Anda di halaman 1dari 18

PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMAK TENTANG

IJTIHAT,TAKLID ,MADZHAB
Makalah
Tugas Mata Kuliah: Pengantar Aswaja
Dosen Pengampu: Bpk. Muhammad Ilyas, M.Pd.I

Oleh
Kelompok 9:

Wafiq Azizah (2303805091016)

Iknur Hipniah (2303805091019)

Tria Ayu Nur Jannah (2303805091015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER
NOVEMBER 2023
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang Maha
Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya, makalah ini kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi
Muhammad saw. yang merupakan inspirator terbesar dalam keteladannya. Tidak
lupa kami sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Pengantar Aswaja yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, Dalam makalah ini kami membahas tentang pengertian
dan pendapat ulamak tentang ijtihat, taklid, madzhab.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengantar Aswaja. Makalah in dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa
pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat
kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada
tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Jember, 3 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................... 2
BAB 2. PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Ijtihad.............................................................................................. 3
2.2 Syarat-syarat Ijtihad .......................................................................................... 4
2.3 Pengertian Taqlid .............................................................................................. 5
2.4 Pengertian Madzab ........................................................................................... 7
2.5 Pengertian I’tiba ............................................................................................... 8
2.6 Pengertian Talfik ............................................................................................ 10
BAB 3. PENUTUP......................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 13
3.2 Saran ................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Latar belakang tentang ijtihad, taklid, madzhab, talfiq, dan itiba' berkaitan
erat dengan sejarah dan perkembangan pemikiran dalam agama Islam.
Ijtihad adalah istilah yang merujuk pada upaya seorang sarjana Muslim
untuk menggunakan penalaran dan pemahaman pribadinya dalam mengeluarkan
fatwa atau pendapat hukum Islam. Ijtihad dilakukan untuk memecahkan masalah-
masalah kontemporer yang tidak diatur secara khusus dalam Al-Qur'an atau hadis.
Pada awal perkembangannya, ijtihad merupakan bagian penting dalam
pengembangan hukum Islam.
Namun, seiring berjalannya waktu, ijtihad mengalami pergeseran.
Munculnya madzhab atau mazhab, yaitu sekolah pemikiran hukum Islam yang
dibentuk oleh para ulama terkemuka, menyebabkan ijtihad menjadi lebih terbatas.
Madzhab memiliki metodologi dan prinsip-prinsip sendiri dalam memahami dan
menafsirkan hukum Islam. Mereka menghasilkan kumpulan fatwa dan panduan
hukum berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an dan hadis.
Taklid, di sisi lain, adalah praktik mengikuti salah satu madzhab secara taat
tanpa melakukan ijtihad sendiri. Taklid dilakukan oleh sebagian besar umat
Muslim sebagai bentuk ketaatan kepada ulama yang dianggap memiliki otoritas
dalam bidang hukum Islam. Dalam taklid, seorang Muslim mengikuti pendapat
dan fatwa yang dikeluarkan oleh ulama madzhab yang mereka pilih untuk diikuti.
Talfiq adalah metode yang digunakan oleh beberapa ulama untuk
menggabungkan pendapat dari beberapa madzhab dalam satu masalah hukum. Hal
ini dilakukan ketika tidak ada pendapat yang jelas dari satu madzhab tertentu
tentang suatu masalah. Talfiq dapat menghasilkan keputusan hukum yang
menggabungkan pendapat dari beberapa madzhab.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa pengrtian taklid?
3. Apa pengertian madhab?
4. Apa pengertian talfiq dan contohnya?
5. Apa pengertian itiba ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian ijtihad
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian taklid
3. Untuk mengetahui dan memahami pengertia madzhab
4. Untuk mengetahui dan memahami talfiq
5. Untuk mengetahui dan memahami itiba

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijtihad


Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab “‫“ جهد‬yang berarti “pencurahan segala
kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai urusan”. Ringkasnya, ijtihad berarti
“sungguh-sungguh” atau “bekerja keras dan gigih untuk mendapatkan sesuatu”.
Sedangkan secara teknis menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im ijtihad berarti penggunaan
penalaran hukum secara independen untuk memberikan jawaban atas sesuatu masalah
ketika alQur’an dan al-Sunnah diam tidak memberi jawaban. Lebih jauh ia mengatakan
bahwa ijtihad telah menuntun para perintis hukum pada kesimpulan dimana konsensus
masyarakat atau para ulama atas suatu masalah harus dijadikan sebagai salah satu sumber
syari’ah. Dan al-Qur’an dan Sunnah itu yang mendukung dan mendasari ijtihad sebagai
sumber syari’ah.1
Lebih dari itu, penggunaan ijtihad dalam pengertian umum sangat relevan dengan
interpretasi al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika suatu prinsip atau syari’ah didasarkan pada
makna umum atas suatu teks al-Qur’an dan alSunnah, maka teks dan prinsip (aturan)
syari’ah itu harus dihubungkan dengan penalaran hukum. Sebab bagaimana pun juga sulit
untuk dibayangkan, ketika suatu teks al-Qur’an atau al-Sunnah -betapapun jelas dan
rincinya-, tidak lagi memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan penerapanya dalam situasi
konkrit.
Dari sisi ini menurut Abdullahi Ahmed, jelaslah bahwa ijtihad adalah konsep yang
fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan syari’ah selama abad VIII dan IX M.
Begitu syari’ah matang sebagai sistem perundangundangan, dan pengembangan berbagai
prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup, maka ruang ijtihad tampak
menyempit menuju titik kepunahannya.2 Fenomena ini dikenal dalam sejarah
yurisprudensi Islam sebagai tertutupnya pintu ijtihad. Namun banyak ulama kontemporer
menuntut dibukanya kembali pintu ijtihad tersebut. Adapun secara terminologis, definisi
ijtihad yang dikemukakan oleh ahli ushul fiqh adalah: “Pengarahan segenap kesanggupan
oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-

1
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani
(Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm.54.
2
Ibid., hlm. 54.
3
hukum syar’i”.3 Pada pengertian ini ijtihad memiliki fungsi mengeluarkan (istinbat)
hukum syar’i, sehingga ijtihad tersebut tidak berlaku di lapangan teologi dan akhlaq. Dan
pengertian ijtihad menurut ulama ushul fiqh inilah yang dikenal oleh masyarakat luas.
Adalah Ibrahim Hosen yang dalam hal ini mewakili kelompok ahli fiqh dalam definisi
ijtihad membatasinya dalam bidang fiqh saja, yaitu bidang hukum yang berhubungan
dengan amal. Sedangkan bagi sebagian ulama lainnya, seperti Ibn Taimiyah mengatakan
bahwa ijtihad juga berlaku dalam dunia tasawuf. Demikian juga pendapat Harun Nasution
yang mengatakan ijtihad di dalam fiqh merupakan definisi ijtihad dalam arti sempit,
sementara dalam arti luas ijtihad juga berlaku di bidang politik, akidah, tasawuf, dan juga
filsafat.4

2.2 Syarat-syarat Mujtahid


Sementara itu Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan adanya empat syarat bagi
mujtahid:5
1. Mengetahui bahasa arab, hal ini penting sekali sebab orientasi pertama
seorang mujtahid adalah nash al-Qur’an dan al-Hadist serta berupaya
memahaminya. Dengan demikian ia harus mampu menerapkan kaidah pokok
bahasa untuk menyimpulkan arti dan ungkapan Bahasa
2. Memiliki kemampuan atau pengetahuan tentang al-Qur’an, maksudnya adalah
mengerti hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an yang Mempunyai
pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran
berupa ayat-ayat yang menjadi nash hukum, dan juga menguasai metode
menemukan hukum dari ayat tersebut
3. Mengetahui pengetahuan tentang al-Sunnah, mujtahid harus mengerti tentang
hukum syar’i yang terdapat dalam sunnah serta mengerti tingkatan sanad dari
aspek shahih atau lemahnya suatu riwayat
4. Mengerti segi-segi mengenai qiyas, maksudnya mengerti tentang ‘illat dan
hikmah pembentukan syari’at. Termasuk juga mengerti berbagai peristiwa
kemanusiaan dan mu’amalah sehingga dapat mengenali sesuatu yang menjadi
‘illat hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash di dalamnya.

3
Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 39-41.
4
Ibid., Demikian juga pendapat M. Ruwaihi dan juga Fakhruddin al Razi mendukung pengertian
ijtihad dalam arti luas meliputi bidang lain di luar fiqh.
5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul..., h. 388
4
2.3 Pengertian Taklid
Kata “Taqlid” berasal dari bahasa Arab, yaitu: qallada-yuqallidu-taqliidan.
Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam
kalimat. Adakalanya kata “taklid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”,
“mengikuti” dan sebagainya.
Para ulama Usul mendefinisikan taklid: “menerima perkataan (pendapat)
orang, padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan
(pendapat) itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-
Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taklid, namun isi dan
maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun
kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad
Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang
yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama
Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat
atau mudlarat dari hukum itu”.6
Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt
memberikan petunjuk kepada manusia yang termuat dalam al-Quran dan Sunnah
Rasulullah saw. Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah
orang-orang yang beriman, sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya adalah orang-orang yang kafir (QS. Muhammad: 33 dan QS. Ali
‘Imran: 32).
Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat
dalam al-Quran dan taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi
Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal
dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid
menggunakan “sunnah maqbulah”? Sebagaimana diketahui bahwa perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-Sunnah), baru ditulis dan
dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal dunia. Selama seratus
tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin yaitu para
sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang dihafal
6
Safe'i abdulah ADILIYA: Jurnal hukum dan kemanusiaan tahun (2017) H 399-400
5
oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian
pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ at-
tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para perawi hadis dan
membukukannya. Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti setiap para
penyampai dan penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada para
penyampai dan penerima as-Sunnah itu yang dapat dipercaya dan ada yang tidak
dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik hafalannya dan ada pula yang lemah dan
sebagainya. Lalu para perawi membuat ranking as-Sunnah, sehingga as-Sunnah
itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dla‘if dan
sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak menerima sunnah yang dla‘if
(lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal
(amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada umumnya menerima as-
Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat tidak berlawanan dengan nash (al-
Quran dan as-Sunnah) yang lebih kuat daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini
disebut “sunnah maqbulah”.
Berdasarkan uraian di atas maka taklid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid
ialah: “mengikuti perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh, kiyai atau
pemimpin) tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu apakah
perkataan atau pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam al-Quran dan sunnah
maqbulah”. Jika ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat diterima dan
diamalkan, sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang mengatakan atau yang
berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam, maka pendapat yang
demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah orang yang telah
menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti. Dalam hadis,
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa
yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dalam
neraka” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pada saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik
pemerintah maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga
tidaklah sukar untuk menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya
atau tidak ada dasarnya, dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu
seminar atau diskusi. Dengan demikian taklid dan bid‘ah itu semakin berkurang

6
terdapat dalam nasyarakat Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i
hendaknya menyampaikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran
Islam, yang benar-benar ada dasarnya.
Dalam Fatwa Tarjih yang termuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 10
dan 11 tahun 2006 disebutkan bahwa bahwa taklid itu tercela hukumnya. Bagi
orang yang belum tahu apa-apa tentang ajaran Islam, dan kaum muslimin yang
belum sanggup mencari dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka
hal itu bukanlah taklid, dan hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih
tahu.

2.4 Pengertian Madzhab


Kata Mazhab merupakan sighat Islam dari Fi’il Madhi Zahaba. Zahaba
artinya pergi, oleh karena itu mazhab artinya, tempat pergi atau jalan. Kata-kata
yang semakna ialah: Maslak, thariqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan
atau cara. Sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan Mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi
ciri khas. Menurut para ulama dan ahli agama islam, yang dnamakan mazhab
adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikan sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, dibangun diatas prinsip-prinsipdan kaidah-kaidah.
Menurut terminologyada beberapa ulama yang memberikan pengertian
mazhab menurut ada beberapa rumusan pendapat lain: Menurut Said Ramadhany
al-Buthy mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh
seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari Alquran dan Hadist.
Sedangkan Abdurrahman menyatakan, mazhab dalam istilah islam berati pendapat
, paham aliran seorang alim besar dalam islam yang digelari imam seperti mazhab
imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, mazhab Imam Syafi,i,
mazhab Imam Malik, dan lain sebagainya
Berbeda deangan A.Hasan, mazhab yaitu sejumlah fatwa atau pendapat-
pendapat seorang alim ulama besar dalam urusan agama baik dalam masalah
ibadah maupun masalah lainnya. Jadi, mazhab ialah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau

7
mengistimbatkan hukum islam. Kemudian imam mzhab dan mzhab itu itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti cara
istimbath hukum semakin kokoh dan meluas, sesudah masa iyu muncul mazhab-
mazhab dalam bidang hukum islam. Karena banyaknya para sahabat nabi yang
pindah tempat dan terpencar ke negara yang baru, dengan demikian kesempatan
untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah meemecahkan suatu masalah sulit
dilaksanakan, maka terjadilah banyak perbedaan pendapat antara para sahabat.
Qasim Abdul Azis Khosim menjelaskan bahwa faktor faktor yang
menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni:
• Perbedaan sahabat dalam memahami nash nash Qur’an.
• Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3) Perbedaan para
sahabat disebabkan karena ra’yu.
Jalaludin juga menyatakan penyebab ikhtilaf ( perbedaan pendapat ) di antara para
sahabat adalah prosesdur perbedaan hukum untuk masalah masalah baru yang
tidak terjadi pada zaman Rasulullah SWA, kemudian dilanjutkan oleh Tabi’in
Tabi’in. Ijtihad para sahabat dan Tabi’in. Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh
generasi penerusnya yang tersebar di berbagaidaerah wilayah dan kekuasaan islam
pada wktu itu.7

2.5 Pengertian itiba


Pengerti Dikutip dari buku Fiqih dan Ushul Fiqh (2018) karya Dr.
Nurhayati, M.Ag, Dr. Ali Imran Sinaga, M.Ag. menjelaskan bahwa ittiba adalah
mengikuti. Kata yang semakna dengan ittiba adalah iqtifa yang memiliki arti
yakni menelusuri jejak, qudwah berarti suri teladan, dan uswah artinya panutan.
Sementara itu secara istilah, ittiba adalah mengikuti pendapat seseorang,
baik itu ulama, fuqaha, dan sebagainya dengan mengetahui serta memahami dalil
atau hujah suatu perkara yang digunakan dan mengikuti mereka.
Ittiba juga diartikan sebagai upaya mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan dan dibenarkan Rasulullah SAW sesrta menjauhi segala yang
dilarang Allah SWT dan RasulNya. Tujuan dari ittiba adalah agar mukallafun

7
Saleh. M STAIN Jurai siwo metro Jurnal hukum (2016) H. 151-161
8
dapat meraih keyakinan dan menyugesti dirinya untuk melakukan ajaran-ajaran
agama tanpa keraguan sehingga menimbulkan keikhlasan dalam dirinya.
Adapun contohnya: Contoh "itiba'" dalam Aswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jamaah) dapat mencakusp berbagai aspek kehidupan, seperti cara beribadah,
etika, dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas
umat Islam.
Berbeda halnya dengan pendapat dari buku Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah
Pembinaan Hukum Islam (2022) karya Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. yang
menjelaskan bahwa ittiba adalah menerima perkataan orang lain dan mengetahui
dalil-dalilnya, baik Al-Qur’an maupun hadis. Sedangkan Imam Al-Syafi’i
berpendapat bahwa ittiba adalah mengikuti pendapat-pendapat dari Nabi
Muhammad saw, para sahabat, atau tabi’in yang mendapatkan kebajikan.
Sementara itu menurut para ahli ushul fiqh, ittiba adalah mengikuti
perkataan orang lain dengan disertai pengetahuan mengenai sumber dari perkataan
tersebut. Orang yang melakukan ittiba disebut dengan muttabi yang bentuk
jamaknya adalah muttab’iun. an .
Para mukalaf mengatakan bahwa hukum ittiba adalah wajib bagi setiap
muslim karena ittiba adalah perintah oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW
sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi: Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-
Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir.” (QS. Ali Imraan [3]: 32)
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk mentaati dan mengikuti
perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah
wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya. Disamping itu, juga ada sabda
Nabi yang memiliki arti sebagai berikut: "Wajib atas kamu mengikuti sunnahku
dan perjalanan atau sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (H.R. Abu Daud).
Posisi ittiba' kepada Rasulullah SAW mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dalam Islam dan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam.
1. .Ittiba' kepada Rasulullah SAW adalah salah satu syarat diterima amal.
2. .Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya.

9
3. Ittiba' adalah sifat yang utama ulama, fuqaha' dan orang-orang yang
shalih.

Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi' tidak memenuhi syarat-


syarat tertentu untuk berittiba. Jika seseorang tidak sanggup memecahkan
persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang
mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam.
Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum Muslimin sekalipun dapat
mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian.
Sebab suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan
menimbulkan kekhusyukan dan keikhlasan. Kemudian, seandainya jawaban yang
diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka
muttabi' yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain
untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal.
Dengan kata lain, ittiba' tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid
atau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama yang satu dan dalam
masalah lain mengikuti ulama yang lain pula.

2.6 Pengertian Talfiq


A. Pengertian Talfik
Secara bahasa talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lainnya,
sedangkan istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua pendapat atau lebih
dalam sebuah permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga akan melahirkan
pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak mengakui
kebenarannya. Sehingga terjadilah sebuah hukum baru yang membatalkan antara
kedua pendapat tersebut.
Berkaitan dengan pengertian talfiq dalam pembahasan ini para ahli ushul
memberikan sebuah pengertian bahwa yang dimaksud dengan talfiq yaitu:
Menetapkan suatu perkara yang tidak dikatakan oleh seorang mujtahid.
Maksudnya adalah melakukan suatu perbuatan dengan mengikuti suatu madzhab,
dan mengambil satu masalah dengan dua pendapat atau lebih untuk sampai
kepada suatu perbuatan yang tidak di ditetapkan oleh kedua mujtahid tersebut,
baik pada imam yang diikuti dalam madzhabnya maupun menurut pendapat imam
10
yang baru ia ikuti. Pada akhirnya setiap dari masing-masing madzhab tersebut
menyatakan pembatalan perbuatan yang tercampur aduk tadi.
Dikatakan talfiq apabila seseorang meniru dan ikut dalam permasalahan
atau perkara dengan dua perkataan secara bersama-sama, atau kepada salah
satunya saja. Yang akhirnya akan menimbulkan suatu perkara yang baru, yang
tidak dikatakan oleh kedua madzhab tersebut.
Adapun contohnya: Contoh talfiq adalah ketika seseorang mengambil
pendapat-pendapat dari berbagai mazhab dalam masalah tertentu untuk memenuhi
kebutuhan atau situasi khusus. Namun, penting untuk diingat bahwa talfiq harus
dilakukan dengan pemahaman yang benar terhadap hukum Islam dan hanya dalam
situasi-situasi yang membenarkannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa talfiq adalah menggabungkan
perkataan dua madzhab atau lebih dalam suatu permasalahan yang mempunyai
suatu rukun, dan setiap darinya mempunyai hukum khusus, kemudian mengikuti
madzhab tersebut dalam satu hukum permasalahan dan mengikuti madzhab yang
lain dalam hukum permasalahan yang berbeda pula. Maka di sanalah lahir suatu
hukum baru yang tercampur aduk antara pendapat pertama dan pendapat yang
kedua.
Konsep talfiq muncul karena kuatnya perasaan taqlid yang ditanamkan par
ulama’ madzhab di zaman berkembangnya taqlid yang mengharamkan seorang
pengikut madzhab tertentu untuk mengambil pendapat dari madzhab yang lain.
Karena pada hakikatnya terdapat dua kemungkinan seseorang melakukan talfiq,
yaitu karena bertujuan untuk memilih qaul (pendapat) yang ringan dan
meninggalkan qaul (pendapat) yang berat yang tidak sesuai dengan
kemampuannya.
Sebagaimana pendapat beberapa ulama’ tentang perkara memilih yang lebih
ringan dan sesuai dengan kemampuaannya, tanpa adanya niat kesengajaan
mengerjakan yang ringan dalam menjalankan hukum syari’at. Hal ini dilakukan
karena seseorang dibebani sebuah pembebanan hukum syari’at sesuai dengan
kemampuannya.8

8
Rasyida Arsjad STAI Hasan jufri Bawean CENDEKI: Jurnal studi keislaman tahun 2015 H. 63-73
11
B. Ruang Lingkup Talfiq
Adapun ruang lingkup talfiq seperti halnya ruang lingkup taqlid, yaitu hanya
terbatas pada permasalahan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (yang meragukan),
sedangkan segala sesuatu yang telah diketahui dan jelas menurut nash Al-Qur’an
dan agama atau telah disepakati keharamannya tidak termasuk dalam ruang
lingkup taqlid dan talfiq. Sebagaimana haramnya khamar, karena telah jelas
paparannya dalam nash, maka di sana tidak ada ruang talfiq yang menyebabkan
timbulnya kebolehan agar keluar dari keharamannya.
Permasalahan talfiq antara madzhab muncul setelah abad ke-10 oleh ulama’
mutaakhirin, yaitu dengan dibolehkannya mengikuti madzhab lain, dan tidak ada
perbincangan tentang talfiq sebelum abad ke-17.Adapun kebolehan talfiq
berdasarkan apa yang telah ditetapkan dengan tidak adanya keharusan mengikuti
madzhab tertentu dalam setiap permasalahan, dengan demikian diperbolehkan
adanya talfiq. Jika tidak, maka batallah ibadah orang-orang awam, karena orang
awam tidak ada madzhab baginya, walaupun sebenarnya telah
bermadzhab.Sedangkan madzhab mereka dalam suatu permasalahan adalah siapa
yang telah memberi fatwa padanya. Sama halnya dibolehkannya talfiq sebagai
ibara untuk memberi kemudahan kepada manusia

12
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ijtihad, taklid, dan madzhab adalah konsep-konsep yang terkait dengan


pemahaman dan penentuan hukum dalam Islam.
Dalam praktiknya, ijtihad, taklid, dan madzhab saling terkait dan berperan
penting dalam penentuan hukum Islam. Ijtihad dilakukan oleh mujtahid atau
ulama yang memiliki pengetahuan dan kualifikasi untuk melakukan penafsiran
hukum, sedangkan taklid dilakukan oleh mereka yang mengikuti pendapat
mujtahid atau ulama tersebut. Madzhab memberikan kerangka kerja dan panduan
dalam melakukan ijtihad dan taklid, serta menjadi sumber referensi dalam
memahami dan menentukan hukum IslaTalfiq dan ittiba' adalah dua konsep yang
terkait dengan hukum Islam. Berikut adalah kesimpulan tentang kedua konsep
tersebut
Talfiq adalah istilah yang digunakan dalam hukum Islam untuk
menggabungkan pendapat-pendapat dari berbagai mazhab atau ulama dalam satu
masalah hukum. Talfiq dapat terjadi ketika seseorang mengambil pendapat dari
satu mazhab dalam satu masalah dan pendapat dari mazhab lain dalam masalah
lainnya. Talfiq dapat dilakukan dengan tujuan untuk mencari solusi yang lebih
fleksibel atau sesuai dengan kebutuhan kontemporer. Namun, talfiq juga memiliki
batasan dan aturan yang harus diikuti agar tidak melanggar prinsip-prinsip hukum
Islam.
Ittiba' adalah istilah yang merujuk pada mengikuti atau mengambil contoh
dari tindakan atau perilaku orang lain, terutama dalam konteks hukum Islam.
Dalam konteks hukum Islam, ittiba' mengacu pada mengikuti tuntunan dan contoh
yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dan generasi salafusshalih
(pendahulu yang saleh). Ittiba' merupakan salah satu prinsip penting dalam
memahami dan menerapkan hukum Islam. Dengan melakukan ittiba', umat
Muslim diharapkan dapat mengikuti ajaran-ajaran Islam secara konsisten dan
sesuai dengan tuntunan yang telah ditetapkan.

Dalam kesimpulannya, talfiq adalah konsep yang menggabungkan pendapat-


pendapat dari berbagai mazhab atau ulama dalam satu masalah hukum, sedangkan
13
ittiba' adalah konsep mengikuti tuntunan dan contoh yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW dan generasi salafusshalih. Kedua konsep ini memiliki peran
penting dalam memahami dan menerapkan hukum Islam.

3.2. Saran.
Penulis berharap agar makalah ini bermamfaat guna menunjang pemahaman
terhadap mata kuliah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca serta
penulis sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dasn saran guna perkembangan
kedepan dalam menyusun makalah Kembali Jika ada salahan mohon dimaafkan
sekian trimakasih.

14
DAFTAR PUSTAKA

An-Na’im, Abdullahi, Ahmed., 1994. Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy


dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta : LKiS,
Amir Mu’allim, dan Yusdani., 1997. Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan
Fungsi Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Khallaf, Abdul Wahhab., 1994. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad
Qorib, Semarang: Dina Utama,
Safe'I, abdulah., 2017. ADILIYA: Jurnal hukum dan kemanusiaan
Saleh., 2016. M STAIN Jurai siwo metroJurnal hukum
Arsjad, Rasyida., 2015. STAI Hasan jufri Bawean CENDEKI: Jurnal studi
keislaman

15

Anda mungkin juga menyukai