“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam”
(Dosen Pengampu: Dr. Syarif Hidayat, M.A., M.Pd. Dan Dr. H. Dudung Rahmat
Hidayat, M.Pd.)
Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Ma’iswati Hani 2005495
2. Susanti 2005544
3. Lilis Halimatusyadiyah 2005677
4. Geby Ramdani 2006913
5. Dian Pratiwi 2007085
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS TASIKMALAYA
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirobbil alamin, segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Nikmat, serta Karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul "Ijtihad:
Alat Pengembangan Hukum Islam".
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan besar kita
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta pengikutnya sampai hari pembalasan.
Kami sangat berterimakasih kepada Bapak Dr. Syarif Hidayat, M.A., M.Pd. dan kepada
Bapak Dr. H. Dudung Rahmat Hidayat, M.Pd. yang telah memberikan kepercayaan
untuk membuat tugas ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik.
Kurang dan lebihnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan semoga tugas ini
dapat bermanfaat bagi kami semua. Aamiin.
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan ………………………………………………………………………… 2
A. Penutup ………………………………………………………………………. 14
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad muncul karena adanya masalah yang kontemporer dimana dalil tidak
membicarakannya secara khusus. Hal ini juga ditandai dengan perkembangan
dunia saat ini yang semakin maju dalam bidang teknologi, perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat dalam bidang kehidupan masyarakat, seperti
kedokteran, sosial, hukum serta ekonomi telah membawa pengaruh besar,
termasuk persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan masyarakat Islam.
Makalah ini bermaksud untuk membahas salah satu keilmuan Islam yaitu,
metode ijtihad sebagai alat pengembangan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Makna Ijtihad
3
Simpulan dari uraian definisi baik secara bahasa maupun secara istilah
bahwa pembahasan istilah adalah upaya keras dalam menemukan aturan
berkenaan perbuatan manusia. Diluar perbuatan bukan merupakan objek
kajian ijtihad sehingga upaya untuk menemukannya tidak dinamakan
ijtihad dan pelakunya tidak dinamakan Mujtahid.
2. Urgensi Ijtihad
Al-Qur'an sudah berhenti turun dan Hadis sudah berhenti keluar sejak
Nabi Muhammad Saw wafat lebih empat belas abad lalu. Keduanya
diyakini sebagai pedoman hidup umat Islam dan berlaku untuk semua
waktu dan tepat. Sementara permasalahan yang dihadapi umat Islam
senantiasa bermunculan. Permasalahan tersebut tentu memerlukan
penjelasan terkait bagaimana kedudukannya menurut pandangan Al-
Qur'an dan Hadis. Sebagaimana yang telah dikemukakan, upaya untuk
menemukan hukum suatu masalah berdasar kepada Al-Qur'an dan hadis
dikenal dengan istilah ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad mutlak diperlukan
pada setiap masa
4
dengan petunjuk beberapa ayat Alquran, bahwa syari'ah identik dengan
agama, atau Din, atau Millah itu sendiri, yakni aturan atau tuntutan yang
diturunkan Allah swt. untuk kehidupan manusia yang meliputi aspek
akidah, hukum, dan akhlak. Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa
syari'ah adalah wahyu Allah swt. Itu sendiri yang dalam wujudnya
berupa nash Alquran dan Hadist Nabi yang benar-benar shahih dan tidak
ada keraguan.
5
Dalam penggunaan, istilah hukum Islam lebih sering ditujukan untuk
arti fiqih daripada syari'ah, walau kehati-hatian harus tetap ada ketika
menyimak pembicaraan masalah ini. Pada pengertian fiqih, bahwa fiqih
adalah kumpulan tentang hukum Syara’. Hukum dalam pengertian ini
(menurut ulama fiqih), adalah asa al-khitab, artinya sesuatu yang
dipahami dari nass Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan menurut ulama
usul, hukum adalah titah Allah swt yang berkenaan dengan perbuatan
manusia (mukallaf), baik berupa tuntutan, pilihan, atau berupa syarat
(khitabullah ta'ala al-muta 'alliqu bi af al al-mukallafin iqtid 'an au
takhyiran au wad 'an) (Al Zuhaili, t.t.:1039). Dengan kata lain hukum
dalam pengertian ini adalah peraturan Allah SWT berkenaan dengan
perbuatan manusia. Misalnya, ayat Alquran surat Al-Baqarah ayat 183 :
Ayat di atas merupakan peraturan atau Titah atau Kitab Allah SWT
berupa tuntutan kepada orang yang beriman untuk melaksanakan puasa.
Menurut ulama usul, ayat puasa tersebut adalah hukum, sedangkan
menurut ulama fiqih, hukum puasa itu wajib adalah hukum. Contoh lain
adalah hadits Nabi Saw tentang minuman keras yang berbunyi : “ Setiap
yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr haram hukumnya”
(H.R. Muslim, XIII:301). Hadis ini merupakan peraturan atau khitab
Allah SWT melalui Nabi-Nya (karena hadis pada hakikatnya juga
berasal dari Allah SWT) berupa tuntutan untuk meninggalkan perbuatan
meminum minuman yang memabukkan. Hadis tersebut adalah hukum
dalam pandangan ulama usul, sedangkan hukum meminum khamr itu
haram merupakan hukum menurut pandangan ulama fiqih.
6
bersifat normatif karena berkaitan dengan penilaian baik dan buruk.
Hukum Islam dan moral tidak bisa dipisahkan walaupun tetap ada
perbedaan prinsipil antara hukum Islam dan moral. Bahkan,
H.A.R.Gibb, seorang orientalis terkemuka, mengatakan bahwa hukum
Islam adalah sistem etika yang kontra dengan sebuah sistem hukum.
Sebagai buktinya yaitu klasifikasi dan kategori tindakan dalam hukum
Islam, yaitu wajib, Sunnah, haram, makruh, dan mubah yang mencakup
semua tindakan manusia bersifat moral, bukan Yuridis (Mas’ud,
1996:10-11).
7
besar, banyak kejahatan dan pelanggaran yang tidak disebutkan di dalam
Al-qur’an dan hadis atau sudah disebutkan tetapi belum ada sanksinya.
Hanya saja harus dicatat, penerapan hukum tersebut disyaratkan harus
dilakukan oleh orang atau lembaga yang berhak melakukannya. Atau
dengan kata lain harus dijatuhkan pemerintah yang memberlakukan
hukum tersebut (Sabiq, 2006:357). Semua bentuk hukuman tersebut
bertujuan untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan sehingga
perilaku menyimpang dari sebagian anggota masyarakat bisa
diminimalisir. Syari’at Islam datang, salah satunya untuk melakukan
perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Banyak contoh yang
bisa disebutkan dari ayat Al-qur’an, sebagai contoh hukuman dari
beberapa pelanggaran adalah berupa pembebasan seorang budak, seperti
pada kasus zihar. Para ulama menangkap tujuan dari hukuman ini
adalah dalam upaya penghapusan perbudakan yang memang pada masa
itu perbudakan dianggap biasa di hampir seluruh peradaban dunia. Di
Barat kesadaran untuk menghapuskan tradisi perbudakan ini baru
muncul beberapa abad kemudian.
8
Sejak negara-negara berpenduduk mayoritas muslim merdeka dari
tangan penjajah muncul upaya-upaya penyusunan hukum undang-
undang keluarga ynag di dalamnya memuat ide-ide pembaharuan,
seperti masalah pencatatan perkawinan, pembatasan usia perkawinan,
pembatasan poligami, dan lain lain (Tahir Mahmood, Family Law
Reform). Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar,
menetapkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
(Perjalanan penyusunan undang-undang ini sangat lama, yaitu sejak
sebelum kemerdekaan. Hal ini karena terjadi tarik-menarik antar
kelompok agama dan kepentingan sehingga memberi nuansa politik
yang cukup besar dalam proses penetapannya). Dalam bidang
perwakafan, Indonesia mengeluarkan undang-undang Wakaf Nomor 41
Tahun 2004. Undang-undang ini mengusung paradigma baru wakaf di
Indonesia (Djunaidi, 2006). Pasal 5 undang-undang ini menyatakan
bahwa wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Sedangkan pada penjelasan umum Undang-
Undang ini menyatakan bahwa peraturan mengenai perwakafan, selain
memuat peraturan yang ada pada peraturan sebelumnya juga terdapat
berbagai pokok peraturan baru diantaranya poin tiga menyatakan :
“Peruntukan harta wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana
ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan
kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi ekonomi harta
benda wakaf.” Kedua macam produk perundang-undangan ini, hukum
keluarga dan hukum wakaf, jelas membawa misi untuk merubah kondisi
sosial yang ada ke arah yang lebih baik yang dikehendaki oleh undang –
undang. Sehingga kedua bentuk hukum itu berfungsi sebagai social
engineering atau rekayasa sosial.
9
C. Sumber Hukum Islam dan Metode Ijtihad
Metode penggalian hukum Islam yang biasa digunakan oleh para ulama
adalah qiyas, istihsan, istislah, itishab, al-zara'i, 'urf dan qaul shahabi.
Qiyas adalah membandingkan suatu perbuatan hukum yang belum ada
ketentuan hukumnya secara jelas dalam Alquran dan hadis dengan suatu
perbuatan hukum yang sudah ada ketentuan hukumnya secara jelas
karena adanya persamaan 'illat, seperti membandingkan hukum
meminum vodka dengan hukum meminum khamr karena adanya
persamaan 'illat yaitu memabukkan karena hukum meminum khamr
adalah haram, maka hukum meminum vodka pun haram.
Istihsan adalah berpaling dari petunjuk hukum yang jelas kepada
petunjuk hukum yang kurang jelas karena adanya petunjuk lain yang
menguatkannya, seperti pembayaran jasa toilet umum. Dalam prinsip
transaksi agama Islam terdapat keharusan adanya kejelasan objek
transaksi dari jumlah dan ukurannya, jika objek transaksi tidak jelas
10
maka transaksi bisa dianggap batal sehingga tidak memiliki akibat
hukum apapun. Sementara dalam penggunaan jasa toilet umum terdapat
ketidakjelasan dari segi banyaknya air yang digunakan dan lamanya
waktu penggunaan toilet. Berdasarkan petunjuk hukum yang jelas jika
penggunaan toilet diqiyaskan kepada jual beli, maka harus jelas berapa
gayung air yang dipakai sementara jika diqiyaskan kepada sewa-
menyewa maka harus jelas berapa lama waktu yang digunakan di dalam
toilet. Tentu akan ditemukan kesulitan jika tetap diharuskan adanya
kejelasan transaksi itu sementara praktek seperti itu sudah umum
dilakukan dan masyarakat memerlukanya, serta selama ini tidak
menemukan persoalan. Oleh karena itu, berdasarkan metode istihsan bil
'urfi (Istihsan berdasarkan kebiasaan) maka praktek pengguna jasa toilet
umum seperti itu dibolehkan. Metode seperti ini bisa diterapkan dalam
kamus pembayaran SPP mahasiswa atau pembayaran gaji dosen dan
karyawan.
Istishab adalah meneruskan hukum yang ada sebelum ditemukan
petunjuk kepada hukum yang baru. Contoh Ketika seseorang akan
melaksanakan shalat Isya, ia ragu apakah ia batal atau tidak dari
wudhunya yang ia lakukan ketika ia melaksanakan shalat magrib. Pada
saat menghadapi situasi ragu seperti itu ia diarahkan untuk
mengembalikan kepada situasi terakhir yang ia pastikan tidak ragu yaitu
ia punya wudhu pada saat melaksanakan salat magrib. Saat itu pula ia
pastikan tidak ragu lagi bahwa ia memiliki wudhu lalu melaksanakan
salat Isya
11
dengan muncul banyak mazhab. Ragam pendapat muncul pada banyak
persoalan hukum Islam. Hal ini terjadi karena perbedaan merupakan
salah satu sunnatullah, Allah swt yang menciptakan semua ini dengan
beragam.
12
dan ada hadist yang diterima oleh seorang ulama dengan sanad
yang kuat dan diterima oleh ulama yang lain dengan sanad yang
lemah.
13
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Ijtihad menurut istilah adalah usaha mujtahid dengan segenap kesungguhan dan
kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum suatu masalah dengan
metode yang benar dari dua sumber yaitu, Al-Qur'an dan Sunnah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abu Faris, Muhammad ‘Abd al-Qadir. 1986. Al-Nizam al-Siyasi fi al-Islam, ‘Amman
al-Urdun: Dar al-Furqan.
Atho Mudzhar, H.M. (1998), Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Harun Nasutian, (1989), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun
Nasution, Bandung: Mizan
Qardawi, Yusuf. 1997. Fiqih Negara, terjemahan Syafil Halim, Jakarta: Robbani Pres.
Zahroh, Muhammad Abu (tanpa tahun), Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kairo.
15