Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“METODE-METODE IJTIHAD”
(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Ushul Fiqh)

Dosen Pengampu: Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A

Disusun Oleh :

1. Imam Fahroji (A1801334)

2. Jordan Guipal Bandong (A2001350)

Semester : III

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-FATAH BOGOR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, taufiq, serta ma’unah yang  tiada henti, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Metode-Metode Ijtihad : Istihsan, Mashlahat Mursalah, Istishaab, Qoulus
Sahabi, Urf, Saddudz Dzariyah dan Syarqu man Qablana” untuk memenuhi tugas mata
kuliah Studi Ushul Fiqh.

Penulisan makalah ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini, kami menyampaikan apresiasi dan terima kasih
kepada :

1.      Bapak Drs. Yakhsyallah Mansur, MA, selaku Dosen Pengampu mata kuliah Studi


Ushul Fiqh.

2.      Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam merampungkan tugas ini.

3.      Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian tugas ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kami sangat mengharap kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan pada
masa-masa mendatang. Semoga Allah SWT selalu menyertai dan meridhoi kita bersama.

Cileungsi, 20 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................   ii
Daftar Isi..................................................................................................................   iii
Bab I : Pendahuluan..................................................................................................   1
1.1  Latar Belakang........................................................................................    1
1.2  Rumusan Masalah...................................................................................     1
1.3  Tujuan.................................................................................... .................    2
Bab II : Pembahasan............................................................. ........ .................   3
2.1  Istihsan……………………………………............................. ...............   3
2.1.1  Pengertian……………………………………………… … ……..          3
2.1.2  Macam dan Contoh Istihsan…………………………… … ……..         3
2.1.3  Kekuatan Istihsan sebagai hujjah……………………… …… …..          4
2.1.4  Alasan Ulama tidak berhujjah dengan istihsan………… … ……..        4
2.2  Mashlahah mursalah……………………………………… ……… …      5
2.2  Pengertian………………………………………………… ……..           5
2.2.2  Macam dan Contoh Mashlahah Mursalah………………… ….....          6
2.2.3  Syarat-syarat Mashlahah Mursalah………….…………… ……..           7
2.2.4  Dalil-dalil Mashlahah Mursalah……………..…………………..           8
2.3  Istishaab……………………………………………………….......           10
2.3.1  Pengertian…………………………………………………… ..           10
2.3.2  Macam dan Contoh Istishaab..……………………… ……… ..          12
2.3.3  Kekuatan Istishaab sebagai hujjah………………………… …..        13
2.3.4  Kaidah-kaidah Istishaab……………………...…………………..         16
2.3  Pengertian…………………………………………………… ..            17
2.3.6  Macam dan Contoh Urf’..………........……………………… ..          17
2.3.7  Kaidah-kaidah Urf………………........……...…………………..         18
2.3  Pengertian…………………………………………………… ..            18
2.3.9  Macam dan Contoh Dzari’ah’..………........………………… ..          19
2.4  Kaidah-kaidah Dzari’ah….…………....……...…………………..          20
2.4  Qoulus Sahabi……………………………........................................         21
2.3  Pengertian…………………………………………………… ..           21
2.3  Macam dan Contoh Syar’u man Qablana .. ………........… … ..          21
2.4  Kaidah-kaidah Syar’u man Qablana….……...…………………..          21
2.4  Qoulus Sahabi……………………………........................................         21
2.4.1  Pengertian………………………………………………… …..            23
2.4.2  Kekuatan Qoulus Shohabi sebagai hujjah..……………………..          25
Bab III : Penutup............................................................................................    26
3.1  Kesimpulan...........................................................................................      26
3.2  Kritik dan Saran....................................................................................      26

Daftar Pustaka.................................................................................................   27


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Tujuan Allah SWT menetapkan hukum syara’ tidak lain adalah bagi kemaslahatan
segenap umat manusia. Seriap peristiwa, ada yang diterangkan dasarnya dalam nash, ada pula
yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dasarnya dalam nash atau tidak ada
nash yang dapat dijadikan dasarnya ini harus ditetapkan hukumnya, sekali lagi tujuannya
ialah demi kemaslahatan umat manusia.

Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash Al Quran dan Hadist ada yang
bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang
mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar dasar-dasar
umum dari syari’at Islam. Namun dalam hal ini, kita tahu bahwa setiap saat permasalahan
hidup manusia akan terus bertambah dan kompleks seiring perkembangan zaman. Banyak
masalah yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, dan masalah-
masalah itu perlu ditetapkan hukumnya, sedangkan tidak ada nash khusus tentang masalah itu
yang dapat dijadikan dasarnya. Usaha memahami, menemukan, dan merumuskan hukum
syara’ yang masih samar inilah yang disebut meode Ijtihad.

Telah diterangkan bahwa untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh diluar yang
dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan Hadist, para ahli mengerahkan segala kemampuan
nalarnya untuk berijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid merumuskan cara atau metode
yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan
mujtahid. Diantaranya ada metode ijtihad yang merupakan ciri khas dari (dan tidak
digunakan oleh) mujtahid lainnya. Perbedaan metode ini ditentukan oleh jenis petunjuk dan
bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad
Diantaranya ialah , Istihsan, Mashlahat Mursalah, Istishab, ‘Urf, Qoulus Sahabi, Sya’ru man
qablina, dan Zara’i. Penting untuk kita mengkaji metode-metode ijtihad tersebut secara
mendalam. Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang ha-hal
tersebut.

1.2  Rumusan masalah

1.2.1        Apakah yang dimaksud dengan Istihsan? Apa sajakah macam-macam dan


contohnya? Bagaimana kekuatan Istihsan sebagai hujjah?

1.2.2        Apakah yang dimaksud dengan Istishab? Apa sajakah macam-macamnya?


Bagaimana kekuatan Istishab sebagai hujjah?

1.2.3        Apakah yang dimaksud dengan Maslahat mursalah? Apa sajakah macam-


macamnya? Bagaimana kekuatan Maslahat Mursalah sebagai hujjah?
1.2.4        Apakah yang dimaksud dengan Qoulus Sahabi? Apa sajakah macam-macamnya?
Bagaimana kekuatan Qoulus Sahabi sebagai hujjah?

1.3  Tujuan

1.3.1        Mengetahui pengertian, macam-macam, contoh, dan kekuatan Istihsan sebagai


metode ijtihad

1.3.2        Mengetahui pengertian, macam-macam, contoh, dan kekuatan Istishab sebagai


metode ijtihad

1.3.3        Mengetahui pengertian, macam-macam, contoh, dan kekuatan Maslahat mursalah


sebagai metode ijtihad

1.3.4        Mengetahui pengertian, macam-macam, contoh, dan kekuatan Qoulus Sahabi


sebagai metode ijtihad
BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Istihsan

a.      Pengertian Istihsan

Secara bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
istilah ulama’ ushul fiqh, ialah meninggalkan hokum yang telah ditetapkan pada suatu
peristiwa ataukejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan hukum
laindari peristiwa itu juga karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir tersebut disebut sandaran istihsan.[1]

‫ب اَوْ ُسنَّ ِة‬ ٍ ‫ال َع ْد ُل بِ ُح ْك ِم ال َم ْسئَلَ ِة ع َْن النَظَائِ ِرهَا لِ َدلِي ِْل خَ ا‬
ِ ‫ص ِم ْن ِكتَا‬

Beralihnya mujtahid dalam menentukan hokum terhadap suatu masalah dari yang sebanding
dengan itu karena adanya dalil khusus dalam Al Qur’an dan sunnah.

b.      Macam-macam dan contoh Istihsan

Ditinjau dari pengertian menurut ulama’ ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi
atas dua macam;

a)      Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan
pemindahan itu.

Contoh :

Menurut Madzhab Hanafi sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung
gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan Istihsan.
Menurut qias jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah
haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulut binatang buas.
Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan
merupakan najis. Karena itu sisa minum binatang buas itu tidak bertemu dengan dagingnya
yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini
keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang
buas, berdasarkan keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qias jali kepada qias khafi,
yang disebut Istihsan.

b)      Pindah dari hokum kulli kepada hokum juz’i, karena ada dalil yang mengharuskannya.
Disebut juga istihsan darurat.
Contoh :

Syara’ melarang seseorang memperjual-belikan atau mengadakan perjanjian suatu barang


yang belum ada wujudnya, pada saat jual-beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh
macam jual-beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan
rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara
pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas
perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan
dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

c.       Kekuatan Istihsan sebagai hujjah

Dari definisi dan penjelasan kedua macam Istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya
Istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum dari bentuk
Istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang diunggulkan daripada kias yang nyata,
sebab hal-hal tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul, dan itu adalah alasan
Istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk Istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, yang
menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga dianggap
sebagai alasan Istihsan.

Diantara orang-orang yang berhujjah dengan Istihsan adalah mayoritas kelompok


Hanafi. Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan Istihsan adalah mengambil dengan kias
yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau memenangkan kias atas kias lain yang
menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum
umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar.[2]

d.      Alasan ulama yang tidak berhujjah dengan istihsan

Sebagian kelompok mujtahid mengingkari kebenaran Istihsan, mereka


menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya
sendiri. Di antara tokohnya adalah Imam Syafi’i, seperti telah dinukil darinya: Siapa yang
membuat Istihsan berarti ia membuat Syari’at. Artinya orang itu membuat hukum Syari’at
sendiri.ditetapkan dalam  Risalah Ushuliyahnya: Perumpamaan orang yang menetapkan
hukum dengan Istihsan adalah seperti orang yang sholat menghadap ke arah yang
dianggapnya baik itu adalah Ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang telah ditetapkan
Syar’i dalam menentukan arah Ka’bah. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Istihsan
adalah berenak-enak, seandainya melakukan Istihsan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya
boleh juga dilakukan oleh orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya
boleh menciptakan syari’at dalam agama di setiap permasalahan, serta setiap orang boleh
membuat syari’at untuk dirinya sendiri.
Kedua kelompok yang berbeda pendapat tentang istihsan tidak sepakat dalam
membatasi definisinya. Kelompok yang setuju menghendaki istihsan itu berbeda dengan apa
yang dikendaki kelompok yang tidak setuju. Seandainya mereka sepakat atas batasan
definisinya mereka tidak akan berbeda pendapat dalam kehujjahan istihsan. Karena istihsan,
kenyataannya adalah berpindah dari dalil yang  jelas atau dari hukum yang umum karena ada
dalil yang menuntut untuk itu, tidak melulu membuat syari’at seenaknya sendiri. Semua
hakim seringkali menyalahkan pemikirannya dalam banyak kejadian karena hakikat
kemaslahatan yang menuntut pindah dalam bagian hukum ini dari hal-hal yang ditetapkan
undang-undang. Dan hal itu tiada lain kecuali salah satu bentuk istihsan.

Oleh karena itu, Imam as Syathibi dalam kitab al Muubiyaqat menerangkan: Orang
yang melakukan Istihsan tidak menggantungkan pada daya rasa dan keinginannya, namun
harus menggantungkan pada apa yang diketahuinya tentang tujuan syar’i secara global dalam
hikmah sesuatu yang ditampakkan. Seperti masalah-masalah yang dituntut oleh kias sebagai
“perintah” , hanya saja perintah itu dalam satu sisi dapat menyebabkan rusaknya
kemaslahatan atau menarik suatu kerusakan dari sisi yang lain.

2.2  Maslahah mursalah

a.      Pengertian Mashlahah Mursalah

Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baik artinya


ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdaryang sama artinya dengan
kalimat ash-Shalah,seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al’naf’u.

Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah
adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut imam al gazali
(mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus
sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya,
kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya,
kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering
didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.

Sedangkan maslahah mursalah :

‫على اعتبار ها او بنو عها‬  ‫هو كل مصلحة لم ير د في الشرع نص‬

“Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat (AL-Qur’an dan
sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”

Menurut  istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan kemaslahatan yang disyariatkan


oleh syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak
terdapat dalil yang membenarkan dan menyalahkannya.
Jadi masalahah mursalah ialah masalah-masalah yang bersesuain dengan tujuan-tujuan
syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat meligitimasi
atau membatalkan maslahat tersebut.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan maslahah mursalah adalah suatu


kemaslahatan yang dipandang  oleh manusia tidak terdapat dalilnya dalam alqur’an dan
sunnah baik dalil yang membenarkan maupun dalil yang menyalahkan.[3]

b.      Macam-macam dan contoh Mashlahah Mursalah

Maslahah mursalah ada beberapa macam ditinjau dari beberapa segi:

1)      Berdasarkan segi kualiatas  dan kepentingan ke maslahatan

a)      Maslahah dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok


umat manusia di dunia dan di akhirat. Yang termasuk dalam kemaslahatan ini adalah
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
memelihara harta.

b)      Maslahah hajjiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan


kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya berbentuk keringan untuk mempertahankan
dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah  diberi keringanan
meringkas shalat ( menjama’) dan berbuka puasa bagi orang yang musafir dalam bidang
muammalah antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan.

c)      Maslahah tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap berupa keleluasa


yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan
makanan begizi, berpakaian yang bagus dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari
badan manusia.

2)       Berdasarkan segi perubahan maslahah

a)      Maslahah tsabitah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya tetap,tidak berubah sampai akhir


zaman. Mislanya berbagai kewajiban ibadah seperti shalat dan lainya.

b)      Maslahah mutaqhairah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan


perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan
permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti makan makanan yang berbeda-beda
antara daerah yang satu dengan yang lainnya.

3)       Berdasarkan keberadaan maslahah menurut syara’ mustafah asylabi pembagianya


sebagai berikut

a)      Kemaslahatan yang di dukung oleh syara’ artinya adanya dalil khusus yang menjadi
dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya tentang hukuman atas orang yag
meminum-minuman keras. Hukum yang terdapat dalam alhadist difahami berlainan oleh para
ulama’ fiqih. Hal ini disebabkan perbedaan alat memukul yang digunakan nabi Muhammad
saw ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminu minuman keras. Ada hadist
yang menerangkan alat yang digunakan adalah pelepah kurmah sebanyak 10 kali. Dan ada
yang mengqhiyaskan dengan hukuman penuduh zina yaitu 80 kali. Pendapat yang terakhir ini
menurut ahli ushul fiqh sangat cocok untuk digunakan sebab di dukung oleh syara’ sebab
baik jenis maupun bentuknya disebut muslahah mu,tabarah.

b)      Kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’,
syara’ yang menentukan bahwa orang yang memlakukan hubunga sexsual disiang hari dalam
bulan ramadhan dikenakan hukuman memerdekakan budak, atau puasa selam dua bulan
berturut-turut, atau memberi makan 60 oarang fakir miskin, dan ulama’ ushul fiqh
memberikan pandangan bahwa yang diutamakan adalah puasa dua bualan berturut-turut
karena hal yang demikian itu sangat relevan dengan tujuan syara’

c)      Kemaslahatan yang keberadaan tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan syara’
melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini di bagi dua. Kemaslahatan yang
tidak di dukung oleh syara’ baik secara rinci maupun umum, tatapi didukung oleh nash, yang
disebut maslahah qharibah. Namun mereka tidak dapat memberikan contohnya. Dan
kemaslahatan yang kedua disebut maslahah mursalah. Kemaslahatan ini didukung oleh
sekumpulan nash walau bukan nash yang rinci.

c.  Syarat-syarat maslahah mursalah

Ada berapa syarat yang harus dipenuhi untuk kemaslatan itu, yakni :

1)      Adanya persesuaian antara maslahat yang di pandang sebagai sumber dalil yang terdiri
dari tujuan tujuan syariat.

2)      Maslahat itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran
yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada rasionalis akan diterima.

3)      Pengguna dalil maslahat ini dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi. Dalam
pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak di ambil, niscaya manusia
akan mengalami kesulitan.

4)      harus benar-benar membuahkan maslahah. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan


pembentukan hukum itu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Jika
maslahah itu berdasarkan dugaan atau pembentukan hukum itu mendatangkan kemanfaatan
tanpa pertimbangan apakah maslahat itu bisa lahir lantaran pembentukan hukum itu atau
tidak berarti maslahat itu hanya diambil berdasarkan dugaan semata. Misalnya, maslahat
dalam hal merampas hak suami dalam menceraikan istrinya, kemudian hak talak itu dijadikan
sebagai hak qadhi dalam seluruh suasana.

5)      maslahah itu sifatnya  umum, bukan bersifat perorangan, maksudnya ialah bahwa


dalam kaitan dengan pembentukan hukum atas suatu kejadian  atau maslahah dapat
melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang benar-benar dapat terwujud
atau bisa menolak mudharat , atau tidak hanya mendatangkan kemanfaatan bagi seseorang
atau beberapa orang saja, karena itu hukum tidak bisa disyariatkan lantaran hanaya
membuahkan kemaslahatan secara khusus kepada pimpinana atau orang-orang tertentu
dengan tidak menaruh perhatian kepada kemaslahatan umat. Dengan kata lain kemaslahatan
itu harus memberi manfaat bagi seluruh umat.

6)      pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata
hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’. Karena itu tuntutan kemasalahatan untuk
mempersemakan antara hak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta warisan,
merupakan masalah yang tidak bisa di benarkan sebab masalah yang demikian ini adalah
batal.[4]

d. Dalil-dalil masalahah Mursalah

Adanya dalil umum yang diungkap oleh ulama, yang menjadi maslahah mursalah sebagai
hujjah, beberpa diantaranaya adalah sebagai berikut :

1)      Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranaya:


Sahabat mengumpulkan al qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal Rasulullah tidak pernah
menyuruh. Dengan tujuan untuk menjaga kitab  ini dari kepunahan.Dan yang lainya adalah
khulaurrasidin menetepkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Sebab
kalu tidak dibenai dengan ganti rugi maka mereka akan ceroboh dalam memegang amanah
dari majikanya. Kemudian contoh yang lain adalah saat umar bin  khattab memerintahkan
para penguasa agar memisahakan antara harta kekayaan pribadi dengan harta diperoleh dari
kekuasaan agara terhindar dari manipulasi.

2)      Adanaya maslahah sesuia dengan maqhasaid as syariah artinaya dengan mengambil


masalahah berarti sama dengan merealisasikan maqhasaid as syariah. menggunakan dalil
maslahah atas dasar bahwa ia adalaha sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.

3)      Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah
selama berada dalam katek maslahah syariah, maka orang-orang mukalaff akan mengalami
kesulitan dan kesempitan.

4)      Kemaslahatan uman manusia itu sifatnya selalu actual. Karena itu jika tidak ada syari’at
hukumyang berdasarkan maslahah mursalah yang berkenaan dengan maslahah baru sesuia
tuntutan perkembangan, maka pembenttukan hukum hanya akan terkunci berdasarkan
maslahah yang berdasarkan maslahah yang mendapat pengakuan syar’I, dengan demikian
kemaslahatan yang dibutuhkan umat manusia disetiap masa dan tempat menjadi terabaikan,
berarti pembentukan hukum tidak melihat kemashatan ummat manusia. Hal ini tidaklah
cocok dan tidaklah sesuai dengan maksud syari’at yang selalu ingin mewujudkan maslahatan
bagi kehidupan umat manusia.
Dibawah ini akan di terangkan pendapat beberapa orang ulama didalam kitab ushul tentang
almaslahah al-mursalah:

§  Al-amidi berkata dalam kitab al-ihkam, IV: 140, “para ulama dari golongan syafi’i,hanafi
dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah,kecuali imam malik, dan
diapun tidak bersependapat dengan para pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat untuk
tidak memakai istishlah dalam setiap kemaslahahan kecuali dalam kemaslahatan yang
penting dan khusus secaraqath’I mereka tidak menggunakanaya dalam kemslahatan yang
tidak penting tidak berlaku umum, serta tidak kuat.

§  Menurut ibnu hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut mursal. Akan tetapi
kalau gharibatau ada pembatalanya maka dalil itu tertolak secara sepakat. Adapun bila
dalilnya sesuai , maka imam Al-ghazali memakainya, dia menerimanya dari Asy-syafi;idan
malik. Namun yang lebih utama adalah menolaknya.

§  Imam Asy-syatibi berkata dalam kitab Al Istifham, II :111-112 pendapat tentang


adanya maslahah mursalah itu telah diperdebatkan di kalangan para ulama, yang dapat di bagi
dalam empat pendapat:

ü  Al- qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak
ada dasarnya.

ü  Imam malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.

ü  Imam Asy-Syafi’I dan para pembesar golongan Hanafiyah memakai Al-mashlahah al-


mursalah dalam permasalahan yang tidak di jumpai dasar hukumanya yang shahih. Namun
mereka mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang shahih. Hal itu senada
dengan pendapat Al-juwaini.

ü  Imam Al-ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsim atau
tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai dalil yang lebih jelas, adapun bilaberada pada
martabat penting boleh memakainya, tetapi harus memenuhu beberapa  syarat.

Dia pun berkata, jangan samapai para mujtahid menjauhi untuk melaksanakanya.
Namun pendapatnya berbeda-beda tentang derajat pertengahan: Yakni martabat kebutuhan.
Dalam kitam Al-mustasyfa,dia menolaknya, namun dalam kitab Syafa’u al-ghazalil, dia
menerimanya[5]

2.3  Istishab

a. Pengertian Istishab

Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al( ‫ )اِ ْستِ ْف َعا ِل‬yang
bermakna: ْ‫الص††† َحبَه‬ َّ ‫اِ ْس†††تِ ْم َرا ُر‬. Kalau kata" "ْ‫الص††† َحبَه‬ diartikan
َّ dengan sahabat atau teman
dan ُ‫اِ ْستِ ْم َرار‬ diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu
menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau
membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau
mencari sesuatu yang ada hubungannya. Dan disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata
shuhbah artinya “menemani atau menyerta”, dalam artian menurut kebersamaan atau “terus
menerusnya bersama”.sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli bahasa dengan
mengatakan:

" ‫" ُكلُّ َش ْي ٍء اَل َز َم َش ْيئَا فَقَ ْد اِ ْستِصْ َحبَه‬

Artinya: “Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau
menyertainya”.

Dari pengertian yang lain, menurut bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan
“Istishhabtu maa kaana fil maadhi,” artinya “saya membawa serta apa yang telah ada waktu
yang lampau sampai sekarang.

Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada
dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah
kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap hukum
sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan
adanya penyertaan tersebut. Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum
pada sesuatu waktu yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya,
maka hukum tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan lagi. Seperti firman Allah:“Jangan kamu
terima persaksian mereka selamanya.”. Akan tetapi kalau dalil tersebut hanya menetapkan
adanya hukum saja, pada waktu yang telah lampau, tanpa menyinggung-nyinggung tetap
berlakunya, maka apakah hukum tersebut dianggap telah berlaku atau tidak?.Sedang menurut
istilah ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya
adalah:

 Imam al- Asnawy:

‫ان الثَّانِى بِنَا ًء َعلَى ثُبُوْ تِ ِه فِى ال َّز َما ِن األَو َِّل لِ َعد َِم ُوجُوْ ِد َمايَصْ لُ ُح ِللتَّ َغيُّر‬
ِ ‫اب ِعبَا َرةٌ َع ِن ْال ُح ْك ِم ي ُْثبِتُوْ نَ اَ ْمرًا فِى ال َّز َم‬
َ ‫اَ َّن ْاإِل ْستِصْ َح‬

Artinya : “Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah
ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang
mengubah ketentuan hukum tersebut.”

Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:

‫ال‬ِ †‫لح‬ َ ‫اض†ر (يُ††وْ ِجبُ ِظَ َّن ثُبُوْ تِ† ِه فِى ْا‬
ِ ‫اض†ى اَ ِو ْال َح‬
ِ ‫الش† ِئ فِى ْال َم‬
َّ ‫اِ ْبقَا ُء َما َكانَ َعلَى َم††ا َك††انَ َعلَ ْي† ِه اِل ْن†د َِام ْالُم َغي ِِّر (اِعتِقَ††ا ُد َك††وْ ِن‬
‫اَ ِو ْا ِإل ْستِ ْقبَا ِ ِل‬
Artinya : “Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada
yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.”

Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah:
pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab
menurut istilah adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya,
sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut.Atau menetapkan
hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga
ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Adapun definisi Istishab menurut Al Ghazali
adalah berpegang pada dalil akal atau syara`, bukan didasarkan karena tidak mengetahui
adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada
dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada hukum yang telah
ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut, atau
menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum itu.

Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang
telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang
belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy Syatibi,istishab adalah segala ketetapan
yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwaistishab adalah:

·         Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada
masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contohnya adalah sebagai
berikut: Seseorang yang mulanya ada wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya,
bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi
begini, hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang datang
belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.

·         Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang
lalu.

Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan
perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini
B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum
ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.

b. Macam- Macam Istishab

Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:

1)      Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama
manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan
buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.

2)      Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan


argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan
kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak
adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi
kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya).
Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan
sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu
seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.

3)      Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya
dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh
(yang membatal-kannya). Suatu nashyang umum mencakup segala yang dapat dicakup
olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu
dengan jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun
daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di
Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam
(QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.

4)      Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi


sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-
bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan
ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik.
Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh
sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan
pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?,padahal kemarin ia benar-
benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.

5)      Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya
masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut
pula denganistishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada
masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang
dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang
yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya
tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula
pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan
batalnya penetapan tersebut.

c. Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam

Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak ada
dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan
dalil.Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian
juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang.
Istishab bukanlah dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa lampau
berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil.
Hal ini sama sekali tidak dibolehkan dalam syara’.

Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa


dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap
hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum
yang akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang
sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan
tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu
sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada hukum yang
sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun
penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi
kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk
mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum
itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.

Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat


bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada,
selama belum ada dalil yang mengubahnya.Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan
pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni,
maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum
ada perubahan.Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya syari’at di zaman
Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai
sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.[6]

d. Kaidah-kaidah Istishab

Para ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab,
diantaranya adalah:

"‫"االصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره‬

Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai
ditemukan dalil yang menunjukkan  hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah kasus
orang yang hilang diatas.

"‫"االصل فى األشياء األباحة‬

Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya
adalah boleh dimanfaatkan.Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama tidak
ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada
dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.
"‫"اليقين اليزال بالسك‬

Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui
kaidah ini, maka seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu
apakah telah batal atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia telah
berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan pengecualian dalam
masalah shalat.Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka kaidah
ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah wudunya, maka ia
wajib berwudu kembali

‫األصل فى الذ مة البراءة من التكاليف والحقوق‬

Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil
yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus
apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan
meyakinkan bahwa ia bersalah.[7]

e. Pengertian Al-Urf

Menurut bahasa Urf adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia. Sedangkan
menurut istilah adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia baik berupa ucapan,
perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan menjadi tradisi untuk
melaksanakannya ataupun meninggalkannya. Terkadang Urf juga disebut dengan adat
(kebiasaan).

Perbedaan Urf dengan Ijma’.

a. Urf adalah sesuatu yang disepakati oleh seluruh manusia.

b. Sedang Ijma’ adalah sesuatu yang disepakati oleh seluruh Mjtahid.

2. Urf dibagi menjadi dua.

a. Urf Sahih

Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara’, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib.

Seperti adanya saling pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan, pembagian
maskawin (mahar) yang didahulukan dan yang diakhirkan. Begitu juga bahkan istri tidak
boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya.

b. ‘Urf Fasid

Sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau
menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.
3. Hukum Urf.

a. Urf sahih

Telah disepakati bahwa ‘Urf sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum
dan pengadilan. Maka seorang Mujtahid diharuskan untuk memeliharannya ketika ia
menetapkan hukum. Begitu juga seorang Hakim harus memeliharanya ketika harus
mengadili.

Dan syari’ pun telah memelihara ‘Urf bangsa arab yang sahih dalam membentuk
hukum, maka difardukanlah diat (denda), atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah
(kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adannya ‘ashabah ( ahli waris
yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagiian harta pusaka).

b. ‘Urf fasid

Adapun ‘Urf yang rusak tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu
berarti menentang dalil syara’atau membatalkan dalil syara’.

4. Kehujjahan ‘Urf

‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri.

Pada umumnya, ‘Urf ditunjukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menjunjung
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang
‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘Urf pula terkadang qiyas itu ditingalkan.
Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘Urf sudah terbiasa dalam hal ini,
sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang
ma’dum (tiada).[2]

f. Pengertian Dzari’ah

Dari segi bahasa adalah “ jalan menuju sesuatu” sebagian ulama’mengkhususkan


pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemandharotan. Tetapi pendapat itu ditentang oleh para ulama’ ushul lainya.
Diantaranya ibnu Qayyim Aj-jauziyah yang mengatakan bahwa dzari’ah tidak hanya
menyangkut hal yang dilarang, tetapi juga ada yang dianjurkan.

2. Pembagian Dzari’ah

a. Sadd adz-Dzari’ah

Menurut imam Asy-Syatibi adalah

“melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan (kemafsadatan)”.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd adz-Dzari’ah adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan
kerusakan.

Ada 3 kreteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang.

- Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.

- Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.

- Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.

b. Kehujjahan sadd adz-dzari’ah

Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sad adz-
dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima
kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.

Alasan mereka antara lain :

1. Firman Allah SWT dalam QS. Al-an’am : 108

) ١٠۸ : ‫ ( األنعام‬. . . ‫وال تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبون هللا عدوا بغير علم‬

“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti
mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”[3]

2. Hadits Nabi SAW, antara lain :

‫ كيف يلعن الرجل والديه؟‬,‫ يا رسول هللا‬: ‫ قيل‬.‫إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه‬

)‫ (رواه البخارى ومسلم وابو داود‬.‫ ويسب أمه فيسب أمه‬,‫ يسب ابا الرجل فيسب اباه‬: ‫قال‬

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya,
Lalu Rasulullah SAW. ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan
melaknat Ibu dan Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki
ayah orang lain, maka ayahnya juga akan di caci maki orang lain, dan seseorang mencaci
maki ibu orang lain, maka orang lainpun akan mencaci ibunya.”

Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sad ad-dzari’ah dalam
masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafi’I
menerimanya apabila dalam keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit
dibolehkan meinggalkan shalat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat dhuhur.
Namun, shalat dhuhurnya harus di lakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja
meninggalkan shalat jum’at.

Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah
dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sad al-dzari’ah adalah dalam niat dan
akad. Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah
akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun
maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah
SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari
perilaku maka berlaku kaidah :

‫المعتبر في اوامر هللا المعني والمعتبر في امورالعباداالسم و اللفظ‬

Artinya :

“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.”

Akan tetapi, jika tujuan orang berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang
ada, maka berlaku kaidah :

‫العبرت في العقود بالمقا صد والماني ال بااللفاط والمباني‬

Artinya :

“ Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan
lafazh dan bentuk formal (ucapan).”

Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah
niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila
tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa
niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada
perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah
Allah saja. Apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan
dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’,
maka perbuatanyya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya.

Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum.

c. Fath adz- dzari’ah

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa Dzari’ah itu
adakalahnya dilarang yang disebut sadd adz- dzari’ah, dan adakalanya dianjurkan bahkan
diwajibkan yang disebut fath adz dzari’ah, misalnya meningalkan segalah aktifitas untuk
melaksanakan sholat jumat yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh wahbah Al-juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seprti
diatas tidak termasuk kepada dzari’ah tetapi dikatagorikan sebagai muqaddimah
(pendahuluan).

g. Pengertian Syar’u Man Qablana

Jika al Qur’an atau Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah
disyariatkan pada umat yang dahulu melaui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan
kepada kita diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat ditujukan
juga kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti fiman Allah SWT. Dalam
surat al-Baqarah: 183

‫ يَأ َ يُّهَا ا‬.‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ُم‬


َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫لَّ ِذ ْينَ أَ َمنُوْ ا ُكت‬
ِّ ‫ب عَل ْي ُك ُم ال‬

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa seagai mana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Q.S. al Baqarah: 183)

Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan, kepada orang-orang
terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum
tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa seorang yang telah
berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika najis
yang menempel tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota yang terkena najis itu.

1. Pendapat ulama tentang Syar’u man Qablana (Syariat sebelum kita)

Syariat terdahulu baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para
ulama, ulama yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil
yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain, apakah dalil
tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk kita? Seperti firman Allah dalam surat al
Maidah. Ayat 32

ٍ ‫ك َكتَ ْبنَا َعلَى بَنِ ْي إِ ْس َرائِي َْل أَنَّهُ َم ْن قَتَ َل نَ ْفسًا بِ َغي ِْر نَ ْف‬
‫س اَوْ فَ َسا‬ َ ِ‫ًد ِل َذل‬

َ َّّ‫ض فَ َكأَنَّ َما قَت ََل الن‬


‫اس َج ِم ْي َعا‬ ِ ْ‫……فِى ااْل َر‬
Artinya: Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum bagi Bani Israil bahwa barang siapa
membunuh orang lain atau karena membuat kerusakan di muka bumi maka se akan-akan dia
telah membunuh-membunuh manusia seluruhnya. (Q.S. al Maidah:32)

Jumhur para ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah, dan sebgaian Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban
mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta
tidak terdapat hukum yang manasakh-nya. Alasannya mereka menganggap bahwa hal itu
termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang tidak disyariatkan melalui para Rasul Nya dan
diceritakan kepada kita. Maka orang mukallaf wajib mengikutiya. Atas dasar itu, menurut
pendapat jumhur Hanafiah, orang islam yang membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki
yang membunuh orang perempuan harus dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah
disyariatkan oleh Allah swt kepada kaum Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh seorang
manusia harus dibunuh pula, dengan tidak membedakan antara dzimmi atau bukan dan antara
laki-laki atau perempuan. Syariat yang berlaku pada orang-orang Bani Israil tersebut masih
tetap berlaku bagi umat islam, karena Al-qur’an menyebutkannya secara mutlak “annan-nafsa
bin-nafsi” (jiwa dengan jiwa” dan tidak ada dalil yang membatalkannya atau
mengkhususkannya.

Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syariat bagi ummat islam. Sebab
syariat kita adalah menasakh (membatalkan) syariat yang telah ditetapkan kepada ummat
sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syariat kita.

2.4  Qoulu Shohabi

h. Pengertian Qaulu Shohabi

Hampir semua kitab ushul fiqh membahas tentang mazdhab shahabi, meskipun


mereka berbeda dalam keluasan bahasanya, juga berbeda dalam penamaanya. Ada yang
menamakanya dengan qaul shahabi ( ‫قول الصحابي‬ )    , ada pula menamakanya dengan fatwa
shahabi. Hampir semua literatur yang membahas madzhab shahibi menempatkanya pada
pembahasan tentang “dalil syara’ yang diperselisihkan”. Bahkan ada yang menempatkanya
pada pembahasan tentang “dalil syara’ yang diperselisihkan”, seperti yang dilakukan Asnawi
dalam kitabnya Syarh Minhaj al-‘Ushul.

Sulit menemukan arti madzhab shahabi  itu secara definitif yang bebas dari kritik. Namun
dari beberapa literatur yang menjelaskan hakikat madzhab shahabi, dapat dirumuskan
arti madzhab shahabi secara sederhana, yaitu:

‫هو فتوى الصاحبة بانفراده‬

Madzhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perseorangan

Rumusan sederhana tersebut mengandung tiga pembahasan:

1.      Abu Zahrah menguraikan beberapa kemungkinan bentuk madzhab shahabi tersebut ke


dalam beberapa bentuk sebagai berikut:

a.       Apa yang disampaikan sahabat itu adalah suatu beriya yang didengarnya dari Nabi,
namun ia tidak menjelaskan bahwa berita itu sebagai sunah Nabi.

b.      Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang dia dengar dari orang yang pernah
mendengarnya dari Nabi, tetapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang
didengarnya berasal dari Nabi.

c.       Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pemahamanya terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
d.      Apa yang disampaikan sahabat itu adalah sesuatu yanh sudah disepakati oleh
lingkunganya, namun yang menyampaikan hanya sahabat tersebut seorang diri.

e.       Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pemahaman atas dalil-dalil, karena
kemampuanya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafadz.

2.      Yang menyampaikan fatwa itu adalah seorang sahabat Nabi. Tentang siapa yang
dinamakan sahabat trersebut, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul
dengan ulama hadis.

a.       Ulama hadis menamakan sahabat itu dengan “orang yang pernah bertemu dengan Nabi
dan wafat dalam keadaan Islam”. Ahli Hadis mensyaratkan pernah bertemu dengan Nabi.
Dan syarat yang mutlak harus ada apada sahabat itu ialah ia wafat dalam keadaan Islam.
Sekalipun orang tersebut biasa menyertai Nabi, namun jika mati tidak dalam keadaan Islam,
maka tidak disebut sahabat Nabi –seperti paman Nabi, Abu Thalib. Tetapi ada yang
memperlanggat syarat itu dengan cukup pernah hidup semasa dengan Nabi, meskipin tidak
pernah bertemu Nabi secara berhadap-hadapan.

b.      Menurut pandangan ahli ushul, yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu
dengan Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang
panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menanbah persyaratan untuk disebut
sahabat dalam hubunganya dengan hukum syara’ yaitu pada dirinya terdapat bakat atau
bawaan (malakah) dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan
Nabi disebut shahâbi  dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).

3.      Penggunaan kata “secara perseorangan” yang merupakan fasal kedua dalam definisi di
atas, memperlihatkan secara jelas perbedaan madzhab shahâbi dengan ijmâ’ shahâbi. Karena
ijmâ’ shahâbi itu bukan pendapat perseorangan melainkan hasil kesepakatan bersama tentang
hukum. Untuk membedakan antara kesepakatan yang disebut ijmâ’ sukûtî dengan ulama
yang tidak mengakuinya.

Bagi ulama yang mengakui keberadaan ijmā’ sukûtî baru akan nyata bahwa yang
disampaikan seorang sahabat itu sebagai madzhab shahabi bila ada pendapat tandingan dari
pihak sahabat lain yang berbeda dengan disampaikan sahabat tersebut. Jika tidak ada
sanggahan dari sahabat lain, maka belum dapat disebut sebagai madzhab shahabi (pendapat
perseorangan sahabat). Sedangkan bagi ulama yang tidak mengakui keberadaan ijmâ’ sukûtî
tidak perlu menunggu adanya pendapat tandingan dari sahabat lain untuk menamakan
pendapat sahabat itu sebagai madzhab shahabi. Pendapat seseorang sahabat yang tidak jelas
disepakati oleh ulama lain dalam bentuk ijmâ’ dapat disebut madhab shahābi, meskipun para
sahabat itu diam semuanya, karena sikap diam dalam hal ini tidak dapat diartikan sebagai
persetujuan. [8]

1. Kehujjahan Madzhab Shahabi


Maksud kehujjahan di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dojalankan oleh
umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkanya sebagaimana bereosanya
meninggalkan perintah Nabi. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu:

1.      Pendapat sahabat yang berada di luar lingkup ijtihad (masalah ta’abbudi) atau hal lain
yang secara qath’i berasal dari Nabi), dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau
le ih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim
(berlaku).

2.      Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawfiq, tentang


kehujjahan tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Pada ulama sepakat
bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuj sesama sahabat lainya,
baik ia seorang imam, hakim atau mufti.

Ada ijma dikalangan sahabat yang membolehkan seorang sahabat berbeda pendapat dengqn
sahabat lainya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang sahabat tidak mempunyai
kekuatan  yang mengikat terhadap sahabat lainya. Tidak ada celaan dari seorang sahabat
terhadap sahabat lain bila ia tidak sependapat. Hal ini menujukkan bahwa pendapat seorang
sahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat bagi sahabat lainya.

Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan
bahwa kehujahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu
saja. Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut:

1.      Pendapat sahabat yang berdaya hujah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan Umar ibn
Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadis Nabi yang menyatakan:

‫اقتدوا بالذين من بعدي أبي بكر وعمر‬

ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakr dan Umar

Hadis ini dinyatakan hasan oleh At-Tarmidzi.

2.      Pendapat dari empat Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainya.
Dasarnya adalah hadis Nabi yang di shahihkan oleh at-Turmudzi

‫عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي‬

Adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang
datang sesudahku.

3.      Pendapat salah seorang Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujah. Pendapat ini
dinukilkan dari as-Syafi’i. Tidak dimasukanya kelompok Ali oleh as-Syafi’i bukan karena
kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi
khalifah ia memindahkan kedudukanya ke Kufah dan waktu itu para sahabat yang biasa
menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali sudah
tidak ada lagi.
4.      Pendapat dari sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Nabi menjadi hujah
bila ia berbicara dalam bidang keistimewaanya itu, seperti Zaid bin Tsabit dalam
bidang faraid  (hukum waris); Muadz ibn Jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali
ibn Abi Thalib dalam bidang peradilan.

Dikalangan ulama yang menerima kehujahan pendapat sahabat secara mutlak, muncul
perbedaan pendapat dalam menempatkanya bila ia berhadapan dengan qiyas:

1.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujah dan berada diatas
qiyas sehingga kalau terjadi perbenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan
adalah endaat sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendaat ini bila ada dua endapat sahabat yang
berbeda dalam satu masalah, maka penyelesaianya adalah sebagaimana penyelesaian dua
dalil yang bertentangan, yaitu melalui tarjih (mencari dalil terkuat).

2.      Ulama yanang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujah, namun
kedudukanya dibawah qiyas dan bila terjadi perbenturan di antara keduanya, maka harus
didahulukan qiyas atas pendapat sahabat.

Berdasarkan pendapat kedua di atas, apakah pebdapat sahabat itu daoat digunakan untuk
men-takhsis  umumnya dalil lafadz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda
pendapat:

1.      Ulama yang mebolehkan untuk men-takhsis umumnya dalil, sebagaimana berlaku


terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujah.

2.      Ulama lainya berpendapat tidak boleh untuk men-takhsis umunya dalil, karena para
sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil umum.

Dikalangan ulama yang menolak kehujahan madzhab shahabi berbeda pendapat pula


dalam hal aakah orang (generasi) sesudah sahabat boeh ber-taqlid kepada sahabat. Dalam hal
ini ada tiga pendapat:

1.      Muhaqqiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain dalam kitabnya al-


Burhan, mengatakan tidak boleh. Alasanya adalah tidak kuatnya kepercayaan pada kebenaran
pendapat sahabat tersebut, sebab pendaatna tidak pernah dibukukan.

2.      Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional bahwa bila orang boleh bertaqlid
kepada mujahid sesudah masa sahabt, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujtahid
sahabat.

3.      Qaul qadim (pendapat lama) dari al-Syafi’i mengatakan boleh bertaqlid kepada sahabat
asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun tidak dibukukan. [9]
BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

3.1.1        Istihsan menurut bahasa berarti ‘’menganggap baik’’. Menurut istilah Ulama Ushul


ialah berpindahnya orang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi
(Qiyas samar) atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum pengecualian, dan dimenangkan
baginya perpindahan ini.

3.1.2        Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak


disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan,
disamping tidak terdapat dalil yang benar atau menyalahkan.

3.1.3        Menurut Ulama Ushul, istishhab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan


sebelumnya sampai terhadap dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaanya
sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.

3.1.4        Qoul Shahabi adalah Pendapat yang disampaikan shahabat tanpa menyandarkannya


kepada Rasulullah SAW, dan tidak memiliki hukum marfu’

3.2  Kritik dan Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami sangat mengharap kritik dan
saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2011 Cetakan VI


Muin, Umar, dkk. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Depag. 1986
Wahhab Khalaf, Abdul. Ilmu Ushul Fiqh : Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
2003. Cetakan I
Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 128
H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 141
Hasan, Afif. Mazhab Pelangi : Menggagas Pluralitas Mazhab Fiqh. Malang : Maktabah
Publishing. 2009. Cetakan II
Syafe’I, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia : Bandung
Nurdin, Zurifah, ushul fiqih 1, 2012. bengkulu
http://adilhidayat01.blogspot.co.id/2012/10/makalah-tentang-istishab-urf-qaul.html
http://seaskystone.blogspot.co.id/2014/12/makalah-fiqih-ilmu-ushul-fiqih-istihsan.html

[1] Munir Umar dkk, Ushul Fiqh I, Jakarta : Depag, 1986, hlm 142


[2] Abdul Wahab K, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Amani, 2003, hlm 107
[3] nurdin, Zurifah, ushul fiqih 1, 2012. bengkulu
[4] Syafe’I, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia : Bandung
[5] Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2011 Cetakan VI, hlm
357
[6] http://adilhidayat01.blogspot.co.id/2012/10/makalah-tentang-istishaburfqaul.html
[7] http://seaskystone.blogspot.co.id/2014/12/makalah-fiqih-ilmu-ushul-fiqih-istihsan.html
[8] Hasan, Afif. Mazhab Pelangi : Menggagas Pluralitas Mazhab Fiqh.  Malang : Maktabah
Publishing. 2009. Cetakan II
[9] Syarifuddin. Amir, Ushul Fiqh 2, Kencana, Jakarta, 2011

Anda mungkin juga menyukai