Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH USHUL FIQH

IJTIHAD DAN PERMASALAHANNYA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh

Dosen Pengampu :

Dr.Ahmad Sapiudin,M.Ag.

DISUSUN OLEH:

Akmalul Jamil 11220110000121

Andhieka Satrio 11220110000122

Ridha Febri 11220110000124

Abdullah Iqram 11220110000147

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat tak terhingga,
pertolongan yang terbentang luas bagi hambanya, bumi yang tesusun rapih oleh gunung- gunung
sebagai pasaknya dan yang menciptakan langit tiada ujungnya.

Secara sadar kami akui, bahwa penyusunan makalah ini barangkali belum mencapai
target yang diharapkan. Hal ini terjadi bukan faktor kesengajaan namun karena keterbatasan dan
kekurangan yang dimiliki oleh kami dan juga sebagai manusia biasa, maka dengannya segala
bentuk kesalahan akan selalu hadir kapan dan dimanapun manusia berada. Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.

Permohonan maaf kami sampaikan kepada seluruh rekan-rekan khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah ini, yakni Dr, Ahmad Sapiudin,M.Ag , apabila di dalam makalah ini
belum mencapai titik yang maksimal.

Penyusun berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca, serta dapat membantu bagi
perkembangan mahasiswa di masa yang akan datang. Sekali lagi kami ucapkan banyak terima
kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu, semoga Allah Swt membalas semua kebaikan
yang telah diberikan. Aamiin.

Jakarta, 12 Desember 2023

Pemakalah
i
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 2

A. Pengertian Ijtihad ............................................................................................................... 2


B. Dasar Hukum Ijtihad .......................................................................................................... 3
C. Unsur Pokok Ijtihad ........................................................................................................... 4
D. Urgensi dan kedudukan Ijtihad .......................................................................................... 7
E. Permasalahan dalam Ijtihad ............................................................................................... 8

BAB III PENUTUPAN .........................................................................................................


16

A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 16
B. Saran ................................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu
agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah
suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum.
Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan
Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur umat
Islam dalam keseluruhan aspek kehidupan, baik menyangkut penyembahan dan ritual, politik,
pendidikan, ekonomidan hukum.
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga
yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu
hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian,
tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian tentang Ijtihad?
2. Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3. Bagaimana unsur pokok dalam ijtihad?
4. Bagaimana urgensi dan kedudukan ijtihad?
5. Apa saja masalah-masalah yang diijtihadkan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang Ijtihad
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad
3. Untuk mengetahui unsur pokok yang ada dalam ijtihad
4. Untuk mengetahui Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
5. Untuk memahami Masalah-masalah yang diIjtihadkan

BAB II

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Kata Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan” yang berarti mengerahkan


segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-
sungguh dalm mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga
dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum (yang sulit), dan dalam
prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan. Oleh karena itu, tidak disebut
ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad
berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
Namun dalam Al-Qur’an kata “jahda” Semuanyan mengandung arti “Badzlu Al-Wus’I Wa
Al-Thoqoti” (pengarahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “Al-Mubalaghah
fil alyamin” (berlebih-lebih dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengarahan
segal kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.1

Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash undang-undang ataupun dengan
mengistinbathkan hukum yang wajib diterapkan di waktu tak ada nash.2
Kemudian di kalangan para ulama perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian usaha
yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang
hukumhukum syariat. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan istimbath
hukum syar’iyyah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. (Dr. Wahbah Az-
Zuhailiy, h. 529)

Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy (Dr. Wahbah 591) mendefinisikan
ijtihad itu dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh
didalam rangka mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Adapula yang
mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam al-mustashfa (II/4 pendapat
itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umu daripada qiyas, sebab
1 Nadith Syarif al-Umari, al-Ijtihad fi al-islam: Ushuluhu, Ahkamuhu, Afaquhu, ( Beiru: Muassasah Risalah, 1981)
hal. 18
2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm.
200

2
kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuan dan lafadz-lafadz yang pelik dan
semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa
dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.3 Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum
Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann
artinya pengertian yang berat kepada benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah.
Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:

ٍّ‫اِْس ِتْفَر اُغ اْلَفِقْيِه اْلُو ْس َع ِلتَْح ِص ْيِل َظ ٍّن بُِح ْك ٍّم َشْر ِع ي‬
Artinya :“Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid)
untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”4
Abdul Wahab Khalaf menerangkan bahwa ijtihad meliputi pengarahan segenap kesanggupan
untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada nasnya, disebabkan dengan (al-ijtihad bi
alra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan suatu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi:
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nash yang dhanni dalalahnya. Hukum
yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash Al-Qur’an dan Hadis.
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syari’ amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah
syari’iyah kulliyah.
3. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “ijtihad bi al-ra’yi”.5

B. Dasar Hukum Ijtihad


Maksud dasar hukum ijthad ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan
hukum taklifi, maupun hukum wadh'î. Karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah
orang yang telah mencapai tingkat faqih (sebagaimana disebutkan dalam definisi di atas),
maka mahkum 'alaih-nya (subjek atau orang yang dikenai oleh hukum) di sini adalah orang
yang faqih.

3 Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ushul Fiqh ( Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad),
Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986, hlm. 111-112

4 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 15

5 Abdul Wahab Khalaf, Mashadir tasyri’ L-ISLAMI, (Kuwait: Dar Al-Qur’an, 1972) hal.7

3
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan
ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' dalam hal-hal yang syara' sendiri tidak
menetapkan- nya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu
dapat dipahami dari firman Allah SWT dan hadits Nabi SAW.6

1. Q.s An-Nisa’: 4/59

..... ‫َفِاْن تََناَز ْع تُْم ِفْي َش ْي ٍء فَُر ُّد ْو ُه ِاَلى هالِّٰل َو الَّرُس ْو ِل‬.....
“.... maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan
Rosul....”
Hadits Nabi SAW.

‫ِإَذ ا َح َك َم اْلَح اِكُم َفاْج تََهَد َفأََصاَب َلُه أَْج َر اِن َو ِإَذ ا َح َك َم َفاْج تََهَد ثَُّم أَْخ َطًأ َفَلُه أَْج ٌر‬.2
(‫)رواه البخاري‬
“Artinya: "Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemu- dian ia berijtihad lalu hasil
ijtihadnya dinilai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim
memutus- kan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia menda- patkan satu
pahala." (HR. Bukhari). h
lijtihad menurut hadis di atas adalah usaha yang sangat dimulia- kan meskipun salah tetap
diberikan pahala atas usaha kerasnya itu. Imam Syafi'i menegaskan dalam kitab risalahnya
bahwa kesalah- annya itu dengan catatan tidak dilakukan dengan cara.

C. Unsur Pokok dalam Ijtihad


1. Syarat-syarat Mujtahid
Sebagai seorang mujtahid tentunya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi
yang berbeda-beda. Berikut syarat-syarat menjadi seorang mujtahid:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al- Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu membahas ayat-ayat
tersebut untuk menggali hukum.

4
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi SAW. yang
berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadis-hadis
tersebut untuk menggali hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjuk- kan oleh ijma', agar,
dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan ijma'.
d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya
untuk istinbath hukum.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang
hukum, dan sanggup mempertanggung- jawabkannya.
f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab, Al-Quran dan Sunnah, sebagai
sumber asasi Hukum Islam, tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sangat tinggi,
dan di dalam ketinggian dan keunikan gaya bahasa inilah, antara lain: terletak segi
kemukjizatan Al-Qur’an.
g. Memiliki pengetahuan mendalam tentang nasikh-mansukh dalam Al-Quran dan
hadis, agar, dalam menggali hukum, tidak mempergunakan ayat Al-Quran atau
hadis Nabi yang telah di-nasakh (hapus).
h. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul al- ayat) dan latar
belakang suatu hadis (asbab al-wurud al- hadits), agar mampu menggali hukum
secara tepat.
i. Mengetahui sejarah para perawi hadis, supaya dapat menilai sesuatu hadis: apakah
dapat diterima ataukah tidak. Sebab, penentuan derajat atau nilai suatu hadis
bergantung sekali pada ihwal perawi, yang lazim disebut "sanad hadis". Tanpa
mengetahui sejarah para perawi hadis, tidak mungkin ta'dil dan tarjih
(penyaringan) dapat dilakukan. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul
fiqh), se- hingga mampu mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum untuk
menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan digali hukumnya

2. Macam-macam dan Tingkatan Mujtahid


a. Macam-macam ijtihad
1) Ditinjau dari segi metodenya:
Al-ijtihad Al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan
hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nasakh
5
6 Amir syarifuddin, Ushul fiqih jilid 2, (Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2014) hlm.260-261
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi SAW. yang berhubungan
dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadis-hadis tersebut untuk
menggali hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjuk- kan oleh ijma', agar,
dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan ijma'.
d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk
istinbath hukum..
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang
hukum, dan sanggup mempertanggung- jawabkannya.
f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab, Al-Quran dan Sunnah, sebagai
sumber asasi Hukum Islam, tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sangat tinggi, dan
di dalam ketinggian dan keunikan gaya bahasa inilah, antara lain: terletak segi
kemukjizatan Al-Qur’an.
g. Memiliki pengetahuan mendalam tentang nasikh-mansukh dalam Al-Quran dan hadis,
agar, dalam menggali hukum, tidak mempergunakan ayat Al-Quran atau hadis Nabi
yang telah di-nasakh (hapus).
h. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul al- ayat) dan latar belakang
suatu hadis (asbab al-wurud al- hadits), agar mampu menggali hukum secara tepat.
i. Mengetahui sejarah para perawi hadis, supaya dapat menilai sesuatu hadis: apakah
dapat diterima ataukah tidak. Sebab, penentuan derajat atau nilai suatu hadis
bergantung sekali pada ihwal perawi, yang lazim disebut "sanad hadis". Tanpa
mengetahui sejarah para perawi hadis, tidak mungkin ta'dil dan tarjih (penyaringan)
dapat dilakukan.
j. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh), se- hingga mampu mengolah
dan menganalisis dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan
yang akan digali hukumnya

6
2. Macam-macam dan Tingkatan Mujtahid
a. Macam-macam ijtihad
1) Ditinjau dari segi metodenya:
a) Al-ijtihad Al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nasakh Al-Qur’an dan
Sunnah.
b) Al-ijtihad Al-qiyasi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan
hukumhukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nasakh
Al-Qur’an maupun haditsnya dengan cara meng-qiyas-kannya kepada
hukum-hukum syara’ yang ada nasakhnya.
c) Al-ijtihad Al-Istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang menetapkan hukum
syara’ atas peristwa-peristiwa yang tidak ada nasakhnya, baik dari Al-Qur’an
maupun Sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah
(kemaslahatan).
2) Ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid):
a) Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang
untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang belum
diketahui ketentun hukumnya. Pada zaman dulu ijtihad model ini paling
banyak dilakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh keempat imam mazhab.
b) Ijtihad Jama’i, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid
untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, di mana ijtihad ini
menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model seperti ini sering disebut
ijthad para ulama.atau ijma’ al’ulama.
b. Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid )‫( ُم ْج ود‬. Mujta- hid memiliki
tingkatantingkatan sebagai berikut:
1) Mujtahid fi al-syar'i, disebut juga mujtahid mustaqil. lalah orang yang membangun
suatu mazhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki,
Syafi'i, dan Ahmad bin Hambal.
2) Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri
tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab
terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri
7
tentang masalah itu. Yang termasuk ke dalam mujtahid fi al-mazhab ini seperti:
Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzany dalam mazhab Syafi'i.
3) Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah
dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi dalam mazhab
Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi'i serta al-Khiraqy dalam mazhab
Hambali.
4) Mujtahid muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama
salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan
memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij. Mereka mempunyai
kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat yang
berbeda-beda dalam mazhab di samping dapat membedakan ri- wayat yang kuat
dengan yang lemah.

D. Urgensi dan Kedudukan Ijtihad


Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua bidang hukum
syari’ah , asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kretiria seseorang mujtahid. Masalah-masalah
yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang
belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Para ulama’ membagi hukum
melakukan ijtihad menjadi 3 bagian yaitu:
1. Wajib ‘ain, bagi orang yang diminta fatwa h]ukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi,
dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukunya. Atau ia sendiri
mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui humnya.
2. Wajib kifayah, bagi orany yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan lenyap peristiwa
itu, sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya. Maka apabila kesempatan
mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua, tetapi bila ada seorang dan
mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
3. Sunnah, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak
terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad, karna dengan
ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan mengkoreksi kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad
yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad merupakan upaya pembeharuan hukum islam. Sebagaimana
ungkapan Abu Bakar al-Baqilani bahwa setiap periode memiliki ciri tersendiri sehingga

8
menentukan peubahan hukum. Sedankan Ibnu Hajib mengatakan bahwa ijtihad harus merujuk
pada aspek-aspek pembeharuan terhadap masalah yang belum pernah disinggung oleh ulama’
terdahulu, sedangkan masalah yang sudah diijtihadi pada masa lalu tidak perlu dipembaharui.
Sabda Nabi SAW :”Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini disetiap penghujung periode
(seratus tahun) seseorang yang mempebaruhi agamanya”.6

Meskipun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembeharuan bagi ijtihad yang
lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama, bahkan
sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama, hal itu seiring
dengan kaidah faqhiyah “al-ijtihadu ia yanqudlu bi al-ijtihadi” (ijtihad tidak dapat dibatalkan
dengan ijtihad pula). Selanjutnyaa, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu
sendiri yaitu:
1. Fungsi al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada Al-Qur’an dan
Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2. Fungsi al-Ihyl (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat
islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihad oleh
ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi
yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga Jumhur Ulama’menunjukkan ijtihad menjadi
hujah dalam menetapkan hukum berdasarkan Firman Allah surat an-Nisa’:59 “jika kamu
mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tesebut kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:
1. Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah
tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.
2. Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hal ijtihad yang cocok jangkauanya
dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.

E. Permasalahan dalam Ijtihad


1. Spesialisasi ijtihad

6 R. Nadiyah Syrif Al-Umari, Opict., hal. 199-200

9
Ijtihad adalah suatu usaha besar yang memerlukan sumber daya manusia yang secara ilmiah
berkualitas tinggi. Karena kualitasnya yang tinggi itu dia disebut mujahid dalam bidang agama.
Kualitas tersebut kelihatan terdapat pada figur beberapa mujahid mandiri setaraf Abu Hanifah
dan Syafi'i dan yang lainnya.
Pada masa sekarang, masalah agama itu semakin luas dan berkaitan dengan hampir seluruh
bidang kehidupan manusia yang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi yang semakin pesat; sehingga ilmu seseorang tidak mungkin meliputi seluruh bidang

secara menyeluruh dan paripurna. Hal ini mendorong dan mengarahkan seseorang untuk menjadi
spesialis yang mendalami bidang ilmu tertentu saja dengan membatasi diri atau sama sekali tidak
mempelajari bidang lainnya. Apakah spesialisasi seperti ini juga terdapat dalam hubungannya
dengan aktivitas mujtahid dalam berijtihad. Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Perbincangan ini bertolak dari pandangan yang membagi umat Islam kepada dua kelompok
secara dikotomis dalam kaitannya de- ngan kemampuan menghadapi masalah hukum, yaitu
antara kalang- an mujtahid dan muqallid.
Kalau ada spesialisasi dalam ijtihad, maka akibatnya seorang mujahid hanya berkemampuan
berijtihad dalam bidang tertentu saja dan tidak memiliki kemampuan dalam bidang lainnya. Hal
ini berarti, dalam bidang yang di luar kemampuannya, si mujahid itu dalam beramal akan
mengikuti atau bertaklid kepada mujtahid lain.
a. Kalangan ulama yang membolehkan adanya spesialisasi dalam ijtihad.

Pendapat ini dianut oleh ulama dari kalangan Syafi'iyah yang mengatakan bahwa boleh
saja ada spesialisasi dalam ijtihad. Maksudnya, ada sebagian orang yang memiliki
kemampuan ijtihad dalam bidang tertentu dari masalah fiqh seperti dalam masalah kewarisan
karena ia mengetahui dalil-dalilnya.

Kelompok ulama lainnya menolak spesialisasi dalam ijtihad. Menurut mereka, seseorang
baru dapat dikatakan mempunyai kemampuan berijtihad bila ia mampu melakukan ijtihad
dalam segala bidang. Kalau ia tidak mampu dalam suatu bidang ber- arti ia belum mampu.

Intinya suatu masalah dalam bidang fiqih tertentu terkadang persoalannya terdapat dalam
dan berkaitan dengan bidang lainnya . Karena fiqih itu merupakan suatu kesatuan.

2. Lapangan ijtihad
10
Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah. masalah yang hukumnya
tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun Hadis Nabi. Hal ini sejalan dengan apa yang dapat
ditangkap dari dialog antara Nabi dengan Mu'adz ibn Jabal yang menyatakan bahwa ia akan
melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari Al-Qur'an dan hadis. Dengan demikian, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya
tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis.

Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam Al-Qur'an dan Hadis itu dapat dilihat dari dua segi:
a. Al-Qur'an dan Hadis secara jelas dan langsung tidak mene- tapkannya, tidak secara
keseluruhan dan tidak pula sebagian- nya. Umpamanya hukum menghimpun dan
membukukan Al-Qur'an dalam satu mushaf. Dalam hal ini, Al-Qur'an dan Hadis tidak
menyuruh dan tidak pula melarang. Untuk mene- tapkan hukumnya diperlukan ijtihad.
b. Secara jelas, langsung dan menyeluruh memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam
AlQur'an dan Hadis, namun se- cara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya.

Dapat disimpulkan bahwa ijtihad itu berlaku dalam masalah masalah yang belum ada
nashnya, juga berlaku dalam masalah masalah yang telah ada nashnya namun belum pasti untuk
masalah itu.

3. Kebenaran hasil ijtihad

Bila seorang mujahid melakukan suatu ijtihad terhadap suatu masalah dalam lapangan ijtihad
dan sampai pada suatu kesimpulan berupa hukum, maka secara lahir dapat dikatakan bahwa ia
telah menetapkan hukum syara'. Namun pada hakikatnya, mujtahid itu bukan menetapkan dan
membuat hukum, karena sesuai dengan keyakinan dalam Islam, bahwa yang berhak menetapkan
hukum syara hanyalah Allah SWT dan tiada hukum kecuali dari Allah, sebagaimana difirmankan
Allah dalam Al-Qur'an, surat al-An'aam (6): 57. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hukum yang
dapat dica- pai oleh mujtahid itu adalah "hukum Allah dalam lisan mujtahid."

Berdasarkan uraian diatas bahwa ijtihad itu berlaku dalam hal-hal yang hukumnya tidak
terdapat secara jelas dalam Al-Qur'an maupun sunah; atau ada nash-nya namun dalam bentuk
yang tidakmeyakinkan (zhanmi). Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan beberapa orang
mujahid yang sama-sama melakukan ijtihad terhadap masalah yang sama menghasilkan pendapat
yang berbeda. Maka muncullah pertanyaan diantara kedua pendapat ini manakah pendapat yang
benar, walau keduanya telah melakukan ijtihad dalam suatu masala?. Jika seorang Mujtahid

11
menghasilkan ijtihad dengan berbeda pendapat maka akibatnya akan banyak sekali ragam hukum
hukum Allah yg berbeda. Hal ini menjadi persoalan yang tak henti-hentinya dikalangan ulama.

Dalam menjelaskan persoalan di atas, para ahli Ushul memi lah-milah masalah yang menjadi
lapangan ijtihad. Dalam hal ini para ahli membaginya pada dua lingkup yang besar, yaitu:

a. Masalah agliyah )‫(عقلية‬ atau nazhariyah )‫ة‬vv‫(نظري‬ yaitu ma- salah yang berkaitan
dengan
'akidah;
b. Masalah syar'iyyah.

Bidang 'aqliyah dalam kajian ini dibagi dalam dua masalah:

a. Masalah paling dasar dalam agama yang seandainya salah da- lam bidang ini, dapat
menghilangkan keimanan dan menyim- pang dari ketentuan agama. Umpamanya tentang
keberadaan Allah dengan segala sifat-Nya dan kerasulan Nabi Muhammad SAW..
b. Masalah aqliyah yang seandainya salah dalam hal ini, tidak sampai menghilangkan
keimanan kepada Allah dan Rasul- Nya. Umpamanya masalah kemungkinan manusia
melihat Al- lah atau tidak, Al-Qur'an sebagai makhluk atau bukan, dan sebagainya.

Mayoritas (jumhur) ulama sependapat dalam bidang 'aqliyah tersebut, bahwa yang betul
hanya satu, yaitu yang dapat mencapai kebenaran Allah, sedangkan yang lainnya adalah salah.
Dalam bidang aqliyah bentuk pertama (a), mereka juga sepakat bahwa yang salah dalam
ijtihadnya, di samping berdosa juga kafir atau keluar dari Islam, karena hasil ijtihadnya itu telah
menafikan keimanannya. Tetapi dalam bidang 'aqliyah bentuk kedua (b), mereka berbeda
pendapat dalam menyatakan kafir (keluar dari Islam) terhadap mu- jahid yang salah dalam
berijtihad:

Sebagian besar ulama mengatakan bahwa mujahid yang salah dalam hal ini hanya berdosa
namun tidak kafir, karena salah keimanannya tetap ada. Ia hanya berdosa dari segi bahwa ia telah
menyimpang dari kebenaran; dinilai sesat serta salah dari segi telah menyalahi sesuatu yang
benar dan meyakinkan; dan dianggap pembuat bid'ah dari segi ia menyalahi sesuatu yang populer
di kalangan ulama salaf, namun ia tidak kafir. Mengenai ijtihad dalam bidang syariah, jumhur
ulama mem baginya kepada dua bentuk:

12
a. Bidang syariah yang sudah pasti dan dapat diketahui secara dharüri (tanpa memerlukan
pemikiran/ra'yu) bahwa ia terma- suk ketentuan agama; seperti wajibnya shalat yang
lima waktu, puasa Ramadhan, zakat dan haji. Semua contoh tersebut dimasukkan ke
dalam lingkup hasil ij. tihad, karena memang rumusannya adalah hasil ijtihad ulama
sedangkan Allah dan Rasulullah tidak pernah berkata dengan rumusan seperti itu.
Meskipun hal itu hasil ijtihad tetapi semua orang meyakini kebenarannya karena ia
termasuk masalah pokok dalam agama.
Hasil ijtihad dalam bidang ini hanya satu yang benar, yaitu hasil dari mujahid yang
sanggup mencapai kebenaran tersebut, dan yang lainnya adalah salah. Kesalahannya itu
ti dak dapat dimaafkan, sehingga mujtahid tersebut dengan sendirinya menjadi berdosa.
Bahkan ada ulama yang mengang- gapnya kafir karena si mujahid itu dianggap telah
menyalahi suatu yang bersifat dharuriyat (masalah pokok) agama.
b. Bidang syariah yang tidak memiliki dalil yang qath'i dan me yakinkan, seperti:
kedudukan wali dalam nikah, hak waris cu- cu; ijab-qabul dan sebagainya. Para ulama
berbeda pendapat mengenai mana yang benar diantar beberapa pendapat hasil ijtihad
para mujahid:
1) Kebanyakan ulama (menurut riwayat al-Mawardi dan al-Royani) seperti Abu
Hasan al-Asy'ari dan al-Mu'tazilah (menurut al-Mawardi) berpendapat bahwa
pada setiap mujtahid yang mengemukakan hasil ijtihadnya terdapat kebenaran.
Karena itu, setiap mujtahid itu adalah benar. Dalam hal ini berlaku ketentuan
bahwa hukum Allah ada pada lisan setiap mujahid.
2) Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan ke- banyakan ulama
berpendapat bahwa yang benar hanya terdapat pada satu di antara beberapa
pendapat mujahid yang berbeda itu. Namun mengenai satu pendapat mana yang
benar, tidak bisa ditentukan oleh pandangan manusia, hanya Allah yang
mengetahuinya.

4. Kekosongan mujtahid

Dalam pembicaraan tentang pembagian dan macam-macam ijti- had di atas, ada ijtihad yang
tidak boleh kosong dan keberadaannya diperlukan setiap masa. Dalam pembahasan ini akan
dibicarakan lebih perinci tentang kemungkinan kosongnya suatu masa dari muj- tahid; artinya

13
dalam masa tertentu tidak ada kegiatan ijtihad. Di antara ulama ada yang mengatakan mungkin
saja terjadi kekosongan mujahid tersebut dan ada yang mengatakan tidak mungkin atau tidak
pernah terjadi kekosongan mujahid.

Pada dasarnya pendapat para ulama yang tampaknya berla wanan itu, tidak berbeda pendapat
bahkan mereka sepakat bahwa karya ijtihad itu adalah usaha para mujahid yang memiliki
kualifikasi persyaratan tertentu sesuai dengan tingkatan kualitas peringkatnya. Perbedaan mereka
dalam hal ini adalah karena mereka melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

Ulama yang mengatakan adanya kekosongan mujahid, yang mereka maksud adalah mujtahid
mutlaq dengan kualifikasi persyaratan yang harus dimilikinya. Memang kalau yang dimaksud
adalah muja hid mutlaq sekelas (setingkat) Abu Hanifah dan al-Syafi’i, jelas tidak segala zaman
memiliki mujahid yang demikian.

Ulama yang berpendapat tidak mungkin adanya kekosongan mujtahid, yang dimaksud adalah
bukan mujahid setingkat mujahid mutlaq. Mujahid yang tidak sekaliber mujahid mutlak itu harus
ada terus pada setiap masa karena kalau tidak ada; maka ijtihad yang hukumnya fardhu kifayah
itu tentu tidak dapat ditegakkan. Sekadar gambaran dari perbedaan pendapat tersebut adalah
sebagai berikut:

Kebanyakan ulama menurut yang dihikayatkan al-Zarkasyi dalam kitab al-Bahr berpendapat
boleh dan mungkin saja ada satu masa kosong dari mujahid. Hal ini juga dikatakan secara pasti
oleh al-Rafi’i bahwa umat sepertinya sepakat mengang- gap bahwa pada waktu ini tidak ada
mujahid. Bahkan dalam kitab Irsyad al-Fubul dikutip pendapat al-Ghazali yang menga- takan
bahwa waktu ini tidak ada mujtahid. Juga dinukilkan pendapat al-Ghazali yang mengatakan
bahwa telah kosong masa ini dari mujahid mandiri. Menurut al-Amidi pendapat yang
mengatakan bahwa boleh saja terjadi kekosongan mujahid adalah pendapat yang terpilih.

a. Golongan ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh dan tidak mungkin ada masa
yang kosong dari seorang muja- hid. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Ishak dan
alZubairi. Abu Ishak menghubungkan hal ini kepada segolongan fuqaha; artinya bahwa
sekiranya Allah mengosongkan suatu masa dari orang yang menegakkan hujah agama,
maka taklif atau beban hukum akan hilang, karena taklif itu tidak mungkin akan tetap ada
kecuali dengan adanya hujah yang jelas. Bila beban hukum sudah hilang, maka batallah
syariat.

14
b. Golongan ulama yang menolak kemungkinan ada masa yang kosong dari mujahid
mengemukakan dalil dengan Hadis Nabi yang mengatakan, “Senantiasa ada dari umatku
yang menegak kan kebenaran yang jelas hingga datang hari kiamat. Di samping dalil
hadis tersebut, golongan ini juga mengajukan dua argumen rasio:
1) Bahwa tafaqquh fi al-din (mendalami agama dari ijtihad itu hukumnya fardhu
kifayah dalam bentuk bila semua orang sepakat untuk tidak melakukannya akan
berdosa semua nya. Karena itu, kalau membolehkan adanya kemungkinan kosongnya
suatu masa dari orang-orang yang menegakkan fardhu kifayah, maka berarti orang-
orang dalam masa itu telah sepakat melakukan kesalahan dan kesesatan. Hal yang
demikian tentu tidak mungkin.
2) Bahwa cara untuk mengetahui hukum syara’ itu hanyalah melalui ijtihad. Kalau
terjadi suatu masa kosong dari mu jtahid, padahal untuk mengetahui hukum suatu
masalah pada suatu masa tergantung pada keberadaan mujtahid, tentu akan membuat
tertangguhkannya pelaksanaan syariat. Yang demikian tidak mungkin terjadi.

Golongan yang berpendapat memungkinkan adanya masa yang kosong dari mujtahid
memandang pada satu sisi beratnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujahid
sehingga tidak semua orang dapat mencapai kriteria itu. Orang-orang yang setaraf dengan
mujtahid mutlaq sekaliber al-Syafi’i dan Abu Hanifah memang tidak mungkin ada di segala masa
dan tempat. Namun alasan ini ditolak oleh ulama yang menolak adanya kemungkinan
kekosongan mujta- hid, dengan alasan bahwa kemungkinan untuk menjadi mujtahid di saat ini
justru lebih besar. Sarana untuk mendapatkan ilmu yang dapat menghasilkan daya ijtihad lebih
gampang dengan banyak tersedianya kitab tafsir dan hadis dalam bentuk yang tersusun rapi dan
mudah mendapatkannya.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad, berasal dari istilah Arab "Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan", mengacu pada proses mencari
ilmu melalui doa. Ini melibatkan serangkaian doa dan pemikiran untuk menemukan hukum
tertentu dan menerapkannya pada hukum itu. Ijtihad juga digunakan dalam konteks sistem
hukum, seperti Al-Qur'an, untuk memahami dan menerapkan hukum Islam. Merupakan bentuk
hukum Islam yang berdasarkan pada konsep zann yang merupakan suatu bentuk pedoman untuk
dapat memahami dan menerapkan hukum Islam. Ijtihad merupakan alat yang digunakan umat
Islam untuk menerapkan hukum Islam yang disebut dengan zann. Ini adalah bagian dari Al-
Qur'an dan Hadits, yang bertujuan untuk memberikan penafsiran Al-Qur'an dan Hadis yang
berkualitas tinggi, mengatasi permasalahan Al-Qur'an, dan mengatasi permasalahan yang tidak
dapat diselesaikan dengan nash tertentu

Hukum ijtihad adalah wajib, yaitu mujtahid melakukan ijtihad untuk menggali dan
merumuskan hukum syara' dalam hal-hal yang sendiri tidak ditetapkan secara jelas dan pasti.
Seperti dalam Al-Qur’an surat An-nisa ayat 59, dan juga hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan
oleh imam Bukhori. Mujtahid adalah seorang mujtahid yang harus memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan. Para ulama menetapkan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan
redaksi berbeda-beda.
Berikut syarat-syarat menjadi seorang mujtahid ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
AlQuran, hadis-hadis Nabi SAW, ijma', qiyas, logika, bahasa Arab secara mendalam,
nasikhmansukh, latar belakang turunnya ayat, sejarah para perawi hadis , kaidah-kaidah istinbath
hukum, dan kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh). Mujtahid membahas ayat-ayat untuk
menggunakan hukum, tidak bertentangan dengan ijma', qiyas, logika, nasikh-mansukh, latar
belakang turunnya ayat, dan latar belakang suatu hadis. Macam – macam ijtihad dilihat dari segi
metodenya yaitu (1) Al-Ijtihad Al bayani, (2)Al-Iltihaj Al giyasi, dan (3) Al-Iltihaj Al istishlahi.
Sedangkan ijtihad dilihat dari segi jumlah orang terdiri dari (1) ijtihad Fardi, dan (2) ijtihad
jama’i

16
Tingkatan-tingkatan mujtahid yaitu Fi Al-Sya’ri, Fi Al-Mazhab, Fi Al-Masail, dan terakhir
Muqoyyad.
Umat Muslim diwajibkan untuk mengamalkan Ijtihad dalam semua aspek keimanan mereka,
karena hal itu membantu mereka memahami dan mempertahankan keyakinan mereka. Hukum
melakukan ijtihad ada tiga, yaitu: fardu 'ain, fardu kifayah, dan sunnah. Ini membantu dalam
memahami dan menerapkan hukum Islam, dan dianggap sebagai upaya hukum Islam. Ijtihad
merupakan suatu bentuk bimbingan dalam memahami dan menerapkan hukum Islam. Hal ini
didasarkan pada prinsip 'Ruju' (refleksi), 'Ihyl (hidup), dan 'Inabah (refleksi). Pentingnya
mengamalkan Ijtihad, karena membantu umat Islam memahami hukum berdasarkan Al-Qur'an
dan
Sunnah. Ijtihad mempunyai dua tujuan utama: mengakui bahwa setiap muslim benar di hadapan
Allah, dan mengakui bahwa hanya satu hal ijtihad yang benar menurut hukum Allah. Dalam
permasalah ijtihad membahas sedikitnya tiga masalsh yaitu Spesialisasi Ijtihad, Lapangan Ijtihad,
dan Kebenaran Ijtihad.

B. Saran

Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami
menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami buat. Untuk itu, kritik dan
saran sangat kami harapkan

17
DAFTAR PUSTAKA

Nadith Syarif al-Umari, al-Ijtihad fi al-islam: Ushuluhu, Ahkamuhu, Afaquhu, ( Beiru:


Muassasah Risalah, 1981) hal. 18

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1999, hlm. 200

Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ushul Fiqh ( Qaidah-Qaidah Istinbath dan
Ijtihad), Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986,
hlm. 111-112

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 15

Abdul Wahab Khalaf, Mashadir tasyri’ L-ISLAMI, (Kuwait: Dar Al-Qur’an, 1972) hal.7

Amir syarifuddin, Ushul fiqih jilid 2, (Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2014) hlm.260-
261

18

Anda mungkin juga menyukai