Anda di halaman 1dari 25

NILAI-NILAI FILOSOFI JINAYAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah : Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag

Kelompok 6 :

Kelas PM- 7A dan Kelas PM- 7B

1. Daffa Farras al-Ghazy 11200430000024


2. Lutfi Babul Rizki 11200430000046
3. Nurhaida Hafid 11200430000005
4. Vania Isdaryanto 11200430000120
5. Nurul Pujianti 11200430000107
6. Ahmad Fauzan 11200430000073
7. Sutrisna 11200430000117
8. Is Arya Shaf 11200430000060
9. Reza agustin 11......
10. Rifqi Roihan 11200430000064

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdu lillahi rabbil,alamin segala puji bagi kehadirat Allah SWT atas segala Nikmat,
Taufik dan Hidayah-Nya yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga dapat merasakan
kemudahan dalam menuntut ilmu. Selanjutnya kami selaku kelompok 6 dapat menyelesaikan
makalah Filsafat Hukum Islam dalam memenuhi tugas semester ini tepat pada waktunya.

Shalawat dan salam kami hanturkan dan curahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau hingg akahir zaman.

Tidak ada kata yang indah selain ucapan Terima Kasih yang sebesar-besarnya dari kami
kepada Bapak Dosen kami Dr. Jaenal Aripin, M.Ag yang telah memberikan arahan dan
bimbingan, serta pengetahuan kepada pemakalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan tepat pada waktunya.
Ditinjau dari segi pengetahuan dan kapabilitas kami yang masih banyak kekurangan
nya, kami menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna dan masih banyak di temukan
kesalahan. Oleh karena itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dan membangun demi kebaikan makalah ini dan bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan
bagi pembaca umumnya.

Depok, 1 Oktober 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

Latar Belakang .................................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1


Tujuan Makalah .................................................................................................................. 2

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3

A. Pengertian Nilai-Nilai Filosofis Jinayah....................................................................... 1

B. Nilai-nilai Filosofi Jinayah Secara Umum ................................................................... 9

C. Nilai-nilai filosofis Jinaya Secara Khusus .................................................................. 13

PENUTUP ........................................................................................................................ 16

Kesimpulan ........................................................................................................................ 16

Saran .................................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Para fuqaha sering memakai kata-kata “Jinayah” untuk “Jariamah” yang artinya hasil
perbuatan seseorang yang dilarang oleh syara, 1 baik perbuatan itu mengenai jiwa atau harta
benda ataupun lainnya. yaitu lebih identik dengan perbuatan mengenai jiwa orang atau
anggota badan, seperti membunuh , melukai, memukul, mengguurkan kandungan dan
sebagainya.

Jadi pada dasarnya syari’at hukum Islam sama pendiriannya dengan Hukum Positif
(hukum Umum) dalam menetapkan perbuatan Jarimah beserta hukum-hukumnya, yaitu
memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat, serta menjamin kelangsungan
hidupnya. Hal ini sejalan dengan prinsip Maqashid syariah yang merupakan landasan
berfikir filosofis. Kata maqashid berarti tujuan-tujuan. Dan syhariah adalah sebuah jalan
yang ditunjukkan Allah SWT untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia itu sendiri2
Filsafat diartikan sebagai hal ihwal sesuatu sebagai ilmu pengetahuan tentang
haecceitas, esensi, dan sebab-sebab segala hal sampai batas kemampuan manusia. (Ubeweg
1953 : 5) demikian juga halnya dengan filsafat hukum islam, yang merupakan sebuah ilmu
tentang esensi dan sebab-sebab ditetapkannya hukum islam yang dilakukan secara
sungguh-sungguh oleh mujtahid sampai batas kemampuannya.

Apabila dilihat pernyataan diatas, maka filsafat hukum islam, sebagaimana di


sampaikan oleh Mustafa Abdul Raziq, adalah ilmu ushul fiqh.3 Hal ini karena ilmu ushul
fiqh memiliki unsur-unsur berpikir filsafat dan mempunyai epistimologi yang jelas,
ontologi yang jelas, dan aksiologi yang terarah. Ilmu ushul fiqh membawa seseorang
berpikir ilmiah, sistematis,dan dapat dipertanggung jawabkan.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nilai-nilai filosofi pada Jinayah?
2. Bagaimana Nilai-nilai Filosofi Jinayah Secara Umum?
3. Bagaimana Nilai-nilai Filosofi Jinayah Secara Khusus?
C. Tujuan masalah
1. Menjelaskan pengertian nilai-nilai filosofi pada Jinayah
2. Menjelaskan Nilai-nilai Filosofi Jinayah Secara Umum
3. Menjelaskan Nilai-nilai Filosofi Jinayah Secara Khusus

1Al-Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap, Jilid 1 & 2 . 2005 (Bekasi: PT.Darul Falah)
2Busyro. Pengantar Filsafat Hukum Islam. 2020 (Jakarta : Kencana) h. 115
3Busyro. Pengantar Filsafat Hukum Islam. 2020 (Jakarta : Kencana) h. 17
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nilai-nilai Filosofi Jinayah


Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-nilai hukum pidana,
berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang
mungkin bertentangan. Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif,
yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk
mengadakan analisis dan sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan
penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum
pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif, yang kemudian menjadi patokan bagi
perumusan serta penyusunan secara sistematis.
Dalam hukum Islam, tindak pidana diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hudud atau ta’zir.
Pensyari’atan hukuman terhadap setiap tindak pidana dalam hukum islam bertujuan untuk
mencegah manusia memperbuat tindakan tersebut. Dasar pelarangan perbuatan pidana dan
penetapan hukumnya dalam hukum islam adalah demi melindungi kemaslahatan manusia
memeliharan peraturan atau sistem yang ada, serta terjaminnya keberlangsungan yang kuat
dan berakhlak mulia. Penetapan hukuman cenderung mengarah keapada hal-hal yang tidak
disukai manusia, yakni selama hukuman itu memberikan kemaslahatan masyarakat dan
mencegah hal-hal yang disukai mereka, selama hal itu dapat merusak mereka. Berdasarkan
alQur’an, perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bertanggungjawab diberi
hukuman yang tertentu sesuai dengan keadilan menurut petunjuk Allah. Dasar daripada
siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang dapat dipidana dan bagaimana
hukumannya. Pertama didasarkan kepada keimanan kepada Allah dan wahyu Allah al-
Qur’an dan kedua didasarkan kepada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemaslahatan
di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

B. Nilai-nilai Filosofis Jinayah Secara Umum

Nilai Kemaslahatan pada Jinayah

Syariat islam diturunkan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik dalam
kehidupannya di dunia juga untuk kebahagiaannya di akhirat. Kalimat tersebut di antaranya
secara berulang dikemukakan al-syatibi dalam kitabnya al-muwafaqat fi usul al-syari’ah
terutama dalam bahasan tentang al-maqasid dan hal itu disepakatioleh semua
ulama.4Mewujudkan kemaslahatan tersebut telah menjadi tugas risalah yang diemban oleh
Nabi Saw Dan para ulama sebagai pewaris amanat tersebut.
Rasulullah dan para sahabatnya telah memberi contoh dalam Merealisasikan tujuan syariat
atau maslahat melalui berbagai metode istinbat Hukum. Perkembangan zaman dan perbedaan
tempat dan waktu telah Menuntut lahir dan berkembangnya berbagai cara dalam
mengistinbatkan Hukum atau metode dalam berijtihad. Hal tersebut dilakukan para
ulama(khususnya fukaha dan usuliyyin) sebagai manusia yang memiliki otoritas dan
Kemampuan khusus dalam mewujudkan tujuan syariat tersebut. Berbagai Metode istinbat
hukum tersebut kemudian menjadi kajian tersendiri dalam Ilmu Usul fikih seperti Metode
istihsan, istislah, ‘ urf, istizhab, dan lainnya.
Pengertian al-maslahah secara umum telah dibahas dalam bahasan Sebelumnya. Pengertian
tersebut sejalan dengan rumusan dari pakar hukum Islam seperti Izzuddin Abd al-Salam, al-
Gazali, dan beberapa ulama lainnya. Izzuddin Abd al-Salam merumuskan pengertian al-
maslahah yaitu bahwa almasalih (bentuk jama al-maslahah) adalah segala bentuk kebaikan,
manfaat, dan Kebajikan, sedang (lawan katanya) al-mafasid (bentuk jama al-mafsadat) adalah
Segala bentuk keburukan, kemudaratan, dan dosa. 5
Pengertian al-maslahah juga dijelaskan oleh ulama lainnya seperti al-Gazali Dalam kitabnya
al-Mustasfa fi Ilmu al-Usul : “al-maslahah dapat dipahami sebagai Usaha untuk mendapatkan
manfaat dan menolak mudarat, tetapi bukan Pengertian itu yang kami maksudkan, karena
mendapatkan manfaat dan Menolak mudarat merupakan tujuan makhluk (maqasid al-khalq),
dan makhluk Merasa nyaman ketika mendapatkan tujuan-tujuannya. Sedang yang
Dimaksudkan al-maslahah di sini adalah memelihara tujuan syariat untuk Mewujudkan lima
hal, yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan Harta mereka. Terpeliharanya kelima
prinsip (al-usul al-khamsah) tersebut dan Mencegah rusaknya adalah maslahat. 6 Keistimewaan
yang dimiliki oleh hukum Islam atau syariat Islam pada Umumnya, karena tujuan kemaslahatan
yang diembannya berbeda dengan Kemaslahatan yang ada dalam aturan selainnya. Sekurang-
kurangnya ada tiga Hal yang menjadi keistimewaan kemaslahatan yang diemban oleh hukum
Islam:

4 Abu Ishaq al-Syatibi (selanjutnya al-Syatibi), al-Muwafaqat ff Usul al-syarfah, juz H (Bairut: Daral-Kutub al-
‘Alamiyah, 1971), di antaranya h. 4, 7, dan 29
5 Izzu al-Din Abd al-Salam (selanjutnya Izz al-Pin). Oawaid al-Ahkam ffMasalih al-Anam (Bairut: Dar al-Ma'rifah),

h. 5
6 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali (selanjutnya al-Gazali), al-Mustasfa ff 'Urn al-usul (Bairut:

Dar al-Kutub al-Il.taiyah, 1983), h. 286.


Pertama, pengaruh kemaslahatan dalam syariat Islam tidak terbatas dalam Dimensi
kehidupan dunia, tetapi berpengaruh kepada kebahagiaan hidup di Dunia dan akhirat sekaligus.
Kedua, kemaslahatan dalam syariat Islam tidak Hanya mencakup dimensi fisik (maddi, materi),
tetapi juga berdimensi ruhi (immateri) bagi manusia. Ketiga, kemaslahatan agama dalam
hukum Islam Mendapat posisi paling utama dan mendasar, karena mendasari semua
kemaslahatan termasuk kemaslahatan pokok lainnya. Antara satu Kemaslahatan terkait dengan
kemaslahatan yang lain, dan hasil dari Pelaksanaannya selalu mendapatkan beberapa
kemaslahatan sekaligus. Apabila Kemaslahatan agama bertentangan dengan kemaslahatan
selainnya dalam Kasus tertentu, maka kemaslahatan agama mesti tetap diutamakan walaupun
Dengan mengorbankan kemaslahatan selainnya.
Dari sisi tingkatan kebutuhan (prioritas), atau kepentingannya, al-maslahah Dapat dibagi
kepada tiga tingkatan, yaitu: al-maslahah al-daruriyah, al-maslahah Al-hajiyah, dan al-
maslahah al-tahsiniyah. Apabila ditinjau dari segi keterkaitannya Dengan sumber hukum atau
nas, al-maslahah dapat dibagi kepada al-maslahah almu’tabarah, al-maslahah al-mursalah (al-
maskut anha), dan al-maslahah al-mulghah.
Pembahasan tentang al-maslahah menjadi bahasan ulama dari abad ke Abad. Pendapat para
ulama berbeda dalam memandang permasalahan almaslahah, khususnya dalam hal
kedudukakannya sebagai dalil dan sumber Hukum. Pada umumnya ulama sepakat dalam
memprioritas al-maslahah dalam Tingkatan daruriyat dan mu’tabarah, tetapi mereka berbeda
pendapat untuk Menjadikan al-maslahah sebagai sumber dan dalil hukum dalam tingkatan
almursalah, juga berbeda pendapat dalam memprioritaskan hirarki kemaslahatan Dalam
tingkatan-tingkatannya.Pada umumnya ulama Malikiyah menjadikan al-maslahah al-mursalah
atau Al-istislah sebagai sumber dan dalil hukum, karena al-maslahah al-mursalah Merupakan
induksi logis dari sekumpulan dalil nas, meskipun bukan berasal Dari sebuah nas yang rinci
sebagaimana berlaku dalam kias. Metode tersebut Pada dasarnya digunakan juga oleh kalangan
Hanabilah, bahkan kemudian Dikembangkan secara liberal oleh al-Tufi, dibahas oleh kalangan
Syafi’iyah dan Hanafiyah dengan beberapa persyaratan yang mereka ajukan.
Apabila dikaji lebih mendalam, secara umum Jumhur Ulama, termasuk Dalam hal ini
golongan Hanafiyah, dan termasuk kalangan Syi’ah Menggunakan maslahat. 7 Golongan
Syafi’iyah pada dasarnya menggunakan almaslahah dalam mazhab mereka, ulama Hanafiyah

7Golongan Syi'ah dalam hal ini Imamiyah menolak metode al-maslahah al-mursalah. Lihat Syarf al-Din al-
Musawi al-Amili, al-Nas wa a!-fehad (Bairut: Muassasat al-A'la' li al-Malbuat, 1386 H),98.
menggunakannya dalam Istihsan mereka, dan kaum Syi’ah menggunakannya dalam al-adillah
al-aqliyah mereka.

Apabila diurut secara persentase dalam pemakaian metode al-maslahah Tersebut, maka
ulama Malikiyah dan al-Tufi pada urutan pertama, kemudian Kelompok Hanabila, lalu disusul
oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah, dan yang Terakhir golongan Syi’ah dan Dzahiriyah. Kelompok
Zahiriyah dan Syi’ah Membatasi diri pada maslahat yang diisyaratkan langsung oleh dalil nas.
Hukum pidana Islam memiliki fungsi strategis dalam hukum Islam yaitu Untuk menjamin
terwujudnya kemaslahatan manusia secara utuh. Sehingga Apabila hukum pidana tidak
berfungsi secara maksimal, maka kehidupan Manusia akan rusak dengan cepat atau secara
perlahan. Sebuah masyarakat yang memiliki aturan dengan tidak didampingi oleh hukum
pidana yang kuat, maka aturan-aturan yang mereka buat tidak akan memberi hasil maksimal,
karena hanya akan menguntungkan pihak tertentu, dan biasanya mengorbankan orang banyak,
apalagi bila aturan-aturan tersebut dibuat berdasarkan kepentingan sekelompok orang.

Jaminan kelangsungan kemaslahatan tersebut dengan pelaksanaan hukum pidana Islam


(hudud, kisas, dan ta’zir) adalah pasti dan logis berdasarkan fakta sejarah dan akal yang sehat,
juga merupakan jaminan dari Tuhan yang telah menurunkan aturan tersebut untuk
kemaslahatan umat manusia.Kemaslahatan dalam hukum pidana Islam tidak hanya tercapai
sebagai hasil dari pelaksanaannya, tetapi telah dimulai dalam proses pelaksaan hukum pidana
Islam. Hal tersebut merupakan hal yang logis, karena sebuah hasil yang baik akan diperoleh
dari cara atau proses yang baik pula. Hukum pidana Islam didasari oleh kaidah-kaidah
pelaksanaan yang ketat, sehingga apabila prosesnya dilakukan dengan benar sesuai kaidah-
kaidah tersebut, tidak menimbulkan kesalahan di dalam penerapannya.

Kehati-hatian dalam menjatuhkan hukuman hudud dan kisas, serta takzir merupakan
hal yang sangat penting, karena hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi dalam kepastian
hukum pidana karena hukuman tersebut akan memberikan keadilan kepada masyarakat, atau
karena kesalahan sedikit akan berakibat fatal menganiaya orang yang tidak berhak
menerimanya.
Tujuan pemidanaan dalam Islam bukan hanya sebagai retribution (pembalasan) semata,
tetapi memiliki tujuan mulia lainnya sebagai deterrence (pencegahan) dan reformation
(perbaikan), serta mengandung tujuan pendidikan (al-tahzib) bagi masyarakat. 8 Tujuan
pemidanaan tersebut erupakan satu kesatuan utuh dalam penerapan hukum pidana Islam untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam lebih dari enam ribu ayat al-Qur’an, hanya kurang lebih 30 ayatnya yang
membicarakan masalah pemidanaan (kriminologi). Dari 30 ayat tersebut,anya beberapa ayat
yang menjelaskan tentang eksekusi mati, dan hukuman fisik lainnya, lebih banyak dari ayat
tersebut menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan eksekusi agar efektif, dan tujuan mulia
dibalik pelaksanaan eksekusi pidana. Apabila hal tersebut dipertimbangkan secara menyeluruh,
Maka berlebihan kiranya pihak yang kemudian menuduh al-Qur’an dengan aturan pidananya
sebagai kitab sadisme dan umat Islam sebagai umat kanibal. Tuduhan tersebut sangat subyektif,
tanpa mendalami lebih jauh nilai-nilai kemaslahatan yang terkandung di dalam setiap
aturannya.
Di dalam fiqh kata “sumber” adalah terjemahan dari kata masdar ( ‫)مصدر‬, jamaknya adalah
masadir ( ‫)مصادر‬. Kata itu Hanya terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti
dari kata al-dali( ‫)الديل‬, lengkapnya adalah al-adillah al-shar‘iyah (‫)األدلة الشرعية‬. Dalam literatur
klasik, kata masadir Al-ahkam al-shar‘iyah ( ‫ )مصادر األحكام الشرعية‬tidak pernah digunakan, yang
biasa digunakan adalah adillat al-ahkam Al-shar‘iyah ( ‫)أدلة األحكام الشرعية‬. Dalam realitas
sekarang, penggunaan dua istilah itu pengertiannya adalah sama, yaitu sumber-sumber hukum
Islam.
Sumber-sumber hukum pidana Islam oleh mayoritas ulama dibagi menjadi empat, yaitu
al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas9.Empat dalil itu oleh fuqaha’ dijadikan sandaran dalam
enetapkan berbagai masalah hukum dan penetapannya dilakukan secara beruntun. Jika di
dalam al-Qur’a>n tidak ditemukan ketetapan hukum, maka yang dijadikan sandaran adalah
alSunnah. Jika di dalam al-Sunnah juga tidak ada ketetapan, maka sandarannya adalah ijma‘.
Jika di dalam ijma’ masih belum ada maka yang selanjutnya adalah Qiyas
Selain empat sumber tersebut, terdapat sumber lain yang diperselisihkan, yaituIstihsan, istishb,
maslahah mursalah, ‘urf, azhab sahabat, dan shar‘ man qablana.Untuk hukum idana Islam
formil (hukum acara pidana Islam), semua sumber di atas dipakai. Untuk hukum pidana
materiil, yaitu hukum-hukum yang berisi ketentuan macam-macam jarimah dan sanksinya,

8 Satria Efendi M. Zein, Piinsip-prinsip Dasar Hukum Jinayat dan Permasalahan Penerapannya Masa Klni,
Mimbar Hukum, nomor 20 tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), h.32
9 Abd al-Qa>dir ‘Awdah, al-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad‘i>, juz 1 (Beirut:

Da>r al-Fikr, 1992), 164.


hanya empat sumber di atas yang dipakai. Tiga sumber di antaranya telah disepakati, yaitu al-
Qur’anAl-Sunnah, dan ijma‘. Sedang satu sumber yang lain, yaitu Qiyas diperselisihkan.
Jika diperhatikan, antara al-Qur’a>n dan al-Sunnah dengan kedua sumber lainnya, yaitu
ijma>‘ dan qiya>s terdapat perbedaan. Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dasar syariat Islam
yang berisi aturan-aturan hukum secara umum, sedang sumber yang lain tidak memuat aturan
umum tetapi cara pengambilan hukum dari nash-nash, al-,qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena
itu, sumbersumber yang lain tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan al-
Sunnah. Adapun dalil tentang kemaslahatan yaitu:
‫َاّلِل اَ ْو ٰلى بِ ِه َم ۗا‬ َ ْ ‫ع ٰلٰٓى اَ ْنفُسِ كُ ْم اَ ِو ْال َوا ِلدَي ِْن َو‬
َ ‫اْل ْق َربِيْنَ ۚ ا ِْن يَّكُ ْن‬
ُ ‫غنِيًّا اَ ْو فَ ِقي ًْرا ف ه‬ ِ ‫ش َهد َۤا َء ِ ه‬
َ ‫ّلِل َولَ ْو‬ ُ ِ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمن ُْوا كُ ْون ُْوا قَ َّوامِ يْنَ بِ ْال ِقسْط‬
َ ‫ف َََل تَتَّبِعُوا ْال َه ٰ ٰٓوى اَ ْن تَ ْع ِدلُ ْوا ۚ َوا ِْن ت َْل ٰٓوا اَ ْو ت ُ ْع ِرض ُْوا فَاِنَّ ه‬
‫ّٰللا كَانَ بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ َخبِي ًْرا‬
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang
terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah
Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan 10

‫ع ِل ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬ ُ ‫علَ ْيكُ ْم ۗ َو ه‬


َ ‫ّٰللا‬ َ ‫ب‬ ْ َ‫سنَنَ الَّ ِذيْن‬
َ ‫مِن قَ ْب ِلكُ ْم َو َيت ُ ْو‬ ُ ‫ّٰللا ِل ُي َب ِينَ لَكُ ْم َو َي ْه ِد َيكُ ْم‬
ُ ‫ي ُِر ْيدُ ه‬
Artinya:
Allah hendak menerangkan (syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan
(kehidupan) orang yang sebelum kamu (para nabi dan orang-orang saleh) dan Dia menerima
tobatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana11

Nilai Keadilan pada Jinayah

Keadilan berasal dari kata adil yang berarti: (a) tidak berat sebelah, tidak memihak
keputusan hakim itu, (b) berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, (c)
sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Sedangkan keadilan berati sifat atau perbuatan dan
sebagainya yang adil, mempertahankan hak dan menciptakan masyarakat yang adil. 12
Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa adil salah sifat yang harus dimiliki oleh

10 Q. S. An-nisa: 135
11 Q. S. An-nisa: 26
12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka,

1991), h. 7
manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali, walaupun akan
merugikan dirinya sendiri. Secara etimologis al-adl berarti tidak berat sebelah, tidak memihak,
atau menyamakan yang satu dengan yang lain. Istilah lain dari al-adl adalah al-qist al-misl
(sama bagian atau semisal) 13. Secara etimologi adl berarti mempersamakan sesuatu dengan
yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak
berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang
kepada kebenaran.

Keadilan lebih dititik beratkan pada pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ibnu
Qudamah (ahli fikih mazhab Hanbali) mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang
tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah. Jika keadilan telah dicapai,
maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil-dalil lain yang
menentangnya.

Dalam Islam keadilan memiliki pengertian tersendiri. Ia sama dengan suatu keyakinan suci,
suatu kewajiban yang dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan dengan sungguh-
sungguh dan jujur. Ini untuk mengidentifikasi berkepentingan seseorang dengan orang lain
dan melaksanakan keyakinan itu dengan segala kesungguhan seolah-olah merupakan
ketakwaan. Tidak boleh ada unsur subjektif dalam defenisi keadilan. Apa yang dianjurkan oleh
Islam adalah sikap berpikir yang reflektif dan pendekatan yang objektif terhadap masalah yang
dihadapi. Karena itu keadilan adalah kualitas berlaku adil secara moral dan rahmat dalam
memberikan kepada setiap manusia akan haknya. 14

Firman Allah swt., dalam QS. An-Nisa’ ayat 58 yang terjemahnya: “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Ayat ini menurut Quraish Shihab 15 bahwa Allah mengingatkan apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia, baik yang berselisih dengan manusia maupun tanpa perselisihan
maka supaya kamu harus menetapkan putusan dengan adil sesuai dengan apa yang diajarkan
Allah swt., tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi

13 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, (Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 25
14 Minhajuddin, Sistematika Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Makassar: Yayasan Ahkam, 1996), h. 171
15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Juz 2 (Cet. VIII; Ciputat: Letera

Hati, 2007), h. 480


kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walau lawanmu dan tidak pula kepada
temanmu. Sesungguhnya Allah dengan memerintahkan menunaikan amanah dan menetapkan
hukum dengan adil, telah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Karena itu
berupaya sekuat tenaga melaksanakannya.

Lebih lanjut Muhammad Muslehuddin 16 menjelaskan bahwa para filosof Yunani memulai
keadilan sebagai tujuan atau maksud hukum yang memberikan kepada setiap manusia akan
haknya. Dalam perkembangan yang lebih jauh didapatkan teori perlindungan atas apa yang
adil, sesuatu kekuasaan yang menentukan teori perlindungan atas apa yang adil, sesuatu
kekuasaan yang menentukan hak-hak sesuai dengan hukum. Menurut Plato keadilan
merupakan kebaikan yang tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional tetapi terdapat
dalam tindakan seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya dan sikap menjaga diri dalam batas-batas yang ditentukan. Makna harfiah kata adil
atau dalam bahasa Arab klasik adl merupakan suatu gabungan nilai-nilai moral dan sosial yang
menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan dan keterusterangan. Keadilan
mengambil empat bentuk yaitu: (1) keadilan membuat keputusan-keputusan, (2) keadilan
dalam perkataan, (3) keadilan dalam mencari keselamatan, (4) keadilan dalam pengertian
mempersekutukan Allah sesuai dengan firmannya,

“Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka. (QS.
6:1).

Tetapi di dalam memperlihatkan kehormatan dan keberanian anggota masyarakat itu


seringkali brutal dan opresif (menindas), khususnya dalam mengejar vandetta (dendam turun
temurun terhadap anggota keluarga yang membunuh anggota keluarganya sendiri), dengan
akibat mengebawahkan/menurunkan sifat jujur dan tidak berlebihan (sedang) hingga ke
tingkat kebiasaan yang sewenang-wenang. Penyair ‘Amr bin Kultsum, seorang pengubah dari
salah satu Tujuh Ode yang terkenal (al-Mu’allagat as-Saba’) bukanlah sekedar seorang yang
menyanyikan lagu pujian terhadap kebrutalan dan penindasanyang menjadi karakter sukunya. 17

Nilai Kesetaraan pada Jinayah

16 Muhammad Muslehuddin, Philosopy of Islamic Law and The Orientalists, (Islamic Pulications Ltd, ahore,
tth), h. 105-107
17 Tujuh Ode terkenal bukan hanya karena keindahan sastranya, tetapi juga karena deskripsi Karakter dan

jalan hidup bangsa Arab sebelum Islam yang hidup dan bersemangat, Lihat A.J.Arberry, The Seven Odes
London,1957) Bab 6
Kesetaraan adalah hak yang paling fundamental bagi setiap orang. Menurut konsep ini
setiap orang harus diperlakukan secara sama dan sederajat, sehingga setiap orang dilihat
sebagai satu dan tidak satu orang pun dilihat sebagai lebih dari satu. Meskipun Tuhan
menciptakan setiap manusia sebagai pribadi yang unik dan secara lahiriah berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Namun, perbedaan tersebut tidak boleh menjadikan sebagian orang lebih
istimewa dibandingkan dengan yang lain karena hakikatnya semua manusia sama sederajat
dalam nilainya dan harga keluhurannya sebagai manusia (dignity of man as human being)
dalam masyarakat. Semua manusia sama kedudukan di dalam hukum, politik, ekonomi dan
lain sebagainya.
Dalam agama Islam prinsip kesetaraan tidak hanya sebatas retorika. Agama Islam datang
dengan meneguhkan sebuah pendirian bahwa semua manusia adalah sama, membedakan
mereka semua adalah ketakwaan yang mereka miliki. Agama Islam melarang umatnya untuk
membanggakan keturunan atau nenek moyangnya, atau merasa lebih tinggi karena asal
keturunannya. Satu argumen dari pernyataan ini adalah bahwa manusia berasal dari satu nenek
moyang, hal ini dipertegas oleh Allah di dalam surat Annisa (4) ayat pertama dengan ungkapan
min nafsin wahidah (dari diri yang satu) dan semua manusia mendapatkan perlindungan dan
penghormatan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an tanpa melihat bangsa, agama, bahasa,
etnis, ras dan lain sebagainya.
Dengan demikian dalam agama Islam tidak boleh membeda-bedakan umat manusia atas
jenis kelamin, etnis, warna kulit, latar belakang historis, sosial, ekonomi. Diskriminasi ras dan
segregasi (pengasingan) adalah hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang harus
dibasmi. Islam tidak memperkenankan suatu negara menjadi alat penindas yang digunakan
oleh suatu ras, agama atau suku tertentu atas ras, agama atau suku lainnya. Suatu negara yang
melestarikan dominasi suatu suku atas suku lainnya atau dominasi suatu ras atas ras lainnya
dikecam tegas oleh al-Qur’an dan assunnah.
Kesetaraan dalam agama Islam telah dinyatakan dengan jelas oleh Allah SWT pada saat
Allah menunjuk manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini dan menyediakan berbagai
macam fasilitas kehidupan untuk mereka. Menurutnya dasar dari nilai persamaan dalam agama
Islam adalah : asal kemuliaan kemanusiaan, asal tugas dan tangung jawab beribadah kepada
Allah SWT, dan keturunan yang berasal dari nabi Adam. Lebih jauh ia mengatakan bahwa
Manusia seluruhnya berasal dari satu keturunan dari pasangan Adam dan hawa. Walaupun
sekarang ini manusia terdiri dari bermacam-macam bangsa, ras, bahasa, agama, dan warna
kulit, namun pada dasrnya bersaudara, tidak ada perbedaan keutamaan antarmereka kecuali
karena ketakwaan. Allah SWT berfirman di dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
Dasar Hukum nilai kesetaraan dalam Q.SAl-Hujurat ayat 13

.13 ‫ع ِل ْي ٌم َخبِي ٌْر‬ َ ‫ّٰللا اَتْ ٰقىكُ ْم ۗاِنَّ ه‬


َ ‫ّٰللا‬ ِ ‫ارفُ ْوا ۚ اِنَّ اَ ْك َر َمكُ ْم ِع ْندَ ه‬ ُ ‫اس اِنَّا َخلَ ْق ٰنكُ ْم م ِْن ذَك ٍَر َّوا ُ ْن ٰثى َو َجعَ ْل ٰنكُ ْم‬
َ َ‫شعُ ْوبًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل ِلتَع‬ ُ َّ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الن‬

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Nilai Deterensi pada Jinayah

Nilai deterensi dalam Hukum Pidana IsIam (Jinayah) merujuk kepada penggunaan Hukuman
untuk menghalang individu dan masyarakat daripada melakukan tindak Jarimah (kriminal).
Konsep ini berdasarkan pada asumsi bahwa jika individu mengetahui mereka akan menghadapi
hukuman yang jera atau kesan negatif yang besar jika melakukan tindak Jarimah, mereka akan
cenderung untuk tidak melakukannya.

Dengan memberikan hukuman yang sesuai dan tegas kepada mereka yang melakukan
tindakan Jarimah, nilai deterensi dalam Hukum Pidana Islam berusaha untuk menghalang
individu lain dari melakukan tindakan serupa. Seperti salah satu contoh, dengan
memberlakukan hukuman Qishas pada pelaku tindak Jarimah pembunuhan, maka masyarakat
atau individu yang berniat melakukan pembunuhan akan befikir berkali-kali dikarenakan
hukuman yang setimpal yang diberlakukan apabila individu melakukan tindak pidana tersebut.

Hal tersebut menjadikan Hukum Pidana Islam (Jinayah) memberikan nilai yang efektif dalam
memberikan pengajaran dalam hal mencegah tindak Jarimah lebih lanjut, dengan memberikan
efek jera yang setimpal dan tegas. Hal ini juga dapat dipahami dalam ayat Had Zina, Allah
Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ّلل َوا ليَو ِم ا‬


‫ال‬ ِ ٰ ‫ّللا اِن كنتم تؤمِ نونَ ِبا‬ ِ ٰ ‫لزا نِي فَا جلِدوا ك َّل َوا حِ د ِمنه َما مِ ائَةَ َجلدَة ۖ َّو َل تَأخذكم ِب ِه َما َرأفَة فِي دِي ِن‬
َّ ‫لزا نِيَة َوا‬
َّ َ‫ا‬
َ ‫ع َذا َبه َما‬
َ‫طآئِفَة مِنَ المؤمِ نِين‬ َ ‫خِ ِر ۚ َول َيش َهد‬

“dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang
beriman." (QS. An-Nur 24: Ayat 2)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, Qatadah mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan
agar pelaksanaan eksekusi keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman,
yakni sejumlah kaum muslim. Dimaksudkan agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan
pembalasan bagi pelakunya (dan juga orang lain).

Tujuannya adalah untuk menyampaikan pesan pelajaran dan memberikan efek pembalasan
yang kuat kepada pelaku tindakan Jarimah Zina tersebut, serta memberikan contoh bagi orang
lain untuk menjauhi perbuatan yang serupa.

Nilai Rehabilitasi pada Jinayah


Rehabilitasi berasal dari dua kata kata yaitu re dan habilitasi. Re berarti kembali dan
habilitasi berarti kemampuan. Jadi rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan.
Rehabilitasi itu sendiri sama artinya dengan pemulihan, penyembuhan, pembenahan,
pembaharuan dan pemugaran kembali. Rehabilitasi secara umum ialah suatu proses perbaikan
ataupun penyembuhan dari kondisi yang tidak normal menjadi normal. Rehabilitasi sendiri
berguna untuk mengembalikan kondisi semula dan juga untuk melatih manusia dalam
melakukan suatu tindakan secara normal dengan kondisi fisik yang sudah tidak normal lagi. 18

Dalam konteks Hukum Pidana Islam rehabilitasi selaras dengan konsep Taubat, 19 yang mana
konsep tersebut memberikan pengertian bahwasanya seseorang yang melakukan perbuatan Dosa
atau tindak Jarimah diharuskan menyesali perbuatanya dan memohon ampunan kepada Allah
Ta’ala secara sungguh sebelum dilakukan proses Uqubah (penghukuman), dengan adanya
Taubat bagi pelaku tindak Jarimah (pidana) maka pelaku tersebut diampuni kesalahanya dan
kembali kepada asalnya yaitu sebagai insan (manusia) yang bertaqwa.

Beberapa dalil yang dapat dijadikan dasar hukum rehabilitasi antara lain:

1. QS. Al-Maidah ayat 39


‫غفُ ْو ٌر َّرحِ ْي ٌم‬ َ ‫علَ ْي ِه ۗاِنَّ ه‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ‫صلَ َح فَاِنَّ ه‬
َ ُ‫ّٰللا يَت ُ ْوب‬ ْ ْۢ ‫َاب‬
ْ َ‫مِن بَ ْع ِد ظُ ْلمِ ٖه َوا‬ َ ‫فَ َم ْن ت‬
Tetapi barangsiapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka
sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.
2. Muslim 1696
َ ‫ع ْن ع ِْم َرانَ ب ِْن ُح‬
‫صيْن‬ َ

18 https://bamai.uma.ac.id/2022/11/02/5-pengertian-rehabilitasi-menurut-para-
ahli/#:~:text=menurut%20KBBI%20ialah%20pemulihan%20kepada,dan%20memiliki%20tempat%20dalam%20
masyarakat. Diakses 1 oktober 2023
19 Kurniasih bahagiati, filsafat pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri dalam perspektif

hukum positif dan hukum pidana islam, Era Hukum jurnal ilmiah ilmu hukum volume 18,no.1 juni 2020.
Hal.133
‫ي‬ َ ُ‫صبْتُ َحدًّا فَأَق ِْمه‬
َّ ‫ع َل‬ َ َ‫ّٰللا أ‬
ِ َّ ‫ي‬ َّ ‫الزنَى فَقَالَتْ َيا نَ ِب‬ ِ ‫مِن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوه‬
ْ ‫ِي ُح ْبلَى‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ‫ّٰللا‬ ِ َّ ‫ي‬َّ ‫مِن ُج َه ْينَةَ أَتَتْ نَ ِب‬
ْ ً‫أَنَّ ْام َرأَة‬
‫علَ ْي ِه‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ‫ّٰللا‬ ُّ ِ‫ضعَتْ فَأْتِنِي بِ َها فَفَعَ َل فَأ َ َم َر بِ َها نَب‬
ِ َّ ‫ي‬ ْ ْ‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو ِليَّ َها فَقَا َل أَح‬
َ ‫سِن إِلَ ْي َها فَإِذَا َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّٰللا‬ ِ َّ ‫ي‬
َ ‫ّٰللا‬ َ َ‫فَد‬
ُّ ِ‫عا نَب‬
ْ‫ّٰللا َوقَدْ زَ نَتْ فَقَا َل لَقَد‬ َّ ِ‫علَ ْي َها يَا نَب‬
ِ َّ ‫ي‬ َ ‫صلِي‬ َ ‫صلَّى‬
َ ُ ‫علَ ْي َها فَقَا َل لَهُ عُ َم ُر ت‬ َ ‫علَ ْي َها ثِيَابُ َها ث ُ َّم أَ َم َر بِ َها ف َُر ِج َمتْ ث ُ َّم‬ ُ َ‫َو َسلَّ َم ف‬
َ ْ‫ش َّكت‬
ِ َّ ِ ‫مِن أَ ْن َجادَتْ بِنَ ْفسِ َها‬
‫ّلِل تَعَالَى‬ ْ ‫ض َل‬ َ ‫مِن أَ ْه ِل ْال َمدِينَ ِة لَ َوسِ عَ ْت ُه ْم َوهَلْ َو َجدْتَ ت َْوبَةً أَ ْف‬
ْ َ‫تَابَتْ ت َْوبَةً لَ ْو قُسِ َمتْ بَيْنَ َس ْبعِين‬
dari 'Imran bin Hushain, bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap kepada
Nabi ‫ﷺ‬, padahal dia sedang hamil akibat melakukan zina. Wanita itu berkata, "Wahai
Rasulullah, aku telah melanggar hukum, oleh karena itu tegakkanlah hukuman itu
atasku." Lalu Nabi Allah memanggil wali perempuan itu dan bersabda kepadanya,
"Rawatlah wanita ini sebaik-baiknya, apabila dia telah melahirkan, bawalah dia ke
hadapanku." Lalu walinya melakukan pesan tersebut. setelah itu Nabi ‫ ﷺ‬memerintahkan
untuk merajam wanita tersebut, maka pakaian wanita tersebut dirapikan (agar auratnya
tidak terbuka saat dirajam). Kemudian beliau perintahkan agar ia dirajam. Setelah
dirajam, beliau mensalatkan jenazahnya, namun hal itu menjadkan Umar bertanya
kepada beliau, "Wahai Nabi Allah, perlukah dia disalatkan? Bukankah dia telah
berzina?" beliau menjawab, "Sunnguh, dia telah bertobat kalau sekiranya tobatnya
dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, pasti tobatnya akan
mencukupi mereka semua. Adakah tobat yang lebih utama daripada menyerahkan nyawa
kepada Allah Ta'ala secara ikhlas?"

C. Nilai-nilai Filosofi Jinayah secara Khusus

Ajaran Islam menetapkan hukuman menjadi dua jenis, antara lain :

1. Hukuman akhirat, sebagaimana di cantumkan dalam al-Qur’an

2. Hukuman duniawi yang diputuskan oleh hakim dan dilaksanakan hukumnnya di


dunia.

Hukuman duniawi ada dua, ada yang berdasarkan nash, dan ada yang tidak
berdasarkan nash, melainkan diserahkan pada kebijaksanaan hakim untuk mewujudkan
kemaslahatan (’Uqubah tafwidiyah). Yang berupa ’uqubah nas, ada yang berupa qisas,
diyat, dan hadd, sedangkan hukuman ’uqubah tafwidiyah berupa ta’zir yang bentuk dan
sifatnya diserahkan kepada hakim. Hukuman akhirat akan hapus apabila hukuman
dunia telah dilaksanakan sesuai dengan syari’at (hadd).

Dalam masalah kejahatan terhadap jiwa-jiwa manusia selain masalah publik


mengandung masalah perdata yang hukumannya diserahkan kepada ahli si korban;
apakah dengan qisas, apakah dengan diyat (mengganti kerugian kepada famili) si
korban, ataukah si famili memaafkan, tidak menuntut balas terhadap si pembuat
pidana. Hal ini memberikan rasa keadilan kepada keluarga yang mati dibunuh orang.
Karena terdapat kerugian keluarga yagn diakibatkan darihilangnya dalam keluarga
itu. Hukuman qisas dan diyat terhadap pembunuhan ini menghilangkan rasa dendam
dari keluargasiterbunuh terhadap pembunuh dan keluarganya.

Keluarga atau wali si terbunuh diberi kekuasaan untuk menentukan hukuman


alternatif sebgai yang disebut dalam al-Qur’an, bahkan sampai memaafkannya tidak
memberi hukuman terhadap pembunuh. Apabila keluarga memaafkannya, maka hak
hakim yang mempunuai wewenang memberi hukuman ta’zir terhadap si pembunuhg
apabila hakim memandang si pembunh harus di hukum, hukuman ta’zir menurut para
ulama (Hanabilah) dapat berupa hukuman mati.

Bentuk hukuman qisas tentang mati yaitu dengan hukuman mati, sedangkan
cara bagaimana menghukum mati adalah termasuk masalah duniawiyah, yangbudaya
berhubungan denganmasalah kultur atau budaya.
a. Hukuman Had

Yang termasuk dihukum dengan had menurut ahli fiqh: Murtad, Zina, Khadzf,
Pencuri, Merampok, Minum Khamer.
Hukuman-hukuma yang telah tersebut dalam nas, merupakan hukuman hadd
yang ditetapkan oleh Allah. Dari segi rasional dalam hukuman hadd, hukuman yang
ditetapkan oleh Allah mengandung masalah suprarasional yang tidak cukup dengan
penalaran akal karena keterbatasan akal untuk memahami kebenaran yang ada di balik
kemampuan akal. Yang paling nampak bahwa masalah perbuatan dan akibatnya yang
akan diterima di akhirat. Ajaran Islam mencanangkan bahwa apabila hukuman telah
dilaksanakan di dunia ia bebas dari hukuman di akhirat.
b. Nilai nilai filosofis Konsep Ta’zir Dalam Hukum Pidana Islam

Pengertian Ta’zir Jarīmah ta’zīr adalah tindak pidana yang diancam dengan
hukuman ta’zīr, yaitu hukuman yang tidak ditentukan secara şarih (jelas) dalam nash
baik dalam al-Qur’ān maupun dalam al-Hadīts yang berkaitan dengan kriminal yang
melanggar hak Allah dan hak hamba, berfungsi sebagai pelajaraan bagi pelakunya dan
mencegahnya untuk tidak mengulangi lagi kejahatan yang sama.
Dapat dipahami bahwa hukuman ta’zīr adalah hukuman yang ditetapkan oleh
penguasa (hakim) terhadap berbagai bentuk maksiat, baik itu melanggar hak Allah
maupun hak hamba yang bersifat merugikan atau mengganggu kemaslahatan
masyarakat umum.

Mengenai bentuk hukuman ta’zīr, syari’at Islam tidak menetapkan secara rinci dan
tegas bentuk hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya. Namun ‘Abd al-Qadir
Audah membagikan bentuk hukuman ta’zīr kepada beberapa bentuk, yaitu; pertama
hukuman mati, kedua hukuman jilid, ketiga hukuman penjara, keempat hukuman
pengasingan, hukuman hukuman salib, kelima hukuman pengucilan, keenam hukuman
celaan, ketujuh hukuman ancaman, kedelapan hukuman tasyhīr, kesembilan hukuman
denda.

Menurut ‘Abd al-Qadir Audah, prinsip hukuman ta’zīr dalam syari’at Islam adalah
tidak membinasakan, akan tetapi hanya sebagai ta’dīb atau pengajaran. Akan tetapi
kebanyakan ulama fiqh membuat suatu pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu
kebolehan dijatuhkan hukuman mati, jika dikehendaki oleh kepentingan umum, atau
jika permasalahannya tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya. 20

a. Jenis-jenis Ta’zir

Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang dilanggar, maka jarimah ta’zir dapat dibagi
kepada dua bagian, yaitu;

a. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah.


b. Jarimah ta’zir yang menyingung hak individu atau manusia. Apa bila dilihat dari
segi sifatnya, maka jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu;
c. Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat.
d. Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
e. Ta’zir karena melakukan pelanggaran hukum

Di samping itu, jika dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), maka ta’zir juga
dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu;

20 Op.Cit.
a. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishah, tetapi syarat-
syaratnya tidak terpenuhi, atau syubhat, seperti pencurian yang tidak sampai nishab,
atau oleh keluarga sendiri.
b. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumnya belum
ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
c. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’

Jenis-jenis jarimah ta’zir di atas sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti
pelangaran disiplin pegawai pemerintah. Adapun Abdul Aziz Amir yang disebut dalam
buku Hukum Pidana Islam yang ditulis oleh Ahmad Wardi Muslich, membagi jarimah
ta’zir secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu;

a. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan


b. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan
c. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan kehormatan dan kerusakan akhlak
d. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
e. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum21

Hukuman ta’zir jumlahnya sangat banyak, karena mencakup semua perbuatan


maksiat yang hukumnya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulim amri
untuk mengaturnya dari hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam
penyelesaian perkara yang termasuk jarimah ta’zir, hakim diberikan wewenang untuk
memilih di antara kedua hukuman tersebut, mana yang sesuai dengan jarimah yang
dilakukan oleh pelaku.22

b. Pembagian Ta’zir

Dari uraian jenis-jenis jarimah ta’zir, maka hukuman ta’zir dapat dibagi kepada
empat bahagian, yaitu pertama; hukuman ta’zir yang berkaitan dengan badan, kedua;
hukuman ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan, ketiga; hukuman ta’zir yang
berkaitan dengan harta, dan keempat; hukuman-hukuman Ta’zir yang lain-lain.

1) Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan badan terbagi kepada dua, yaitu:
pertama; hukuman mati, dan kedua; hukuman dera.

21 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta,: Sinar Grafika, 2005), hlm. 225-256
22 Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 14.
2) Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan dibagi kepada dua, yaitu:
pertama; hukuman penjara, dan kedua; hukuman pengasingan.
3) Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan harta, yaitu status harta yang dimiliki
oleh pelaku, yaitu hartanya ditahan.
4) Hukuman-hukuman Ta’zir yang lain.

Yang dimaksud dengan hukuman-hukuman ta’zir yang lain adalah selain


hukuman ta’zir yang disebutkan di atas, yaitu:

1) Peringatan keras
2) Dihadirkan di hadapan sidang
3) Diberi nasehat
4) Celaan
5) Pengucilan
6) Pemecatan
7) Pengumuman kesalahan secara terbuka
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makalah "Nilai-nilai Filosofis Jinayat" membahas berbagai aspek filosofis yang
mendasari sistem hukum Jinayat dalam hukum Islam. Dalam pembahasan tersebut,
dapat disimpulkan beberapa nilai filosofis utama:
Kemashlahatan: Sistem Jinayat didasarkan pada prinsip kemashlahatan masyarakat, di
mana hukuman-hukuman yang diberlakukan bertujuan untuk melindungi dan
memelihara kepentingan umum. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kemaslahatan
sangat penting dalam pemahaman dan pelaksanaan hukum Islam
Keadilan: Keadilan merupakan salah satu nilai filosofis utama dalam Jinayat.
Hukuman-hukuman yang dijatuhkan harus adil dan seimbang, memastikan bahwa
setiap individu memiliki hak yang sama di mata hukum, tanpa memandang status sosial
atau ekonomi.
Kesetaraan: Sistem Jinayat menegaskan nilai kesetaraan di hadapan hukum. Tidak ada
diskriminasi berdasarkan ras, agama, atau jenis kelamin dalam penegakan hukum.
Semua individu dianggap setara di mata hukum.
Deterensi: Prinsip deterensi merupakan upaya untuk mencegah tindakan kriminal
dengan menetapkan hukuman yang tegas. Hukuman-hukuman dalam Jinayat
diharapkan dapat menjadi contoh bagi individu lain untuk tidak melakukan tindakan
kriminal serupa.
Rehabilitasi: Meskipun Jinayat menekankan hukuman, nilai filosofis rehabilitasi juga
penting. Sistem ini memberikan peluang bagi pelaku kejahatan untuk bertaubat dan
memperbaiki diri melalui proses rehabilitasi.
Selain itu, makalah juga membahas nilai filosofis Hudud dan Tazir. Hudud merujuk
pada hukuman-hukuman yang ditentukan secara jelas dalam Al-Quran dan Hadis,
sedangkan Tazir adalah hukuman-hukuman yang dapat ditentukan oleh otoritas hukum
berdasarkan kebijaksanaan mereka.
Hudud mencerminkan ketegasan prinsip-prinsip agama dalam hukum Islam, sementara
Tazir memberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan hukuman dengan situasi khusus.
Dalam kesimpulan, makalah ini menggambarkan bahwa sistem Jinayat didasarkan pada
prinsip-prinsip filosofis yang melibatkan kemashlahatan, keadilan, kesetaraan,
deterensi, dan rehabilitasi, sambil menjelaskan perbedaan antara hukuman Hudud dan
Tazir dalam konteks hukum Islam.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekuarangan. Untuk
kedepannya penulis akan menjelaskan makalah secara lebih fokus dan detail dengan
sumber yang lebihbanyak dan dapat dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan penulis
DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali (selanjutnya al-Gazali), al-Mustasfa


ff 'Urn al-usul (Bairut: Dar al-Kutub al-Il.taiyah, 1983)

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Akademika


Pressindo, 1992.
Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tashri‘ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad‘i,
juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1992)
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, (Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997)
Abu Ishaq al-Syatibi (selanjutnya al-Syatibi), al-Muwafaqat ff Usul al-syarfah, juz H
(Bairut: Daral-Kutub al-‘Alamiyah, 1971), di antaranya h. 4, 7, dan 29

Al-Fauzan, Ringkasan Fikih Lengkap, Jilid 1 & 2 (Bekasi: PT.Darul Falah)

Ase, Ambo, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hadis Nabi saw (Studi terhadap
Perlindungan Jiwa, Agama, Harta, dan Kehormatan), Makassar: Pidato pengukuhan guru
besar, 2009.

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta,: Sinar Grafika, 2005)
Busyro. Pengantar Filsafat Hukum Islam. 2020 (Jakarta : Kencana)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), Jakarta: Logos, 1997.

Izzu al-Din Abd al-Salam (selanjutnya Izz al-Pin). Oawaid al-Ahkam ffMasalih al-
Anam (Bairut: Dar al-Ma'rifah),
Golongan Syi'ah dalam hal ini Imamiyah menolak metode al-maslahah al-mursalah.
Lihat Syarf al-Din al-Musawi al-Amili, al-Nas wa a!-fehad (Bairut: Muassasat al-A'la' li al-
Malbuat, 1386 H)
Jazuli, A., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet. 3,
Jakarta: Rajawali Pers, 2000.

Karakter dan jalan hidup bangsa Arab sebelum Islam yang hidup dan bersemangat,
Lihat A.J.Arberry, The Seven Odes London,1957) Bab 6
https://bamai.uma.ac.id/2022/11/02/5-pengertian-rehabilitasi-menurut-para-
ahli/#:~:text=menurut%20KBBI%20ialah%20pemulihan%20kepada,dan%20memiliki%20
tempat%20dalam%20masyarakat
Kurniasih bahagiati, filsafat pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika bagi diri
sendiri dalam perspektif hukum positif dan hukum pidana islam, Era Hukum jurnal ilmiah
ilmu hukum volume 18,no.1 juni 2020.
Minhajuddin, Sistematika Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Makassar: Yayasan Ahkam,
1996)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Juz 2
(Cet. VIII; Ciputat: Letera Hati, 2007)
Muhammad Muslehuddin, Philosopy of Islamic Law and The Orientalists, (Islamic
Pulications Ltd, ahore, tth)
Satria Efendi M. Zein, Piinsip-prinsip Dasar Hukum Jinayat dan Permasalahan
Penerapannya Masa Klni, Mimbar Hukum, nomor 20 tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995)

Anda mungkin juga menyukai