Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQIH

KEDUDUKAN IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Guru Pembimbing : Mahmudah, S.Ag

DISUSUN OLEH : KELOMPOK V

- FERI LESMANA

- GUSTIA PURNAMA

- MAHARANI

- RIZKI RAYMANZA

- RTS. DESI RATNA SARI

MADRASAH ALIYAH NEGERI


OLAK KEMANG KOTA JAMBI
TAHUN PELAJARAN
2014 / 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat, taufik
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menghimpun dan menyelesaikan makalah ini.

Tujuan dibuatnya makalah ini guna mengetahui tentang definisi dari ijtihad,
kedudukan ijtihad, dan macam-macam ijtihad.

Tak lupa juga penulis berterimakasih kepada Guru Pengajar Fiqih yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Serta teman-teman yang sudah
menyediakan waktu luangnya untuk bersama-sama menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini jauh dari kesempurnaan sehingga segala kritik dan saran akan penulis
terima dengan lapang dada. Sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jambi, 24 Oktober 2014

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................1

1.3 Batasan Masalah............................................................................2

1.4 Tujuan Penulisan............................................................................2

1.5 Metode Penulisan...........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................3

2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad..............................................................3

2.2 Kedudukan Ijtihad...........................................................................4

2.3 Cara Ber-ijtihad...............................................................................5

BAB III PENUTUP...............................................................................8

3.1 Kesimpulan......................................................................................9

3.2 Saran dan Kritik..............................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,


terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut
belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia
berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya

Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam
(Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan
melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah
Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan,
sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan
interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan).

Oleh karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari
pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-
Sunnah.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:

1. Apa pengertian dari ijtihad?

2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?

3. Apa saja hasil dari ijtihad?

1
1.3 Batasan Masalah

Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah:

1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

2. Membuka wawasan mahasiswa Sultan Ageng Tirtayasa tentang ijtihad sebagai


sumber hukum Islam yang ketiga.

1.5 Metode Penulisan

Dalam pembuatan makalah ini, penulis menggunakan metode penulisan melalui


pencarian sumber-sember tertulis (literatur), seperti buku dan media elektronik
(internet).

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.6 Definisi dan Fungsi Ijtihad

Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya
kesungguhan dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti
penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan
dari sesuatu ayat atau hadits. Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan)
hukum, ijtihad adalah penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang
tidak ditentukan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits Nabawi.

Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai


berikut:

a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash,


tidak ada peranan nalar.

b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi.

c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara


penunjukan yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.

Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk


mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan
sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam
Al-Quran dan As-Sunnah.

Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement.


Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu
mencakup dua pengertian:

3
d. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak
ditentukan secara eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.

e. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil


kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.

Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan
pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di suatu tempat tertentu atau
pada suatu waktu tertentu.

Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan


hukum yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran
diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur
secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat
turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru
akan terus berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan
ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu
atau disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara
yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan
Hadits. Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang
ada berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits
maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah
mereka yang paham Al-Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid.

2.2 Kedudukan Ijtihad

Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-


ketentuan berikut:

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia

4
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.

b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi


seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat
tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain.

c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni).


Sebab urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah.

d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,


akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang
menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.

Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga
setelah Al-Quran dan Al-Hadits.

2.3 Cara Ber-ijtihad

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode,


antara lain sebagai berikut:

1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang


belum diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan
kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau
As-Sunnah, karena ada sebab yang sama.

Beberapa definisi qiyas (analogi):

 Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,


berdasarkan titik persmaan diantara keduanya.

 Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui


suatu persamaan diantaranya.

5
 Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam
Al-Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan
sebab (illat).

2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-


ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi
persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai
atau tidaknya ijma tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar dan berada
diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.

3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan


ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan,
kasih sayang, dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas
Khofi (analogi samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang
diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan
umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara
dua persoalan yang sama-sama kurang baik, maka kita harus mengambil yang
lebih ringan keburukannya.

Beberapa definisi istisan:

 Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar.

 Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan


secara lisan olehnya.

 Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat


orang banyak.

 Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

 Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara


yang ada sebelumnya.

6
4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu
persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang
sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul
mursalah ialah, istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan)
itu dengan disertai dalil Al-Quran atau Al-Hadits yang umum, sedang
mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan
dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-
Hadits.

5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap
baik oleh masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih
bolehnya suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama
kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-
Quran dan Al-Hadits.

6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya


sehingga terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan
hukum yang telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan
sehingga teradapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab
merupakan suatu tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada
alasan yang bisa mengubahnya.

7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah


menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu


persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu
kasus, yang tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang
menetapkan hukum tersebut.

9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.

7
10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam
pandangan mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang
sama (ayat dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).

BAB III

KESIMPULAN

Setelah pembahasan diatas maka dapat disimpulkan, hal-hal seperti berikut:

1. Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk


mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan
sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam
Al-Quran dan As-Sunnah.

2. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.

3. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’, istihsan, mashalihul mursalah, urf,
istishab, dan sududz dzariah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada

Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta

Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika

Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya

Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press

Anda mungkin juga menyukai