Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH USHUL FIQH

“Saddudz Dzari’ah”
Kelas: HTN II C (Siyasah)

Dosen pengampu: Syafruddin Syam, Dr., M. Ag

Disusun oleh:
Femas Adi Putra (0203222050)
An’nisa Aulia Nur Azni (0203222055)
Tazkia Azra Naziha Hasibuan (0203222049)

PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN, 2022/2023

i
KATA PENGANTAR
‫للا َّالر مْح ِِن َّالر ِح ِِي‬
ِِ ‫ب مِس ِِم‬

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Saddudz
Dzari’ah” dengan tepat waktu. Sholawat serta salam marilah kita curahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW. Semoga kita mendapat syafaatnya di akhirat
kelak.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban penulis
dalam proses perkuliahan pada mata kuliah Ushul Fiqh. Dan juga diharapkan
makalah ini dapat memberikan pemahaman kepada kita bersama. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan, untuk itu penulis
menerima apabila ada saran dan kritik yang membangun dari pembaca, guna
mengevaluasi tulisan ini agar lebih baik lagi.

Wassalamua`laikum Wr. Wb.

Medan, 18 April 2023


Penyusun,

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I ............................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................... 5
D. Penjelasan Istilah .............................................................................................. 5
BAB II ........................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN....................................................................................................... 7
A. Pengertian Saddudz Dzari’ah ............................................................................ 7
B. Macam-Macam Sadd Adz-Dzari’ah ................................................................. 8
C. Kehujjahan Saddudz Dzari’ah......................................................................... 13
D. Fathu Adz-Dzari’ah ........................................................................................ 19
BAB III ....................................................................................................................... 22
PENUTUP .............................................................................................................. 22
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 22
B. Saran................................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Umat Islam sebagai manusia yang disebut Allah khalifah-Nya di atas bumi ini
dan sebagai kelanjutan imannya kepada Allah SWT, harus berbuat kebajikan dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya dalam syari’atnya.
Namun Syari’at atau Hukum Syara’ tersebut diturunkan oleh Allah SWT, belum
dalam bentuk petunjuk operasional yang terperinci. Agar umat Islam mempunyai
pedoman dalam berbuat, hukum syara’ itu diolah, disusun, dan dirumuskan oleh
ulama mujtahid menjadi petunjuk yang bersifat amaliah atau operational yang
terperinci yang disebut “Fiqh”. Fiqh inilah yang kemudian disebut “hukum Islam”
yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berkenaan dengan
hubungannya dengan Allah sebagai pencipta, maupun dalam hubungannya dengan
sesama manusia dan lingkungannya. Fiqh atau hukum Islam diramu dan disusun
berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan Nabi
dalam Sunnahnya. Untuk dapatnya titah Allah dan penjelasan Nabi yang merupakan
Syari’ah itu menjadi pedoman beramal yang terurai bernama fiqh tersebut, disusun
ketentuan dan aturan. Pengetahuan tentang aturan dan ketentuan yang dapat
membimbing Ulama dalam merumuskan fiqh itulah kemudian disebut “Ushul Fiqh”. 1

Hukum islam mengatur tentang sesuatu hal yang sudah ataupun belum
dilakukan. Hal ini bukan berarti hukum islam mengekang kebebasan manusia, namun
hal ini dibuat demi tujuan kemashalatan umat manusia dan menghindarkan diri dari
sutu kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras
akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang
mengarahkan kepada perbuatan terebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal
dengan sadd adz-dzariah.

1 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2012 h.2

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya ialah sebagai
berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Saddudz Dzari’ah?


2. Apa saja macam-macam Saddudz Dzari’ah?
3. Bagaimana kehujjahan Saddudz Dzari’ah?
4. Apa yang dimaksud dengan Fath Adzariah?

C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua bagian,
yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah
untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Ushul Fiqih.
Adapun Tujuan khusus penyusunan makalah ini adalah:

1. Dapat mengetahui pengertian Saddudz Dzari’ah


2. Dapat mengetahui macam-macam Saddudz Dzari’ah
3. Dapat mengetahui kehujjahan Saddudz Dzari’ah
4. Dapat mengetahui pengertian Fath Adzariah

D. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan kerancuan pengertian bagi
para pembaca, maka penulis memberikan penjelasan tentang istilah-istilah yang
terdapat didalam makalah ini. Diantara istilah-istilah tersebut adalah:
1. Sadd Al-Zari’ ah
Kata sadd menurut bahasa bermaksud menutup manakala kata Al-Zari’ah
berarti jalan menuju sesuatu. 2 Maka dengan demikian, susunan dua kalimat tersebut
yakni sadd al-zari’ ah dari segi bahasa berarti usaha bagi menutup jalan untuk

2
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayyis, Cet-1, jilid 3, (Kaherah: Tobaq al-Halabi, 1349), h. 350

5
menuju sesuatu. Sedangkan menurut istilah fuqaha’ berarti menutup jalan yang
membawa kepada kerusakan dan kebinasaan.3

2. Hukum Islam
Hukum dari segi etimologi berarti mencegah atau memutuskan. 4 Manakala
menurut terminologi fuqaha’, Hukum Islam bermaksud khitab Allah terkait amaliyah
mukallaf (perbuatan mukallaf) baik berupa iqtida’ (perintah atau larangan), takhyir
(kebolehan untuk memilih samaada melakukan atau tidak melakukan) atau wad’i

(perkara yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’).5

4. Kehujjahan
Hujjah dalam bahasa artinya keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi. 6
Hujjah dibagikan kepada dua yaitu hujjah naqliyyah dan aqliyyah. Hujjah Naqliyah
ialah suatu keterangan, bukti, alasan, atau argumentasi yang diambil (dinukil) dari
firman Allah (Alquran) dan sunnah Rasul-Nya (Hadis). Hujjah Aqliyyah maksudnya
keterangan, alasan, bukti atau argumentasi yang berdasarkan pada hasil pemikiran
manusia secara logis dan sistematis.

3 Ibnu Faris, Mu’jam Maqayyis, Cet-1, jilid 3, (Kaherah: Tobaq al-Halabi, 1349), h.350
4
Eva Iryani, “Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017, h. 24.
5
Rohidin, Pengantar Hukum Islam; Dari Semenanjung Arabia Sampai Indonesia, (Yogjakarta: Lintang
Rasi Aksara Books, 2016), h. 1-2
6
Ibrahim Anis DKK, Mua‟jam Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Duwaliyah, 2004),
h.157

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Saddudz Dzari’ah


1. Secara Etimologis
Sebelum sampai pada pembahasan definisi secara istilah, ada baiknya mengetahui
terlebih dahulu makna kebahasaan dari masing-masing kata. Pemikiran ini merujuk
pada kaidaah yang mengaskan bahwa hukum asal suatu kalam adalah makna
hakikinya.7 Kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah)
yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (‫ ) َسد‬dan adz-dzari’ah (‫)الذَّ ِر ْيعَة‬. Secara
etimologis, kata as-sadd (‫ )السَّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫َس َّد يَسُد‬
‫ َسدًّا‬. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan
menimbun lobang.8 Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )الذَّ ِر ْيعَة‬merupakan kata benda (isim)
bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak
َّ
dari adz-dzari’ah (‫ )الذَّ ِر ْي َعة‬adalah adz-dzara’i (‫)الذ َر ِائع‬. 9 Sadd adz-dzariah is a method
produced by previous ushul fiqh scholars in an effort to keep humans as fallen
mukallaf from falling into damage. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih,
seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan
adalah sadd adz-dzara’i.
2. Secara Terminologis /Istilah

Kata Al-dzari’ah dikalangan ahli Ushul diartikan:


ِ ‫مااكنِوصيةلِوطرِيقاِاىلِاليش ِء‬
“Sesuatu yang menjadi perantara atau jalan pada sesuatu yang lain”
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah
.ِ‫السدِادلرعيةِهوِرفضِاجلائزِحىتِالِيؤديِاىلِممنوع‬

7 Husain al-Hasbi, Ushul Fiqh, (Surabaya: Assegaf, t.t.), h. 7


8
Muhammad ibn Mukarram ibn Manzhur al- Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, juz 6, (Beirut: Dar Ehia
al-Tourath al-Arabi, t.t), h. 209
9
Ibid., juz 5, h. 37

7
Menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu
yang dilarang (mamnu’)10.
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa
berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.11 Dari berbagai
pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan
hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan
maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

B. Macam-Macam Sadd Adz-Dzari’ah


Para ulama membagi dzariah menjadi dua macam:
a. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatan
Imam al-Syathibi menjelaskan bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya,
dzariah terbagi menjadi kepada empat macam:12
• Perbuatan yang dilakukan membawa kepada kemafsadatan secara pasti.
Misalnya seorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada
malam hari dan pemilik rumah tidak mengetahui. Maka kemafsadatan yang
timbul sudah jelas bahwa pemilik rumah akan terjatuh kedalam sumur karena
pemilik rumah tidak tau kalau adanya sumur di depan rumah. Maka penggali
lubang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja
untuk mencelakakan orang lain
• Perbuatan yang dilakukan boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada
kemafsadatan, misalnya menjual jenis makanan yang biasanya tidak memberi
mudarat kepada orang yang memakannya. Perbuatan seperti ini tetap pada
hukum asalnya, yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah apabila
10
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh,
(Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.
11
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal.
103.
12
Muaidi, M. (2016). Saddu Al-Dzari’ah dalam Hukum Islam. TAFAQQUH: Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah Dan Ahwal Syahsiyah h.162

8
diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan.
Sedangkan dalam kasus ini jarang sekali terjadi kemafsadatan.
• Perbuatan yang dilakukan biasanya atau besar kemungkinan membawa
kepada kemafsadatan, menjual anggur kepada produsen minuman keras,
sangat mungkin anggur yang dijual itu akan diproses menjadi minuman keras,
perbuatan seperti ini dilarang karena dugaan keras, bahwa perbuatan itu
membawa kepada kemafsadatan sehingga dijadikan patokan dalam
menetapkan larangan terhadap perbuatan itu
• Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada
kemafsadatan. Misalnya, kasus jual beli yang disebut bay’u al ajal. Jual beli seperti
itu cenderung berimplikasi kepada riba. 13
Untuk menentukan hukum yang keempat ini terdapat perbedaan pendapat
dari para ulama. Ulama Hanafiah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa dzariah dalam
bentuk yang keempat ini tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan masih
bersifat kemungkinan. Oleh sebab itu dugaan seperti ini tidak bisa membuat
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan menjadi dilarang, kecuali kemafsadatan
itu diyakini atau diduga keras terjadi. 14
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jual beli seperti itu
termasuk dalam perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan. Oleh sebab itu
dilarang, karena bagi mereka yang dijadikan patokan boleh atau tidaknya transaksi
(akad) tidak hanya dilihat dari niatnya saja melainkan juga dari akibat yang
ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit diduga bertujuan
menghalalkan riba. Akan Tetapi, dari segi akibat yang ditimbulkan, maka secara
umum diduga keras membawa kepada kemafsadatan. Dari sisi inilah menurut ulama
Malikiyah dan Hanabilah, jual beli seperti itu dilarang.15

13
Ibid.h.163
14 Ibid h.164
15 Ibid h.165

9
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan
yang dilarang, yaitu:
• Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan
• Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan
• Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur
kemafsadatannya.16

Jual beli jenis ini dipergunakan untuk memiliki barang yang masih dimiliki
orang lain. Kredit (Penundaan pembayaran atau pengangsuran pembayaran) menjadi
solusi keterbatasan jumlah dana untuk memiliki barang yang dibutuhkan. Penundaan
harga tidak boleh digantungkan dengan penundaan penyerahan barang. Penundaan
pembayaran diperbolehkan dalam rangka menolong orang yang berhutang untuk
memiliki barang. Persoalan menolong orang yang berhutang menjadi terganggu
ketika harga dinaikkan oleh penjual, seiring tenggang waktu yang diberikannya17
There are three reasons put forward by Imam Malik and Imam Ahmad bin
Hanbal in supporting their opinion, namely:18
1) Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada
riba, sekalipun sifatnya ghilbah alzhann (dugaan berat), karena dalam kasus syari’
sering mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah alahann. Bisa dijadikan
dasar untuk melarang bay’u al-ajal karena “Menolak segala bentuk kemafsadatan
lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”
2) Dalam bay’u al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa
jual beli pada dasarnya jual beli diperbolehkan, selama rukun dan syaratnya terpenuhi
dan bahwa seseorang harus terhindar dari segala bentuk kemudaratan. Dalam
hubungan ini imam Malik dan Imam Hanbal menguatkan prinsip “pemeliharaan
keselamatan orang lain dari kemudhoratan” sedangkan bay’u al-ajal jelas-jelas

16 Rachmat Syafe’i. (2010). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. H.132-133
17 Fatoni, N. (2014). Kearifan Islam atas jual beli kredit (studi pada tukang kredit di Kec. Cepiring
Kabupaten Kendal).
18 Ibid. h.164

10
membawa kemafsadatan. Karenanya bay’u al-ajal dilarang sejalan dengan prinsip
sadd al-dzariah
3) Banyak nash yang menunjukkan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang
membawa kepada kemafsadatan, sekalipun perbuatan itu pada dasarnya
diperbolehkan.

b. Dzariah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya


Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah segi ini terbagi menjadi:19
1. Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman
keras yang mengakibatkan mabuk dan mabuk merupakan suatu kemafsadatan.
2. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang diperbolehkan atau dianjurkan, tetapi
dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan uang haram, baik dengan tujuan
disengaja atau tidak disengaja. Misalnya seorang suami mentalak tiga istrinya dengan
tujuan istrinya dapat menikah kembali dengan mantan suaminya.

c. Dzariah dilihat dari bentuknya dibagi menjadi 4, yaitu:


1. Yang secara sengaja ditujukan untuk suatu kemafsadathan misalnya meminum
minuman keras. Hal ini dilarang oleh syara’.
2. Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi dilakukan untuk suatu
kemafsaadhatan, misalnya nikah tahlil. Hal ini dilarang oleh syara’.
c. Pekerjaan yang hukumnya boleh dan tidak bertujuan untuk suatu kemafsadhatan
tetapi biasanya akan mengakibatkan mafsadat, misalnya mencaci sesembhan orang
lain. Hal ini dilarang oleh syara’.
d. Pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi kadang membawa mafsadat,
misalnya melihat wanita yang dipinang, tetapi menurut ibnu qayyim,
kemashakatannya lebih besar maka diperbolehkan sesuai kebutuhan.20
Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd aldzariah
21
sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara. Ulama Malikiyah dan ulama

19
Ibid.h 166
20 Ibid.h.167

11
Hanabilah menyatakan bahwa sadd al-dzariah dapat diterima sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum syara. Alasan yang mereka kemukakan adalah firman
Allah SWT dalam surah al-An’am, 6:108:

‫ك ٱُ ذمةا َ ََعلَهُ ْام ُذاث ا َ ىال َر ِ ُّبِم ذم ْرجِ ُعهُ ْام فَيُنَبُُِئُ ُم ِب َما‬
‫ّلل عَدْ ًۢوا ِبغ ْ ِاَي ِع ْمالاۗ كَ َ َٰذ ِ َلا َزيذنذا ِل ُ ُِا‬ ‫ُون ٱ ذ ِا‬
‫ّلل فَي َُس ُّبوا ٱ ذ َا‬ ‫ُون ِمن د ِا‬ ‫َو َال ت َ ُس ُّبوا ٱ ذ َِّل َا‬
‫ين يَدْ ع َا‬
ِ
‫ََكنُوا ي َ ْع َملُ َا‬
‫ون‬

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.
Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.”

“O believers! Do not insult what they invoke besides Allah or they will insult Allah
spitefully out of ignorance. This is how We have made each people’s deeds appealing
to them. Then to their Lord is their return, and He will inform them of what they used
to do.”

Kita ambil kutipan ayat diatas pada bagian:

“And do not curse those they worship besides Allah, because later they will curse
Allah without limit without knowledge...”
Dalam ayat ini Allah melarang untuk memaki sembahan kaum musyrik,
karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan
lebih.22

Alasan lain yang dikemukakan ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah hadist
Rasulullah SAW, di antaranya: 28 29 23

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua


orang tuanya, lalu Rasulullah ditanya orang, “wahai Rasulullah, bagaimana mungkin
seseorang melaknati ibu bapanya? Rasulullah menjawab “seseorang mencaci-maki

21
(Hanafi, 1993)n ke-12 1993. hal 147
22
Ibid.h.148
23 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet. 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm.160

12
ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan seseorang
mencaci maki ibu orang lain maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu”

Hadist diatas menurut Ibn Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd adz-dzari'ah


termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rasulullah
di atas, masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasulullah SAW
melarangnya. Ulama Hanafiah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima sadd adz-
Dzariah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-
kasus lain. Imam syafi’i membolehkan seseorang yang kerana uzur seperti sakit dan
musafir untuk meninggalkan sholat jumat dan menggantinya dengan sholat dzuhur. 24

C. Kehujjahan Saddudz Dzari’ah


Sad al-dzari’ah merupakan dalil yang diperselisihkan diantara para ulama.
Ada yang ulama yang menjadikan sad al-dzari’ah sebagai hujjah syar’iyyah, dan ada
sebagain ulama yang menolaknya.

1) Pendukung Sad Al-Dzari’ah Sebagai Hujjah Syar’iyyah.


Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik dikenal sebagai dua orang Imam
yang memakai saddudz dzari’ah. Oleh karena itu kedua Imam ini menganggap
saddudz dzari’ah dapat menjadi hujjah. Imam Malik kususnya sangat dikenal
mempergunakan sadd al-dzari’ah di dalam menetapan hukum-hukum syara’.25
a) Pandangan Pendukung Sad Al-Dzari’ah
Salah seorang ulama dari mazhab hambali, Imam Ibn Qayyim alJauziyah
menyatakan sebagai berikut:26
‫ض وطرق باس باب اال الهيا يتوصل ال املقاص ِد اكنت ملا‬
ِ ‫هبا معتربِة لها اتبعة وأس باهبا طرقها اكنت الهيا ى تف‬.
‫هبا وارتباطاهتا غاايهتِا اىل افضاهئا حبسب منا واملنع كراههتا يف ي واملعاص ماحلرمات فوسائل‬. ‫يف والقرابت الطاعات ووسائل‬

24 Ibid.h.161
25
Jumantoro, 2005: 294
26 Ibid.h.295

13
‫غايهتا اىل افضاهئا حبسب فهيا وااذلن حمبهتا‬. ‫ويه الغاايت قصد مقصود لكنه مقصود لوَكهام للمقصود اتبعة املقصود فوس يةل‬
‫الوسائل قصد مقصودة‬.
Ketika tujuan-tujuan (maqasid) tidak akan sampai kecuali dengan sebab dan
jalan yang dapat menyampaikanya, maka sebab dan jalan itu menjadi ikut serta
menjadi bagian yang diperhitungkan. Oleh karena itu, sarana-sarana keharaman
dan kemaksiatan dalam hal tidak disukainya dan dilarang, berdasarkan pada
tersampaikanya (kemaksiatan dan keharaman) dan keterhubunyanya pada tujuanya.
Dan sarana ketaatan dan ibadah itu disenangi dan di izinkan karena berdasarkan
pada ketersampainya (ketaatan dan ibadah) itu pada tujuanya. Maka sarana tujuan
maka menjadi bagian yang ikut serta untuk tujuan itu. Keduan-duanya adalah tujuan,
tetapi tujuan yang hendak dicapai, adalah juga sarana tujuan yang dicapai.27

Lebih lanjut Imam ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan sebagai berikut:28


ِ ‫ومنعا هل وتثبيتا لتحرميه حتقيقا مهنا ومين ِع حيرهما فانه اليه ي تف‬
‫ض ووسائل طرق وهل شيئا تعاىل الرب حرم فاذا‬
‫حامِه يقرب أن‬
Ketika Allah SWT mengharamkan sesuatu, maka hal itu ada jalan dan sarana yang
dapat menyampaikanya. Oleh karena itu sesungguhnya (Allah) mengharamkan
(sarana dan jalan) itu dan mencegahkanya sebagai pembuktian dan penetapan
terhadap pengharamanya dan dan pencegahan untuk mendekati yang telah
diharamkan itu..

b) Dalil Kehujjahan Sad Al-Dzari’ah


1) Alquran
ِ‫الل د مُو ِِن ِم مِن يلدم ع مُو لِن َّ ِاذليم لِن ت ل ُس بُّوا لو لال‬
ِِ ّ ٰ ‫الل فلي ُلس بُّوا‬
ِ‫ل ِع مْمِل ِبغ م ِِلي علدم ًواِ ٰ ّ ل‬ ِِّ ُ ‫ِب لما فل ُينلبُِّئُ ُ مِم َّم مرجِ ُعهُ مِم لر ِ ّ ِهب مِم ِا ٰ ِىل َُِّث ل لَعللهُ مِم ُا َّم ِْة ِل‬
ِ‫ك لزيَّنَّا كل ٰذ ِ ل‬
‫ي ل مع لملُ مو لنِ م‬
29‫لاكن ُوا‬

27 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’Lam al-Muwaqi’in ‘an rabbil alamin, ditahqiq oleh Thaha Abdurra’uf
Sa’ad, (Kairo-Mesir: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, tth), hlm. 135.
28 (suhartini, 1997) Nasroen Haroen,Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal. 160
29 Gramedia, Al- Qur’an QS. Al-an’am/108

14
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka yang mereka
sembah selain Allah SWT, karena mereka akan memaki Allah SWT dengan
melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. (QS. Al-An’am (6): 108).

Pada dasarnya berhala itu sesuatu yang dibenci oleh Allah. Hanya saja cacian
kepada berhala dapat menyebabkan tindakan orang-orang musyrik mencaci dan
memaki Allah SWT secara melampaui batas. Menurut Abdul Karim Bin Ali Bin
Muhammad Al-Namlah dalam kitabnya Al-Jami’ Lil Masail Ushul Al-Fiqh Wa
Tatbiqatuha ‘Ala AlMadzhab Al-Rajih, bahwa Allah melarang orang-orang beriman
untuk mencela dan mencaci berhala orang-orang musyrik, karena itu akan menjadi
sebab yang mengantarkan orang-orang musyrik mencaci allah SWT. Oleh karena
kemaslahatan yang ditimbulkan dari meninggalkan mencaci Allah SWT itu lebih
utama dibandingkan dengan mencaci berhala orang-orang musyriki itu. Oleh sebab
itu, kita diperintahkan untuk meninggalkan mencaci berhala mereka, karena
perbuatan itu akan mengantarkan pada cacian kepada Allah SWT. Inilah yang
dimaksudkan dengan sad al-dzari’ah.30
‫اِولِلم ٰك ِف ِر مي لنِ لع لذابٌ ِاللِ مٌِي‬ ‫اِوقُ مولُواِان ُمظ مرَنل لِو م ل‬
‫اْس ُع مو ل‬ ِ َّ ‫ٰ ا لايُّيُّ ل‬
‫اِاذل مي لنِ ٰا لم ُن مو لاِالِتل ُق مولُ مو لاِرا ِع لن ل‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkata: Ra’ina tetapi
katakanlah unzhurna dan dengarkanlah. (QS.Al-Baqarah: 104).31

Larangan menyebut Ra’ina, karena orang Yahudi menggunakan kata-kata


ra’ina untuk menghina Nabi Muhammad SAW. Maka Muslim dilarang untuk berkata
dengan ra’ina sebagai suatu dzari’ah. (Djazuli,2005:99).

2). Al-Sunnah
Para ulama yang mendukung saddudz dzari’ah, mereka mengelaborasi beragai
pernyataan dan juga praktek yang dilakukan oleh rasulullah SAW. 32

30 Abdul Karim Bin Ali Bin Muhammad Al-Namlah, Al-Jami’ Lil Masail Ushul AlFiqh Wa
Tatbiqatuha ‘Ala Al-Madzhab Al-Rajih, (Riyad-Saudi: Maktabah AlRusyd, 2000), Hlm. 391.
31 Gramedia, Al- Qur’an QS. Al-al-baqarah/104

15
Pernyataan rasulullah baik ekplisit ataupun implisit serta praktek yang dijalani
oleh rasul SAW banyak memberikan landasan tentang sad al-dzari’ah.33
a) Nabi SAW Berpesan Untuk Hati-Hati Terhadap Perkara Subhat
ِ‫للا لع مب ِِد أَ ِ مِب ع ِلن‬ِِ ‫ان‬ ِِ ‫ض ب ِلش م ِْي مب ِِن النُّ مع لم‬
ِ‫للا لر ِ ل‬
ُِ ‫قلا لِل لعهنم ُ لما‬: ُِ‫للا لر ُسو لِل ل ِْس معت‬ ِِ ‫ّل‬ ِ َّ ‫للا لص‬ ُِ ‫ي ل ُقو ُِل لو لس َّلِل عللل مي ِِه‬: (( ‫ي الم لح لال لِل ا َِّن‬ ٌِ ّ ِ ‫ب ل‬
ِ
‫ الم لح لرا لِم لوا َِّن‬،‫ أُ ُم مو ٌِر لوبليمهنل ُ لما ب ل ِ ّ ٌي‬، ٌ‫ ِم لِن كلثِيٌِ ي ل معلل ُمه َُِّن ِالل م مُشتلِبِ لات‬،‫ات اتَّقلى فل لم ِِن النَّ ِاس‬ِِ ‫الش ِبُ ل‬ ُّ ‫ ِ ِدلينِ ِِه ماس تل م لربِأَ فلقل ِِد‬،ِ ‫لوقل لِع لو لم مِن لو ِع مر ِض ِه‬
ِ
ِِ ‫الش ِبُ ل‬
‫ات ِ ِيف‬ ُّ ‫ك الم ِح لمى لح مو لِل لي مرعلى لاك َّلرا ِعي الم لح لرا ِِم ِ ِيف لوقل لِع‬ ُِ ‫وش‬ ِ ُ‫ لي مرتللِع أَ مِن ي‬،‫ك لوا َِّن أَاللِ ِفي ِه‬
ِِّ ُ ‫ل ِل‬ ِْ ِ ‫ لم‬،‫للا ِْحلى لوا َِّن أَاللِ ِْحًى‬ ِِ
ِ ِ
،ُ‫ الم لج لسدُِ لصلل لِح لصلل لحتمِ ا لذا ُمضم غل ًِة الم لج لس ِِد ِ ِيف لوا َِّن أَ ِالل لم لحا ِر ُمه‬،ُ‫يه أَ ِالل َُكُّ ُِه الم لج لسدُِ فل لسدلِ فل لسدلتمِ لوا لذا َُكُّه‬ ِ‫ب لو ِ ل‬ ُِ ‫)) المقللم‬. ‫رواه‬
ِ ِ ِ
‫ البخاري‬،‫مس ِل لفظ وهذا ومسل‬.
An Nu'man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas.
Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah
memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh
(mengerjakan) pada perkaraperkara syubhat, sungguh dia seperti seorang
penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang
dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki
batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumiNya adalah apa-apa
yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang
apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh
tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati". (HR Bukhari dan muslim, dan ini adalah lafazh
muslim).34

b) Nabi Melarang Membunuh Orang Munafik


‫اصحابه يقتل محمد ان الناس يتحدث ان ى اخش‬
Aku takut orang ramai memperkatakan bahwasanya muhammad membunuh
sahabat-sahabatnya. Berdasarkan hadis diatas, memberikan pemahaman bahwa

32
(Haroen, 1996)
33 Ibid. h. 161
34 (hanif, 2021)

16
menghindari mafsadah dari melakukan pembunuhan terhadap orang munafik. Karena
melakukan pembunuhan terhadap orang munafik bisa menyebabkan Nabi dituduh
membunuh sahabat-sahabatnya. Dan ini bisa membahayakan dakwah nabi SAW.
Dari penjelasan di atas dapat diperoleh I’tibar, yaitu dimana saja
kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan, dilaranglah wasilah (jalan) yang
menyampaikan kepadanya, 35 mengingat kaidah:
‫المصالح جلب على مقدم المفاسد درء‬
Menolak kerusakkan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

2) Ulama Yang Menolak Sadd Al-Dzariah Sebagai Hujjah Syar’iyyah


Imam Hanafi dan Iman Syafi’i keduanya tidak mempergunakan Saddudz
Dari’ah dan tidak pula menolaknya. Ulama yang menolak dengan keras sad al-
dzari’ah adalah dari kalangan Dhahiriyyah. Ibn Hazm, salah seorang ulama
Dhahiriyyah dalam kitabnya al-Ihkam fi ushul al-ahkam, menjelaskan penolakanya
tersebut. 36
a) Dalam perspektif Ibn Hazm, perkara subhat yang dijelaskan oleh hadis
bukhari di atas, tidak tepat dijadikan landasan untuk sad aldzari’ah. Beliau
menyatakan sebagai berikut: 37

‫وال ويؤجر فاعهل حيم ِد اذلي الورع هو وهذا البيان غاية يف وهذا لحلل فهو حراما يكن مل وما احلرام من ليس واملشتِبات‬
‫ي احلرام يواقع مل ما ياث وا ِل اتركه يذم‬
ِ ‫الب‬.
Perkara subhat bukanlah termasuk yang diharamkan; dan segala Sesutu yang
tidak diharamkan, maka hal itu adalah halal. Dan inilah penjelasan akhirnya. Dan
dikatakan sebagai wara’ (menjaga diri) yang mana pelakunya dipuji dan diberikan
pahala, dan orang meninggalkanya tidak dikecam dan tidak pula berdosa selama ia
tidak terjatuh dalam perkara haram yang jelas dan nyata. 38

35 (taimiyyah)
36 Op.cit, 161
37 Loc.cit, 392
38 Abu Muhammad ali bin Ahmad bin Sa’id Ibn Hazm al-Andalusiy, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam,

ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut-Libanon: dar al-afaq al-jadidah, tth), VI: 5

17
Dalam pandangan ibn hazm di atas, bahwa perkara haram itu jelas. Ketika
segala sesuatu tidak dinyatakan sebagai haram, maka hal itu masuk dalam kategori
yang halal. Dan sesuatu yang halal itu boleh dilakukan dan boleh pula ditinggalkan
(tahyir), selama tidak masuk ke dalam yang haram. Oleh sebab itu, tidak boleh ada
larangan terhadap segala sesuatu yang memang tidak dilarang. Karena yang berhak
melarang adalah Allah dan rasulnya semata.

b) Sad al-dzari’ah sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath), menurut perspektif


Ibn Hazm juga tidak tepat. Karena nabi SAW belum menjelaskan tentang perkara
yang menjadi persoalan yang mana seorang mukmin harus meniggalkanya. Sekiranya
perkara itu harus ditinggalkan, maka nabi SAW pasti menjalskanya, hanya saja dalam
kaitanya dengan sad al-dzari’ah ini nabi tidak memberikan penjelasan. 39 Oleh karena
itu, hal itu ditolak berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-nahl: 116.

ِ‫ف لِ لما تل ُق مولُ موا لو لال‬ ِ‫ّل ِل ّ لت مف لَت مُوِا لح لرا ٌِم َّو ٰه لذا لحلٰ ٌِل ٰه لذا المكل ِذ ل‬
ِ ُ ‫ب اللم ِسن ل ُت ُُِك ت ِلص‬ ِ‫ّل ي ل مف لَت مُو لِن َّ ِاذل مي لِن ِا َِّن المكل ِذ لم‬
ِِ ّ ٰ ‫ب‬
ِ ‫الل لع ل‬ ِ‫لِال المكل ِذ ل‬
ِِ ّ ٰ ‫ب‬
ِ ‫الل لع ل‬
‫يُ مف ِل ُح مو لمِن‬

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebutsebut oleh


lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS al-Nahl [16]: 116.)40

c) Menurut Prof. Amir Syarifudin, bahwa paradigma sad al-dzariah adalah


ijtihad yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan, dan kemaslahatan itu pada
dasarnya ijtihad yang berdasarkan pada pertimbangan ra’yu (pemikiran) manusia.

39 Ibn Hazm al-Andalusiy, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam,hlm. 6.


40 Gramedia, Al- Qur’an QS. An-Nahl/116

18
Oleh karena itu, Dzahiriyyah menolak secara mutlak ijtihad yang didasarkan pada
ra’yu (penalaran) seperti ini.41

D. Fathu Adz-Dzari’ah
a. Definisi Fathu Adz-Dzari’ah
Kata Fath adz-Dzarî’ah terdiri dari dua suku kata; yaitu Fath dan adz-
Dzarî’ah. Dalam bahasa Arab disebut tarkib idhafi; yaitu susunan kata yang terdiri
dari mudhaf dan mudhaf ilaih.
Kata Fath sendiri berasal dari bahasa Arab ( ٌ ‫ )فتح‬merupakan bentuk mashdar
dari fi’il ( ٌ ‫) ىفتح فتح‬. Secara bahasa berarti membuka, kemenangan, dan air yang
mengalir dari sumbernya.42
Sedangkan kata adz-Dzarî’ah berasal dari bahasa Arab (‫ )الذريعة‬secara bahasa
mempunyai beberapa makna. Berasal dari kata dzara’a yang berarti al-imtidad
(berkelanjutan), juga al-harakah (gerakan). Satu akar kata dengan kata al- dzira’ yang
berarti satu hasta, yakni jarak antara siku-siku tangan sampai ke ujung anak jari
tengah. Kata al-dzarî’ah, bentuk jama'nya adalah al-dzara'I yang berarti perantara atau
jalan yang menyampaikan kepada tujuan atau arah tertentu.43 Makna lain adalah jalan
untuk menuju kepada sesuatu, atau bermakna juga sebab menuju kepada sesuatu yang
lain. Jalan dan sebab ini masih bersifat umum, tanpa memperhatikan jalan ini
dibolehkan atau tidak dibolehkan. 44
Bentuk jamak dari adz-Dzarî’ah (‫ )الذريعة‬adalah adz-dzara’i (‫)الذراءىع‬. Karena
itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul
karya al-Qarafi (w. 684 H), istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.45

41
Prof. Dr. Amir syarifudin, Ushul al-Fiqh, hlm. 406.
42
Muhammad Murtadha az-Zabidi (w. 1205 H), Taj al-‘Arus, (Kairo: Dar al-Hidayah, t.t), juz 7, h. 6
43
Hammad ibn Mukram ibn Mandzur (w. 711 H), Lisan al-Arab, (Baerut: Dar asShadir, t.t),
bab ‘ain, h. 1698
44
Muhammad ibn Abu Bakar ar-Razi (w. 666 H), Mukhtar as-Shihah, (Baerut: Maktabah Lubnan,
1995 M), h. 93.
45
Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi (w. 684 H), Syarh Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm alUshul, (Kairo:
Syarikat at-Thiba’ah al-Fanniyyah, 1393 H), h. 449

19
b. Dasar Hukum
1) Q.S. Al-kahfi:79
‫الس ِف مينل ُِة ال َّما‬ ِ‫ل لو لر ۤا لء ُمِه لو لاك لِن ال ِع ميِبل لِام ال مِن فل لا لردمتُِّ الم لب مح ِِر ِ ِف ي ل مع لملُ مو لِن لِ لم ٰس ِك م ل‬
َّ ِ‫ي فل لَكن لتم‬ َِّ ُ ‫غل مص ًبِا لس ِف مينل ِْة‬
ٌِ ِ ‫ك يَّاْخ ُُِذ َّم‬

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera.)46

ُّ ِ ‫ لطائِفلة يف فبلا لِل أعر‬،‫ فل لز لج لره امللسجد‬،‫اه النَّ ُاس‬


‫قال عنه للا رض مال بن أنس عن‬: «‫ جاء‬،‫اب‬ ُُِ ‫النب فلهنل ل‬
ُِّ ِ ‫عليه للا صّل‬
‫ض فلل َّما وسل‬ ِ‫ من ِب لذن ُوب وس ِل عليه للا صّل النب أَمر ب ل ل‬،‫يق ما ِء‬
ِ ‫وهل قل ل‬ ِ‫»عليه فلاُه ِر ل‬.

Dari Abu Hurairah berkata: “Ada seorang Arab Badui yang kencing di masjid, lalu
para sahabat memarahinya, maka Rosulullah bersabda: “Biarkan dia, tuangkan saja
pada kencingnya air satu timba, sesungguhnya kalian diutus untuk membawa
kemudahan dan bukan di utus untuk menyulitkan” (HR. Bukhari)
c. kaidah Fath adz-Dzarî’ah

Kaidah Fath adz-Dzarî’ah yang dipaparkan oleh para ulama usul fikih di sini
bukan sebagai alat untuk menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh syariat,
bukan juga untuk membolehkan sesuatu yang telah dilarang oleh agama. Kaidah ini
juga bukan digunakan untuk menghalalkan segala hal untuk sampai pada tujuan
tertentu dengan berbagai macam cara. 47

Fath adz-Dzarî’ah ini bisa dikatakan perkara pengecualian. Artinya awalnya


segala bentuk yang dilarang agama itu tak boleh dikerjakan. Hanya ketika ada
mashlahah yang lebih besar atau ditolak mafsadat yang lebih besar, maka boleh
dikerjakan48. Karena Fath adz-Dzarî’ah ini masuk dalam katagori kaidah
pengecualian, maka pengaplikasiannya pun harus dengan kehati-hatian.

46 Gramedia, Al- Kahfi/ 79


47 Nurdhin Baroroh, “Metamorfosis Illat Hukum dalam Sad Adz-Dżari‟ah dan Fath
Adz-Dżariah (Sebuah Kajian Perbandingan),” Al-Mazahib (Jurnal Pemikiran dan Hukum) 5, no.
2 (Desember 2017)
48 Op.cit, h. 355

20
49
Penerapannya pun tidak boleh dilakuakan oleh sembarang orang yang bukan
ahlinya. Karena hal ini menyangkut persoalan halal dan haram yang membutuhkan
analisa yang kuat dan cermat untuk mencpi maslahah yang lebih besar. 50

49Ibid, h. 356
50
Hanif Luthfi, Fath adz-Dzarî’ah dan Aplikasinya Dalam Fatwa Majelis Ulama indonesia, (Jakarta:
Institut Ilmu Quran Jakarta, 2017), Tesis, h. 36

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Saddu Adz-Dzari’ah adalah dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami


bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

Macam-macam Saddul Adz Dzari’ah ada banyak sekali, ada ulama yang
membenarkan, maupun manyalahkannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya
dalam kehidupan sehari-harinya.

Fath adz-Dzarî’ah ini bisa dikatakan perkara pengecualian. Artinya awalnya


segala bentuk yang dilarang agama itu tak boleh dikerjakan Kaidah Fath adz-
Dzarî’ah yang dipaparkan oleh para ulama usul fikih di sini bukan sebagai alat untuk
menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh syariat, bukan juga untuk
membolehkan sesuatu yang telah dilarang oleh agama. Kaidah ini juga bukan
digunakan untuk menghalalkan segala hal untuk sampai pada tujuan tertentu dengan
berbagai macam cara.

B. Saran

Berdasarkan hasil dari makalah yang diuraikan pada kesimpulan serta hasil
penulisan, maka disarankan bagi pembaca agar dapat memahami Saddudz Dzari’ah.

22
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jauziyyah, I. A. (1996). A'lam Al-Muqi'in. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.


Al-Qarafi, S. A.-D.-A. (1393). Syarh Tangih Al-Fushul Fi 'Ilm Al Ushul. Kairo:
Syarikat At-Thiba'ah Al-Fanniyyah.
Anis, I. (2004). Mu'jam Al-Wasith. Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Duwaliyah.
Baroroh, N. (2017). Metamorfosis Illat Hukumdalam Sad Adz-Dzariah Dan Fath Adz
Dzariah. Al-Mazahib.
Faris, I. (1349). Mu'jam Maqqayyis. Kahera: Tobaq Al-Halaba.
Hanafi, M. A. (1993). Ushul Fiqh. Jakarta: Wijaya.
Hanif, M. (2021). Kehujjahan Sadd Al-Dzariah Sebagai Dalil Hukum Islam. UIN Ar-
Raniry.
Haroen, N. (1996). Ushul Fiqh. Jakarta: Logos.
Iryani, E. (2017). Hukum Islam,Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia. Ilmiah, 24.
Luthfi, H. (2017). Fath Adz-Dzari'ah Dalam Majelis Ulama Indonesia. Jakarta:
Institut Ilmu Quran Jakarta.
Mandzur, ]. I. (1995). Lisan Al-Arab. 93.
Muaidi. (2016). Saddu Al-Dzari'ah Dalam Hukum Islam. Jurnal Hukum Ekonomi
Syari'ah, 162.
Rohidin. (2016). Pengantar Hukum Islam. Yogjakarta: Lintang Rasi Aksara Books.
Suhartini, A. (1997). Ushul Fiqih 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu .
Syafe'i, R. (2010). Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, A. (2012). Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prnada
Media Grub.
Taimiyyah, S. I. (N.D.). Saddu Dzarai. Riyad: Daru Al-Fadillah, 26.

23

Anda mungkin juga menyukai