Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah: Dosen Pengampu:

Ushul Fiqih Sirajuddin, S.H.I.,M.M

“ Pengertian Dan Dalil Hukum Ijtihadi ”

Disusun Oleh:
Kelompok 6

Nama NIM
Isti Komalia 20211100061
Nurul Hidayah 20211100070

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYYAH ASSUNNIYYAH TAMBARANGAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami diberi
kemampuan untuk dapat membuat makalah ini dengan baik dan untuk memenuhi
tugas.
Kami menyadari bahwa sepenuhnya makalah ini belum sepenuhnya
sempurna dan masih jauh dari apa yang diharapkan baik dalam bentuk penyajian
maupun dalam bentuk penulisan oleh karena itu kritik dan saran penulis harapkan
dari dosen dan pembaca demi perbaikan makalah ini selanjutnya, saya ucapkan
terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah “Ushul Fiqih” yakni Bapak
Sirajuddin, S.H.I.,M.M yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah
ini.
Harapan kami terhadap makalah ini bermanfaat bagi para pembaca
umumnya, khususnya lagi kami sebagai pelajar dan dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan lebih tinggi lagi.
Salah khilaf dalam pembuatan makalah ini mohon dimaafkan. Akhir kata
mudah-mudahan makalah bermanfaat sebagaimana yang kita semua harapkan.
Demikian kata pengantar kami sampaikan atas perhatian bapak dan pembaca
sekalian penulis ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tambarangan, 9 Mei 2022

Kelompok 6
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan Pembuatan Makalah......................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
A. Pengertian Manajemen..............................................................................4
B. Pengertian Perencanaan Pendidikan..........................................................5
C. Ciri-ciri dan Prinsip Perencanaan Pendidikan...........................................6
D. Jenis-Jenis Perencanaan............................................................................8
1. Rencana Strategis (strategic plan).........................................................8
2. Rencana Operasional (operational plan)...............................................8
E. Pengorganisasian Perencanaan Pendidikan..................................................9
F. Tujuan, Fungsi, dan Peranan Perencanaan Pendidikan...............................10
1. Tujuan..................................................................................................10
2. Fungsi..................................................................................................11
3. Peranan................................................................................................11
G. Manfaat Perencanaan Pendidikan...........................................................13
H. Dasar Perlunya Perencanaan Pendidikan................................................14
BAB III PENUTUP...............................................................................................16
A. Kesimpulan..............................................................................................16
B. Saran........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mungkin masih banyak umat Islam yang belum tahu apa itu pengertian ijtihad,
walaupun sudah cukup sering mendengarnya. Ijtihad secara bahasa memiliki
pengertian mencurahkan pikiran dengan bersungguh-sungguh.

Sedangkan menurut istilah, pengertian ijtihad adalah proses penetapan hukum


syariat dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara bersungguh-
sungguh. Dengan pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa ijtihad merupakan
penetapan salah satu sumber hukum Islam.

Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan suatu
hukum di mana hal tersebut tidak dibahas dalam Al-quran dan hadits. Jadi, bisa
dikatakan, ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihadi?
2. Apa dalil hukum ijtihadi?
3. Apa pengertian istishab?
4. Apa pengertian URF?
5. Apa pengertian Syar’u Man Qablana?
6. Apa pengertian Sududz Dzariah?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad sendiri berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang
memiliki arti mengerahkan segala kemmpuan yang ada pada diri dalam
menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad dapat di artikan dengan
bersungguh-sungguh dalam mencurahkan semua isi pikiran.

Sedangkan untuk pengertian ijtihad dilihat dari isitilah adalah


mencurahkan semua tenaga serta pikiran dan bersungguh-sungguh dalam
menetapkan suatu hukum. Maka dari itu tidak disebut ijtihad jika tidak
adanya unsur kesulitan pada suatu pekerjaan.

Secara terminologis, berijtihad merupakan mencurahkan semua


kemampuan dalam mencari syariat dengan menggunakan metode tertentu.
Ijtihad sendiri dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah
Al-Qur’an dan hadits. Ijtihad juga menjadi pemegang fungsi penting dalam
penetapan hukum Islam. Orang yang melaksanakan Ijtihad disebut dengan
Mujtahid, dimana orang tersebut adalah orang yang ahli tentang Al-quran dan
hadits.

B. Dalil Hukum Ijtihadi


Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui
hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang
yang mampu melakukannya.
Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya:
Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

4
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS. An-nisa: 59)
Pada firman yang lain:

“…Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.


(QS. Al-Hasyr: 2)
Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada
Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan
Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa
diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah
ijtihad.
Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan
diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan
mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama
yang harus melakukan ijtihad.
Al-Hadits
Kata – kata Nabi s.a.w.: “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan
mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya”
“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran
hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia
mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim)

karena Allah telah berfirman,

ِّ ‫َفاسْ َألُوا َأهْ َل‬


َ ‫الذ ْك ِر ِإنْ ُك ْن ُت ْم اَل َتعْ لَم‬
‫ُون‬

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu


tidak mengetahui.” [An-Nahl/16 : 43, Al-Anbiya/21 : 7]

5
Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang
haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan
mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para
ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan
para penuntut ilmu (thalib ‘ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi
telah menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia
menggunakan hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain
yang mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang mansukh
(dihapus) karena tidak mengetahui hadits-hadits nasikhnya (yang
menghapusnya), atau menggunakan hadits-hadits yang telah disepakati ulama
bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak
mengetahui kesepakatan para ulama. Fenomena semacam ini tentu sangat
berbahaya, maka seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang dalil-
dalil syari’at dan dasar-dasarnya. Jika ia mengetahuinya, tentu bisa
menyimpulkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun
harus mengetahui ijma’ para ulama sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa
disadarinya. Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa
berijtihad. Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja,
yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid
dalam masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah
saja, ia mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid
dalam masalah tersebut.
1. Istishab
Istishab adalah suatu penetapan suatu hukum atau aturan hingga ada alasan
tepat untuk mengubah ketetapan tersebut.
Istishab dalam Islam merupakan upaya mendekatkan satu peristiwa hukum
dengan peristiwa lainnya sehingga keduanya dinilai sama hukumnya.
istishab pada dasarnya merupakan suatu metode penemuan hukum
berdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil
(bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya.

6
Konsep istishab sebagai metode hukum mengandung tiga unsur pokok,
yakni:
Waktu.
Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu
lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ketiganya dalam istishab
dianggap sama nilainya sampai terbukti ada perubahan karakteristik hukum
yang melekatnya.
Ketetapan hukum.
Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh (isbat) dan
ketetapan hukum yang tidak membolehkan (nafy).
Dalil.
Istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada pengetahuan
seseorang atas dalil hukum. Pengetahuan inilah yang menjadi kerangka
dasar dalam menetapkan posisi hukum asalnya.
a. Istishab Al-ibabah Al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh).
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah,
seperti terkait makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang
melarangnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab, pada dasarnya segala
sesuatu di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.
b. Istishab Al-baraah Al-ashliyyah
Istishab ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari
taklif (beban), sampai adanya dalil yang mengubah status tersebut. Atas
dasar ini, manusia bebas dari kesalahan sampai ada buktinya.
c. Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang
mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad
pernikahan, maka status pernikahan tersebut berlaku sampai terbukti adanya
perceraian.
d. Istishab Al-Washfi

7
Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan
diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat
air yang diketahui suci sebelumnya akan tetap suci sampai ada bukti yang
menunjukkan air itu menjadi najis.
Contoh Penerapan Istishab:
Adapun contoh penerapan istishab, di antaranya:
Bidang Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, konsep istishab sangat relevan dengan asas praduga
tak bersalah, di mana seorang terdakwa ketika menjalani proses peradilan
dianggap tidak bersalah sampai ada bukti hukum material bahwa orang
tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Bidang Hukum Perdata
Penerapan konsep istishab dalam hukum perdata berlaku dalam bidang
perikatan ekonomi, bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari segala
tanggungan berupa kewajiban perdata.
Misalnya, jika seorang penggugat melaporkan tergugat ke pengadilan
dengan gugatan untuk melunasi hutangnya, tergugat berhak untuk
menolaknya hingga penggugat mampu membuktikan di pengadilan.
Hukum Perkawinan
Jika menuruti konsep istishab, praktik nikah siri dianggap tidak pernah.
Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan
bahwa, suatu perkawinan baru dinyatakan sah secara hukum negara jika
dapat dibuktikan dengan akte nikah melalui pencatatan perkawinan. Bukti
ini sekaligus menjadi tanda lahirnya hak dan kewajiban baru bagi pasangan
suami istri.
2. URF
Urf adalah penepatan bolehnya suatu adat istiadat dan kebebasan suatu
masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-quran dan hadits.
Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: ‫ )العرف‬merupakan istilah Islam yang dimaknai
sebagai adat kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi
ke generasi. ‘Urf terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi

8
objeknya, menjadi Umum atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi Sah
atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para ulama ushul fiqih
bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentangan
dengan syari'at.
Pengertian ‘Urf, Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata
‘arafa, ya‘rufu sering diartikan dengan al-ma‘ruf ( ُ‫ )اَ ْل َمعْ رُوف‬dengan arti
sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat kepada pengertian
diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal
sehat.
Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh
Abdul Karim Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Landasan hukum ‘Urf
‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari
intisari Al-Qur’an.
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf
(Al-‘Urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."
QS. Al-A’raf: 199
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya,
oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah
menjadi kebiasaan masyarakat.
3. Syar’u Man Qablana
Adalah syariat yang diberlakukan untuk kaum-kaum terdahulu sebelum
turunnya al-qur’an sebagai syariat terakhir yang dapat digunakan hingga
akhir zaman.
Syar’u man qablana adalah syariat allah yang dibawa oleh para nabi dan
rosul sebelum turunnya Rasullulah Muhammad ke muka bumi. Maka
syariat ini merupakan syariat yang ditunjukan bagi kaum-kaum sebelum
kaum umat Rasulllulah yang mana syariat ini berlaku bagi kaum itu saja.

9
Syariat umat terdahulu ini ada yang masih disyariatkan kepada umat islam
apabila ada perintah dalam al-qur’an dan assunnah untuk menjalankan hal
tersebut. Dan ada pula yang telah diganti atau dihilangkan sehingga tidak
lagi disyariatkan kepada umat islam.
Contohnya:
a. Syar’u Man Qablana yang berlaku untuk umat islam:
1. Berpuasa
2. Beribadah haji
3. Khitan
4. Meninggalkan riba, Dll
b. Syar’u Man Qablana yang tidak berlaku untuk umat islam:
Memotong bagian yang terkena najis, dalam syariat kita cukup disucikan.
Diharamkan segala binatang berkuku bagi umat Nabi Musa.
Menebus dosa/taubat dengan nyawa sebagaimana disyaristkan kepada umat
Nabi Musa.
4. Sududz Dzariah
Adalah menetapkan laragan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
Contohnya
1. Menebang dahan pokok yang meliuk di atas jalan umum dapat
mengakibatkan timbulnya gangguan lalu lintas.
2. Wanita yang di tinggal mati suaminya, lalu berdandan sedang dia
dalam keadaan iddah, maka akan mendorong perbuatan yang
terlarang.
3. Zina hukumnya haram, maka melihat aurat wanita yang
menghantarkan kepada perbuatan zina juga merupakan haram.
4. Shalat jumat merupakan kewajiban bagi pria muslim, maka
meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jumat
wajib pula hukumnya.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
Demikan makalah yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini agar menjadilebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Aamiin.

11
DAFTAR PUSTAKA

12

Anda mungkin juga menyukai