Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

IJTIHAD: ALAT PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM

“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam”
(Dosen Pengampu: Dr. Syarif Hidayat, M.A., M.Pd. Dan Dr. H. Dudung Rahmat
Hidayat, M.Pd.)

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Ma’iswati Hani 2005495
2. Susanti 2005544
3. Lilis Halimatusyadiyah 2005677
4. Geby Ramdani 2006913
5. Dian Pratiwi 2007085

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS TASIKMALAYA
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirobbil alamin, segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Nikmat, serta Karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul "Ijtihad:
Alat Pengembangan Hukum Islam".

Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan besar kita
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta pengikutnya sampai hari pembalasan.

Kami sangat berterimakasih kepada Bapak Dr. Syarif Hidayat, M.A., M.Pd. dan kepada
Bapak Dr. H. Dudung Rahmat Hidayat, M.Pd. yang telah memberikan kepercayaan
untuk membuat tugas ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik.

Kurang dan lebihnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan semoga tugas ini
dapat bermanfaat bagi kami semua. Aamiin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..… ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………..… 1

A. Latar Belakang ……………………………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….… 1

C. Tujuan ………………………………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………...… 3

A. Pengertian dan Urgensi Ijtihad ……………………………………………… 3

B. Syari'ah, Fikih, dan Hukum Islam ………………………………………..… 4

C. Sumber Hukum Islam dan Metode Ijtihad ……………………………...… 10

D. Perbedaan dalam Hukum Islam ………………………………………….…


11

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………….….


14

A. Penutup ………………………………………………………………………. 14

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….. 15

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad adalah usaha mujtahid (orang yang berijtihad) dengan segenap


kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum suatu
masalah dengan menggunakan metode yang benar dari dua sumber yaitu,
sumber hukum Al-Qur'an dan Sunnah.

Ijtihad muncul karena adanya masalah yang kontemporer dimana dalil tidak
membicarakannya secara khusus. Hal ini juga ditandai dengan perkembangan
dunia saat ini yang semakin maju dalam bidang teknologi, perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat dalam bidang kehidupan masyarakat, seperti
kedokteran, sosial, hukum serta ekonomi telah membawa pengaruh besar,
termasuk persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan masyarakat Islam.

Makalah ini bermaksud untuk membahas salah satu keilmuan Islam yaitu,
metode ijtihad sebagai alat pengembangan hukum Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad dan urgensi ijtihad?

2. Apa yang dimaksud dengan syari'ah, fikih, dan hukum Islam?

3. Apa saja sumber hukum Islam?

4. Bagaimana metode pengembangan hukum Islam ?

5. Apa saja perbedaan dalam hukum Islam ?

1
C. Tujuan

1. Untuk memahami pengertian ijtihad dan urgensi ijtihad menurut bahasa


dan istilah

2. Untuk memahami pengertian syariah, fikih, dan hukum Islam

3. Untuk memahami sumber hukum Islam dan metode ijtihad

4. Untuk memahami perbedaan dalam hukum Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Urgensi Ijtihad

1. Makna Ijtihad

Kata ijtihad menurut bahasa berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-


ijtihadam, yang berarti "berusaha dengan sungguh sungguh". Pengertian
ijtihad menurut bahasa menunjukan bahwa tidak semua usaha yang
dilakukan bisa disematkan pada kata ijtihad. Hanya usaha keras, berat,
dan yang sungguh sungguh lah yang masuk pada makna ijtihad.
Sebaliknya, usaha ringan, gampang, mudah, bisa dilakukan sambil lalu,
tidak bisa dinamakan ijtihad. Adapun ijtihad menurut istilah adalah
upaya maksimal seorang Mujtahid dalam menemukan hukum syara
yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari sumbernya, yaitu Al
Qur'an dan sunah. Maksud dari upaya maksimal adalah bahwa masalah
yang dihadapi adalah bukan masalah yang sederhana yang jawabannya
bisa ditemukan dengan mudah, akan tetapi masalah yang sulit, yang
jawabannya hanya bisa ditemukan setelah melakukan upaya maksimal,
upaya sungguh sungguh.

Mujtahid adalah orang yang memiliki kualifikasi tertentu sehingga


memiliki kemampuan untuk menggali pesan pesan dari Al Qur'an dan
Hadis. Kemampuan pertama yang harus dikuasai oleh seorang Mujtahid
adalah penguasaan bahasa yang cukup. Bahasa yang dimaksud tentu
bahasa Al Qur'an dan Hadis, yaitu bahasa Arab. Kedua, seorang
Mujtahid mengetahui ayat ayat dan hadis hadis hukum, terutama
berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Ketiga, seorang Mujtahid
harus memiliki penguasaan metode penemuan atau pengalian hukum
yang memadai sehingga ia bisa menggunakan metode metode tersebut
dengan tepat sesuai masalah yang dihadapi. Keempat, seorang Mujtahid
harus memahami masalah yang dihadapi

3
Simpulan dari uraian definisi baik secara bahasa maupun secara istilah
bahwa pembahasan istilah adalah upaya keras dalam menemukan aturan
berkenaan perbuatan manusia. Diluar perbuatan bukan merupakan objek
kajian ijtihad sehingga upaya untuk menemukannya tidak dinamakan
ijtihad dan pelakunya tidak dinamakan Mujtahid.

2. Urgensi Ijtihad

Al-Qur'an sudah berhenti turun dan Hadis sudah berhenti keluar sejak
Nabi Muhammad Saw wafat lebih empat belas abad lalu. Keduanya
diyakini sebagai pedoman hidup umat Islam dan berlaku untuk semua
waktu dan tepat. Sementara permasalahan yang dihadapi umat Islam
senantiasa bermunculan. Permasalahan tersebut tentu memerlukan
penjelasan terkait bagaimana kedudukannya menurut pandangan Al-
Qur'an dan Hadis. Sebagaimana yang telah dikemukakan, upaya untuk
menemukan hukum suatu masalah berdasar kepada Al-Qur'an dan hadis
dikenal dengan istilah ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad mutlak diperlukan
pada setiap masa

Persoalan kehidupan manusia ada yang dibahas dengan jelas di dalam


Al-Qur'an Hadis, tetapi banyak pula yang hanya berupa prinsip prinsip
umum saja sehingga dalam penentuan status hukumnya memerlukan
upaya sungguh sungguh orang yang memiliki kemampuan tertentu
(mujtahid)

B. Syari'ah, Fikih, dan Hukum Islam

1. Pengertian dan Kaitan Syari'ah, Fikih, dan Hukum Islam

Syari'ah menurut bahasa berasal dari syara'a-yasyra'u-syari'ah, yang


berarti sumber air yang dituju untuk diminum. Lalu kata ini digunakan
dalam arti al-tariqat al-mustaqimah, yang berarti jalan yang lurus (Al
Qattan, 1993:211). Dalam penggunaan keagamaan, syari'ah berarti jalan
besar untuk kehidupan yang baik, yakni nilai-nilai agama yang dapat
memberi petunjuk bagi setiap manusia. Pengertian bahasa ini sesuai

4
dengan petunjuk beberapa ayat Alquran, bahwa syari'ah identik dengan
agama, atau Din, atau Millah itu sendiri, yakni aturan atau tuntutan yang
diturunkan Allah swt. untuk kehidupan manusia yang meliputi aspek
akidah, hukum, dan akhlak. Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa
syari'ah adalah wahyu Allah swt. Itu sendiri yang dalam wujudnya
berupa nash Alquran dan Hadist Nabi yang benar-benar shahih dan tidak
ada keraguan.

Fikih menurut bahasa berarti paham. Sedangkan menurut istilah fikih


adalah kumpulan hukum Syara' yang bersifat perbuatan yang diperoleh
dari dalil-dalil yang tafsili (majmu'ah al-ahkam al-syar'iyyah al-
muta'alliqah bi af al al-mukallafin al-mutsanbitah min adillatiha al-
tafsiliyyah). Maksud dari hukum Syara’ adalah bahwa hukum itu
bersumber dari Syara’, yaitu Al-Qur’an dan Hadist, bukan hukum akal.
Namun bukan berarti bahwa dalam hukum Islam tidak ada peran Al-
Qur’an dan Hadist sendiri dipahami juga dengan menggunakan kekuatan
akal. Nass Al-Qur’an dan Hadist tidak berarti apa-apa kecuali setelah
dipahami oleh manusia dengan kemampuan akal mereka. Bersifat
perbuatan berarti hukum Islam berkenaan dengan perbuatan manusia,
bukan masalah keyakinan atau keimanan. Sedangkan yang dimaksud
dalil tafsili adalah nass Al-Qur’an dan hadist yang berkenaan dengan
perbuatan hukum. Dengan demikian Fikih merupakan pemahaman
terhadap Nash Al-Qur’an dan Hadits berkaitan dengan perbuatan
manusia yang tentu sudah tidak identik lagi dengan Nash itu sendiri.
Artinya kalau Nash ada jaminan kebenaran, maka pemahaman tidak.
Kalau pembuat syari'ah adalah Allah swt. Sedangkan penafsiran syari'ah
(faqih, mujtahid) adalah manusia dengan kemampuan akal yang
terbatas, di batasi ruang dan waktu sehingga nilai kebenarannya bersifat
relatif, tidak mutlak.

Istilah Hukum Islam harus diletakkan pada kedua konteks istilah


tersebut. Apakah hukum Islam itu syari'ah atau hukum Islam itu fiqih?

5
Dalam penggunaan, istilah hukum Islam lebih sering ditujukan untuk
arti fiqih daripada syari'ah, walau kehati-hatian harus tetap ada ketika
menyimak pembicaraan masalah ini. Pada pengertian fiqih, bahwa fiqih
adalah kumpulan tentang hukum Syara’. Hukum dalam pengertian ini
(menurut ulama fiqih), adalah asa al-khitab, artinya sesuatu yang
dipahami dari nass Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan menurut ulama
usul, hukum adalah titah Allah swt yang berkenaan dengan perbuatan
manusia (mukallaf), baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa syarat
(khitabullah ta'ala al-muta 'alliqu bi af al al-mukallafin iqtid 'an au
takhyiran au wad 'an) (Al Zuhaili, t.t.:1039). Dengan kata lain hukum
dalam pengertian ini adalah peraturan Allah SWT berkenaan dengan
perbuatan manusia. Misalnya, ayat Alquran surat Al-Baqarah ayat 183 :

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
(bertambah) taqwa”. (QS. Al-Baqarah/2:183)

Ayat di atas merupakan peraturan atau Titah atau Kitab Allah SWT
berupa tuntutan kepada orang yang beriman untuk melaksanakan puasa.
Menurut ulama usul, ayat puasa tersebut adalah hukum, sedangkan
menurut ulama fiqih, hukum puasa itu wajib adalah hukum. Contoh lain
adalah hadits Nabi Saw tentang minuman keras yang berbunyi : “ Setiap
yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr haram hukumnya”
(H.R. Muslim, XIII:301). Hadis ini merupakan peraturan atau khitab
Allah SWT melalui Nabi-Nya (karena hadis pada hakikatnya juga
berasal dari Allah SWT) berupa tuntutan untuk meninggalkan perbuatan
meminum minuman yang memabukkan. Hadis tersebut adalah hukum
dalam pandangan ulama usul, sedangkan hukum meminum khamr itu
haram merupakan hukum menurut pandangan ulama fiqih.

Disinilah pentingnya kehati-hatian saat membicarakan atau menyimak


mengenai hukum Islam, karena keduanya memiliki konsekuensi yang
berbeda. Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa, hukum Islam

6
bersifat normatif karena berkaitan dengan penilaian baik dan buruk.
Hukum Islam dan moral tidak bisa dipisahkan walaupun tetap ada
perbedaan prinsipil antara hukum Islam dan moral. Bahkan,
H.A.R.Gibb, seorang orientalis terkemuka, mengatakan bahwa hukum
Islam adalah sistem etika yang kontra dengan sebuah sistem hukum.
Sebagai buktinya yaitu klasifikasi dan kategori tindakan dalam hukum
Islam, yaitu wajib, Sunnah, haram, makruh, dan mubah yang mencakup
semua tindakan manusia bersifat moral, bukan Yuridis (Mas’ud,
1996:10-11).

2. Hukum Islam dan Perubahan Sosial

Hukum Islam diturunkan Allah SWT untuk mengatur perilaku umat


Islam dan menuntut mereka untuk mematuhinya. Tujuannya tidak lain
adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, baik sebagai pribadi maupun
dalam kehidupan sosial. Kebaikan (maslahah) merupakan tujuan utama
hukum Islam (as Salam, 1985 Vol II:9). Yang membedakan adalah
kebaikan yang dituju bukan hanya kebaikan di dunia, tetapi juga
kebaikan pada kehidupan selanjutnya. Tujuan ini tercermin dari doa
yang selalu dibaca oleh setiap muslim : “Rabbana aatina fi al-dunya
hasanah wa fi al-akhirati hasanah wa qina 'azaab al-narr” (QS. Al
Baqarah/2:201). Sesuai tujuannya, maka sanksi dalam hukum Islam pun
ada dua, yaitu sanksi di dunia dan sanksi di akhirat kelak.

Sanksi di dunia bermacam-macam sesuai dengan bentuk pelanggaran


yang dilakukan. Sebagai contoh, dalam kitab-kitab fikih disebutkan
bahwa pelaku pembunuhan dengan sengaja, dihukum dengan hukuman
mati kecuali keluarganya memaafkan, maka jika mereka memaafkan
mereka berhak meminta ganti rugi; pencuri (dengan syarat-syarat
tertentu) dihukum potong tanga; pezina yang sudah pernah menikah
dihukum rajam; tindak pidana yang tidak termasuk had dan qisas, maka
bentuk hukuman diserahkan pada hakim (ta’zir), wialayah hakim ta’zir
sangat luas, disini kreativitas dan kebijakan hakim serta penguasa sangat

7
besar, banyak kejahatan dan pelanggaran yang tidak disebutkan di dalam
Al-qur’an dan hadis atau sudah disebutkan tetapi belum ada sanksinya.
Hanya saja harus dicatat, penerapan hukum tersebut disyaratkan harus
dilakukan oleh orang atau lembaga yang berhak melakukannya. Atau
dengan kata lain harus dijatuhkan pemerintah yang memberlakukan
hukum tersebut (Sabiq, 2006:357). Semua bentuk hukuman tersebut
bertujuan untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan sehingga
perilaku menyimpang dari sebagian anggota masyarakat bisa
diminimalisir. Syari’at Islam datang, salah satunya untuk melakukan
perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Banyak contoh yang
bisa disebutkan dari ayat Al-qur’an, sebagai contoh hukuman dari
beberapa pelanggaran adalah berupa pembebasan seorang budak, seperti
pada kasus zihar. Para ulama menangkap tujuan dari hukuman ini
adalah dalam upaya penghapusan perbudakan yang memang pada masa
itu perbudakan dianggap biasa di hampir seluruh peradaban dunia. Di
Barat kesadaran untuk menghapuskan tradisi perbudakan ini baru
muncul beberapa abad kemudian.

Dalam sejarah perkembangan hukum islam dapat ditemukan banyak


contoh perubahan hukum yang dilakukan dalam upaya melakukan
perubahan sosial masyarakat. Sahabat Umar Bin Khattab ketika menjadi
khalifah banyak melakukan terobosan dalam hukum islam. Salah
satunya dalam masalah pemberian zakat bagi mu’allaf, seperti yang
dinyatakan dalam Qs. At-Taubah Ayat 60.

Pada masa sekarang terjadi perubahan dalam banyak lapangan hukum


Islam yang disebabkan oleh derasnya perubahan sosial budaya
masyarakat. Hukum Islam yang selama ini menjadi acuan, yang
merupakan produk para ulama beberapa abad sebelumnya, dalam
banyak hal sudah tidak atau kurang relevan dengan perkembangan
zaman. Oleh karena itulah para ulama yang prihatin dengan
permasalahan hukum islam melakukan langkah-langkah pembaharuan.

8
Sejak negara-negara berpenduduk mayoritas muslim merdeka dari
tangan penjajah muncul upaya-upaya penyusunan hukum undang-
undang keluarga ynag di dalamnya memuat ide-ide pembaharuan,
seperti masalah pencatatan perkawinan, pembatasan usia perkawinan,
pembatasan poligami, dan lain lain (Tahir Mahmood, Family Law
Reform). Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar,
menetapkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
(Perjalanan penyusunan undang-undang ini sangat lama, yaitu sejak
sebelum kemerdekaan. Hal ini karena terjadi tarik-menarik antar
kelompok agama dan kepentingan sehingga memberi nuansa politik
yang cukup besar dalam proses penetapannya). Dalam bidang
perwakafan, Indonesia mengeluarkan undang-undang Wakaf Nomor 41
Tahun 2004. Undang-undang ini mengusung paradigma baru wakaf di
Indonesia (Djunaidi, 2006). Pasal 5 undang-undang ini menyatakan
bahwa wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Sedangkan pada penjelasan umum Undang-
Undang ini menyatakan bahwa peraturan mengenai perwakafan, selain
memuat peraturan yang ada pada peraturan sebelumnya juga terdapat
berbagai pokok peraturan baru diantaranya poin tiga menyatakan :
“Peruntukan harta wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana
ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan
kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi ekonomi harta
benda wakaf.” Kedua macam produk perundang-undangan ini, hukum
keluarga dan hukum wakaf, jelas membawa misi untuk merubah kondisi
sosial yang ada ke arah yang lebih baik yang dikehendaki oleh undang –
undang. Sehingga kedua bentuk hukum itu berfungsi sebagai social
engineering atau rekayasa sosial.

9
C. Sumber Hukum Islam dan Metode Ijtihad

1. Sumber Hukum Islam

Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sebelum ini, bahwa


sumber hukum Islam ada dua, yaitu Alquran dan hadist. Oleh karena itu
untuk mengetahui posisi hukum suatu perbuatan maka harus dicari
dalam Alquran dan hadist. Orang yang memiliki kemampuan tertentu
untuk menggali hukum dari Alquran dan hadis dinamakan mujtahid.
Sedangkan proses menggali hukum dan dari keduanya dinamakan
ijtihad. Seorang mujtahid ketika melakukan ijtihad dalam menggali
hukum Islam menggunakan metode tertentu yang masing-masing
metode itu digunakan sesuai dengan kebutuhan dan kecocokan masalah
yang dihadapi.

2. Metode Pengembangan Hukum Islam

Metode penggalian hukum Islam yang biasa digunakan oleh para ulama
adalah qiyas, istihsan, istislah, itishab, al-zara'i, 'urf dan qaul shahabi.
Qiyas adalah membandingkan suatu perbuatan hukum yang belum ada
ketentuan hukumnya secara jelas dalam Alquran dan hadis dengan suatu
perbuatan hukum yang sudah ada ketentuan hukumnya secara jelas
karena adanya persamaan 'illat, seperti membandingkan hukum
meminum vodka dengan hukum meminum khamr karena adanya
persamaan 'illat yaitu memabukkan karena hukum meminum khamr
adalah haram, maka hukum meminum vodka pun haram.
Istihsan adalah berpaling dari petunjuk hukum yang jelas kepada
petunjuk hukum yang kurang jelas karena adanya petunjuk lain yang
menguatkannya, seperti pembayaran jasa toilet umum. Dalam prinsip
transaksi agama Islam terdapat keharusan adanya kejelasan objek
transaksi dari jumlah dan ukurannya, jika objek transaksi tidak jelas

10
maka transaksi bisa dianggap batal sehingga tidak memiliki akibat
hukum apapun. Sementara dalam penggunaan jasa toilet umum terdapat
ketidakjelasan dari segi banyaknya air yang digunakan dan lamanya
waktu penggunaan toilet. Berdasarkan petunjuk hukum yang jelas jika
penggunaan toilet diqiyaskan kepada jual beli, maka harus jelas berapa
gayung air yang dipakai sementara jika diqiyaskan kepada sewa-
menyewa maka harus jelas berapa lama waktu yang digunakan di dalam
toilet. Tentu akan ditemukan kesulitan jika tetap diharuskan adanya
kejelasan transaksi itu sementara praktek seperti itu sudah umum
dilakukan dan masyarakat memerlukanya, serta selama ini tidak
menemukan persoalan. Oleh karena itu, berdasarkan metode istihsan bil
'urfi (Istihsan berdasarkan kebiasaan) maka praktek pengguna jasa toilet
umum seperti itu dibolehkan. Metode seperti ini bisa diterapkan dalam
kamus pembayaran SPP mahasiswa atau pembayaran gaji dosen dan
karyawan.
Istishab adalah meneruskan hukum yang ada sebelum ditemukan
petunjuk kepada hukum yang baru. Contoh Ketika seseorang akan
melaksanakan shalat Isya, ia ragu apakah ia batal atau tidak dari
wudhunya yang ia lakukan ketika ia melaksanakan shalat magrib. Pada
saat menghadapi situasi ragu seperti itu ia diarahkan untuk
mengembalikan kepada situasi terakhir yang ia pastikan tidak ragu yaitu
ia punya wudhu pada saat melaksanakan salat magrib. Saat itu pula ia
pastikan tidak ragu lagi bahwa ia memiliki wudhu lalu melaksanakan
salat Isya

D. Perbedaan dalam Hukum Islam

1. Perbedaan Sebagai Sunnatullah

Keragaman muncul pada semua bidang kehidupan. Keragaman muncul


pada semua agama. Keragaman muncul pada semua cabang ilmu.
Ragam dapat muncul pada banyak persoalan dalam kajian keilmuan.
Demikian juga keragaman muncul dalam bidang hukum Islam dalam

11
dengan muncul banyak mazhab. Ragam pendapat muncul pada banyak
persoalan hukum Islam. Hal ini terjadi karena perbedaan merupakan
salah satu sunnatullah, Allah swt yang menciptakan semua ini dengan
beragam.

2. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat

a. Beragam Arti Dalam Lafaz Bahasa Arab

Sebagai contoh firman Allah swt. dalam Q.S Al-Baqarah ayat


228
‫َّصنَ بِا َ ۡنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ۡ ُٓوء‬ ُ ‫َو ۡال ُمطَلَّ ٰق‬
ۡ ‫ت يَتَ َر ب‬
Berdasarkan ayat tersebut para ulama tentang masa iddah bagi
wanita yang ditalak oleh suaminya sementara haidnya aktif.
Ulama Syafi'iyyah mengatakan bahwa iddah bagi wanita yang
diceraikan suaminya dan aktif adalah 3 kali suci, sedangkan
menurut ulama Hanafiyah iddah bagi wanita yang diceraikan
suaminya dan haidnya aktif adalah 3 kali haid. Hal ini karena
dalam bahasa Arab lafaz quru pada ayat di atas mempunyai dua
arti yang berlawanan, yaitu arti suci dan arti haid.
Contoh yang lain, perbedaan pendapat ulama dalam memahami
dalam Q.S Al-Maidah ayat 6
ْ ‫َواُ ْم َسح‬
‫ُوابِ ُر ُءو ِس ُك ْم‬
Menurut ulama Malikiyah, wajib mengusap kepala dalam wudhu.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah hanya wajib seperempat
kepala saja. Sementara menurut ulama Syafi'iyah, cukup
mengusap sebagian dari kepala walaupun sedikit. Karena berbeda
dan memahami makna huruf ba pada ayat diatas.

b. Perbedaan Dalam Masalah Hadis

Ada hadist-hadist yang sampai kepada satu ulama dan tidak


sampai kepada ulama yang lain, ada hadis yang dipandang kuat
oleh seorang ulama dan dipandang lemah oleh ulama yang lain,

12
dan ada hadist yang diterima oleh seorang ulama dengan sanad
yang kuat dan diterima oleh ulama yang lain dengan sanad yang
lemah.

c. Perbedaan Dalam Masalah Penggunaan Metode Penggalian


Hukum

Ada ulama yang menggunakan istihsan dalam ijtihad dan ada


ulama yang tidak setuju penggunaan istihsan dalam berijtihad ada
ulama yang lebih mengutamakan maslahah sementara ulama
yang lain tidak dan sebagainya.

3. Sikap Terhadap Perbedaan

Sebagaimana dikemukakan dimuka, bahwa perbedaan merupakan


sunnatullah. Oleh karena itu upaya untuk membuat umat Islam seragam
dalam semua hal merupakan upaya yang tidak realistis. Langkah yang
diambil adalah upaya mengembangkan sikap saling menghormati
toleransi dan menghargai antar sesama muslim yang memiliki pendapat
dan praktek keagamaan yang berbeda.

13
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Pengertian ijtihad menurut bahasa berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-


ijtihadam, yang berarti "berusaha dengan sungguh-sungguh".

Ijtihad menurut istilah adalah usaha mujtahid dengan segenap kesungguhan dan
kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum suatu masalah dengan
metode yang benar dari dua sumber yaitu, Al-Qur'an dan Sunnah.

Sumber hukum Islam yaitu, Al-Qur'an dan Hadis. Sedangkan metode


pengembangan hukum Islam adalah ijma', qiyas, istihsan, istishab, istislah, sazz
al-zara'i, dan 'urf. Hukum berijtihad adalah wajib ain dan wajib kifayah.

Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat yaitu, beragam arti dalam lafaz


bahasa Arab, oerbedaan dalam masalah Hadis, dan dalam penggunaan metode
penggalian hukum. Upaya yang perlu dikembangkan adalah pembentukan sikap
saling hormat menghormati dan menghargai sikap dan praktek keagamaan di
masyarakat.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abu Faris, Muhammad ‘Abd al-Qadir. 1986. Al-Nizam al-Siyasi fi al-Islam, ‘Amman
al-Urdun: Dar al-Furqan.

Atho Mudzhar, H.M. (1998), Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Azra, Azyumardi, (2000). Pendidikan Islam, Jakarta: Logos.

Harun Nasutian, (1989), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun
Nasution, Bandung: Mizan

Mahmud Syaltut, (1966) Al-Islam Akidah wa Syariah, Daarul Qalam.

Al-Nahlawi, Abdurrahman. (1989). Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam.


terjemahan Herry Noer Ali, Bandung: CV Diponegoro.

Qardawi, Yusuf. 1997. Fiqih Negara, terjemahan Syafil Halim, Jakarta: Robbani Pres.

Zahroh, Muhammad Abu (tanpa tahun), Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kairo.

Al-Zuhaili, Wahbah, t.t., Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh,

15

Anda mungkin juga menyukai