Anda di halaman 1dari 18

QIYAS DAN KEDUDUKANNYA

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Matakuliah : Pengantar Hukum Islam
Dosen : M. Rana, M.H.I

Oleh :

Anis Fiharnum (2283130016)

Fajar Setiawan (2283130018)

Nurhidayat (22831330024)

JURUSAN HUKUM TATANEGARA (KELAS A)

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SYEKH NURJATI CIREBON

1444H/2022M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas rahmat, karunia serta kasih
sayang-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Proses Jasa Pendidikan ini dengan
sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup para
Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi Muhammad SAW. tidak lupa pula saya
ucapkan terima kasih kepada Bapak M. Rana, M.H.I. selaku dosen mata kuliah Pengantar Hukum
Islam.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan,
walaupun demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.

Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan
sebagaimana mestinya.

Cirebon, 14 September 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
1. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 4
2. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 5
3. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6
1. DEFINISI QIYAS ........................................................................................................... 6
2. KEDUDUKAN QIYAS ................................................................................................ 11
3. RUKUN QIYAS ........................................................................................................... 12
4. CONTOH QIYAS ......................................................................................................... 15
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 17
1. KESIMPULAN ............................................................................................................. 17
2. SARAN ......................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 18

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasullullah, para ulama ushul fiqh
mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaedah-kaedah kebahasan dan
melalui pendekatan maqashid al-Syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum).
Pendekatan pertama atau pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasan adalah untuk
mengetahui dalil-dalil. yang ‘am, khas, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan,
muhkam, mufassar,mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy, dan sebagainya.
Selain itu, melalui kaidah-kaidah kebahasaan ini dapat pula diketahui cara-cara
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara zhahir, sehingga seluruh dalil yang ada
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dapat dipahami serta diamalkan. Dengan demikian,
pendekatan yang pertama ini, terkait langsung dengan nash.1

Sedangkan penekanan pendekatan kedua, maqashid al-syari’ah terletak pada upaya


menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan
maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum. Teori yang dapat digunakan untuk
menyingkap dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus, terutama kasus-kasus yang
tidak ada nash (ayat dan atau hadis)nya secara khusus dapat diketahui melalui metode ijma’,
qiyas, istihsan, istislah, istishab, zari’ah, urf, dan lain sebagainya. Seiring dengan
berkembangnya dunia yang semakin maju dan disertai dengan era globalisasi yang kian
meningkat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat, baik dalam bidang kedokteran, hukum, ekonomi,
sosial dan lain sebagainya, diakui atau tidak telah membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan hukum dan sekaligus menimbulkan berbagai persoalan hukum.
Masyarakat Islam, sebagai suatu bagian yang tak dapat melepaskan diri dari
persoalanpersoalan baru yang berkembang dalam masyarakat, terutama menyangkut
kedudukanhukumnya.2

1
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Cet. 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 11.
2
Umar Syihab, Hukum Islam Dan Transformasi Pemikiran , Cet. 1 (Semarang: Dina utama Semarang, 1996), 3.

4
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik
permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Apa definisi Qiyas?
2) Bagaimana Kedudukan Qiyas?
3) Apa saja rukun Qiyas?
4) Apa saja contoh-contoh Qiyas?

3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini, yaitu sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui apa definisi Qiyas
2) Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Qiyas
3) Untuk Mengetahui apa saja rukun Qiyas?
4) Untuk mengetahui apa saja contoh-contoh Qiyas

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. DEFINISI QIYAS
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu
(‫)تقديرالسءبغيره‬.pengertian bahasa ini membantu kita untuk menyatakan bahwa qiyas adalah
mengukur sesuatu dengan benda yang semisal. Mengukur sesuatu benda tersebut dengan
sesuatu yang universal yang sesuai dengan benda itu dan sesuai pula dengan benda - benda
lain yang sesuai denganya.3

Qiyas menurut istilah ahli usus fikih adalah menyamakan suatu suatu hukum dari
peristiwa yang tidak memiliki Nash hukum dengan peristiwa yang tidak memiliki Nash
hukum ,sebab sama dalam illat hukumnya.

Apabila ada Nash yang menunjukan hukumnya dengan cara - cara yang di gunakan
untuk mengetahui illat hukum ,kemudian terjadi peristiwa lain yang sama illat hukumnya,
maka hukum kedua masalah itu si samakan sebab memiliki kesamaan dalam hal illat hukum
itu sudah di temukan.4

Pengertian qiyas dalam tradisi Salaf ,yakni tiga generasi pertama setelah Rasulullah
Saw , adalah mengumpamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain (‫ )باالشع الشى تنشيل‬yang
kemudian di sebut penalaran analog (‫ )التنشيف قياس‬atau (‫ )احجاى س قىا‬Qiyas dalam ilmu
Mantiq adalah proposi atau konklusi yang di susun berdasarkan proposisi - proposisi atau
premis - premis . Bila premis - premis itu benar maka dari premis - premis itu dapat di tarik
konklusi yang benar pula. (‫ )قترانى اال س القيا‬atau (‫ )الجمال ا القياس‬Syllogisme Categoriqiue .5

Kedua silogisme katagorik atau qiyas ististhna'i ialah qiyah atau penalaran yang
terdiri dari tiga trem atau premis yang dalam bahasa Arab di sebut muqaddimah/‫الثالثة لحدود‬
seperti dalam contoh di bawah ini :
1) Premis major: setiap badan adalah tersusun.
2) Premis minor: setiap yang tersusun adalah baru.
3) Konklusi: maka setiap badan adalah baru.6

3
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), 62.
4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Darul Qalam kuwait, 2003), 65.
5
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam..., 62.
6
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam…, 63.

6
Ketiga trem dalam contoh di atas ialah : badan / jisim tersusun /mua'laf ; dan baru / mudhat.
Kata atau trem tersusun terulang dua kali dalam 2 premis atau proposisi. Dalam dua premis
atau proposisi disebut trem penenang ; midle term ;Al hadd al-ausat. Term penengah ini dalam
ilmu hukum Islam disebut mana't Al hukm. 2 trend lainnya disebut al-tarafain (bentuk
dua/tathniyah dari kata Al -tarf , yakni premis major dan konklusi).trem atau Al -taf yang
diinginkan untuk menjadi kandungan major dan konklusi di sebut al- hadd Al - Akbar ,
premisnya disebut Al -muqaddimah Al -kubro yaitu premis major. Trem Al -tarf yang menjadi
objek konklusi disebut al- hadd al - Akbar , premisnya disebut Al- muqaddimah Al- kubro ,
yaitu premis major .trem atau Al- tarif yang menjadi objek konklusi disebut al-hadd Al- asgar
dan premisnya di sebut al- muqaddimah Al- surga atau premisnya minor.7

Qiyaz kedua adalah qiyas ekseptik atau kias istithnaiyyah yang terdiri dari dua buah premis,
salah satu premis silogisme ekseptik berbentuk syarat; ( wad'i) atau menghilangkan salah satu
bagian dari kedua premis tersebut.8

Berikut ini bebrapa contoh Qiyas syara’ yang mempertegas definisi diatas:
1) Minuman khamr adalah suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan dengan nash,
tadi kita ngetik yaitu haram. Perasan(minuman) yang mempunyai alat memabukkan
disamakan dengan Hammer dan haram diminum.

2) Pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskan adalah peristiwa yang hukumnya
telah ditetapkan dengan nash,yaitu terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak
waris.

3) Jual beli pada saat adzan hari Jumat adalah peristiwa yang hukumnya ditetapkan dengan
yaitu hukun makruh.

4) Kertas yang dibubuhi dengan tanda tangan adalah peristiwa yang hukumnya ditetapkan
dengan nash, yaitu hujjah bagi yang bertanda tangan. Ditunjukkan oleh nash undang-
undang perdata, dengan Ilat bahwa pembubuhan tanda tangan adalah sebagai bukti bagi
pemberi tanda tangan. Kertas yang dicap dengan jari memiliki Ilat ini maka hukumnya
disamakan dengan kertas yang ditandatangani dan merupakan mudah bagi yang
membubuhkan cap.9

7
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), 63.
8
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam…, 63.
9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Darul Qalam kuwait, 2003), 65.

7
5) Pencurian oleh ( anggota keluarga), antara orang tua dan anak atau suami istri menurut
undang-undang pidana pelakunya tidak boleh dihukum kecuali atas tuntutan korban.
Hukum dan illat perbuatan seperti ghasab,merampas harta, mengekuarkan cek kosong,
dan kriminal pemaksaan, disamakan dengan pencurian karena hubungan kekerabatan
dan suami istri.

Pada semua contoh di atas peristiwa yang tidak mempunyai nash dalam
hukumnya, karena memiliki kesamaan dengan illat hukum yang sama, menurut istilah
ahli ilmu Ushul fiqih, disebut qiyas. Sedangkan ungkapan ulama menyamakan suatu
kejadian dengan kejadian lain memadukan peristiwa dengan peristiwa lain atau menarik
suatu hukum dari kejadian kejadian yang lain adalah istilah yang sama dan pengertian
yang sama.10

Qiyas dalam Menentukan Jarimah dan Hukuman

Mereka yang memperbolehkan pemakaian Qiyas untuk semua hukuman Syara',


berselisih pendapatnya tentang pemakaian Qiya dalam soal jarimah dan hukuman.Bagi
mereka yang memperbolehkan, maka alasannya ialah:11

1) Nabi saw, membenarkan pemakaian Qiyas, ketika ia berta nya kepada sahabat Mu'az.
"Dengan apa engkau memutus sesuatu perkara?" Jawabnya "Dengan kitab Tuhan; kalau
tidak saya dapati, maka dengan Sunnah Rasul, dan kalau ti dak saya dapati, maka saya
"berijtihad" dengan fikiran saya". Rasulullah membenarkan kata-kata Mu'az yang
mengenai üjtihad, sedang kata-kata ijtihad adalah mutlak yang tidak ditentukan
macamnya, sedang Qiyas merupakan salah satu cara ijtihad, dan tidak ditentukan untuk
satu lapangan hukum tertentu. Oleh karena itu pemakaian Qiyas dalam soal-soal
jarimah dan hukuman dapat dibenarkan."

2) Ketika sahabat-sahabat bermusyawarah tentang hukuman had bagi peminum minuman


keras, maka sahabat Ali r.a. berka ta: Jika ia minum, maka mabuklah ia. Jika mabuk,
maka ia mengigau. Jika mengigau, maka ia akan membuat-buat kebohongan. Karena
itu jatuhilah dia hukuman orang yang membuat-buat kebohongan (yakni orang yang
menuduh orang lain berbuat zina sedang sebenamya tuduhan itu tak benar). Di sini

10
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Darul Qalam kuwait, 2003), 66.
11
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1967), 34.

8
sahabat 'Ali r.a. mengqiyaskan (mempersama kan) hukuman minum-minuman keras
dengan memperbuat kebohongan (iftira). Terhadap pendapat sahabat 'Ali r.a. tidak ada
sanggahan dari sahabat-sahabat lain, dan oleh karena itu bisa disebut "Ijma'".

Bagi mereka yang tidak memperbolehkan pemakaian Qiyas dalam soal-soal


kepidanaan, maka alasannya ialah:

1) Hukuman hudud dan kifarat-kifarat sudah ditentukan batas batasnya, tetapi tidak dapat
diketahui alasan penentuan batas-batas tersebut sedang dasar Qiyas ialah pengetahuan
tentang illat (sebab alasan) hukum peristiwa "asal". Apa yang tidak dapat diketahui
alasannya, maka Qiyas tidak dapat dilakukan terhadapnya.

2) Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman, dan pada kifarat-kifarat juga
terdapat sifat hukuman. Qiyas itu sendiri bisa kemasukkan salah (kekeliruan), dan
kemungkinan salah artinya syubhat (ketidak tegasan), sedang hukuman hukuman
(hudud) menjadi hapus disebabkan adanya syub hat, karena kata-kata Nabi: "Hindarkan
hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat" (idra'ul-hudud bisy-syubu hat).

3) Syara' menjatuhkan hukuman potong tangan atas pencuri tetapi tidak menjatuhkannya
atas pengirim surat kepada orang-orang kafir musuh, sedang sebenarnya hukuman terha
dap perbuatan yang kedua tersebut lebih utama. Kalau hu kuman terhadap perbuatan
lebih berbahaya tidak ada maka hal ini menunjukkan tidak bolehnya pemakaian
Qiyas.12

Alasan-alasan tersebut boleh jadi lebih kuat daripada alasan golongan pertama
yang memperbolehkan pemakaian Qiyas, apa lagi kalau diingat bahwa penentuan
hukuman minum minuman keras tidak merupakan hasil Qiyas, melainkan hasil ijma'
(ijma' sahabat).13

Akan tetapi haruslah kita ketahui bahwa Qiyas dalam hukum an mengharuskan
adanya Qisas dalam jarimah terlebih dahulu, dan kebolehan memakai Qiyas dalam
jarimah tidak berarti mem buat aturan-aturan baru atau jarimah-jarimah baru melainkan
hanya berarti memperluas lingkungan berlakunya aturan yang telah ada. 14

12
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1967), 35.
13
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam..., 35.
14
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam..., 35.

9
Jadi Qiyas dalam soal-soal jarimah dan hukuman tidak merupakan sumber
hukum, melainkan sekedar penafsiran yang di pakai untuk dapat menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang bisa dicakup oleh sesuatu aturan yang telah ada.15

Kalau sesuatu nas melarang perbuatan tertentu karena sesua tu alasan, maka
perbuatan-perbuatan lain sifatnya (alasannya) sama, juga dipersamakan, artinya
dilarang juga, seperti memper samakan "kuburan" dengan rumah atau tempat-tempat
penyim panan harta benda, sehingga dengan demikian, orang yang meng ambil kain
kafan mayat dipandang sebagai pencuri juga.

Pemakaian Qiyas dalam artian tersebut tidak ada halangannya untuk dipakai,
yang juga banyak dipakai oleh pengadilan-pengadil an umum pada masa sekarang, dan
juga diakui pemakaiannya dengan secara luas oleh Sarjana-sarjana hukum positif.16

Qiyas dalam acara pidana

Berbeda dengan persoalan jarimah dan hukuman-hukumannya, maka para


fuqaha memperbolehkan pemakaian Qiyas dalam ketentuannya pidana, bahkan
pemakaian sumber sumber hukum yang lain, seperti 'urf dan mazhab sahabat.17

Misalnya sebagian fuqaha memperbolehkan persaksian orang wanita dalam


soal-soal jarimah, karena di-Qiyaskan pada persaksi an mereka dalam urusan
keperdataan.

Tentang penjatuhan hukuman rajam, para fuqaha mengharus kan badan si


terhukum ditanam separo dalam tanah, dan ini adalah pendapat sahabat Ali r.a.

Juga imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya mengha ruskan adanya bau
minuman keras disamping keterangan saksi saksi untuk menetapkan adanya jarimah
minuman keras. Ini ada lah pendapat Abdullah bin Mas'ud r.a.18

15
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1967), 36.
16
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam..., 36.
17
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam..., 36.
18
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam..., 36.

10
2. KEDUDUKAN QIYAS
Dalam pandangan jumhur ulama, qiyas adalah hujjah syara' atas hukum hukum
sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara' yang ke empat. Qiyas adalah satu dari empat
sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Dalam hal ini, qiyas menempati posisi
keempat, setelah hukum islam pertama adalah Al Quran, yang kedua adalah hadits, dan
yang ketiga ijma, barulah yang keempat itu qiyas. Artinya, apabila hukum suatu peristiwa
itu tidak ditemukan di dalam nash atau ijmak, sudah pasti memiliki kesamaan illat dengan
peristiwa (pertama) yang ada nash hukumnya,maka peristiwa kedua diqiyaskan dengan
masalah pertama dan dihukumi sama dengan hukum masalah pertama. Hukum itu menjadi
ketetapan syara' yang wajib diikuti dan diamalkan oleh mukallaf sedangkan jumhut ulama
itu disebut orang-orang yang menetapkan qiyas.19

Keabsahan qiyas sebagai landasan hukum, terjadi perbedaan pendapat di kalangan


ulama ushul fiqh. Jumhur ulama ushul fiqh sepakat, bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai
dasar dalam menetapkan hukum Islam dan sekaligus sebagai dalil hukum Islam yang
bersifat praktis. Sedangkan menurut mazhab Nidzamiyah, Zahiriyah, dan sebagian Syi’ah
berpendapat sebaliknya, yakni qiyas tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.20

‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya’.21

Ayat ini menujukkan, bahwa jika ada perselisihan pendapat di antara ulama tentang
hukum suatu masalah, maka solusinya adalah dengan mengembalikannya kepada al-Quran
dan Sunnah Rasulullah saw. Cara mengembalikannya antara lain dengan qiyas.

19
Abdul Wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Darul Qalam Kuwait,2003). 67
20
Zakky al-Din Sya’ban, Ushul al- Fiqh al-Islami ,(Mesir: Dar al-Ta’lif, 1964), 111.
21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan, 2006),114.

11
3. RUKUN QIYAS
Rukun Qiyas ada 4 (empat) antara lain sebagai berikut:

1) Ashlu (Kasus Asal)


Al-Ashlu (Kasus Asal) adalah suatu kasus yang telah diketahui ketetapan
hukumnya. Kasus Asal ini dikenal pula dengan nama al-maqis ‘alaih (kasus yang
diqiyasi).22 Mengenai rukun yang pertama ini, para ulama menetapkan pula beberapa
persyaratan sebagai berikut:

a) Al-Ashl tidak mansukh. Artinya, hukum syara’ yang akan menjadi sumber
pengqiyasan itu masih tetap berlaku pada masa hidup Rasulullah SAW.apabila
telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashal.23

b) Hukum Syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak
ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hokum syara’, bukan
hukum yang lain, seperti hokum akal atau hokum yang berhubungan dengan
bahasa.24

c) Bukan hukum yang dikecualikan. Jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian,


maka tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya, ketetapan sunnah bahwa
puasa karena lupa tidak batal. Ketentuan ini tidak dapat menjadi ashal qiyas
untuk menetapkan tidak batalnya puasa orang yang berbuka puasa karena
terpaksa.25

2) Far’u (Kasus Cabangan)

Al-Far’u (Kasus Cabangan) adalah unsur suatu kasus yang dikehndaki untuk
ditetapkan hukumnya. Kasus cabangan ini dikenal pula dengan nama al-maqis (yang
diqiyaskan).26 Terhadap rukun ini, para ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai
berikut:

a) Sebelum diqiyaskan, tidak pernah ada nash lain yang menentukan hukumnya.
jika lebih dahulu telah ada nash yang menentukan hukumnya, tentu tidak perlu
dan tidak boleh dilakukan qiyas terhadapnya.

22
Darul Azka, Ushul Fiqh, (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 164.
23
A. Djazuli & Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), 137.
24
A. Djazuli & Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam..., 137.
25
A. Djazuli & Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam..., 137.
26
Darul Azka, Ushul Fiqh, (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 164.

12
b) Adanya kesamaan antara illat yang terdapat dalam al-Ashal dan yang terdapat
dalam al-Far’u.

c) Tidak terdapat dalil qath’I yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.

d) Hukum yang terdapat dalam al-ashal bersifat sama dengan hukum yang
terdapat dalam al-far’u.27

3) Hukmul Ashli (Hukum kasus asal)

Hukmul Ashli (Kasus hukum asal) adalah hukum yang elah ditetapkan terhadap
kasus asal, baik berdasarkan al-Qur’an, al-Hadist, maupun al-Ijma’.28 merupakan
kekhususan bagi Nabi Muham. Terhadap rukun yang ketiga ini, para ulama
memberikan syarat-syaratnya, yaitu:

a) Hukum ashal hendaklah hukum yang berupa hokum syara’yang berhubungan


dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajianushul fiqh adalah hokum
yang menyangkut amal perbuatan.

b) Hukum ashal dapat ditelusuri illat (motivasi) hukumya. Misalnya hokum


haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena
memabukkandan bisa juga merusak akal pikiran, bukan hokum-hukum yang
tidak bisa diketahui illat hukumnya (ghairu ma’qul al-ma’na.), seperti masalah
rakaat dalam sholat.

c) Hukum ashal itu bukan mad SAW. Misalnya kebolehan beristri lebih dari empat
orang wanita sekaligus.29

4) ‘Illatul Hukmil Ashli (Alasan Hukum Kasus Asal)


‘Illatul Hukmil Ashli (alasan hukum kasus asal) adalah alasan dari
ditetapkannya hukum pada kasus asal.30 Secara bahasa illat, adalah sesuatu yang bisa
mengubah keadaan. Sedangkan menurut istilah dan yang dikehendaki dalam
pembahasan ini adalah suatu sifat yang menjadi motiv dalam menentukan hukum dan

27
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Cet. 3 (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 88.
28
Darul Azka, Ushul Fiqh, (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 164.
29
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 174.
30
Darul Azka, Ushul Fiqh, (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 165.

13
sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa.31 Adapun persyaratan dari
illat ini adalah sebgai berikut:

a) Illat harus berupa sesuatu yang ada kesesuaiannya dengan tujuan pembentukan
suatu hokum.

b) Illat itu harus bersifat jelas dan nyata (dapat disaksikan dan dapat dibedakan
dengan sifat serta keadaan yang lain).

c) Illat itu harus mundhabitah atau sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasannya.

d) Illat itu harus mutaaddiyah. Makasudnya suatu sifat yang terdapat bukan hanya
pada peristiwa yang ada nashnya, tapi juga harus ada pada peristiwa-peristiwa
lain yang hendak ditetapkan hukumnya.

31
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 174.

14
4. CONTOH QIYAS
Adapun contoh-contoh Qiyas antara lain sebagai berikut:

1) Ketika seorang mujtahid ingin mengetahui hukum yang terdapat pada Bir, Wisky atau
Tuak. Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk kepada nash al-Qur’an ternyata
tidak satu pun nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Maka untuk
menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas yakni mencari perbuatan
yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum
khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT. “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.32

Zat yang memabukkan itulah yang menjadi penyebab di haramkannya Khamr.


Haramnya meminum khamr tersebut berdasarkan ‘Illat hukumnya yakni memabukan.
Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya yang ‘Illat-nya sama dengan khamar
dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram. Dengan demikian, mujtahid
tersebut telah menemukan hukum untuk bir, wisky atau tuak yaitu sama dengan hukum
khamr, karena ‘Illat keduanya adalah sama. Kesamaan ‘Illat antara kasus yang tidak
ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan
hukum.33

2) Seiring perkembangan zaman yang dikatakan era globalisasi, muncul problematika-


problematika perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan atau dibawah
tangan (nikah sirri) sehingga memunculkan kebutuhan adanya campur tangan
pemerintah dalam perkawinan berupa pencatatan.

Allah berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 282. Dari ayat ini menunjukkan
anjuran, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa anjuran ini bersifat kewajiban
untuk mencatat utang piutang, dan mendatangkan saksi di hadapan pihak ketiga yang

32
Q.S. al-Maidah ayat: 90-91.
33
Abdul Karim al-Khatib, Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005), 130.

15
dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis utang walaupun
hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya, bertujuan untuk
menghindarkan terjadinya sengketa di kemudian hari.34

Dengan ayat ini dapat ditarik istinbath dengan qiyas (analog) bahwa jika
perjanjian yang berhubungan dengan harta saja dianjurkan untuk dicatatkan di atas
hitam dan putih, bagaimana dengan perkawinan, sebagai ikatan lahir batin antara laki-
laki dan perempuan yang disebut dalam al-qur’an sebagai mitsaqan ghalidza dengan
tujuan membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu untuk
mengantisipasi semua kemudharatan yang akan timbul, perlu dibuat aturan-aturan
yang mengikat sehingga semua bentuk kesewenang-wenangan dapat dihindari
semaksimal mungkin. Dalam setiap tindakan seorang muslim itu tidak boleh
merugikan atau dirugikan oleh orang lain.35

Melihat situasi dan kondisi tentang kebutuhan pencatatan perkawinan yang bisa
dikatakan termasuk kategori dharuriyah, karena terdapat mudharat yang besar jika
tidak melaksanakan pencatatan, seperti fakta yang ada, banyak pelaku prostitusi
melegalkan hubungan badan dengan ijab qabul di hadapan pegawai nikah gadungan,
akibatnya tentu banyak merugikan seorang perempuan dan seorang anak, jika ternyata
dari hasil berhubungan itu menghasilkan anak. Dan seandainya lelaki yang melakukan
transaksi tersebut terikat perkawinan, maka memungkinkan terjadinya perceraian.
Ditinjau dari banyaknya dampak negatif yang muncul jika tidak ada pencatatan
perkawinan, maka diperlukan kepada pemimpin Negara untuk membuat peraturan
perihal pencatatan perkawinan guna untuk kepentingan dan hak bagi pasangan suami
isteri. Peraturan tersebut sudah tentu mencerminkan kemaslahatan bagi rakyat. Dalam
ilmu ushul fiqh kemaslahatan semacam ini disebut dengan maslahah mursalah yang
bertujuan untuk kemaslahatan atau kemanfaatan manusia.36

34
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), 47.
35
Nashr Farid Muhammad Washl, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, cet. 5 ( Jakarta: Remaja
Rosdakarya, 2015), 17.
36
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), 161.

16
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Pengertian qiyas dalam tradisi Salaf ,yakni tiga generasi pertama setelah
Rasulullah Saw , adalah mengumpamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain (‫الشى تنشيل‬
‫ )باالشع‬yang kemudian di sebut penalaran analog (‫ )التنشيف قياس‬atau (‫ )احجاى س قىا‬Qiyas dalam
ilmu Mantiq adalah proposi atau konklusi yang di susun berdasarkan proposisi - proposisi
atau premis - premis . Bila premis - premis itu benar maka dari premis - premis itu dapat di
tarik konklusi yang benar pula. (‫ )قترانى اال س القيا‬atau (‫ )الجمال ا القياس‬Syllogisme Categoriqiue.
Sedangkan kedudukan qiyas Dalam pandangan jumhur ulama, qiyas adalah hujjah syara'
atas hukum hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara' yang ke empat. Qiyas
adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Dalam hal ini,
qiyas menempati posisi keempat, setelah hukum islam pertama adalah Al Quran, yang
kedua adalah hadits, dan yang ketiga ijma, barulah yang keempat itu qiyas. Artinya, apabila
hukum suatu peristiwa itu tidak ditemukan di dalam nash atau ijmak, sudah pasti memiliki
kesamaan illat dengan peristiwa (pertama) yang ada nash hukumnya,maka peristiwa kedua
diqiyaskan dengan masalah pertama dan dihukumi sama dengan hukum masalah pertama.
Hukum itu menjadi ketetapan syara' yang wajib diikuti dan diamalkan oleh mukallaf
sedangkan jumhut ulama itu disebut orang-orang yang menetapkan qiyas.37

2. SARAN
Hukum Islam memiliki empat sumber ,yang pertama adalah al quran yang kedua hadist,
ketiga ijma' , dan barulah yang ke empat qiyas. Jika dalam suatu masalah tidak di bahas
dan tidak menemukan jalan keluarnya, islam mengajarkan untuk diskusi dan
mempertimbangkan suatu masalah tersebut.

37
Abdul Wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Darul Qalam Kuwait,2003). 67

17
DAFTAR PUSTAKA

Praja, Juhaya. Filsafat Hukum Islam. Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995.

Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Darul Qalam,Kuwait, 2003.

Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2010.

Muhammad Washl, Farid Nashr. Abdul Aziz, Muhammad Azzam. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta:
Remaja Rosdakarya, 2015.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan,
2006.

Syihab, Umar. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Semarang: Dina Utama Semarang,
1996.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

al-Khatib, Karim Abdul. Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2005.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

18

Anda mungkin juga menyukai