ‫ّللا اُس َْوة ٌ َح‬ ُ ‫لَقَدْ كَا نَ لَ ُك ْم فِ ْي َر‬
ِ ٰ ‫س ْو ِل‬
Artinya: Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu.
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi
orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka
cara meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak
sezaman dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan mempelajari,
memahami dam mengikuti berabgai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadisnya.
Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan
sumber ajaran Islam di samping al-Qur'an. Dan yang pasti bahwa Allah swt telah
memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah yang berfungsi
atau tugas antara lain untuk (1) menjelaskan Alquran, (2) dipatuhi oleh orang-orang
yang beriman;(3) menjadi uswah hasanah dan rahmat bagi sekalian alam. Orang yang
3
menolak hadis sebagi sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak
al-Qur'an.

B. Fungsi hadis nabi sebagai bayan tafsir, taqrir, dan tasryri'


Berikut ini, fungsi sunnah terhadap Alquran:
1. Bayan at-Tafsir
Bayan at-tafsir adalah penjelasan Sunnah Nabi saw terhadap ayat-ayat yang
memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal,
mutlaq, dan 'am. Maka fungsi Sunnah dalam hal ini, memberikan perincian (tafsil) dan
penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-
ayat yang masih mutlaq, dan memberikan takhsis ayat- ayat yang masih umum.
a. Memerinci ayat-ayat yang mujmal, Mujmal, artinya yang ringkas atau singkat.
Dari ungkapan yang sinagkat ini terkandung banyak makna yang perlu
dijelaskan. Hal ini karena, belum jelas makna mana yang dimaksudkannya,
kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain,
ungkapannya masih bersifat umum yang memerlukan mubayyin. Dalam
Alquran banyak sekali ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan perincian.
Sebagai contoh, ayat-ayat tentang perintah Allah swt untuk mengerjakan salat,
puasa, zakat, jual beli, nikah, qisas dan hudud. Ayat-ayat tentang hal itu masih
bersifat umum, meskipun di antaranya ada beberapa perincian, akan tetapi
masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal ini karena ayat-ayat
tersebut tidak dijelaskan misalnya, bagaimana mengerjakan nya, apa sebabnya,
apa syarat-syaratnya, atau apa halangan-halangannya.
b. Mentaqyid ayat-ayat yang Mutlaq, Mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada
hakikat kata itu sendiri ada adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah
maupun sifatnya. Mentaqyid yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang
mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu.
c. Menta-takhsis ayat yang 'Am, 'Am, adalah kata yang menunjukkan atau
memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhsis atau khas,
adalah kata yang menujuk arti khusus, tertentu, atau tunggal. Yang dimaksud
dengan men-takhsis yang 'am di sini adalah membatasi keumuman ayat
Alquran, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat
fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan
hadis Ahad. Menurut asy-Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal, keumuman ayat bisa
4
di-takhsis oleh Sunnah yang Ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas,
sedang menurut ulama Hanafiah sebaliknya.
2. Bayan at-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan at-ta'kid dan bayan al-isbat. Maksud
dari bayan at-taqrir ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan
dalam Alquran. Fungsi Sunnah dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan
Alquran. Sebagai contoh Q.S. al-Maidah/5;6 tentang urusan udu' sebelum salat, yang
berbunyi;

Ayat di atas di-taqrir oleh Sunnah riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah yang
berbunyi;

"Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-hanzaliy berkata dia telah
mengkhabarkan kepada kami 'Abdurrazaq berkata dia telah mengkhabarkan kepada
kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih bahwasannya dia telah mendengar Abu
Hurairah berkata: bersabda Rasul saw.; Tidak diterima salat seseorang yang berhadas
sebelum ia berwudu', berkata seseorang dari Hadramaut, apa itu hadas? Ya Abu
Hurairah, lalu beliau menjawab : buang angin (baik yang berbunyi atau tidak)". (H. R.
al-Bukhari).
Menurut sebagian ulama, bahwa bayan at-taqrir atau bayan at-ta 'kid ini disebut
juga dengan bayan al-muwafiq li nas al-Kitab al-Karim. Hal ini karena, munculnya
sunnah-sunnah itu sesuai dan untuk memperkokoh nas Alquran.

3. Bayan at-Tasyri’
5
At-Tasyri', artinya pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum.
Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri adalah penjelasan Sunnah yang berupa
mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-atauran syara'
yang tidak didapati nas-nya dalam Alquran. Rasul saw. dalam hal ini, berusaha
menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada
saat itu, dengan sabdanya sendiri.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Alquran. Alquran
akan sulit dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Alquran tanpa mengambil hadits
sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena
Alquran akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadist. Selain itu, sudah pasti bahwa
Allah swt telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah
yang berfungsi atau tugas antara lain menjelaskan Alquran, dipatuhi oleh orang-orang
yang beriman, menjadi uswah hasan ah, dan rahmat bagi sekalian alam. Oleh karena itu
jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan sumber ajaran Islam di samping al-
Qur'an.

7
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, N. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Tersedia: media.neliti.com.


Tasbih. 2010. Kedudukan dan Fungsi Hadis sebagai Sumber Hukum Islam. Dalam
Al-Fikr, Vol.14 (3). Tersedia:
http://journal.uin-alauddin.ac.id/indeks.php/alfikr/article/download/2326/2256
Sulidar. 2013. Urgensi Kedudukan Hadis Terhadap Al-Qur’an dan Kehujjahannya
Dalam Ajaran Islam. Dalam Analytica Islamica, Vol.2 (2). Tersedia:
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/download/410/314

8
ILMU MA‟ANI AL-HADIS

“HADIS NABI DILIHAT DARI SEGI MASALAH

DAN BENTUK KANDUNGANNYA”

Disusun oleh :
AHMAD NUR AHMADI
30300116068
LENNY LESTARY INDAH
(30300119022)
SALFA ANGGELIA
(30300119004)

ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

ِ ‫ِ ا َّرس ْس‬
‫وي ا َّرس ِ ِْسن‬ ‫تِ ِْسن‬

‫ف ألَ ْسًثِ َاء َّ ْسا ُوسْس َسلِ ْسيَ َعلَي َس ِّ ِدًَا ُه َح َّرود‬ ‫َ ْسا َح ْسو ُدهللِ َزبِّ ْسا َعااَ ِو ْسيَ ا َّر‬
ِ ‫صالَجُ َّ ا َّر الَ ُم َعلَي أ ْسش َس‬
‫َّ َعلَي َاِ َِ َّأَ ْس َحاتِ َِ َ ْس َو ِع ْسي أَ َّرها تَ ْسع ُد‬

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah subhanahu wata‟ala, Tuhan Semesta Alam,

yang senantiasa dan tak pernah bosan mengurusi segala ciptaan-Nya. Dia-lah sang pemilik

segala urusan, pemberi rahmat dan karunia yang besar, serta pemilik adzab yang amat pedih

bagi hamba-hamba-Nya yang enggan tunduk dan patuh pada-Nya. Oleh karena itu, tak perlu

diragukan lagi bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah sementara. Maka dari itu, sudah

sepantasnya kita untuk mengoptimalkan waktu yang terbilang amat singkat tersebut, maka

marilah kita menanam benih-benih yang baik di ladang kehidupan yang fana ini agar kelak

pada kehidupan berikutnya dapat memetik hasil yang baik pula.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabiyullah

Muhammad shallallahu „alaihi wasallam, penutup para Nabi dan Rasul, yang dimana atas

perjuangan beliau sehingga nikmat Iman dan Islam dapat kita rasakan hingga saat ini.

Melihat jejak rekaman sejarah yang dipenuhi jalan yang penuh dengan tanjakan dan berliku

ketika beliau berda‟wah menyebarkan Islam, tentunya menjadi generator semangat tersendiri

bagi setiap kaum muslimin dan muslimat untuk senantiasa berjuang dalam usaha pencapaian

kemaslahatan diri sendiri maupun kemaslahatan umat, sehingga tak mudah menyerah

meskipun gelombang cobaan menghadang. Untuk mencapai kemaslahatan tersebut, tentunya

ia tak boleh dilepaskan dari bimbingan Al-Qur‟an dan Hadis, serta sunah-sunnah Nabi.

Dalam menyelesaikan makalah ini, tentunya pemakalah tak terlepas dari arahan serta

nasehat-nasehat dosen pembimbing bapak DR.Mukhlis Mukhtar M.Ag, sehingga kami

sebagai pemakalah perlu mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada beliau

2
yang senantiasa meningatkan kami untuk menuntut ilmu dengan cara yang baik dan benar.

Disamping itu, kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman yang telah

memberikan kami bantuan baik berupa perkataan maupun perbuatan yang membuat kami

lebih semangat dalam menyelesaikan makalah ini.

Pemakalah menyadari bahwa makalah sederhana ini belum dan bahkan masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan sangat kami hargai

dan sangat diharapkan dalam rangka penyempurnaan makalah ini. Adapun kekurangan-

kekurangan yang ada pada makalah ini bukanlah karena unsur kesengajaan, namun

merupakan bukti keterbatasan ilmu yang pemakalah miliki. Hanya kepada Allah kita

mengharap ridha-Nya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Āmīn yā Rabb

al-‘ālamīn.

Makassar, 9 Maret 2021

Pemakalah

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......... .................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................ 4

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 5

LATAR BELAKANG .................................................................................... 5

RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 6

HADIS DAN KANDUNGANNYA ............................................................... 6

BENTUK KETETAPAN HUKUM ............................................................... 10

AL-TARGIB AL-TARHIB ........................................................................... 11

IRSYAD ......................................................................................................... 14

PENUTUP............................................................................................................... 15

KESIMPULAN .............................................................................................. 15

REFERENSI .................................................................................................. 16

4
BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Al-Qur‟an dan Hadis Nabi merupakan sumber Agama Islam. Keduanya menggunakan

bahasa Arab dan keduanya hanya mengatur serta menyinggung hal-hal yang bersifat pokok,

tidak menyebutkan uraian teknis secara rinci. Padahal keduanya dimaksudkan mampu

menjadi rujukan semua persoalan kehidupan hingga akhir alam ini. Persoalan uraian teknis

secara rinci, diserahkan kepada para tokoh agama untuk mampu menjabarkannya.

Secara bahasa Ilmu Ma'ani Hadis terdiri dari tiga kata yaitu: ilmu (‫)علن‬, ma'ani

(‫)هعاًى‬dan hadis (‫) ديث‬. Ilmu berarti pengetahuan, Ma'ani adalah jamak dari makna yang

berarti arti. Jadi secara bahasa Ilmu Ma'ani Hadis ialah pengetahuan tentang arti hadis.

Sedangkan secara istilah Ilmu Ma'ani Hadis adalah ilmu yang berusaha memahami matan

hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya atau

indikasi yang melingkupinya.

Jika diteliti lebih lanjut Ilmu Ma'ani Hadis tidak termaktub dalam kitab-kitab ilmu

hadis. Karena sebenarnya Ilmu Ma'ani Hadis adalah bagian dari Ilmu Naqd al-Mutun (Ilmu

Kritik Matan), sehingga ilmu ini adalah sebuah bentuk terobosan baru dalam rangka

memahami hadis. Seandainya ada pertanyaan siapa tokoh yang pertama kali merumuskan

ilmu ini, maka jawabnya adalah tidak ada. Karena metode atau langkah-langkah yang ada

dalam ilmu ini sudah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu melalui syarah-syarah hadis.

RUMUSAN MASALAH

1. Hadis tentang Aqidah, Ibadah, Muamalah, dan Akhlak

2. Bentuk ketetapan hukum, al-targib al-tarhib dan irsyad

5
BAB II PEMBAHASAN

HADIS DAN KANDUNGANNYA

1. Akidah

HR. Ahmad 4/102, Abu Dâwûd no.4597 dan dishahîhklan al-Albani

dalam ash-Shahîhah 203

ُ
ِ ‫َس َ ْس َِس ُ َُ ِر ٍِ أل َّرهحُ َعلَى َالَ ٍث َّ َس ْسث ِع يَ ِسْس َحًة ُكلَُِّا ِ ْسي اٌَّر‬
‫از ِ َّر َّ ِ دَج‬

“Akan berpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya di Neraka

kecuali satu”

Kandungan :

Hanya satu golongan yang agamanya selamat dan manhajnya lurus serta aqidahnya

benar; karena mereka mengambilnya dari sumbernya yang suci dan mata airnya yang

tidak ada kekeruhan sama sekali. Mereka mengambilnya dari al-Qurân dan Sunnah

Nabinya Shallallahu „alaihi wa sallam, sehingga bagian yang mereka peroleh dalam

urusan aqidah dan seluruh urusan agamanya adalah keselamatan, ilmu, hikmah dan

kejayaan. Merekalah orang yang paling berhak dan pemilik hal-hal tersebut; karena

mereka mengambilnya dari sumbernya langsung yaitu kitab suci Rabb mereka dan

Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mereka, sehingga Allah Azza wa Jalla

menyelamatkan mereka. Hawa nafsu tidak menyambar-nyambar mereka dan syubhat-

syubhat tidak menerjang mereka. Mereka tidak cenderung untuk mengutamakan akal,

pemikiran, perasaan dan dan sejenisnya untuk mencari pengetahuan aqidah yang

benar. Mereka hanya bersandar kepada al-Qurân dan Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi

wa sallam.

6
2. Ibadah

Hadits riwayat Imam Al-Hakim

. ‫ َّأَ ْسه يَ َد ْسي َ ِز ْسش َا يَا ْستيَ َآ َم! َ ُثَا ِع ْسدًِي‬،‫ أَ ْسه َ َ ْسلثَ َ ِغ َّري‬،‫ يَا ْستيَ َآ َم! َ َ َّرس ْس اِ ِعثِا َآ ِ ْسي‬: ‫يَ ُْْس ُ َزتَّر ُ ْسن َثَا َز َ َّ َ َعااَى‬

Dari Ma‟qil bin Yasar Radhiyallahu „anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi

wa sallam bersabda “Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman,

„Wahai anak Adam!, fokuslah beribadah kepadaKu , niscaya Aku penuhi hatimu

dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!,

Jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi

kedua tanganmu dengan kesibukan”

Kandungan :

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang mulia, yang

berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun

lebih memenuhi janji daripadaNya, berapa dua jenis pahala bagi orang yang benar-

benar beribadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti memenuhi hatinya

dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki. Sebagaimana Nabi Shallallahu

„alaihi wa sallam juga memperingatkan akan ancaman Allah kepada orang yang

menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan

kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan. Dan semua mengetahui, siapa yang

hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati

oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki

oleh Yang Maha Memberi rizki dan Mahaperkasa, niscaya ia tidak akan pernah

merasa kekurangan. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh

Yang Mahakuasa dan Maha Menentukan, niscaya tak seorangpun mampu

membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Mahaperkasa dan Maha

Kuasa, niscaya tak seorangpun yang mampu memberinya waktu luang.

7
3. Muamalah

HR. Muslim no. 1584

‫ة َّ ْسا ِ َّر حُ تِ ْساا ِ َّر ِح َّ ْساثُسُّ تِ ْسااثُ ِّس َّ ا َّرل ِع ُس تِاا َّرل ِع ِس َّ ا َّر ْسو ُس تِاا َّر ْسو ِس َّ ْسا ِو ْسل ُ تِ ْساا ِو ْسل ِ ِه ْسالًة تِ ِو ْس ٍث‬
ِ َُ‫ا َّررَُةُ تِاا َّرر‬

‫يَ ًةد تِ َ ٍثد َ َو ْسي َش َآ أَ ِّ ْسس َ َص َآ َ َ ْسد أَزْس تَى ا ِآل ُر َّ ْسا ُو ْسع ِطى ِ َِ َس َْ ٌءء‬

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan

gandum, sya‟ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya‟ir, kurma dijual dengan

kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus

sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan,

maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang

memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Kandungan :

Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi (emas, perak, gandum, sya‟ir,

kurma dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi.

Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan

memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama-misalnya kurma

dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum-, maka akad tersebut

harus memenuhi dua persyaratan.

Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga

penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi

dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan

akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Pembahasan ini akan masuk riba jenis

kedua yaitu riba nasi‟ah (riba karena adanya penundaan).

8
Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan

takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Jika dilebihkan, maka

terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka jual beli di atas

tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram.

4. Akhlak

HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam

Shahih Al-Jaami‟ no. 2201.)

‫ِ َّرى ِه ْسي أَ َ ثِّ ُ ْسن ِاَ َّري َّأَ ْس َستِ ُ ْسن ِهٌِّي َهجْس لِ ًةا يَْْس َم ا ِ َا َه ِح أَ َ ا ِسٌَ ُ ْسن أَ ْسآل َال ًةا‬

Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat

duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di

antara kalian.

Kandungan :

Termasuk di antara keindahan ajaran agama Islam adalah agama ini mendorong

umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang luhur. Dan sebaliknya,

agama ini melarang umatnya dari akhlak-akhlak yang buruk. Salah satu keutamaan

jika memiliki akhlak yang baik adalah dekat dengan Nabi. Dekat dengan nabi adalah

salah satu nikmat yang luar biasa. Sebab akan dijauhkan dari neraka.

9
KETETAPAN HUKUM

Secara teologis hadis diharap dapat membantu menyelesaikan problematika yang

muncul dalam masyarakat kontemporer karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa

pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-

teks yang menjadi landasan ajaran Islam yakni al-Quran dan hadis. Para ulama mengakui

kedudukan hadis yang menempati posisi kedua setelah al-Quran karena beberapa argumen

sebagai berikut :

1) Al-Quran bersifat qath‟iyul wurud baik ayat per ayat maupun secara

keseluruhan, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadis yang statusnya

secara hadis per hadis.

2) Hadis memiliki fungsi sebagai sebagai penjelas dan penjabar (bayan) terhadap

al-Quran. Hal ini berarti bahwa kedudukan al-mubayyan (al-Quran) tentu lebih

tinggi dari pada penjelas atau bayan (hadis).

3) Sikap para sahabat yang merujuk kepada al-Quran terlebih dahulu apabila

mereka bermaksud mencari solusi atas sebuah masalah. Jika di dalam al-

Quran tidak ditemukan penjelasannya, maka kemudian barulah secara

prosedural merujuk kepada sumber berikutnya yakni hadis atau sunnah.

4) Hadis Muaz bin Jabal secara gamblang dan tegas menegaskan urutan posisi al-

Quran dan sunnah, dalam hadis berikut:

‫ي ذ عسض ا‬ ‫عل َ ّسلن اوا أز آ أى يثعث هعاذ اى ا وي ا ك ف‬ ‫لى‬ ْ‫أى زس‬

‫عل َ ّسلن ا‬ ‫لى‬ ْ‫ث ٌح زس‬ ‫ا‬ ‫إى ان جد ي ك اب‬ ‫ا‬ ‫ي ت اب‬ ‫اء ا أ‬

ْ‫ا‬ ّ ‫ا أ ِد زأيي‬ ‫ي ك اب‬ ّ ‫عل َ ّسلن‬ ‫لى‬ ْ‫إى ان جد ي سٌح زس‬

Bahwasannya Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam ketika mengutus

Mu‟adz ke Yaman bersabda : “Bagaimana engkau akan menghukum apabila

dating kepadamu satu perkara?”. Ia (Mu‟adz) menjawab: “Saya akan

10
menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau: “Bagaimana bila tidak

terdapat di Kitabullah ?”. Ia menjawab: “Saya akan menghukum dengan

Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Bagaimana jika tidak terdapat dalam

Sunnah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan

tidak akan mundur…”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam

Sunan-nya nomor 3592 dan 3593

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa kedudukan hadis Nabi

Muhammad Shallallahu alaihi wa saalam menempati posisi kedua dalam

hierarki sumber ajaran Islam. Kehujjahan hadis ini tidak dapat mengurangi

nilai landasan yuridis, meskipun al-Quran tidak pernah menyebut bahwa

hakikatnya kedua sumber ini adalah seiring dan sejalan, bahkan dalam

beberapa ayat disebutkan kewajiban bersikap tunduk dan patuh terhadap Allah

dan Rasul-Nya dan kepatuhan kita kepada Rasul-Nya adalah bukti atas

kepatuhan kita kepada Allah. Hal inilah yang menjadi sebuah kewajiban

dalam konteks mengikuti segala perilaku beliau.

AL-TARGIB AL-TARHIB

A-Targib adalah hadis-hadis Nabi Muahmmad shallallahu alaihi wa sallam mengenai hal-hal

yang layak diperoleh dan diamalkan oleh seorang muslim serta konsekuensi baiknya.

Sedangkan Al-Tarhib adalah hadis-hadis Nabi yang menjelaskan hal-hal yang patut dijauhi

oleh seorang muslim serta konsekuensi tidak baiknya jika didekati atau dilakukan.

 Akidah (Al-Tahrib)

HR. Ahmad 4/102, Abu Dâwûd no.4597 dan dishahîhklan al-Albâni

11
dalam ash-Shahîhah 203

ُ
ِ ‫َس َ ْس َِس ُ َُ ِر ٍِ أل َّرهحُ َعلَى َالَ ٍث َّ َس ْسث ِع يَ ِسْس َحًة ُكلَُِّا ِ ْسي اٌَّر‬
‫از ِ َّر َّ ِ دَج‬

Akan berpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya di Neraka

kecuali satu”

Hadis Al-Targib : Dari hadis tersebut Nabi shallallahu alaihi wassallam mengatakan

bahwa akan ada perpecahan kelompok umat dizaman setelahnya akan tetapi menjadi

berita kegembiraan untuk satu kelompok ummat yang berpegang teguh kepada al-

Qur‟an dan hadis. Bila ummat ingin selamat dunia akhirat, maka mereka wajib

mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan

para shahabatnya.

 Ibadah

Hadits riwayat Imam Al-Hakim

. ‫ َّأَ ْسه يَ َد ْسي َ ِز ْسش َا يَا ْستيَ َآ َم! َ ُثَا ِع ْسدًِي‬،‫ أَ ْسه َ َ ْسلثَ َ ِغ َّري‬،‫ يَا ْستيَ َآ َم! َ َ َّرس ْس اِ ِعثِا َآ ِ ْسي‬: ‫يَ ُْْس ُ َزتَّر ُ ْسن َثَا َز َ َّ َ َعااَى‬

Dari Ma‟qil bin Yasar Radhiyallahu „anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi

wa sallam bersabda “Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman,

„Wahai anak Adam!, fokuslah beribadah kepadaKu , niscaya Aku penuhi hatimu

dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!,

Jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi

kedua tanganmu dengan kesibukan”

Hadis Al-Targib wa Al-Tarhib : Ini adalah Hadis Dari Nabi Muhammad Shallallahu

alaihi wassalam mengenai keutamaan-keutamaan yang dapat dicapai oleh seorang

muslim ketika fokus beribadah, sekaligus memuat penjelasan tentang keburukan-

keburukan yang akan menimpa seorang muslim jika berpaling dari Allah Ta‟ala.

12
 Muamalah

HR. Muslim no. 1584

‫ة َّ ْسا ِ َّر حُ تِ ْساا ِ َّر ِح َّ ْساثُسُّ تِ ْسااثُ ِّس َّ ا َّرل ِع ُس تِاا َّرل ِع ِس َّ ا َّر ْسو ُس تِاا َّر ْسو ِس َّ ْسا ِو ْسل ُ تِ ْساا ِو ْسل ِ ِه ْسالًة تِ ِو ْس ٍث‬
ِ َُ‫ا َّررَُةُ تِاا َّرر‬

‫يَ ًةد تِ َ ٍثد َ َو ْسي َش َآ أَ ِّ ْسس َ َص َآ َ َ ْسد أَزْس تَى ا ِآل ُر َّ ْسا ُو ْسع ِطى ِ َِ َس َْ ٌءء‬

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan

gandum, sya‟ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya‟ir, kurma dijual dengan

kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus

sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan,

maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang

memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Hadis Al-Tarhib : Hadis ini memberi larangan (peringatan) dalam melakukan

transaksi atau barter terkait komoditi ribawi. Barangsiapa menambah atau meminta

tambahan, maka ia telah berbuat riba. baik yang memberi ataupun yang menerima

sama-sama berdosa.

 Akhlak

HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam

Shahih Al-Jaami‟ no. 2201.)

‫ِ َّرى ِه ْسي أَ َ ثِّ ُ ْسن ِاَ َّري َّأَ ْس َستِ ُ ْسن ِهٌِّي َهجْس لِ ًةا يَْْس َم ا ِ َا َه ِح أَ َ ا ِسٌَ ُ ْسن أَ ْسآل َال ًةا‬

Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat

duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di

antara kalian.

Hadis Al-Targib : Hadis ini tergolong hadis Al-Targib karna berisi berita gembira

dan pahala. Salah satu keutamaan berakhak yang baik adalah bisa dekat dengan

Rasulullah di akhirat kelak.

13
IRSYAD

Al-Irsyad merupakan suatu perhimpunan (lembaga) yang lebih memfokuskan perhatiannya

pada bidang pendidikan Islam, berbeda dengan pondok pesantren yang menekankan

penghafalan, masalah teologi dan hukum, Al-Irsyad menggunakan sistem pendidikan dan

pengajaran mengutamakan pelajaran bahasa Arab agar murid-murid Madasah mampu

memahami ajaran Islam yang koprehensif dengan baik, seperti membaca hadis dari kitab asli

berbahasa Arab sehingga tahu bagaimana teks hadisnya, bagaimana status hadis tersebut,

siapa periwayatnya dan lain-lain sehingga apa yang dikerjakan tidak menyalahi sabda

rasulullah dan agar tidak menjadi pengikut taqlik buta atau memakan mentah-mentah tanpa

tahu kebenarannya. Segala bentuk aktivitas hidup dan kehidupan umat Islam selalu

berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Hadits yang penekanannya pada aqidah ketauhidan, guna

mewujudkan pribadi Muslim dan masyarakat Islam menuju keridhoan Allah Ta‟ala

sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dapat disimpulkan

bahwa secara umum pendidikan Al-Irsyad merupakan sarana pembentukan watak, cita-cita

dan kemauan serta mengarahkannya kepada ajaran yang benar seperti yang digariskan dalam

Al-Qur‟an dan Hadits.

14
PENUTUP

KESIMPULAN

Selain al-Qur‟an, hadis juga merupakan rujukan pokok bagi umat Islam, yang memuat

berbagai solusi kehidupan, baik masalah peribadatan, tauhid, akhlak, muamalah, dan

sebagainya. Dan untuk bisa memahaminya dengan baik, tentunya kita perlu untuk

mengetahui bahasa hadisnya, dan mengetahui status hadist tersebut shahih atau tidak. Hal ini

adalah salah satu sebab terpenting bagi kita untuk mengerti bahasa Arab yaitu bahasa hadis.

Dibandingkan mendengar dari seseorang, tentu kita akan lebih merasa yakin jika bisa

membaca sendiri kitabnya yang berbahasa Arab bukan hanya terjemahan. Oleh karena itu,

seiring dengan perkembangan teknologi yang ada pada masa sekarang, ada baiknya meneliti

hadis dengan keilmuan yang sedang berkembang, baik itu ilmu kealaman, ilmu social,

ekonomi, dan lain sebagainya. Hal ini akan mendapatkan dua keuntungan, yang pertama,

hadis akan semakin terbukti keotentikannya. Setelah diteliti dengan berbagai peralatan yang

berhubungan dengan „ulum al hadis, tenyata hadis juga sesuai dengan realitas yang ada

bahkan hingga sekarang. Hal ini merupakan sesuatu yang menakjubkan. Dan yang kedua,

bagi masyarakat pada umumnya, akan menambah keyakinan akan keakuratan hadis yang

dapat diterima sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga diharapkan hadis akan benar-

benar membumi dikalangan masyarakat.

15
REFERENSI

https://muslim.or.id/40677-keutamaan-berhias-dengan-akhlak-mulia.html

carihadis.com

media.neliti.com

http://infokumpulbagi.blogspot.com/2015/12/makalah-al-targhib-dan-al-

tarhib.html?m=1#:~:text=Kitab%20At-Targhib%20wa%20At-

Tarhib%20adalah%20kitab%20yang%20membicarakan,orang%20yang%20tidak%20taat%2

0kepadanya

http://digilib.uin-suka.ac.id/4095/

http://napek-cahpesisir.blogspot.com/2009/12/ilmu-maani-hadis_7912.html?m=1

16
ILMU MA‟ANI AL-HADIS

“HADIS NABI DILIHAT DARI SEGI BAHASA YANG DIGUNAKAN”

Disusun oleh Kelompok V :


MOH. FADEL
(30300114107)
NURUL IMAM
(30300119051)
RIANG CAHAYA ANUGRAH
(30300119043)

ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah subhanahu wata‟ala, Tuhan Semesta Alam,

yang senantiasa dan tak pernah bosan mengurusi segala ciptaan-Nya. Dia-lah sang pemilik

segala urusan, pemberi rahmat dan karunia yang besar, serta pemilik adzab yang amat pedih

bagi hamba-hamba-Nya yang enggan tunduk dan patuh pada-Nya. Oleh karena itu, tak perlu

diragukan lagi bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah sementara. Maka dari itu, sudah

sepantasnya kita untuk mengoptimalkan waktu yang terbilang amat singkat tersebut, maka

marilah kita menanam benih-benih yang baik di ladang kehidupan yang fana ini agar kelak

pada kehidupan berikutnya dapat memetik hasil yang baik pula.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabiyullah

Muhammad shallallahu „alaihi wasallam, penutup para Nabi dan Rasul, yang dimana atas

perjuangan beliau sehingga nikmat Iman dan Islam dapat kita rasakan hingga saat ini. Melihat

jejak rekaman sejarah yang dipenuhi jalan yang penuh dengan tanjakan dan berliku ketika

beliau berda‟wah menyebarkan Islam, tentunya menjadi generator semangat tersendiri bagi

setiap kaum muslimin dan muslimat untuk senantiasa berjuang dalam usaha pencapaian

kemaslahatan diri sendiri maupun kemaslahatan umat, sehingga tak mudah menyerah

meskipun gelombang cobaan menghadang. Untuk mencapai kemaslahatan tersebut, tentunya

ia tak boleh dilepaskan dari bimbingan Al-Qur‟an dan Hadis, serta sunah-sunnah Nabi.

Dalam menyelesaikan makalah ini, tentunya pemakalah tak terlepas dari arahan serta

nasehat-nasehat dosen pembimbing bapak DR.Mukhlis Mukhtar M.Ag, sehingga kami sebagai

pemakalah perlu mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada beliau yang

senantiasa meningatkan kami untuk menuntut ilmu dengan cara yang baik dan benar.

Disamping itu, kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman yang telah

2
memberikan kami bantuan baik berupa perkataan maupun perbuatan yang membuat kami lebih

semangat dalam menyelesaikan makalah ini.

Pemakalah menyadari bahwa makalah sederhana ini belum dan bahkan masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan sangat kami hargai dan

sangat diharapkan dalam rangka penyempurnaan makalah ini. Adapun kekurangankekurangan

yang ada pada makalah ini bukanlah karena unsur kesengajaan, namun merupakan bukti

keterbatasan ilmu yang pemakalah miliki. Hanya kepada Allah kita mengharap ridha-Nya,

semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Āmīn yā Rabb

al-‘ā lamīn.

Makassar, 9 Maret 2021

Pemakalah

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 5

LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 5

RUMUSAN MASALAH ................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6

HADIS DILIHAT DARI KEJELASAN MAKNA ........ Error! Bookmark not defined.

HADIST DILIHAT DARI KEPADATAN MAKNA .... Error! Bookmark not defined.

PENUTUP ............................................................................... Error! Bookmark not defined.

KESIMPULAN .............................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ..................................................... Error! Bookmark not defined.

4
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Hadis Nabi merupakan salah satu sumber ajaran Agama Islam. yang menggunakan

bahasa Arab dan mengatur serta menyinggung hal-hal yang bersifat pokok, tidak menyebutkan

uraian teknis secara rinci. Hadist dan Al-Qur’an adalah rujukan semua persoalan kehidupan

hingga akhir alam ini. Persoalan uraian teknis secara rinci, diserahkan kepada para ulama untuk

mampu menjabarkannya.

Secara bahasa etimologi, ma‘anil merupakan bentuk jamak dari kata ma‘na yang

berarti makna, arti, maksud, atau petunjuk yang dikehendaki suatu lafal.Ilmu Ma‘ani al

Hadisth secara sederhana ialah ilmu yang membahas tentang makna atau maksud lafal hadis

Nabi secara tepat dan benar.

Secara terminology, Ilmu Ma‘ani al Hadisth ialah ilmu yang membahas tentang

prinsip metodologi dalam memahami hadis Nabi sehingga hadis tersebut dapat dipahami

maksud dan kandungannya secara tepat dan proporsional. Ilmu Ma‘ani al Hadisth juga

dikenal dengan istilah Ilmu fiqh al-Hadisth atau Fahm al-Hadisth, yaitu ilmu yang

mempelajari proses memahami dan menyingkap makna kandungan sebuah hadis.

RUMUSAN MASALAH

1. Hadist dilihat dari segi kejelasan maknanya

2. Hadist dilihat dari segi kepadatan maknanya

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hadist dilihat dari segi kejelasan makna

Untuk memudahkan dan memperjelas makna yang dikandung oleh sabdanya, maka

nabi saw.terkadang mengulangi kata-kata atau pernyataan yang penting; melakukan

perbandingan sesuatu dengan lainnya;menjelaskan sesuatu dengan tamtsil; dan menjelaskan

sesuatu dengan praktis.

a.) Pengulangan kata atau pernyataan

Salah satu gaya bahasa yang biasa digunakan dalam menyampaikan pesan agar mudah

dipahami adalah dengan mengulang-ulang kata atau pernyataan yang dinilai penting dan

menjadi kata kunci atau repetisi. Pengulangan kata atau pernyataan tersebut sering kali

ditemuka dalam materi pidato dan khutbah. Salah satu momentum yang digunakan rosulullah

dalam menyampaikan pesan atau mengwurudkan haditsnya adalah melalui khutbah, pidato,

ceramah, dan semacamnya. Karena itu, gaya bahsa yang digunakan hadits Nabi saw, juga

ditemukan kata-kata atau pernyataan yang berulang disampaikan .

Salah satu kata atau pernyataan yang temukan dalam hadits nabi adalah tatkala beliau

menyampaikan pidato pada haji wadah, beliau mengulang kata ittaqun nisaa. Demikian juga

tatkala beliau menjelaskan apa yang dimaksud dengan quwwahdidalamQ.SA-anfal/8:60

seperti yang dikemukakan berikut ini:

6
Artinya :

Dari abu ali tsumamah bin syufayy bahwasannya dia telah mendengar, uqbah bin amir

berkata, saya telah mendengar rosulullah saw,di atas mibar berpidato ( menjelaskan qs. Al-

anfal:60: dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk mengahadapi mereka dengan

kekuatan yang kamu miliki. Ketahuilah bahwa al-quwwah (kekuatan) itu adalah kekuatan

melempar atau memanah;.”(HR.Muslim).

Jukan mencermati kata al-ramyu pada masa nabi adalah alat yang digunakan sebagai senjata

untuk melawan musuh. Dengan demikian al-ramyu dapat diartikan sebagai kekuatan militer.

Ini umat islam harus mengutamakan kekuatan militer disamping kekuatan lain untuk mencapai

kemenangan.

b.) Bahasa perbandingan

Salah satu bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu agar mudah dipahami oleh

audiens adalah dengan mengguanakan bahasa perbandingan yang logis atu analogi. Yakni,

membandingkan sesuatu dengan yang lain secara logis. Gaya bahasa perbandingan, antara lain

digunakan untuk menjelaskan kasus atau peristiwa yang memiliki hubungan yang logis .

misalnya, kasus seorang bapak yang tidak mengakui anaknya karna kulitnya berbeda dengan

kulit anak yang dilahirkan istrinya , lalu nabi saw. Menjelaskan dengan memmbanding kan

dengan anak-anak unta yang tidak selamanya sama dengan kulit induknya. Hadits nabi saw.

Berbunyi:

Artinya;

7
Dari Abu Hurairah bahwasannya ada seorang laki-laki arab (dari bani fazarah) mengadu

kepada nabi. Dia berkata: “sesungguhnya istri saya telah mengandung seorang anak laki-

laki,kulitnya hitam saya menyangkalnya (karena kulitnya berbeda sekali dengan kulit

saya)lalu nabi saw,bertanya: apakah kamu mempunyai beberapa unta.? Orang itu

menjawab.ya..dia menjawab: Merah beliu bertanya lagi.. adakah diantaranya yang

warnakulinya abu-abu…? Dia menjawab: sesungguhnya diantaranya ada unta yang berkulit

abu-abu,” beliau bersabda:.”maka sesungguhnya saya menduga juga (bahwa unta merah

milikmu itu) datang ( berasal) darinya ( unta yang bekulit abu-abu tersebut) orang itu berkata:

“ya rosulullah, keturunan ( unta merah ku itu) berasal darinya (unta yang berkulit abu-abu

tesebut).” Nabi lalu menyatakan masalah anakmu yang berkulit hitam itu) semoga berasal

juga dari keturunan ( nenek moyangnya); dan beliau tdak membiarkan orang itu mengingkari

naknya”(H.R. Bukhari,Muslim,Abu Dawud,al-nasa’I dan Ahamad).

Secara tekstual matan hadits dalam bentuk ungkapan analpgi tersebut menyatakan

bahwa ada kesamaan antara Ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjandinya

perbendaan kulit antara anak dan ayah dapat disebapkan oleh warna kulit yang berasal darai

nenek moyang bagi anak tersebut .ketentuan demikian itu, bersifat universal. Ungkapan

analaogi dalam kasus ini dikuatkan pula oleh kalangan medis.

Dari contoh hadits nabi di atas, dapat dinyatakan bahwa pemahaman secara tekstual

terhadap hadits yang memuat gaya bahasa perbandingan atau analaogi dapat dipahami dengan

pendekatan filosofis karena memuat pernyataan yang sangat logis dan mudah dipahami.

c.) Tamtsil

8
Bahasa tamtsil atau gaya personifikasi juga digunakan dalam hadits nabi. Misalnya ,

hadits nabi tentang persaudaraan atas dasar iman. Berbunyi

Artinya:

Nu’man bin basyir berkata, rosulullah saw bersabda: prumpamaan bagi orang-orang yang

beriman dalam hal belas kasih, saling mencintai ,dan saling menyayangi antara mereka

adalah seperti tubuh. Apabila ada tubuh yang mengeluh karena sakit, seluruh tubuh akan

merasakan keluhan, sehingga tidak bisa tidur karena rasa deman.(H.R. Bukhari dan Muslim)

Teks hadits tersebut berbentuk tamtsil yaitu menggambarkan sesuatu yang abstrak dengan

sesuatu yang kongkret sehingga pemahaman itu menjadi lebih dekat pada suatu realitas.

Hadits di atas mengandung ajaran islam yang menengkankan bahwa persaudaran antar murlim

terikat oleh kesamaan iman. Ajaran tersebut bersifat universal. Salah satu buktinya adalah

rasa perhatian yang ditunjukan oleh umat islam di indonesia dan di negara-negara lainnya atas

nasib buruk yang menimpah umat islam di bosnia Herzegovina. Walaupun mereka tidak satu

bangsa dan tanah air, namun penderitaan mereka sama-sama rasakan, karena mereka terikat

kesaan iman.

Hadits tersebut mrmperkuatkan petunjuk al-quran, surah al- hujurat(49):10,berbunyi:

Artinya:

9
“sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara; dan karenanya, demikianlah antara kedua

saudaramu itu” (49);al-hujurat:10.

Hadits nabi juga di atas di kuatkan oleh hadits nabi yang lain dengan menggunakan gaya

bahasa yang sama. Hadits nabi berbunyi:

Artinya:

Abu musa al-asyari, katanya nabi saw telah bersabda: “orng mukmin terhadap orang

mukmin lainya ibaratkan bangunan,bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya

sambil bertelekan (menjalinkan jari-jari tangannya)” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Hadits nabi tersebut mengemukakan tamtsil bagi orang-orang yang beriman sebagai

bangunan. Tamtsil tersebut sangat logis dan berlaku tampa terikat oleh waktu dan tempat sebab

setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya.

Demikian pula seharusnya orang-orang yang beriman yang satu memperkokoh bagian yang

lainnya dan yang satunya tidak berusaha untuk menjatuhka.perilaku umat islam yang

mengakibakan tercederanya persatuan dan atau tercerai berai menunjukkan bahwa perilaku

tersebut tidak mencerminkan perilaku sebagai seorang mukmin.

Hadits tersebut tidak menekankan bahwa umat islam harus menghindari kehidupan

polotik karena khawatir terpecah belah.tetapi, hadits tersebut menunjjukan arti yang bersifat

umum. Artinya umat islam atau beriman dalam konteks apapun harus tetap menjaga persatuan

seperti yang digambarkan di dalam hadits tersebut di atas.

10
d.) bahasa simbolik

sebagaimana halnya di dalam al-quran di dalam hadits nabi juga dikenal dengan

ungkapan yang berbentuk simbolik. Bahwa Penetapan suatu ayat ataupun suatu hadits

berbentuk simbolik adakalanya mengundang peredaan pendapat. Bagi yang hanya

menggunakan interpretasi tekstual, ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagi bukan

simbolik .sedangkan, bagi mereka yang menggunakan interpretasi intertekstual dan atau

kontekstual, ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagai simbolik.

Berikut ini ditemukan slah satu ungkapan hadits yang mengandung ungkapan yang simbolik,

hadits tentang masihi al-dajjal. Berbunyi:

Artinya:

Dari abdullah ibnu umar bertanya.: kaanya la-dajjal itu diperbincangkan di sisi rosulullah saw.

Kemudian beliau bersabda; “ sesungguhnya allah sudah sangat jelas bagi kalian (tidak ada

yang serupa dengan-nya) dan sesungguhnya allah tidak buta sebelah mata. Dan beliau

menunjuk matanya. Ketahuilah, sesungguhnya al- dajjal itu buta matanya sebelah kanan,

matanya seperti buah anggur yang timbul”(H.R. Bukhari,Mualim Dan Ahmad).

Didalam berbagai kitab syarah hadits dijelaskan bahwa dajjal adalah mahluk yang gambaran

fisiknya antara lain sebagaiman yang disebutkan oleh berbagai matan hadits nabi, buta sebelah

mata kanannya dan diantara dua matannya tertulis kata “kafir”. Pemahaman demikian

menggunakan memahaman yang interpretasi tekstual.

11
Menurut syuhudi ismail. Pernyataanya bahwa allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan

simbolik. Allah maha suci dari segala sifat yang menyamakannya dengan mahluk. Ungkapan

tersebut dapat diartika sebagai kekuasaan yang sempurna.

Demikian pula halnya, pernyataan bahwa dajjal itu buta matanya sebelah kanan merupakan

ungkapan simbolik. Bahkan, diri dajjal juga merupakan ungkapan simbolik. Yakni, keadaan

yang penuh ketimpangan para penguasa pada saat itu berikap alim, kaum du’afa tidak

diperhatikan, amanah dikhianati dan berbagai kemaksiatan lainya telah melanda titengah-

tengah masyrakat. Pemahaman yang digunakan syuhudi ismail adalah pemahamn dengan

menggunakan interpretasi kontekstual.

Sejalan dengan syuhudi ismail, syekh muhammad al-gazhali memahami kata dajjal di

dalam hadits tersebut sebgai salah seorang pemimpin kaum yahudi, termasuk para ahli mereka

yang terbesar. Dalam dirinya termanifestasi jiwa kaum yahudi yang terputus hubungannya

dengan allah, bahkan memusuhinya. Namun diantaranya terdapat perbedaan. Al-ghazali

menilai sosok dajjal itu dari kalangan yahudi, sementara syuhudi menilai berasal dari kalangan

umat atau penguasa secara umum.

Jika menghubungkan redaksi innallaha laisa bi a’wara “sesungguhnya allah tidak buta

sebelah matanya,” di dalam matan hadits di atas dengan firman allah swt. Qs.al-Syura/42:11

berbunyi,wahuasamiulbashirlaisakamitslihisyaiun “tidah ada yang serupa satupun dengannya

dan dia maha mendengar dan maha melihat,” maka dapat dinyatakan bahwa tidak patut

diserupan dengan mahluknya, termasuk dajjal. Tetapi, dia adalah maha mendenga dan maha

melihat sehingga dia adalah maha adhil. Berbeda dengan dajjal, dia disebutkan

wainnalmashihal a’waru“dan sesungguhnya al-masihi dajjal adalah buta sebelah matanya.”

Artinya; dajjal bukanlah mahluk yang maha melihat seperti allah swt. Sehingga dia berbuat

kejam, dan zhalim sangat tidak adhil. Dinyatakan demikian karena jika frase innallaha laisa

12
bi a’waru membutuhkan ta’wil maka harusnya sebagai sabda kenabian (sabda rosulullah

saw) frase wainnalmashihaldajjaula’warujuga harus di ta’wil keduanya menggunakan bahasa

simbolik.

Dengan demikian hadits di atas merupakan salah satu bentuk atau gaya bahasa

simbolik yang digunakan oleh rosulullah saw,dalam berbagai sabdanya. Dengan memahami

hadits tersebut secara simbolik, bahwa allah maha adhil dan dajjal tidak maha adhil atau kejam

dan zhalim. Maka kandungan hadits tersebut sejalan dengan doa yang diajarkan oleh rosulullah

saw. Untuk dibaca setiap akhir shalat,yakni.

Artinya:

Nashr bin ali al-jahdhami,bin numayr,abu kurayb,dan juhar bin harb, telah menceritakan

kepada kami,semuanya menyatakan dari waki_kata abu kurayb, waki telah menceritakan

bahwa al-auza’I telah menceritak dari hasan bin’atyyah dari muhammadin bin aby aisyah dari

aby hurayrah ;dan dari yayah bin abi katsir dari abi salmah dari aby hurayrh berkata, rosulullah

saw,telah bersabda: “apabila kalian membaca tasyahhudmaka mintalah perlindungan dari allah

pada empat hal, lalu belau bersabda: “ ya allah aku berlindung kepadamu dari ajab

neraka jahannam ,dari ajab kubur,dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah

al-mashih al-dajja.”(H.R. Muslim).

e.) Bahasa percakapan

Seperti halnya dengan manusia lainnya,nabi saw ,juga hidup di tengah- tengah

masyarakat, karenanya cukup banyak matan hadits nabi yang berbentuk percakapan (dialog)

dengan anggota masyarakat . hadits nabi yang berisi dialog, antara lain sebagai berikut.

13
Hadits tentang amalan yang paling utama

Hadits nabi tentang hal itu memiliki matan yang berbeda-beda. yakni: Artinya:

Dari abdullah bin umar r,a., bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada rosulullah

saw,: amalan islam yang manakah yang lebih baik.? Nabi menjawab: “kamu memberi

makan dan menyebarkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”

(H.R. Bukhari, Muslim, Al-nasai,dan Ahmad).

Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah

satu ajaran islam yang bersifat uviersal .namun, dalam hal sebagai “ amalan yang lebih baik”,

maka hadits tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadits

lainya yang memberi petunjuk tentang amalan yang lebih baik, namun jawaban nabi berbeda-

beda . hadits-hadits yang dimaksud adalah sebagaimana yang dikutip berikut ini.

Artinya:

Dari abu musa r,a, katanya mereka (paran sahabat nabi) bertanya: “ya rosulullah, amalan islam

yang manakah yang lebih utama.?” Beliyau menjawab: “(yaitu) orang yang kaum muslimin

selamat dari (gagguan ) mulutnya dan tangannya “ (H.R.Jamaah kecuali Abu Dawud.)

Kata khairu dan afdolu memang berbeda maknanya, namun yang dimaksud dalam dialog

tersebut terdapat unsyur yang sama, yakni pertanyaan yang menanyakan amal yang paling

14
utama yang dianjurkan oleh islam.yaitu: belau menjawab: beriman kepada allah dan rosulnya,

berjuhad dijalan allah, dan haji yang mabrur. (h,r. bukhari ,muslim ,al-tirmidzi, al-darimi ,dan

ahmad.)

Dan amlam apakah yang disukai oleh allah, dan nabi menjawab. Yaitu: shalat tepat pada

waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad dijalan allah. (h.r. bukhari, muslim,al-

tirmidzi, dan ahmad)

Dari keempat matan hdits yang dikutip diatas dapatlah dipahami bahwaamal yang

termasuk lebih utama tau lebih baik itu ternyata bermacam- macam. Hadits-hadits tersebut

dapat pula dipahami bahwa pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada) ternyata dapat saya

jawabannya berbeda-beda . perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat

subtantif. Yang subtantif, ada dua kemungkinan ,yakni (a) relevensi antara keadaan orang

yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan. (b) relevensi antara keadaan kelompok

masyarakat tentu dengan materi jawabn yang diberikan. Dengan demikian , jawaban nabi atas

pertanyaan yang sama (senada) itu bersifat temporal, tepatnya kondisional dan bukan

universal.

Berdasarkan keterangan di atas,pendekatan yang lebih tepat adalah pendekatan

pisikologi. Yakni, nabi saw, memberikan jawaban atas pertanyaan- pertanyaan amal yang

utama , dengan mempertimbangkan keadaan kejiwaan orang yang bertanya.

f.) Menjelaskan sesuatu yang praktis

Salah satu gaya bahaa yang digunakan rosulullah saw. Di dalam menyampaikan

pesan-pesannya atau haditsnya agar lebih mudah dipahami adalah memperkuat pernyataan

belau dengan menggunakan contoh yang mudah dipahami, misalnya, hadits nabi berbunya:

15
Artinya:

Abu musa al-asyari, katanya, nabi saw telah bersabda:” orang mukmin dan orang mikmin

lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian lainnya sambil

bertelekan (menjalinkan jari-jari tangannya)” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Bagi orang yang beriman juga nabi saw. Menjelaskan hadits tersebut dengan mengikuti

contoh praktis. Yakni bangunan yang kokoh bagaikan kokohnya jari- jari yang dijalinkan.

Tamtsil tersebut sangat ligis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu dan tempat sebab setiap

bangunan pastilah setiap bagian-bagiannya berfungsi memperkokoh bagin-bagian lainnya.

Demikian pula seharusnya orang- orang yang beriman yang satu memperkokoh yang lain dan

yang satu tidak saling menjatuhkan. Persaudaraan dan persaudaraan yang dikehendaki oleh

islam adalah persatuan yang saling mengokohkan satu dengan yang lainnya.

2. Hadist dilihat dari segi kepadatan makna

Kandungan makna hadits nabi saw terkadang menunjukkan makna yang padat, tetati

dinyatakan dengan ungkapan yang pendek, misalnya dalam bentuk, jawamial-kalim.Misalnya,

hadits nanbi yang berbunya:

Artinya:

Bahwasannya abu hurairah telah berkata, saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:

“(saya diutus oleh allah ) dengan ( kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan yang

singkat namun padat makna…(H.R. Jamaah )

16
Bedasarkan pernyataan nabi saw.tersebut, makalah tidak mengherannkan bila banyak

dijumpai banyak hadits berbentuk jawami al-kalim. Hal itu merupakan salah satu

keutamaan yang dimiliki oelh sabda-sabda nabi saw. Berikut ini beberapa macam matan

hadits jawamial-kalim tersebut.

Yang dimaksud dengan jawami al-kalim adalah matan hadits yang memiliki

kanungan makna yang padat, tetapi dinyatakan dengan ungkapan yang pendek, misalnya

hadits nabi tentang perang itu siasat, berbunyi:

Artinya:

Dari jabir rasulullah bersabda: “perang itu siasat” (h.r. Jamaah kecuali AbuDawud.)

Kalangan ulama ,menyatakan bahwa kata khad’ah dapat dibaca dengan tiga bacaan, yakni

khad’ah dan inilah yang terbaik karena bacaan itu digunakan oleh nabi saw., khud’ah dan

khuda’ah ulama sepakat ble menerapkan siasat atau strategis dalam perang atas orang-orang

kafir. Hal ini didukung oleh hadits lain yang yang menyebutkan boleh berbohong dalam

perang.

Pemahaman terhadap petunjuk hadits sejalan dengan bunyi teksnya, bahwa setiap

perang memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu, trgas syuhudi, berlaku secara

universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu. Pearang yang dilakukan dengan cara alat

apa saja pastilah memerlukan siasat.perang tanpa siasat sama perang menyatakan tahluk

kepada lawan tampa syarat.

Perlu diperhatikan bahwa tidak semua hadits yang dinyatakan dengan ungkapan

pendek adalah hadits dalam bentuk jawami al-kalim, tetapi mungkin dalam bentuk kata-kata

hikmah. Perbedaan dan persamaan antara jawamial-kalim dengan kata-kata hikmah, antara lain

nabi saw, bersabda:

17
Artinyaa:

Dari imran bin huseyi, katanya, nabi saw. Bersabda: “rasa malu tidak datang kecuali (dalam

hal )baik.” Busyair bin ka’ab berkata, “tertulis dalam hikmah (kitab taurat/injil) bahwa

sebagian dari rasa malu itu adalah kewibaan, dan sebagian dari rasa malu itu adalah

ketenangan.” Imran berkata kepadanya, “saya telah menyampaikan sesuatu dari rosulullah

saw. Dan engkau telah menyampaikan sesuatu dari kitab mu.” (H.R. Bukhari).

Secara harfiah hadits di atas menunjukkan bahwa tidak ada rasa malu, kecuali hanya

mendatangkan kebaikan.di samping itu hadits menunjukkan bahwa perilaku seseorang

mencerminkan kapasitas rasa malunya. Rasa malu dapat menjadi pendorong terjadinya

perubahan sikap. Perubahan sikap mempunyai peranan penting dalam upaya mengubah

budaya masyarakat yang statis ke dinamis; dan pada giliran selanjutnya, rasa malu itu

akan menjadi salh satu pemicu perjuangan mengubah nasib.

Pada prinsipnya, hadits dalam bentuk hikmahpun umummnya mengandung makna

yang sarat akan ungkapan yang tidak terlalu panjang hanya saja, penekanan dalam kata-kata

hikmah ditunjukkan pada sifat kandungan pernyataan yang menekankan kepada

kemaslahatan, sementara hadits dalam bentuk jawami al-kalim menekankan pada ungkapan

yang pendek dan makna yang serat, dengan kata lain, kata hikmah lebih menekankan pada

kandungan , sedangkan jawami al-kalim lebih menekankan pada lafal .

18
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hadist merupakan salah satu sumber hokum ummat islam atau bisa disebut sebagai dasar

hukum ummat islam setelah al qur’an, Adanya hadits berfungsi sebagai penjelasan ayat-ayat

al-Quran. Akan tetapi dari disampaikannya hadits-hadits yang disandarkan pada Rosulullah

SAW tidak semua disetujui oleh umat islam. Terdapat golongan yang mengakui akan tidak

kebenaran kehadiran hadits-hadits tersebut.

Dalam menyampaikan sabdanya Rosulullah menekankan pada penggunaaan bahasa

standar(fushhah) dan pemilihan susunan kalimat dan kosa kata yang tepat.namun untuk

kondisi tertentu tatkala Ummat-nyaadalah bukan berasal dari kalangan arab quraisy,maka

beliau berusaha memilih dialek bahasa yang mudah dipahami oleh Ummat-nya.

19
DAFTAR PUSTAKA

41 Fatchur Rohman, Ikhtisar Musthalahul Hadist (Bandung: Al-Ma”arif, 1974),144.

http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/06/ilmu-maani-al-hadis.html?m=1

https://faizack-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/faizack.wordpress.com/2011/04/03/ilmu-maani-al-
hadis/amp/?amp_js_v=a3&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh
=15855801553668&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari

%20%251%24s

20
Tugas Kelompok

Dosen: DR. H. Mukhlis Mukhtar M.Ag.

“HADITS NABI DILIHAT DARI SEGI BAHASA YANG DIGUNAKAN”


(Dilihat dari Segi Logika Bahasanya, Kosakata yang , dan Pernyataan yang Musykil)

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Ilmu Ma‟ani Al-Hadits

Oleh:
Kelompok 6

1. Nurul Amadea (30300119027)


2. Andi Ari Azhary (30300119035)
3. Bau Siska Asrianti (30300119042)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaah hirobbil „aalamiin, segala puji bagi Allah subhanahu wata‟ala, Tuhan
Semesta Alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sang
murabbi sejati kita, Nabiyullah Muhammad shallallahu „alaihi wasallam sebagai penutup para
Nabi dan Rasul, yang dimana atas perjuangan beliau sehingga nikmat Iman dan Islam dapat kita
rasakan hingga saat ini.

Adapun makalah dengan topik inti “Hadits Nabi dilihat dari segi bahasa yang
digunakan” ini, disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Ma‟ani Al-Hadits.
Dalam penyusunan makalah, kami melibatkan berbagai pihak baik dari Dosen, juga referensi
yang bersumber dari internet yang insyaa Allaah berasal dari sumber yang terpercaya. Oleh
karena itu, kami mengucapkan banyak terima kasih atas segala dukungan yang diberikan untuk
menyelesaikan makalah ini.

Meski telah disusun secara maksimal, akan tetapi kami sangat menyadari bahwa di dalam
makalah ini terdapat begitu banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Karenanya,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Besar harapan
kami makalah ini dapat menjadi sarana pembantu bagi masyarakat dalam menambah wawasan
mengenai Hadits Nabi, khususnya dari segi bahasa yang digunakan. Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari makalah ini.

Makassar, 9 Maret 2021

(Penulis)

2
DAFTAR ISI

JUDUL ....................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 5

A. Dilihat dari Segi Logika Bahasanya .............................................................. 5


B. Kosa kata yang Gharib ................................................................................... 7
C. Pernyataan yang Musykil ............................................................................... 11

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 16

A. Kesimpulan .................................................................................................... 16
B. Implikasi ........................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits merupakan petunjuk dan sumber hukum kedua bagi manusia setelah al-Qur‟an.
Sebagai sumber hukum setelah al-Qur‟an, hadits juga berfungsi untuk memperjelas isi
kandungan dari al-Qur‟an itu sendiri, selain itu hadits juga merupakan salah satu bentuk kongkrit
dari tingkah laku Nabi semasa hidupnya atau yang biasa disebut dengan Sunnah Nabi.

Dalam memahami teks keagamaan diperlukan kehati-hatian serta ketelitian, dalam hal ini
adalah pemahaman terhadap al-Qur‟an dan Hadits. Berbeda dengan kaidah penafsiran dan
pemahaman terhadap al-Qur‟an, dalam memahami Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam
kedua, dibutuhkan metode dan pendekatan yang cukup rumit. Selain serentetan metodologi yang
digunakan dalam penelitian sanad, juga diperlukan metodologi untuk meneliti kandungan matan.

Hadits Nabi lebih banyak disampaikan oleh periwayat satu kepada periwayat lain secara oral
(lisan) oleh karena itu hadits Nabi lebih banyak yang diriwayatkan secara makna. Selain itu tidak
semua hadits Nabi menunjuk kepada sebuah pengertian yang jelas, sehingga sebuah hadits
terkadang tidak dapat dipahami secara mudah dan sederhana.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadits Nabi jika dilihat dari segi logika bahasanya?
2. Apa yang dimaksud dengan kosa kata yang gharib?
3. Apa yang dimaksud dengan pernyataan yang musykil?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami hadis Nabi berdasarkan logika bahasa yang digunakan
2. Untuk mengetahui kosakata yang gharib pada hadis Nabi
3. Untuk mengetahui pernyataan yang musykil pada hadis Nabi

1
Uki Habib, “Kajian Al-Qur'an dan Hadis”, https://ukihabib.blogspot.com/2013/09/makalah-ilmu-maanil-
hadis.html?m=1 (Selasa, 9 Maret 2021, 23.00)

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits Nabi dilihat dari Segi Logika Bahasanya


Hadits sebagai ucapan dan teks, sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta
gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar lebih bisa mendekati kebenaran
mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Jika tanpa memahami motif di balik
penyampaian sebuah hadits, suasana psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali
akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapannya, suasana
psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran
yang dilakukan, ketiga hal itu sangat berperan sekali. Dalam hal itu mengkaji secara mendalam
terhadap sejarah Nabi merupakan bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap
sejarah Nabi akan memberikan perspektif yang lebih luas tentang ruang dan waktu munculnya
sebuah hadits. Kalau pendapat tersebut diterima, maka mereka yang mendalami sejarah Nabi
Muhammad shallallahu „alaihi wasallam sudah tentu akan memiliki pemahaman berbeda dari
yang tidak mempelajarinya ketika sama-sama memahami sebuah hadits. Hadits yang diucapkan
Nabi relevan dengan ruang dan waktu, baik itu dari segi sosial budaya maupun alam lingkungan.

Dilihat dari segi logika bahasanya, kandungan hadits-hadits Nabi menunjukkan jalinan
hubungan yang logis, misalnya hadits Nabi yang berbunyi:

‫ان اصدق ىهدى اىل الرب وان الرب ىهدى اىل اجلنو وان الرجل لىصدق حىت ىكتب عند هللا صد ىقا وان الكذب ىهدى اىل‬
‫الفجور وان الفجور ىهدى اىل النار وان الر جل لىكذب حىت ىكتب عند هللا كذااب‬

Artinya:

“Sesungguhnya ash-Shidq (kejujuran) itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya


kebaikan itu menunjukkan ke surga dan sesungguhnya seseorang bermaksud untuk jujur
sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan
itu menunjukkan kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu menunjukkan kepada
neraka. Sesungguhnya seorang itu bermaksud untuk berdusta sehingga dicatatlah di sisi
Allah sebagai seorang yang suka berdusta.” [HR. Muttafaq „Alaihi]2

2
Ali Wafa, “Kejujuran Jembatan Menuju Surga (Jannah)”,
https://www.kompasiana.com/aliwafa11/550f4e33a33311a12dba844b/kejujuran-jembatan-menuju-surga-jannah
(Sabtu, 13 Maret 2021, 11.30)

5
Secara harfiah, hadits di atas menunjukkan bahwa kejujuran (al-shidq) mengantarkan kepada
kebaikan, dan kebaikan membuka jalan (masuk) surga. Sebaliknya, kebohongan mengantarkan
kepada keburukan, dan keburukan membuka jalan (masuk) neraka. Kandungan hadits tersebut
menunjukkan hubungan yang sangat logis.

Juga terdapat pada hadits lain yang artinya:


“Barangsiapa yang telah memiliki kemampuan, maka menikahlah karena sesungguhnya
(menikah) akan menekan pandangan dan memelihara kemaluan, dan barangsiapa yang tidak
memiliki kemampuan (menikah), maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya (puasa)
dapat menjadi pengendali (seks).”
Hadits di atas menunjukkan perintah menikah bagi orang yang memiliki kemampuan
menikah. Namun, jika ia belum mampu, maka hendaklah ia menahan syahwatnya dengan
berpuasa. Dengan demikian, puasa dan pengendalian syahwat memiliki hubungan yang logis.

Contoh yang lain juga terdapat pada hadis tentang Nabi Musa as. mencolok mata malaikat
maut saat hendak menjemputnya.3 Dari Abu Hurairah radhiyallaahu „anhu, beliau mengatakan,

َ ‫ال أ َْر َسلْتَ ِِن إِ َىل َع ْب ٍد الَ يُ ِري ُد ال َْم ْو‬


‫ت‬ َ ‫ص َّكوُ فَ َف َقأَ َع ْي نَوُ فَ َر َج َع إِ َىل َربِِّو فَ َق‬
َ ُ‫السالَ ُم فَ لَ َّما َجاءَه‬ َّ ‫وسى َعلَيْ ِو‬ ِ
َ ‫ك ال َْم ْوت إِ َىل ُم‬ ُ َ‫أ ُْر ِس َل َمل‬
ِّ ‫َى َر‬
‫ب‬ ْ ‫ال أ‬َ َ‫ت يَ ُدهُ بِ ُك ِّل َش ْع َرةٍ َسنَةٌ ق‬ ْ َّ‫ْت ثَ ْوٍر فَلَوُ ِِبَا غَط‬ ِ ْ ‫ض ُع يَ َدهُ َعلَى َم‬ َ َ‫ال ْارِج ْع إِل َْي ِو فَ ُق ْل لَوُ ي‬
َ َ‫اَّللُ إِل َْي ِو َع ْي نَوُ َوق‬
َّ ‫ال – فَ َر َّد‬ َ َ‫– ق‬
‫َّس ِة َرْميَةً ِِبَ َج ٍر‬
َ ‫ض ال ُْم َقد‬ ِ ‫اَّللَ أَ ْن يُ ْدنِيَوُ ِم َن األ َْر‬
َّ ‫سأ ََل‬ َ َ‫ال فَاآل َن ف‬ َ َ‫ ق‬.‫ت‬ ُ ‫ال ُُثَّ ال َْم ْو‬
َ َ‫ُُثَّ َم ْو ق‬

Artinya:

“Malaikat maut diutus untuk mendatangi Musa „alaihis salam. Ketika sampai di tempatnya
Musa, beliau memukul malaikat itu, sampai lepas matanya. Kemudian Malaikat ini kembali
menemui Rabbnya. Beliau mengadu, “Engkau mengutusku untuk menemui hamba yang tidak
menghendaki kematian.” Kemudian Allah mengembalikan matanya, dan berfirman,
“Kembali temui Musa, sampaikan kepadanya, „Silahkan dia letakkan tangannya di
punggung sapi, maka usia Musa akan ditambahkan sejumlah bulu yang ditutupi tangannya,
setiap satu bulu dihitung satu tahun.‟ Musa bertanya, “Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa
yang terjadi?” Allah menjawab, “Setelah itu, mati.” Musa berkata, “Kalau begitu, sekarang
saja.” Lalu Musa memohon kepada Allah agar didekatkan ke tanah suci (Baitul Maqdis),
sejauh lemparan sebuah batu. [HR. Bukhari 1339, Muslim 6297, dan yang lainnya]

Hadis ini bertentangan dengan logika akal manusia, bagaimana mungkin manusia dapat
melukai malaikat, yang Allah muliakan. Ibnu Qutaibah mengatakan, malaikat adalah makhluk

3
Abdul Malik Ghozali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam Ta‟wil Mukhtalaf Al-
Hadis”, Kalam, Vol.8 No. 1 (Juni, 2014), hlm. 134.

6
ruhani yang Allah berikan kemampuan berubah wujud. Seperti yang dijelaskan dalam riwayat-
riwayat lain bahwa Nabi pernah bertemu dengan malaikat Jibril dalam bentuk seorang manusia.
Maka hadis tadi berkaitan dengan penampakan malaikat dalam wujud manusia, sehingga berlaku
hukum tubuh manusia, seperti dipukul, dicolok dan sebagainya. Artinya Nabi Musa mencolok
mata malaikat maut ketika menjelma manusia yang memiliki tubuh.4

B. Kosa kata yang b


a. dalam Tinjauan Bahasa dan Istilah
Dalam Lisân al-„Arab kata gharîb (‫ )غَ ِريْب‬atau gharâbah (‫ )غَ َرابَة‬secara bahasa berasal dari

َ ‫ )غَ َر‬yang berarti ‫“ بَعُ َد‬jauh”, seperti dalam kalimat ‫ب َع ِِّن‬


kata gharaba (‫ب‬ ْ ‫ اُغْ ُر‬bermakna ‫اع ْد‬
َ َ‫تَ ب‬

“menjauhlah”. Dari makna ini, kata ‫ غَ ِريْب‬mengandung arti ‫“ بَ ِعيْ ٌد َع ْن َوطَنِ ِو‬jauh dari negerinya”,

sedangkan yang berhubungan dengan bahasa kata ‫ غَ ِريْب‬bermakna ‫ض ِم َن الْ َكالَِم‬ ِ


ُ ‫“ الْغَام‬ungkapan
yang tidak jelas”.5

Makna yang tidak jauh berbeda dengan makna di atas juga bisa kita temukan dalam al-
َّ ‫ب‬
Mu‟jam al-Wasît, namun dengan harakat „ain fi‟il kasrah dan dhammah, yaitu ‫الش ْي ُئ‬ َ ‫غَ ِر‬

bermakna ‫“ اِ ْس َو َّد‬hitam” dan ‫ب َع ْن َوطَنِ ِو‬ ِ


َ ‫ غَ ُر‬bermakna ُ‫“ ابْ تَ َع َد َع ْنو‬jauh dari negerinya”. Adapun ‫ب‬
َ ‫غَ ُر‬

ً‫ الْ َكالَ ُم غَ َرابَة‬bermakna ‫ض َو َخ ِف َي‬


َ ‫“ غَ َم‬ungkapan yang tidak jelas dan samar”, dan ‫الغريب ىف كالمو‬

mengandung arti ‫“ أيت ابلغريب البعيد عن الفهم‬dia mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas dan sulit

dipahami”.6

Dari kedua kamus tersebut terlihat makna yang hampir sama dan tidak terlalu jauh
berbeda untuk kata gharîb, yaitu “jauh”, “hitam”, “tidak jelas” dan “sulit dipahami”.
Kesemuanya bisa terwakili oleh makna “sesuatu yang asing” karena ia jauh dari yang biasa
sehingga sulit dipahami dan terlihat hitam-gelap sehingga menjadi tidak jelas.

Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam memaknai gharîb, yang secara
garis besar terbagi dalam kelompok ulama‟ klasik dan modern. Ulama‟ klasik sendiri terdiri
4
Ibid., hlm. 134-135.
5
Yetti Hasnah, “Problematika Gharîb dalam Bahasa Arab”, Alfaz: Arabic Literatures for Academic Zealots, Vol.2
No. 2, (Juli-Desember, 2014), hlm. 106.
6
Ibid., hlm. 106-107.

7
dari beberapa golongan sesuai dengan bidang keilmuan mereka, di antaranya adalah ahli
bahasa, ahli sastra, ahli balâghah, dan ahli ma„âni. Dari keragaman bidang ilmu yang mereka
tekuni dan perbedaan masa di mana mereka hidup, bisa kita pahami perbedaan pemahaman
mereka terhadap istilah ini.

- Menurut ahli bahasa, gharîb adalah lafaz yang tidak jelas maknanya yang digunakan oleh
mereka yang fasih berbahasa dan ulama‟ ahli bahasa yang piawai dalam bertutur.
- Menurut ahli sastra, gharîb adalah lafaz yang tidak jelas maknanya dan tidak bisa
dipahami oleh orang tertentu (khusus).
- Menurut ahli balâghah, mereka memahami gharîb sebagai isti‟ârah dan majâz. Gharîb
bukanlah kata yang asing secara leksikal terutama yang terkait dengan bahasa al-Qur„ân,
karena orang Arab sendiri adalah pemilik bahasa yang sudah sangat jelas memahami
bahasa tersebut.
- Menurut ahli m ’âni, mereka memahami gharîb sebagai kata yang tidak jelas maknanya
dan tidak biasa digunakan, baik di kalangan orang Arab asli yang masih murni maupun
orang Arab yang hidup di masa ini.7

b. Kriteria al-Hadits
Hadits merupakan berbagai hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam yang berfungsi sebagai petunjuk, baik berupa ucapan, perbuatan maupun
ketetapan, serta sifat fisik dan psikis (akhlak), termasuk juga sejarah kehidupannya, baik
sebelum beliau diutus sebagai Rasul maupun pasca pengutusannya tersebut. Namun tidak
semua hadits mencantumkan teks yang jelas atau mudah dipahami maksudnya, maka dari itu
muncul istilah yang namanya gharib hadits.

Gharib hadits ini bertujuan untuk menjelaskan hadits yang matannya terdapat lafadz yang
pelik dan susah dipahami, sehingga gharib al-hadits inilah yang membantu memahami dan
menjelaskan hadits tersebut. Sebenarnya para ulama sudah menyusun tentang gharib al-
hadits sejak abad kedua dan awal abad ketiga hijriyah bertepatan pada awal mula pembukuan
hadits. Orang yang pertama menyusun dalam gharib al-hadits ialah Abu Ubaidah Mu‟ammar

7
Ibid., hlm. 107-108.

8
bin al-Mutsanna at-Taimi.8 Setelah munculnya gharib al-hadits, maka pada perkembangan
selanjutnya para ulama mulai tergugah untuk menjelaskan kata-kata gharib dalam hadits
tersebut dengan cara mensyarahkannya. Bahkan ada ulama yang sengaja mensyarahkan
secara khusus tentang hadits yang terdapat kata-kata gharib. Jadi, gharib hadits yang
memiliki kata yang kabur dan rumit untuk dipahami inilah yang menyebabkan para ulama
untuk melakukan penjelasan terhadap hadits atau melakukan syarah hadits, dengan kata lain
sebenarnya cikal bakal syarah hadits ini sebelumnya didahului dengan adanya gharib al-
hadits.

Banyak pendapat yang menjelaskan tentang cara pemaknaan hadits. Setiap zaman, setiap
waktu dan setiap tempat memiliki perbedaan dalam menjelaskan gharib hadits maupun
hadits-hadits lain yang perlu di syarah. Pada masa awal munculnya cikal bakal syarah hadits
yaitu dari hadits gharib yang kemudian dibukukan dalam kitab gharib al-hadits yang
memiliki metode tersendiri dalam menafsirkan sebuah hadits. Untuk mensyarah sebuah
hadits maka diperlukan penjelasan kata dan bagian-bagian hadits yang masih kabur.
Kemudian dikaitkan dengan dalil lain yang ada persamaannya, lalu mengemukakan
pengertiannya secara menyeluruh.9 Sebenarnya ada beberapa cara yang digunakan ulama
terdahulu untuk menjelaskan atau mensyarah hadits khususnya gharib al-hadits, caranya
yaitu:
- Pertama, dengan hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang
mengandung lafadz gharib tersebut.
- Kedua, dengan penjelasan akan makna gharib dari para sahabat yang
meriwayatkan hadits dan paham makna gharib al-hadits ataupun sahabat lain yang
tidak meriwayatkan hadits namun paham dengan makna gharib al-hadits.
- Ketiga, penjelasan dari rawi selain sahabat.10

c. l-Ḥ d t : Kasus Absurditas Makna dalam Teks Hadits


Gharīb al-Ḥadīth menjadi studi yang bertujuan menjelaskan kosa kata matan hadis yang
asing (absurd). Studi ini dibangun di atas asumsi adanya ketidakjelasan makna redaksi

8
Nyayu Siti Zahrah, “Gharib al-Hadits sebagai Embriologi Syarah Hadits dan Transformasinya”, El-Afkar: Jurnal
Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol.9 No. 1, (Januari-Juni, 2020), hlm. 131.
9
Ibid., hlm. 133.
10
Ibid., hlm. 133-134.

9
matan. Problem pokok dalam metode ini ialah bagaimana cara mencari kejelasan makna
redaksi. Para ulama mengembangkan beberapa metode yang umumnya bersifat komparasi-
intertekstual. Mekanismenya berkisar pada penggunaan logika induksi dari makna suatu
sumber bahasa yang dianggap lebih jelas untuk kemudian diterapkan dalam kasus
kebahasaan yang sedang dihadapi.

Metode ini dimulai dengan menelaah otentisitas redaksi teks yang sedang dikaji seperti
dikembangkan oleh Abū „Ubayd al-Qāsim bin Sallām dan Ibn al-Athīr. Kemudian
dilanjutkan pada perujukan pada sumber-sumber yang dinilai otoritatif seperti teks Alquran,
hadis dan karya-karya sastra Arab (prosa maupun puisi).11

Penafsiran Gharīb dengan al-Qur‟an dapat dilihat dalam contoh berikut,

‫ألربِو‬ ِ
َ ‫كان النيب يُقبّل ويُباشر وىو صائم ولكنو كان ْأملَككم‬
Nabi shallallahu „alaihi wasallam mencium dan menyentuh saat berpuasa, tapi beliau lebih
kuat menahan hasratnya dibanding kalian.
Abū „Ubaid al-Qāsim bin Sallam mengartikan arabih sesuai dengan QS. An-Nur: 31
yang berarti hasrat (kebutuhan kepada perempuan).12
Penjelasan redaksi gharīb juga bisa dilakukan dengan menggunakan hadis lain. Semisal
penjelasan al-Khatthabi ketika menjelaskan hadis Abū Hurairah berikut ini,

‫ دلا تويف رسول هللا صلى هللا عليو و سلم واستخلف أبو بكر بعده وكفر من كفر من العرب قال عمر‬: ‫عن أيب ىريرة قال‬
‫بن اخلطاب أليب بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم أمرت أن أقاتل الناس حىت يقولوا ال إلو‬
‫إال هللا فمن قال ال إلو إال هللا فقد عصم مِن مالو ونفسو إال ِبقو وحسابو على هللا فقال أبو بكر وهللا ألقتلن من فرق بني‬
‫الصالة والزكاة فإن الزكاة حق ادلال وهللا لو منعوين عقاال كانوا يؤدونو إىل رسول هللا صلى هللا عليو و سلم لقاتلتهم على‬
‫منعو فقال عمر بن اخلطاب فوهللا ما ىو إال رأيت هللا عز و جل قد شرح صدر أيب بكر للقتال فعرفت أنو احلق‬

Redaksi matan yang dianggap gharib ialah „iqālan. Sebelum mengutarakan pendapatnya,
al-Khatthabi menuturkan banyak pandangan yang dikembangkan ulama-ulama sebelumnya.
Sebagian mengartikan „iqālan dengan zakat harta selama setahun (shadaqat „ām), jenis harta

11
M. Khoirul Huda, “Paradigma Metode Pemahaman Hadis Klasik dan Modern: Perspektif Analisis Wacana”,
Refleksi, Vol.15 No. 1, (April, 2016), hlm. 36-37.
12
Ibid., hlm. 37.

10
yang wajib dizakati seperti unta, sapi, kambing dan tumbuhan. Ada pula yang
mengartikannya dengan tali (pengikat ternak). Dari keseluruhan pandangan tersebut, al-
Khatthabi mendukung pendapat Muhammad bin Ibrahim bin Sa‟id al-Abadi yang
menyatakan bahwa arti „iqālan adalah tali. Maksudnya adalah tali pengikat ternak. Hal ini
merupakan kiasan bahwa mereka tidak mau membayar zakat sama sekali. Pengertian ini
selaras dengan riwayat lain yang menggunakan redaksi „anāqan dan jadyan (keduanya
berarti anak kambing) sebagai ganti kata „iqālan. Satu anak kambing pun mereka enggan
membayarkannya.13 Seperti dalam riwayat al-Bukhari berikut ini,

‫وهللا لو منعوين عناقا كانوا يؤدوهنا إىل رسول هللا صلى هللا عليو و سلم لقاتلتهم على منعها‬

Penyelesaian gharīb dapat dilakukan dengan menggunakan riwayat lain yang semakna.
Problem absurditas atau ketidakjelasan pengertian teks dalam konteks gharīb al-ḥadīth
diselesaikan dengan merujuk teks lain yang dinilai memiliki penunjukan makna yang lebih
terang. Di sini komparasi menjadi sebuah mekanisme yang wajib dilakukan dengan
mengabaikan konteks hadis dan terlebih niatan pengujarnya.

C. Pernyataan yang Musykil


Dalam sebuah matan hadis, terkadang juga ditemukan teks atau kata yang masih bermakna
samar atau multi tafsir sehingga perlu diadakan penelitian matan yang lebih mendalam lagi.
Dalam istilah ilmu hadis, ini disebut sebagai pernyataan yang musykil. Sebelum melangkah lebih
jauh, penulis terlebih dahulu akan menuliskan pengertian dari musykil itu sendiri.

Kata al-Musykil secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu “syakala”. Ibnu Faris
Rahimahullah mengartikan kata ini sebagai “mumatsalah” yang artinya persamaan. Disebutkan
juga “hadza syaklu hadza” yang berarti “ini sama dengan ini”. Sedangkan dalam Lisân al-„Arab
disebutkan: “Asykala al-Amru” artinya : “Masalah ini ambigu (mempunyai lebih dari satu makna
sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).

Jadi dapat dipahami bahwa istilah musykil dalam bahasa Arab itu bermakna sesuatu yang
musytarak atau mempunyai makna lebih dari satu (ganda) atau karena sebab yang lain sehingga
menimbulkan kekaburan dan ketidakjelasan ketika membacanya. Oleh karena itu, istilah Musykil

13
Ibid.

11
al-Hadits juga digunakan untuk menunjukkan hadis yang maknanya tidak jelas, atau
menimbulkan multi tafsir seperti yang penulis sebutkan di awal.

Pada umumnya, penggunaan istilah ini tidak dipakai dan disebut dalam jenis-jenis Ilmu
Hadis. Namun, istilah yang sering disebut justru Ilmu Mukhtalif al-Hadits yang memiliki definisi
yaitu “Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang secara zahir saling bertentangan.” Para
Ulama pun berbeda pendapat mengenai hal tersebut sehingga menimbulkan kegaduhan di
dalamnya.14

Seperti pendapat dari Dr. Abu al-Layth yang mendefinisikan hadis musykil sebagai hadis
maqbul (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya
diketahui setelah merenung maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil
karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya. Ibn Furak
(w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuhu, berpendapat bahwa
hadis musykil adalah hadis yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan
lain, seperti hadis-hadis yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan zat
Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya
kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta‟wil terhadap hadis-hadis tersebut.15 Menurut penulis,
pendapat dari kedua ulama tersebut sudah sejalan dengan definisi musykil dalam kacamata istilah
bahasa Arab.

Namun, sepertinya ada perbedaan sedikit dari pendapat yang dikemukakan oleh Manna‟ al-
Qaththan tentang definisi ilmu musykil ini. Beliau berpendapat bahwa, ilmu musykil yaitu ilmu
yang menggabungkan dan memadukan antara hadis-hadis yang zahirnya bertentangan, atau ilmu
yang menerangkan ta‟wil hadis yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadis lain.
Penulis dapat memahami bahwa, Manna‟ al-Qaththan menggabungkan definisi ilmu musykil
dengan mukhtalif hadis. Meskipun menurut beliau, kajian tentang musykil hadis ini juga selalu
dikategorikan sebagai ilmu mukhtalaf hadis, tetapi jika dilihat dari segi definisinya keduanya
jelas berbeda karena musykil hadis lebih mengarah kepada sebuah hadis yang menimbulkan

14
Baca selengkapnya di http://repository.uin-suska.ac.id/20790/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf (Diakses pada
11 Maret 2021)
15
Nurdin, “Mukhtalifil Hadis”, Jurnal UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, (2020), hlm. 3-4.

12
multi tafsir karena ketidakjelasan maknanya sehingga bersifat jauh lebih umum ketimbang
mukhtalaf hadis yang memang hanya seputar hadis-hadis yang kontradiktif lahiriah saja.16

Hal ini nampaknya sejalan juga dengan pendapat Al-Thahawi. Menurut beliau, makna
musykil hadis dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori; yaitu mukhtalaf al-hadis dan hadis
yang mengandung makna samar. Hal ini senada dengan ungkapan Manna‟ al-Qaththan tadi.
Namun, Al-Thahawi tidak memberikan pengertian musykil hadis secara definitif. Dan jika dilihat
dari hadis yang dihimpunnya dalam kitab yang berjudul Syarh Musykil al-Atsar, di dalamnya
bukan hanya memuat tentang hadis-hadis yang kontradiktif dengan sesamanya saja atau dengan
yang lainnya, tetapi juga memuat hadis-hadis yang mengandung makna yang samar.17

Dari beberapa pendapat di atas, penulis bisa memahami bahwa terdapat adanya perbedaan
dari cara mendefinisikan kedua ilmu hadis tersebut. Namun, jika kita bandingkan kembali, ilmu
Mukhtalif al-Hadits itu merupakan kajian yang lebih khusus dan mendalam dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih spesifik juga, sedangkan Musykil al-Hadits
adalah kajian yang lebih umum, sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa seluruh hadis yang
bersifat mukhtalif itu masuk ke dalam kategori hadis musykil, namun tidak semua hadis musykil
termasuk ke dalam hadis mukhtalif.18

Adapun salah satu contoh dari hadis musykil yaitu sebagai berikut: Hadis yang menyatakan
bahwa, “Allah subhanahu wata‟ala akan turun pada dua pertiga malam …”
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:

...‫ينزل ربنا تبارك وتعايل كل ليلة إيل السماء الدنيا حني يبقي ثلث اليل األخر‬

Artinya:

“Rabb kita akan turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam
terakhir” [HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808].

16
Mustahidin Malula, “Ma‟nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil (Telaah
Pemikiran dan Aplikasi Hermeneutika Sahiron Syamsuddin)”, Jurnal Ilmiah Citra Ilmu, Vol.15 No. 29, (April,
2019), hlm. 33-34.
17
Almunadi dan Adriansyah, “Metodologi Imam Al-Thahawi dalam Menyelesaikan Musykil al-Hadis dengan
Pendekatan Mubham al-Hadis”, El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol.6 No. 2 (Juli-
Desember 2017), hlm. 69.
18
Baca selengkapnya di http://repository.uin-suska.ac.id/20790/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf (Diakses pada
11 Maret 2021)

13
Hadis ini, jika dipahami secara tekstual, maka dapat memberi kesan bahwa Allah subhanahu
wata‟ala berada pada tempat yang tinggi di langit dan akan turun ke tempat yang lebih rendah di
bumi, padahal Allah menurut doktrin teologi terlepas dari ikatan ruang dan waktu. Karena itu,
hadis ini harus ditakwilkan, sehingga antara lain maknanya dapat dipahami bahwa Allah akan
menurunkan rahmatnya kepada orang yang beribadah pada dua pertiga malam.19

Contoh lainnya yaitu:

ِ‫ال إِ َّن ى ِذه‬ َّ ‫س قَالُوا‬ َّ ِ‫ب َى ِذه‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬


َّ ‫صلَّى‬ َّ ِ‫َن الن‬َّ ‫َع ْن أَِيب ذَ ٍّر أ‬
َ َ َ‫اَّللُ َوَر ُسولُوُ أَ ْعلَ ُم ق‬ ُ ‫الش ْم‬ ُ ‫ال يَ ْوًما أَتَ ْد ُرو َن أَيْ َن تَ ْذ َى‬ َ ‫َّيب‬
‫ت‬ِ ْ‫ث ِج‬ ُ ‫ال َذلَا ْارتَِف ِعي ْارِج ِعي ِم ْن َح ْي‬ َ ‫ك َح َّىت يُ َق‬ َ ِ‫ال َك َذل‬ُ ‫اج َدةً فَ َال تَ َز‬ ِ ‫ش فَ تَ ِخ ُّر س‬
َ َ ْ‫ََتْ ِري َح َّىت تَ ْن تَ ِه َي إِ َىل ُم ْستَ َق ِّرَىا ََت‬
ِ ‫ت ال َْع ْر‬
‫ك َح َّىت يُ َقا َل‬ َ ِ‫ال َك َذل‬ ُ ‫اج َدةً َوَال تَ َز‬ِ ‫ش فَ تَ ِخ ُّر س‬
َ ِ ‫ت ال َْع ْر‬ َ ْ‫ح طَالِ َعةً ِم ْن َمطْلِ ِع َها ُُثَّ ََتْ ِري َح َّىت تَ ْن تَ ِه َي إِ َىل ُم ْستَ َق ِّرَىا ََت‬ ِ ْ ُ‫فَ تَ رِج ُع فَ ت‬
ُ ‫صب‬ ْ
‫اس ِم ْن َها َش ْي ًْا َح َّىت تَ ْن تَ ِه َي إِ َىل‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫ت فَ ت رِجع فَ ت‬
َ َّ‫صب ُح طَال َعةً م ْن َمطْلع َها ُُثَّ ََتْ ِري َال يَ ْستَ ْنك ُر الن‬ ْ ُ ُ ْ َ ِ ْ‫ث ِج‬ ُ ‫َذلَا ْارتَِف ِعي ْارِج ِعي ِم ْن َح ْي‬
َِّ ‫ول‬ َ ‫صبِ ُح طَالِ َعةً ِم ْن َمغْ ِرَِِا فَ َق‬ ِ ِ‫َصبِ ِحي طَالِعةً ِمن مغْ ِرب‬ ِ
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫اَّلل‬ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ ْ ُ‫ك فَ ت‬ َ ْ َ ْ ‫ال َذلَا ْارتَف ِعي أ‬ ُ ‫ش فَ يُ َق‬ِ ‫ت ال َْع ْر‬ َ ْ‫اك ََت‬َ َ‫ُم ْستَ َق ِّرَىا ذ‬
{‫ت ِيف إِميَ ِاهنَا َخ ْي ًرا‬ ْ َ‫سب‬ ِ ْ ‫{ال ي ْن َفع نَ ْفسا إِميَانُها ََل تَ ُكن آمن‬ ِ َ َ‫علَي ِو وسلَّم أَتَ ْدرو َن مىت ذَا ُكم ذ‬
َ ‫ت م ْن قَ ْب ُل أ َْو َك‬ ََ ْ ْ َ ً ُ َ َ ‫ني‬ َ ‫اك ح‬ ْ ََ ُ َ َ َ ْ َ
Artinya:
Dari Abu Dzar bahwa Nabi shallallahu „alaihi wasallam bersabda suatu hari: “Apakah
kalian tahu, ke mana matahari ini pergi?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya ini berjalan beredar hingga berhenti pada
tempatnya di bawah „Arsy lalu menyungkur sujud, ia tetap demikian hingga dikatakan
kepadanya, „Kamu naiklah dan kembalilah pada tempat dari mana kamu datang.‟ Lalu ia
kembali sehingga menjadi terbit dari tempat terbitnya, kemudian berjalan beredar di mana
ia membuat manusia tidak mengingkarinya sedikit pun hingga ia berhenti pada tempat
beredarnya yaitu di bawah „Arsy, lalu dikatakan kepadanya, „Naiklah dan terbitlah kamu di
tempat di mana kamu terbenam‟. Lalu ia terbit dari tempat terbenamnya.” Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam kemudian bersabda: “Apakah kalian tahu, kapankah itu terjadi,
itu terjadi ketika iman seseorang tidak berguna bagi dirinya selama dia tidak beriman
sebelumnya, atau berbuat baik dalam imannya‟.” [HR Bukhari dan Muslim]

Dalam hadis di atas terdapat beberapa hal yang sulit dipahami secara logika maupun secara
ilmiah, antara lain:
1. Matahari terbenam
2. Matahari pergi dan berjalan/bergerak
3. Matahari bersujud di bawah 'Arsy

19
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma‟ani al-Hadis (Makassar: Alauddin University
Press, Cet. II, 2013), hlm. 8.

14
4. Matahari meminta izin
5. Matahari bergerak sehingga menetap di bawah 'Arsy, (sebagai tempat menetapnya)
6. Matahari terbit di tempat terbenamnya.

Untuk menyelesaikan dan menghilangkan kemusykilan-kemusykilan tersebut harus dipahami


dengan suatu pendekatan yang tepat, atau mendekati kebenaran. Dalam kaitan dengan hadis di
atas, misalnya dalam hal matahari terbenam dapat dipahami melalui perspektif ilmu balaghah,
yang dalam hal ini yang dimaksud dengan matahari terbenam adalah: matahari tidak lagi dapat
dilihat oleh mata manusia. Begitu juga halnya tentang matahari pergi dan berjalan atau bergerak,
bukan dalam makna yang hakiki tetapi majazi. Sedangkan matahari bersujud di bawah 'Arsy, ada
yang mengartikan bahwa matahari mengikuti ketentuan Allah yang telah ditetapkan
(sunnatullah). Sedangkan kalimat meminta izin, dapat diartikan sebagai majaz (amtsal), yang
memberikan makna gerak matahari seakan-akan meminta izin kepada Allah. Adapun kalimat
lainnya adalah: matahari menetap di „Arsy, dapat diartikan bahwa pada hari kiamat segala
sesuatu harus kembali kepada Allah, sebagai Pencipta, dan tidak ada suatu makhluk pun yang
dapat memungkiri tentang hal ini.20

20
Abd Wahid, “Metode Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil”, Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin,
Vol.15, No. 2, (Oktober, 2013), hlm. 203-204.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits sebagai ucapan dan teks, sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta
gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar lebih bisa mendekati kebenaran
mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Jika tanpa memahami motif di balik
penyampaian sebuah hadits, suasana psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali
akan salah paham dalam membacanya. Dilihat dari segi logika bahasanya, kandungan hadits-
hadits Nabi menunjukkan jalinan hubungan yang logis.

Dalam Lisân al-„Arab kata gharîb (‫ )غَ ِريْب‬atau gharâbah (‫ )غَ َرابَة‬secara bahasa berasal dari kata

َ ‫ )غَ َر‬yang berarti ‫“ بَعُ َد‬jauh”, seperti dalam kalimat ‫ب َع ِِّن‬


gharaba (‫ب‬ ْ ‫ اُغْ ُر‬bermakna ‫اع ْد‬
َ َ‫“ تَ ب‬menjauhlah”.

Dari makna ini, kata ‫ غَ ِريْب‬mengandung arti ‫“ بَ ِعيْ ٌد َع ْن َوطَنِ ِو‬jauh dari negerinya”, sedangkan yang

berhubungan dengan bahasa kata ‫ غَ ِريْب‬bermakna ‫ض ِم َن الْ َكالَِم‬ ِ


ُ ‫“ الْغَام‬ungkapan yang tidak jelas”.

Istilah musykil dalam bahasa Arab itu bermakna sesuatu yang musytarak atau mempunyai
makna lebih dari satu (ganda) atau karena sebab yang lain sehingga menimbulkan kekaburan dan
ketidakjelasan ketika membacanya. Oleh karena itu, istilah Musykil al-Hadits juga digunakan
untuk menunjukkan hadits yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.

B. Implikasi
Demikianlah makalah yang telah kelompok kami susun. Kami menyadari bahwasanya
makalah ini memiliki banyak kekurangan, maka dari itu kami meminta kesediaan pembaca untuk
memberikan kritik dan saran.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A. 2013. Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma‟ani al-Hadis. Makassar:
Alauddin University Press.
Almunadi & Adriansyah. 2017. “Metodologi Imam Al-Thahawi dalam Menyelesaikan Musykil
al-Hadis dengan Pendekatan Mubham al-Hadis”. Dalam El-Afkar: Jurnal Pemikiran
Keislaman dan Tafsir Hadis (Online), Vol.6 (2), hlm. 65-74. Tersedia:
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/elafkar/article/view/2338 (Diunduh pada 11
Maret 2021).
Ghozali, A.M. 2014. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam Ta‟wil
Mukhtalaf Al-Hadis”. Dalam Kalam (Online), Vol.8 (1), hlm. 119-140. Tersedia:
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/173 (Diunduh pada 13
Maret 2021).
Habib, U. 2013. “Kajian Al-Qur'an dan Hadis”. (Online). Tersedia:
https://ukihabib.blogspot.com/2013/09/makalah-ilmu-maanil-hadis.html?m=1 (Diunduh
pada 9 Maret 2021).
Hasnah, Y. 2014. “Problematika Gharîb dalam Bahasa Arab”. Dalam Alfaz: Arabic Literatures
for Academic Zealots (Online), Vol.2 (2), hlm. 105-115. Tersedia:
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alfaz/article/view/608 (Diunduh pada 9 Maret
2021).
http://repository.uin-suska.ac.id/20790/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf (Diakses pada 11
Maret 2021)
Huda, M.K. 2016. “Paradigma Metode Pemahaman Hadis Klasik dan Modern: Perspektif
Analisis Wacana”. Dalam Refleksi (Online), Vol.15 (1), hlm. 29-62. Tersedia:
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/refleksi/article/view/9704 (Diunduh pada 9 Maret
2021).
Malula, M. 2019. “Ma‟nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil
(Telaah Pemikiran dan Aplikasi Hermeneutika Sahiron Syamsuddin)”. Dalam Jurnal
Ilmiah Citra Ilmu (Online), Vol.15 (29), hlm. 29-38. Tersedia:
http://ejournal.stainutmg.ac.id/index.php/JICI/article/view/65 (Diunduh pada 11 Maret
2021).
Nurdin. 2020. “Mukhtalifil Hadis”. Dalam Jurnal UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
(Online), hlm. 1-13. Tersedia:
file:///C:/Users/USER/Downloads/MUKHTALIFIL%20HADIST-dikonversi.pdf
(Diunduh pada 11 Maret 2021).
Wafa, A. 2015. “Kejujuran Jembatan Menuju Surga (Jannah)” (Online). Tersedia:
https://www.kompasiana.com/aliwafa11/550f4e33a33311a12dba844b/kejujuran-
jembatan-menuju-surga-jannah (Diunduh pada 13 Maret 2021).

17
Wahid, A. 2013. “Metode Penelitian dan Pemahaman Hadis Musykil”. Dalam Substantia: Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin (Online), Vol.15 (2), hlm. 190-205. Tersedia: https://jurnal.ar-
raniry.ac.id/index.php/substantia/article/view/4894 (Diunduh pada 11 Maret 2021).
Zahrah, N.S. 2020. “Gharib al-Hadits sebagai Embriologi Syarah Hadits dan Transformasinya”.
Dalam El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis (Online), Vol.9 (1), hlm.
127-141. Tersedia:
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/elafkar/article/view/2615 (Diunduh pada 9
Maret 2021).

18
Tugas Kelompok 7

Dosen : Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag.

MA’ANIL AL-HADIS

“Asbab Wurud al-Hadis”

Di Susun oleh :

❖ Muh. Dzulfitrah AR (30300119036)


❖ Jabal Rhisky Nur (30300119010)
❖ Reski Amelia (30300119049)

TAHUN AJARAN 2021


JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang memberikan kita
berbagai nikmat kesehatan, kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tema yakni ASBAB WURUD AL-HADIS.
Shalawat serta salam semoga selalu kita curahkan kepada Nabi akhir zaman,
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang telah membimbing kita ke arah yang benar.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag.. Selain itu, kami berharap dapat mengetahui lebih
mendalam lagi mengenai hal-hal tentang ASBAB WURUD AL-HADIS.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih sangat jauh dari
kata sempurna, berbagai kekurangan seperti kesalahan dalam penulisan, pemikiran,
penggunaan kata, dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari bapak/Ibu dosen dan rekan-rekan sekalian agar kami dapat
menjadikannya sebagai bahan untuk mengevaluasi makalah kami ini.

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar belakang ...................................................................................... 1


B. Rumusan masalah................................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................................. 1

BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................ 1

A. Pengertian asbab wurud al-Hadis ......................................................... 1


B. Hadis yang memiliki asbabul wurud ................................................... 3
C. Hadis yang tidak memiliki asbabul wurud ........................................... 5
D. Hadis tidak memiliki peristiwa tapi berkaitan dengan hal-hal yang
berkembang .......................................................................................... 6

BAB 3 PENUTUP...................................................................................... 9

A. Kesimpulan .......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 10

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hadis, sebagai sumber hukum yang kedua memiliki peranan penting dalam
ruang lingkup islam, terutama dalam bidang hukum. Dan di dalam memahami suatu
hadis, tidak cukup dengan hanya berpatokan pada teksnya saja. Perlu pemahaman
yang lebih mendalam terhadap konteks hadis itu seperti kepada siapa Nabi
Muhammad SAW menyampaikan hadis itu, dan yanh lainnya. Sebab tanpa
memperhatikan hal-hal yang seperti ini, akan membuat seseorang kesulitan atau
bahkan salah dalam menanggapi suatu hadis. Dan oleh karena itulah, asbabul wurud
ini menjadi salah satu bidang ilmu yang penting dalam memahami suatu.
B. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah antara lain :


1. Apa pengertian Asbabul wurud
2. Mengetahui contoh hadist yang disertai peristiwa
3. Mengetahui contoh hadist yang tidak disertai peristiwa
4. Mengetahui contoh hadist yang disertai oleh peristiwa tetapi tidak berkaitan
dengan hal-hal yang berkembang
C. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul asbabul wurud ini tidak lain
adalah untuk memberikan informasi atau ilmu tentang asbabul wurud suatu hadist
yang dimana asbabul wurud ini merupakan salah satu ilmu yang paling penting
didalam memahami suatu hadist mengapa hadist tersebut dikeluarkan atau
disabdakan ole nabi Muhammad SAW.

1
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbab Wurud al-Hadits

Asbab wurud al-hadits merupakan susunan idafah, yang terdiri dari


tiga unsur kata, yaitu asbab, wurud dan al-hadis. Asbab adalah bentuk
jam‘(fulral) dari sabab, yang berarti dengan al-habl (tali), saluran yang
artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan
benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah: ‫كل شيء يتوصل به الي غايته‬
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”. Ada juga yang
mendifinisikan dengan: suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
ada pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud bisa berarti
sampai, muncul dan mengalir seperti:‫“ الماء الذي يورد‬Air yang memancar atau
air yang mengalir.1

Dengan demikian, secara sederhana asbab al-wurud dapat diartikan


sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa
dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbab al- wurud dapat diartikan
sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background) munculnya suatu
hadis.2

Namun ulama memberikan definisi yang beragam terhadap asbab


wurud al-hadis antara lain diungkapkan oleh al-Suyuti dengan:3

1
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 38-39
2
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, h.7
3
Jalal ad-Din al-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Luma’ fi Asbab al-Hadis, ditahqiq Yahya Isma’il
Ahmad (Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiya, 1984), h. 11

1
‫أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو خصوص أو إطالق أو تقييد أونسخ أو‬
‫غير ذالك‬

Sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadis yang
bersifat umum, khusus, mutlak, muqayyad, dan untuk menentukan ada
tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadis” dan sejenisnya.

Jika diteliti secara kritis definsi al-Suyuti lebih mengacuh kepada


fungsi asbab wurud al-hadits. Yakni, untuk menentukan takhsis dari yang
‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada dan
tidaknya naskh dan 2ansukh dalam suatu hadis dan lain sebagainya.

Tampaknya, definisi tersebut kurang tepat jika dipakai untuk


merumuskan pengertian asbab wurud al-hadits. Menurut hemat penulis
perlu menoleh pada pendapat Hasbi Ash-Shiddiqy yang mendefinisikannya
sebagai berikut:4

‫علم يعرف به السبب الذي ورد ألجله الديث والزمان الذي جاء به‬

Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi saw. Menuturkan sabdanya dan


masa-masa nabi saw. Menuturkannya”.

Sementara itu, Yahya Isma‘il Ahmad memberikan definisi asbab


wurud al-hadits yang agak mirip dengan pengertian asbab alnuzul, yaitu:5

‫ما ورد الحديث أيام و قوعه‬

Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaanpertanyaan) yang


terjadi pada waktu hadis itu disampaikan oleh Nabi ‫ﷺ‬.

4
Teungku Muhammaf Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 50
5
al-Suyuti yang ditahqiq oleh Yahya Isma’il Ahmad, al-Luma’ fi Asbab Wurud al-Hadis
(Cet. 1: Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1984 M.), h. 11

2
Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan asbab wurud al-hadis dengan
mengatakan:6

‫ما ورد الحديث متحدثا عنه أيام قوعه‬

Hadis yang muncul karena membicarakan sesuatu yang terjadi pada saat
kemunculannya.

Lain halnya dengan, dia mendefinisikan asbab wurud al-hadis


dengan ungkapan yang berbeda redaksi, namun subtansinya sama, yaitu:7

‫معرفة ما جرى الحديث ثياق بيان حكمه أيام و قوعه‬

Mengetahui apa yang terjadi pada hadis pada saat penyusunan penjelasan
hukum saat terjadinya.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa asbab


wurud al-hadits adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa
atau pertanyaan-pertanyaan yang lainnya yang terjadi pada saat hadis
tersebut disabdakan oleh Nabi ‫ﷺ‬. ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis
untuk menentukan apakah hadis tersebut bersifat khusus, umum, mutlak
atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya. Dengan
demikian, dalam perspektif ini, mengetahui asbab wurud al-Hadits bukanlah
gayah/tujuan, melainkan hanya sebagai sarana untuk memperoleh ketepatan
makna dalam memahami pesan moral suatu hadis.8

B. Hadist yang memiliki asbabul wurud (disertai peristiwa)

‫هللا صلى هللا عليه و سلّم ذَاتَ َي ْو ٍم‬


ِ ‫س ْو ِل‬ ٌ ‫ َب ْينَ َما نَ ْح ُن ُجلُ ْو‬:َ‫ع َم َر رضي هللا عنه أَيضا ً قَال‬
ُ ‫س ِع ْندَ َر‬ ُ ‫ع ْن‬
َ
ٌ‫سف َِر َوالَ يَ ْع ِرفُهُ مِ نَّا أَ َحد‬
َّ ‫علَ ْي ِه أَثَ ُر ال‬
َ ‫ش ْع ِر الَ ي َُرى‬
َّ ‫س َوا ِد ال‬
َ ُ‫ش ِد ْيد‬ ِ ‫اض ال ِث ّيَا‬
َ ‫ب‬ َ ‫علَ ْينَا َر ُج ٌل‬
ِ َ‫ش ِد ْيدُ بَي‬ َ ْ‫إِذ‬
َ ‫طلَ َع‬

6
Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Cet: III; Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M.), h.
334
7
Tarik As’ad Halimi al-As’ad, ‘Ilm Asbab Wurud al-Hadis (Cet. I; Beirut: Dar Ibn Hazm:
1422H./2001 M.), h. 24
8
Said Sagil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, h. 7

3
‫ َيا‬:َ‫علَى فَخِ ذَ ْي ِه َوقَال‬ َ ‫ي ِ صلى هللا عليه وسلم فَأ َ ْسنَدَ ُر ْك َبت َ ْي ِه ِإلَى ُر ْك َبت َ ْي ِه َو َو‬
َ ‫ض َع َكفَّ ْي ِه‬ ّ ‫س ِإلَى النَّ ِب‬
َ َ‫َحتَّى َجل‬
ُ‫(اإل ْسالَ ُم أ َ ْن تَ ْش َهدَ أ َ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هللا‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬،‫اإل ْسالَم‬
ِ :‫سو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ُم َح َّمدُ أ َ ْخبِ ْرنِي‬
ِ ‫ع ِن‬
َ َ ‫ َوت َ ُح َّج البيْتَ ِإ ِن اِ ْست‬، َ‫ضان‬
‫طعتَ ِإل ْي ِه‬ َ ‫ص ْو َم َر َم‬ َ ‫ َوتُؤْ ت‬،َ ‫صالَة‬
َّ ‫ِي‬
ُ َ ‫ َوت‬،َ ‫الزكَاة‬ َّ ‫ َوت ُ ِقي َْم ال‬،‫هللا‬ ُ ‫َوأ َ َّن ُم َح َّمدَا ً َر‬
ِ ‫س ْو ُل‬
،ِ‫ أ َ ْن ت ُؤْ مِ نَ بِاهلل‬:َ‫ قَال‬،‫ان‬ ِ ‫اإل ْي َم‬ َ ‫ فَأ َ ْخبِ ْرنِ ْي‬:َ‫ قَال‬،ُ‫ص ِدّقُه‬
ِ ‫ع ِن‬ َ ُ‫ فَعَ ِج ْبنَا لَهُ يَ ْسأَلُهُ َوي‬. َ‫صدَ ْقت‬ َ :َ‫ قَال‬.ً‫سبِ ْيال‬ َ
‫ع ِن‬ َ :َ‫ َوتُؤْ مِ نَ ِبالقَدَ ِر َخي ِْر ِه َوش ِ َّر ِه قَال‬،‫ َو ْال َي ْو ِم اآلَخِ ِر‬،ِ‫س ِله‬
َ ‫ فَأ َ ْخ ِب ْرنِ ْي‬:َ‫ قَال‬، َ‫صدَ ْقت‬ ُ ‫ َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر‬،ِ‫َو َمالئِ َكتِه‬
‫ َما‬:َ‫ قَال‬،ِ‫عة‬ َ ‫ فَأ َ ْخبِ ْرنِي‬:َ‫ فَإِ ْن لَ ْم ت َ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ يَ َراكَ قَال‬،ُ‫ أ َ ْن ت َ ْعبُدَ هللاَ َكأَنَّكَ ت ََراه‬:َ‫ قَال‬،‫ان‬
َ ‫ع ِن السَّا‬ ِ ‫س‬َ ‫اإل ْح‬
ِ
َ ‫ َوأَ ْن ت ََرى ْال ُحفَاة‬،‫ أ َ ْن ت َ ِلدَ األ َ َمةُ َربَّتَ َها‬:َ‫ قَال‬،‫اراتِ َها‬َ ‫ع ْن أ َ َم‬ َ ‫ْال َمسئ ُ ُو ُل‬
َ ‫ فَأ َ ْخ ِب ْرنِ ْي‬:َ‫ع ْن َها ِبأ َ ْعلَ َم مِ نَ السَّائِ ِل قَال‬
‫ع َم ُر أتَد ِْري َم ِن السَّائِلُ؟‬ ُ ‫ يَا‬:َ‫طلَقَ فَلَبِثْتُ َم ِليَّا ً ث ُ َّم قَال‬ ِ َ‫ط َاولُ ْونَ فِي البُ ْني‬
َ ‫ان ث ُ َّم ا ْن‬ َ َ ‫شاءِ يَت‬
َّ ‫عا َء ال‬ َ ‫ْالعُ َراة َ ْالعَالَةَ ِر‬
ُ ‫ هللاُ َو َر‬: ُ‫قُ ْلت‬
.‫ َر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬.‫ فَإِنَّهُ ِجب ِْر ْي ُل أَت َا ُك ْم يُ َع ِلّ ُم ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم‬:َ‫ قَال‬،‫س ْولُهُ أ َ ْعلَ ُم‬

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu pula dia berkata; pada suatu hari ketika
kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah ‫ﷺ‬, tiba-tiba datang seorang
laki-laki berpakaian sangat putih, dan rambutnya sangat hitam, tidak
terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tidak seorang pun dari
kami yang mengenalnya, kemudian ia duduk di hadapan Nabi ‫ ﷺ‬dan
mendekatkan lututnya lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya,
seraya berkata: ‘Wahai Muhammad jelaskan kepadaku tentang Islam?’
Nabi ‫ ﷺ‬menjawab: ”Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya, engkau menegakkan shalat, menunaikan
zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah Al Haram jika engkau mampu
mengadakan perjalanan ke sana.” Laki-laki tersebut berkata: ‘Engkau
benar.’ Maka kami pun terheran-heran padanya, dia yang bertanya dan dia
sendiri yang membenarkan jawabannya. Dia berkata lagi: “Jelaskan
kepadaku tentang iman?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “(Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir
serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” Ia berkata: ‘Engkau
benar.’ Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi: ‘Jelaskan kepadaku

4
tentang ihsan?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Ihsan
adalah) Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-
Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sungguh
Diamelihatmu.” Dia berkata: “Beritahu kepadaku kapan terjadinya
kiamat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidaklah orang
yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.” Ia berkata: “Jelaskan
kepadaku tanda-tandanya!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya dan jika engkau
mendapati penggembala kambing yang tidak beralas
kaki dan tidak pakaian saling berlomba dalam meninggikan bangunan.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemudian laki-laki itu pergi, aku pun
terdiam sejenak.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadaku: “Wahai ‘Umar, tahukah engkau siapa orang tadi?” Aku pun
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan
agama ini kepada kalian.” (HR Muslim) Diriwayatkan oleh Muslim.

Asbabul wurud dari hadist ini ialah Ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬Bersama


para sahabat-sahabatnya sedang duduk maka tiba-tiba didatangi oleh
seseorang yang berpakain putih dan berambut hitam lantas kemudian
bertanya kepada nabi perihal islam,iman,ihsan dan tanda-tanda hari kiamat
maka rasulullah pun menjawab semua pertanyaan laki-laki tersebut yang
dimana laki-laki tersebut merupakan malaikat Jibril yang merubah
wujudnya sebagai manusia.

C. Hadis yang tidak memiliki asbabul wurud (yang tidak disertai peristiwa)

Sebelumnya telah di jelaskan mengenai hadis yang dengan asbabul


wurud. Namun, tidak semua matan hadis memiliki asbabul wurud atau

5
sebab adanya hadis itu, dengan kata lain, matan hadis itu muncul dengan
sendirinya9. Seperti dalam hadis berikut ini :

َ‫ارذَات‬
ِ ‫ص‬َ ‫سلَّ َم قَا َل ِلأل َ ْن‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع ْنهُ أ َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ َ ُ‫ضى هللا‬
ِ ‫ارى َر‬
ِ ‫ص‬َ ‫ع ْوفٍ اْأل َ ْن‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫ع ْمرو ب ِْن‬ َ
‫علَ ْي ُك ْم‬ َ ‫ َولَ ِكنِّى أ َ ْخشَى أَ ْن ت ُ ْب‬، ‫علَ ْي ُك ْم‬
َ ‫س‬
َ ‫ط الدُّ ْن َيـا‬ َ ‫هللا َما ْالفَ ْق ُر أ َ ْخشَى‬
ِ ‫ فَ َو‬، ‫س ُّر ُك ْم‬ ُ ‫ أَ ْبش ُِروا َوأ َ ِ ّمـلُوا َما َي‬:‫َي ْو ٍم‬
)ِ‫علَ ْيه‬ َ ‫ ( ُمت َّفَ ٌق‬.‫ فَت ُ ْه ِل ُك ُك ْم َك َما أَ ْهلَ َكتْ ُه ْم‬، ‫سوهَا‬
ُ َ‫سوا َك َما تَنَـاف‬ ُ َ‫ فَتَنَـاف‬، ‫علَى َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم‬ َ ‫ت‬ْ ‫ط‬ َ ‫َك َما بُ ِس‬

Artinya :

Dari 'Amru Bin 'Auf Al Anshary, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda


kepada orang-orang Anshar pada suatu hari: Bergembiralah kamu
sekalian, nescaya kamu akan mendapati apa yang kamu inginkan; Demi
Allah, bukanlah kefakiran yang lebih aku takuti (menimpa) kamu, tetapi aku
takut (kalau) dunia ini dibentangkan keatas kamu (diberi kekayaan dan
dimurahkan rezeki) sebagaimana dia telah dibentangkan keatas orang-
orang sebelum kamu; maka kamupun berlumba-lumba (mencari) nya
(dunia) sebagaimana mereka berlumba-lumba dengannya, lalu duniapun
memusnahkan kamu sebagaimana dia memusnahkan mereka. (Muttafaq
'Alaihi)

Dalam matan hadis di atas tidak terdapat asbabul wurud yang jika
ditinjau dari macam-macam asbabul wurud yakni sebab yang berupa al-
Qur’an, al-Hadis dan sebab yang berupa keterkaitan10 tidak terdapat dalam
hadis di atas.

D. Hadis Nabi dilihat dari asbab al-wurud-nya ( yang tidak disertai oleh
peristiwa tetapi berkaitan dengan hal-hal yang berkemban )

9
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-
hadits.html?m=1&zx=8d5c00ddb61d0ce6
10
Muhammad Ali, “Asbab Wurud al-Hadis”, TAHDIS, Volume 6 Nomor 2, Tahun 2015,
hal. 87-89,

6
Berdasarkan hadis yang ingin dibahas mengenai poin yang ketiga
ini, maka hadis yang diambil yakni hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah
mengenai Tawdih al-Musykil (memperjelas suatu yang musykil) yaitu :

‫ َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِۃ‬, ‫ِب‬


َ ‫ ( َم ْن ُحوس‬: ‫هللا‬
ِ ‫س ْو ُل‬ ْ َ‫عاءِ ِش ِۃ قَال‬
ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ت‬ َ ,‫هللا ب ِْن أَ ِب ْي ُملَ ْي َك َۃ‬
َ ‫ع ْن‬ َ ‫ع ْن‬
ِ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع ْن أَي‬
َ ,‫ُّوب‬ َ
َ ‫ لَي‬: ‫ فَقَ َل‬8 : ‫سبًا يَ ِسي ًْر ) اإلنشقاق‬
‫ْس‬ َ ِ‫سبُ ح‬ َ ‫ف يُ َحا‬ َ َ‫ ( ف‬: ‫ع َّز َو َج ّل‬
َ ‫س ْو‬ َ ‫ أَلَي‬: ُ‫ب ) فَقُ ْلت‬
َ ‫ْس قَدْ قَا َل هللا‬ َ ّ ‫عذ‬
ُ ,
.‫ب‬ َ ّ ‫عذ‬ُ ‫ب َي ْو َم ْال ِق َي َما َم ِۃ‬ َ ِ‫ِش ْالح‬
َ ‫سا‬ َ ‫ َم ْن نُ ْوق‬, ‫ض‬ُ ‫ ِإنَّ َما ذَاكِ ال َع ْر‬, ُ‫ساب‬ َ ِ‫ذَاكِ الح‬

Artinya :

“Dari Ayub dari „Abdillah bin Aby Mulaikah dari „Aisyah ia berkata:
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Barangsiapa yang dihisab pada hari Kiamat maka
ia akan diazab. Maka saya bertanya: Wahai Rasulullah ‫ﷺ‬, bukankah Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman: Maka ia menghadapi hisab yang mudah?
al-Insyiqaq ayat 8. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Ayat itu bermaksud tidaklah ia
dihisab melainkan amalnya yang diperlihatkan, barangsiapa yang
diperdebatkan hisabnya pada hari kiamat maka ia akan mendapat azab”.

Sebab wurūd-nya sabda Nabi ‫ ﷺ‬dalam hadis tersebut adalah berupa


sebuah pertanyaan dari Aisyah mengenai kemusykilan sebuah ayat al-
Quran. Setelah dijelaskan, maka dapatlah dipahami bahwa yang
dimaksudkan Nabi ‫ ﷺ‬itu adalah suatu penjelasan bagi ayat al-Quran dan
bukannya pertentangan antara ayat al-Quran dan hadis.

Berdasarkan apa yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dilihat


bahwa fungsi asbāb al-wurūd sangat memberi pengaruh yang besar dalam
memahami hadis. Tanpa mengetahui asbab al-wurud, sudah tentu sulit
untuk mengetahui secara lebih detail kehendak dan kemahuan suatu hadis
tersebut. Jika tidak melihat pada asbāb alwurūd sudah tentu orang tidak akan
mengetahui atau memahami hadis yang umum, hadis yang memiliki arti
yang mutlak, hadis yang maknanya global, hadis yang ada nasikh dan

7
mansūkh, hadis yang memiliki „illat suatu hukum dan hadis yang
mempunyai kemusykilan.

Maka, dengan mengetahui asbāb al-wurūd dapatlah diketahui


perkara yang khusus dalam hadis yang umum, dapat mengetahui batasan
bagi hadis yang memiliki arti yang mutlak, dapat mengetahui perincian bagi
hadis yang global, dapat mengetahui ketentuan suatu nasakh dalam hadis,
dapat menjelaskan tiap-tiap hukum yang mempunyai „illat dan dapat
menyelesaikan masalah hadis yang mempunyai kemusykilan.

8
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Asbabul wurud al-Hadis merupakan konteks historisitas


yang melatar belakangi munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa
peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadis itu di
sampaikan nabi SAW. Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah
faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya suatu hadis. Dan
sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadis, asbabul wurud
mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka
memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang
mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti
tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.

9
DAFTAR PUSTAKA

https://haditsarbain.com/hadits/rukun-islam-iman-dan-ihsan/
http://journal.uinalauddin.ac.id/index.php/tahdis/article/download/7143/58
78
http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al
hadist.html?m=1&zx=8d5c00ddb61d0ce6
repository.ar-raniry.ac.id › M...PDFmetode pemahaman hadis nabi dengan
mempertimbangkan asbᾱb al-wurūd
http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/07/asbabul-
wurud.html?m=1
Muhammad Ali, “Asbab Wurud al-Hadis”, TAHDIS, Volume 6 Nomor 2, Tahun
2015, hal. 87-89,

http://sepharonaldo.blogspot.com/2010/05/asbabul-wurud-al-
hadits.html?m=1&zx=8d5c00ddb61d0ce6

10
MA’ANIL HADITS
“HADIST DILIHAT DARI SEGI KEDUDUKAN DAN FUNGSI NABI”

OLEH : KELOMPOK 8

Norman Hidayahtullah (30300119032)


Putri Amelia (30300119033)
Muh.Akram Wahid (30300119044)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT, DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-
Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah
berjudul Hadis Nabi dilihat dari kedudukan dan fungsinya. Tidak lupa shawalat serta salam
tercurahkan bagi Baginda Agung Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.

Adapun penulisan makalah berjudul “Hadis Nabi dilihat dari kedudukan dan fungsinya”
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Maanil al-Hadis. Penulis tidak hanya membahas
kududukan dan fungsinya tetapi disertai dengan dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta membantu penyelesaian
makalah. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekaligus
menumbuhkan rasa cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat
dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………. 2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………… 3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………… 4

A. Latar Belakang………………….…………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah…………….……………………………………….…………….. 4
C. Tujuan …………………………..…………………………………………………… 5

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….. 6

A. Nabi Sebagai Rasulullah………………………………………………………..……. 6


B. Nabi Sebagai Hakim…………………………………………………………………..10
C. Nabi Sebagai Pribadi …………………………………………………………………11

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………. 13

A. Kesimpulan……………………………………………………………………….…. 13
B. Saran ………………………………………………………………………………… 13

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….……. 14

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat
dari sudut periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan.

Untuk Al-Qur’an semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir.


Sedangkan periwayatan Hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian
lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sinilah timbul berbagai pendapat
dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau
bahkan dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan yang
didapatkan, akan tetapi sebaliknya perpecahan yang terjadi.

Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, Hadits selalu menjadi
rujukan kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman.
Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad
SAW wafat. Maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits.
Sehingga hal tersebut memunculkan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari
akan kebenaran Hadits sebagai sumber hukum. Banyak al-qur’an dan hadits yang
memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum islam selain al-
qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk perintah, maupun larangan nya. Dan
Hadits merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al-Qur’an. yang karenanya, siapapun tidak
akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memehami dan menguasai Hadits. Begitu
pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an akan kehilangan arah, karena Al-
Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang berisi garis besar syariat Islam. Makalah
ini akan memaparkan tentang kedudukan hadis dan fungsinya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Hadis Nabi sebagai Rasulullah?


2. Bagaimana Hadis Nabi sebagai Hakim?
3. Bagaimana Hadis Nabi sebagai Pribadi?

4
C. Tujuan

Untuk mengetahui hadis nabi dilihat dari segi kedudukan dan fungsi Nabi

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Nabi Sebagai Rasulullah saw.

Dalam memahami hadis Nabi saw. seorang pencinta hadis harus memahami dan
meneliti hadis Nabi tersebut, apakah hadis itu ketika diucapkan, beliau berkapasitas
sebagai Nabi atau Rasul?. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan tapi sangat dibutuhkan
dalam memahami hadis-hadis Rasulullah saw. Karena Nabi adalah manusia layaknya
manusia yang lain tentunya memiliki sifat sebagaimana manusia umumnya, yang terkadang
keliru dalam mengambil sebuah kebijakan mengangkut masalah keduniaan. Hal ini
tergambar dalam sabda beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
“bahwasanya Ummu Salamah ra., istri Nabi saw, memberitakan dari Rasulullah saw.
bahwasanya beliau mendangar pertengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau
keluar menemui mereka, kemudian beliau bersabda:

‫إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له‬
‫بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركه‬

Artinya: Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya).


Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja
sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargumen) daripada
yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar, lalu saya
putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya
dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah
potongan bara api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya. Penulis
akan kemukakan beberapa hadis mengenai suatu hadis ketika disabdakan beliau
berkapasitas sebagai Nabi dan Rasul. Diantaranya sebagai berikut :

a. Keistimewaan Nabi saw.

‫ فضلت على األنبياء بست أعطيت جوامع الكلم‬:‫عن أبي هريرة أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال‬
‫ونصرت بالرعب وأحلت لي الغنائم وجعلت لي األرض طهورا ومسجدا وأرسلت إلى ا لخلق كافة وختم‬
. ‫بي النبيون‬

Artinya: Dari Abu hurairah R.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

6
“Aku diberikan keutamaan oleh Allah Swt di atas para Nabi lainnya dengan
enam hal: Aku dibekali jami’ al- kalim (kemampuan untuk berbicara singkat namun
mengandung makna yang padat/luas). Aku ditolong oleh Allah Swt dengan rasa takut,
cemas dan gelisah di hati musuh- musuhku. Ganimah (harta rampasan perang) dijadikan
halal untukku. Bumi dijadikan masjid bagiku, dan tanahnya suci untuk bersuci. Aku diutus
kepada semua makhluk (jin dan manusia) pada umumnya. Dan aku dijadikan sebagai
penutup/ pengakhir para Nabi.

Hadis lain;

‫ أن النبي صلى هللا عليه و سلم قال )أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي نصرت‬:‫أخبرنا جابر بن عبد هللا‬
‫بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي األرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من أمتي أدركته الصالة‬
‫فليصلوأحلت لي المغانم ولم تحل ألحد قبلي وأعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت‬
‫إلى‬

)‫الناس عامة‬
Artinya : Jabir bin Abdullah telah menceritakan bahwasanya Rasulullah saw.
Bersabda : “Saya dikaruniai (oleh Allah) lima hal,yang belum pernah
dikaruniakan kepada selain saya. Saya ditolong (dalam peperangan,sehingga ) perasaaan
musuh (dalam peperangan) menjadi gentar (menghadapi saya) dalam masa peperangan
yang memakan waktu sekitar sebulan; bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi
saya dan karenanya, siapa saja dari ummatku yang mendapatkan waktu shalat,maka
hendaklah dia shalat (di bumi mana saja dia berada); dihalalkan bagi saya harta rampasan
perang, sedang sebelum saya harta tersebut diharamkan; saya dikaruniai kemampuan
memberi syafa`ah; dan Nabi (sebelum saya) dibangkit untuk kaum (bangsa) tertentu,
sedangkan saya dibangkit untuk manusia secara umum (seluruhnya).

Secara tekstual kedua hadis tersebut memberi informasi tentang keutamaan Nabi
Muhammad saw. dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan itu bersifat
universal. Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan itu berada dalam
kapisitasnya sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin
didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata didasarkan atas petunjuk wahyu
Allah. Pertimbangan yang demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi
saw.sebagai rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sakali. Dengan demikian,

7
salah satu indikator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh Nabi Saw. Dalam kapasitasnya
sebagai Rasulullah adalah hadis bersangkutan tidak mungkin atau sulit didasarkan atas
pertimbangan rasio, tetapi semata-mata atas petunjuk wahyu Allah.

b. Hadis Tentang Para Pelukis

‫حدثنا الحميدي حدثنا سفيان حدثنا األعمش عن مسلم قال كنا مع مسروق في دار يسار بن نمير فرأى فيصفته‬
‫ سمعت النبي صلى هللا عليه و سلم يقول )إن أشد الناس عذابا عند هللا‬:‫تماثيل فقال سمعت عبد هللا قال‬

(.‫يوم القيامة المصورون‬

Artinya :“(Hadis riwayat) dari Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah saw. telah
bersabda : “sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat
Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Berbagai hadis Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk
bernyawa itu dinyatakan dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah. Dikatakan demikian ,
tegasnya , karena dalam hadis itu dikemukakan berita tentang nasib masa depan para
pelukis di hari kiamat kelak. Dengan demikian, hadis yang mengandung berita masa depan
di hari kiamat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator sebuah hadis dinyatakan oleh
Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah.

Dalam realitas kehidupan sekarang ini banyak ditemukan rumah-rumah yang dihiasi
dengan lukisan dan patung yang bernyawa baik di dalam maupun di halaman rumah bahkan
di bangunan kota dan fasilitas umum lainnya. Keadaan seperti ini menjadikan seni lukis
sebagai kebutuhan hidup di era modern yang tidak bisa terhindarkan. Pada Ilmu
Kedokteran, Georafi, Biologi, Fisika dan lain-lain sangat diperlukan. Ketika merespon
hadis Nabi tersebut mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok
yang melarang lukisan secara mutlak. Kelompok kedua, kelompok yang membolehkan
lukisan secara mutlak. Kelompok pertama memahami hadis tersebut secara tekstual.
Sedangkan kelompok kedua memahami hadis tersebut Musykil di era modern ini serta
bertentangan dengan rasio dan nalar karena tidak akomodatif terhadap perkembangan
zaman padahal ajaran Islam cocok untuk semua zaman dan tempat.

8
Hadis tersebut sangat terkait dengan pratek keagamaan masyarakat pada saat hadis itu
disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum terlepas dari kepercayaan Animisme dan
Politeisme (mensyerikatkan Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan semacamnya.
Dalam kapasitas Nabi sebagai Rasul, Nabi berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas
dari kemusyrikan atau pratek keagamaan yang menyesatkan itu. Salah satu yang ditempuh
adalah mengeluarkan larangan memprodusi dan memajang lukisan atau patung makhluk
yang bernyawa. Jika tidak dikeluarkan larangan seperti itu, maka akan sulit melepaskan
kepercayaan lama. Jadi, hadis ini sebenarnya secara antropologis disabdakan dalam kondisi
masyarakat transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme kepercayaan monoteisme,
dari watsaniyyah ke tauhid,sehingga perlu adanya larangan secara keras terhadap pratek
yang sangat potensial dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.

Kalau ‘illat al-hukum-nya demikian , maka pada saat umat Islam tidak lagi
dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan , khususnya dalam bentuk penyembahan
dalam lukisan , membuat dan memajang lukisan diperbolehkan .

Kaidah ushul fiqih menyatakan:

‫الحكم يدور مع العلة ؤجودا وعدما‬

Artinya: “Hukum itu berputar pada ‘illatnya, keberadaan dan ketiadaannya”.

Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illatnya, bila ‘illatnya ada, maka
hukumnya tetap ; dan bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun berubah.

a. Hadits dari Abdullah bin Umar, berbunyi:

‫ َل يزال هذا األمر في قريش ما بقي‬: ‫ عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما‬
. ‫منهم اثنان‬

Artinya: Dari Abdullah bin Umar , Rasulullah SAW . bersabda :”Dalam urusan
(beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi
pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja. (HR.Bukhari,
Muslim,dan Ahmad).

b. Hadis dari Anas bin Malik, berbunyi:

9
‫لهم‬
َ ‫س‬ َ ‫عل ْيََ ِه َو‬َ َُ‫صلهى هالل‬ َ ‫ َف َجا َء رسول هللا‬، ‫ار‬ ِ ‫ص‬ ْ
َ ََ‫األن‬ َ‫ت َر ُج ٍل مِ ن‬ ِ َْ‫بي‬َ ‫ ُكنها فِي‬: ‫ع ْن أن ٍَسََ َقا َل‬
َ
‫ َو َل‬، ‫عل ْيََ ُك ْم َح ٌّق‬ َ ‫ئ همِ ةُ مِ ْن‬
َ ‫ َولهََُ ْم‬، ‫قرَُ ي ٍْش‬ َ ‫ األ‬: ‫ فقَ ََ ا َل‬، ‫ب‬ ِ ‫ضادتَي ِ ْال َبا‬ ِ ، َ‫ف فَأخَََ ذ‬
َ َِ ‫بع‬ َ َ‫َحتهى َوق‬
ْ ‫ َما ِإذا َ اس‬، َ‫ُك ْم مِ ثْ ُل ذ ِلََ ك‬
، ‫ْترَُ حِ ُموا َرحِ ُموا‬

ِ‫ َو ْال َمالئَكِ ََ ة‬، ِ‫ع ْل ذ ِلََ كَ مِ ْن ُه ْم ف َعََ ل ْيََ ِه ل ْعََ نَةُ هللا‬ َ ‫فمََ ْن لَ ْم‬
َ َْ‫يف‬ َ ، ‫فهوا‬
ْ ‫َدوا َو‬ َ َ ‫ َوإِذا‬، ‫عدلَ ُوا‬
ُ ‫ع اه‬ َ ‫َوإِذا َ َح َك ُموا‬
. َ‫النهاس أجََْ َمعِين‬
ِ ‫ َو‬،

Artinya: Anas berkata: kami berada di rumah salah seorang sahabat Anshar,
Nabi saw datang dan berhenti kemudian memegang tiang pintu lalu bersabda: “ para
pemimpin itu adalah dari suku Quraisy, mereka memiliki hak atas kamu dan kamu memiliki
hak yang sama. Ketika kamu meminta belas kasih, mereka (memberi) belas kasih. Ketika
mereka memerintah, mereka adil, dan ketika mereka berjanji, mereka menepati.
Barangsiapa dari mereka yang tidak berbuat demikian maka laknat Allah dan Malaikat serta
seluruh manusia. (HR. Ahmad).

Apabila kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka


dapat dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan , Nabi berada dalam fungsinya
sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat, yang menjadi indikasi (qarinah) antara
lain adalah ketetapan yang bersifat primordial ,sangat mengutamakan suku Quraisy. Hal itu
tidak sejalan dengan , misalnya, petunjuk Al-qur’an yang menyatakan bahwa yang paling
utama di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Mengutamakan suku Qiraisy memang
bukan ajaran dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi hadis itu dikemukakan sebagai
ajaran yang bersifat temporal.

B. Nabi Sebagai Hakim

Adakalanya suatu hadis dinyatakan Nabi saw dalam kapasitas beliau sebagai hakim
atau manusia layaknya manusia yang lain. Sebagai contoh adalah hadis Nabi tentang
keterbatasan pengetahuan hakim, berbunyi:

‫إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له‬
‫بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركها‬

10
Artinya: Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya).
Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja
sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargumen) daripada
yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar, lalu saya
putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya
dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah
potongan bara api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya. (HR.
Jama’ah).

Hadis tersebut memberi petunjuk atas pengakuan Nabi saw sebagai manusia layaknya
manusia umumnya dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, Nabi
mengaku memiliki kekurangan, mungkin saja dapat dikelabuhi oleh kepintaran pihak yang
berperkara dalam mengemukakan argumentargumennya untuk memenangkan perkara.
Walaupun, sesungguhnya apa yang dia katakan itu tidak benar. Dalam mengadili perkara,
pengetahuan Nabi terbatas pada apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang berperkara
berdasarkan bukti-bukti yang mereka ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai
akibat dari kepintaran dari pihak yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak
yang berhasil mengelabuhi Nabi tersebut.

Apa yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh Nabi saw. tersebut
bersifat universal. Akan tetapi, keputusan yang ditetapkan oleh hakim disuatu segi mungkin
bersifat universal, temporal, ataupun lokal, sedangkan di segi yang lain, keputusan hakim
itu mungkin benar dan mungkin tidak benar. Dengan demikian, hadis Nabi tersebut
dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai hakim.

C. Nabi Sebagai Pribadi

Dalam kapasitas beliau sebagai manusia layaknya manusia yang lain, banyak pernyataan
Nabi saw, yang berkaitan dengan beliau ketika beliau menyabdakan hadis tersebut layaknya
manusia umumnya. Contoh;

‫ أنه رأى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه‬:‫عن عباد بن تميم عن عمه‬
. ‫على األخرى‬

11
Artinya: Dari Ubad bin Tamin dari pamannya (Abdullah bin Zaid) bahwasanya
dia telah melihat Rasulullah saw. Berbaring dalam mesjid sambil meletakkan kaki yang
satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari,Muslim, dan Ahmad).

Secara tekstual, hadis di atas menunjukkan bahwa cara Nabi Saw. Berbaring
dalam posisi meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Pada saat itu tampaknya
Nabi sedang merasa nyaman dengan berbaring dalam posisi seperti yang digambarkan oleh
hadis di atas, meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain.Perbuatan itu dilakukan oleh
Nabi Saw. Dalam kapasitas beliau sebagai pribadi.

Menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis
itu terjadi, selain dimungkinkan juga sangat membantu untuk memahami kandungan
petunjuk hadis Nabi secara benar. Hanya saja, usaha yang demikian itu tidak mudah
dilakukan dan tidak mudah disepakati oleh ulama. Pada sisi lain, menghubungkan
kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi menunjukkan
bahwa tidak semua hadis Nabi dapat dipahami secara tekstual, tetapi kadang menghendaki
pemahaman kontekstual. Itu berarti bahwa kandungan hadis Nabi ada yang bersifat
universal, temporal, atau lokal.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Klasifikasi hadis Nabi menurut kedudukan dan fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis
itu di memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan. Kedudukan hadis Nabi dapat
senatiasa dipahami Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya
sebagai Rasulullah, ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya. Untuk
hadis yang dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai seorang kepala Negara
dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana
baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi
ketentuan syariat yang bersifat umum.

B. Saran
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan
dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah
diatas.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.tongkronganislami.net/diskursus-kedudukan-hadis-sebagai-
sumberajaran-islam/

https://tahdits.wordpress.com/2013/01/09/memahami-kandungan-hadis-dihubungkan-
dengan-fungsi-nabi-muhammad-saw/

14
1

ILMU MA’ANI AL H ADIS


H adits Nabi dilihat dari segi pihak yang
dihadapi

Dosen pembimbing : DR. H. Mukhlis Mukhtar M.Ag.

DISUSUN OLEH:
ZULFIKAR
30300119008
NUR WAHYUNITA
30300119016

ALFIAN NOOR
30300119038

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT & POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2021
2

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, Segala Puji dan Syukur Kami Panjatkan Kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufik serta Hidayah-Nya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan, Shalawat dan taslim kami sanjungkan kehadirat
junjungan kita Nabiullah Muhammad saw. Keluarga, beserta sahabat-sahabatnya.
Makalah ini di susun untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah Ma‟anil al-
Hadits tentang Hadis Nabi dilihat dari segi orang yang di hadapi. Penyusun menyadari
kehadiran makalah ini masih perlu pemantapan secara konstruktif pada beberapa
bagian. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi penyusunan makalah berikutnya yang lebih baik.
Samata, 13 Maret 2021

Penulis

(kelompok IX)
3

DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
A. Latar belakang ......................................................................................................4
B. Rumusan masalah..................................................................................................4
C. Tujuan ..................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................6
A. Perbedaan latar belakang budaya yang dihadapi ....................................................6
B. Perbedaan Keyakinan/Iman.................................................................... ....7
C. Perbedaan kapasitas Intelektual ..............................................................................9
D. Perbedaan kondisi psikologis ...............................................................................10
BAB III PENUTUUP ...................................................................................................14
A. Kesimpulan..........................................................................................................14
B. Implikasi..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................15
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah untuk semua umat manusia,
didalam diri beliau terdapat suri tauladan yang baik bagi umatnya. Allah
juga telah menerangkan didalam kitab-Nya bahwa Nabi Muhammad diutus
tidak lain adalah sebagai Rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana yang
tertulis didalam
QS. Al-Anbiya :107
َ‫س ْل ٰنكَ ا اَِّل َر ْح َمةً ِللْ ٰعلَ ِميْن‬
َ ‫َو َما ٓ ا َ ْر‬
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi seluruh alam”1

Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Nabi Muhammad dibekali wahyu


oleh Allah berupa kitab suci Al-Qur‟an yang menjadi pedoman beliau dalam
menyampaikan ajarannya kepada umat manusia. selain Al-Qur‟an, Nabi juga
menggunakan hadits sebagai pelengkap dalam menyampaikan ajaran-ajaran
yang beliau bawa tersebut.
Hadits-hadits yang ada ini tidak hanya sekedar memberikan informasi,
tetapi secara implisit mengejak untuk meneladani apa yang diinformasikannya
tersebut. Dengan kata lain, dari hadits-hadits Nabi ini kita meneladani dan
mempraktekkan segala kepribadian dan perilaku Nabi dalam kehidupan kita
sehari-hari.Dan didalam makalah ini kami akan mencoban untuk memberikan
pemahaman bagaimana perilaku Nabi Muhammad Saw. dalam menyampaikan
hadits dengan berbagai macam pihak yang beliau hadapi.

B. Rumusan masalah
a. Bagaimana penyampaian hadits dengan perbedaan latar belakang?
b. Bagaimana menyampaikan hadits dengan perbedaan kafasitas iman?
c. Bagaimana penyampaian hadits dengan perbedaan kapasitas intelektual?
d. Bagaimana penyampaian hadits dengan perbedaan kondisi kejiwaan?

C. Tujuan
a. Dapat mengetahui bagaimana penyampaian hadits Nabi dengan perbedaan
latar belakang pihak yang dihadapi

1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al -Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT.Bumi Restu,
1977), h.508
5

b. Dapat mengetahui bagaimana penyampaian hadits Nabi dengan perbedaan


kafasitas iman
c. Dapat mengetahui bagaimana penyampaian hadits Nabi dengan perbedaan
kafasitas intelektual
d. Dapat mengetahui bagaimana penyampaian hadits dengan perbedaan
kondisi kejiwaan
6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan latar belakang budaya yang dihadapi

Salah satu aspek yang patut untuk dipertimbangkan tatkala hendak


mensyarah suatu hadits, terutama jika hadits yang bersangkutan memiliki sebab
wurud adalah kondisi audiens saat hadits diwurudkan, terutama berkaitan
dengan kondisi sosial dan kafasitas intelektualnya. Adapun yang berkaitan
dengan perbedaan tingkat integritas tidak menjadi bagian dari kajian ini karena
mereka yang dinilai tidak memenuhi kriteria keadilan (integritas pribadi), maka
tentu riwayatnya tidak dapat diterimah. Namun demikian, hadits yang
menyangkut tentang perilaku dosa tetap menjadi bagian dari kajian ini.
Misalnya, hadits tentang orang yang suka mencela orang lain, sebagai berikut

Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa‟ad dari ayahnya dari
Humaid bin „Abd al-Rahman dari „Abdullah bin „Amar ra. Berkata;
Rasulullah saw. Bersabda: ‛sesungguhnya termasuk dosa besar adalah
seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri, beliau ditanya; kenapa
hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?‛ beliau menjawab: ‚seseorang
mencela (melaknat) ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas
mencela ayah dan ibu orang yang pertama”

Hadits diatas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. Melarang keras


mencela orang lain, termasuk mencela orang tua sendiri dan orang tua orang
lain. Di dalam hadits tersebut, tidak tampak dalam peristiwa tersebut bahwa
terdapat seorang pelaku atau yang menjadi audiens tatkalah hadits ini
diwurudkan. Artinya, kasus yang mengitari hadits tersebut tidak signifikan akan
mempengaruhi.
7

Perbedaan sahabat juga berpengaruh terhadap hadits-hadits Nabi


saw. Oleh karena itu, mengetahui budaya sahabar-sahabat Nabi saw. Sangat
penting dalam memahami hadits secara kontekstual.

Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Abu al-
Yaman, telah menggambarkan kepada kami Syu’aib dari al-Zuhri
berkata, telah menggambarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah
bun ‘Utbah bin Mas’ud bahwa Abu Hurairah berkata, ‚seorang arab
badwi berdiri dan kencing di masjid, lalu orang-orang ingin
mengusirnya. Maka Nabi saw. Pun bersabda kepada mereka:
‚biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimbah air,
atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk
memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.2

Dalam hadits tersebut tergambar bagaimana Nabi saw. Menghadapi


sikap seorang badwi yang tidak mengerti tentang etika buang air. Budaya
badwi tidak mengenal tentang masjid dan posisinya dalam agama, sehingga
wajar kemudian jika dia buang air di sembarang tempat. Hal tersebut
tergambar dari cara Rasulullah Saw. Menghadapi badwi yang identik dengan
orang primitif tentu dengan budaya primitif pula, sedangkan sahabat Nabi
saw. Mengahadapinya dengan budaya yang sudah maju, yakni budaya yang sudah
mengenal etika modern.2

B. Perbedaan keyakinan/Iman (orang Yahudi dan Nasrani)


Nabi Saw. Selaku manusia yang paling sempurna akhlaknya dan suri
tauladan bagi siapa pun tentu akan memperlakukan orang lain sama dalam
hal interaksi sosial, tanpa memilah dan memilih karena agama, suku, warna
kulit dan jenis kelamin. Perbedaan agama misalnya tidak menghalangi Nabi
Saw. Untuk tetap berbuat baik dan menghormatinya, seperti dalam hadits Nabi
Saw.

2
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013), Hal. 135-137
8

Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Adam telah
menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami
Amar bin Murrah berkata: ‚suatu hari Sahal bin Hunaif dan Qais bin
Sa’ad sedang duduk di Qadisiyah, lalu lewatlah jenazah dihadapan
keduanya, maka keduanya berdiri. Kemudian dikatakan kepada
keduanya bahwa jenaza itu adalah dari penduduk asli, atau dari Ahlu
dzimmah. Maka keduanya berkata : ‚Nabi saw. Pernah jenazah lewat
dihadapan beliau lalu beliau berdiri. Kemudian dikatakan kepada
beliau bahwa itu adalah jenazah orang Yahudi. Maka Beliau
bersabda: bukankah ia juga memiliki nyawa?

Dalam hadits diatas, sangat jelas bagaimana Nabi Saw menghormati


jenaza Yahudi, padahal dalam pandangan sahabat, jenazah non muslim tidak
perlu dihormati, akan tetapi Nabi Saw. Melihat sisi lain dari jenazah tersebut.
Ulama hadits berusaha menakwilkan sikap Nabi Saw. Yang berdiri ketika
jenazah Yahudi lewat. Al-Manawi misalnya mengatakan bahwa yang
dimulikan Nabi Saw. bukan karena agamanya akan tetapi menghormati Allah
SWT. selaku Dzat yang mencabut nyawa, atau paling tidak
menghormati malaikat yang bersama dengan jenazah tersebut atau karena
menganggap kematian sebagai hal yang menakutkan dan mengagungkan hukum
Allah SWT.
Bahkan Al-Asqalani mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan Nabi Saw.
merupakan hal luar biasa baginya karena pada saat penaklukan daerah atau
wilayah, Rasulullah Saw. menetapkan orang-orang non muslim sebagai
pekerja atau memberikan pekerjaan kepada mereka, lebih dari itu, Nabi
Saw. mengangkat mereka sebagai petugas pajak.3

3
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013), Hal 139
9

C. Perbedaan kapasitas Intelektual


Dalam memahami hadits Nabi Saw. , hal urgen yang harus
mendapatkan perhatian adalah kapasitas intelektual audience/ lawan bicara
Nabi saw. Hal tersebut penting karena Nabi saw. Akan berbicara dengan mereka
sesuai dengan kapasitas intelektualnya. Salah satu hadits yang
memperhatikan kapasitas intelektual audience adalah:

Artinya:
Muslim berkata: telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb
telah menceritakan kepada kami Umar bin Yunus al-Hanafi telah
menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Abu Thalhah telah menceritakan kepada kami
Anas bin Malik yaitu pamannya Ishaq dia berkata, ketika kami berada
di masjid bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang Badui
yang kemudian berdiri dan kencing di masjid. Maka para sahabat
Rasulullah saw. Berkata: cukup,cukup. Anas berkata,Rasulullah
Saw. Lantas bersabda:‛ janganlah kalian menghentikan kencingnya
biarkanlah dia hingga dia selesai kencing‛ Kemudian Rasulullah
memanggilnya seraya berkata kepadanya: ‚sesungguhnya masjid ini
tidak layak dari kencing ini dan tidak pula kotoran tersebut. Ia
hanya
untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur’an‛.
Atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Saw. Anas melanjutkan
ucapannya,lalu beliau memerintahkan seorang laki-laki dari para
sahabat (mengambil air), lalu dia membawa air satu ember dan
mengguyurnya.

Hadits diatas jika dipahami tanpa memperhatikan audience, maka


seseorang akan berkesimpulan bahwa tidak boleh melarang seseorang kencing
di masjid, padahal pembiaran Rasulullah Saw. Terhadap seorang badui
untuk kencing hingga selesai karena ketidak tahuannya tentang larangan
kencing dimasjid. Oleh karena itu, Nabi saw. Tidak melarang tetapi membiarkan
9
10

terlebih dahulu hingga selesai, kemudian Nabi saw. Memberitahukan tentang


larangan tersebut.4

D. Perbedaan kondisi psikologis


Dalam memahami hadits Nabi Saw. hal urgen lain yang juga harus
mendapatkan perhatian adalah kondisi psikologis audience / lawan bicara
Nabi Saw. Hal tersebut penting karena Nabi Saw. akan berbicara dengan
mereka sesuai dengan kondisi psikologis audience. Karena bisa jadi Nabi Saw.
memberikan jawaban yang berbeda pada pertanyaan yang sama hanya
karena faktor psikologis audience, seperti pertanyaan yang sama tentang aml
terbaik dengan jawaban yang beragam:

Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepada kami Abd al-Aziz bin
Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin sa’ad dari al-Zuhri
dari sa’id bin al-Muzayyab dari Abu Hurairah ra. Berkata: ditanyakan
kepada Nabi Saw: amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab:
iman kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian ditanya lagi ‚kemudian
apa? Beliau menjawab: al-jihad fi sabilillah. Kemudian ditanya lagi:
kemudian apa lagi?beliau menjawab: Haji Mabrur.

Dalam hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Saw. ketiak ditanya amal
terbaik maka Rasulullah menjawab bahwa amal terbaik adalah beriman kepada
Allah SWT., kemudian jihad dan haji mabrur. Artinya Rasulullah lebih
memilih mendahulukan beriman kepada Allah SWT sebagai amal
terbaik,padahal dalam riwayat Ibn Mas‟ud Rasulullah tidak memasukkan
beriman kepada Allah SWT sebagai amal terbaik. Misalnya hadits:

4
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013), hal 139-140
10
11

Artinya:
Al-Bukhari berkata: telah menceritakan kepadaku Sulaiman telah
mencerutakan kepada kami Syu’ban dari al-walid (dalam jalur lain
disebutkan) telah menceritakan kepadku Abbas bin Ya’kub al-
Asadi telah menggambarkan kepada kami Abbas bin al-Awwam dari
al- syaibani dari al-Walid bin al-Aizar dari Abu Amr al-Syaibani dan
Ibn Mas’ud ra. Bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi
saw. amalan apa yang paling utama? Nabi menjawab: ‚shalat tepat
pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad fi sabilillah

Dalam hadits riwayat Ibn Mas’ud Rasulullah Saw. ketika ditanya


tentang amalan yang terbaik adalah shalat tepat waktu, berbakti kepada kedua
orang Tua, dan jihad dijalan Allah. Artinya riwayat Ibn Mas’ud
menjadikan shalat tepat waktu sebagai amal terbaik bukan beriman kepada
Allah SWT.
Sementara dalam Riwayat Abu Bakar al-siddiq, Rasulullah menjawab
pertanyaan yang sama dengan jawaban yang lain, yaitu:

Ibn Majah berkata: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin


al- Munzir al-Hizami dan ya’qub bin Humaid bin kasib, keduanya
berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Fudaik dari al-
Dahhak bin Usman dari Muhammad bin al-Munkadir dari Abd al-
Rahman bin Yarbu dari Abu Bakar al-Siddiq ra. bahwa Rasulullah
Saw. ditanya:Amal perbuatan apakah yang paling utama? beliau
menjawab ‚mengeraskan suara dengan talbiyah dan
menyembelih hewan kurban.

Lain lagi dengan riwayat Abdullah bin Amar, ketika ditanya


tentang amal terbaik, Rasulullah Saw. menjawab dengan jawaban yang
11
12

berbeda bahwa amal terbaik adalah memberi makan dan memberi salam
kepada siapapun,
misalnya:

Artinya: Ahmad berkata: telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Abu alNadar
keduanya berkata, berkata, telah menceritakan kepada kami Lais telah menceritakan
kepadaku yazid bin Abi Habib dari Abu al-Khairndari Abdullah bin Amar bahwa
ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw.: ‚amalan apakah yang paling baik?‛
Beliau menjawab: memberikan makan dan memberi salam kepada orang yang kamu kenal
dan yang tidak kamu kenal.5

Dari ke-4 matan hadits yang dikutip di atas dapatlah dipahami


bahwa amal yang termasuk lebih utama atau lebih baik itu ternyata bermacam-
macam. Hadits-hadits tersebut dapat pula dipahami bahwa untuk pertanyaan-
pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat saja jawabannya berbeda-beda.
Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat subtantif.
Yang subtantif, menurut Syuhudi, ada dua kemungkinan, yakni (a)
relevansi antara keadaan orang yang bertanya dan materi jawaban yang
diberikan; dan (b) relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu
dengan materi jawaban yang diberikan. Dengan demikian, jawaban Nabi atas
pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada) itu bersifat temporal, tepatnya
kondisional dan bukan universal.

Berdasarkan keterangan diatas, pendekatan yang lebih tepat digunakan


menghadapi hadits-hadits seperti itu (amalan yang utama) adalah pendekatan
psikologis. Yakni Nabi Saw. memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
“amalan apa yang utama” dengan mempertimbangkan keadaan kejiwaan orang
yang bertanya.

Pada kesempatan lain, tatkala Abu Musa al-Giffari bertanya tentang amal
kebajikan yang utama, maka jawaban Nabi adalah hadits Nabi berbunyi:

5
Prof. Dr.H. Arifuddin Ahmad,M.Ag., Metodologi Pemahaman Hadits: Kajian IImu Ma‟ani al-Hadits,
(Makassar: Alauddin University Press, Cet. II, 2013),Hal 141
12
13

Artinya:
Al-Bukhari berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin
Musa dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Abu Murawih dari Abu
Dzarr ra. berkata: aku bertanya kepada Nabi Saw. ‚amal apakah yang
paling utama? Beliau menjawab: Iman kepada Allah dan jihad di
jalan-Nya,Kemudian aku bertanya lagi: ‚pembebasan budak manakah
yang paling utama?. Beliau menjawab: yang paling tinggi harganya
dan yang paling berharga hati tuannya>. Aku berkata :bagaimana jika
aku tidak dapat mengerjakannya?. Beliau berkata: ‚ kamu membantu
orang yang terlantar atau orang bodoh yang tidak mempunyai
keterampilan. Aku berkata lagi: ‚ bagaimana jika aku tidak dapat
mengerjakannya?. Beliau berkata: kamu hindari manusia dari
keburukan karena yang demikian berarti shadaqah yang kamu lakukan
untuk dirimu sendiri

Dari petunjuk hadits Nabi itu dapat dipahami bahwa islam menekankan
pentingnya sikap kepedulian sosial, di samping menghargai keterampilan
(teknologi) dan berbagai kegiatan kreatif dalam upaya meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Bentuk kepedulian itu adalah memberi makan orang yang kelaparan
atau fakir; membantu orang yang memiliki keterampilan agar dia dapat
mengembangkan keterampilannya; dan bila orang yang perlu bantuan itu tidak
memiliki keterampilan, maka hendaklah menciptakan kegiatan, agar orang yang
tidak mampu itu dapat memanfaatkannya (untuk mengatasi kesulitan hidupnya).

Dengan memahami konsep psikologis audience, hadits-hadits yang


kelihatannya berbeda dan berlawanan dapat terselesaikan tanpa harus
mengabaikan salah satu dari sekian hadits-hadits Rasulullah Saw. terlebih lagi
mempertentangkannya hingga harus ada yang diamalkan dan ada yang
ditinggalkan

13
14

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbedaan latar belakang budaya yang dihadapi, bagaimana Rasullah
menghadapi badwi yang identik dengan orang primitif tentu dengan budaya
primitif pula, sedangkan sahabat Nabi saw Mengahadapinya dengan budaya
yang sudah maju, yakni budaya yang sudah mengenal etika modern.
Perbedaan agama misalnya tidak menghalangi Nabi Saw. Untuk tetap
berbuat baik dan menghormatinya. Seperti menetapkan orang-orang non muslim
sebagai pekerja atau memberikan pekerjaan kepada mereka.

Dari petunjuk hadits Nabi itu dapat dipahami bahwa islam menekankan
pentingnya sikap kepedulian sosial. Bentuk kepedulian itu contohnya adalah
memberi makan orang yang kelaparan atau fakir; membantu orang yang
memiliki keterampilan agar dia dapat mengembangkan keterampilannya; dan
bila orang yang perlu bantuan itu tidak memiliki keterampilan, maka hendaklah
menciptakan kegiatan, agar orang yang tidak mampu itu dapat
memanfaatkannya (untuk mengatasi kesulitan hidupnya).
Dengan memahami hadits-hadits yang kelihatannya berbeda dan
berlawanan dapat terselesaikan tanpa harus mengabaikan salah satu dari sekian
hadits-hadits Rasulullah Saw. terlebih lagi mempertentangkannya hingga harus
ada yang diamalkan dan ada yang ditinggalkan.

B. Implikasi
Mungkin inilah yang bisa kami sampaikan pada penulisan makalah
Meskipun penulisan ini jauh dari kata sempurna minimal kita dapat mengambil
manfaat dan ilmu dari tulisan ini. Masih banyak kesalahan dari penulisan yang
kami lakukan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran/kritikan agar
bisa menjadi motivasi kedepannya agar lebih baik lagi

14
15

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arifuddin. 2013. Metodologi Pemahaman Hadits :kajian Ilmu


Ma’ani al-Hadis. Makassar: Alauddin University Press.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an. 1977. Al-Qur’an
dan
Terjemahnya. Jakarta: PT.Bumi Restu.

15
TUGAS KELOMPOK

MAKALAH
“PENGAPLIKASIAN SABDA NABI SECARA UNIVERSAl DAN LOKAL”

Diajukan untuk memenuhi salah tugas mata kuliah MA’ANI Al-HADIST


disusun Oleh :

Siti Nurul Aulya : 30300119012


Muhammad Akramul Insan : 30300119045
Aswan : 30300119050

Dosen Pembimbing
Dr. H. Mukhlis Mukhtar, M.Ag.

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


2019

i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini yang berjudul "Menyeru kebaikan" tepat pada waktunya. Dan tidak
lupa pula kita sanjung pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah
membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.

Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini.

Makassar,16 Mei 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Tujuan ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................


1. Cara Pandang hadis yang bersifat universal......................................... 2
2. Hadis Nabi yang bersifat universal ...................................................... 2
3. Sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu tertentu .............................. 5

BAB III PENUTUP .........................................................................................


A. KESIMPULAN .................................................................................... 8
B. SARAN ................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Muslim telah sepakat, bahwa Hadis Nabi merupakan sumber hukum
kedua umat islam setelah Al-Qur'an. Sebagaimana kita tahu bahwa salah saru fungsi
Hadis yakni sebagai penjelas daripada Al-Qur'an itu sendiri. Hadis Nabi merupakan
segala bentuk ucapan (qaul), perbuatan, serta taqrir dari Rasulullah saw.

Secara historis, Hadis merupakan rangkaian reportase mengenai kejadian masa


lampau. Dalam hal ini, yakni segala sesuatu yang di sandarkan pada sisi Rasulullah
saw.

Sebagaimana kita tahu bahwa hadis ini telah ada pada zaman dahulu, maka kami
akan menjelaskan mengenai bagaimana cara untuk menempatkan hadis pada zaman
universal seperti sekarang ini, karena kita tahu bahwa hadis juga mencakup dari
rangkaian rujukan bagi setiap umat muslim dalam menjalankan keagamaan ini.

B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana memandang hadis yang bersifat universal ini?


2) apa saja sabda Nabi yang bersifat universal?
3) Apa saja sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu tertentu?

C. Tujuan Masalah
1) Untuk melihat cara pandang hadis bersifat universal?
2) Untuk mengetahui sabda Nabi yang bersifat universal
3) Untuk mengetahui sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu tertentu (lokal)

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Cara pandang hadis yang bersifat universal

Segala sesuatu butuh cara untuk mengetahui maksud tertentu, begitupula dnrgan
hadis nabi, butuh metode pemahaman agat hadis itu mampu dipahami dan diketahui
serta dimengerti. Maka dari itu kita mesti melihat dari segi matan hadis dan juga
cakupannya.

2. Hadis Nabi yang bersifat Universal

a. Jami' Al-kalim, yakni ungkapan yang singkat tapi padat maknanya dan
pemahaman Hadis Nabi yang dapat dimengerti sejalan dengan pengertiannya.

Kemampuan Nabi SAW untuk mengemukakan jami al-kalim (bentuk


jamaknya jawami al-kalim), diketahui berdasarkan hadis Nabi SAW sendiri yang
menyatakan:

‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال ) بعثت بجوامع الكلم‬: ‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Saya
diutus (oleh Allah) dengan (kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan
yang singkat, namun padat makna….” (H.R. Jamaah).

Berdasarkan pernyataan Nabi SAW tersebut, maka tidaklah mengherankan bila


banyak dijumpai matan hadis Nabi yang berbentuk jawami al-kalim. Hal itu
merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki oleh sabda-sabda Nabi SAW.

2
Contoh hadis dikategorikan jawami' al-kalim:

‫ رضى هللا عنه‬- َ‫ع ْن أَبِى ه َُري َْرة‬ َ ‫َّللا أَ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر‬
َ ‫ع ْن هَ َّم ِام ب ِْن ُمنَبِ ٍه‬ َ ‫ َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَص َْر َم أَ ْخبَ َرنَا‬-
ِ َّ ُ‫ع ْبد‬
1
‫عة‬ َ ْ‫ ْال َحر‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َ ْ‫ب ُخد‬ ُّ ِ‫قَا َل َس َّمى النَّب‬
Artinya: Abu Bakar bin Ashram telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah telah
mengkabarkan kepada kami, Ma’mar telah mengkabarkan kepada kami dari
Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata:”Perang
itu adalah siasat".

Ulama sepakat membolehkan menerapkan siasat atau strategi dalam perang


atas orang-orang kafir. Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan
bunyi teksnya, bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang
demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu.
Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat.
Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat. 2

b. Bahasa tamsil
Tamsil dalam kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti persamaan
dengan umpama (missal). Tamsil diambil dari fi’il madhi matsala, artinya
perumpamaan. Yang dimaksud dengan ungkapan tamstil ialah uangkapan
yang berisi penjelasan suatu obyek lain karena memiliki kesamaan arti. 3

Hadis tamsil tentang Persaudaraan atas dasar iman, hadis Nabi SAW berbunyi:

1
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃ’ȋl al-Bukhȃriy, Op. Cit., h. 579. Kitab: Al-Jihȃd, Bab: al-
Harb Khad’ah, Hadis no. 3029
2 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani al-Hadits tentang

Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h.
11.
3
Nuruddin, M. Ag, Qawaid Syarah Hadis, (Nora Media: Kudus, 2010), hlm.8

3
‫ضهُ بَ ْعضا‬ ُ َ‫ان ي‬
ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ ِ ْ‫ «إِنَّ ال ُمؤْ مِنَ ل ِْل ُمؤ‬:َ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَال‬
ِ َ‫مِن كَالبُ ْني‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ ‫ع ِن النَّبِي‬ ْ ِ‫ع ْن أَب‬
َ ‫ي ُم ْو َسى‬ َ «
َ َ‫َو َشبَّكَ أ‬
‫ رواه البخاري ومسلم‬.ُ‫صابِعَه‬

Artinya: Dari Abu Musa r.a., dari Nabi SAW telah bersabda, “Orang mukmin
terhadap orang mukmin lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh
terhadap bagian lainnya sambil bertelekan (menjalinkan jari-jari tangannya).”
(H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil bagi orang-orang yang beriman


sebagai bangunan. Tamsil tersebut sangat logis dan berlaku tanpa terikat oleh waktu
dan tempat sebab setiap bangunan pastilah bagian-bagiannya berfungsi
memperkokoh bagian-bagian lainnya. Demikian pula seharusnya orang-orang yang
beriman, yang satu memperkokoh yang lainnya dan tidak berusaha untuk saling
menjatuhkan.

Hadis yang berbentuk tamsil tersebut mengandung ajaran Islam yang


menekankan bahwa persaudaraan antar muslim terikat oleh kesamaan iman. Ajaran
tersebut bersifat universal. Salah satu buktinya adalah rasa keprihatinan yang
ditunjukkan oleh umat Islam di Indonesia dan di negara-negara lainnya atas nasib
buruk yang menimpa umat Islam.

c. Ungkapan simbolik
Hadis tentang dajjal yang berbunyi:

‫علَ ْي ُك ْم‬ َ َّ َّ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل إِن‬


َ ‫َّللا ََل يَ ْخفَى‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ِ ‫َّللا قَا َل ذُك َِر الدَّجَّا ُل ِع ْندَ النَّبِي‬ َ ‫ع ْن‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع ْن نَاف ٍِع‬
َ
ٌ‫طافِيَة‬ َ َّ‫ع ْينِ ِه َوإِنَّ ْال َمسِي َح الدَّجَّا َل أَع َْو ُر ْالعَي ِْن ا ْلي ُْمنَى َكأَن‬
َ ٌ‫ع ْينَهُ ِعنَبَة‬ َ ‫ْس بِأَع َْو َر َوأَش‬
َ ‫َار بِيَ ِد ِه إِلَى‬ َ ‫َّللا لَي‬
َ َّ َّ‫إِن‬

Artinya: Dari Abdullah beliau berkata,”Dajjal diperbincangkan di sisi


Rasulullah SAW. kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah sudah sangat
jelas bagi kalian (tidak ada yang serupa dengan-Nya) dan sesungguhnya Allah
tidak buta sebelah mata, dan beliau menunjuk matanya. Ketahuilah, sesungguhnya

4
Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, matanya seperti buah anggur yang timbul.”
(H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Pernyataan bahwa Allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan simbolik. Allah
Maha Suci dari segala sifat yang menyamakan-Nya dengan makhluk. Ungkapan
tersebut dapat diartikan sebagai kekuasaan. Jadi maksud ungkapan tersebut adalah
kekuasaan yang sempurna.

Dilihat dari arti simbolik diatas, dapat kita pahami bahwa dajjal dalam hal ini juga
memeliki pengertian sebagaimana arti dari hadis itu yang bersifat simbolik. Dimana
Rasulullah saw. Sendiri menyebutkan bahwa ciri-ciri dajjal ialah buta matanya satu,
disini dimaksud bukan hanya matanya tetapi juga sifat-sifatnya yang tercela yang
membuat dia menjadi seburuk-buruk fitnah dunia

d. Ungkapan Analogi/Percakapan

Ada kalanya matan hadits berbentuk ungkapan analogi. Dalam ungkapan


itu terlihat adanya hubungan yang sangat logis. Berikut ini dikemukakan dua matan
hadis sekedar sebagai contoh yang mengandung ungkapan analogi tersebut.

‫ع ْنهُ أَنَّ َرسُو َل‬ َّ ‫ي‬


َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرةَ َر‬
َ ‫ب‬ ِ َّ‫ع ْن َسعِي ِد ب ِْن ْال ُم َسي‬
َ ‫ب‬ٍ ‫ع ْن اب ِْن شِ َها‬ َ ٌ‫َحدَّثَنَا إِ ْس َماعِي ُل َحدَّثَنِي َما ِلك‬
ْ َ‫َّللا ِإنَّ ْام َرأَتِي َولَدَتْ غُ ََلما أَس َْودَ فَقَا َل هَلْ لَك‬
‫مِن ِإ ِب ٍل قَا َل‬ ٌّ ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم َجا َءهُ أَع َْرا ِب‬
ِ َّ ‫ي فَقَا َل يَا َرسُو َل‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ ِ َّ
َ ‫َّللا‬
‫عهُ قَا َل‬ َ َ‫مِن أَ ْو َرقَ قَا َل نَ َع ْم قَا َل فَأَنَّى كَانَ ذَلِكَ قَا َل أ ُ َرا ُه عِرْ قٌ نَز‬
ْ ‫نَ َع ْم قَا َل َما أَ ْل َوانُ َها قَا َل ُح ْم ٌر قَا َل هَلْ فِي َها‬
َ َ‫فَلَ َع َّل ا ْبنَكَ َهذَا نَز‬
ٌ‫عهُ عِرْ ق‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Isma'il telah mengabarkan


kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Sa'id bin Musayyab dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pernah kedatangan seorang arab badui dan berujar; 'Wahai Rasulullah, istriku
melahirkan bayi hitam.' Nabi bertanya; "Apakah kamu punya unta?" 'ya'
jawabnya. Nabi bertanya lagi: "Apa warnanya?" 'Merah' Jawabnya. Nabi
bertanya lagi: "apakah disana ada warna kecoklat-coklatan?" 'ya' jawabnya.
Nabi bertanya lagi; "darimana warna itu ada?" 'pendapat saya, warna itu

5
diturunkan karena akar keturunan.' Nabi bersabda: "warna anakmu bisa jadi
juga karena akar keturunan." (HR.Bukhari No.6341)4

Secara tekstual, matan hadis dalam ungkapan analogi tersebut menyatakan


bahwa ada kesamaan antara ras yng diturunkan oleh manusia dan unta. Terjadinya
perbedaan warna kulit antara anak dan ayah disebabkan oleh warna kulit dari nenek
moyang bagi anak tersbut. Ketentuan yang demikian itu bersifat universal.

3. Sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu tertentu (lokal)


Dilihat dari kandungannya kita bisa melihat dan menghubungkan fungsi hadis
Nabi yang bersifat lokal.

1. Hadis tentang kewajiban menunaikan zakat fitri :

‫علَى العَ ْب ِد َوالح ُِر‬


َ ‫ِير‬ ٍ ‫مِن َشع‬ْ ‫صاع ا‬ َ ‫ أَ ْو‬،‫مِن ت َْم ٍر‬ ْ ‫صاعا‬ َ ‫ِط ِر‬ ْ ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم زَ كَاةَ الف‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ِ َّ ‫ض َرسُو ُل‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫ف ََر‬،
ِ‫صَلَة‬ َّ ‫اس ِإ َلى ال‬ ِ ‫ َوأَ َم َر ِب َها أَ ْن ت ُ َؤدَّى قَ ْب َل ُخ ُر‬،َ‫ير مِنَ ال ُم ْسلِمِ ين‬
ِ َّ‫وج الن‬ ِ ‫ِير َوال َك ِب‬ َّ ‫ َوال‬،‫َوال َّذك َِر َواأل ُ ْنثَى‬
ِ ‫صغ‬

Artinya: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah


dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, kepada setiap budak atau
orang merdeka, laki-laki atau wanita, anak maupun dewasa, dari kalangan
kaum muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum masyarakat
berangkat salat id." (HR. Bukhari)

Hadis diatas merupakan dasar utama kewajiban zakat fitrah. Secara


tekstual, mengandung makna universal akan kewajiban menunaikan zakat
fitrah bagi seluruh manusia yang beragama islam. adapun tentang material
yang digunkan untuk membayar zakat fitrah, maka kandungan makna dari
hadis tersebut dipahami sebagai hadis yang bersifat lokal, sebab tidak semua
Negara di dunia ini menjadikan gandum dan kurma sebagai makanan pokok.
Oleh karena itu, untuk masyarakat yang makanan pokoknya beras, sagu atau

4
https://www.hadits.id/hadits/bukhari/6341

6
jagung, maka zakat fitrah dapat dibayar dengan menggunakan makanan pokok
tersebut.

2. Memelihara Jenggot dan Kumis

Hadis Nabi Menyatakan:

ِ ‫ب َواَ ْعفُو‬
‫الل َحي )رواه البخارى ومسلم وغييرهما عن ابن عمر‬ َ ‫اِ ْن َهكُوا ال َّش َو ِار‬

Artinya: “Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot.” (Hadis riwayat al-


Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Ibnu Umar).

Sebagian umat Islam memahami hadis tersebut secara tekstual. Mereka


berpendapat bahwa Nabi telah menyuruh semua kaum laki-laki untuk memelihara
kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot dengan
memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu
kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Perintah Nabi tersebut memang relevan untuk orang-orang Arab, Pakistan dan
lain-lain yang secara alamiah mereka dikaruniani rambut yang subur, termasuk
dibagian kumis dan jenggot. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut-rambut orang
Indonesia tidak sama dengan milik orang-orang Arab tersebut. Banyak orang
Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang.

Atas kenyataan itu, maka hadis diatas harus dipahami secara kontekstual.
Kandungan hadis tersebut bersifat lokal. 5

5
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1994), h. 68-69

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seperti yang telah kita bahas dalam makalah ini, bahwa mengetahui matan hadis
itu termasuk penting untui mengetahui persoalan hadis itu sendiri. Juga ada banyak
macam-macam hadis yang dapat kita lihat dan bersifat universal, diantarnya jami'
Al-kalim, Bahasa tamsil hinggal metode Analogi.

Sebagaimana yang kita juga tahu bahwa hadis ialah segala yang disandarkan pada
diri Rasulullah saw. Maka kita dapat melihat contoh-contoh kandungan hadis yang
dihubungkan dengan Rasulullah saw. Dimana kita tahu Rasulullah saw. Bukan
hanya sebagai nabi dan rasul, tetapi juga menjadi pimpinan Negara, suami, bahkan
masyarakat layaknya masyarakat pada umumnya

B. Kritik dan Saran

Kami selaku Penulis dari makalah ini, tentunya masih menyadari jika makalah
diatas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka kami
sebagai selaku Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman

8
pada banyak sumber serta pentingnya kritik yang membangun dari para pembaca
sekalian.

Wallahu a'lam.

DAFTAR PUSTAKA

http://Jurnal.iain-bone.ac.id

http://khaliqullah.blogspot.com/2018/05/memahami-hadis-nabi-
denganbahasa.html?m=1

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani
alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), h. 11.

https://karaengmattawang.wordpress.com/2011/06/12/pemahaman-hadis-
dilihatdari-segi-bentuknya/

https://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=231

https://www.republika.co.id/berita/qk2s1e320/2-sifat-rasulullah-saw-yang-
jugabisa-dimiliki-umat-islam

9
https://khusnulweb.wordpress.com/2016/06/18/perbedaan-antara-makna-
universal-temporal-dan-lokal/

http://khaliqullah.blogspot.com/2018/05/memahami-hadis-nabi-dengan-
bahasa.html?m=1

http://echie-d.blogspot.com/2014/04/pemahaman-hadis-secara-tekstual-
dan.html?m=1

10
MAKALAH

“Sabda Nabi Dilihat dari Aplikasinya”

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Ilmu Ma’ani Al-Hadis

Dosen Pengampu : Dr. H. Mukhlis Mukhtar M.Ag

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 11 :

Khayrul Iswandi (30300119023)


Rinianti (30300119029)
Nurul Fauziah (30300119028)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahhirobbil ‘alamiin, segala puji bagi Allaah Subhanahu Wata’ala, Tuhan


Semesta Alam atas segala karunia nikmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul ”Sabda Nabi dIlihat dari aplikasinya”disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Ma’ani Al-Hadis

Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua yang membacanya.

Makassar, 10 Maret 2021

(Penulis)

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................2


DAFTAR ISI ..................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................4

A. Latar Belakang ..............................................................................4


B. Rumusan Masalah .........................................................................5
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................5

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................6

A. Pengertian Hadis ..........................................................................6


B. Kedudukan Hadis .........................................................................7
C. Sabda Nabi dilihat dari Aplikasinya yang berkaitan dengan waktu
(Temporal) dan Sabda Nabi yang tampak bertentangan dan cara
memahaminya ....................................................................................8

BAB III PENUTUP ......................................................................................19

A. Kesimpulan ...................................................................................19
B. Implikasi .......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber ajaran Islam yang pokok adalah al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan
yang sangat penting dalam kehudupan ummat Islam. Walaupun terdapat perbedaan dari segi
penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya harus dijadikan
rukukan. Dari keduanya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman utama, oleh karena itu
kajuan-kajian diantaranya tidak pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring
dengan kebutuhan ummat Islam.
Akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar antara al-Qur’an dan Hadis. Untuk al-Qur’an,
semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk Hadis
sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dansebagian berlangsung secara
ahad.1
Memahami hadis dengan langkah Ma’ᾱnil al-Ḥadiṡ merupakan langkah awal dalam
menyikapi wacana-wacana keislaman yang merujuk pada hadis-hadis Nabi yang tersebar
diberbagai literatur Islam, yang selalu dikutip tanpa mempertimbangkan makna matan hadis.
Pemahaman seseorang dari generasi satu ke generasi berikutnya selalu mengalami banyak
perubahan dari segi sosio-kultural, sehingga menuntut untuk melakukan penafsiran ulang
terhadap teks-teks hadis sesuai dengan realitas yang ada saat ini. Dari sini akan
memberikanpemahaman apakah hadis-hadis tersebut relevan untuk dilaksanakan atau tidak
sebagaimana makalah yang akan dibahas mengenai sabda Nabi dilihat dari aplikasinya, baik
sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu (temporal), maupun sabda Nabi yang tampak
bertentangan dan cata memahaninya.

1
Syuhudi Ismail, Perkembangan Pemikiran Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1994), h.3

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hadis?
2. Bagaimana kedudukan hadis?
3. Apa saja sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu?
4. Apa saja sabda Nabi yang yang tampak bertentangan dan cara memahaminya?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis untuk menambah pengetahuan pembaca seputar sabda Nabi dilihat dari
aplikasinya, yang terbagi dua subtema, yaitu sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu atau
temporal dan sabda Nabi yang tampak bertentangan dan cara memahaminya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis
Sebelum kita melangkah lebih jauh tentang pembahasan hadis Nabi dari aplikasinya,
maka terlebih dahulu kita harus memahami apa hadis itu. Jadi, hadis menurut bahasa yaitu
sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga
berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari
seorang kepada orang lain. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari
Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah
penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.

Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam
berbagai tujuan dan persuaian (situasi).

Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan


melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan
menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari
pihak penuduh.

Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh
Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu
adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap
perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan
suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi,
Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi
diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi.

6
B. Kedudukan Hadis

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum


dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam
Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum
Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang
untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil
yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan
perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan
Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh
karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat
Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada asul
sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat
an-Nisa 59.2

‫سو ِل إِن‬
ُ ‫ٱلر‬
‫ٱَّلل َو ه‬ َ ‫سو َل َوأ ُ ۟ولِى ْٱْل َ ْم ِر مِ ن ُك ْم ۖ فَإِن ت َ َٰنَزَ ْعت ُ ْم فِى‬
ِ ‫ش ْىءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى ه‬ ُ ‫ٱلر‬‫وا ه‬ ۟ ُ‫ٱَّلل َوأَطِ يع‬ ۟ ُ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلهذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا أَطِ يع‬
َ ‫وا ه‬
‫يل‬ َ ‫ٱل َءاخِ ِر ۚ َٰ َذلِكَ َخ ْي ٌر َوأ َ ْح‬
ً ‫س ُن ت َأ ْ ِو‬ ْ ‫ٱَّلل َو ْٱليَ ْو ِم‬
ِ ‫ُكنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ بِ ه‬

Terjemah Arti: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar

2
https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-hadits.html. Diakses pada tanggal
10 Maret 2021

7
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.3

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-
apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bila wahyu mempunyai
kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk
dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari
segi kebenaran materinya dan kedua dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang
terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad sebagaimana dijelaskan
diatas.4

C. Sabda Nabi dilihat dari Aplikasinya


1. Sabda Nabi yang berkaitan dengan waktu
Waktu adalah salah satu nikmat yang agung dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala
kepada manusia. Sudah sepantasnya manusia memanfaatkannya secara baik, efektif
dan semaksimal mungkin untuk amal shalih. Allâh Ta’ala telah bersumpah dengan
menyebut masa dalam firman-Nya, surah al-Asr ayat 1-3:
‫ص ْوا‬ ِ ‫ص ْوا بِ ْال َح‬
َ ‫ق َوت ََوا‬ َ ‫ت َوت ََوا‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫﴾ إِ هَّل الهذِينَ آ َمنُوا َو‬٢﴿ ‫سانَ لَفِي ُخس ٍْر‬
‫عمِ لُوا ال ه‬ َ ‫اْل ْن‬ ْ َ‫َو ْالع‬
ِ ْ ‫﴾ إِ هن‬١﴿ ‫ص ِر‬
‫صب ِْر‬
‫بِال ه‬
Terjemah arti: Demi masa,sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-
menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi
kesabaran.

3
https://almanhaj.or.id/4099-renungan-tentang-waktu.html diakses pada tanggal 10 Maret 2021.

4
Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Perkataan ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul- Iman,
dari Abud Darda’ Radhiyallahu anhu.

8
Di dalam surat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan
masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa
terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan kesusahan,
sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang menyian-nyiakan
umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan belaka, kemudian ia
bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima, maka ia akan
mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam surga
selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling
berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan
anugerah Allâh Ta’ala, tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika
tidak memanfaatkannya.

Peringatan Rasulullah SAW. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam


telah mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut ini:

ُ‫الص هحةُ َو ْالف ََراغ‬


ِ ‫اس‬ِ ‫ِير مِ ْن النه‬
ٌ ‫ُون فِي ِه َما َكث‬ ِ ‫سله َم نِ ْع َمت‬
ٌ ‫َان َم ْغب‬ َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ِ‫هاس قَا َل قَا َل النهب‬
َ ‫ي‬ َ ‫ع ْن اب ِْن‬
ٍ ‫عب‬ َ

Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada
keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933].

Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang
besar dari Allâh Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan kerugian
terhadap nikmat ini. Di antara bentuk kerugian ini adalah:

1. Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna.
Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama,
padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.

9
2. Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang
memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah
dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
3. Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling
tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu
dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan
waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Allâh di
dunia dan di akhirat.

Urgensi waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara yang disepakati


oleh orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara point-point yang
menunjukkan urgensi waktu.5

✓ Waktu Adalah Modal Manusia. Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah


berkata:

َ ‫اِبْنَ آ َد َم ِإنه َما أ َ ْنتَ أَيها ٌم ُكله َما ذَه‬


َ ‫َب َي ْو ٌم ذَه‬
َ‫َب َب ْعضُك‬

“Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari,


tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu”.6

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Abdul-‘Aziz rahimahullah berkata:

َ ‫إِ هن الله ْي َل َوالنه َه‬


‫ار يَ ْع َم َل ِن فِيْكَ فَا ْع َم ْل فِ ْي ِه َما‬

5
Kitab Rabi’ul-Abrar, hlm. 305.

6
Disebutkan dalam kitab Taqrib Zuhd Ibnul-Mubarok, 1/28.

10
“Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah
pada malam dan siang itu”.7

✓ Waktu Sangat Cepat Berlalu.


Seseorang berkata kepada ‘Âmir bin Abdul-Qais rahimahullah, salah
seorang tabi’i: “Berbicaralah kepadaku!” Dia menjawab: “Tahanlah
jalannya matahari!”
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak menyerupakan masa muda
kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh”.
Abul-Walid al-Bâji rahimahullah berkata: “Jika aku telah mengetahui
dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu jam di
akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk
melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan hanya kujadikan hidupku di
dalam kebaikan dan ketaatan”.

✓ Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali.


Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:

ِ ‫َّلل َح ٌّق بِالله ْي ِل ََّل يَ ْقبَلُهُ بِالنه َه‬


‫ار‬ ِ ‫ َو ِ ه‬،‫ار ََّل يَ ْقبَلُهُ بِالله ْي ِل‬
ِ ‫َّلل َحقًّا بِالنه َه‬
ِ ‫إِ هن ِ ه‬

“Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan
menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu
malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang”. [Riwayat Ibnu Abi
Syaibah, no. 37056].

Dengan demikian seharusnya seseorang bersegera melaksanakan tugasnya


pada waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan mengundurkannya

7
Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.

11
sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi
Salaf lebih mahal dari pada uang. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

‫علَى َد َراهِمِ ِه َو َدنَانِي ِْر ِه‬ ُ ‫علَى‬


َ ُ‫ع ْم ِر ِه مِ ْنه‬ َ َ ‫أَد َْر ْكتُ أ َ ْق َوا ًما َكانَ أ َ َح ُدهُ ْم أ‬
َ ‫ش هح‬

“Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap umurnya


daripada terhadap dirham dan dinarnya”.8

Sebagian penyair berkata:

‫عنَيْتَ ِبحِ ْفظِ ِه‬ ُ ‫ضيه ُع … َو ْال َو ْقتُ أ َ ْنف‬


َ ‫َس َما‬ َ ‫َوأ َ َراهُ أ َ ْس َه َل َما‬
َ ُ‫علَيْكَ ي‬

“Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk
dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.”

✓ Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan


untuknya. Oleh karena itu Allâh Ta’ala banyak memerintahkan untuk
bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal
shalih. Para ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-
nunda amalan. Al-Hasan berkata:

8
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-220-hadits-hadits-yang-saling-bertentangan.htmldiakses pada tanggal 10 Mei
2021

12
‫غ ٌّد لَكَ فَ ُك ْن فِي غ ٍَد َك َما ُك ْنتَ فِ ْي ْال َي ْو َم‬
َ ‫ْف فَإِنهكَ ِب َي ْومِ كَ َولَسْتَ ِبغ ٍَد فَإِ ْن َي ُك ْن‬
َ ‫اِبْنَ آ َد َم ِإيهاكَ َوالت ه ْس ِوي‬
‫طتَ ِف ْي ْال َي ْو ِم‬
ْ ‫علَى َما فَ هر‬َ ‫َو ِإ هَّل َي ُك ْن لَكَ لَ ْم ت َ ْن َد ْم‬

“Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan),


karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum
tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka
lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini.
Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu
yang menyia-nyiakan hari ini” .9

2. Sabda Nabi yang yang tampak bertentangan dan cara memahaminya


Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa munculnya ikhtilaf dalam ranah ijtihad para
ulama merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan hal tersebut sudah tidak lagi
menjadi sesuatu yang tabu di sebagian besar kalangan masyarakat, khususnya bagi
mereka sarjana muslim yang bergelut dalam bidang ilmu syariah. Karena itulah
konsekuensi yang harus terjadi sebagai implementasi dari praktek ijtihad itu
sendiri. Karena ijtihad bertolak dari pemahaman seorang ulama terhadap suatu
dalil, sedangkan tingkat pemahaman seseorang dengan yang lainnya tentu berbeda-
beda.
Suatu proses ijtihad, tentunya akan melibatkan pemahaman seorang ulama
terhadap suatu dalil baik itu dari al-quran maupun hadits yang keduanya menjadi
input dalam suatu proses ijtihad, untuk kemudian didapati suatu kesimpulan hukum
yang merupakan output dari proses ijtihad tersebut. Dan output yang dihasilkan
seringkali berbeda antara satu ijtihad dengan ijtihad yang lain, tergantung
bagaimana cara mengolah input-nya itu sendiri.
Cara mengolah input inilah yang seringkali menjadi faktor timbulnya perbedaan
hukum dalam suatu masalah. Termasuk ketika ada suatu input berupa hadits atau

9
Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.

13
atsar dimana ada dua hadits atau atsar yang berkaitan dengan suatu masalah, namun
keduanya mempunyai kontradiksi makna secara lahir (dzahir), atau dalam ilmu
hadits dikenal dengan istilah mukhtalif al-ahadits atau musykil al-atsar.
Namun sebelumnya, perlu kita garis bawahi bahwa hadits yang merupakan sabda
Nabi Muhammad SAW dan menjadi salah satu sumber hukum (mashdar al-tasyri’)
dalam agama islam, tidak mungkin terjadi kontradiksi di dalamnya. Karena kita
tahu bahwa apa yang beliau sabdakan semata-mata adalah wahyu dari Allah SWT
seperti yang tertera dalam al-Qur'an surah an-Najm ayat 3 dan 4. Adapun
kontradiksi yang dimaksud disini adalah kontradiksi makna jika dilihat secara
lahirnya saja. Namun jika diteliti lebih dalam maka kontradiksi itu akan hilang
dengan sendirinya.
Ibnu Khuzaimah pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui ada dua hadits
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, dengan sanad yang sama-sama
shahih namun maknanya saling bertentangan. Maka jika ada orang yang
mengetahuinya, berikanlah kepadaku niscaya akan aku padukan keduanya.”
Oleh karena itu, praktek pengolahan input seperti ini (mukhtalif al-ahadits) tidak
bisa dilakukan oleh sembarang orang. Paling tidak orang yang hendak
melakukannya harus menguasai minimal dua bidang ilmu sekaligus yaitu ilmu
hadits dan ilmu fiqih. Mengingat kedua disiplin ilmu tersebut mempunyai kaitan
yang sangat erat satu sama lain. Al-A’masy salah seorang muhaddits (ahli hadits)
dari kalangan tabi’in pernah berkata di tengah perbincangannya dengan Imam Abu
Hanifah untuk menggambarkan kaitan antara kedua ilmu ini, “Wahai para ahli
fiqih! kalian adalah dokter dan kami (ahli hadits) adalah apoteker.”
Dalam ilmu mukhtalaf al-hadits sendiri para ulama telah merumuskan beberapa
cara atau solusi dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan tersebut. Antara
lain adalah dengan al-jam’u (memadukan/mencari titik temu), al-tarjih (mencari
yang paling kuat/dominan), dan ma’rifah an-nasikh wal mansukh (mengetahui
mana yang menasakh dan mana yang dimansukh).
Namun permasalahannya tidak berhenti sebatas dengan mengetahui cara-cara di
atas. permasalahan lain yang sering muncul adalah timbulnya perbedaan pandangan
di antara para ulama dalam mempertimbangkan cara yang paling tepat untuk

14
diprioritaskan dan yang lebih mungkin untuk diaplikasikan dalam menyikapi
hadits-hadits yang bertentangan itu.Yang pada akhirnya akan menimbulkan
perbedaan dalam pengambilan kesimpulan hukum sesuai cara yang ditempuh oleh
masing-masing ulama. Dan hal itu membuat perbedaan-perbedaan hukum dalam
satu masalah dalam koridor masail fiqhiyyah menjadi sangat wajar adanya.

Di sini penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan
mukhtalaf al-hadits, yaitu mengenai hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hadits yang akan menjadi pokok bahasan
kita di sini. Yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abullah bin al-
Muzani :

ً‫سنهة‬ ُ ‫ قَا َل فِي الثها ِلث َ ِة ِل َم ْن شَا َء ك ََرا ِهيَةَ أ َ ْن يَتهخِ ذَهَا النه‬،‫ب‬
ُ ‫اس‬ َ ‫صلُّوا قَ ْب َل‬
ِ ‫صلَةِ ال َم ْغ ِر‬ َ

Artinya: “Shalatlah kalian sebelum sholat magrib, (kemudian) bersabda Rasulullah


SAW setelah yang ketiga kalinya: “bagi siapa saja yang berkehendak! ”karena takut
orang menjadikannya sebagai sunnah”.

Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :

‫سله َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللا‬ ِ ‫سو ِل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْه ِد َر‬ ِ ‫الر ْك َعتَي ِْن قَ ْب َل ْال َم ْغ ِر‬
َ ‫ب فَقَا َل َما َرأَيْتُ أ َ َحدًا‬
َ ‫علَى‬ ‫ع ِن ه‬
َ ‫ع َم َر‬
ُ ‫سئل بن‬
‫ص ِر‬ْ َ‫الر ْكعَتَي ِْن بَ ْع َد ْالع‬
‫ص فِي ه‬ َ ‫صلِي ِه َما َو َر هخ‬
َ ُ‫ي‬

Artinya:“Ibnu Umar ditanya tentang dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia
berkata aku tidak pernah melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan
shalat tersebut namun Beliau memberikan keringanan pada dua rakaat setelah
ashar”

Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang
pertama menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang
kedua manafyikan kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para
ulama menyikapi kedua hadits di atas.

15
1. Al-Jam’u
Sebagian ulama hanafiyah menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi
kedua hadits di atas sebagaimana disebutkan oleh Badruddin al-‘Aini dalam
kitabnya ‘Umdah al-Qori Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasannya adalah
sebagai berikut.

Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal
kemunculan islam, untuk menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang
untuk shalat dengan terbenamnya matahari sehingga rasulullah SAW
menganjurkan untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib sebagai
pertanda bahwa waktu tersebut sudah diperbolehkan untuk melakukan
shalat, baik itu shalat sunnah atau shalat fardu.

Kemudian setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk menyegerakan shalat


fardu di awal waktu agar tidak terlambat untuk melaksanakannya di waktu
yang utama, maka shalat dua rakaat sebelum maghrib pun tidak dilakukan.
Dengan demikian hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar tidak bisa
dijadikan hujjah untuk menafyikan kesunnahan shalat dua rakaat sebelum
maghrib.

2. At-Tarjih

Cara yang kedua adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits
yang dianggap lebih kuat atau dominan. Penjelasannya adalah sebagai
berikut :

Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-
Muzani adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain
itu hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadits yang
termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam Ahmad,
Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-
Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro karya Imam al-

16
Baihaqi.Selain itu, hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga
merupakan hadits shahih. yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas bin
Malik :

َ ‫سله َم يَ ْبتَد ُِرونَ الس َهو ِار‬


‫ َحتهى‬،‫ي‬ َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ب النهبِي‬ ْ َ ‫َاس مِ ْن أ‬
ِ ‫ص َحا‬ َ َ‫َكانَ المؤذن إِذَا أَذهنَ ق‬
ٌ ‫ام ن‬
‫ب‬ ‫صلُّونَ ه‬
ِ ‫الر ْك َعتَي ِْن قَ ْب َل ال َم ْغ ِر‬ َ ُ‫ ي‬، َ‫ي صلى هللا عليه وسلم َوهُ ْم َكذَلِك‬
ُّ ِ‫يَ ْخ ُر َج النهب‬

Artinya: “Adalah muadzin apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu


‘alaihi wasallam bersegera berdiri menuju tiang masjid untuk shalat dua
rakaat sebelum maghrib sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar
sementara mereka dalam keadaan demikian”

Hadits di atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh


Bukhori dan Muslim). Dengan demikian hadits ini menjadi penguat bagi
hadits pertama yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-Muzani yang
menunjukkan pensyariatan shalat dua rakaat sebelum maghrib. Walaupun
nantinya ada perbedaan di antara fuqoha dalam derajat ke-masyru’iyyah-
annya. Ada yang mengatakan sunnah atau mustahab dan ada yang
berpendapat hanya sekedar mandub.

Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia
tidak melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang melakukan shalat dua
rakaat sebelum maghrib, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-
Baihaqi.

Namun hadits ini mendapat komentar dari beberapa ulama diantaranya


Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih karena dalam
sanadnya terdapat seorang rowi majhul (tidak diketahui/dikenal) yang
bernama Syuaib. Di samping itu Imam Al-bani juga mengatakan bahwa
hadits ini adalah hadits dha’if.

Dari sisi lain, metode tarjih juga bisa dilakukan dengan cara memandang
dari sisi itsbat dan nafyi-nya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang

17
menetapkan atau meng-itsbat (mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat
sebelum maghrib.

Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi)
kebolehannya. Maka jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu
nafi, yang didahulukan adalah hadits yang mutsbit. Karena boleh jadi yang
menafyikan kesunnahan shalat tersebut tidak mengetahui apa yang
diketahui oleh yang meng-itsbat (menetapkan) kesunnahannya.

3. An-Naskh

Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin
al-Muzani, dinasakh oleh hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
dan hadits yang diriwayatkan oleh abdullah bin Buraidah berikut :

‫إِن ِع ْند كل أذانين َر ْكعَتَي ِْن َما خل ْالمغرب‬

Artinya: “sesungguhnya di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua
rakaat, kecuali shalat maghrib”

Namun sayangnya pendapat ini mendapat sanggahan dari Ubaidullah al-


Rahmani al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’ah al-Mafatih. Beliau
mengatakan bahwa pendapat nasakh ini tidak perlu dianggap karena
merupakan pendapat yang tidak berdasar.10

10
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-220-hadits-hadits-yang-saling-bertentangan.htmldiakses pada tanggal 10 Mei
2021

18
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa: Kata "Hadits" atau al-hadits menurut
bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama).
Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-hadist.

Hadits ataupun Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam hadits yaitu hadits qauli, hadits
fi’il dan hadits taqriri. Sedangkan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an dalam hukum
islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai
sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama,
dan logika akal sehat (ma`qul).

Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an adalah Al-Qur’an menekankan bahwa Rasulullah SAW
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan
tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta
fungsinya.

• Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Qur`an


• Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qur`an yang masih bersifat global.
• Hadits membatasi kemutlakan ayat Al-Qur`an. Misalnya Al-Qur`an mensyariatkan
wasiat
• Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al-Qur`an yang bersifat umum
• Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur`an. Al-Qur`an
bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti . Dalam hal
ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur`an.

19
B. Implikasi
Demikianlah makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa makalah kami terdapat
banyak kekurangan oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Dan mudah-mudahan apa yang kami sajikan pada makalah ini dapat memberi manfaat dan
menambah wawasan bagi para pembaca.

20
DAFTAR PUSTAKA

(1)Syuhudi Ismail, Perkembangan Pemikiran Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1994),


h.3
(2)https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-
hadits.html. Diakses pada tanggal 10 Maret 2021
(3)https://tafsirweb.com/1591-quran-surat-an-nisa-ayat-59.html. Diakses pada tanggal 10
Maret 2021
(4)https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-
hadits.html. Diakses pada tanggal 10 Maret 2021
(5)https://almanhaj.or.id/4099-renungan-tentang-waktu.html. Diakses pada tanggal 10
Maret 2021
(6)Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Perkataan ini juga diriwayatkan al-
Baihaqi dalam Syu’abul- Iman, dari Abud Darda’ Radhiyallahu anhu
(7)Kitab Rabi’ul-Abrar, hlm. 305.
(8)Disebutkan dalam kitab Taqrib Zuhd Ibnul-Mubarok, 1/28.
(9)Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.
(10) https://www.rumahfiqih.com/fikrah-220-hadits-hadits-yang-saling-
bertentangan.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2021

21
KITAB-KITAB YANG MENGEMUKAKAN MA’ANIL HADITS
(Kitab-kitab Gharib al-Hadits & Kitab-kitab Jawami al-Kalim)

Dosen pengampu: Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah Ma‟anil Hadis

Oleh Kelompok 12:


Khairul Zul Fahmi : (30300119001)
Muhammad : (30300119020)
Andi Ummul Kair : (30300119025)

JURUSAN ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim…

Assalamu‟alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa

Ta‟ala, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini

dengan baik. Shalawat serta salam tetap tercurah kepada sang murabbi sejati kita Nabiullah

Muhammad Shallallahu „alayhi wa sallam sebagai suri teladan bagi seluruh umat hingga akhir

zaman.

Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen pembimbing

matakuliah “Ma‟anil Hadis” yakni ayahanda al-Ustadz Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag karena atas

bimbingan beliau, kami semua khususnya kelompok kami, mampu untuk menyelesaikan tugas

Ma‟anil Hadis dengan judul materi Kitab-Kitab yang mengemukakan Ma’anil Hadits (Kitab-

kitab Gharib al-Hadits & Kitabkitab Jawami al-Kalim) sebagaimana mestinya.

Mohon maaf apabila makalah ini terdapat banyak kekurangan, namun penulis mengharapkan

makalah ini dapat menjadi sumber atau referensi bagi kita semua dalam memahami konsep

Ma‟anil hadis (pengertian, latar belakang pentingnya, dan kegunaan.

Selasa, 16 Maret 2021

2
DAFTAR ISI

SIMPUL ………………………………………………………………………………… 1

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………….2

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………4

 A. Latar Belakang ………………………………………………………………..4

 B. Batasan Masalah ……………………………....................................................4

 B. Rumusan Masalah ………………….………..... ……………………………...4

 C. Tujuan …………………………………………………………………………5

BAB II PEMBAHASAN ………….…………………….……………………………...6

 A. Defenisi Gharib Al- Hadist.….………………………………………………..6

 B. Defenisi Jawami‟ al-Kalim ………………….....……………………………..8

 C. Kitab Gharib Al-Hadist ...………….…………. ……………………………..10

 D. Kitab Jawami‟ al-Kalim………………………………………………………14

BAB III PENUTUP…….. ………………….…………................................................19

 A. Simpulan ……………………………………… ……………………………19

 B. Saran………………………………………………………………………….20

 C. Daftar Pustaka………………………………………………………………..21

3
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Posisi Assunnah atau hadis terhadap al-Qur‟an sangat penting, dikarenakan dalam

Assunnah terungkap berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah saw. Tradisi-tradisi

yang hidup pada masa kenabian mengacu pada kepribadian Rasulullah saw. Yang didalamnya

banyak ajaran islam yang bisa dirasakan hingga saat ini. Dengan adanya keberlanjutan tradisi

itulah sehingga umat manusia zaman sekarang bisa memahami, merekam,dan melaksanakan

tuntunan ajaran islam. Nabi Muhammad saw. Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur‟an dan

musyarri menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Sebagaimana pendapat Imam

Ahmad, bahwasanya sennah (hadis) adalah menafsirkan dan menjelaskan al-Qur‟an. Tingkah

laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara

mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk ayat yang mutlak dalam al-Qur‟an maka

hendaklah mencari penyelesaiannya dalam hadis. Serta terdapat pula hadis-hadis yang memiliki

bahasa yang asing yang perlu dipahami pemaknaannya selain itu ada juga hadis-hadis yang

sangat singkat dan mudah dipahami, sehingga sebagai penulis yang mempunyai rasa ingin tahu

yang tinggi maka penulis berusaha mengkaji permasalahan tentang kitab Gharib-al-Hadits dan

Jawami al-Kalim.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Gharib al-Hadits & Jawami al-Kalim dalam

Ma‟anil Hadits?

2. Bagaimana Kitab-kitab Gharib al-Hadits & Kitab-kitab Jawami al-Kalim dalam

Ma‟anil Hadits?

4
C. Tujuan Masalah

1. Dapat memahami definisi Gharib al-Hadits & Jawami al-Kalim.

2. Mengetahui Kitab-kitab Gharib al-Hadits & Jawami al-Kalim dalam Ma‟anil

Hadits.

5
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Gharib al-Hadits

Sebagai sumber hukum Islam ke-dua setelah al-Quran, hadis memang harus dipelihara,

dijaga, dan tentunya diamalkan. Posisi hadis yang sangat esensial sangat dipahami oleh generasi

sepanjang masa. Itulah sebabnya berbagai cara dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini.

Tak sedikit dari mereka yang rela melakukan perjalanan (rihlah) jauh hanya untuk mendengar

satu hadis saja. Dan karena posisinya yang esensial ini lah, maka amatlah mesti adanya

pemahaman yang menyeluruh terhadap setiap lafadz atau kalimat dalam hadis, sehingga

didapatkan pemahaman yang utuh dan tidak parsial atau setengahsetengah. Ini pula sepertinya,

yang di satu sisi membuktikan bahwa hadis adalah juga wahyu dari Allah Swt melalui lisan Nabi

Muhammad Saw. karena nyatanya banyak lafad yang asing (Gharib), yang tidak langsung bisa

dipahami begitu saja. Serupa dengan yang terjadi terhadap lafad-afad alQuran.

Kita tentu pernah mendengar bagaimana seorang sahabat; mufassir yang mempunyai

gelar turjumanul quran seperti Ibn Abbas pada awalnya tidak tahu makna dari ‫( فطر‬fathara)

sampai ia mendengar perselisihan dua orang Arab mengenai kepemilikan sebuah sumur, hingga

akhirnya setelah tanpa sengaja memperhatikan percakapan orang Arab tersebut, barulah Ibn

Abbas memahami bahwa arti dari ‫( فظ ر‬fathara) adalah yang pertama kali menciptakan. Ibn

Abbas mengetahuinya dari katakata yang digunakan orang Arab tersebut dalam percakapannya.

Hal yang demikian terjadi dalam hadis. Ada lafad-lafad yang tidak bisa langsung dipahami

maknanya oleh para ahli hadis, sehingga lahirlah dalam ilmu hadis, satu cabang ilmu yang

disebut dengan ilmu gharib al-hadits.

6
Sedangkan menurut istilah, makna ‫ غرٌة‬dalam konteks ilmu hadis adalah sebagaimana

yang dijelaskan oleh para pakar; yakni sebagai berikut:

Pertama, Ibn Katsir dalam kitabnya al-Ba‟its al-Hatsits mengenalkan bahwa gharib al-

hadits adalah : ‫ال تّعر ج نٕا ج االضٕا‬, ٗ‫اٌعُ ي ت‬ٚ ٍُ‫اٌع‬ٚ ‫ُ اٌحدي ز‬ٙ‫ّا خ اٌّرعٍك ج تف‬ٌّٙ‫ِٓ ا‬

ٗ‫ِا ٌرعٍك ت‬ٚ.

Hal-hal penting yang berkaitan dengan pemahaman, ilmu dan pengaplikasian suatu hadis.

Bukan mengenai pengenalan struktur dan hal-hal yang berkaitan dengan sanad.1

Kedua, Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi Syarh Taqrib an-Nawawi

menjelaskan Gharib al-Hadits sebagai berikut:

‫ا‬ٌٙ ‫ِرٓ اٌحدٌس ِٓ ٌفع ج غاِض ج تعٍدج ِٓ اٌفٗ َ ٌمً ج اضرعّا‬ ‫لع‬ٚ ‫ِا‬.

Apa-apa yang ada dalam matan hadis dari lafad samar yang jauh dari pemahaman,

dikarenakan sedikit penggunaannya.2

Gharib al-hadits ini adalah cabang ilmu yang penting, bergelut dalam ilmu ini adalah sulit

sehingga mengharuskan panjang lebar pembicaraannya, karena kita tidak boleh menafsirkan

perkataan Nabi Saw. sembarangan dengan prasangka.3

Ketiga, Nuruddin „Itr dalam Manhaj an-Naqd, menjelaskan sebagai berikut:

ٓ‫ ْ األحا ٌس ِٓ األٌفاظ اٌغاِض ج اٌثعٍدج ع‬ٛ‫ِر‬ ‫لع‬ٚ ‫ِا‬: ‫غرٌة اٌحدٌس‬

ُٙ‫اٌف‬.

Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada dalam matan hadis-hadis dari lafadz-lafadz

samar yang jauh dari pemahaman.4 Keempat, Abu Zahrah dalam al-Hadits wa al-Muhadditsuun.

‫ُ ٌمً ج اضرعّا‬ٙ‫ا غرٌة اٌحدي ز ِا ٌمع فٍٗ ِٓ وٍّاخ غاِض ج تعٍدج ِٓ اٌف‬ٌٙ.

7
Gharib al-Hadits adalah Apa-apa yang ada di dalam hadis, kalimat-kalimat samar yang

jauh dari pemahaman karena sedikit penggunaannya.

Demikian pengertian Gharib al-Hadits menurut para pakar yang secara esensial sama,

hanya sedikit berbeda dalam redaksinya saja. Dari definisidefinisi di atas pula dapat dengan

mudah kita simpulkan bahwa objek yang menjadi kajian ilmu ini adalah terfokus kepada matan

hadis bukan sanadnya. Mencakup kalimat-kalimat asing yang artinya tidak diketahui karena

memang jarang digunakan dalam percakapan, juga mencakup susunan kalimatnya yang sukar.

Sehingga dengan ilmu ini bisa megurangi kecenderungan untuk menafsirkan perkataan Nabi Saw

dengan cara menduga-duga.

B. Defenisi Jawami’ Al – Kalim

Terdapat beberapa hadis shahih yang menegaskan keistimewaan berupa Jawami‟ al-

Kalim. Diantaranya hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Nabi ‫ ﷺ‬bersabda,

‫ة‬ ِ َُٔٚ ُِِ ٍ‫اِِ َع ْاٌ َى‬َٛ ‫ِد أُعْطِ ٍدُ َج‬
ُّ ِ‫ص ْرخُ ت‬
ِ ‫اٌر ْع‬ َ ُ‫ض ٍْد‬
ٍّ ّ ‫عٍَى األ َ ْٔثٍَِاءِ تِط‬ ّ ِ ُ‫ف‬..

“Aku diberi kelebihan dibandingkan nabi-nabi sebelumku dengan 6 hal: aku diberi

Jawami‟ al-Kalim, aku ditolong dengan rasa takut yang disematkan di hati para

musuh…” (HR.Muslim 1195 & Turmudzi 1640).

Dalam riwayat lain, juga dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Nabi ‫ ﷺ‬bersabda,

ُِِ ٍ‫اِِ ِع ْاٌ َى‬َٛ ‫…تُعِصْدُ ِت َج‬

Aku diutus dengan membawa Jawami‟ al-Kalim… (HR. Bukhari 2977).

Lantas apakah defenisi dari Jawami; Al-Kalim?

8
Jawami’ al-Kalim adalah kalimat ringkas yang padat makna.

ًٔ‫ اٌىصٍر اٌّعا‬،‫ اٌمًٍٍ اٌٍفع‬،‫جس‬ٌّٛ‫ي ا‬ٛ‫ أٔٗ واْ ﷺ ٌرىٍُ تاٌم‬:ٖ‫ ِعٕا‬:‫لاي اٌس٘ري‬

Az-Zuhri mengatakan, „Makna Jawami‟ al-Kalim adalah bahwa Nabi ‫ ﷺ‬berbicara dengan

kalimat yang ringkas, lafadznya pendek, namun banyak makna.‟

Pendapat kedua didukung oleh hadis dari Abu Musa radhiyallahu „anhu, beliau bercerita,

Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah mengutusku ke Yaman bersama Muadz bin Jabal radhiyallahu „anhu.

Beliau berpesan,

‫ط َِرا‬ ّ ٌََٚ ‫الَ ذَُٕفّ َِرا‬َٚ ‫ش َِرا‬


ّ َ‫الَ ذُع‬َٚ ‫ط َِرا‬ َ ٌَّٕ‫ا ا‬َُٛ ‫ا ْع‬
ّ َ‫ت‬َٚ ‫اش‬

Dakwahi masyarakat, berikan gabar gembira dan jangan buat mereka lari. Mudahkan

dan jangan dipersulit. Kemudian Abu Musa bertanya kepada beliau mengenai beberapa jenis

minuman hasil fermentasi madu yang disebut al-Bita‟ dan hasil fermentasi gandum yang disebut

al-Mizru. Kemudian Nabi ‫ ﷺ‬memberikan jawaban,

َ ‫ى‬َٙ ْٔ َ ‫أ‬
‫ع ْٓ ُو ًِّ ُِ ْطى ٍِّر‬

“Aku larang semua yang memabukkan..”

Kata Abu Musa,

ُِِ ٍ‫اِِ َع ْاٌ َى‬َٛ ‫ى َج‬ ُ


َ ِ‫لَ ْد أعْط‬

“Sungguh beliau diberi Jawami‟ al-Kalim..” (HR. Muslim 5334)

Dari keterangan Abu Musa menunjukkan bahwa makna Jawami‟ al-Kalim adalah sabda beliau

yang ringkas namun padat makna.

Dan pendapat ini juga yang disampaikan al-Munawi dalam Faidhul Qadir,

ٗ‫ا عٍى إٌجاز اٌٍفع ِع ضعح اٌّعٕى تٕظُ ٌطٍف ال ذعمٍد فٍٗ ٌعصر اٌفىر فً طٍث‬ٙ‫اِع اٌىٍُ أي ٍِىح ألردر ت‬ٛ‫ج‬

Jawami‟ al-Kalim maksudnya adalah kemampuan dimana dengan itu beliau mampu

menyampaikan kalimat ringkas namun maknanya luas, dengan susunan yang bagus, tidak

9
menyulitkan yang membuat pikiran bisa meleset dalam memahaminya dan tidak pula… (Faidhul

Qadir, 1/719

C. Kitab Gharib Al- Hadist

Rasulullah Saw adalah orang Arab yang paling fasih lisannya, sehingga ketika beliau

berbicara kepada delegasi-delegasi orang Arab dari berbagai kabilah dengan perbedaan lisan-

lisannya, mereka dapat memahami apa yang beliau katakan. Begitupun para sahabat, mereka

adalah orang-orang yang paling memahami apa yang beliau katakan, kalaupun ada yang tidak

mereka mengerti, niscaya mereka menanyakannya kepada beliau. Sehingga segala urusan dapat

sampai pada kebenaran Rasulullah Saw.5

Pada masa sahabat, sebelum adanya berbagai penaklukan negri-negri, lisan orang Arab

sangatlah baik. Namun setelah banyaknya orang „azam luar Arab yang masuk Islam, maka

mulailah banyak terjadi percampuran, hingga berkembang jaman baru di mana lisan orang Arab

bercampur dengan orangorang „azam luar Arab. Pada masa Tabi‟in, bahasa Arab terus

bercampur sedikit demi sedikit. Sehingga ketika masa tabi‟in berlalu, lisan orang Arab berubah,

akibatnya orang-orang kesulitan memahami hadis Nabi saw.

Hal ini terus berlangsung sampai Allah Swt mengilhamkan kepada para aimmatuddin

untuk mengobati penyakit ini. Maka para Imam mutaakhkhirin dari atba‟ at-tabi‟in seperti Malik

bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, dan Syu‟bah bin Hajjaj mulai sibuk membicarakan keghariban

hadis-hadis Nabi Saw.

Begitu pun banyak dari ulama setelah mereka, yang sangat memperhatikan ilmu ini.

Suatu saat Imam Ahmad pernah ditanya tentang satu huruf yang gharib maka ia berkata,

10
“Tanyakanlah kepada orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tersebut, karena aku tidak

suka berbicara mengenai perkataan Rasulullah Saw dengan prasangka semata dan kemudian aku

salah.

Dari sinilah mulai disusun berbagai kitab mengenai gharib al-hadits yang Insya Allah

akan penulis sebutkan beberapa di antaranya pada pembahasan selanjutnya. Secara umum, yang

dimaksud dengan kitab Gharib adalah kitab-kitab yang mengumpulkan kalimat-kalimat gharib

dan sukar maknanya baik itu dari al-Quran maupun hadis. Ada sedikit perbedaan pendapat

mengenai siapa orang yang pertama menyusun kitab Gharib al-Hadits, ada yang berkata yang

pertama kali adalah Abu „Ubaidah Ma‟mar bin al-Mutsanna at-Tamimi (W.210 H), ada pula

yang berpendapat bahwa yang pertama kali adalah Abu Hasan an-Nadhri bin Syamil al-Mazini

(W. 203 H).

Gharibul-Hadits yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan menjelaskan

satu hadits yang dalam matannya terdapat lafadh yang pelik dan susah dipahami, karena jarang

dipakai. Sehingga keberadaan ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.

Sejak dimulainya pembukuan (secara sistematis) hadits pada akhir abad kedua dan awal

abad ketiga, para ulama sudah menyusun buku-buku tentang gharibul-hadits. Orang yang

pertama kali menyusun dalam masalah gharibul-hadits adalah Abu „Ubaidah Mu‟ammar bin Al-

Mutsanna At-Taimi (wafat tahun 210 H).

Buku-Buku yang Terkenal dalam Masalah Ini :

1. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abul-Hasan An-Nadlr bin Syumail Al-Mazini

(wafat 203 H), salah satu guru Ishaq bin Rahawaih, guru Imam Bukhari.

2. Kitab Gharibul-Atsar, karya Muhammad bin Al-Mustanir (wafat 206 H).

11
3. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu „Ubaid Al-Qasim bin Salam (wafat 224 H).

4. Kitab Al-Musytabah minal- Hadits wal-Qur‟an, karya Abu Muhammad Abdullah

bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri (wafat 276 H).

5. Kitab Gharibul-Hadits, karya Qasim bin Tsabit bin Hazm Sirqisthi (wafat 302 H).

6. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu Bakar Muhammad bin Al- Qasim Al-Anbari

(wafat 328 H).

7. Kitab Gharibul-Qur‟an wal- Hadits, karya Abu „Ubaid Al- Harawi Ahmad bin

Muhammad (wafat 401 H).

8. Kitab Smathuts-Tsurayya fii Ma‟ani Ghariibil-Hadits, karya Abul-Qasim Isma‟il

bin Hasan bin At-Tazi Al-Baihaqi (wafat 402 H).

9. Kitab Majma‟ Gharaaib fii Gharibil-Hadits, karya Abul-Hasan Abdul-Ghafir bin

Isma‟il bin Abdul- Ghafir Al-Farisi (wafat 529 H).

10. Kitab Al-Fa‟iq fii Gharibil- Hadits, karya Abul-Qasim Jarullah Mahmud bin „Umar

bin Muhammad Az-Zamakhsyari (wafat 538 H).

11. Kitab Al-Mughits fii Gharibil- Qur‟an wal-Hadits, karya Abu Musa Muhammad

bin Abi Bakar Al-Madini Al-Asfahani (wafat 581 H).

12. Kitab An-Nihayah fii Gharibil- Hadits wal-Atsar, karya Imam Majdudin Abu

Sa‟adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul- Atsir (wafat 606 H).

Upaya baik para ulama dalam pembukuan dan penjelasan gharibul-hadits ini berakhir

pada Ibnul-Atsir. Dalam menyusun buku, dia berpedoman pada kitab Gharibul-Qur‟an wal-

Hadits karya Al-Harawi dan kitab Al- Mughits fii Ghariibil-Qur‟an wal- Hadits karya Abu Musa

Muhammad bin Abi Bakar Al- Madini.

12
Dan belum diketahui ada orang yang melakukan upaya penyusunan gharibul-hadits

setelah ibnul-Atsir kecuali Ibnu Hajib (wafat 646 H). Setelah itu, upaya para ulama hanya

sebatas pada memberi lampiran dan ikhtishar, atau meringkas terhadap kitan An-Nihayah.

Di antara ulama yang memberi lampiran pada kitab tersebut adalah Shafiyyuddin

Mahmud bin Abi Bakar Al-Armawi (wafat 723 H). Dan diantara yang melakukan ikhtishar

adalah : Syaikh Ali bin Husamuddin Al-Hindi, yang dikenal dengan nama Al-Muttaqi (wafat 975

H), „Isa bin Muhammad Ash- Shafawi (wafat 953 H) kira-kira mendekati setengah ukuran kitab,

dan Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) yang mukhtasharnya dinamakan Ad- Durrun-Natsir

Talkhis Nihayah Ibnul-Atsir.

Pada mulanya kitab Ad-Durrun- Natsir dicetak sebagai hamisy atau catatan pinggir pada

kitab An-Nihayah. Namun kemudian As- Suyuthi mempunyai inisiatif untuk memisahkan

tambahan terhadap kitab tersebut, dan diberi nama At-Tadzyil a‟laa Nihayah Al- Gharib.

Kitab Nihayah juga disusun dalam bentuk syair oleh Imaduddin Abul-Fida‟ Isma‟il bin

Muhammad Al-Ba‟labaki Al-Hanbali (wafat 785 H) dengan nama Al-Kifayah fii Nudhum An-

Nihayah.

Ibnul-Atsir telah mengatur kitabnya An-Nihayah berdasarkan urutan huruf hijaiyyah, dan

dicetak terakhir kalinya dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir Ahmad Az- Zawi danMahmud

Muhammad Ath-Thanahi sebanyak lima jilid, dan diterbitkan oleh Pustaka Daar Ihya Al-Kutub

Al-„Arabiyyah, „Isa Al-Babi Al-Halabi dan rekannya di Mesir.

Ibnul-Atsir menyusun kitabnya An-Nihayah berpedoman pada kitab Al-Harawi dan Abu

Musa Al- Madini, yaitu dengan memberi tanda atau rumus (ha‟) jika mengambil dari kitab Al-

Harawi, dan tanda atau rumus huruf (sin) jika mengambil dari kitab Abu Musa. Adapun selain

13
dari kedua kitab tersebut dibiarkan tanpa tanda apapun, untuk membedakan mana yang dari

kedua kitab tersebut dan mana yang dari kitab yang lain.

D. Kitab Jawami’ Al- Kalim

Kitab jawami al-kalim merupakan kumpulan dari hadits-hadits yang memiliki matan

hadits singkat tapi padat artinya matan hadits yang relative singkat dan pendek namun

mengandung makna ajaran yang sangat padat, luas dan dalam. Seperti pada kitab KH. Ali

Maksum yang berjudul “Jawami‟ul Kalim:

Manqulah min ahadits al-jami‟ as-shaghir” yang berisi kumpulan hadis-hadis Nabi SAW

yang dinukil dari kitab hadis “Al-Jami‟us Shoghir” susunan Imam Jalaluddin Abdurrahman bin

Abu Bakr al-Suyuthi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Suyuthi.6 Selanjutnya kita

akan mengenal kitab beliau yakni al-Jami‟ al-Sagir.

Kitab al-Jāmi‟ al-S{agīr merupakan kitab yang disusun berdasarkan huruf mu‟jam

(secara alfabetis) dengan tujuan supaya para pembaca lebih mudah dalam mencari dan membaca

hadith-hadith Nabi Muhammad. Kitab tersebut ditulis secara singkat, yakni dengan hanya

mencantumkan matan hadith yang sesuai dengan huruf huruf mu‟jam. Dalam bahasa al-Suyūtī{

disebut dengan tark al-qisyr wa akhdh al-lubāb” (meninggalkan kulit dan mengambil isi

pokoknya). Kitab ini diberi nama oleh al-Suyūtī{ dengan judul al-Jāmi‟ al-Sagīr fī Ah{ādīth al-

Bashīr al-Nadhīr.7 Kitab tersebut selesai ditulis pada hari senin, 18 Rabī‟ul Awwal 907 H,8

sekitar kurang lebih dua tahun sebelum meninggal dunia. Mengenai sejak kapan ditulis, tidak

14
atau belum ditemukan data karena tidak disebutkan dalam muqaddimah ataupun dalam

muqaddimah pentahqiq kitab tersebut. Pada abad XI H, Abd al-Raūf al-Mannāwī (w. 1031 H)

mensyarahkan kitab tersebut dengan judul Faid al-Qadīr fī Sharh{ al-Jāmi‟ alSagīr fī Ah{ādīth

al-Bashīr al-Nadhīr.

Pada awalnya, al-Suyūtī{ menulis kitab Jam‟u al-Jawāmi‟ yang merupakan ensiklopedi

kitab hadith paling besar. Tujuan disusunnya kitab tersebut untuk menghimpun semua hadith,

tetapi tidak terealisasi karena memang hadith itu sangat banyak jumlahnya. Dari kitab Jam‟u al-

Jawāmi‟ inilah al-Suyūtī{ memilih hadith-hadith terkait dengan ungkapan (al-aqwāl) Nabi

Muhammad, bukan perbuatannya (al-af‟āl). Kemudian disusun secara alpabetis yang diberi nama

al-Jāmi‟ al-S{agīr fī Ah{ādīth al-Bashīr al-Nadhīr. Setelah diteliti ulang ternyata banyak

ditemukan kekurangan, barulah al-Suyūtī{ menulis sebuah kita untuk menambah kekurangan

tersebut yang diberi nama al-Ziyādah alā al-Jāmi‟ al-S{aghīr. . Melihat kitab ini terpisah

sehingga terkesan tidak koheren maka Syaikh Yūsuf al-Nabhānī menggabungkan kedua kitab

tersebut menjadi satu kitab, yang diberi nama al-Fath{ al-Kabīr fī Dammi alZiyādah ilā al-Jāmi‟

al-S{aghīr. Kitab juga ditambah hadith-hadithnya oleh Syaikh Ahmad Abd al-Jawwād dari al-

Jāmi‟ al-Kabīr karya al-Suyūtī{ juga, dan al-Jāmi‟ al-Azhar karya al-Mannāwī. Kumpulan hadith

dari dua kitab inilah yang disebut Jāmi‟ al-Ah{ādīth telah diterbitkan dalam sembilan jilid.

Kumpulan kitab karya dari al-Suyūtī{, Yūsuf al-Nabhānī, dan Muh{ammad Nāsir al-Dīn

al-Albānī kemudian disusun sesuai dengan bab-bab fikih oleh Aunī Na‟īm al-Syarīf. Lafaz-lafaz

yang sulit dipahami atau garīb9 dijelaskan oleh Alī Hasan Alī Abd al-Hamīd. Kitab ini terdiri

dari empat jilid, diterbitkan oleh Maktabah al-Ma‟ārif, Riyād, Arab Saudi, pada tahun 1407

H/1987 M. Perlu diketahui bahwa menurut al-Mannāwī, kitab Jam‟u al-Jawāmi‟ dtulis oleh al-

15
Suyūtī{ belum sempurna sampai beliau wafat.10 Sehingga wajar jika dalam kitab tersebut banyak

ditemukan hadith daif dengan beragam bentuknya, termasuk hadith palsu.

Kitab al-Jāmi‟ al-Sagīr wa Ziyādatuhu merupakan kitab besar yang menghimpun banyak

hadith, memiliki banyak kelebihan, dan tersebar di kalangan para pengkaji hadith. Susunan

hadith dalam kitab ini sangat umum sehingga tidak diketahui klasifikasinya secara jelas.

Misalnya hadith tentang wahyu, iman, ilmu, tafsir, bersuci (Tahārah) salat, puasa, zakat, haji dan

sebagainya. Ditinjau dari segi kritik sanad dan matan hadith, ada ribuan hadith yang dianggap

palsu oleh sebagian peneliti. Selain itu untuk memudahkan pencarian hadith maka ulama

belakangan menyusunnya dalam bentuk kitab fikih. Muh{ammad Nāsir al-Dīn al-Albānī telah

meneliti kitab ini dengan serius meskipun ada beberapa kekurangannya.

Kitab al-Jāmi‟ al-Sagīr fī Ah{ādīth al-Bashīr al-Nadhīr bersumber dari beberapa kitab

hadith primer yang dalam pencantuman tersebut al-Suyūtī{ langsung memberikan rumus sebagai

rujukannya. Tentu ini dimaksudkan supaya para pembaca bisa merujuk langsung kepada kitab

induk atau primer tersebut. Adapun rumus-rumus atau simbol yang merupakan tanda sebagai

sumber pengambilan hadith tersebut digunakan huruf-huruf hijaiyah. ‫ = ذد‬kitab al-Adab al-

Mufrad karya Muh{ammad bin Ismāīl al-Bukhārī, ‫ = ذد‬Kitab alTārīkh karya al-Bukhārī, ‫= حة‬

Sahih Ibn Hibbān, ‫ = خ‬al-Jāmi‟ al-Sahih karya al-Bukhārī, َ = Sahih Muslim, ‫ =ق‬Sahih al-

Bukharī dan Muslim, = Sunan Abī Dāwud, ‫ =خ‬Sunan al-Tirmiżī, ْ= Sunan al-Nasā‟ī, ٖ =

Sunan Ibn Mājah, ٤= Sunan Abī Dāwud, al-Nasā‟ī, al-Tirmiżī dan Ibn Mājah, ٣= Sunan Abī

Dāwud, al-Nasā‟ī dan al-Tirmiżī, َ ‫ = ح‬Musnad Ahmad, َ = Abdullāh bin Ahmad dalam

Zawā‟id Musnad ayahnya (Ahmad), = ‫ ن‬al-Mustadrak alā al-Sahihain karya alHākim (w. 405 H).

Jika tidak diambil dalam al-Mustadrak, al-Suyūtī{ langsung menjelaskankannya, , ‫طص طغ‬, ‫= طة‬

16
al-Mu‟jam al-Kabīr, al-Mu‟jam al-Ausat, dan al-Mu‟jam al-Sagīr karya al-Tabarānī (w. 360 H),

‫ =ص‬Sa‟īd bin Mansūr dalam kitab Sunan-nya, ‫ = ظ‬Musannaf Ibn Abī Syaibah, ‫ = عة‬Kitab al-

Jāmi‟ karya Abdur Razzāq al-San‟ānī (w. 211 H), = Kitab Musnad karya Abū Ya‟lā al-Mausilī,

‫ = لظ‬Kitab Sunan al-Dāraqutnī. Jika tidak terdapat dalam kitab Sunan ini, al-Suyûtî langsung

menjelaskannya, ‫ = فر‬Musnad al-Firdaus karya alDailamī, ً‫ =ح‬Hilyah al-Auliyā‟ karya Abū

Nu‟aim al-Al-As{bahānī, ‫ = ٘ة‬Syuab al-Īmān al-Baihaqī, ‫ = ٘ك‬Kitab al-Sunan al-Kubrā karya al-

Baihaqī, ‫ = عد‬al-Kāmil fī Duafā‟ al-Rijāl karya Ibn Adī, ‫ = عك‬Kitab al-Dhu‟afā‟ karya alUqailī,

‫ = ذظ‬Tārīkh Bagdād karya al-Khatīb al-Bagdādī. Jika mengutip selain dari kitab ini, al-Suyūtī{

akan menjelaskannya,11 dan kitab-kitab lainnya yang tidak tercantum dalam rumus-rumus ini.

Dari literatur-literatur tersebut jelas sekali bahwa al-Suyūtī{ tidak hanya merujuk kepada kitab-

kitab hadith tetapi juga kitab sejarah, rijāl, dan al-jarh wa al-ta‟dīl.

Contoh Al Jawami‟ul Kalim adalah hadist yang terdapat di dalam kitab Rassyul Barrod

Syarh Adabul Mufrad lil Imam Bukhari karya Syaikh Muhammad Luqman As Salafy. Pada bab

ke 375, yaitu bab kunyah untuk anak kecil, hadist nomor 847.

‫ٌٗ ب شأٔٗ إٌٍغر‬ ْ‫ٌّا‬:‫ا‬ ْ‫وا‬: ‫ْ أْ ش لا ي‬ ‫ضى تٓ إضّاعًٍ ح شٕا حُ ا ب ْ ضٍُ ج عٓ شاب خ‬ِٛ ‫ح شٕا‬

, ‫فرآٖ أتا حسٌٕاعٍّر‬: ْ ‫ نغٍرضً ٌّه‬ٚ ٍٍٗ‫ًٌ أخ ع‬ٌٍٛ‫فّاخ ضً َ فدذً آٌ ب ٌدذً عٍٍٕانٍى ا‬ٚ ٍٍٗ‫ع‬, ٗ‫؟نٍىٍٍعة اٌٍث‬

ْ‫وا‬ٌٛ‫فما‬

. ‫ ٌا أتا أٍِر ِا فعً آٌ غٍر‬: ‫ فماي‬.ٖ‫ِاخ ٔغر‬: ٌٗ ًٍ‫ل‬

Dari Musa bin Isma‟il, dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit dari Anas bin Malik,

beliau berkata, “Nabi shallallahu „alaihi wa sallam berkunjung ke rumahku, dan aku punya

17
saudara yang masih kecil yang diberi kunyah Abu Umair. Dia punya burung kecil yang dia suka

bermain dengannya. Tetapi burung tersebut mati. Maka Nabi menemui anak kecil tersebut,

beliau shallallahu „alaihi wa sallam melihatnya sedang bersedih. Maka beliau shallallahu „alaihi

wa sallam bertanya, “Ada apa dengannya?”. Dikatakan kepada Nabi,”Burung kecil

peliharaannya mati”. Lalu beliau shallallahu „alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu ‘Umair,

apa yang dilakukan oleh An Nughair (burung kecil)?” (HR. Bukhari).

Maka dalam sepotong kalimat dari hadist diatas dapat diambil beberapa faidah, antara lain :

a) Bolehnya memberikan kunyah kepada seorang yang belum memiliki anak.

b) Bolehnya seorang yang belum menikah – bahkan – anak kecil memiliki kunyah.

[Catatan : pemberian kunyah tersebut tidaklah termasuk dusta, tetapi bermakna harapan

kepada yang punya kunyah untuk memiliki anak].

c) Bolehnya bercanda asalkan tidak mengandung kedustaan dan dosa.

d) Bolehnya memelihara burung di dalam sangkar atau selainnya, asal dipenuhi

kebutuhannya.

e) Bolehnya men-tashgir nama, walaupun nama hewan sekalipun.

f) Bolehnya bersajak dalam ucapan, selama tidak dipaksakan.

g) Menunjukkan tawadhu‟nya nabi shallallahu „alaihi wa sallam sampaisampai

kepada anak kecil sekalipun.

h) Pengeluaran orang tua untuk membelikan mainan anak, tidak terhitung

menghamburkan harta, selama tidak berlebihan.

i) Perintah untuk menghibur orang yang bersedih.

j) Perintah untuk menyayangi dan berlemah lembut kepada anak.12

18
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Ditinjau dari segi bahasa, ‫( غرٌة‬Gharib) diambil dari akar kata ‫ غرب‬yang berarti ٓ‫تعٍد ع‬

ٕٗ‫ط‬ٚ (Ba‟idun „an wathanihi) yakni jauh dari rumah atau tempat tinggal. Orang yang tidak sedang

di rumah atau tempat tinggalnya kita katakana asing. Imam Abu

Sulaiman al-Khattabi berkata: “asing dalam perkataan adalah jauh dari pemahaman

seperti jauhnya seseorang dari rumah atau tempat tinggalnya, Sederhananya Dr. Mahmud

Thahan mendefinisikan ‫ غرٌة‬secara bahasa adalah “lafad-lafad yang tersembunyi maknanya”

Inilah makna ‫ غرٌة‬secara bahasa. Sedangkan menurut istilah, makna ‫ غرٌة‬dalam konteks ilmu

hadis adalah Apa-apa yang ada dalam matan hadis

dari lafad samar yang jauh dari pemahaman, dikarenakan sedikit penggunaannya.

Sedangkan Jawami‟ul kalim adalah sebuah kalimat yang ringkas, tapi mempunyai makna

yang luas, seperti pada saat beliau sangat fasih di dalam menyampaikan sesuatu. Kefasihan

ketika menyampaikan kalimat sangat berpengaruh bagi orang yang diajak bicara. Semakin fasih

sebuah kalimat, semakin mudah untuk dipahami dan diingat.

Berikut kitab-kitab tentang Gharib al-Hadits yang telah disusun oleh para ulama:

i) Gharib al-Hadits karya Abu Ubaid al-Qasim in Salam (W. 224 H). Sudah dicetak

dalam 4 jilid.

j) Gharib al-Hadits karya Muhammad bin Ziyad yang lebih dikenal dengan nama

Ibn al-A‟rabi (W. 231 H).

k) Gharib al-Hadits karya Abu Muhammad „Abdullah bin Muslim bin

Qutaibah (W. 276 H). Kitab ini adalah catatan tambahan dan perbaikan atas kitab Abu

Ubaid al-Qasim bin Salam. Sudah dicetak dalam 3 jilid.

19
l) Gharib al-Hadits karya Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (W. 285 H).

m) Gharib al-Hadits karya Abu Sulaiman Hamd al-Khattabi (W. 388 H)

n) Al-Ghariibiin (Gharib al-Quran wa al-Hadits) karya Abu Ubaid Ahmad bin

Muhammad al-Harwi (W. 401 H).

o) Al-Faiq fii Gharib al-hadits karya Abu Qasim JaaralLahu Mahmud bin

„Amr az-Zamakhsyari al-Mu‟t azili (W. 538 H).

p) Gharib al-Hadits karya Abu al-Farj Ibn al-Jauzi (W. 597 H).

An-Nihayah fii Gharib al-Hadits karya Majiuddin al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari

yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Atsir (W. 606 H).

Serta Kitab jawami al-kalim merupakan kumpulan dari hadits-hadits yang memiliki

matan hadits singkat tapi padat artinya matan hadits yang relative singkat dan pendek namun

mengandung makna ajaran yang sangat padat, luas dan dalam.

Seperti pada kitab KH. Ali Maksum yang berjudul “Jawami‟ul Kalim: Manqulah min ahadits al-

jami‟ as-shaghir” yang berisi kumpulan hadis-hadis

Nabi SAW yang dinukil dari kitab hadis “Al-Jami‟us Shoghir” susunan Imam Jalaluddin

Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi.

B. Saran

Kami sadari bahwa makalah yang telah kami susun tentunya jauh dari kata sempurna,

karena kesempurnaan hanya milik Allah swt. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya

kekeliruan ataupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu, kami selaku penulis

20
mengharapkan agar sekiranya pembaca berpartisipasi dalam memberikan gagasan, masukan

ataupun kritik yang tentunya bias menjadikan kami lebih baik lagi dalam penyusunan makalah.

Daftar Pustaka

„Itr Nuruddun, Manhaj an-Naqd fii Ulum al-Hadits, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 3,thn.
1997.
Abu Zahrah Muhammad, al-Hadits wa al-Muhadditsun: Inayah al-Ummah alIslamiyyah
bi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Beirut, Dar al-Kitab al-„Arabi, cetakan pertama, thn. 1984.
Ahmad, Arifuddin. 2012. Metodologi Pemahaman Hadis. Makassar: Alauddin
University Press.
Al-Khatib Muhammad „Ajjaj, Ushul al-Hadits: „Ulumuhu wa Musthalahuhu Damaskus,
Dar al-Fikr, cetakan pertama, thn. 1989.
As-Suyuthi Jalaluddin, Tadrib ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi, Kairo, Maktabah Dar
at-Turats, cet. 3, thn. 2005.
Az-Zahrani Muhammad, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah: Nasy‟atuhu wa
Tathawwuruhu min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi‟ al-Hijri, Riyadh, Dar al-
Hijrah, cetakan pertama, thn. 1996.
Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad. 2013. Pengantar Ilmu Hadis. Surakarta:
Zadahaniva Publishing.
Katsir Ibn, al-Ba‟its al-Hatsits: Syarh „Ulum al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan
pertama, thn. 2005.
https://tahdits.wordpress.com/2013/01/08/ilmu-gharib-al-hadist/

21
22
Kitab-Kitab Yang Membahas dan megemukakan Ma’ani al-Hadis

(Kitab-kitab Jami’, Syarah dan Ulum al-Hadis)

Ma’ani al-Hadis

Disusun oleh:

AINUN FATIAH HUSAIN

30300118093

DEDI SULHAM SYAWAL

30300118098

ACHMAD FAUZAN

30300118106

Dosen Pembimbing;
Dr. Mukhlis Mukhtar M.Ag

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Posisi Assunnah atau hadis terhadap al-Qur‟an sangat penting,1 dikarenakan

dalam Assunnah terungkap berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah
saw. Tradisi-tradisi yang hidup pada masa kenabian mengacu pada kepribadian

Rasulullah saw. Yang didalamnya banyak ajaran islam yang bisa dirasakan hingga

saat ini. Dengan adanya keberlanjutan tradisi itulah sehingga umat manusia zaman

sekarang bisa memahami, merekam,dan melaksanakan tuntunan ajaran islam.

Nabi Muhammad saw. Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur‟an dan musyarri

menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Sebagaimana pendapat Imam Ahmad,

bahwasanya sennah (hadis) adalah menafsirkan dan menjelaskan al-Qur‟an. Tingkah


laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara

mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk ayat yang mutlak dalam al-Qur‟an

maka hendaklah mencari penyelesaiannya dalam hadis. 2

1
Al-Khatib al-Bagdadi dalam Kitabnya mengutip riwayat al-Auza‟I dari Makhul, bahwa
sesungguhnya al-Qur‟an lebih membutuhkan Sunnah daripada kebutuhan Sunnah terhadap al-Quran.
Begitu juga Ibn Abi Kasir juga menyatakan bahwa al-Sunnah merupakan pemberi keputusan atas al- Qur‟an,
dan tidaklah al-Qur‟an pemberi keputusan bagi al-Sunnah. Dengan demikian dapatt kita
simpulkan bahwa hadis dangat berkaitan erat dengan al-Qur‟an karena ia merupakan tafsir atas al-
Qur‟an. Lihat Kholila Mukaromah. "Kajian Syarah Hadis Sabul al-Salam" Perspektif Historis. Tesisi
yang diajukan kepada Paca Sarjana UIN Sunan Kalijaga , 2015, hlm. 1.
2
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbah al-Zalam Syarh
Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam)”, Tesis yang disajikan dalam Siding Tesis Tertutup Program
Magister Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019 Hlm. 1

1
Tanpa mengunakan hadis, syariat Islam tidak mungkin dapat dipahami dan
dilakukan secara utuh, misalnya, perintah shalat yang terdapat dalam al-Qur‟an tidak

terdapat penjelasan mengenai jumlah rakaat, tata cara pelaksanaannya ataupun waktu

untuk melaksanakannya. Nah muncullah hadis yang menjelaskan semuanya itu.

Upaya peletarian kebenaran hadis pada masa sahabat dengan menggunakan metode

konfirmasi. Bukanya mereka tidak percaya yang dikatakan oleh pembawa berita,
namun semata mata itu dilakukan untuk meyakinkan diri mereka bahwa hadis yang

diterimanya itu benar dari Rasulullah saw.

Pada masa itu para sahabat mengajarkan hadis secara lisan, karena mereka

masih mengandalkan hafalan mereka. Namun demikian bukan berarti kegiatan

pencatatan hadis tidak dilakukan. Pencatatan hadis tetap dilakukan terbukti


banyaknya catatan para sahabat Nabi dalam bentuk sahfah-sahfah, tetapi itu masih

merupakan inisiatif sendiri untuk keperluan pribadi.

Kegiatan penghimpunan hadis secara resmi dan massal, baru dilakukan


dipenghujun abad 1 H, atas inisiatif dan kebijakan Khalidah Umar bin Abdul al-Aziz. Al-

Bukhari meriwayatkan bahwa Umar Bin Abdul al-Aziz mengirim suarat kepada Abu

Bakar bin Hazm yang berisi: “Perhatikanlah hadis-hadis Rasulullah Saw. Yang kamu

jumpai dan tulislah, karena aku sangat khawatir akan terpisahnya ilmu, sejalan dengan

hilangnya ulama.3 Dengan adanya perintah untuk menulis kitab-kitab hadis sehingga lambat
laun bermunculanlah berbagai bentuk penyusunan kitab hadis. Salahsatunya yang menjadi

objek pembahasan makalah kami yaitu kitab-kitab Jami‟

3
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016) hlm. 192.
3

atau basa disebut dengan kitab Jawami. Kitab-kitab Syarah, dan kitab Ulum al-Hadis.

Yang semuanya itu jenis dan ciri-cirinya berbeda.

Faktor ini membuat sebagian pengkaji ilmu keislaman kurang tepat dalam

bereferensi terhadap kitab-kitab hadits. Oleh karena itu, perlu terdapat kajian

mengenai ragam dan karakteristik kitab-kitab hadits untuk memudahkan melacak

maupun mereferensi pada setiap hadits yang diambil. Tulisan ini tidak mencakup
seluruh kitab hadits, namun memfokuskan pada beberapa macam kitab hadits, seperti kitab-
kitab Jami‟ , kitabkitab syarh, dan kitab-kitab Ulum al-Hadis.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu kitab Jami‟, Syarah, dan Ulm al-Hadis.?

2. Sejarah singkat kitab Jami‟, Syarah, dan Ulm al-Hadis.?

3. Contoh kitab-kitab Jami‟, Syarah, dan Ulm al-Hadis.?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kitab-kitab Jami’ dan Syarah

1. Kitab-kitab Jami’

Kitab Jami‟ menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan bab dan mencakup hadis hadis berbagai sendi ajaran Islam dan sub-

subnya yang secara garis besar terdiri dari delapan bab, yaitu akidah, hukum, perilaku

para tokoh agama, adab, tafsir, fitan, tanda-tanda kiamat, dan manaqib.4

Kitab Jami‟ adalah ragam pembukuan hadis yang paling lengkap, karena ia

mencakup segala permasalahan sebagaimana di atas, tidak hanya terfokus satu

masalah saja. Segala aspek agama dan segala aspek kehidupan manusia dimuat dalam

kitab tersebut. Kelebihan kitab ini adalah sangat jelas, karena memiliki daya tampung
yang sangat luas terhadap berbagai topik. Hadis dapat dicari berdasarkan tema yang

melingkupinya. Misalnya jika ingin mencari hadis tentang shalat, tinggal membuka

bab shalat.

Dalam jawami‟ (jamak dari jami‟) hadis, urutan penulisan hadis didasarkan

kepada topik-topiknya, bukan seperti kitab-kitab musnad dan mu‟jam yang mendasarkan
kepada para perawi. Kitab Jami‟ yang hadir pada Abad Ke-4 sampai ke-

7 hijriah yaitu masa pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifa Al- Mu‟tasim,

pada saat itu kekusaan islam mulai melemah bahkan mengalami

4
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016) hlm. 192.

4
5

keruntuhan pada pertengahan abad ke-7 hijriah akibat serangan Halagu Khan, cucu

dari Jengis Khan, kegiatan para Ulama Hadis dalam rangka memelihara dan
mengembangkan hadis tetap berlangsung. Hanya saja pada saat itu hadis-hadis yang

dihimpun tidaklah sebanyak yang dihimpun sebelum sebelumnya. Salah satu kitab

hadis yang dihimpun pada saat itu adalah Al-Mukhtarah oleh Muhammad ibn Abd al-

Wahid al Maqdisi.5

Setelah lahirnya karya kitab-kitab hadis, selanjutnya kegiatan para Ulama


Hadis pada umumnya adalah merujuk kepada karya-karya yang telah ada dengan

bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad- sanad-

nya. Juga menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan, dan

menghimpun semua sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat
secara terpisah dalam kitab kitab yang telah ada tersebut.

Kitab Jami‟ itu sendiri menghimpun hadis-hadis yang telah ada, yaitu seperti,

Yang menghimpun Hadis-Hadis Shahih Bukhari dan Muslim:6

a. Al-Jami‟ bayn al-Shahihaini, oleh Ibn al-Furat (Ibn Muhammad/w. 414

H),

b. Al-Jami‟ bayn al-Shahihaini, oleh Muhammad ibn Nashr al-Humaidi (488

H),

c. Al-Jami‟ bayn al-Shahihaini, oleh Al-Baghawi (516H).

5
Nawir Yuslem Ulumul Hadis, (Ciputat: Mutiara Sumber Widya, 1997) hlm. 138-139.
6
Al-Jami‟ al-Shahih karya Bukhari dan Muslim termasuk kitab Jami‟ yang termasyhur dan
juga kitab Al-Jami‟ karya Imam al-Turmudzi. Dimana kitab ini biasa disebut dengan Sunan al-
Turmudzi karena ia lebih menonjolkan hadis-hadis hukum. Lihat Nawir Yuslem Ulumul Hadis, hlm.
140-141. Lihat juga Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 192.
Yang menghimpun hadis-hadis dari Al-Kutub al-Sittah:

a. Tarjih al-Shihah, oleh Razim Mu‟awiyah, yang disempurnakan oleh Ibn al-

Atsir al-Jazari dalam kitab Al-Jami‟ al-Ushul li Ahaditsal-Rasul,

b. Al-Jami‟, oleh ibn Kharrat (582 H).

Yang menghimpun hadis-hadis Nabi dari berbagai kitab hadis:

a. Mushabih al-Sunan, oleh Al-Baghawi (516 H), dan selanjutnya disaring oleh Al-
Khatib al-Tabizi dengan judul Misykat al-Mashabih,
b. Jami‟ al-Masanid wa al-Alqab, Oleh „Abd al-Rahman ibn Ali al-Jauzi (597

H). Kitab ini selanjutnya ditertibkan oleh Al-Thabari (964 H),


c. Bahr al-Asanid, oleh Al-Hasan ibn Ahmad al-Samarqandi (491 H).

Selain kitab-kitab diatas yang termasuk kedalam kitab Jami‟, Dijumpai juga

jenis kitab yang menghimpun hadis hadis yang mengenai masalah-masalah tertentu
dari kitab-kitab hadis yang ada, Seperti,7 Yang menghimpun hadi-hadis ahkam:

a. Mantaqa al-Akhba, Oleh Majd al-Din „Abd al-Salam ibn „Abd Allah (652),

b. Al-Ahkam al-Shugra, oleh ibn Kharrat (583 H).

Yang menghimpun hadis-hadis Tharghib wa al-Tarhib, Seperti kitab Al-

Targhib oleh Al-Mundziri (652 H).

7
Nawir Yuslem Ulumul Hadis, hlm. 141-142
7

2. Kitab-kitab Syarah

Dari sudut kebahasaan, kata syarah berarti al-kasyf (menampakkan), al-wadh

(menjelaskan), al-bayan (menerangkan), al-tawsf (memperluas), al-hifz (memelihara),

al fath ( membuka), dan al-fahm (memahami).8 Dari sudut terminologis, syarah

berarti uraian terhadap materi-materi tertentu, lengkap dengan unsurunsur dan segala

syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan. Dalam tradisi para penulis kitab
bahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan memberi komentar kepada

naskah atau matan suau kitab. Sehingga dapat dikatakan bahwa, istilah syarah tidak

hanya uraian dan penjelasan terhadap naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan

juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi, sebagaimana terlihat dalam kitab-

kitab syarah secara umum, baik syarah terhadap kitab hadis maupun kitab lainnya.9

Kitab Syarah merupakan kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan

hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-

Qur‟an, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara‟ lainnya.10

Makin luasnya wilayah Islam menunjang terjadinya akulturasi budaya yang

berakibat pula pada perbendaharaan bahasa Arab yang makin menipis. Bahasa nabi

yang lugas serta memiliki sastra yang tinggi, membuatnya sulit untuk dipahami oleh

8
Lihat Badang pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, kbbi V 0.2.1 Beta (21)
(ofline)
9
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbah al-Zalam Syarh
Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam)”, hlm. 15-16
10
Nawir Yuslem Ulumul Hadis, hlm. 144.
generasi yang hidup jauh setelah era kenabian. Oleh karenanya, merujuk kepada kitab
syarh dalam mengkaji Hadits seperti menjadi ritual wajib dan tidak terelakkan.11

Di antara kitab-kitab syarh tersebut adalah Syarh Muwattha‟ Malik, Tanwir

al-Hawalik karya Abd al-Rahman ibn Abî Bakar al-Suyûthî (849-911 H). Kitab ini

menjelaskan mufradat pada matn yang dianggap sulit dipahami, di dalamnya penulis
sesekali menjelaskan tentang kondisi sanad dan berusaha untuk mengkomparasikan

dengan jalur sanad berbeda dari mukharrij lain.12

Syarah lain dari al-Muwattha‟ di antaranya adalah al-Tamhid lima fî al-

Muwattha‟min al-Ma`ani wa al-Masanid karya Abu Umar bin Abd al-Basr, Syarh al-

Ta`liq al-Mumajjad „ala al-Muwattha‟ karya al-Laknawi al-Hindi, dan lain-lain sampai

kira-kira 8 kitab syarah.

Syarah Shahih al-Bukhari, dari sekian kitab Hadits yang ada, kitab ini adalah yang

terbanyak di-syarh oleh para ulama‟. Jumlahnya menurut pengarang kitab Kasyf al-

Zhunun ada 82 syarh.27 Di antara kitab syarh Shahih al-Bukhari adalah Syarh al- Bukhari

li Ibn al-Baththal karya Ibn al-Baththal, `Umdat al-Qari Syarh Shahîh al- Bukhari,
karya Badr al-Din al-Ayni al-Hanafî dan yang paling populer dari syarh al- Bukhari karya

Ibn Hajar al-Asqalani Fath al-Bari. Dapat dikatakan Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-

„Asqalani merupakan salah satu yang paling menonjol di antara syarh- syarh tersebut.

Banyak hal yang dijelaskan Ibn Hajar dalam syarah-nya, dimulai dari penjelasan lafazh,

maksud Hadits, sanad bahkan dia mengembalikan ketersambungan

11
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 9.
12
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 9.
9

Hadits-Hadits al-Bukharoi yang dianggap sebagian orang mu`allaq maupun

mawquf.13

Syarh Shahih Muslim di antaranya Syarh al-Nawawi „Ala Shahih al-Muslim

karya Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H). Dalam syarh-nya,

Imam Nawawi menjelaskan tentang pokok-pokok hukum yang terkandung dalam

Hadis, adab, zuhud, kaidahkaidah syara`, makna lafazh, rawi yang menggunakan

nama alias, kaidah-kaidah ilmu Hadits dan berusaha mencari titik temu antara dua
Hadits yang secara zhahir kelihatan bertentangan. Kemudian, al-Dabaj Syarh Shahih

Muslim bin al-Hajjaj, karya Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, dan lain-lain.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa seluruh kitab Hadits yang mu`tamad telah

ada syarah-nya bahkan terkadang memiliki syarah lebih dari satu, di antara kitab-

kitab syarh bagi empat sunan yang menonjol, ialah „Awn al-Ma‟bud karya Muhammad
Syams al-Haq al-„Azhim Abadzo yang merupakan Syarh Sunan Abu Dawud, Tuhfah al-

Ahwadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi karya Muhammad bin „Abd al- Rahman ibn Abd al-

Rahim al-Mubarakfuri (1283-1353 H), Syarh Sunan al-Nasa‟i karya Imam al-Sandiy,

Syarh Sunan Ibn Majah karya al-Sandiy.14

a. Periode Pertumbuhan Syarah Hadis

Sejarah munculnya kitab-kitab syarah hadis tidak bisa dilepaskan dari


perjalanan sejarah dan perkembangan hadis itu sendiri. Sejak masa Nabi saw. dan

sahabat, sejarah kodifikasi hadis pada masa khalifah Umar bin „Abd al-„Aziz, sampai

13
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 10.
14
Arif Wahyudi, Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-Kitab Hadis) Al-
Ahkam Vol.8 No. 1, 2013 hlm. 10.
munculnya kitab-kitab kodifikasi hadis standar pada abad ke-3 Hijriyah dan kitab- kitab
Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan jami‟. Di antara periodesasi tersebut,

disebutkan adanya „asru syaraẖ atau masa pensyarahan. Pensyarahan yang dimaksudkan
di dalam periodesasi tersebut adalah masa-masa penulisan kitab-kitab syarah.15

Syarah hadis telah mengalami proses transformasi dari bentuk syarah hadis

secara lisan yang dikenal dengan Fiqh al-Hadis kepada bentuk syarah hadis secara

tertulis (terbukukan). Oleh karena itu, pembicaraan tentang syara hadis pada maasa
awal ini bukanlah periode ketujuh yang dikatakan oleh Hasbi al-Shieddiqy atau asru

syarh (masa hadis tertulis), melainkan syarah hadis yang belum tertulis (masih secara

lisan)16

Pada periode Rasulullah saw., yang disebut sebagai syarah hadis tidak secara

tegas berdiri sendiri di luar matan hadis Nabi saw. mengingat pejelasan Rasulullah

saw. Terhadap sunnahnya pun dituliskan sebagai matan hadis yang berdiri sendiri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa syarah hadis itu sendiri atau merupakan hadis
yang lain yang berdiri sendiri, maka pada masa Rasulullah saw. Ini pula syarah hadis

yang berdiri sendiri hamper dinyatakan ada, mengingat seluruh rekaman sahabat dari

ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan Rasulullah saw. merupakan hadis dan tidak

disebut sebagai syarah hadis sebagaimana term yang kita kenal sekarang ini.17

15
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis”, 2019 Hlm. 18.
16
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 19.
17
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 19-21.
11

Pada masa selanjutnya, yaitu masa Khalafa al-Rasyidin, hadis Nabi saw.

tetap dipelihara melalui hafalan dan ada beberapa ulama yang menuliskannya bahkan
dalam diri sahabat terdapat suatu komitmen untuk senantiasa mengamalkannya dalam

kehidupan sehari-hari. Hal ini pula yang menjadikan apa yang datang dari sahabat

yang notabene bersumber dari Rasulullah saw. turut menjadi pegangan bagi generasi

berikutnya yang disebut atsar. Pada masa ini syarah hadis belum mempunyai bentuk

sendiri, artinya apa yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis Nabi saw. belum
dinamai syarah melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah (penjelasan) para

sahabat dan tabi‟in adalah apa yang disandarkan pada Rasulullah saw. juga, hanya

saja umumnya ulama menyebut hadis yang bersandar kepada sahabat ini disebut

dengan hadis mauquf atau banyak yang menyebutnya dengan atsar sebagaimana telah

dikemukakan di atas.18

Namun demikian pada era ini bukannya tidak ada syarah yang berdiri sendiri,

sebab sudah ada matan hadis yang mendapatkan catatan para sahabat dan dibukukan

ulama modern sebagai keterangan tambahan mereka terhadap teks aslinya, namun ada

pula yang telah bercampur baur sehingga muncul dalam ilmu hadis ada istilah hadis

mudraj (hadis yang terdapat sisipan di dalamnya baik pada matan maupun pada

sanadnya).19

Pada masa Khalifah ini pula (setelah wafatnya Rasulullah saw. Khususnya

pada akhir kekuasaan „Utsman bin „Affan, kekuatan politik mulai memasuki lapangan

sunnah yang ditandai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang beredar di

18
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 22.

19
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 22.
masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pemicu bagi ulama hadis yang berkomitmen
untuk melakukan pemeliharaan sunnah Nabi saw. Melalui hadis-hadis Nabi saw.

tersebut para sahabat mulai mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadis Nabi saw.
dan menyebarluaskannya melalui sebuah periwayatan serta berusaha keras

menentang orang-orang yang mengembangkan hadis-hadis palsu.20

Usaha ulama ini mulai menunjukkan eksistensinya dengan mengembangkan

hadis ke berbagai kota Islam yang telah dikuasainya yaitu dengan mendirikan lembaga-
lembaga hadis di sana (Madâris al-ẖadîts). Selanjutnya pada masa pembukuan, atas

desakan Khalifah „Umar bin „Abdu al-„Aziz para ulama berlomba- lomba mencari,

mengumpulkan dan menuliskan hadis dalam sebuah kitab, hal ini bukan berarti

penulisan hadis pada masa-masa sebelumnya belum pernah ada sama sekali, akan tetapi

masa ini pada umumnya disepakati oleh para ulama hadis sebagai masa resmi perintah
penulisan hadis dalam sebuah kitab sebagai sebuah tuntutan perkembangan Islam yang

semakin luas, sementara ulama penghafal hadis semakin berkurang dari sisi kuantitas

akibat gugur dalam peperangan maupun penurunan kualitas daya hafalan. Hal inilah yang

memunculkan hasrat Khalifah „Umar bin

„Abdu al-Aziz untuk menjaga hadis dari kepunahan dengan cara membukukannya.21

Kitab hadis yang masyhur pada saat ini dan dianggap kitab pertama hadis

adalah kitab hadis yang disusun oleh al-Zuhri dan diikuti oleh ulama sesudahnya seperti
Mâlik, al-Syafi‟I dan lainnya. Namun yang sampai kepada generasi sekarang sedikit

sekali, seperti al-Muwaṯṯa‟ karya Imam Mâlik, al-Musnad karya al-Syafi‟i dan

20
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 23.
21
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 23.
13

al-Atsar karya al-Syaibani. Dari ketiga kitab ini yang paling masyhur adalah al-

Muwaṯṯa‟.22

Seiring dengan pembukuan kitab hadis ini pula, syarah hadis yang

berkembang sebelumnya merupakan tradisi lisan yang disampaikan oleh guru-guru

hadis kepada muridnya mulai mengambil bentuk sebagai syarah hadis secara tertulis,

yaitu mensyarahi hadis-hadis dalam suatu kitab himpunan hadis yang telah ada pada

masa ini. Sekalipun gerakan penulisan syarah hadis ini belum banyak dikenal, namun
terdapat sebuah data yang mengemukakan adanya syarah terhadap kitab al- Muwaṯṯa‟

karya Imam Mâlik (yang dianggap sebagai kitab hadis pertama yang masih ada

hingga saat ini), salah satu kitab syarah hadis tersebut adalah buah karya „Abdullâh bin

Nâfi‟ yang berjulukan Abu Muhammad (w. 186 H) dengan karyanya Tafsir ila al-

Muwaṯṯa‟.23

Namun demikian, masa ini belum disebut sebagai „asyru al-syarḫ, karena kegiatan

syarah hadis pada saat itu masih sedikit dan sulit dilacak naskah aslinya dan tidak sampai

kepada kita. Di samping itu, kegiatan sebagian besar ulama hadis masa ini adalah

mengumpulkan dan menuliskannya dalam kitab (membukukannya). Akan tetapi dapat

kiranya dinyatakan bahwa sejak adanya penulisan resmi dan dibukukannya hadis ini,

embrio pensyarahan dalam bentuk tertulis dan dibukukan mulai ada.24

22
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 23-24.
23
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 24.
24
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 24.
b. Periode Penyempurnaan Syarah Hadis

Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sejarah awal syarah hadis,

tampak bahwa perkembangan syarah hadis pada era awal ini belum memiliki

spesifikasi khusus, mengingat syarah (penjelasan) Nabi saw. pun belum berdiri

sendiri melainkan menjadi satu kesatuan teks (matan) hadis Nabi saw. tersebut,

sebagaimana hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. Namun
demikian, dapat dikatakan bahwa embrio syarah hadis telah muncul pada era ini

walaupun belum memiliki format yang terbakukan (menjadi sebuah ilmu yang dapat

dipelajari kaidah-kaidahnya).25

Seiring dengan masa pembukuan hadis (abad ke-2 H) yang masih bersifat
akomodatif ini ulama pada umumnya hanya sekedar mengumpulkan, kemudian

menuliskannya dalam sebuah kitab, tanpa adanya kritik atau penelitian secara detail.

Di samping itu, hadis Nabi saw. masih bercampur pula dengan perkataan sahabat dan

fatwa-fatwa tabi‟in.26

Pada masa berikutnya (abad ke-3 H), para ulama berupaya menyusun kembali
kitab hadis dengan spesifikasi yang lebih sistematis dan lebih kritis dari upaya

pengumpulan hadis pada kitab-kitab sebelumnya. Sejak masa pembukuan hadis Nabi

saw. hingga masa berikutnya (pada abad ke-3 H) perkembangan syarah hadis Nabi

saw. bukan berarti kosong sama sekali, terbukti di sela-sela para ulama sibuk dalam

25
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 26.
26
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 26.
15

aktifitas pemilihan dan penyusunan kitab hadis Nabi saw. yang sistematis, juga

ditemukan kitab syarah hadis Nabi saw. 27

sebagai buah karya ulama pada masa ini yaitu pada abad ke- 2 dan abad ke- 3 di

antaranya: „Alam al-Sunan syarah terhadap al-Jami‟ al-Sahih karya Abu Sulaiman

Aḫmad bin Ibraahim bin al-Khattabi al-Busṯi (w. 388 H.) dan Ma‟alim al-Sunan

Syaraḫ Abi Daud.28

Kitab-kitab syarah hadis Nabi saw. tersebut membuktikan bahwa tetap adanya
aktifitas penulisan syarah hadis Nabi saw. Pada masa itu, namun era tersebut belum

dikenal dan dijuluki sebagai “masa pensyarahan” (Asyru al-Syarḫ) sebab sebagian

konsentrasi ulama masih dalam rangka pemilahan dan penyusunan hadis-hadis Nabi

saw. secara sistematis dalam sebuah kitab. 29

Demikian pula dengan masa berikutnya yaitu (masa penelitian, penerbitan dan

pengumpulan hadis-hadis yang memiliki karakteristik dan kualitas khusus yaitu


antara tahun 400-656 H.) Dalam era ini, jenis kitab hadis Nabi saw. mencakup

sebagian besar hadis-hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab hadis yang telah

dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. sebelumnya seperti kitab hadis Nabi

saw. yang mengumpulkan dua kitab sahih (Saḫihayni; yaitu kitab al-Bukhârî dan Muslim)

Karya Ibn al-Furât (w. 414 H.) kitab hadis Nabi saw. yang menghimpun dua kitab sahih
(Saḫihayni; karya al-Bukhârî dan Muslim) karya Muhammad bin Nash al- Ḫamidi al-

Andalusi (w. 488 H) dan lain-lain. Kemudian ada pula kitab hadis yang

27
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 27.
28
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 27.
29
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 28.
mengumpulkan hadis Nabi saw. yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab
hadis seperti, Kutub al-Sittah (Saḫiḫ al-Bukhari, Saḫiḫ Muslim, Sunan al-Turmuẕi, Sunan Abi

Daud, Sunan al-Nasa‟i dan Sunan Ibn Majah) di antaranya karya Aḫmad bin Razin
bin Mu‟awiyah al-Abdari al-Sarqiṯi (w. 535 H.) dan beberapa kitab lainnya.30

Pada era inipun penulisan syarah hadis telah muncul seperti al-Muqtabis karya al-

Baṯalyusî (w. 521 H.), dan beberapa syarah hadis lainnya. Namun demikian,

penulisan syarah hadis Nabi saw. masih belum begitu marak atau belum menjadi
konsentrasi umumnya para ulama hadis. Lain halnya dengan era berikutnya, yaitu era

pensyarahan hadis yang dimulai sejak tahun 656 H. sampai era-era berikutnya.31

Dalam era pensyarahan inilah benar-benar penulisan kitab syarah hadis Nabi

saw. begitu banyak dan tak terbilang jumlahnya, apalagi objek kitab hadis Nabi saw.

yang disyarahi juga banyak jumlahnya. Ulama pada umumnya tidak lagi disibukkan

oleh sistematisasi kitab himpunan hadis, penelitian dan penambahan-penambahan

hadis dalam suatu kitab, melainkan pada masa ini mereka berupaya menjelaskan
hadis Nabi saw. yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi saw. tersebut

dengan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan agar hadis Nabi saw. dapat dipahami

dan diamalkan.32

Di antara kitab syarah hadis pada masa ke-7 H hingga pada masa berikutnya antara

lain: Kasyf al-Giṯâ‟ fî Syarḫ al-Mukhtasar al-Muwaṯṯa‟ karya Abû Muḫammad

30
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 28.
31
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 28-29.
32
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 29
17

bin Abî al-Qâsim al-Farḫûnî al-Ya‟murî al-Tûnisî (w. 763 H), Syarḫ al-Muwaṯṯa‟

karya Abû al-Majd „Uqaiylî bin „Aṯiyyah al-Quḏâ‟î (w. 1229 H). Kemudian kitab-
kitab syarah terhadap Kutub al-Tis‟ah. Kitab-kitab syarah lainnya yang muncul pada

era ini hingga sekarang antara lain Fatẖ al-„allâm bi Syarẖ al-„I‟lâm bi al-ẖadîts al-

Aḫkâm karya Abû Yahyâ Zakariyyâ al-Ansâri al-Syâfi‟î al-Khazrâjî (825-925 H),

Ibânah al-Aḫkâm bi Syarḫ Bulûgh al-Marâm karya „Alwi „Abbâs al-Mâlikî wa Ḫasan

Sulaimân al-Nawawî, Naiyl al-Auṯâr min al-Ḫadîts Sayyîd al-Akhyâr Syarḫ Muntaqâ
al-Akhbâr karya Muḫammad bin „Alî ibn Muḫammad al-Syaukânî (1172-1255 H), Subul

al-Salâm Syarḫ Bulûgh al-Marâm karya al-Amîr al-Sun‟ânî (w. 1099-1182 H) dan

masih banyak lagi kitab-kitab syarh hadis lainnya.33

c. Periode Kemunduran Syarah Hadis

Abad ke-11 H merupakan awal periode kemunduran bagi kegiatan syarah hadis yang

ditandai dengan sedikitnya upaya pemahaman hadis yang merujuk kepada kitab-kitab

hadis, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Agaknya, keadaan ini
dipengaruhi oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang sedang mengalami

kelesuan intelektual, dan diperparah oleh serangan bangsa Mongol yang telah

menghancurkan Baghdad – ibukota kekhalifahan Islam.34

Mencermati perhatian yang sangat kurang terhadap hadis, menurut al-


Khûlî,31 lebih disebabkan oleh sikap ulama pada masa itu yang hanya ber-taqlîd

dengan pendapat ulama mazhab mereka dan meninggalkan ijtihad, di samping

kesibukan mereka dengan kitab-kitab yang sebenarnya merupakan penjelasan

33
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 29.
34
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 29-30.
terhadap hadis (kitâb furû„ „an al-sunnah). Perhatian yang diberikan kepada hadis terbatas
pada hadis-hadis akhlâq, mawâ‟iḏ, adab, raqâ‟iq, atau sekedar mencari berkah

melalui hadis-hadis nabi.35

Dalam pandangan Hasbi, suasana umum di atas telah dimulai semenjak abad ke-

4 H. Kalau sebelumnya yang menjadi sumber fiqh dan sumber hukum adalah hadis,
maka semenjak abad ini mulailah umat Islam mengikuti perkataan-perkataan fuqaha‟.

Masing-masing fuqaha‟ menguatkan mazhab gurunya, walaupun mazhab tersebut

dalam suatu masalah kadang menyalahi hadis. Bahkan menurut Syekh Abû al-Hasan „Alî

al-Hasanî al-Nadwî -seperti yang dikutip oleh Hedhri Nadhiran- banyaknya kitab syarah

hadis yang dihasilkan selama periode penyempurnaan sebenarnya disebabkan oleh


pertentangan yang terjadi antar mazhab fiqh. Apabila pengikut suatu mazhab membuat

kitab syarah, biasanya akan diikuti oleh penganut mazhab lain dengan merujuk kepada

kitab hadis yang sama. Seperti yang terjadi antara „Umdat al-Qârî karya Badr al-Dîn

al-„Aynî (w. 855 H), seorang ulama Hanafiyah, dengan Fath al-Bârî karya Ibn Hajar

al-„Asqalânî (w. 852 H) seorang ulama Syâfi„iyah. Tak jarang, seorang syârih
mencocok-cocokkan antara hadis dengan pendapat mazhabnya, seperti yang dilakukan

oleh Abû Ja„far al-Ṯahâwî dengan syarahnya Ma„anî al-Atsâr. Walaupun demikian, ia

mengakui kalau persaingan (yang diistilahkannya dengan al-harakah al-„ilmiyyah) di atas

membawa faedah yang besar bagi perkembangan ilmu dan intelektual di dunia Islam karena

para ulama syâriẖ dalam berhujjah tetap merujuk kepada Alquran dan hadis.36

35
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 30.
36
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 30.
19

Memasuki abad ke-12 H, langkah yang ditempuh para ulama ini tidak lagi

ditiru oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Umumnya, mereka mencukupkan


diri dengan argumentasi yang diberikan oleh para pendahulunya tanpa memeriksa

lagi sumber pendapatnya. Telaah terhadap kitab hadis terbatas pada kitab

Sahihayn,sedangkan pemahaman yang dilakukan bersifat penerimaan dari guru dan

hanya untuk memperkuat mazhab semata.37

Akibat langsung dari pengabaian hadis seperti yang terjadi di atas adalah
semakin dilupakannya metode pemahaman hadis (metode syarah hadis) yang pernah

dikembangkan oleh ulama hadis pada masa keemasan, yang telah melahirkan

berbagai cabang ilmu hadis dalam upaya pemahamannya. Bahkan jika pada abad-

abad sebelumnya syarah yang berkembang mengambil bentuk uraian yang panjang (al-
syarh al-wâfî), maka selama periode kemunduran ini syarah yang dihasilkan umumnya

hanya bersifat ta„lîq (komentar singkat). Ini disebabkan oleh sifat peringkasan itu

sendiri yang tidak lagi mementingkan aspek penelitian sanad, sementara pemahaman

terhadap matan lebih bersifat memperkuat pendapat ulama mazhab yang telah mensyarah

hadis.38

Di tengah-tengah kemunduran ini, keinginan untuk mengembalikan hadis

kepada kedudukannya semula – sebagai sumber hukum Islam – tetap terpelihara.

Daerah Islam yang paling menonjol dalam kegiatan ini adalah India, dengan

munculnya ulama-ulama yang senantiasa memelihara hadis dan mempelajarinya


menurut metode yang ditempuh ulama abad ke-3 H, yaitu kebebasan dalam

37
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 31.
38
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 31.
memahami (ẖurriyat fi al-fahm) dan memperhatikan kondisi sanad dari tiap hadis yang
diteliti. Di antara mereka yang termasyhur adalah Syah Wali Allah al- Dahlawî(1114 H –

1176 H) dengan syarahnya Hujjat Allah al-Bâlighah dan al- Musawwâ Syarh Muwatta‟
Malik, Shiddiq Hasan Khan (1248 H – 1307 H) pengarang Fath al-„Allam

Syarh Bulugh al-Maram, al-Saharanfuri (w. 1346 H) dengan kitabnya yang berjudul

Badhl al-Majhud fî Hall Abi Dawud, dan al- Kandahlawi (1315 H – 1389 H) dengan

syarahnya Awjaz al-Masalik ila Muwatta‟ Mlik.39

B. Kitab-kitab Ulum al Hadis

a. Tahap Pembukuan ilmu Hadis secara Terpisah

Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat

Hijriah. Abad ketiga merupakan masa pembukuan hadis dan merupakan zaman

keemasan Sunah, sebab dalam abad inilah Sunah dan ilmu-ilmunya dibukukan

dengan sempurna. Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan
hadis Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk

menghimpun hadis Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama

sahabat, sehingga hadis-hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar, misalnya,

dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadis-

hadis Umar dan sebagainya.40

39
Hani Hilyati Ubaidah. "Kajian Syarah Hadis “, 2019 Hlm. 31-32.
40
. Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 52-53.
.
21

Kemudian datanglah al-Bukhari dengan inisiatif baru, yakni membukukan hadis-

hadis sahih secara khusus dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah
dicari dan dipahami hadis-hadisnya. Kitab yang disusunnya diberi nama al- Jami‟ al-

Shahih. berikutnya datanglah enam imam lainnya yang tiada lain adalah murid-

muridnya, kecuali an-Nasai. Mereka menyusun kitab masing-masing berdasarkan bab-

bab fikih dengan hadis-hadis yang mereka pilih secara selektif, meskipun para penulis

kitab sunan itu tidak mensyaratkan semua hadisnya harus sahih.41

Metode al-Bukhari memiliki keunggulan yang tidak tenandingi karena telah

mencakup pembukuan riwayah dan ulum al-Hadis. Kemudian, kedua syaikhan (al-

Bukhari dan Muslim) dalam mengkhususkan pembukuan hadis sahih diikuti oleh

Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan Ibnu Hibban (w. 354 H). Dalam tahap ini setiap
cabang ilmu hadis telah berdiri sebagai suatu ilmu tersendiri, seperti ilmu hadis sahih,

ilmu hadis mursal, ilmu al-Asma' wa 'al-kuna, dan sebagainya. Para ulama pun telah

menyusun kitab khusus untuk setiap cabang tersebut.42

Yahya bin Mu'in (w. 234 H) menyusun kitab tentang biogmli para rawi.
Muhammad bin Sa'd (w. 230 H) menyusun kitab tentang thabaqat para rawi dan

kitabnya merupakan kitab yang paling baik. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) menyusun

kitab Al-„Ilal Wa al-Ma‟rifah ar-Rijal dan an-Nasikh Wa al-Mansukh. seorang imam

yang sangat mahir dalam menyusun dan menulis kitab. yaitu Ali bin Abdullah bin Al-

Madini (w. 234 H) guru al-Bnkhari. menyusun kitab tentang banyak hal yang

41
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.

42
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.
mencapai dua ratus judul. Kebanyakan kitab yang disusunnya senantiasa menjadi
perintis dalam bidangnya, sehingga para ulama memalukan bahwa tiada cabang ilmu

hadis yang luput dari bahasannya dan tidak tersentuh dalam tulisannya.43

Kemudian penulisan kitab merupakan suatu bagian yang integral dari seorang

imam hadis. Semua penyusun kitab Enam telah menvusun banyak kitab tentang ilmu
hadis. Demikian juga penyusun yang lain. Mereka menyusun kitab ilmu hadis dengan

Judul yang sesuai dengan cabang ilmu hadis yang dibahas, Oleh karena itu, kitab

yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis diberi judul "Uhun al-Hadits, )

sebagaimana kitab yang mnencakup fikih, talsir, dan ilmu tauhid diberi judul 'Ulum al-

Islam.44

Para ulama telah mempelajari dan meneliti seluruh matan dan sanad hadis

dengan sempurna. Istilah-istilah sekitar hadis telah menjadi masyhur dan baku di

kalangan ulama hadis, sebagaimana terlihat dalam kitab at-Turmudzi dan lainnya kan

tetapi, dalam tahap ini belum dijumpai suatu tulisan yang pembahasannya mencakup
seluruh kaidah cabang-cabang ilmu hadis dengan batasan istilah-istilahnya, karena

mereka masih mengandalkan hafalan dan penguasaannya terhadap semua itu kecuali

kitab kecil yang berjudul al-llal al-Shaghir karya Imam at-Turmudzi (w. 279 H).

Meskipun kitab yang kecil ini hanya merupakan penutup kitab Jani-nya, tetapi

diajarkan kepada para muridnya secara terpisah dan para ulama mempelajari kitab
tersebut dari at-Turmudzi secara terpisah pula. Karena kitab tersebut mengandung

banyak ilmu yang berfaedah. Membahas masalah-masalah penting dari al-jarh wa al-

43
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.
44
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53.
23

ta dil, peringkat para rawi, tata tertib penerimaan dan periwayatan hadis, periwayatan

hadis dengan makna, hadis mursal, defenisi hadis hasan, hadis gharib, dan
penjelasannya.45

b. Penyusunan Kitab-Kitab induk Ulum al-Hadisdan Penyebarannyya

Tahap ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal

abad ketujuh. Para ulama perode ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah

disustun oleh para ilmuan Sebeumnya yang notabene perintis dalam pembukuan

hadis dan lmu hadis. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang

berserakan dan melengkapinya dengan berlandaskan Keterangan-keterangan ulama


lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya,

sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama sebelumnya. Lalu keterangan-

keterangan itu diberi komentar dan digali hukumnya.

Oleh karena itu, dalam periode ini dijumpai kitab-kitab yang menjadi rujukan

para ulama dalam menyusun kitab-kitab sejenis pada periode berikutnya. Di antara kitab-
kitab tersebut adalah sebagai berikut.

a. Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wa‟i, karya al-Qadhi Abu


Muhammad ar-Ramahurmuzi al-Hasan bin Abdinahman bin Khallad (w. 360 H).

Kitab ini merupakan kitab terbesar dalam bidangnya sampai saat itu.

45
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 53-54
Pembahasannya mencakup lata tertib rawi dan muhaddits, teknik penerimaan dan
penyampaian hadis, kesungguhan para ulama dalam mengemban ilmu ini, dan

hal- hal lain yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadis. Sebenarnya kitab ini
termasuk kitab Ulum al-Hadis dalam pengertian ilmu tertentu yang telah dikenal.

b. Al-Kifayah Fi „Ilmi ar-Rinayah, karya al-Khathib al-Baghdadi Abu Bakar bin

Ahmad bin Ali (w. 463 H).

Pembahasan kitab ini mencakup pedoman-pedoman periwayatan hadis dengan

menjelaskan prnsip-prinsip dan kaidah-kaidah periwayatan hadis serta mazhab-

mazhab para ulama dalam masalah yang mereka perselisihkan. Hingga sekarang

kitab ini menpakan kitab terbesar dalam bidangnva.

c. Al-Ilm‟ Fi „Ulum ar-Riwayat Wa as-Sima‟, Karya Qadhi „Iyadh bin Musa al-

Yashubi (w. 544 H) suatu kitab yang sangat penting.

Kitab-kitab induk Ulum al-Hadis dan sejumlah lain dari cabang ilmu hadis yang

disusun dalam periode ini nenjadı sumber asli bagi disiplin ini pada peiode
berikutmya. Para ulama yang datang kemudian menyusun kitab-kitabnya

berdasarkan kitab-kitab induk tersebut dengan membuang sanad-sanadnya,

menghapus hal-hal yang sedikit meragukan, atau menambah seperlunya.

Dalam tahap ini banyak ulama yang menyusun kitab-kitab vang mencakup

seluruh jenis hadis, sehingga penyusunan kitab tentang Ulum al-Hadis pun

berkembang pesat. Di antara kitab yang terpenting ialah kitab-kitab berikut ini.

a. Marifat Ulm al-Hadits, karya al-Hakim Abu Abdillah an- Naissaburi (w. 405

H). Kitab ini membahas 52 cabang ilmu hadis, dan telah dicetak di Mesir pada

tahun 1937 M.
25

b. Al-Mustakhraj, karya Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah al-Ishfahani (w. 430

H). Kitab ini membahas hal-hal yang tidak terbahas dalam kitab al-Hakim dan
karenanya dinamai al-Mustakhraj. Namun kedua kitab ini belum membahas

banyak masalah, karena waktu yang berdekatan.

c. Ma La Yasa'tu al-Muhaddis Jahluhu, karya al-Miyanji Abu Hafsh Umar bin

Abdul Majid (w. 580 H), sebuah kitab yang sangat ringkas.

Beliau adalah salah satu dari tokoh-tokoh yang paling menonjol dalam
merintis berdirinya Ulum al-Hadits pada tahap ini dan menjadi panutan pada periode

berikutnya oleh al-Hakim an-Naisaburi dan al-Khathib al-Baghdadi. Sementara Imam

al Hakim sendiri adalah tokoh pembuka jalan bagi orang-orang setelahnva dengan

kitab yang disusunnya itu. Ibnu Khaldun berkata, Di antara tokoh ulama Ulum al-
Hadits adalah Abu Abdillah al-Hakim. Karyanya tentang Ulum al-Hadis sangat

Masyhur, Beliaulah orang yaug "'membesarkan dan menampakkan keindahan ilmu

ini. Syekh Thahir al-Jaza'iri berkata, “Dalam kitab ini terkandung banyak

pengetahuan penting yang berharga dan tidak layak diabaikan oleh orang yang

mencari ilmu ini. 46

Sementara itu, al-Khathib adalah orang yang telah menyusun kitab-kitabnya

yang tersendiri yang komplet dan khusus untuk setiap cabang ilmu hadis, sehingga
setiap karyanya menjadi santapan lezat bagi para imam di bidang ini. Sebagaimana

dikatakan oleh al-Hafizh Abu Bakar bin Nuqthah, “Setiap orang yang objektif akan

46
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 56-57.
mengakui bahwa para muhaddits setelah al-Khathib sangat bergantung pada kitab-
kitabnya.47

Kitab-kitab di atas sangat diwarnai dengan kumpulan kutipan pendapat para

ulama hadis yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya, dan untuk setiap kumpulan

kutipan mereka buatkan judul yang menggambarkan kandungannya, agar para


pembaca mudah memahami sasaran pembahasannya. Hanya beberapa penjelasan dan

sanggahan saja yang tidak mereka beri judul. Sebenarnya al-Hakim bermaksud untuk

mencatat seluruh kaidah, tetapi ada dua hal yang tidak sempat dilakukannya, seperti

yang dikatakan oleh para ulama. Pertama, membahas seluruh jenis hadis, dan kedua,

memperluas serta membatasi sejumlah ungkapan sehingga maksud setiap definisi


menjadi jelas.48

d. Kematangan dan Kesempumaan Pembukuan 'Ulum al-Hadits

Tahap ini bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abab kesepuluh.

Dalam tahap ini pembukuan „ulum al-hadits mencapai tingkat kesempurnaannya

dengan ditulisnya sejumlah kitab mencapai tingkat seluruh cabang ilmu hadis.

Bersama itu dilakukan penghalusan sejumlah ungkapan dan penelitian berbagai

masalah dengan mendetail. Pam penyusun kitab itu adalah para imam besar yang
hafal semua hadis dan mampu menyamai pengetahuan dan penalaran para imam

besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadis, keadaan sanad dan matannya.

47
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 57.
48
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 57.
27

Pelopor pembaruan dalam pembukuan ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits al-

Faqih al-Hafiz al-Ushuli Abu „Amr Utsman bin ash-Shalah (w. 643H)92) dengan kitab
'Ulum al-Hadits-nya yang sangat masyhur itu. Kitab tersebut mencakup keterangan-

keterangan yang terdapat di berbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang

ilmu hadis. Di samping itu, kitab tersebut. memiliki sejumlah keistimewaan sebagai

berikut.

1. Kemampuannya menarik kesimpulan yang sangat baik terhadap pendapat dan


kaidah yang dikemukakan para ulama.

2. Memberi batasan terhadap definisi-definisi yang ada sambil menguraikannya,

juga menjelaskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.

3. Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad

penyusunnya.

Dengan demikian, kitab tersebut sangat sempurna dari sisi penyusunannya

dan merupakan perintis pembukuan ilmu ini dengan sistematika baru. Ia sangat
dihargai oleh para ulama; sehingga cepat dikenal di berbagai penjuru dunia. Pujian

pun mengalir, sehingga murid-murid penyusunnya mempublikasikan gurunya itu

dengan sebutan Shahibu Kitab 'Ulum Al-Hadits (penyusun kitab 'Ulum al-Hadits).

Kitab tersebut merupakan pelopor yang dapat ditiru dan merupakan rujukan

yang dapat dipercaya, sehingga para penulis berikutnya banyak menginduk

kepadanya. Sebagian mereka meringkasnya, sebagian lagi menyusunnya dalam

bentuk syair, dan sebagian yang lain mensyarahinya dan melengkapinya dengan
catatan kaki. Akan tetapi para penyusun pada tahap ini adalah para imam besar,
sehingga mereka tidak mengikutinya dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiah,

melainkan mereka berijtihad dan sering kali menyanggah dan menyalahinya.49

Di antara kitab-kitab penting yang disusun pada tahap ini setelah 'Ulum al-

Hadits karya Ibnu Shalah adalah sebagai berikut.50

a. Al-Irsyad, karya Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi (W. 676 H). Kitab ini

merupakan ringkasan dari kitab 'Ulum al-Hadits. Kitab ini kemudian

diringkasnya lagi menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Al-Hadits al-Basyir an-

Nadzir.
b. Al-Tabshirah wa al-Tadzlatah, kitab yang disusun dalam bentuk syair

sebanyak seribu bait, karya al-Hafizh Abdurrahman bin al-Husain al-Traqi (w.
806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab 'Ulum al-Hadits dengan

menjelaskan dan menambahi kekurangannya dengan beberapa masalah, lalu

disyarahinya dengan syarah yang sangat baik.

c. At-Taqyid Wa al-Lidhah li Ma Uthliqa wa Ughliqa min Kitab Ibn ash-Shalah


karya al-Hafizh al-'Iraqi'. Kitab ini merupakan syarah terhadap kitab Ibnu ash-

Shalah yang dikenal pula dengan nama an-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki

oleh Fadhilat asy-Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabbah dengan keterangan-

keterangan yang sangat bermanfaat.

d. Al-Ifshah 'Ala Nukat lbnu ash-Shalah kitab syarah 'Ulum al-Hadis, disusun

oleh' al-Hafizh Ahmad bin „Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini

49
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 58.
50
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 58-59
29

sampai sekarang masih dalam bentuk naskah tulisan tangan dan terdapat di

India.
e. Fath al-Mughits Syarh Al Fiyah al-Iraqi fi Ilm al-Hadis karya al-Hafizh

Syamsuddin Muhammad as-Sakhawi (w. 902 H). Kitab ini memiliki

keistimewaan memuat hasil studi kritis terhadap masalah-masalah yang

terdapat dalam kitab-kitab Sunah dan 'Ulum al-Hadits. Kitab ini telah dicetak

di India dalam satu jilid tebal.


f. Tadrib ar-Rawi Syarah Taqrib an-Nawawi karya al-Hafizh Jalaluddin

Abdurahman as-Suyuthi (w. 911 H). Kitab ini tampak sangat komplet
meskipun tidak luput dari hal-hal yang perlu dikritik di sanaasini.

g. Nukhbat al-Fikar dan syarahnya Nuzhat al-Nazhar, keduanya karya al-Hafizh

Ibnu Hajar.

Dan kitab-kitab lainnya yang sangat banyak jumlahnya dan sangat banyak
yang berkiblat kepada kitab 'Ulum al-Hadis karya Ibn ash-Shalah. Al-Hafizh Ibnu

Hajar berkata, “Begitu besar perhatian umat terhadapnya dan mengikuti langkahnya,

sehingga tidak dapat dihitung berapa orang yang menanamkannya, meringkasnya,

melengkapinya, menguranginya, menentangnya, dan yang membelanya."51

Akan tetapi, orang yang mengkajinya dengan saksama akan mengetahui

bahwa pembahasannya tidak disusun dengan sistematika yang berlaku sekarang.

Sehingga ketika ia membahas suatu hal yang berkaitan dengan sanad - umpamanya – tiba-
tiba beralih kepada pembahasan pada hal-hal yang berkaitan dengan matan atau yang

berkaitan dengan keduanya. Hal ini terjadi, sebagaimana dijelaskan oleh al-

51
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 60
Biqa'i, karena Ibnu Shalah mendiktekan kitabnya itu kepada penulisnya sehingga
hasil tulisannya tidak sistematis, dan apabila terasa oleh beliau ada sistematika lain

yang lebih baik, maka beliau mempertahankan tulisannya dan tidak meralatnya.52

Meski demikian, para ulama mengikuti sistematikanya, karena kitabnya itu

telah menjadi panutan dalam disiplin ilmu hadis ini. Kecuali kitab Nukhbat al-Fikaar
dan syarahnya yang disusun oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, karena dalam bentuk yang

demikian ringkasnya kedua kitab ini membahas persoalan yang cukup luas yang

mencerminkan kemandirian pribadi penyusunnya. Di samping itu kitab ini memiliki

keistimewaan dari sistematikanya, karena kitab ini disusun dengan sistematika baru

yang sangat efektif dalam menempatkan kebanyakan jenis hadis.53

52
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 60-61.
53
Nuruddin „itr, Ulumul Hadis, hlm. 61.
3
1

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kitab Jami' merupakan kitab hadis yang disusun berdasarkan bab dan

mencakup hadis-hadis berbagai sendi ajaran Islam yang terdiri dari delapan sub bab.

Contoh dari kitab Jami‟ adalah Al-Jami‟ bayn al-Shahihaini, oleh Ibn al-Furat (Ibn

Muhammad/w. 414 H), Al-Jami‟ bayn al-Shahihaini, oleh Muhammad ibn Nashr al-

Humaidi (488 H), Kitab Jami‟ yang hadir pada Abad Ke-4 sampai ke-7 hijriah yaitu
masa pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifa Al-Mu‟tasim, pada saat itu

kekusaan islam mulai melemah bahkan mengalami keruntuhan pada pertengahan

abad ke-7 hijriah akibat serangan Halagu Khan, cucu dari Jengis Khan, kegiatan para

Ulama Hadis dalam rangka memelihara dan mengembangkan hadis tetap

berlangsung. Hanya saja pada saat itu hadis-hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak
yang dihimpun sebelum sebelumnya. Salah satu kitab hadis yang dihimpun pada saat

itu adalah Al-Mukhtarah oleh Muhammad ibn Abd al-Wahid al Maqdisi.

Kitab syarah merupakan kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan

hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-

Qur‟an, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara‟ lainnya. Sejarah munculnya kitab-

kitab syarah hadis tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah dan perkembangan

hadis itu sendiri. Sejak masa Nabi saw. dan sahabat, sejarah kodifikasi hadis pada
masa khalifah Umar bin „Abd al-„Aziz, sampai munculnya kitab-kitab kodifikasi

hadis standar pada abad ke-3 Hijriyah dan kitab-kitab Atraf, Mustakhraj, Mustadrak,

31
dan jami‟. Di antara periodesasi tersebut, disebutkan adanya „asru syaraẖ atau masa
pensyarahan. Pensyarahan yang dimaksudkan di dalam periodesasi tersebut adalah masa-

masa penulisan kitab-kitab syarah. Contoh kitab syarah : Hujjat Allah al- Bâlighah dan

al-Musawwâ Syarh Muwatta‟ Malik, Fath al-„Allam Syarh Bulugh al- Maram, Badhl

al-Majhud fî Hall Abi Dawud.

Kitab Ulum al-Hadis merupakan kitab yang mencakup macam macam ilmu

hadis. Dimana kitab kitab Ulum al-Hadis pada awalnya dibukukan secara terpisah

namun pada akhirnya mencapai kesempurnaan. Contoh kitab Ulum al-Hadis Marifat

Ulm al-Hadits, karya al-Hakim Abu Abdillah an- Naissaburi Al-Mustakhraj, karya
Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah al-Ishfahani Ma La Yasa'tu al-Muhaddis Jahluhu,

karya al-Miyanji Abu Hafsh Umar bin Abdul Majid


33

Daftar Pustaka

Badang pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, kbbi V 0.2.1 Beta

(21) (ofline)

„itr Nuruddin, “Ulumul Hadis”, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016

Mukaromah, Kholila, "Kajian Syarah Hadis Sabul al-Salam" Perspektif Historis.

yang diajukan kepada Paca Sarjana UIN Sunan Kalijaga , 2015

Ubaidah, Hani Hilyati "Kajian Syarah Hadis (Studi Teks Kitab Misbah al-Zalam

Syarh Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam, Tesis yang disajikan dalam

Siding Tesis Tertutup Program Magister Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019

Wahyudi, Arif , “Mengurai Peta Kitab-Kitab Hadis (Kajian Referensi atas Kitab-

Kitab Hadis) Al-Ahkam Vol.8 No. 1, 2013

Yuslem, Nawir “Ulumul Hadis”, Ciputat: Mutiara Sumber Widya, 1997

Anda mungkin juga menyukai