Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MEMAHAMI PENGERTIAN
IJTIHAD DALAM AJARAN ISLAM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pendidikan agama islam

Dosen Pengampu:
JONI PUTRA S.Pd.I,M.Pd.I

Oleh:
Kelompok 6
Ayu Fitriani 23011246
Agnia Zahara 23411070
Ilyasa Dwi W 23331024
Tyara Lanisha 23311133

UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG


T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah berjudul “Memahami
Pengertian Dan Urgensi Ijtihad Dalam Ajaran Islam” ini tepat waktu tanpa ada
halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada Ibu Siti Mustaghfiroh, M.Phil. sebagai dosen pengampu mata
kuliah Studi Islam dan Moderasi Beragama yang telah membantu memberikan
arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan karena keterbatasan kami. Oleh sebab itu, penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Penyusun
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Bandar Lampung,
November 2023

Penyusun
Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Pengertian Ijtihad..........................................................................................3

B. Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam.......................................................4

C. Bentuk atau Macam Ijtihad...........................................................................7

D. Syarat-syarat Ijtihad......................................................................................7

BAB III PENUTUP.................................................................................................9

A. Kesimpulan...................................................................................................9

B. Saran..............................................................................................................9

ii
iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada upaya untuk
merumuskan hukum Islam atau membuat keputusan hukum berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Kata "ijtihad" berasal dari akar kata Arab yang berarti
"usaha" atau "usaha keras."
Ijtihad pertama kali muncul dalam sejarah Islam pada masa Rasulullah
Muhammad SAW dan kemudian berkembang selama periode Khulafaur
Rasyidin. Pada awalnya, ijtihad lebih bersifat interpretatif terhadap Al-Quran
dan Hadis, tetapi kemudian berkembang menjadi metode hukum yang lebih
sistematis.
Seiring berjalannya waktu, muncul berbagai madzhab (sekte) dalam Islam,
seperti Madzhab Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan Hanbali. Masing-masing madzhab
memiliki pendekatan ijtihad yang berbeda dalam menginterpretasi hukum
Islam.
Para ulama Islam awal menulis kitab-kitab fiqih (ilmu hukum Islam) yang
mengandung penafsiran hukum berdasarkan ijtihad mereka. Kitab-kitab ini
menjadi referensi penting dalam pengembangan hukum Islam.
Ijtihad dibagi menjadi dua jenis utama: Ijtihad al-Qiyas (analogi), di mana
hukum baru ditarik berdasarkan analogi dengan kasus-kasus yang telah
diberikan hukum dalam sumber-sumber utama (Al-Quran dan Hadis); dan
Ijtihad al-Istislah (kepentingan umum), di mana hukum baru ditarik untuk
kepentingan umum masyarakat.
Dalam sejarah Islam, ijtihad merupakan alat penting untuk menafsirkan
dan mengembangkan hukum syariah sesuai dengan kebutuhan zaman,
meskipun berbagai pandangan dan pendekatan mungkin berbeda di antara
berbagai madzhab dan ulama.

1
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
b. Bagaimana kedudukan Ijtihad dalam hukum Islam?
c. Apa saja bentuk dan macam-macam Ijtihad
d. Apa syarat-syarat Mujtahid?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
b. Untuk mengetahui bagaimana keududkan ijtihad dalam hokum islam
c. Untuk mengetahui bentuk atau macam ijtihad
d. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab “‫د‬GGG‫“ جه‬yang berarti
“pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai urusan”.
Ringkasnya, ijtihad berarti “sungguh-sungguh” atau “bekerja keras dan gigih
untuk mendapatkan sesuatu”. Sedangkan secara teknis menurut Abdullahi Ahmed
An-Na’im ijtihad berarti penggunaan penalaran hukum secara independen untuk
memberikan jawaban atas sesuatu masalah ketika al-Qur’an dan al-Sunnah diam
tidak memberi jawaban.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun para perintis
hukum pada kesimpulan dimana konsensus masyarakat atau para ulama atas suatu
masalah harus dijadikan sebagai salah satu sumber syari’ah. Dan al-Qur’an dan
Sunnah itu yang mendukung dan mendasari ijtihad sebagai sumber syari’ah.1
Lebih dari itu, penggunaan ijtihad dalam pengertian umum sangat relevan
dengan interpretasi al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika suatu prinsip atau
syari’ahdidasarkan pada makna umum atas suatu teks al-Qur’an dan al-Sunnah,
maka teks dan prinsip (aturan) syari’ah itu harus dihubungkan dengan penalaran
hukum. Sebab bagaimana pun juga sulit untuk dibayangkan, ketika suatu teks al-
Qur’an atau al-Sunnah -betapapun jelas dan rincinya-, tidak lagi memerlukan
ijtihad untuk interpretasi dan penerapanya dalam situasi konkrit.
Dari sisi ini menurut Abdullahi Ahmed, jelaslah bahwa ijtihad adalah
konsep yang fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan syari’ah selama
abad VIII dan IX M. Begitu syari’ah matang sebagai sistem perundang-undangan,
dan pengembangan berbagai prinsip dan aturan yang segar dirasakan sudah cukup,
maka ruang ijtihad tampak menyempit menuju titik kepunahannya.

Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi mendefinisikan


ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fiqih akan kemampuannya dalam upaya
menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu
1
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin
Arrani (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm.54.

3
dalil-nya.”2 Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’)
melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil
Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan
pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini
tidak disebut ijtihad.3
Sehingga dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ijtihad ialah:
“Usaha yang dilakukan oleh seorang ahli fiqh dengan sungguh-sungguh untuk
menggali suatu hukum syara’ atau yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang
rinci.” Dan menurut saya, ijtihad lebih luas dibanding dengan qiyas karena qiyas
sendiri adalah salah satu metode dalam berijtihad. Dalam sejarah perkembangan
hukum islam ijtihad menjadi istilah hukum tertentu, yang berarti suatu jalan
pengambilan hukum dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan akal. Adapun adanya
ijtihad secara tegas dan jelas menurut sejarah hukum islam adalah tentang Tanya
jawab Nabi SAW dengan sahabat Mu’az bin Jabal R.a sewaktu ditunjuk oleh Nabi
dengan gubernur atau hakim di Yaman.

B. Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam


Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak dijumpai hukum
yang akan diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid (orang-orang yang
melakukan ijtihad) boleh melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah
disepakati bersama.Mayoritas Ulama fiqih dan usul , diperkuat oleh at-Taftazani
dan ar-Ruhawi mengatakan, “ijtihad tidak boleh dalam masalah qat}’iyyat dan
masalah akidah”. Minoritas Ulama (al.Ibnu Taimiyah dan Al-H}ummam)
membolehkan adanya ijtihad dalam akidah.

Menurut Syeikh Muhammad Khudlari Bik dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh,


bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

1) Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah
dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri
mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui
hukumnya.
2
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 245
3
Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 162

4
2) Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan
sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia
masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan
dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang
lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan
ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.

3) Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum
terjadi.4

Hukum hasil ijtihad seorang mujtahid tidaklah mengikat dan tidak pula
menjadi hujjah bagi seluruh umat Islam. Karena itu tidak seorangpun wajib
mengikuti dan bertindak sesuai dengan hukum ijtihad itu. Sebab masalah ataupun
kasus yang telah diijtihadi dan telah ditetapka hukumnya oleh seorang mujtahid,
masih tetap terbuka untuk menjadi sasaran ijtihad.

Karena hukum ijtihad itu didasarkan atas dalil-dalil Syar'i yang bukan
qath'i dan hasil ijma. Karena hukum ijtihad itu berbeda karena perbedaan
penalaran dan pengkajian serta situasi dan kondisi yang mengitari para mujtahid.
Dalam konteks ini qaidah ushul mengatakan :"Taghaiyyurul al-ahkam bi
taghaiyyiru Al zaman wala makanatu wal ahwalu" (perubahan hukum berdasarkan
perubahan zaman, waktu dan keadaan). Namun hukum ijtihad itu mengikat dan
menjadi hujjah bagi mujtahid yang bersangkutan. Ia wajib melakukan hasil
ijtihadnya secara konsekwen, selama ia belum merubah pendapatnya. Dan ia juga
tidak boleh meninggalkan.

Hukum ijtihadnya lalu bertaqlid pada mujtahid lain yang yang berbeda
pendapatnya mengenai masalah yang sama, karena masing-masing mujtahid
menggunakan dasar atau asas yang sama dalam menetapkan hukum ijtihad yakni
sama-sama bersifat hipotesis. Demikian pula hukum ijtihad mengikat dan menjadi
hujjah bagi orang-orang yang meminta fatwa kepada mujtahid tentang suatu
masalah, sebab mazhab orang yang meminta fatwa tersebut mengikat mazhab

4
Muhammad Khudlari, Ushul al-Fiqh, (Bairut-Libanon: dar al-fikr, 1988), hlm. 368

5
muftinya. Karena itu ia harus mengikuti pendapat muftinya menurut ulama ushul
fiqh.5

Hukum ijtihad bagi mujtahid yang bersangkutan maupun bagi mujtahid


lainnya pada hakikatnya belum dapat dipastikan bahwa hukum itu adalah hukum
syara. Hukum ijtihad menjadi hukum syara, hanya menurut anggapan atau dugaan
Mujtahid yang bersangkutan. Karena itu ulama ushul menegaskan bahwa
mujtahid tidak membuat hukum dari dia sendiri sekalipun ia menggunakan
metode ijtihad dengan ra'yu. Sebab ia sebenernya hanya menggali untuk
menemukan hukum syara ( Allah dan Rasulnya) guna memperoleh hukum syara
itu sendiri.6

Hukum ijtihad masih terbuka bagi mujtahid yang bersangkutan dan juga
bagi mujtahid yang lainnya untuk dikaji ulang. Dan apabila seoarng mujtahid
berijtihad mengenai masalah yang menimpa dirinya, lalu ia menetapkan hukum
ijtihadinya, dan bertindak sesuai dengan hukum ijtihadinya. Tetapi bila kemudian
ia berubah pendapat maka ia harus meninggalkan hukum ijtihadinya yang pertama
dan mengambil hukum ijtihadinya yang kedua (yang baru) setelah ia menganggap
salah atau keliru hukum hasil ijtihadinya yang pertama. Misalnya ia berijtihad
tentang masalah izin wali bagi wanita yang menikah, dan menurut ijtihadnya
boleh kawin dengan wanita tanpa izin walinya.

Kemudian laki-laki tersebut mengawani wanita tanpa izin walinya sesuai


dengan hukum ijtihadinya, tetapi kemudian hukum ijtihadinya berubah setelah ia
mengadakan ijtihad ulang, maka ia harus mengubah hukum ijtihadinya yang
pertama dengan hukum ijtihadinya yang kedua. Dan sebagai konsekeunsi
ijtihadnya, maka ia harus mufarraqah (pisah) dengan istrinya kemudian
melakukan akad nikah baru dengan izin walinya.

C. Bentuk atau Macam Ijtihad


Dilihat dari macamnya, menurut al-Dualibi, sebagaimana dikatakan oleh
Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad dibedakan dalam tiga macam:
5
Al-Amidi, Al-Ahkam, juz !V, ( Cairo: Dar Al-Nahdara al-Arabiyah, 1986), h. 306

6
Muhammad Salam, Madzkur, Al-Madkhal li Al-Fiqh Al-Islami, (Cairo: Dar Al-Nahdlah Al-
Arabiyah), 1960), h. 292-293

6
1) Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah
dari nash-nash syar`i.
2) Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah
untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah,
dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash
hukum syar`i.
3) Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan
Sunnah menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.7
Maksud istislah adalah dengan memelihara kepentingan hidup manusia yaitu
menarik manfaat dan menolak madlarat dalam kehidupanmanusia. Menurut Dr.
Yusuf Qordhowi mencakup tiga tingkatan:
a. Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk
kelangsung hidup manusia.
b. Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya.
c. Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebisaan dan akal yang
baik

D. Syarat-syarat Ijtihad
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap
orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang-orang memiliki syarat tertentulah
yang mampu berijtihad. Syarat-syarat tersebut ialah berikut ini:
a. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya, sehingga
memungkinkan dia menguasai pengertian susunan kata-katanya. Hal ini
karena objek pertama bagi orang yang berijtihad ialah pemahaman
terhadap nas-nas Al-Qur’an dan Hadis yang berbahasa Arab. Sehingga ia
dapat menetapkan aturan-aturan bahasa dalam pengambilan hukum
darinya.
b. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini adalah hukum-hukum yang
dibawa oleh Al-Qur’an beserta ayat-ayatnya dan mengetahui cara
pengambilan hukum dari ayat tersebut.sehingga apabila tersjadi suatu
7
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, ), hlm.
594.

7
peristawa ia dapat menunjuk ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis yang
berbahasa syarat itu pun sangat diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab
turunnya suatu ayat serta riwayat-riwayat yang berhubungan dengan
permintaan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan hukum tidaklah
banyak. Di samping itu ada juga khitab tafsir yang khusus menafsirkan
ayat-ayat tersebut. Bahkan ayat-ayat tersebut dapat dikumpulkan satu sama
lain menurut isi pembicaraannya, seperti ayat-ayat yang bertalian dengan
perkawinan, talak, dan sebagasinya,seperti yang dilakukan oleh John
Lalbaume. Juga tidak sukar untuk mencari dalam kitab-kitab Hadis shahih
yang menerangkan Hadis-Hadis yang berhubungan dengan sebab-sebab
turunnya dan penjelasannya. Dengan demikian setiap persoalan hukum
dalam Al-Qur’an dipelajari dalam hubungannya dengan keseluruhan
persoalan tersebut, karena ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan satu
sama lain, namun apabila dalam pemahamannya dipisahkan satu sama
lain, adanya kekeliruan penafsiran tidak dapat dihindarkan.

8
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad adalah salah satu konsep dalam hukum islam yang telah berperan
penting sepanjang sejarah perkembangan agama islam. Konsep ijtihad tidak hanya
merupakan produk akal budi manusia, tetapi juga berasal dari tuntunan al-qur’an
dan contoh Rasulullah SAW. Dalam perkembangannya, ijtihad memberi
kontribusi besar terhadap munculnya berbagai madzhab dalam islam, seperti
Hanafi, Maliki, dan Shafi’i. Para ulama islam awal menulis kitab-kitab fiqih yang
mengandung hasil ijtihad mereka. Kitab-kitab ini menjadi pedoman hukum
penting bagi umat islam dan terus dipelajari hingga saat ini.

B. Saran
Demikianlah makalah ijtihad dalam mata kuliah Studi Islam dan Moderasi
Beragama yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini
merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan
kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami.
Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita
semua. Aamiinn

9
DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi. (2007). Signifikansi Ijtihad Dalam Pembaharuan Hukum Islam.


Universitas Negeri Sunan Kalijaga.

Miswanto, Agus. (2019). Ushul Fiqih. UNIMMA PRESS.

Naseh, Ahmad Hanany. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.

Badi’, Ahmad. (2013). Ijtihad :Teori dan Penerapannya. Volume 24.

10

Anda mungkin juga menyukai