Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TENTANG KEHARUSAN IJTIHAD

MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Disusun Oleh :
Kelompok

1.Muhamad Rodi : 2324.01.04.0049


2.Muhammad Riziq Akbar : 2324.01.04.0050
3.Nurull Aisah : 2324.01.04.0051

Dosen Pengampu :
Hasan Hariri, S.Pd.I.,

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN


SOSIAL
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
AL AMIN INDRAMAYU
2023

Halaman 1 dari 10
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang "KEHARUSAN IJTIHAD" ini.
Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata
kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah
Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh
dalam ajaran beliau.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan
dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala
bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat
bernilai ibadah di sisi Allah Subhana hu wa Ta ala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri.

Halaman 2 dari 10
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................................2
Daftar isi...................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................4
C. Tujuan dan Manfaat......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad..........................................................................................................5
B. Urgensi dan kedudukan Ijtihad.....................................................................................6
C. Masalah-masalah yang diIjtihadkan. ............................................................................7
D. Penyebab terjadinya perbedaan hasil Ijtihad.................................................................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................9
B. Saran dan Kritikan .......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10

Halaman 3 dari 10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari
wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama
adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan
hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata.
Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang
mengatur umat Islam dalam keseluruhan aspek kehidupan, baik menyangkut penyembahan
dan ritual, politik. pendidikan, ekonomi dan hukum.
Pada umumnya sumber hukum Islam ada dua, yaitu: Al-Quran dan Hadist, namun ada
juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan
suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur'an maupun Hadist. Namun
demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian tentang Ijtihad
2. Bagaimana urgensi dan kedudukan ijtihad
3. Masalah-masalah yang diijtihadkan
4. Sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan hasil ijtihad

C.Tujuan dan Manfaat


Tujuan :
1. Untuk mengetahui pengertian tentang Ijtihad
2. Agar kita mengetahui Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
3. Untuk memahami Masalah-masalahyang diijtihadkan
4. Agar mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan hasil ijtihad
Manfaat :
1. Kita bisa memahami apa arti dari Ijtihad
2. Kita bisa memahami Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
3. Kita bisa mengetahui Maslah-masalah apa saja yang dapat diijtihadkan
4. Kita bisa mengetahui apa saja yang menyebabkan perbedaan dari hasil ijtihad

Halaman 4 dari 10
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal dari kata "Ijtahada-yujtahidu-ijtihadan" yang berarti mengerahkan
segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-
sungguh dalam mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap
tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum (yang sulit),
dan dalam praktiknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan. Oleh karena itu,
tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara
terminologi, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat
melalui metode tertentu.
Namun dalam Al-Qur'an kata "jahda" sebagaimana dalam QS 16:38, 24:53, 35:42.
Semuanya mengandung arti "Badzlu Al-Wus’I Wa Al-Thoqoti" (pengarahan segala
kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti "Al-Mubalaghah fil al-yamin" (berlebih-lebih
dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengarahan segala kesanggupan dan
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.
Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash undang-undang ataupun dengan
mengistinbathkan hukum yang wajib diterapkan di waktu tak ada nash.
Kemudian di kalangan para ulama perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian
usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang
hukum- hukum syariat. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan istimbath
hukum syar'iyyah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syariat. (Dr. Wahbah Az-
Zuhailiy, h. 529).
Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy (Dr. Wahbah 591) mendefinisikan
ijtihad itu dengan "usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh
di dalam rangka mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari'ah. Ada pula yang
mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam al-mustashfa (II/4
pendapat itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umu daripada
qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keilmuan dan lafadz-lafadz yang
pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi'i sendiri
menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.
Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan
dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat kepada benar.
dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:
“Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk
mendapatkan Zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”.

Halaman 5 dari 10
Abdul Wahab Khalaf menerangkan bahwa ijtihad meliputi pengarahan segenap
kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara' yang tidak ada nasnya, disebabkan dengan
(al- ijtihad bi al-ra yi).
Ijtihad bi al-ra 'yi merupakan suatu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi:
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nash yang dhanni dalalahnya.
Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash Al-
Qur'an dan Hadis.
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syari amali (furu'iyah) dengan cara menetapkan
qaidah syari'iyah kulliyah.
3. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara' amali tentang masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan "ijtihad bi al-ra yi”.

B. Urgensi dan Kedudukan Ijtihad


Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua bidang hukum
syari'ah, asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kriteria seseorang mujtahid. Masalah-
masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni
hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur'an maupun Hadist. Para ulama' membagi
hukum melakukan ijtihad menjadi 3 bagian yaitu:
1. Wajib 'ain, bagi orang yang diminta fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang
terjadi, dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya.
Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, bagi orang yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan lenyap
peristiwa itu. sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya. Maka apabila
kesempatan mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua, tetapi bila
ada seorang dan mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad
atas diri mereka.
3. Sunnah, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak
terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad, karna
dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam dan mengoreksi kekeliruan dan kekhilafan
dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad merupakan upaya pembaharuan hukum Islam.
Sebagaimana ungkapan Abu Bakar al-Baqilani bahwa setiap periode memiliki ciri tersendiri
sehingga menentukan perubahan hukum. Sedangkan Ibnu Hajib mengatakan bahwa ijtihad
harus merujuk pada aspek-aspek pembaharuan terhadap masalah yang belum pernah
disinggung oleh ulama terdahulu, sedangkan masalah yang sudah diijtihadi pada masa lalu
tidak perlu diperbaharui. Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini di
setiap penghujung periode (seratus tahun) seseorang yang mempengaruhi agamanya ".
Meskipun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaharuan bagi ijtihad yang
lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama, bahkan
sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama, hal itu
seiring dengan kaidah faqhiyah "al-ijtihadu ia yangudlu bi al-ijtihadi" (ijtihad tidak dapat
dibatalkan dengan ijtihad pula).

Halaman 6 dari 10
Selanjutnya, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yaitu:
1. Fungsi al-Ruju’(kembali), mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada Al-Qur'an dan
Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2. Fungsi al-Ihy! (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan
semangat islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah dijtihad
oleh ulama' terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman
dan kondisi yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga Jumhur Ulama menunjukkan ijtihad
menjadi hujah dalam menetapkan hukum berdasarkan Firman Allah surat an-Nisa' 59 "jika
kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan
Rasul-Nya".
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:
1. Bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut
Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diljtihadkan.
2. Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hal ijtihad yang cocok
jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya
maka dikategorikan salah.

C. Masalah-masalah yang diijtihadkan


Dalam pandangan para ulama' salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah
fiqhiyah, akan tetapi pada akhirnya, wilayah tersebut berkembang pada berbagai aspek
keislaman yang meliputi: Aqidah, Filsafat. Tasawuf dan Fiqh. Sebagaimana diungkapkan oleh
imam Syafi'i: "bila ada hadis shahih maka buanglah pendapatku yang mengikat dan
benarkanlah Hadis itu". Imam Ahmad berkata: "Menurutku, perkara yang paling baik bagi
Asy Syafi'i adalah jika ia mendengarkan Hadis belum diterima kemudian ia merujuk Hadis
itu dan menyebarkan pendapatnya”.
Kaitannya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi obyek
ijtihad. Hal-ha yang tidak boleh diijtihadkan antara lain:
a.Masalah qoth ‘iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang
pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli. Hukum qoth'iyah sudah pasti keberlakuannya
sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dam modifikasi serta tidak ada
peluang mengistibathkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban shalat, puasa, zakat
dan haji, untuk masalah tersebut Al-Qur'an telah mengaturnya dengan dalil yang sharih
(tegas). Demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihadnya
berlawanan dengan nash.
b. Masalah-masalah yang telah diijma'kan oleh ulama' mujtahidin dari suatu masa, demikian
pula lapangan hukum yang bersifat ta'abbudi ( ghairu ma'qulil makna) dimana kualitas illat
hukumnya tidak dapat dicerna dan diketahui oleh akal mujtahid.

Halaman 7 dari 10
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah dzanniyah, yaitu
masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan adanya
wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.
Masalah dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. analisa para teolog, yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan
seseorang. Seperti apakah Allah itu wajib berkehendak baik itu lebih baik? Sebagian
ahli ilmu kalam (teolog) mewajibkannya, karna dengan demikian Allah itu Maha
Suci, sedangkan yang lainnya tidak mewajibkannya, karna hal itu membatasi
kekuasaan Allah.
2. Aspek amaliayah yang dzanni, yalitu masalah yang belum ditentukan kabar dan
kriterianya dalam nash. Contoh: batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan
mahram, sebagian berpendapat sekali susuan, dan yang 3 kali bahkan yang 10 kali
susuan dan lain-lain. Pembagian tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad
hanya sebatas pada masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian
dikenal dengan istilah masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak
disinggung oleh Al-Qur'an, Sunnah maupun Ijma'. Hal ini merupakan masalah baru
dan hukum baru. Dengan demikian apabila ijtihad ini bertentangan dengan nash maka
ijtihad itu batal, karena tidak ada ijtihad terhadap nash

D. Penyebab Terjadinya Perbedaan Ijtihad


Beberapa hal yang dapat menyebabkan perbedaan ijtihad, sebab pertama yaitu berbeda
dalam memahami nash dan dalam menyusun metode ijtihad yang didasari sosio-kultural dan
geografis mujtahid adapun sebab pertama itu adalah:
1. Karena perbedaan dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam
Al-Quran maupun Hadist. Misalkan saja, dalam Al-Qur'an terdapat kata quru,.
Sebagian ulama ada yang mengartikan haidh dan sebagian yang lain ada yang
mengartikan suci.
2. Berbeda tanggapan terhadap Hadist. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat
dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan
sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Sehingga, ada
beberapa ulama' yang berbeda dalam mengkategorikan bahwa suatu Hadist tersebut
dimasukkan ke dalam hadits shohih, hasan, maupun dho'if. Konsekuensinya,
kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.
3. Berbeda tanggapan tentang ta'arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih
(menguatkan satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan mansukh,
tentang pentakwilan, dan lain sebagainya.
4. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid mengenai ilat
(‘illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya
perbedaan hasil ijtihad.
Dari beberapa sebab perbedaan diatas pada prinsipnya disebabkan karena berbeda dalam
memahami nash dan metode pengambilan hukum yang dikarenakan sosio-kultural dan
geografisnya...

Halaman 8 dari 10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum
karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum
Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma, qiyas,
dan maslahah mursalah.
Syarat-syarat menjadi mujtahid itu ada tiga syarat, yakni yang bersifat umum, utama,
maupun pendukung. Dalam buku ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum
berijtihad, yakni wajib ain, wajib kifayah, sunnah, dan haram. Eksistensi mujtahid sepanjang
masa dari masa Rasulullah SAW. sampai sekarang tidak bisa diragukan lagi. Stratifikasi
mujtahid yakni: Mujtahid muthlaq atau mustaqil, Mujtahid muntasib, Mujtahid madzab dan
Mujtahid murajjih.
Sejak dulu hingga sekarang ijtihad senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus
yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al-qur'an dan as-sunnah. Ada beberapa
tingkatan dalam mujtahid antara lain: Mujtahid fi al-syar'i. Mujtahid fi al-mazhab, Mujtahid
fi al-masa il, dan Mujtahid muqoyyad. Dr. Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan oleh Dr.
Wahbah (h. 594) membagi macam ijtihad kepada tiga macam.

B.Saran dan kritik


Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari
kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran,
untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil
diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita
semua. Amin.

Halaman 9 dari 10
DAFTAR PUSTAKA

Syafe'i Drs Rachmat. 2007. Ilmi Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
Muniron, Ni am. 2010. studi islam. STAIN Jember Press.
Yusuf Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam. Bandung Pustaka Setia
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2002. Pengantar Studi Islam. Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press.

Halaman 10 dari 10

Anda mungkin juga menyukai