Anda di halaman 1dari 18

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Pengantar Stadi Islam Ahmad Restu Ananda M.Pd.

PENGERTIAN IJTIHAD, LANDASAN IJTIHAD (RASIO)


SEBAGAI SUMBER KAJIAN ISLAM DAN METODE IJTIHAD
SERTA SYARAT-SYARAT MUJTAHID

KELOMPOK 5 :

Amelia Kartika (223117065)


Azqina Aqila (223117068)
Muhammad Amin (223117052)
Muhammad Rezi Firdaus (223117059)
Ridayani (223117089)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-JAMI


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2024

2
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “PENGERTIAN IJTIHAD, LANDASAN
IJTIHAD (RASIO) SEBAGAI SUMBER KAJIAN ISLAM DAN METODE
IJTIHAD SERTA SYARAT-SYARAT MUJTAHID”. Untuk ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan
dukungan serta bantuan dalam penyusunan makalah ini. Meski mendapatkan
sedikit kendala, tetapi akhirnya kami bisa dapat menyelesaikan tepat waktu.

Kami mengharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam


mempelajari Pengertian Ijtihad, Landasan Ijtihad (Rasio) Sebagai Sumber Kajian
Islam Dan Metode Ijtihad Serta Syarat-Syarat Mujtahid. Sebagai penyusun, kami
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan. Baik dari penyusunan maupun tata
bahasa penyampaian dalam makalah ini.

Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
khususnya pada Bapak dosen bidang studi ini. Demi kesempurnaan dalam
membuat makalah pada waktu mendatang. Untuk ini kami ucapkan terimakasih.

Banjarmasin, 8 Februari 2024

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI:

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Perkembangan zaman dewasa ini menyebabkan lahirnya berbagai macam
fenomena dan persoalan-persoalan hukum baru yang menuntut adanya jawaban
hukum terhadapnya. Karena apa yang telah diatur dalam hukum islam baik
dalam nash maupun fiqh sesungguhnya belum dapat mengakomodir semua
persoalan-persoalan kontemporer. Oleh karena itu Ijtihad kontemporer
diperlukan sebagai jawaban dari dinamika pembaharuan hukum Islam yang
merupakan konsekwensi dari perubahan, dan perkembangan kehidupan
masyarakat modern.1 Sebab itu diperlukan akselerasi pemikiran dalam bentuk
ijtihad untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi, sehingga
permasalahan apapun yang muncul dapat dikontekstualisasikan dengan baik dan
tepat sasaran khususnya dalam bentuk legislasi.2
Proses penemuan hukum yang dikenal dengan ijtihad ini bukan saja
memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan yang tak terbatas
atas berbagai aspek kehidupan yang selalu mengalami dinamika. Tujuan ijtihad
adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu

tertentu. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.3


mujtahid berijtihad sendiri atas masalah yang d hadapinya. Ia dilarang
bertaqlid kepada orang lain bila ia telah mencapai hukum peristiwa yang
dicarinya itu berdasar zhannya. Oleh karena itu diperlukan upaya memahami
pokok- pokok dalam mengkaji perkembangan ijtihad agar tetap dinamis
sepanjang masa sebagai pijakan yang disebut dengan istilah ushul fiqh.4

1
Nasir and Badri, “IJTIHAD DAN PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI ACEH.”
2
Amrullah, “METODE IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM.”
3
Miswanto and Ag, “USHUL FIQH: METODE IJTIHAD HUKUM ISLAM.”
4
Amrullah, “METODE IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM.”

1
2. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Apa saja Landasan Ijtihad (rasio) sebagai sumber kajian Islam?
3. Apa metode-metode yang digunakan dalam ijtihad?
4. Sebutkan apa saja syarat-syarat Mujtahid?
3. Tujuan
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas antara lain:
A. Dapat mengetahui apa yang dimaksud Ijtihad
B. Mengetahui apa saja Landasan Ijtihad (rasio) sebagai sumber kajian Islam
C. Mengatahui metode-metode yang digunakan dalam Ijtihad
D. Dan mengatahui syarat-syarat Mujtahid

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata
"ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Pengertian
ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras pikiran)
untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan
tanpa cara-cara tertentu.5 Sedangkan Ijtihad yang berasal dari kata kerja, ijtihada
yajtahidu yang berarti pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu
yang sulit, atau biasa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan
segenap kemampuan yang ada perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan
untuk sesuatu yang tidak mengandung kesulitan.6
Mengurai pemaknaan ijtihad, terlebih dahulu mencari akar katanya. Ijtihad
berasal dari bahasa Arab, yaitu “jahada yang berarti berusaha dengan sungguh-
sungguh atau mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk memperoleh
sesuatu yang diinginkan”.7
Kata ijtihad mempunyai makna khusus dalam Islam, yaitu pencurahan
segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum Syarak
yang ditolak atau diterima berdasarkan ijtihad semata-mata. Jenis inilah yang
disebut oleh para pemikir sebagai hukum Islam dalam makna Syariah. 8
Penggunaan ijtihad dalam pengertian umum sangat relevan dengan interpretasi
al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketika suatu prinsip atau syari’ah didasarkan pada
makna umum atas suatu teks al-Qur’an dan al-Sunnah, maka teks dan prinsip
(aturan) syari’ah itu harus dihubungkan dengan penalaran hukum. Sebab
bagaimana pun juga sulit untuk dibayangkan, ketika suatu teks al-Qur’an atau al-

5
“IJTIHAD Teori Dan Penerapannya Oleh Ahmad Badi. Pdf”
6
Jafar, “IJTIHAD DAN URGENSINYA.”
7
“Konstruksi Penemuan Hukum Melalui Ijtihad.Pdf.”
8
“Mustaring “URGENSI IJTIHAD SAINTIFIK DALAM MENJAWAB
PROBLEMATIKA HUKUM TRANSAKSI KONTEMPORER”.Pdf”

3
Sunnah -betapapun jelas dan rincinya-, tidak lagi memerlukan ijtihad untuk
interpretasi dan penerapanya dalam situasi konkrit.9
B. Landasan ijtihad (rasio) sebagai sumber kajian islam.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber
hukum. Dasar -dasar ijtihad atau landasan hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan
sunnah. Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-
Qur’an, hadis, ijma dan qiyas. Para ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil
tersebut. Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan
para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan, maslahah
mursalah, istishab, ‘uruf, mazhab as-Shahabi, dan syar’uman qablana.10
Dengan demikian landasan hukum/sumber hukum islam ada 10 macam,
akan tetapi ada 6 yang masih di persilisihkan para ulama di anataranya, istihsan,
maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, mazhab as-Shahabi, dan syar’uman qablana.
Macam-macam landasan Ijihad
1. Al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat Al qur’an yang mendorong kita agar senantiasa
menggunakan potensi akal dan intelektualitas kita untuk memikirkan ayat
ayat al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami maksud dan
kehendak Allah adalah dengan cara menggunakan nalar yang sudah di
bekalkan Allah pada kita.11
2. Hadist
Hadist Nabi ketika memberikan petunjuk kepada Abdullah bin Mas’ud,
seraya bersabda berkata: “jika kalian di tanya tentang suatu urusan, maka
carillah dalam al-Qur’an, jika tidak tidak engkau temukan disana maka
carilah di sunnah Rasulullah, jika tidak engkau dapatkan, maka carilah
dalam ijma’ kaum muslimun, dan jika tidak ada juga maka berijtihadlah.
Jangan kalian katakan kami takut (untuk berijtihad), sesungguhnya yang
halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada hal-hal

9
Naseh, “IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM.”
10
“IJTIHAD_SEBAGAI_ALAT_PEMECAHAN_MASALAH_U. Hal 15 Pdf.”
11
Surono and Anita, “Ijtihad Ra’yu Sahabat dalam Tafsir Al-Qur’an.” Hal 16

4
yang samar, maka tinggalkan apa yang meragukanmu menuju ke apa-apa
yang tidak meragukanmu.12
3. Ijma’
Para ulama, termasuk Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma`
merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan
ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak
tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber hukum ini
diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59.13
Perlu di garis bawahi bahwa ijma ini ada setelah nabi wafat karena saat
nabi masih hidup semua permasalahan bisa langsung bertanya kepada
nabi.
4. Qiyas
Menurut jumhur ulama, qiyas termasuk hujjah syar‟iyah atas hukum-
hukum mengenai perbuatan manusia dan menduduki martabat atau posisi
keempat diantara hujjahhujjah syar‟iyah, dengan pengertian apabila tidak
didapati dalam suatu kejadian itu hukum menurut nash atau ijma‟ tetapi
terdapat kesamaan illat dengan suatu kejadian yang telah terdapat
hukumnya dalam nash maka diqiyaskanlah kejadian yang pertama kepada
kejadian yang kedua, jadi seorang mukallaf harus mengikuti dan
mengamalkannya. Dan jumhur para ulama tersebut disebut sebagai orang
yang menetapkan qiyas.14
C. Metode Ijtihad
Metode ijtihad adalah upaya penemuan kemaslahatan manusia, dan
menjadikannya alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan
secara eksplisit didalam Al-Qur'an dan Hadits. Maka setiap metode penetapan
hukum yang dipakai para ahli ushul fiqih berakhir pada al-maqasid al-syari’ah.

Metode qiyas baru bisa dilaksanakan apabila dapat ditentukan maqasid al-
syari’ah, dengan cara menemukan illat hukum dari sebuah permasalahan hukum.

12
Surono and Anita "Ijtihad Ra’yu Sahabat dalam Tafsir Al-Qur’an." Hal 7.
13
Saputra, “Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik.” Hal 8.
14
Muslimin, “QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM." Hal 3.

5
Contohnya hukum khamar adalah karena sifatnya yang dapat memambukkan dan
bisa merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat hukum khamar
adalah memabukkan dan merusak akal. Para ahli ushul fiqih berpendapat bahwa
illat baru bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum setelah diketahui maksud
disyari’atkannya hukum itu.15

1. Metode ijtihad Masa Kenabian


jtihad Nabi akan berakhir dengan wahyu. Jika Nabi tepat dalam ijtihadnya,
wahyu akan mengakuinya dan jika Nabi tersalah maka wahyu akan
mengarahkan pada kebenaran.

Rasulullah SAW menyampaikan syariat Islam dengan cara:

a. Memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan atau


kejadian yang muncul dan pertanyaan para sahabat. Lalu
Rasulullah memberi jawaban dengan ayat Al-Qur'an yang turun
sebagai jawabannya.
b. Terkadang Rasulullah SAW memberikan jawaban dengan ucapan
ataupun perbuatannya.16

Metode ijtihad menurut al-Qardhawi dalam didalam kitabnya “al-Fatawa al-


Mu’ashirah”:

1. Bidang Ibadah
Setelah mengemukakan berbagai pendapat ulama, al-Qardhawi
menetapkan bahwa hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan,
adalah boleh jika tidak disertai dengan syahwat dan tidak menimbulkan
fitnah. Tetapi, apabila dikhawatirkan akan terjadi fitnah atau disertai
syahwat dan bersenang-senang. Maka sudah jelas hukumnya haram
meskipun berjabat tangan dengan mahramnya. Begitu juga terhadap anak
kecil.

15
Sya’bani, “MAQASID AL-SYARI’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD." Hal 139.
16
Budiman, “SEJARAH, METODE DAN IJTIHAD HUKUM ISLAM PADA MASA
NABI MUHAMMAD SAW.” Hal 20.

6
Ketetapan ini bertujuan untuk menutup pintu fitnah dan menghambat
gejolak nafsu. Pemikiran Al-Qardhawi ini menggunakan metode “Saddu
al-Zari’ah”. Metode yang merupakan suatu upaya pencegahan untuk tidak
terjadinya peistiwa yang dapat membawa kepada perbuatan-perbuatan
haram.17
2. Bidang Mu’amalah
Fatwa al-Qardhawi dalam bidang mu’amalah mengemukakan tentang
Bank Air Susu Ibu. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa’
ayat 23, yang dimaksud menyusu pada ayat ini yaitu memasukkan putting
susu kedalam mulut bayi dan mengisapnya, bukan sekedar memberi
minum susu. Atas dasar ini Al-Qardhawi menyatakan bahwa penyusuan
bayi melalui Bank ASI diperbolehkan dan tidak menyebabkan haramnya
pernikahan. Al-Qardhawi mengunakan metode istihsan, karena menyusui
dengan mengisap puting susu ibu susunya akan menimbulkan rasa kasih
sayang dan keterdekatan yang melekat antara bayi dengan ibu susunya,
bukan karena ‘illat menyusui dapat menumbuhkan perkembangan fisik.
3. Bidang Munakahat
Salah satu fatwa al-Qardhawi dalam masalah munakahat adalah mengenai
kawin paksa. Dalam hal ini, al-Qardhawi memilih pendapat jumhur ulama
Salaf, yaitu melarang anak gadis yang sudah dewasa dipaksa untuk
dinikahkan, kecuali dengan meminta persetujuannya terlebih dahulu.
Metode yang digunakannya adalah istihsan, yakni mendatangkan
kemaslahatan atau kebaikan.
4. Bidang Jinayat
Fatwa al-Qardhawi dalam bidang jinayat yang akan dikemukan di sini
adalah masalah menggugurkan kandungan (aborsi) akibat pemerkosaan.

Al-Qardhawi mengambil metode moderat yaitu pendapat pertengahan.


Menurut al-Qardhawi, haram melakukan aborsi walaupun janin belum berumur
120 hari, kecuali karena kondisi darurat yang mu’tabar (akurat). Maksud dari
kondisi sangat darurat itu adalah keberadaan janin itu akan mengancam kehidupan
17
Bay, “Metode Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah.” Hal 6, 8, 11.

7
ibu, atau kondisi janin itu akan membahayakan dan menyiksa kehidupannya, juga
kehidupan keluarganya. Untuk penentuan kondisi buruk itu, harus sesuai dengan
ketentuan agama, hasil pemeriksan dokter, dan penelitian ilmiah lainnya. Jika
kondisinya tidak demikian, maka tetaplah berlaku hukum asal, yaitu haram
menggugurkannya.

Al-Qardhawi menggunakan metode ini berdasarkan istihsan sesuai dengan


ketentuan maqashid al-syari’ah, yaitu mendatangkan kemasalahatan dan menolak
kemudharatan.18

Metode Ijtihad yang ditetapkan oleh MUI meliputi tiga pendekatan:

1. Pendekatan Nash Qath’i.


Pendekatan nash qath’i yang gunakan oleh MUI hanya untuk
perbentangan dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist shahih Nabi
tanpa menjelaskan petunjuk makna pada masalah yang dikaji.
2. Pendekatan Qauli.
Dalam menetapkan fatwa, MUI tidak hanya menukil pendapat empat
imam madzhab saja tapi juga dari luar empat imam madzhab beserta
pengikutnya seperti madzhab imamiyah dan dzahiriyah. Bahkan terkadang
MUI juga menukil pendapat yang bersifat kolektif.
3. Pendekatan Manhaji
Digunakan jika metode Nash Qath’i dan Qauli tidak mampu memberikan
jawaban yang memuaskan pada permasalahan yang sedang dikaji.19

Dalam pemikiran hukum Islam, para ulama ushul melakukan berbagai


metode ijtihad. Metode-metode itu, antara lain qiyas, ihstislah, istishab, dan urf.
Penerapan metode-metode tersebut dalam prakteknya juga didasarkan atas
maqashid al-syari’ah.20

18
Bay, “Metode Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah.” Hal 14.
19
Wahyudi and Fajar, “Metode Ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan
Aplikasinya dalam Fatwa.” Hal 132.
20
Jamal, “MAQASHID AL-SYARI’AH DAN RELEVANSINYA DALAM KONTEKS
KEKINIAN.” Hal 5.

8
Model Ijtihad Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah memiliki perbedaan pada latar belakang orientasi ijtihad dan
metode ijthad.

Orientasi ijtihad Bahtsul Masail memelihara nilai-nilai terdahulu yang


sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Model pendekatan ini
menerima budaya dan kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan al-Qur'an
dan Hadits.

Model orientasi ijtihad yang dikembangkan Majelis Tarjih


Muhammadiyah berorientasi tajdid. Berusaha mengembalikan dan memurnikan
ajaran Islam sesuai ajaran aslinya. Dengan jargon populernya “Kembali kepada al-
Qur'an dan Sunnah”, juga berusaha memurnikan ajaran Islam yang tercemar
Takhayyul, Bid'ah dan Churafat (TBC).
Metode ijtihad yang digunakan keduanya pun berbeda. Metode ijtihad Bahtsul
Masail lebih bersifat konservatif dan berusaha menyesuaikan dengan perubahan
sosio-kultural masyarakat ke arah progresif-moderat melalui penggunaan metode
ijtihad qouly, ilhaqy, teqriry, dan manhajy. Sementara metode ijtihad Majelis
Tarjih Muhammadiyah bergerak ke arah progresif dinamis menggunakan metode
ijtihad kontemporer seperti bayani, ta’lili, dan istishlahi dengan pendekatan
hermeneutik, historis, sosiologis dan antropologis dan teknik ijtihad ijma', qiyas,
masalih mursalah, dan urf.
Perbedaan model ijtihad ini hendaknya menumbuhkan rasa saling menghormati
dan menghargai antara sesama muslim dengan memandang perbadaan yang ada
sebagai rahmat dari Allah SWT.21

D. Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan
rumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan

21
Ansori, “PERBEDAAN METODE IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH DALAM CORAK FIKIH DI INDONESIA.” Hal 139.

9
dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirimuskan oleh Wahbah Zuhaili
sebagai berikut:22
a. Mengetahui makna ayat yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara
bahasa maupun secara istilah syara’. Tidak perlu dihafal cukup
mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk
mencarinya ketika dibutuhkan.
b. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.
Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-Qur’an. Menurut ibn Arabi
(w.543 H) hadis ahkam berjumlah 3.000 hadis, sedangkan menurut
riwayat dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi Wahbah Zuhaili
tidak sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti
seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar.
c. Mengetahui al-Qur’an dan Hadist yang telah dinasakh dan mengetahui
ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak
mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur’an dan hadis) yang tidak
berlaku lagi.
d. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma,
sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.23
e. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang
meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash,
maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya
mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
f. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu saraf, maani, bayan, dan uslub-
nya karena al-Qur’an dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh karena itu,
tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari
keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad
berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui

22
Oleh Dr. Jamaluddin, MA, “Al-IJITIHAD, AL-MUJTAHID, AL-ITTIBA’, FATWA,
AT-TAQLID DAN MASHADIR AL-AHKAM.”
23
Hasan, “IJTIHAD TIDAK MEMBATALKAN IJTIHAD YANG LAIN.”

10
cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat diharuskan untuk
mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh.
h. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena
pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada
maqasid syariah.
Syarat-syarat Mujtahid
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, syarat-
syarat untuk menjadi seorang mujtahid ada dua. pertama mengetahui syariat-
syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya, sehingga dapat
mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhiri sesuatu yang
harusnya diakhiri. Kedua, Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak
keadilannya.24
Lebih merinci, menurut Fakhir al Din Muhammad bin Umar bin Husain,
syarat-syarat Mujtahid adalah:
a. Mukallaf, karena hanya mukallah yang dapat melakukan penetapan
hukum.
b. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
c. Mengetahui keadaan Mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah larangan.
d. Mengetahui keadaan lafadz; apakah memiliki qarimah apa tidak.
e. Memahami tujuan-tujuan syara' (maqashid al syariah), yaitu dilaruriat
yang mencakup pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan
akal, pemeliharaan keturunan dan pemeliharaan harta.
f. Mampu melakukan penetapan hukum
g. Memahami Bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
h. Akhaqul karimah.25

BAB III
PENUTUP

24
Rafik et al., “IJTIHAD SEBAGAI USAHA KONSTRUKSI HUKUM ISLAM.”
25
“Deni Ariyanto, Tito Widyanto Cipta USHUL_FIQH_IJTIHAD.Pdf.”

11
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan
untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

12
Amrullah, Muh. Jazuli. “METODE IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM: Studi
Pemikiran K.H. Ali Yafie dan H. M. Atho’ Mudzhar.” Al-Mazaahib:
Jurnal Perbandingan Hukum 2, no. 2 (December 1, 2014).
https://doi.org/10.14421/al-mazaahib.v2i2.1371.
Ansori, Isa. “PERBEDAAN METODE IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH DALAM CORAK FIKIH DI INDONESIA” 4, no.
01 (2014).
Bay, Kaizal. “Metode Ijtihad Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirah,” no.
1 (2012).
Budiman, Muhazzir. “SEJARAH, METODE DAN IJTIHAD HUKUM ISLAM
PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.” SYARIAH: Journal of
Islamic Law 2, no. 2 (September 26, 2020): 11.
https://doi.org/10.22373/sy.v2i2.132.
“Deni Ariyanto, Tito Widyanto Cipta USHUL_FIQH_IJTIHAD.Pdf,” n.d.
Hasan, Abi. “IJTIHAD TIDAK MEMBATALKAN IJTIHAD YANG LAIN” 9,
no. 1 (2018).
“IJTIHAD Teori Dan Penerapannya Oleh Ahmad Badi .Pdf,” n.d.
“IJTIHAD_SEBAGAI_ALAT_PEMECAHAN_MASALAH_U.Pdf,” n.d.
Jafar, Usman. “IJTIHAD DAN URGENSINYA,” n.d.
Jamal, Ridwan. “MAQASHID AL-SYARI’AH DAN RELEVANSINYA
DALAM KONTEKS KEKINIAN.” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 8, no. 1
(June 22, 2016). https://doi.org/10.30984/as.v8i1.34.
“Konstruksi Penemuan Hukum Melalui Ijtihad.Pdf,” n.d.
Miswanto, Agus, and S Ag. “USHUL FIQH: METODE IJTIHAD HUKUM
ISLAM,” n.d.
Muslimin, Edy. “QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM,” n.d.
“Mustaring ‘“URGENSI IJTIHAD SAINTIFIK DALAM MENJAWAB
PROBLEMATIKA HUKUM TRANSAKSI KONTEMPORER”’.Pdf,”
n.d.
Naseh, Ahmad Hanany. “IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM,” n.d.
Nasir, Muhammad, and Ahlul Badri. “IJTIHAD DAN PENGEMBANGAN
HUKUM ISLAM DI ACEH,” n.d.
Oleh, Disusun. “Dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh II,” n.d.
Rafik, Abdur, Afif Syeikhul Akbar, Muhammad Nur Samadi, Muhammad Putra,
Kevin Septia Wardana, and Surya Al-Ahmed Hidayat. “IJTIHAD
SEBAGAI USAHA KONSTRUKSI HUKUM ISLAM” 1 (2023).
Saputra, Askar. “Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik,” May 6, 2018.
https://doi.org/10.5281/ZENODO.1242561.
Surono, Yudi, and Anita Anita. “Ijtihad Ra’yu Sahabat dalam Tafsir Al-Qur’an.”
Ar-Rusyd: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 1 (June 3, 2022): 41–58.
https://doi.org/10.61094/arrusyd.2830-2281.5.
Sya’bani, Akmaludin. “MAQASID AL-SYARI’AH SEBAGAI METODE
IJTIHAD,” n.d.
Wahyudi, Heri Fadli, and Fajar Fajar. “Metode Ijtihad Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia dan Aplikasinya dalam Fatwa.” Cakrawala: Jurnal Studi

13
Islam 13, no. 2 (December 28, 2018): 120–33.
https://doi.org/10.31603/cakrawala.v13i2.2402.

14

Anda mungkin juga menyukai