IJTIHAT,TAKLID ,MADZHAB
Makalah
Tugas Mata Kuliah: Pengantar Aswaja
Dosen Pengampu: Bpk. Muhammad Ilyas, M.Pd.I
Oleh
Kelompok 9:
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang Maha
Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya, makalah ini kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi
Muhammad saw. yang merupakan inspirator terbesar dalam keteladannya. Tidak
lupa kami sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Pengantar Aswaja yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, Dalam makalah ini kami membahas tentang pengertian
dan pendapat ulamak tentang ijtihat, taklid, madzhab.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengantar Aswaja. Makalah in dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa
pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat
kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada
tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa pengrtian taklid?
3. Apa pengertian madhab?
4. Apa pengertian talfiq dan contohnya?
5. Apa pengertian itiba ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani
(Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm.54.
2
Ibid., hlm. 54.
3
hukum syar’i”.3 Pada pengertian ini ijtihad memiliki fungsi mengeluarkan (istinbat)
hukum syar’i, sehingga ijtihad tersebut tidak berlaku di lapangan teologi dan akhlaq. Dan
pengertian ijtihad menurut ulama ushul fiqh inilah yang dikenal oleh masyarakat luas.
Adalah Ibrahim Hosen yang dalam hal ini mewakili kelompok ahli fiqh dalam definisi
ijtihad membatasinya dalam bidang fiqh saja, yaitu bidang hukum yang berhubungan
dengan amal. Sedangkan bagi sebagian ulama lainnya, seperti Ibn Taimiyah mengatakan
bahwa ijtihad juga berlaku dalam dunia tasawuf. Demikian juga pendapat Harun Nasution
yang mengatakan ijtihad di dalam fiqh merupakan definisi ijtihad dalam arti sempit,
sementara dalam arti luas ijtihad juga berlaku di bidang politik, akidah, tasawuf, dan juga
filsafat.4
3
Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 39-41.
4
Ibid., Demikian juga pendapat M. Ruwaihi dan juga Fakhruddin al Razi mendukung pengertian
ijtihad dalam arti luas meliputi bidang lain di luar fiqh.
5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul..., h. 388
4
2.3 Pengertian Taklid
Kata “Taqlid” berasal dari bahasa Arab, yaitu: qallada-yuqallidu-taqliidan.
Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam
kalimat. Adakalanya kata “taklid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”,
“mengikuti” dan sebagainya.
Para ulama Usul mendefinisikan taklid: “menerima perkataan (pendapat)
orang, padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan
(pendapat) itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-
Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taklid, namun isi dan
maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun
kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad
Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang
yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama
Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat
atau mudlarat dari hukum itu”.6
Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt
memberikan petunjuk kepada manusia yang termuat dalam al-Quran dan Sunnah
Rasulullah saw. Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah
orang-orang yang beriman, sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya adalah orang-orang yang kafir (QS. Muhammad: 33 dan QS. Ali
‘Imran: 32).
Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat
dalam al-Quran dan taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi
Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal
dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid
menggunakan “sunnah maqbulah”? Sebagaimana diketahui bahwa perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-Sunnah), baru ditulis dan
dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal dunia. Selama seratus
tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin yaitu para
sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang dihafal
6
Safe'i abdulah ADILIYA: Jurnal hukum dan kemanusiaan tahun (2017) H 399-400
5
oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian
pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ at-
tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para perawi hadis dan
membukukannya. Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti setiap para
penyampai dan penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada para
penyampai dan penerima as-Sunnah itu yang dapat dipercaya dan ada yang tidak
dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik hafalannya dan ada pula yang lemah dan
sebagainya. Lalu para perawi membuat ranking as-Sunnah, sehingga as-Sunnah
itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dla‘if dan
sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak menerima sunnah yang dla‘if
(lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal
(amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada umumnya menerima as-
Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat tidak berlawanan dengan nash (al-
Quran dan as-Sunnah) yang lebih kuat daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini
disebut “sunnah maqbulah”.
Berdasarkan uraian di atas maka taklid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid
ialah: “mengikuti perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh, kiyai atau
pemimpin) tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu apakah
perkataan atau pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam al-Quran dan sunnah
maqbulah”. Jika ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat diterima dan
diamalkan, sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang mengatakan atau yang
berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam, maka pendapat yang
demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah orang yang telah
menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti. Dalam hadis,
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa
yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dalam
neraka” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pada saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik
pemerintah maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga
tidaklah sukar untuk menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya
atau tidak ada dasarnya, dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu
seminar atau diskusi. Dengan demikian taklid dan bid‘ah itu semakin berkurang
6
terdapat dalam nasyarakat Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i
hendaknya menyampaikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran
Islam, yang benar-benar ada dasarnya.
Dalam Fatwa Tarjih yang termuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 10
dan 11 tahun 2006 disebutkan bahwa bahwa taklid itu tercela hukumnya. Bagi
orang yang belum tahu apa-apa tentang ajaran Islam, dan kaum muslimin yang
belum sanggup mencari dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka
hal itu bukanlah taklid, dan hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih
tahu.
7
mengistimbatkan hukum islam. Kemudian imam mzhab dan mzhab itu itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti cara
istimbath hukum semakin kokoh dan meluas, sesudah masa iyu muncul mazhab-
mazhab dalam bidang hukum islam. Karena banyaknya para sahabat nabi yang
pindah tempat dan terpencar ke negara yang baru, dengan demikian kesempatan
untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah meemecahkan suatu masalah sulit
dilaksanakan, maka terjadilah banyak perbedaan pendapat antara para sahabat.
Qasim Abdul Azis Khosim menjelaskan bahwa faktor faktor yang
menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni:
• Perbedaan sahabat dalam memahami nash nash Qur’an.
• Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3) Perbedaan para
sahabat disebabkan karena ra’yu.
Jalaludin juga menyatakan penyebab ikhtilaf ( perbedaan pendapat ) di antara para
sahabat adalah prosesdur perbedaan hukum untuk masalah masalah baru yang
tidak terjadi pada zaman Rasulullah SWA, kemudian dilanjutkan oleh Tabi’in
Tabi’in. Ijtihad para sahabat dan Tabi’in. Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh
generasi penerusnya yang tersebar di berbagaidaerah wilayah dan kekuasaan islam
pada wktu itu.7
7
Saleh. M STAIN Jurai siwo metro Jurnal hukum (2016) H. 151-161
8
dapat meraih keyakinan dan menyugesti dirinya untuk melakukan ajaran-ajaran
agama tanpa keraguan sehingga menimbulkan keikhlasan dalam dirinya.
Adapun contohnya: Contoh "itiba'" dalam Aswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jamaah) dapat mencakusp berbagai aspek kehidupan, seperti cara beribadah,
etika, dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas
umat Islam.
Berbeda halnya dengan pendapat dari buku Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah
Pembinaan Hukum Islam (2022) karya Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. yang
menjelaskan bahwa ittiba adalah menerima perkataan orang lain dan mengetahui
dalil-dalilnya, baik Al-Qur’an maupun hadis. Sedangkan Imam Al-Syafi’i
berpendapat bahwa ittiba adalah mengikuti pendapat-pendapat dari Nabi
Muhammad saw, para sahabat, atau tabi’in yang mendapatkan kebajikan.
Sementara itu menurut para ahli ushul fiqh, ittiba adalah mengikuti
perkataan orang lain dengan disertai pengetahuan mengenai sumber dari perkataan
tersebut. Orang yang melakukan ittiba disebut dengan muttabi yang bentuk
jamaknya adalah muttab’iun. an .
Para mukalaf mengatakan bahwa hukum ittiba adalah wajib bagi setiap
muslim karena ittiba adalah perintah oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW
sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi: Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-
Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir.” (QS. Ali Imraan [3]: 32)
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk mentaati dan mengikuti
perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah
wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya. Disamping itu, juga ada sabda
Nabi yang memiliki arti sebagai berikut: "Wajib atas kamu mengikuti sunnahku
dan perjalanan atau sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (H.R. Abu Daud).
Posisi ittiba' kepada Rasulullah SAW mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dalam Islam dan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam.
1. .Ittiba' kepada Rasulullah SAW adalah salah satu syarat diterima amal.
2. .Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya.
9
3. Ittiba' adalah sifat yang utama ulama, fuqaha' dan orang-orang yang
shalih.
8
Rasyida Arsjad STAI Hasan jufri Bawean CENDEKI: Jurnal studi keislaman tahun 2015 H. 63-73
11
B. Ruang Lingkup Talfiq
Adapun ruang lingkup talfiq seperti halnya ruang lingkup taqlid, yaitu hanya
terbatas pada permasalahan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (yang meragukan),
sedangkan segala sesuatu yang telah diketahui dan jelas menurut nash Al-Qur’an
dan agama atau telah disepakati keharamannya tidak termasuk dalam ruang
lingkup taqlid dan talfiq. Sebagaimana haramnya khamar, karena telah jelas
paparannya dalam nash, maka di sana tidak ada ruang talfiq yang menyebabkan
timbulnya kebolehan agar keluar dari keharamannya.
Permasalahan talfiq antara madzhab muncul setelah abad ke-10 oleh ulama’
mutaakhirin, yaitu dengan dibolehkannya mengikuti madzhab lain, dan tidak ada
perbincangan tentang talfiq sebelum abad ke-17.Adapun kebolehan talfiq
berdasarkan apa yang telah ditetapkan dengan tidak adanya keharusan mengikuti
madzhab tertentu dalam setiap permasalahan, dengan demikian diperbolehkan
adanya talfiq. Jika tidak, maka batallah ibadah orang-orang awam, karena orang
awam tidak ada madzhab baginya, walaupun sebenarnya telah
bermadzhab.Sedangkan madzhab mereka dalam suatu permasalahan adalah siapa
yang telah memberi fatwa padanya. Sama halnya dibolehkannya talfiq sebagai
ibara untuk memberi kemudahan kepada manusia
12
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2. Saran.
Penulis berharap agar makalah ini bermamfaat guna menunjang pemahaman
terhadap mata kuliah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca serta
penulis sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dasn saran guna perkembangan
kedepan dalam menyusun makalah Kembali Jika ada salahan mohon dimaafkan
sekian trimakasih.
14
DAFTAR PUSTAKA
15